Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Maksud

Mengetahui satuan geomorfologi daerah pemetaan


Mengetahui satuan litologi daerah pemetaan
Mengetahui struktur geologi yang ada di daerah pemetaan
Menceritakan sejarah geologi daerah pemetaan

1.2 Tujuan
Mampu mengetahui satuan geomorfologi daerah pemetaan dan
mengklasifikasikannya berdasarkan klasifikasi Brahmantyo
Mampu mengetahui satuan litologi daerah pemetaan
Mampu mengetahui struktur geologi yang ada di daerah pemetaan
Mampu menceritakan sejarah geologi daerah pemetaan berdasarkan data
lapangan yang telah dikumpulkan

1.3 Waktu dan Tempat Pelaksanaan


Tanggal : 14 November s.d 6 Desember 2015
Tempat : Desa Mluweh, Kelurahan Jabungan
Kesampaian daerah : 15 menit dari Universitas Diponegoro

1
BAB II
GEOLOGI REGIONAL

Keadaan Umum Wilayah Semarang


Secara geografis, wilayah Kotamadya Semarang, Propinsi Jawa Tengah
terletak pada koordinat 1101620 - 110 3029 Bujur Timur dan 6 5534
- 7 0704 Lintang Selatan dengan luas daerah sekitar 391,2 Km2. Wilayah
Kotamadya Semarang sebagaimana daerah lainnya di Indonesia beriklim
tropis, terdiri dari musim kemarau dan musim hujan yang silih berganti
sepanjang tahun. Besar rata-rata jumlah curah hujan tahunan wilayah Semarang
utara adalah 2000 - 2500 mm/tahun dan Semarang bagian selatan antara 2500 -
3000 mm/tahun. Sedangkan curah hujan rata-rata per bulan berdasarkan data
dari tahun 1994 - 1998 berkisar antara 58 338 mm/bulan, curah hujan
tertinggi terjadi pada bulan Oktober sampai bulan April dengan curah hujan
antara 176-338 mm/bulan, sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan
Mei sampai bulan September dengan curah hujan antara 58 - 131 mm/bulan.
Temperatur udara berkisar antara 240 C sampai dengan 330 C dengan
kelembaban udara rata rata bervariasi antara 62% sampai dengan 84%.
Sedangkan kecepatan angin rata rata adalah 5,9 Km/jam. Batas batas
Kota Semarang meliputi :
Sebelah Utara berbatasan Laut Jawa, dengan panjang garis pantai 13,6 km
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Semarang
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Demak
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kendal
Secara administrasi, Kota Semarang terdiri dari 16 Kecamatan dan 177
Kelurahan. Letak kota Semarang hampir berada di tengah tengah bentangan
panjang kepulauan Indonesia dari arah Barat ke Timur.

2
2.1 Topografi Daerah Semarang
Kota Semarang memiliki ketinggian beragam, yaitu antara 0,75 348
m di atas permukaan laut, dengan topografi terdiri atas daerah pantai/pesisir,
dataran dan perbukitan dengan kemiringan lahan berkisar antara 0% 45%.

2.2 Morfologi Daerah Semarang


Morfologi daerah Semarang berdasarkan pada bentuk topografi dan
kemiringan lerengnya dapat dibagi menjadi 7 (tujuh) satuan morfologi yaitu:
a. Dataran rendah
Merupakan daerah dataran aluvial pantai dan sungai. daerah bagian barat
daya merupakan punggungan lereng perbukitan, bentuk lereng umumnya
datar hingga sangat landai dengan kemiringan lereng medan antara 0 - 5%
(0-3%), ketinggian tempat di bagian utara antara 0 - 25 m dpl dan di bagian
barat daya ketinggiannya antara 225 - 275 m dpl. Luas penyebaran sekitar
164,9 km2 (42,36%) dari seluruh daerah Semarang. Dataran rendah
membentang sejajar garis pantai Laut Jawa, dengan lebar 2,5 km 10 km,
dengan 10 m di atas permukaan air laut. Daerah ini<ketinggian tempat
membentuk kawasan luapan banjir pada sisi sungai dengan aluvial
hidromorf yang berupa kerikil, pasir, lanau dan lempung. Pertemuan dengan
garis pantai, endapan aluvial membentuk delta berupa pasir, lanau dan
lempung. Akibat gelombang dan pasang surut air laut, maka endapan
tersebut menyebar ke arah Timur Laut dan Barat Daya, dan membuat garis
pantai semakin maju.
b. Daerah Bergelombang
Satuan morfologi ini umumnya merupakan punggungan, kaki bukit dan
lembah sungai, mempunyai bentuk permukaan bergelombang halus dengan
kemiringan lereng medan 5 - 10% (3-9%), ketinggian tempat antara 25 - 200
m dpl. Luas penyebarannya sekitar 68,09 km2. (17,36%) dari seluruh daerah
Semarang.

