Anda di halaman 1dari 19

GEREJA KATOLIK PERIODE 1860-1900

SEJARAH GEREJA KATOLIK Page 1


Pada tahun 1830-an, prefek apostolik Shcolten, merangkap sebagai pastor di
Batavia, menimbulkan amarah pemerintah karena menganjurkan orang-
orang Katolik agar tidak menjadi anggota Free-masonry dan agar tidak
kawin dengan seorang Protestan. Ia dituduh bersikap anti kolonial. Dan dia
digantikan oleh mgr. Grooff (1842-1845) meneruskan kebijaksanaan itu.
Bentrokan tidak dapat dielakkan lagi ketika Vikaris baru itu memberhentikan
tiga pastor karena cara mereka yang duniawi dan karena tidak taat kepada
atasan mereka, yaitu Vikaris. Pemberhentian itu melanggar hak-hak
pemerintah. Oleh karena itu Gubenur Jendral memihak kepada orang-orang
yang telah dipecat itu dan membuang mgr.
Grooff dari wilayah Hindia-Belanda.

Pada permulaan tahun 1866 Mgr. P.M.


Vrancken mengirim suatu laporan ke Roma
mengenai keadaan gereja di vikariatnya.
Ada 8 stasi, tempat tinggal seorang pastur:
Batavia, Semarang, Ambarawa, Yogyakarta,
Surabaya, Padang, Sungaiselan dan
Larantuka. Pada waktu itu penduduk
seluruh Indonesia berjumlah 19.000.000
jiwa. Stasi terbesar ialah di Larantuka
dengan 11.200 orang Katolik. Stasi ini
meliputi Flores, Timor, Adonara, dan
beberapa pulau lain disekitarnya. Pastur
Larantuka juga masih mengadakan
perjalanan dinas ke Makasar dan Bima. Sungai Selan merupakan stasi
Cina Kolong yang bekerja dipertambangan timah Bangka; kebanyakan
mereka akhirnya kembali ke tanah leluhur mereka. Sedangkan di stasi lain,
unsur Eropa/Indo lebih dominan.

Untuk melayani umat Katolik yang tersebar luas, dibutuhkan 12 pastur, 4


bruder dari Kongregasi Aloysius di Surabaya sejak tahun 1862, dan 30 suster
Ursulin yang ada di Jakarta sejak tahun 1856. Akan tetapi, jumlah tersebut
sama sekali tidak memadai untuk karya gereja, baik yang pastoral diantara
umat Katolik, maupun karya pewartaan Injil diantara orang pribumi.

Gereja Katolik di negeri Belanda ditindas dan menjadi lapangan misi sendiri.
Pada tahun 1840 dicabut larangan bagi ordo-ordo untuk menerima anggota
SEJARAH GEREJA KATOLIK Page 2
baru, dan pada tahun 1853
didirikanlah hirarki dengan 5 uskup.
Dari keadaan itu, gereja Katolik di
Belanda akhirnya dapat berkembang
dengan merdeka dan sedikit demi
sedikit mampu menyediakan tenaga-
tenaga bagi karya pewartaan injil di
luar negeri.

Perhatian pertama gereja pada waktu


itu ditujukan pada kawan-kawan
seiman, yaitu orang Katolik Eropa dan
Indonesia. Karena pegawai dan
tentara kerap kali dipindah-
pindahkan, maka perawatan rohani
yang sedikit kontinyu tak mungkin.
Mutu moral di lingkungan KNIL tidak
begitu tinggi, dan banyak prajurit dan opsir baru berpikir tentang
keselamatan kekal waktu mereka dirawat di salah satu rumah sakit tentara
atau waktu akan menjalankan tugas yang amat berbahaya.

Suatu penghalang yang amat besar adalah adanya larangan bagi prajurit-
prajurit biasa untuk menikah. Hal ini juga berlaku juga bagi banyak pekerja
Belanda dalam berbagai perusahaan dan perkebunan. Bagi para prajurit dan
opsir itu lalu disediaan huishoudster atau nyai. Kalau mereka pulang ke
Eropa atau pindah jauh, nyai itu kerap kali ditinggalkan dengan anak-
anaknya begitu saja. Anak-anak Indonesia diakui oleh ayah mereka dengan
demikian menurut hukum mereka termasuk golongan Eropa. Kerap kali
permandian dianggap bukti pengakuan. Maka dari itu banyak orang tua
walalupun mereka tidak menjalani hidup Katolik, tetapi ingin supaya anak
mereka dibabtis. Hal itu mereka lakukan juga untuk harapan bahwa kelak
gereja akan memperhatikan nasib anak-anak mereka.

Rumah yatim piatu Katolik pertama didirikan di Semarang tahun 1809,


disusul di Jakarta tahun 1856 dan Surabaya tahun 1862. Tahun selanjutnya di
Padang, Bogor, Magelang, Malang dan Medium mendapat panti asuhan yang

SEJARAH GEREJA KATOLIK Page 3


serupa. Panti tersebut dipimpin oleh para bruder atau suster. Para suster
inilah yang membimbing anak-anak Indonesia dengan sungguh-sungguh.

Pada tahun 1859 ditandatangani suatu perjanjian antara Portugal dan


Belanda. Portugal memberikan haknya atas Larantuka, Sikka, dan Faga di
Flores dan atas Adonara dan Solor kepada Hindia Belanda. Pada masa itu
umat Katolik sudah ada tetapi masih terlantar. Tahun 1851 untuk terakhir
kalinya seorang pastur dari Dilli mengunjungi Larantuka beberapa hari
lamanya. Mereka merasa sebagai orang Katolik dan mereka takut kelak akan
dipaksa masuk serani muda alias Protestan oleh kompeni.

