Akan tetapi, ada batas untuk mencari kesenangan. Aristippos pun mengakui perlunya pengendalian diri,
sebagaimana sudah diajarkan oleh gurunya, Sokrates. Dalam pada itu mengakui perlunya pengendalian
diri tidak sama dengan meninggalkan kesenangan. Yang penting ialah mempergunakan kesenangan
dengan baik dan tidak membiarkan diri terbawa olehnya, sebagaimana menggunakan kuda atau perahu
tidak berarti meninggalkannya, tapi menguasainya menurut kehendak kita. Konon kepada teman-teman
yang mengeritiknya karena hubungannya dengan seorang wanita penghibur kelas tinggi yang bernama
Lais ia menjawab :Saya memiliki Lais, ia tidak memiliki saya.secara konsekwen ia berpendapat juga
bahwa manusia harus membatasi diri pada kesenangan yang diperoleh dengan mudah dan tidak perlu
mengusahakan kesenangan dengan susah payah serta kerja keras.
Filsuf Yunani lain yang melanjutkan hedonisme adalah Epikuros (341-270 s.M), yang memimpin sebuah
sekolah filsafat di Athena. Epikuros pun melihat kesenangan (hedone) sebagai tujuan kehidupan
manusia. Menurut kodratnya setiap manusia mencari kesenangan, tapi pengertiannya tentang
kesenangan lebih luas daripada pandangan Aristippos. Walaupun tubuh manusia merupakan asas serta
akar segala kesenangan dan akibatnya kesenangan badani harus dianggap paling hakiki , namun
Epikuros mengakui adanya kesenangan yang melebihi tahap badani. Dalam sepucuk surat ia menulis :
bila kami mempertahankan bahwa kesenangan adalah tujuannya, kami tidak maksudkan kesenangan
inderawi, tapi kebebasan dari nyeri dalam tubuh kita dan kebebasan dari keresahan dalam jiwa (surat
kepada Menoikeus). Tapi kesenangan rohani itu hanyalah bentuk yang diperhalus dari kesenangan
badani. Ia juga tidak membatasi kesenangan pada kesenangan actual saja. Dalam menilai kesenangan,
menurut Epikuros kita harus memandang kehidupan sebagai keseluruhan termasuk juga masa lampau
dan masa depan.
Kita menilai sesuatu sebagai baik karena kebaikannya yang intrinsic, bukan karena kita secara subjektif
belaka menganggap hal itu baik. Jadi, kebaikan dari apa yang menjadi objek kesenangan mendahului
dan diandalkan oleh kesenangan itu. Dalam hal ini James Rachels memberi sebuah contoh yang
jelasandaikan saja saya mempunyai seorang sahabat . saya senang sekali dengan dia, karenan
berulang kali saya mengalami keramahan, perhatian dan kebaikan hatinya terhadap saya. Saya pikir,
belum pernah saya mempunyai seorang sahabat sebaik dia. Tapi pada kenyataannya dan tanpa saya
mengetahuinya , yang disebut sahabat itu terus menerus membohongi saya, menipu saya dan
menjelekkan nama baik saya. Lalu timbul pertanyaan : Apakah saya sungguh sungguh senang dengan
dia? Tentu tidak. Kesenangan saya dengan dia tidak lebih daripada sebuah ilusi saja, suatu dunia
khayalan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Sesuatu tidak menjadi baik karena disenangi , tapi saya
dijadikan senang karena memiliki sesuatu yang betul betul baik.
Jika dipikirkan secara konsekuen, hedonisme mengandung suatu egoisme, karena hanya memperhatikan
kepentingan diri sendiri saja. Itulah keberatan keempat terhadap hedonisme. Yang dimaksudkan dengan
egoisme disini adalah egoisme etis atau egoisme yang mengatakan bahwa saya tidak mempunyai
kewajiban moral membuat sesuatu yang lain daripada yang terbaik bagi diri saya sendiri. Egoisme etis
mempunyai prinsip : saya duluan, orang lain belakangan saja. Tapi prinsip itu sulit untuk dipertahankan.