3
c. Daerah Dataran Tinggi
Merupakan bagian Satuan Wilayah Sungai Kali Garang yang berhulu di
Kaki Gunung Ungaran. Anak sungai berpola meranting, dan masih terus
mengikis tegak lurus kebawah kearah hulu dengan kuat, membentuk daerah
yang mempunyai derajat erosi yang tinggi dan luas.
d. Daerah peralihan,
Terletak diantara Daerah rendah dan Daerah Tinggi. Morfologi daerah
peralihan ini, umumnya berupa daerah perbukitan dengan kelerengan yang
sedang hingga terjal.
Perbukitan Berlereng Landai
Satuan morfologi ini merupakan kaki dan punggungan perbukitan,
mempunyai bentuk permukaan bergelombang landai dengan kemiringan
lereng 10 - 15 % dengan ketinggian wilayah 25 - 435 mdpl. Luas
penyebaran sekitar 73,31 km2 (18,84%) dari seluruh daerah Semarang.
Perbukitan Berlereng Agak Terjal
Satuan morfologi ini merupakan lereng dan puncak perbukitan dengan
lereng yang agak terjal, mempunyai kemiringan lereng antara 15 - 30%,
ketinggian tempat antara 25 - 445 mdpl. Luas penyebarannya sekitar
57,91Km2 (14,8%) dari seluruh daerah Semarang.
Perbukitan Berlereng Terjal
Satuan morfologi ini merupakan lereng dan puncak perbukitan dengan
lereng yang terjal, mempunyai kemiringan lereng antara 30 - 50%,
ketinggian tempat antara 40 - 325 mdpl. Luas penyebarannya sekitar
17,47 Km2 (4,47%) dari seluruh daerah Semarang.
Perbukitan Berlereng Sangat Terjal
Satuan morfologi ini merupakan lereng bukit dan tebing sungai dengan
lereng yang sangat terjal, mempunyai kemiringan lereng antara 50 - 70%,
ketinggian tempat antara 45 165 mdpl. Luas penyebarannya sekitar
2,26 Km2(0,58%) dari seluruh daerah Semarang.
Perbukitan Berlereng Curam

4
Satuan morfologi ini umumnya merupakan tebing sungai dengan lereng
yang curam, mempunyai kemiringan >70%, ketinggian tempat antara 100
- 300 m dpl. Luas penyebarannya sekitar 6,45 Km2 (1,65%) dari seluruh
daerah Semarang.
2.3 Tata Guna Lahan
Penggunaan lahan di wilayah Kotamadya Semarang terdiri dari wilayah
terbangun (Build Up Area) yang terdiri dari pemukiman, perkantoran
perdagangan dan jasa, kawasan industri, transportasi. Sedangkan wilayah
tak terbangun terdiri dari tambak, pertanian, dan kawasan perkebunan serta
konservasi.
2.4 Susunan Stratigrafi
Geologi Kota Semarang berdasarkan Peta Geologi Lembar Magelang -
Semarang (RE. Thaden, dkk; 1996), susunan stratigrafinya adalah sebagai
berikut :
a. Aluvium
Merupakan endapan aluvium pantai, sungai dan danau. Endapan pantai
litologinya terdiri dari lempung, lanau dan pasir dan campuran
diantaranya mencapai ketebalan 50 m atau lebih. Endapan sungai dan
danau terdiri dari kerikil, kerakal, pasir dan lanau dengan tebal 1 3 m.
Bongkah tersusun andesit, batu lempung dan sedikit batu pasir.
b. Batuan Gunung api Gajah Mungkur
Batuannya berupa lava andesit, berwarna abu-abu kehitaman, berbutir
halus, holokristalin, komposisi terdiri dari felspar, hornblende dan augit,
bersifat keras dan kompak. Setempat memperlihatkan struktur kekar
berlembar (sheeting joint).
c. Batuan Gunungapi Kaligesik (Qpk)
BatuanGunungapi Kaligesik berupa lava basalt, berwarna abu-abu
kehitaman, halus, komposisi mineral terdiri dari felspar, olivin dan augit,
sangat keras.
d. Formasi Jongkong