Usaha yang paling pertama dan mendesak ialah Kekristenan orang Katolik
ini. Di Larantuka dan di beberapa tempat sejak zaman dulu ada perkumpulan
yang disebut confraria (persaudaraan), Santa perawan Maria, dengan dewa
pengurus (Procurador), bendahara (thesoureiro), penulis (escrivao), dan
pemimpin kor sekaligus guru agama (mestre).

Salah satu hambatan terbesar bagi karya misi pada waktu itu ialah pribadi
raja Don Andre de Vieira Godinho. Ia suka minum candu, memiliki istri empat
atau lebih. Situasi berubah pada tahun 1887 ketika Don Lorenzo naik tahta.
Mulai kecil ia didik di sekolah misi, dan ketika masih muda dia mengajar
agama, mendatangi kampung-kampung orang yang belum Katolik untuk
menyiapkan jalan Tuhan. Hambatan lain tidak hanya di Flores tetapi juga di
pulau-pulau lain di mana datang dari pihak kolonial. Pejabat-pejabat paling
rendah tidak jarang bertindak seperti raja agung. Mereka iri hati terhadap
pastur yang menikmati kepercayaan rakyat. Mereka memihak anti Katolik
dan sebagainya.

Faktor lain yang menghalangi perkembangan gereja ialah bahwa dalam


kurun waktu 9 tahun ada 13 missionaris berganti-ganti melayani umat.
Perang antar kampung juga menghambat perkembangan gereja dan
karyanya. Menurunnya jumlah anggota gereja bukan karena jumlah orang
yang meninggal, tetapi akibat peperangan sehingga orang banyak yang
melarikan diri, ladang dan kebun ditinggalkan, pelajaran tidak dapat
diberikan secara teratur, kelaparan meraja lela. Orang yang meninggal
akibat peperangan tersebut hanya dalam jumlah yang kecil.

SEJARAH GEREJA KATOLIK Page 4


Sesudah tahun 1905 Katolik berkembang pesat, baik di kampung-kampung
yang sejak dulu sudah mejadi Katolik, maupun di kampung-kampung lain di
daerah yang terisolir. Perhatian bagi pewarta Injil meningkat dan seolah-olah
lebih rajin dikunjungi. Pada tahun 1909 H.Colijn mengunjungi Flores. Dengan
amat terbuka dan objektif ia mendengar segala usul dan keluhan para
misionaris. Sesuai inspeksinya, sikap pemerintah daerah terhadap misi
membaik.

Pada tahun 1905 Dekrit Paus Pius X, menganjurkan supaya orang Katolik
menyambut komuni suci dan sakramen penitensi, mendorong hidup Katolik
tetapi sekaligus memperberat tugas para pastur. Pada tahun 1914 Flores
dipercayakan Takhta suci kepada para pater Serikat Sabda Ilahi.

Sekitar tahun 1850, di kepulauan Talaud sudah tidak ada lagi orang Kristen.
Di pulau-pulau Sangir tetap ada jemaat-jemaat Kristen, lengkap dengan
gedung gereja dan sekolahnya. Jemaat-jemaat ini tetap memelihara
kerangka kehidupan Kristen. Agama Kristen tidak berhasil meresap dalam
kehidupan sehari-hari; agama itu merupakan "agama upacara" karena para
penghantar jemaat tidak berpendidikan khusus; kebaktian dijalankan dalam
bahasa asing, yakni bahasa Melayu; tidak ada majelis gereja; tidak ada
pelayanan Perjamuan Kudus, karena tidak ada anggota sidi; buku Kitab Suci
(dalam bahasa Melayu kuno) sudah amat langka, pengajaran agama yang
diperoleh di sekolah juga hanya dinikmati oleh segelintir anak-anak.
Singkatnya, jenis Kekristenan seperti yang terdapat di jemaat-jemaat VOC
yang terlantar itu sangat bertentangan dengan cita-cita yang dikandung oleh
para pekabar Injil yang dalam tahun 1850-an datang ke Sangir-Talaud.

Para pendeta dan pekabar Injil yang dari Minahasa melakukan kunjungan ke
Sangir-Talaud mendesak agar menangani karya PI di pulau-pulau itu. Selain
memiliki lapangan kerja di Maluku, Timor, dan Minahasa, mereka mulai
mengutus tenaga ke Jawa Timur tetapi mereka merasa tidak mampu. Maka
Panitia Zendeling-tukang merasa terpanggil untuk mengisi lowongan itu.
Dalam tahun 1857, sesudah 2 tahun perjalanan, 4 zendeling-tukang
mendarat di pulau Sangir, 2 tahun kemudian 4 orang lagi tiba di Talaud.
Sesuai dengan asas yang dianut oleh Panitia tersebut, mereka tidak
mendapat gaji yang tetap. Namun, pemerintah mengakui jemaat-jemaat di
Sangir sebagai jemaat-jemaat VOC, sehingga bersedia menyediakan

SEJARAH GEREJA KATOLIK Page 5


anggaran untuk para pekerja baru itu. Mereka ini kebanyakan orang Jerman
dari kelompok Gossner. Yang menjadi tokoh yang terkenal di antara mereka
ialah E. T. Steller, yang selama masa 1857-1897 bekerja di Manganitu, Sangir
Besar.

Steller bersama rekan-rekannya segera menjalankan upaya untuk


membenahi jemaat. Mereka ingin supaya semua anggota memiliki kesalehan
hati dan kesucian hidup. Mereka memberantas kepercayaan takhyul,
kebiasaan minum minuman keras dan perkawinan poligami yang banyak
terdapat di kalangan orang Kristen. Selain itu, mereka juga secepat mungkin
mulai menggunakan bahasa daerah sebagai ganti bahasa Melayu. Beberapa
bagian Alkitab mereka terjemahkan ke dalam bahasa daerah (1883, PB
dalam logat Siau; 1942, PB dalam bahasa Sangir), begitu pula Katekismus
Heidelberg (1871), Perjalanan seorang Musafir karangan J. Bunyan, dan lain-
lain.

