Gereja Katolik di negeri Belanda ditindas dan menjadi lapangan misi sendiri.
Pada tahun 1840 dicabut larangan bagi ordo-ordo untuk menerima anggota
SEJARAH GEREJA KATOLIK Page 2
baru, dan pada tahun 1853
didirikanlah hirarki dengan 5 uskup.
Dari keadaan itu, gereja Katolik di
Belanda akhirnya dapat berkembang
dengan merdeka dan sedikit demi
sedikit mampu menyediakan tenaga-
tenaga bagi karya pewartaan injil di
luar negeri.
Suatu penghalang yang amat besar adalah adanya larangan bagi prajurit-
prajurit biasa untuk menikah. Hal ini juga berlaku juga bagi banyak pekerja
Belanda dalam berbagai perusahaan dan perkebunan. Bagi para prajurit dan
opsir itu lalu disediaan huishoudster atau nyai. Kalau mereka pulang ke
Eropa atau pindah jauh, nyai itu kerap kali ditinggalkan dengan anak-
anaknya begitu saja. Anak-anak Indonesia diakui oleh ayah mereka dengan
demikian menurut hukum mereka termasuk golongan Eropa. Kerap kali
permandian dianggap bukti pengakuan. Maka dari itu banyak orang tua
walalupun mereka tidak menjalani hidup Katolik, tetapi ingin supaya anak
mereka dibabtis. Hal itu mereka lakukan juga untuk harapan bahwa kelak
gereja akan memperhatikan nasib anak-anak mereka.
Usaha yang paling pertama dan mendesak ialah Kekristenan orang Katolik
ini. Di Larantuka dan di beberapa tempat sejak zaman dulu ada perkumpulan
yang disebut confraria (persaudaraan), Santa perawan Maria, dengan dewa
pengurus (Procurador), bendahara (thesoureiro), penulis (escrivao), dan
pemimpin kor sekaligus guru agama (mestre).
Salah satu hambatan terbesar bagi karya misi pada waktu itu ialah pribadi
raja Don Andre de Vieira Godinho. Ia suka minum candu, memiliki istri empat
atau lebih. Situasi berubah pada tahun 1887 ketika Don Lorenzo naik tahta.
Mulai kecil ia didik di sekolah misi, dan ketika masih muda dia mengajar
agama, mendatangi kampung-kampung orang yang belum Katolik untuk
menyiapkan jalan Tuhan. Hambatan lain tidak hanya di Flores tetapi juga di
pulau-pulau lain di mana datang dari pihak kolonial. Pejabat-pejabat paling
rendah tidak jarang bertindak seperti raja agung. Mereka iri hati terhadap
pastur yang menikmati kepercayaan rakyat. Mereka memihak anti Katolik
dan sebagainya.
Pada tahun 1905 Dekrit Paus Pius X, menganjurkan supaya orang Katolik
menyambut komuni suci dan sakramen penitensi, mendorong hidup Katolik
tetapi sekaligus memperberat tugas para pastur. Pada tahun 1914 Flores
dipercayakan Takhta suci kepada para pater Serikat Sabda Ilahi.
Sekitar tahun 1850, di kepulauan Talaud sudah tidak ada lagi orang Kristen.
Di pulau-pulau Sangir tetap ada jemaat-jemaat Kristen, lengkap dengan
gedung gereja dan sekolahnya. Jemaat-jemaat ini tetap memelihara
kerangka kehidupan Kristen. Agama Kristen tidak berhasil meresap dalam
kehidupan sehari-hari; agama itu merupakan "agama upacara" karena para
penghantar jemaat tidak berpendidikan khusus; kebaktian dijalankan dalam
bahasa asing, yakni bahasa Melayu; tidak ada majelis gereja; tidak ada
pelayanan Perjamuan Kudus, karena tidak ada anggota sidi; buku Kitab Suci
(dalam bahasa Melayu kuno) sudah amat langka, pengajaran agama yang
diperoleh di sekolah juga hanya dinikmati oleh segelintir anak-anak.