5
Breksi andesit hornblende augit dan aliran lava, sebelumnya disebut
batuan gunungapi Ungaran Lama. Breksi andesit berwarna coklat
kehitaman, komponen berukuran 1 - 50 cm, menyudut - membundar
tanggung dengan masa dasar tufaan, posositas sedang, kompak dan
keras. Aliran lava berwarna abu-abu tua, berbutir halus, setempat
memperlihatkan struktur vesikuler (berongga).
e. Formasi Damar
Batuannya terdiri dari batu pasir tufaan, konglomerat, dan breksi
volkanik. Batu pasir tufaan berwarna kuning kecoklatan berbutir halus -
kasar, komposisi terdiri dari mineral mafik, felspar, dan kuarsa dengan
masa dasar tufaan, porositas sedang, keras. Konglomerat berwarna
kuning kecoklatan hingga kehitaman, komponen terdiri dari andesit,
basalt, batuapung, berukuran 0,5 - 5 cm, membundar tanggung hingga
membundar baik, agak rapuh. Breksi volkanik mungkin diendapkan
sebagai lahar, berwarna abu-abu kehitaman, komponen terdiri dari
andesit dan basalt, berukuran 1 - 20 cm, menyudut - membundar
tanggung, agak keras.
f. Formasi Kaligetas
Batuannya terdiri dari breksi dan lahar dengan sisipan lava dan tuf halus
sampai kasar, setempat di bagian bawahnya ditemukan batu lempung
mengandung moluska dan batu pasir tufaan. Breksi dan lahar berwarna
coklat kehitaman, dengan komponen berupa andesit, basalt, batuapung
dengan masa dasar tufa, komponen umumnya menyudut - menyudut
tanggung, porositas sedang hingga tinggi, breksi bersifat keras dan
kompak, sedangkan lahar agak rapuh. Lava berwarna hitam kelabu,
keras dan kompak. Tufa berwarna kuning keputihan, halus - kasar,
porositas tinggi, getas. Batu lempung, berwarna hijau, porositas rendah,
agak keras dalam keadaan kering dan mudah hancur dalam keadaan
basah. Batu pasir tufaan, coklat kekuningan, halus - sedang, porositas
sedang, agak keras.
g. Formasi Kalibeng

6
Batuannya terdiri dari napal, batupasir tufaan dan batu gamping. Napal
berwarna abu- abu kehijauan hingga kehitaman, komposisi terdiri dari
mineral lempung dan semen karbonat, porositas rendah hingga kedap air,
agak keras dalam keadaan kering dan mudah hancur dalam keadaan
basah. Pada napal ini setempat mengandung karbon (bahan organik).
Batupasir tufaan kuning kehitaman, halus - kasar, porositas sedang, agak
keras, Batu gamping merupakan lensa dalam napal, berwarna putih
kelabu, keras dan kompak.
h. Formasi Kerek
Perselingan batu lempung, napal, batu pasir tufaan, konglomerat, breksi
volkanik dan batu gamping. Batu lempung kelabu muda - tua,
gampingan, sebagian bersisipan dengan batu lanau atau batu pasir,
mengandung fosil foram, moluska dan koral-koral koloni. Lapisan tipis
konglomerat terdapat dalam batu lempung di K. Kripik dan di dalam
batupasir. Batu gamping umumnya berlapis, kristallin dan pasiran,
mempunyai ketebalan total lebih dari 400 m.
2.5 Struktur Geologi
Struktur geologi yang terdapat di daerah Semarang umumnya berupa sesar
yang terdiri dari sesar normal, sesar geser dan sesar naik. Sesar normal
relatif berarah barat - timur sebagian agak cembung ke arah utara, sesar
geser berarah utara selatan hingga barat laut - tenggara, sedangkan sesar
normal relatif berarah barat - timur. Sesar-sesar tersebut umumnya terjadi
pada batuan Formasi Kerek, Formasi Kalibening dan Formasi Damar yang
berumur kuarter dan tersier. Geseran-geseran intensif sering terlihat pada
batuan napal dan batu lempung, yang terlihat jelas pada Formasi Kalibiuk
di daerah Manyaran dan Tinjomoyo. Struktur sesar ini merupakan salah
satu penyebab daerah tersebut mempunyai jalur lemah, sehingga
daerahnya mudah tererosi dan terjadi gerakan tanah.
2.6 Gerakan Tanah
Dari hasil analisis kemantapan lereng diketahui bahwa tanah pelapukan
batu lempung mempunyai sudut lereng kritis paling kecil yaitu 14,85%.