Di Pulau Bangka, sejak abad ke-18 terdapat tambang-tambang timah. Buruh


tambang adalah orang-orang Tionghoa. Pada tahun 1830 di sana menetap
seorang dokter dari Tiongkok yang bernama Tsen On Nie (1795-1871). Ia
telah di baptis 3 tahun sebelumnya di pulau Penang (Malaysia) dan setelah
bekerja di Bangka mulai mengabarkan agama Kristen di tengah kaum buruh
Tionghoa. Dokter Tsen On Nie meninggal 14 September 1871, berusia 86
tahun. Dia digantikan oleh pastur baru, yaitu J. De Vries yang tiba di
Sungaiselan. Karya Gereja Bangka tidak membawa banyak hasi karena umat
yang kebanyakan terdiri dari Cina Kolong, buruh pertambangan yang
sesudah beberapa tahun kembali ke negeri leluhur. Tahun 1883 seperempat
dari jumlah umat meninggal karena wabah beri-beri. Usaha misi untuk
mendekati orang-lom (yang belum masuk Islam) gagal. Tahun 1888 di
Sungaiselan tinggal dua katekis, yang dikunjungi setiap dua kali dalam
setahun oleh pastur dari Jakarta sampai Sumatera dan pulau-pulau
sekitarnya dipercayakan kepada para Pater Kapusin.

Pada permulaan 1877 Mgr. Claessens mendengar dari Gubernur Jenderal


bahwa residen Timor meminta bantuan misionaris untuk Sumba. Karena
kekurangan tenaga dan karena meletusnya peperangan antara raja-raja di
Sumba, maka tahun 1885 pater H. Leemker mengunjungi beberapa tempat

SEJARAH GEREJA KATOLIK Page 6


di Sumba Timur, di mana sebelumnya zendeling Van Alphen bekerja tiga
tahun lamanya tanpa hasil sedikit pun.

Hari Paskah 1889 pater B. Schweits dan bruder G. Busch menetap di Laora.
Raja Umbu Kaondi yang kelihatannya sangat simpatik memberi izin agar
anak-anak boleh dipermandikan. Tetapi ini dilakukan dengan agak naif dan
tergesa-gesa, dan berharap bahwa anak-anak tersebut nanti bisa dididik
dengan baik. Sampai akhir tahun 1889, pastur Schweitz membaptis sejumlah
758 anak kecil. Setelah itu tidak ada lagi orang yang meminta anaknya untuk
dibaptis. Banyak hambatan yang dihadapi: poligami, terutama di kalangan
pemuka rakyat; perbudakan; keserakahan (kedua kuda pasturan dicuri).

Pada tahun 1898, pastur membuka sekolah putri di tempat yang terpencil
itu. Baru beberapa minggu berselang sudah ada 19 siswi dan di antara
mereka 5 anak raja dan 3 calon menantu raja. Dan di sekolah tersebut
sangat membutuhkan suster, namun sedikit kemungkinan karena
keadaannya kurang mendukung. Akhirnya pimpinan misi di Jawa
beranggapan bahwa di Sumba tidak ada keseimbangan antara ongkos
finansial dan jumlah tenaga di satu pihak, hasil dan harapan di lain pihak.
Maka tahun 1898 Laora ditinggalkan.

Selama dua tahun, antara Oktober 1885-September 1887 dicoba karya misi
di Kendari. Kontak pertama dengan suku Tokea dari pedalaman berjalan tidak
lancar, terutama ketika wabah cacar merajelela dan mereka tidak berani
turun ke pantai. Pukulan terakhir datang ketika asisten-residen Benscbach
datang ke Kendari dan menganjurkan kepada penduduk setempat supaya
mereka membangaun sebuah masjid, tepat berhadapan dengan pasturan.

Di Makasar, Ujungpandang sekarang, pada akhir tahun 1892 ada seorang


pastur yang menetap. Jumlah umatnya tak pernah melebihi 250 jiwa.

Misi di Minahasa, Sulawesi Utara. Tahun 1853 pastur De Hessele


mengadakan turne di daerah itu selama empat bulan. Ia bertemu dengan
kira-kira 120 orang Katolik, Belanda, Indonesia, tetapi kebanyakan orang

SEJARAH GEREJA KATOLIK Page 7


Filipina. Pada akhir 1861 pastur Sanders dari
Larantuka mengunjungi Banda, Ambon, Ternate,
dan Manado.

Kontak Gereja yang pertama dengan orang


asli Minahasa terjadi di Pulau Jawa. Tahun
1851 di Surabaya ada 10 prajurit dan 9
wanita Minahasa masuk Gereja Katolik. Tahun
1861 di Semarang 43 tentara. Antara 1859-
1861 di Ambarawa 56 tentara. Setelah
mereka dipensiunkan, kebanyakan pulang ke
kampung halamannya. Misalnya, Daniel
Mandagi, orang Minahasa Katolik pertama,
yang pada tahun 1868 mengirim surat
kepada Mgr. Vrancken memohon supaya
seorang imam datang ke Minahasa dan untuk
memenuhi permohonan tersebut pastur J. De
Vries SJ diutus. Selama kunjungan di Minahasa pastur de Vries membaptis
254 orang, yang hanya sebagian dari keluarga Kristen-Protestan.

Dalam tahun-tahun selanjutnya Gereja Katolik mengalami banyak rintangan.


Karena situasi khas Minahasa, yang oleh residen Jellesma disebut negara
Protestan, maka bertahun-tahun lamanya Mgr. Luyen tidak boleh berkeliling
menerimakan sakramen krisma dan para suster YMY tidak boleh membuka
sekolah.