Apa yang membuat saya menjadi begitu istimewa? Mengapa saya membutuhkan lebih banyak atau hal
hal lebih baik daripada orang lain ? Egoisme etis harus ditolak karena bertentangan dengan prinsip
persamaan: semua manusia harus diperlakukan dengan cara sama, selama tidak ada alasan untuk
perlakuan berbeda. Jika dua pasien pada waktu yang sama tiba di rumah sakit, yang satu pasien gawat,
yang lain pasien biasa, maka ada alasan untuk melayani pasien gawat dulu dan baru kemudian pasien
biasa. Jika dua anak muda ikut dalam tes masuk perguruan tinggi dan yang satu memperoleh nilai bagus
sedangkan yang kedua mendapat nilai jelek, maka ada alas an juga untuk perlakuan yang berbeda, yaitu
menerima yang pertama dan menolak yang kedua. Tapi jika tidak ada alasan untuk perlakuan yang
berbeda, dua oran harus diperlakukan dengan cara yang sama. Saya tidak bias menuntut bahwa sayalah
yang didahulukan, jika tidak ada alasan yang relevan.
Faktor penting lainnya adalah, pandangan materialis dan cinta dunia. Orang yang tidak beriman kepada
alam akhirat dan tidak memperdulikan nilai-nilai moral seperti kesederhanaan, kedermawanan dan
persahabatan, tidak akan memikirkan nasib orang lain. Mereka tenggelam dalam kemewahan hidup.
Ada pula faktor luar yang menjadi penyebab kecenderungan kepada kemewahan, antara lain adalah
budaya masyarakat dan lingkungan sekitar. Dalam sebuah masyarakat yang memiliki budaya hidup
mewah, kecenderungan kepada kemewahan akan menguasai seluruh anggota masyarakat. Dalam hal
ini, kemewahan para pejabat dan tokoh masyarakat akan memberikan pengaruh yang sangat besar pada
gaya kehidupan ini.
Di era kontemporer ini iklan yang terdapat di berbagai sarana media ikut membantu menciptakan budaya
hedonisme. Media-media ini dalam banyak kasus mengiklankan produk-produk yang sebenarnya tidak
diperlukan. Iklan-iklan ini pula meninggalkan berbagai dampak psikologis terhadap
para pemirsa.Tuhanmengaruniakan nikmat yang tidak terhingga untuk digunakan oleh manusia dalam
kehidupan, dan Allah memerintahkan manusia untuk mengunakannya nikmat dan karunia ini secara
benar dan adil serta tidak melanggar hak orang lain.
6
Dengan demikian, hedonisme berarti keluar dari aturan ilahi dan menyimpangkan karunia Allah dan hak
oranglain.Orang yang hedonis, tidak hanya dikecam karena sikapnya yang memubazirkan anugerah
Allah saja, tetapi ia dikecam juga karena dia menutup kesempatan berkembangnya nilai-nilai kebaikan
seperti infak, kemanusiaan dan kedermawanan, serta menyebabkan berkembangnya kemiskinan dan
ketidak-adilan dalam masyarakat serta meruntuhkan nilai-nilai spiritualitas.
Banyak akibat buruk yang ditimbulkan oleh hedonisme. Pertama, lenyapnya kekayaan, meningkatnya
jurang antar miskin dan kaya, berkembangnya kemiskinan, kebangkrutan dan hutang di tengah
masyarakat kecil. Ibnu Khaldun sejarawan dan sosiolog muslim dalam hal ini berkata: Sejauh mana
sebuah masyarakat tenggelam dalam hedonisme, sejauh itulah mereka akan mendekati batas
kehancuran. Proses kehancuran akan terjadi karena hedonisme secara perlahan akan menyebabkan
kemiskinan masyarakat dan negara. Sejauh mana hedonisme mewabah, sejauh itu pulalah kemiskinan
akan menyebar di tengah masyarakat.Di pihak lain, membuang-buang harta untuk membeli barang-
barang mahal yang hanya dimaksudkan untuk berbangga-bangga, perlahan-lahan akan menyeret
sebuah negara kepada pihak asing. Hal inilah yang terjadi saat ini dunia. Banyak negara dunia yang
bergantung kepada Barat yang setiap waktu memasarkan produk-produk baru untuk
dikonsumsi.Meskipun pekerjaan, usaha dan jerih payah untuk mencari harta, dapat mengantarkan
seseorang dan masyarakatnya kepada kemajuan dan hal ini didukung oleh agama Islam, namun jangan
sampai hal itu menjerumuskan kita ke lembah hedonisme dan kemewahan. Sebab, hal itu akan
membawa kerugian dan menghalangi manusia untuk sampai kepada tujuan hidup yang sebenarnya.