Singkatnya, jenis Kekristenan seperti yang terdapat di jemaat-jemaat VOC
yang terlantar itu sangat bertentangan dengan cita-cita yang dikandung oleh
para pekabar Injil yang dalam tahun 1850-an datang ke Sangir-Talaud.
Para pendeta dan pekabar Injil yang dari Minahasa melakukan kunjungan ke
Sangir-Talaud mendesak agar menangani karya PI di pulau-pulau itu. Selain
memiliki lapangan kerja di Maluku, Timor, dan Minahasa, mereka mulai
mengutus tenaga ke Jawa Timur tetapi mereka merasa tidak mampu. Maka
Panitia Zendeling-tukang merasa terpanggil untuk mengisi lowongan itu.
Dalam tahun 1857, sesudah 2 tahun perjalanan, 4 zendeling-tukang
mendarat di pulau Sangir, 2 tahun kemudian 4 orang lagi tiba di Talaud.
Sesuai dengan asas yang dianut oleh Panitia tersebut, mereka tidak
mendapat gaji yang tetap. Namun, pemerintah mengakui jemaat-jemaat di
Sangir sebagai jemaat-jemaat VOC, sehingga bersedia menyediakan
Hari Paskah 1889 pater B. Schweits dan bruder G. Busch menetap di Laora.
Raja Umbu Kaondi yang kelihatannya sangat simpatik memberi izin agar
anak-anak boleh dipermandikan. Tetapi ini dilakukan dengan agak naif dan
tergesa-gesa, dan berharap bahwa anak-anak tersebut nanti bisa dididik
dengan baik. Sampai akhir tahun 1889, pastur Schweitz membaptis sejumlah
758 anak kecil. Setelah itu tidak ada lagi orang yang meminta anaknya untuk
dibaptis. Banyak hambatan yang dihadapi: poligami, terutama di kalangan
pemuka rakyat; perbudakan; keserakahan (kedua kuda pasturan dicuri).
Pada tahun 1898, pastur membuka sekolah putri di tempat yang terpencil
itu. Baru beberapa minggu berselang sudah ada 19 siswi dan di antara
mereka 5 anak raja dan 3 calon menantu raja. Dan di sekolah tersebut
sangat membutuhkan suster, namun sedikit kemungkinan karena
keadaannya kurang mendukung. Akhirnya pimpinan misi di Jawa
beranggapan bahwa di Sumba tidak ada keseimbangan antara ongkos
finansial dan jumlah tenaga di satu pihak, hasil dan harapan di lain pihak.
Maka tahun 1898 Laora ditinggalkan.
Selama dua tahun, antara Oktober 1885-September 1887 dicoba karya misi
di Kendari. Kontak pertama dengan suku Tokea dari pedalaman berjalan tidak
lancar, terutama ketika wabah cacar merajelela dan mereka tidak berani
turun ke pantai. Pukulan terakhir datang ketika asisten-residen Benscbach
datang ke Kendari dan menganjurkan kepada penduduk setempat supaya
mereka membangaun sebuah masjid, tepat berhadapan dengan pasturan.
Padang juga menjadi stasi pertama dari pastur H.C. Verbraak SJ. Medan
menjadi stasi pada tahun 1878. Pastur pertama, C. Wenneker berkeliling
menemui 106 orang Eropa, 24 orang Tionghoa, dan 106 orang Keliling
Katolik yang asli India Selatan dan berbahasa Tamil. Pastur ini lebih
mengarahkan perhatian kepada orang Batak. Ketika usianya mencapai 75
tahun dan bekerja di paroki di Jakarta, dia masih memberikan pelajaran
agama kepada orang Batak yang merantau ke ibukota. Tetapi karena
berbagai sebab, stasi Medan tidak bisa berkembang baik.