Tahun 1886 Manado menjadi stasi tetap dengan B. Mutsaers SJ


sebagai pastur pertama. Perhatiannya yang pertama ialah memperdalam
pengetahuan agama para guru dan katekis supaya jemaat-jemaat dan
sekolah-sekolah terjamin mutunya. Untuk itu pastur A. Van Velsen
(dikemudian hari menjabat Vikaris Apostolik Jakarta) membuka suatu
sekolah guru berkeliling. Praktek sekolah: kalau pastur berada di pasturan
Tomohon stasi kedua di Minahasa pada sore hari para calon guru diberi

SEJARAH GEREJA KATOLIK Page 8


pelajaran. Tujuannya, sehabis Misa,
pengakuan, permandian, pelajaran agama
bagi umat, pastur mengajar siswa-siswanya.
Ijazah bagi para calon guru merupakan soal.
Tahun 1904, 25 calon pertama kursus ini
menempuh ujian dan lulus semua. Pada
tanggal 19 November 1919 didirikan
Prefektur Apostolik Sulawesi yang
dipercayakan kepada para Pater MSC. Waktu
itu di Ujungpandang ada sekitar 500 orang
Katolik, sedangkan di Minahasa lebih dari
10.000 orang.

Sesudah Jakarta, Semarang, dan Surabaya,


Padang menjadi stasi keempat di Indonesia.
Sejak tahun 1837 hampir selalu ada seorang
pastur menetap di kota itu. Wilayah Parokinya
meliputi seluruh pulau Sumatera. Pada tahun 1871 jemaat Padang terdiri dari
sekitar 600 orang militer dan 400 orang sipil. Dari jumlah itu hanya 60 yang
menerima komuni Paskah. Sembilan Suster Belaskasihan tiba di Padang pada
tahun 1885. Mereka membuka taman kanak-kanak, sekolah pertama yang
netral di mana murid-murid membayar uang sekolah, dan sekolah kedua
yang hanya untuk anak-anak Katolik yang orang tuanya tidak mampu.

Padang juga menjadi stasi pertama dari pastur H.C. Verbraak SJ. Medan
menjadi stasi pada tahun 1878. Pastur pertama, C. Wenneker berkeliling
menemui 106 orang Eropa, 24 orang Tionghoa, dan 106 orang Keliling
Katolik yang asli India Selatan dan berbahasa Tamil. Pastur ini lebih
mengarahkan perhatian kepada orang Batak. Ketika usianya mencapai 75
tahun dan bekerja di paroki di Jakarta, dia masih memberikan pelajaran
agama kepada orang Batak yang merantau ke ibukota. Tetapi karena
berbagai sebab, stasi Medan tidak bisa berkembang baik.

Sesudah diadakan beberapa kali perjalanan untuk menyelidiki situasi dan

SEJARAH GEREJA KATOLIK Page 9


mengunjungi orang Katolik Belanda dan Tionghoa yang tersebar luas,
maka didirikan stasi Singkawang dengan W.J. Staal sebagai gembala umat.
Kemudian pastur ini menjadi Yesuit pertama yang menjabat sebagai Vikaris
Apostolik, 1893-1897. Seluruh Kalimantan Barat dan Belitung ada antara
500-600 orang Katolik. Bedanya dengan Bangka ialah bahwa di Kalimantan
Barat orang-orang Tionghoa menetap dan banyak yang hidup dengan
bercocok tanam.

Pastur H. Looymans dipilih untuk mulai misi baru. Ia menetap di Sejiram


pada sungai Sebruang, daerah yang membiakkan babi dan kambing,
membuka hutan, menanam pohon kopi. Ia mencoba mendapat kepercayaan
mereka dan mengikat mereka kepada daerah tertentu sehingga tidak
berpindah-pindah. Ia juga memperhatikan generasi muda.

Pada tanggal 1 Juli 1888 pastur J. Kusters dan J. Booms tiba di Tual,
kepulauan Kei, atas undangan seorang pengusaha Jerman. Pada awalnya
kerasulan di sana amat sulit. Hampir tidak ada kontak dengan kampung-
kampung dekat Tual yang sudah masuk Islam. Perubahan yang tak disangka-
sangka terjadi pada tanggal 19 Juli 1889, ketika pastur Kusters untuk kedua
kalinya mengunjungi Langgur, sebuah kampung seberang Tual. Pada waktu
itu Langgur ditimpa wabah sakit panas. Dengan pengobatannya pastur
berhasil mengatasi wabah dan hati penduduk mulai terbuka bagi pekabaran
Injil, terutama anak-anak yang mengikuti pelajaran. Pada tanggal 4 Agustus
1889 sepuluh anak yang paling rajin dipermandikan dalam upacara agung
yang amat mengesan kepada seluruh Langgur. Dan gereja besar pun
dibangun, kapel-kapel didirikan di beberapa kampung. Sebuah sekolah
dibuka di Kolseer dengan seorang guru dari Minahasa. Tahun 1905 para
Suster Fransiskanes datang untuk pendidikan putri dan karya medis. Tahun
1890 orang Katolik bertambah yang tadinya 38 menjadi 743 sampai tahun
1900. Tahun 1904 misi muda ini deserahkan kepada para pater MSC.
Perintis jalan di lain pulau Indonesia Timur ialah pater C. Le Cocq
dArmandville, pada hari terakhir tahun 1891 tiba di Seram untuk menjajaki
kemungkinan karya misi. Iklimnya berat, pendudunya langka, saran
perhubungannya hampir tidak ada. Jadi, tantangannya cukup berat di daerah
itu. Di kepulauan Watubela yang dikunjunginya bulan Mei 1893 harapannya
lebih baik, tetapi para penduduk diteror oleh raja setempat dan tidak bergaul
lagi dengan pastur.