Untuk itu, harus dibedakan antara kecenderungan ke arah keindahan yang merupakan tuntutan fitrah
manusia dengan hedonisme yang akan menyeret ke kemewahan dan kesombongan.
b.MUNCULNYA HEDONISME INSTAN
Caleg pemalsu ijazah, masyarakat pembeli gelar (akademis), plagiator skripsi dan tesis, pembobolan
bank dan pengemplangan utang (uang rakyat), kleptokrasi habis-habisan, pola terabas perebutan
kekuasaan dan seterusnya jika diteliti lebih dalam bermuara pada satu hal: sebuah budaya bangsa yang
dinamakan dengan pola hidup jalan pintas. Intinya, ada yang mau terhormat, mau kaya raya, mau
berkuasa, dan seterusnya, tetapi dalam tempo sesingkat-singkatnya (dan segampang-gampangnya).Pola
hidup atau budaya jalan pintas ini seolah sudah menjadi penyakit bangsa ini, yaitu semacam sikap untuk
mengambil jalan atau cara paling cepat dan praktis tanpa mempertimbangkan proses. Pendeknya, orang
serba mau enak dengan cepat, tak mau repot. Ciri manusia Indonesia yang suka main terabas ini
pernah dipopulerkan Mochtar Lubis. Selain itu, menurut Machiavelli, kebiasaan tujuan menghalalkan cara
(the ends justify the means) telah menjadi senjata keseharian demi mendukung kelancaran pola jalan
pintas tersebut. Pola hidup yang buruk dan dekil itu berakar pada dua sikap mental bangsa, yakni (1)
sikap anti-aktualisasi diri dan (2) sikap yang pro hedonisme instan.
Sikap anti-aktualisasi diri adalah sikap hidup yang tidak lagi menjalani hidup demi makna hakiki hidup itu
sendiri, hidup sebagai sebuah panggilan, yang konsekuensinya adalah sebuah keyakinan bahwa hidup
tak lain sebuah tanggung jawab terhadap kehidupan itu sendiri. Menurut Maslow, manusia yang
mengaktualisasikan dirinya adalah mereka yang membaktikan dan mempersembahkan hidupnya pada
panggilan hidup tertentu yang dianggap bermakna, baik itu pekerjaan, tugas, profesi maupun status diri.
Minat dan daya hidupnya menjadi besar, karenanya mereka akan dan selalu menjalankan fungsi
hidupnya, bekerja dengan keras serta memenuhi kewajiban dengan hati dan cinta, menjalani semuanya
dengan nikmat, nyaman, menggairahkan dan penuh sukacita.
Proses aktualisasi diri merupakan proses penemuan dan pengembangan (terus- menerus) jati diri serta
mekar semerbaknya potensi terbesar dan terdalam manusiawi. Manusia yang menjalankan proses
aktualisasi diri tidak emosional- reaktif-subyektif mampu melihat dan menyikapi permasalahan secara
bening-obyektif serta memandang hidup apa adanya tanpa memaksakan persepsi dan keinginan egonya
sendiri.
Jelaslah kini, budaya atau pola hidup jalan pintas sangat anti-aktualisasi diri, yang justru mengebiri jati diri
itu sendiri, mereduksi potensi-potensi terdalam dan terbesar manusiawi.
Adapun sikap pro hedonisme instan adalah sikap hidup yang terobsesi oleh segala macam kenikmatan
(duniawi) dan bersifat seketika serta sesaat. Secara kodrati, manusia adalah makhluk yang memerlukan
kenikmatan-kenikmatan (baca: reward) dalam hidupnya setelah ia mengusahakan sesuatu atau
menjalankan sebuah fungsi hidup.
Namun, ketika orientasi perburuan kenikmatan itu sudah bersifat obsesif, persoalannya menjadi lain.