Pada tanggal 1 Juli 1888 pastur J. Kusters dan J. Booms tiba di Tual,
kepulauan Kei, atas undangan seorang pengusaha Jerman. Pada awalnya
kerasulan di sana amat sulit. Hampir tidak ada kontak dengan kampung-
kampung dekat Tual yang sudah masuk Islam. Perubahan yang tak disangka-
sangka terjadi pada tanggal 19 Juli 1889, ketika pastur Kusters untuk kedua
kalinya mengunjungi Langgur, sebuah kampung seberang Tual. Pada waktu
itu Langgur ditimpa wabah sakit panas. Dengan pengobatannya pastur
berhasil mengatasi wabah dan hati penduduk mulai terbuka bagi pekabaran
Injil, terutama anak-anak yang mengikuti pelajaran. Pada tanggal 4 Agustus
1889 sepuluh anak yang paling rajin dipermandikan dalam upacara agung
yang amat mengesan kepada seluruh Langgur. Dan gereja besar pun
dibangun, kapel-kapel didirikan di beberapa kampung. Sebuah sekolah
dibuka di Kolseer dengan seorang guru dari Minahasa. Tahun 1905 para
Suster Fransiskanes datang untuk pendidikan putri dan karya medis. Tahun
1890 orang Katolik bertambah yang tadinya 38 menjadi 743 sampai tahun
1900. Tahun 1904 misi muda ini deserahkan kepada para pater MSC.
Perintis jalan di lain pulau Indonesia Timur ialah pater C. Le Cocq
dArmandville, pada hari terakhir tahun 1891 tiba di Seram untuk menjajaki
kemungkinan karya misi. Iklimnya berat, pendudunya langka, saran
perhubungannya hampir tidak ada. Jadi, tantangannya cukup berat di daerah
itu. Di kepulauan Watubela yang dikunjunginya bulan Mei 1893 harapannya
lebih baik, tetapi para penduduk diteror oleh raja setempat dan tidak bergaul
lagi dengan pastur.
Dari Serikat Yesus ada 50 imam dan 15 bruder di Indonesia (satu bruder
Jawa, yang lain di Flores, Timor, dan Langgur). 85 Suster Ursulin, 33 Suster
Fransiskanes, dan 15 Suster Belaskasih mengajar di sekolah-sekolah Jakarta,
Surabaya, Semarang, Padang, Larantuka, dan Lela. 30 Bapak guru dan 18
Ibu guru ikut mengajar di sekolah-sekolah misi, antara lain di 18 sekolah di
Minahasa dengan 29 Bapak guru. 11 Bruder S. Aloysius mengajar di 2
sekolah di Surabaya. Jumlah murid pada waktu itu 4.867 (1.422 di asrama).
Tahun 1885-1890 disadari bahwa Serikat Yesus sendirian tidak sanggup lagi
menangani segala karya misi di Nusantara, karena pada tahun 1889-1891
ada 16 imam baru datang sedangkan tenaga kerja sangat dibutuhkan bagi
pekerjaan orang Indonesia dan di paroki-paroki Belanda. Tahun 1887-1889 9
imam meninggal dunia pada usia muda. Pada akhir tahun 1890an stasi-stasi
seperti Laora di Sumba, Tanjung Sakti, Sungaiselan, Singkawang, Sejiram
Pertumbuhan ini ditunjukan oleh hasil statistik misi Katolik di Indonesia tahun
1928-1942 yang setiap tahunnya diterbitkan buku alamat. Sejak tahun 1932
diolah oleh Centraal Missie Bureau dengan judul Jaarboek 1932 dan
seterusnya. Untuk membandingkan dengan hasil sebelumnya maka
dibuatlah statistik tahun 1928 dan 1941. Dilihat dari statistik ini terjadi
pertambahan orang Katolik (totok dan indo) dengan cepat.
Pada akhir kolonial di Jawa, terdapat sekitar 80% orang Katolik dari Eropa
dan kurang dari 10% Katolik pribumi. Pertumbuhan ini terutama disebabkan
oleh banyaknya orang Katolik Belanda yang datang ke Indonesia pada
sekitar tahun 1900 untuk menjadi guru, pegawai, karyawan bank,
perusahaan, perkebunan dll. Dengan pelayanan yang intensif, mutu dari
Katolik juga bertambah. Dan hasilnya didirikanlah berbagi organisasi seperti
Katholieke Sociale Bond (1913) atas inisiatif awam yang terlibat dalam
gereja bersama dengan pastur J.J. van Rijckevorsel SJ yang bekerja di jakarta
tahun 1909-1925. Cabang dari organisasi ini juga didirikan di Yogyakarta,
Bogor, Malang, Medan, Surabaya dan Semarang. Dari KSB ini selanjutnya
banyak organisasi yang muncul dari muda-mudi, guru dan sebagainya yang
didirikan oleh pastur van Rijckevorsel seperti KJB, KMB, KOB.