SEJARAH GEREJA KATOLIK Page 10


Tanggal 22 Mei 1894 pastur Le Cocq mendarat di Kapaur, di Teluk Berau.
Penduduk yang sedikit, tetapi menerima pastur dengan ramah-tamah. Pada
saat itu ia tinggal hanya selama sepuluh hari bersama mereka dan berjanji
akan datang kembali. Tanggal 1 Mei 1895 ia datang lagi, disertai dua bruder.
Tetapi ketika pater Keijser, superior Yesuit, mengunjungi Irian, pater Le Cocq
kesehatannya terganggu sehingga disuruh berobat ke Jawa. Dia bertolak dari
Kapaur tanggal 5 Maret 1896 untuk tidak kembali lagi. Pada saat perjalannya
tersebut, pastur Le Cocq tenggelam di daerah Kapia, tetapi ada indikasi kuat
bahwa ia ditenggelamkan dengan sengaja oleh awak kapal. Kematian yang
tragis merupakan akhir sementara bagi karya Gereja Katolik di Irian, karena
Bomfia dan Watubela sudah ditinggalkan sebelumnya. Sesudah pastur Le
Cocq meninggal diterbitkan beberapa daftar kata bahasa Seram, Bomfia, dan
Kapaur yang telah disusunnya.

Sepertiga abad sesudah Mgr. P. M. Vrancken menyusun laporannya, dalam


tahun 1899 di seluruh Indonesia ada 47.732 orang Katolik. Yang bekerja di
kebun anggur Tuhan masih satu imam sekulir, Maria Josef Claessens,
kemenakan Mgr. A. Claessens yang menjabat Vikaris Apostolik dari tahun
1874 sampai tahun 1893. Pastur M. J. Claessens datang ke Indonesia pada
tahun 1877, sebagai iman paraja yang terakhir. Di Bogor, ia mendirikan
rumah yatim piatu putra Santo Vinsensius. Tahun 1907, ia kembali ke
Belanda dan masih bertahun-tahun lamanya bersusah payah bagi misi yang
dicintainya sampai dia meninggal.

Dari Serikat Yesus ada 50 imam dan 15 bruder di Indonesia (satu bruder
Jawa, yang lain di Flores, Timor, dan Langgur). 85 Suster Ursulin, 33 Suster
Fransiskanes, dan 15 Suster Belaskasih mengajar di sekolah-sekolah Jakarta,
Surabaya, Semarang, Padang, Larantuka, dan Lela. 30 Bapak guru dan 18
Ibu guru ikut mengajar di sekolah-sekolah misi, antara lain di 18 sekolah di
Minahasa dengan 29 Bapak guru. 11 Bruder S. Aloysius mengajar di 2
sekolah di Surabaya. Jumlah murid pada waktu itu 4.867 (1.422 di asrama).
Tahun 1885-1890 disadari bahwa Serikat Yesus sendirian tidak sanggup lagi
menangani segala karya misi di Nusantara, karena pada tahun 1889-1891
ada 16 imam baru datang sedangkan tenaga kerja sangat dibutuhkan bagi
pekerjaan orang Indonesia dan di paroki-paroki Belanda. Tahun 1887-1889 9
imam meninggal dunia pada usia muda. Pada akhir tahun 1890an stasi-stasi
seperti Laora di Sumba, Tanjung Sakti, Sungaiselan, Singkawang, Sejiram

SEJARAH GEREJA KATOLIK Page 11


ditinggalkan dan hanya dikunjungi paa perjalanan dinas. Usaha perintisan Le
Cocq di Irian tidak dilanjutkan.

Di Negeri Belanda akhir abad ke-19 jumlah biarawan-biarawati semakin


bertambah dibandingkan 50 tahun sebelumnya. Yang lebih menarik
perhatian ialah ada banyak kongregasi bruder dan suster yang abad ke-19
didirikan di Belanda, contohnya: MSC, SJC, MSF berasal dari Perancis, SVD
dari Jerman dan berkembang di negeri penampung.
Karena sifat yang internasional, para misionaris Belanda juga lebih
internasional di dalam medan kerjanya. Dari 3.571 misionaris imam yang
berasal dari Belanda antara 1810-1940, ada 800 orang yang mengrasul di
Indonesia, sedangkan yang lain disebar ke segala penjuru dunia.

GEREJA KATOLIK PERIODE 1900-1942

Pada tanggal 21 Mei 1898, Pastor di Maumere Edmundus Luypen SJ (diangkat


menjadi Vikaris tahun 1891 menggantikan Mgr. W.J Staal SJ) memimpin
Vikariat Apostolik selama seperempat abad hingga beliau wafat tahun 1923.
Wilayah yang dijangkaunya sudah seluruh Indonesia kecuali pulau Jawa.
Masalah terbesar yang dihadapi adalah nota der punten tahun 1847 yang
hanya mengakui satu vikaris Apostolik.[i] Hal ini menjadikan proses
regenerasi menjadi lambat dan seakan-akan berhenti.

Melalui perundingan yang lama antara instansi di Roma, Jakarta, dan


Belanda, tahun 1913 baru dikukuhkan suatu peraturan lanjutan yaitu Nadere
Regeling yang berisikan para Vikaris Apostolik yang baru diakui oleh
pemerintah sebagai kepala gereja di masing-masing wilayah mereka. Hasil
dari peraturan lanjutan sangat signifikan karena seorang pastur bisa bekerja
dengan jemaat yang sudah kuat imannya untuk melakukan penginjilan
kepada orang yang belum beragama.

Pertumbuhan ini ditunjukan oleh hasil statistik misi Katolik di Indonesia tahun
1928-1942 yang setiap tahunnya diterbitkan buku alamat. Sejak tahun 1932
diolah oleh Centraal Missie Bureau dengan judul Jaarboek 1932 dan
seterusnya. Untuk membandingkan dengan hasil sebelumnya maka
dibuatlah statistik tahun 1928 dan 1941. Dilihat dari statistik ini terjadi
pertambahan orang Katolik (totok dan indo) dengan cepat.