Sikap pro hedonisme instan, sampai batas tertentu, terpengaruh oleh sikap pertama, sikap anti-
aktualisasi diri. Tereduksinya potensi-potensi terdalam manusiawi menyebabkan manusia kehilangan
kapasitas kesadaran (diri) dalam menyikapi dan mengejar kenikmatan dalam hidupnya.
Merujuk Nuttin, seorang tokoh psikologi humanistis, ada tiga lapis kesadaran manusia. Pertama, lapis
kesadaran psikobiologis, sebuah lapis kesadaran yang bersifat sensasional dan terfokus pada
pengalaman indriawi. Contoh sederhana adalah munculnya kesadaran manusia untuk makan karena
distimulasi oleh perihnya perut yang lapar keroncongan.
Kedua, lapis kesadaran psikososial, sebuah lapis kesadaran yang membuat manusia sadar bahwa
dirinya (dan juga orang lain) memiliki pusat kesadaran masing-masing dan karenanya memberikan
keunikan (uniqueness) serta juga keterasingan (loneliness). Dari kondisi inilah lahir kebutuhan untuk
bersosialisasi dan berbagi. Kegagalan terhadap pemenuhan kebutuhan ini bisa membuat manusia
tertekan dan frustrasi.
Ketiga, lapis kesadaran transendental, sebuah lapis kesadaran yang mengacu kepada dimensi-dimensi di
luar batas manusiawi tentang mistery of life. Kondisi inilah yang membuat manusia melakukan
transendensi diri untuk menguak semua misteri kehidupannya, dimensi hidup yang kompleks, mencari
eksistensi diri lewat beragam upaya pengembangan diri, ilmu pengetahuan, filsafat, dan religiositas.
Ketiga lapis kesadaran itu akan bersinergi dalam situasi-situasi stabil dan normal. Misalnya, orang yang
makan dan minum, pada satu momentum tertentu, bisa sebagai upaya mengenyangkan perut lapar,
bersosialisasi, namun sekaligus ketertundukan kepala oleh rasa syukur, haru sekaligus sukacita atas
kemurahan hatiTuhan.Sikap pro hedonisme instan yang serba sensasi(onal), seketika, sesaat, hanya
berada di lapis kesadaran psikobiologis, lapis terendah kesadaran manusiawi. Jadi singkatnya, sikap-
sikap anti-aktualisasi diri serta pro hedonisme instan sebagai dasar pola hidup atau budaya jalan pintas
tampaknya sangat menghegemoni kehidupan kita semua, masyarakat Indonesia.
Berbagai contoh di awal tulisan mengisyaratkan hal itu secara eksplisit. Secara prinsip, semuanya itu
dilakukan dalam rangka upaya kita (manusia) mendapatkan berbagai peak experiences dalam
kehidupan. Peak experiences (pengalaman-pengalaman puncak) merupakan kebutuhan hakiki manusia
untuk terus-menerus mendaki puncak eksistensinya.
Nah, pola hidup jalan pintas adalah upaya untuk mencapai berbagai pengalaman puncak, namun bersifat
segmental, sepotong-sepotong, sesaat, meaningless, dan bahkan sesungguhnya tidak manusiawi.
Adapun pencapaian pengalaman puncak yang seharusnya dicapai secara esensial adalah komprehensif
dan berkesinambungan, melalui proses aktualisasi diri, serta integral dan meaningful, melalui lapis
kesadaran transendental.
Sampai di sini terlihat jelas, betapa budaya atau pola jalan pintas dalam menjalani kehidupan berbangsa,
bermasyarakat, dan bernegara selama ini sangat kontradiktif dengan prinsip pemenuhan kebutuhan akan
pengalaman puncak melalui aktualisasi diri dan fungsionalisasi kesadaran transendental. Padahal tanpa
semuanya itu, kita sebagai individu warga negara, ataupun kolektif sebagai bangsa, tak akan pernah
mampu menguak batas- batas tertinggi kapasitas manusiawi, sulit menyentuh berbagai misteri kehidupan
yang kaya dengan hakikat kehidupan, mustahil mendaki tangga-tangga tertinggi eksistensi manusiawi.