Mulainya usaha misi di Sulawesi Utara dimulai pada tahun 1563. Pada masa
ini bentuk pemerintahan di Sulut masih berupa kerajaan-kerajaan dan
kesultanan. Suatu daerah dipimpin oleh seorang raja atau sultan.
Misi di Sulawesi Utara mulai bangkit kembali pada tahun 1853 yang
dilatarbelakangi oleh Revolusi Perancis. Berkat Revolusi Perancis inilah karya
misioner Gereja mulai menyebar di seluruh dunia. Di Belanda, berkat politik
Orang yang menjadi perintis dalam karya misi di Sulut adalah Daniel
Mandagi. Atas usahanya maka di Sulut mulai dibuka kembali karya misi.
Banyak misionaris mulai menginjakkan kaki ke negri nyiur melambai ini lagi.
Mereka adalah Pater Vries SJ, Pater Georgus Metz, Pater van Meurs SJ. Selain
misionaris-misionaris tersebut dibentuk juga katekis-katekis awam untuk
memberikan pelajaran agama kepada orang-orang katolik maupun calon
katolik.
Pada tahun 1917, misionaris MSC datang ke Manado. Sejak saat itu diadakan
pengalihan wilayah dari misionaris SJ kepada misionaris MSC. Kemudian
pada tahun 1919 muncul dekrit dari Roma di mana Sulut dijadikan Prefektur
Apostolik yang dipercayakan kepada konggregasi MSC. Konggregasi MSC ini
meneruskan karya misi yang selama bertahun-tahun telah dibentuk oleh
para misionaris SJ.
Dalam menjalankan karya misi ini, banyak sekali buah-buah yang dapat kita
rasakan sampai sekarang berkat usaha dan kerja keras dari para misionaris
MSC. Misalnya, dalam bidang pendidikan sangat ditekankan. Banyak gedung-
gedung sekolah dibangun. Di bidang kesehatan ; dibangunlah rumah-rumah
sakit. Stasi-stasi mulai diperbanyak sehingga banyak misionaris yang
datang, dan banyak imam mulai ditempatkan pada pos-posnya. Selain itu
pula di kalangan umat mulai digalakkan macam-macam kegiatan seperti
kumpulan-kumpulan, pertemuan-pertemuan wilayah, dll.
Pada tanggal 15 Maret 1961, dua imam pertama yang dididik di seminari
telah ditahbiskan. Tanggal 2 Februari 1961 Mgr. Verhoeven, Prefek Apostolik
pengganti Mgr. Pannis, dianggkat menjadi Uskup Manado. Pada saat itulah
Manado yang semula hanya merupakan Vikariat Apostolik berdiri menjadi
Keuskupan sendiri, yaitu Keuskupan Manado. Pst. Th. Moors diangkat oleh
Uskup Manado menjadi Vikaris Jendral.
Dilihat dari sejarahnya, tak dapat dipungkiri lagi bahwa Gereja Katolik
masuk ke wilayah Indonesia, khususnya di daerah Nyiur Melambai ini,
dengan cara menumpang di kapal kolonialis. Awal mula Gereja masuk
ke Indonesia dengan diboncengi oleh bangsa Spanyol dan Portugis,
yang semata-mata datang untuk mencari keuntungan.
Konsekuensi lainnya dari mentalitas eklusivisme ini adalah sikap yang terlalu
menekankan institusi. Seperti halnya dalam suatu institusi atau organisasi
memiliki aturan-aturan dan hukum-hukum yang mengatur, begitu juga
halnya dengan Gereja. Untuk itu, jangan heran kalau di dalam diri Gereja
muncul mentalitas iuridis yang sangat berpengaruh kuat dalam kehidupan
uamt katolik.