SEJARAH GEREJA KATOLIK Page 12


Pada tahun 1928 ada 250 imam, 206 bruder dan 870 suster di 10 vikariat
dan prefektur. Hal ini bertambah banyak pada tahun 1941 yang juga
melihatkan orang pribumi. Pada tahun ini ada 565 imam (16 pribumi), 510
bruder (60 pribumi) dan 1.933 suster (206 pribumi). Kemajuan ini masih
dtambah oleh para biarawati yang bekerja di sekolah-sekolah 1.248 orang
dan juga 3.417 bapak/ibu guru. Jumlah sekolah dari segala macam tarekat
biarawan-biarawan itu ada 1.868 dengan 170.033 murid.

Pada akhir kolonial di Jawa, terdapat sekitar 80% orang Katolik dari Eropa
dan kurang dari 10% Katolik pribumi. Pertumbuhan ini terutama disebabkan
oleh banyaknya orang Katolik Belanda yang datang ke Indonesia pada
sekitar tahun 1900 untuk menjadi guru, pegawai, karyawan bank,
perusahaan, perkebunan dll. Dengan pelayanan yang intensif, mutu dari
Katolik juga bertambah. Dan hasilnya didirikanlah berbagi organisasi seperti
Katholieke Sociale Bond (1913) atas inisiatif awam yang terlibat dalam
gereja bersama dengan pastur J.J. van Rijckevorsel SJ yang bekerja di jakarta
tahun 1909-1925. Cabang dari organisasi ini juga didirikan di Yogyakarta,
Bogor, Malang, Medan, Surabaya dan Semarang. Dari KSB ini selanjutnya
banyak organisasi yang muncul dari muda-mudi, guru dan sebagainya yang
didirikan oleh pastur van Rijckevorsel seperti KJB, KMB, KOB.

KSB-KSB menjalankan beberapa aktivitas yang beraneka warna, seperti di


Jakarta ada panitia wisma tentara Katolik, biro informasi dan pertolongan
bagi para misionaris di luar Jawa; Stud-club untuk persoalan sosial dan
sebagainya. Banyak dari KSB yang terjun pada dunia politik. Di bawah ini
adalah berbagai karya yang dihasilkan oleh perkembangan Katolik tahun
1900-194

SEJARAH GEREJA KATOLIK Page 13


SEJARAH GEREJA KATOLIK DI KEUSKUPAN MANADO

GEREJA KATOLIK DI TOMOHON, TAHUN 1926 GEREJA KATOLIK


KATEDRAL SAMRAT, 1930

Mulainya usaha misi di Sulawesi Utara dimulai pada tahun 1563. Pada masa
ini bentuk pemerintahan di Sulut masih berupa kerajaan-kerajaan dan
kesultanan. Suatu daerah dipimpin oleh seorang raja atau sultan.

Misionaris pertama yang menginjakkan kaki di tanah Sulut adalah Pater


Diogo de Magelhaes. Hal ini terjadi karena Sultan Hairun, Sultan Ternate,
mengirimkan anaknya, Baab-Ullah untuk pergi ke Sulut dengan maksud

SEJARAH GEREJA KATOLIK Page 14


untuk memaksa penduduk-penduduk di situ untuk memeluk agama Islam.
Hal inilah yang membuat Portugis turun tangan menggagalkan rencana
tersebut. Mereka mengirim dua buah kapal ke Sulawesi bersama dengan
seorang misionaris, Pater Diogo de Magelhaes.

Di sana Pater Magelhaes berhasil membaptis banyak penduduk dan bahkan


raja mereka. Raja dan penduduk antusias meminta diri untuk dibaptis. Tetapi
Pater Magelhaes tidak menyetujui permintaan tersebut dengan alasan
misionaris yang tidak mencukupi. Dengan demikian ia hanya membaptis raja
dan orang-orang penting lainnya.

Setelah Pater Magelhaes, mulai muncul misionaris-misionaris lainnya, yang


dengan penuh antusias membaptis dan mengajarkan ajaran Kristus kepada
rakyat di Sulawesi Utara. Mereka antara lain, Pater Mascarenhas SJ, Pater
Roger Koenraads, Pater Francesco de Groce, Pater Antonio Pereira, dan masih
banyak lagi misionaris yang datang untuk menjalankan karya misi mereka di
negeri nyiur melambai ini. Dalam menjalankan tugas pelayanan ini banyak
sekali tantangan. Misalnya, ada kepercayaan-kepercayaan kafir (alifuru) dan
kerajaan-kerajaan Islam yang menentang dan berusaha mengusir misionaris-
misionaris tersebut.

Pada tahun 1666, usaha misi di Sulawesi Utara


terhenti karena pada saat itu Belanda
membangun benteng Amsterdam di Manado.
Pada tahun 1672, Belanda menguasai penuh
Sulawesi Utara dan mengusir Portugis dan
Spanyol, yang sebelumnya menguasai
Indonesia.

Periode Kedua : Perkembangan Misi


Gereja sejak 1853-1919

Misi di Sulawesi Utara sempat terhenti selama


beberapa tahun, karena disebabkan oleh
adanya kependudukan Belanda. Bangsa
Belanda datang ke Indonesia dengan
diboncengi oleh VOC. Belanda merupakan
negara yang menganut agama Protestan.
Oleh karena itu, misi di Sulawesi Utara
berhenti. Mereka berusaha membuat
Indonesia menganut kepercayaannya, yaitu
Protestan.

Misi di Sulawesi Utara mulai bangkit kembali pada tahun 1853 yang
dilatarbelakangi oleh Revolusi Perancis. Berkat Revolusi Perancis inilah karya
misioner Gereja mulai menyebar di seluruh dunia. Di Belanda, berkat politik

SEJARAH GEREJA KATOLIK Page 15


yang dilakukan oleh Napoleon Bonaparte, misionaris-misionaris Belanda
mulai mendapat keleluasaan dalam memeluk agama. Dengan demikian hal
ini juga berpengaruh di Indonesia, yang yang dikuasai oleh Belanda.
Daendels, yang menjadi Gubernur Belanda di Indonesia, menetapkan dekrit
kebebasan beragama di Indonesia pada tahun 1858. Sejak saat itu
misionaris-misionaris mulai menjalankan misi pelanyanannya.