8
Pada ujungnya, terjadilah semua kontradiksi kondisi dan fakta kehidupan kita sebagai bangsa Indonesia.
Katanya kita adalah bangsa yang besar, kenyataannya kita tetap bangsa yang kerdil oleh berbagai
ketidakadilan, penindasan, dan ketidakmerdekaan. Katanya kita adalah bangsa yang kaya, tetapi
faktanya kita adalah bangsa yang melarat, rakyat tergusur-gusur, pengangguran kececeran, dan kampiun
utang. Katanya kita adalah bangsa yang luhur, tetapi kondisi keseharian justru berkata, kita bangsa yang
culas, bopeng oleh korupsi, manajemen maling, dan lainnya yang serba buruk.
Kebesaran, kekayaan, serta keluhuran memerlukan masyarakat yang mempunyai sikap (mental) penuh
aktualisasi diri serta dikuasai lapis kesadaran transendental dalam kehidupan dan dalam berkarya. Saat
ini kita adalah bangsa yang kerdil, melarat, serta culas, akibat pola hidup jalan pintas.
Republik Indonesia namanya-negeri tercinta ini-mau hidup seribu tahun lagi, setidaknya! Dan itu
memerlukan masyarakat yang penuh aktualisasi diri dan selalu memiliki kesadaran transendental. Negeri
ini bukannya tempat persinggahan sementara semacam diskotik yang dipenuhi orang- orang maniak
pesta pora dengan cara-cara seenaknya atau tempat orang melampiaskan hasrat-hasrat primitif
hedonisme instannya.
Kemajuan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tidak disertai dengan hal yang sama
dalam bidang kehidupan moral, etika dan spiritual. Bahkan, bidang ini makin rapuh dibawa arus
materialisme, hedonisme, pragmatisme dan peradaban modern. Perkembangan dan pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi ternyata melahirkan masalah disharmonis antara pemenuhan tujuan duniawi
dan rohani. Masalah disharmonis ini sangat serius, bahkan melahirkan krisis integrasi diri dan budaya.
Peradaban dunia modern yang diwarnai dengan pola pikir dan gaya hidup yang rasionalitas, materialistis,
hedonis dan pragmatis ternyata belum mampu memberikan kebahagiaan yang sejati. Jawaban yang
diberikan oleh ilmu pengetahuan, sains dan teknologi bersifat parsial, temporal dan lokal, belum mampu
holistik dan komprehensif.
Degradasi moral, keimanan, etika dan spiritual terasa makin tak terbendung. Temuan-temuan di bidang
sains dan teknologi hanyalah sebagai instrumen, bukan tujuan. Sebagai sesuatu yang bebas nilai produk
intelektualitas, sangat bergantung kepada manusia yang menggunakannya.
Dari pengamatan selama bertahun-tahun, bagi Rubag, kehendak setan justru lebih mendominasi
tindakan manusia. Kekacauan yang menjurus ke tindakan serigala makan serigala terus berlanjut dan
semakin menghebat, sementara berbagai jenis sains dan teknologi dikembangkan secara maksimal dan
ajaran agama pun dikumandangkan tak henti-henti. Lucunya, pembunuhan oleh manusia atas manusia
terus berlangsung, bahkan di antaranya dilakukan atas nama Tuhan.
Kehendak bebas, kata Fromm, merupakan kerinduan umat manusia yang teramat dalam di era
kontemporer ini. Liberalisme ekonomi, demokrasi politik, otonomi religius dan individualisme dalam
kehidupan pribadi adalah prinsip-prinsip yang mereka ingin wujudkan. Kerinduan terhadap kebebasan
yang berkesan kontradiktif dengan prinsip-prinsip kebebasan menciptakan bentuk-bentuk penjajahan
baru. Karena, hubungan antara kerinduan dan prinsip bersifat ambivalen atau ambigu, sehingga ketika
keluar dari sarang macan, mereka masuk ke kandang buaya.
Banyak orang kemudian tidak siap menerima kebebasan yang gigih diperjuangkannya, karena terburu
masuk perangkap konsumerisme dan hedonisme. Korupsi, kriminalitas dan prostitusi yang melahirkan
berbagai varian, yang bagi Rubag merupakan kehendak setan, seperti yang difatwakan Luther, menjadi
warna mencolok kehidupan manusia pascamodern yang menganut budaya postmodernisme (postmo).