Jawa menjadi daerah pertama di Indonesia yang dikunjungi oleh misionaris-


misionaris. Sehingga orang-orang Sulut yang melakukan dinas militer di
Jawa, mulai mengenal kembali agama katolik. Di antara mereka ada yang
menjadi katekis, pewarta dan misionaris Gereja.

Orang yang menjadi perintis dalam karya misi di Sulut adalah Daniel
Mandagi. Atas usahanya maka di Sulut mulai dibuka kembali karya misi.
Banyak misionaris mulai menginjakkan kaki ke negri nyiur melambai ini lagi.
Mereka adalah Pater Vries SJ, Pater Georgus Metz, Pater van Meurs SJ. Selain
misionaris-misionaris tersebut dibentuk juga katekis-katekis awam untuk
memberikan pelajaran agama kepada orang-orang katolik maupun calon
katolik.

Dengan mulai dibuka kembali misi di Sulut, maka secara perlahan-lahan


mulai muncul stasi-stasi, khususnya di Minahasa, seperti di Kakaskasen,
Sarongsong, Tara-tara, Woloan dan daerah lainnya.

Periode ketiga : Peralihan dari SJ kepada MSC

Pada tahun 1917, misionaris MSC datang ke Manado. Sejak saat itu diadakan
pengalihan wilayah dari misionaris SJ kepada misionaris MSC. Kemudian
pada tahun 1919 muncul dekrit dari Roma di mana Sulut dijadikan Prefektur
Apostolik yang dipercayakan kepada konggregasi MSC. Konggregasi MSC ini
meneruskan karya misi yang selama bertahun-tahun telah dibentuk oleh
para misionaris SJ.

Dalam menjalankan karya misi ini, banyak sekali buah-buah yang dapat kita
rasakan sampai sekarang berkat usaha dan kerja keras dari para misionaris
MSC. Misalnya, dalam bidang pendidikan sangat ditekankan. Banyak gedung-
gedung sekolah dibangun. Di bidang kesehatan ; dibangunlah rumah-rumah
sakit. Stasi-stasi mulai diperbanyak sehingga banyak misionaris yang
datang, dan banyak imam mulai ditempatkan pada pos-posnya. Selain itu
pula di kalangan umat mulai digalakkan macam-macam kegiatan seperti
kumpulan-kumpulan, pertemuan-pertemuan wilayah, dll.

SEJARAH GEREJA KATOLIK Page 16


Dengan masuknya tenaga-tenaga dari konggregasi MSC, pelayanan umat
lebih intensif dengan medirikan stasi-stasi baru, seperti Manado, Tomohon,
dan Woloan, kemudian menyusul yang lainnya seperti Kembes, Lembean,
Langoan, dll.

Dalam membangun semuanya itu, pasti tidaklah lepas dari pengaruh-


pengaruh pada zaman itu yang menjadi hambatan. Perang Dunia II memiliki
dampak yang besar bagi misi di Indonesia, yang sedang dijajah oleh
Belanda. Hubungan para misionaris dengan pusatnya di Belanda terputus.
Bantuan-bantuan baik tenaga maupun material lain terhenti. Meskipun
demikian umat di Manado sudah mulai dapat berdiri sendiri dan selalu mau
bekerja sama serta membantu pastornya.

Sesudah kependudukan Belanda, Indonesia


kembali diduduki oleh Jepang. Pada zaman
Jepang, misi di Indonesia mengalami hambatan
yang berat. Banyak imam ditawan, sehingga
kegiatan melayani umat terhambat. Namun
demikian, karya misi Manado pantas diancungi
jempol. Dalam menjalankan misi, yang
berperan aktif bukanlah para imam, melainkan
para awam. Kaum awam sangat berapi-api
dalam mewartakan injil dan membela imannya.

Setelah masa kependudukan Jepang berakhir,


Mgr. W. Pannis, selaku Prefektur Apostolik pada
masa itu di Manado, membangun kembali
Seminari, yang hancur pada saat perang.
Seminari dibangun di Woloan dan dinamakan
Tarsisius. Pada tanggal 14 September 1953
mulai diadakan pembangunan untuk Seminari
Tinggi. Pada tanggal 14 Agustus 1945 Seminari Tinggi mulai berjalan.

Pada tanggal 15 Maret 1961, dua imam pertama yang dididik di seminari
telah ditahbiskan. Tanggal 2 Februari 1961 Mgr. Verhoeven, Prefek Apostolik
pengganti Mgr. Pannis, dianggkat menjadi Uskup Manado. Pada saat itulah
Manado yang semula hanya merupakan Vikariat Apostolik berdiri menjadi
Keuskupan sendiri, yaitu Keuskupan Manado. Pst. Th. Moors diangkat oleh
Uskup Manado menjadi Vikaris Jendral.

1. 2. Proses integrasi iman katolik dengan kebudayaan suku-suku


(inkulturasi iman) yang ada di jazirah Utara pulau Sulawesi ini
(Sulteng hingga kepulauan Talaud) memerlukan waktu yang
cukup panjang. Lukiskanlah bagaimana proses itu berlangsung
dan mentalitas kehidupan gerejani apakah yang dihasilkan dari
proses itu yang mempengaruhi cara berpikir, cara merasa, dan

SEJARAH GEREJA KATOLIK Page 17


cara bertindak dari umat katolik (awam dan hierarki) di
Keuskupan Manado?