Rubag tertarik pandangan kaum posmodernis yang mengatakan bahwa mereka tidak punya sejarah,
karena sejarah bagi mereka dimulai hari ini. Karena itu, mereka tidak mau mengingat kejadian-kejadian
masa lampau yang menurut mereka terlalu rumit untuk dipikirkan. Mereka juga tak tertarik memikirkan
isu-isu masa depan, sebab mereka lebih menikmati masa sekarang yang abadi. Sejarah, mitologi dan
buku-buku suci yang mengandung teks terlalu panjang, bagi para pengikut nabi Postmo Lyotard atau
Baudrillard, adalah narasi besar yang cuma memberatkan pikiran dan tidak cocok lagi dipakai pandangan
hidup.
Hedonisme dan konsumerisme lalu dijadikan kredo, sedangkan mal, swalayan, konser musik dan cafe
dipilih sebagai pusat perayaan ritual mereka. Lalu, khotbah yang mereka percaya dan ikuti saran serta
nasihatnya hanya televisi, internet dan radio, karena ketiganya menyajikan narasi-narasi kecil, berupa
sinetron, infotainment dan iklan, yang diselingi irama pop, rock dan dangdut. Dari ketiga berhala baru itu,
mereka menyerap gaya hidup glamour yang bersemboyan, Karena bersenang-senanglah aku ada!
untuk mendekonstruksi semboyan kaum Cartesian, Karena berpikirlah aku ada!
Amnesia sejarah akibat konsumerisme dan hedonisme menyebabkan lahirnya apatisme atau paham
yang tidak peduli atas apa pun yang terjadi. Apalagi masa depan bangsa dan negara.
Menggelembungnya jumlah Golput sebanyak 34,5 juta orang dan swingging voters yang mendongkrak
perolehan suara parpol baru yang jelas belum punya ideologi pada Pemilu 2004 lalu, merupakan indikasi
signifikan atas apatisme tersebut.
Konsumerisme dan hedonisme yang disebarkan kapitalisme global lewat berbagai cara, bagi Rubag,
seakan-akan sudah mendarah daging bagi masyarakat, khususnya kalangan berpangkat dan berduit.
Iklan-iklan menggoda, kata Wahyu Wibowo, mirip seperti nenek sihir yang datang setiap saat di sekitar
masyarakat. Setelah menebar mantra-mantra lalu menghilang, namun segera diganti aktor dan aktris
ganteng dan cantik pemain sinetron sabun, yang di sekujur tubuhnya juga menempel balutan iklan. Dari
sandal atau sepatu hingga jepitan rambut, dari kutek hingga ikatan gigi, merupakan semiotika
konsumerisme yang merangsang orang berduyun-duyun mengunjungi mall, shopping center, dan
swalayan. Teknologi dan desain yang dimodifikasi setiap saat membuat para konsumen membeli karena
keinginan, bukan kebutuhan. Semua dibeli bukan karena belum punya, namun karena yang dimiliki
dirasa ketinggalan zaman dan untuk jaim atau jaga imej, si dompet harus dikuras.
10
DAFTAR PUSTAKA
3. Tjahjono, H, Republik Ini Mau Hidup Seribu Tahun Lagi, www. Bali. Com
5. Www. Bali-Post.co-id.
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Etika sebagai refleksi manusia tentang apa yang dilakukannya dan dikerjakannya mempunyai suatu
tradisi yang panjang.namun banyak gejala menunjukkan bahwa di zaman kita minat untuk etika tidak
berkurang justru bertambah. Sebabnya tentu karena kita lebih dari generasi sebelumnya menghadapi
berbagai masalah moral yang baru dan berat. Masalah-masalah itu ditimbulkan karena perkembangan
pesat dibidang ilmu dan teknologi, tapi juga karena perubahan sosio-budaya yang mendalam yang pada
waktu bersamaanberlangsung dimana-mana dalam masyarakat modern.
Etika adalah pelajaran tentang hidup yang baik dalam pengertian bahwa hal itu merupakan usaha yang
sangat penting untuk mengerti susunan dan prioritas nilai-nilai kita dan bagaimana nilai-nilai tersebut
terpadu harmonis. Aristoteles menulis panjang lebar tentang hidup baik dan kebahagiaan, dan
menegaskan bahwa hidup yang paling baik dan paling bahagia adalah hidup dengan penalaran dan
perbuatan penuh kebajikan.sebagai seorang filsuf dia cenderung menekankan hidup komtemplatif,
hidup berpikir, karena inilah kegiatan manusia yang paling tinggi dalam cara berpikirnya. Namun demikian
dia juga menegaskan bahwa hidup mestinya penuh dengan kesenangan-kesenangan dan sahabat-
sahabat, dengan kehormatan dan famili,dan mestinya bukan hidup terisolasi seperti kehidupan pertapa.
Terlepas dari kecendrungan seseorang terhadap kehidupan penuh kenikmatan yang tak bermoral atau
terhadap hidup religius dengan penyangkalan diri dan kesederhanaan, bila pencarian hidup yang baik
diukur dengan kepuasan perseorangan semata-mata, kitan mungkin akan menjadikan etika sebagai
masalah kesenangan dan selera pribadi yang bersifat subjektif semata-mata.dan bukan lagi masalah
benar atau salah.
Satu cara untuk memperjalan hal ini adalah membedakan diantara sekian pengertian kepuasan yang
berbeda-beda. Sebagai contoh, kita semua tahu bahwa mungkinlah memuaskan kinginan kita yang
mendesak tetapi kemudian kita sendiri yang tidak puas pada akhirnya.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang salah satu filsafat moral yaitu hedonisme dan penerapannya
dalam kehidupan kita sehari-hari. Hedonisme adalah pandangan tentang kesenangan. Dalam dunia
modern ini rupanya hedonisme masih hadir dalam bentuk yang lain. Hedonisme merupakan etika
implicit yang mungkin tanpa disadari dianut oleh banyak individu dewasa ini. Pada kenyataannya mereka
berpegang pada prinsip-prinsip hedonistis. Didalam makalah yang sederhana ini tidak membahas
hedonisme terlalu dalam tetapi hanya mengambil batasan hedonisme dalam kehidupan yang sederhana.
1. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. METODE PENULISAN
Metode penulisan makalah ini dengan cara studi kepustakaan yang mana sumber-sumber tentang
pembahasan hedonisme diambil dari bahan-bahan perpustakaan dan juga internet.
1. SISTEMATIKA PENULISAN
Makalah ini menguraikan tentang hedonisme dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Seluruh
makalah ini diuraikan dalam tiga bab yaitu :
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisikan latar belakang penulisan, ruang lingkup penulisan,
tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
Bab kedua berisikan tentang teori hedonisme, pandangan terhadap hedonisme dan pengaruh yang
ditimbulkan hedonisme dalam kehidupan sehari-hari.
2
BAB III
PENUTUP
1. A. KESIMPULAN
Hedonisme atau pandangan yang menyamakan baik secara moral dengan kesenangan tidak saja
merupakan suatu pandangan pada permulaan sejarah filsafat, tetapi dikemudian hari sering kembali
dalam pelbagai variasi. Tendensi hedonistis terutama tampak dalam filsafat moral Inggris. Filsuf Inggris,
John Locke (1632-1704), misalnya akan menandaskan : kita sebut baik apa yang menyebabkan atau
meningkatkan kesenangan ; sebaliknya , kita namakan jahat apa yang dapat mengakibatkan atau
meningkatkan ketidaksenangan apa saja atau mengurangi kesenangan apa saja dalam diri kita. Juga
dalam utilitarisme Inggris masih terdengar dengan jelas suatu nada hedonistis. Tapi dalam bentuk
modernnya sifat individualistis dan egoistis dari hedonisme Yunani kuno telah ditinggalkan. Hedonisme
yang menjiwai pemikiran modern itu mengakui dimensi social sebagai factor yang tidak bias disingkirkan.