Dilihat dari sejarahnya, tak dapat dipungkiri lagi bahwa Gereja Katolik
masuk ke wilayah Indonesia, khususnya di daerah Nyiur Melambai ini,
dengan cara menumpang di kapal kolonialis. Awal mula Gereja masuk
ke Indonesia dengan diboncengi oleh bangsa Spanyol dan Portugis,
yang semata-mata datang untuk mencari keuntungan.

Ketertinggalan penduduk Minahasa dalam bidang pendidikan, teknologi, dan


kebudayaan telah membuat mereka terjajah. Maka keberpihakan Gereja
dalam mengatasi ketertinggalan inilah menjadi pilihan tepat. Gereja melalui
karya-karya kerasulan berusaha mengejar ketertinggalan tersebut.

Upaya untuk menginkulturasikan iman Kristiani di kalangan masyarakat


tidaklah mudah, akan tetapi sebagai suatu misi maka tetap dilaksanakan.
Misalnya, sudah menjadi tugas dari para misioner untuk mewartakan Kabar
Baik di kalangan masyarakat dengan menggunakan bahasa setempat. Untuk
itu, para misionaris yang datang ke tempat-tempat di daerah pesisir nyiur
melambai ini berusaha untuk menggunakan bahasa-bahasa setempat,
seperti bahasa Melayu, Tombulu, Tonsea, dan bahasa-bahasa sub-etnis
lainnya. Pastor van Velsen berusaha menerjemahkan katekismus, doa-doa,
dan juga lagu-lagu Katolik ke dalam bahasa Tombulu, agar umat setempat
mudah untuk mengertik.

Tantangan lainnya, selain bahasa setempat, yang dihadapi oleh para


misionaris, dalam mewartakan Kabar Baik di kalangan masyarakat Sulawesi
Utara adalah adanya kepercayaa alifuru yang sejak semula telah dianut dan
dipercayai oleh masyarakat setempat. Sejak masuknya Gereja Katolik dan
dengan adanya pengaruh dengan dunia luar sejak abad ke-19, mulai
menggeser kebudayaan alifuru ini. Melalui karya-karya karitatif, Gereja
menghantar kebiasaan-kebiasaan alifuru tersebut ke arah marginalisasi.
Gereja dengan begitu giat mengusahakan agar pemeluknya meninggalkan
kebiasaan-kebiasaan alifuru tersebut.

Akan tetapi kepercayaan alifuru tersebut tidak sepenuhnya dihilangkan oleh


Gereja. Gereja memanfaatkan kebudayaan-kebudayaan, yang oleh Gereja
dianggap baik, sebagai sarana untuk lebih memperdalam iman umat
setempat. Dapat dikatakan bahwa Gereja tidak terlalu banyak membawa visi
dasar tentang Yang Ilahi kepada orang Minahasa. Gereja, di satu sisi,
mengukuhkan upacara-upacara tradisional sebagai pengungkapan terhadap
realitas Ilahi tersebut, misalnya kelahiran, perkawinan, dan kematian.
Dengan kata lain, Gereja dalam memperkenalkan Sang Ilahi kepada orang-
orang yang ada di jazirah utara pulau Sulawesi hanya mengadopsi ritus-ritus
animisme, yang semula dipercaya oleh masyarakat setempat dan
mengangkatnya menjadi ungkapan iman kristiani yang benar. Hal inilah yang

SEJARAH GEREJA KATOLIK Page 18


mempermudah Gereja dalam menjalankan misinya. Untuk itulah rakyat
dengan mudah menerima Gereja dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Dalam menjalankan misinya, terdapat banyak kendala internal dalam


diri Gereja di Indonesia. Hal tersebut antara lain mentalitas
Ekskluvisme. Mentalitas ini muncul dari kaum minoritas dalam suatu
masyarakat. Mentalitas inilah yang muncul dalam diri Gereja Katolik di
Indonesia. Di Indonesia Gereja Katolik merupakan kaum minoritas dari
berbagai agama, yang ada di Nusantara.

Mentalitas ini menyebabkan munculnya sikap ketertutupan dalam diri umat


terhadap hal-hal yang ada di luar Gereja, khususnya yang menyangkut
keagamaan. Umat katolik di Indonesia merupakan umat yang mandiri, tekun
mengusahakan perkembangan dan penghayatan iman mereka sendiri, erat
dalam kesatuan dan kebersamaan, akan tetapi cenderung tertutup bagi
agama-agama lain.

Dengan mentalitas eklusivisme tersebut, umat seringkali mengambil sikap


dualistis. Mereka memisahkan antara kehidupan menggereja dan
bermasyarakat. Mentalitas ini juga sering menimbulkan semangat
ultramontanisme yang berlebihan. Gereja Katolik meruakan gereja yang
universal dan unitas. Oleh karena itu, umat akan lebih menghormati
pendapat dari Bapa Suci atau petinggi-petinggi Gereja lainnya, selaku
pemimpin Gereja, dari pada aturan-aturan dari pemerintah.

Konsekuensi lainnya dari mentalitas eklusivisme ini adalah sikap yang terlalu
menekankan institusi. Seperti halnya dalam suatu institusi atau organisasi
memiliki aturan-aturan dan hukum-hukum yang mengatur, begitu juga
halnya dengan Gereja. Untuk itu, jangan heran kalau di dalam diri Gereja
muncul mentalitas iuridis yang sangat berpengaruh kuat dalam kehidupan
uamt katolik.

Mentalitas iuridis ini, para pastor bertindak sebagai inisiator pelbagai


kebijakan dan umatlah yang menjadi pelaksana yang baik. Umat
memandang bahwa pastor itu tahu segalanya, sehingga semua hal yang
menyangkut perkembangan suatu paroki diserahi kepada pastor tersebut.
Umat harus menjalankan apa yang pastor katakan dan putuskan.

SEJARAH GEREJA KATOLIK Page 19

Anda mungkin juga menyukai