Dalam dunia modern sekarang ini rupanya hedonisme masih hadir dalam bentuk yang lain. Hedonisme
merupakan etika implisit yang mungkin tanpa disadari dianut oleh banyak individu dewasa ini. Dan bukan
saja pada taraf individual hedonisme tersembunyi ini dapat ditemukan , dalam masyarakat luas pun
hedonisme tidak absen. Jika kita menganalisis publisitas periklanan dalam masyarakat yang disebut
konsumeristis sekarang ini, rasanya tidak terlalu sulit untuk menunjukkan dibelakangnya cita-cita
hedonisme.
Sudah sejak sastrawan Inggris, Oscar Wilde, menulis novel Dorian Grey, new hedonism ia sebut sebagai
tuntutan zaman (maksudnya abad ke-18). Namun hedonisme sebetulnya sudah muncul sejak abad ke-4
SM. Bagi para hedonis yang sungguh baik bagi manusia adalah yang memberi kesenangan. Bukankah
sejak kecil manusia selalu merasa tertarik akan kesenangan? Bila kesenangan sudah tercapai , ia tidak
akan mencari sesuatu yang lain lagi.
Mungkin kita tidak perlu sampai membaca Dorian Gray untuk memahami hedonisme baru sesuai dengan
zamannya.cukuplah kita menyetel televisidan memilih salah satu saluran yang mana saja, antara pukul
19.00 21.00. Itu prime time. Artinya jumlah pemirsa diyakini paling banyak. Saat itu semua saluran
menayangkan hiburan mulai dari dangdut, sinetron, kuis sampai gossip.
Tawaran-tawaran kesenangan , ada musik yang dilengkapi dengan goyang tubuh yang kian hari kian
sensual, ada tawaran dapat uang hanya dengan menebak jawaban bagi pertanyaan yang sebagian besar
tidakmencerdaskan.ada dunia rekaan sinetron yang hampir tak ditemukan ketegangan dalam
kehidupan sehari-hari.ada kisah sensasional para selebriti. Tayangan-tanyangan itu pun ditaburi janji
iklan bagi improvement kilat laksana sulap (kulit lebih putih dalam lima hari, tubuh lebih langsing dalam
seminggu, rambut lebih berkilap dalam sekali keramas dengan shampoo produk tertentu). Saking
sibuknya mencari kesenangan , jangan jangan pada akhirnya kita semua Cuma meraih udara kosong ,
sementara para pemilik modal yang membuat kita berlarian mengejar kesenangan yang mereka
tawarkan , meraih laba sebanyak-banyaknya dari kantong jiwa kita yang semakin dangkal.
Dari ini semua dapat disimpulkan bahwa dampak hedonisme dalam kehidupan kita sehari-hari lebih
banyak mengarah kearah yang negatif dan merugikan diri sendiri dan orang banyak.
1. SARAN
Sesuai dengan kesimpulan diatas maka kelompok menyarankan kepada pembaca :
1. Cepat tanggap dan peka terhadap masalah masalah etika yang muncul dalam kehidupan kita
sehari-hari terutama yang berhubungan dengan hedonisme yang bersifat negatif.
2. Meningkatkan pengetahuan khususnya yang berhubungan dengan etika dan penerapannnya
dalam kehidupan kita sehari-hari.
3. Melaksanakan atau mempraktekkan apa yang baik dan meninggalkan apa yang buruk yang
berhubungan dengan pelajaran etika dan hedonisme ini.
4. Kepada perpustakaan untuk lebih banyak menyediakan referensi buku-buku yang berhubungan
dengan etika.
Advertisements
Share this:
Related
EUDEMONISME
UTILITARISME
MENJADI MANUSIA YANG BAIK (ETIKA KEWAJIBAN DAN ETIKA KEUTAMAAN) ( KEUTAMAAN
DAN WATAK MORAL ) ( KEUTAMAAN DAN ETHOS )
Leave a comment
Posted by rudiskes on May 20, 2012 in Uncategorized
EUDEMONISME
Kasuistik
Leave a Reply
Search
Recent Posts
o RENCANA DAN EVALUASI KONSELING HIV/AIDS
Archives
o June 2012
o May 2012
Categories
o Uncategorized
Meta
o Register
o Log in
o Entries RSS
o Comments RSS
o WordPress.com
Blog at WordPress.com.
Entries (RSS) and Comments (RSS)
Follow