7
pelapukan napal sudut lereng kritisnya adalah 19,5% , Pelapukan batu
pasir tufaan mempunyai sudut lereng kritis 20,8% dan pelapukan breksi
sudut lereng kritisnya 23,5%. Berdasarkan analisis di atas maka daerah
Kotamadya Semarang dapat dibagi menjadi empat zona kerentanan
gerakan tanah, yaitu Zona Kerentanan Gerakan Tanah sangat Rendah,
Rendah, Menengah dan Tinggi.
a. Zona Kerentanan Gerakan Tanah Sangat Rendah
Daerah ini mempunyai tingkat kerentanan sangat rendah untuk terjadi
gerakan tanah. Pada zona ini sangat jarang atau tidak pernah terjadi
gerakan tanah, baik gerakan tanah lama maupun gerakan tanah baru,
terkecuali pada daerah tidak luas di sekitar tebing sungai. Merupakan
daerah datar sampai landai dengan kemiringan lereng alam kurang dari
15 % dan lereng tidak dibentuk oleh endapan gerakan tanah, bahan
timbunan atau lempung yang bersifat mengembang. Lereng umumnya
dibentuk oleh endapan aluvium (Qa), batu pasir tufaan (QTd), breksi
volkanik (Qpkg), dan lava andesit (Qhg). Daerah yang termasuk zona
kerentanan gerakan tanah sangat rendah sebagian besar meliputi bagian
utara Kodya Semarang, mulai dari Mangkang, kota semarang,
Gayamsari, Pedurungan, Plamongan, Gendang, Kedungwinong,
Pengkol, Kaligetas, Banyumanik, Tembalang, Kondri dan Pesantren,
dengan luas sekitar 222,8 Km2 (57,15%) dari seluruh daerah Semarang.
b. Zona Kerentanan Gerakan Tanah Rendah
Daerah yang mempunyai tingkat kerentanan rendah untuk terjadi
gerakan tanah. Umumnya pada zona ini jarang terjadi gerakan tanah
jika tidak mengalami gangguan pada lereng dan jika terdapat gerakan
tanah lama, lereng telah mantap kembali. Gerakan tanah berdimensi
kecil mungkin dapat terjadi, terutama pada tebing lembah (alur) sungai.
Kisaran kemiringan lereng mulai dari landai (5 - 5%) sampai sangat
terjal (50 - 70%). Tergantung pada kondisi sifat fisik dan keteknikan
batuan dan tanah pembentuk lereng. Pada lereng terjal umumnya
dibentuk oleh tanah pelapukan yang cukup tipis dan vegetasi penutup

8
baik cukup tipis dan vegetasi penutup baik, umumnya berupa hutan atau
perkebunan. Lereng pada umumnya dibentuk oleh breksi volkanik
(Qpkg), batu pasir tufaan (QTd), breksi andesit (Qpj) dan lava (Qhg).
Daerah yang termasuk zona ini antara lain Jludang, Salamkerep,
Wonosari, Ngaliyan, Karangjangkang, Candisari, Ketileng, Dadapan, G.
Gajahmungkur, Mangunsari, Prebalan, Ngrambe, dan Mijen dengan
luas penyebaran 77,00 km2 (19,88%) dari luas daerah Semarang.
c. Zona Kerentanan Gerakan Tanah Menengah
Daerah yang mempunyai tingkat kerentanan menengah untuk terjadi
gerakan tanah. Pada zona ini dapat terjadi gerakan tanah terutama pada
daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir tebing jalan atau
jika lereng mengalami gangguan. Gerakan tanah lama dapat aktif
kembali akibat curah hujan yang tinggi. Kisaran kemiringan lereng
mulai dari landai (5 - 15%) sampai sangat terjal (50 - 70%). Tergantung
pada kondisi sifat fisik dan keteknikan batuan dan tanah sebagai
material pembentuk lereng. Umumnya lereng mempunyai vegetasi
penutup kurang. Lereng pada umumnya dibentuk oleh batuan napal
(Tmk), perselingan batu lempung dan napal (Tmkl), batu pasir tufaan
(QTd), breksi volkanik (Qpkg), lava (Qhg) dan lahar (Qpk). Penyebaran
zona ini meliputi daerah sekitar Tambakaji, Bringin, Duwet,
Kedungbatu, G. Makandowo, Banteng, Sambiroto, G. Tugel, Deli,
Damplak, Kemalon, Sadeng, Kalialang, Ngemplak dan Srindingan
dengan luas sekitar 64,8 Km2 (16,76%) dari seluruh daerah Semarang.
d. Zona Kerentanan Gerakan Tanah Tinggi
Daerah yang mempunyai tingkat kerentanan tinggi untuk terjadi
gerakan tanah. Pada zona ini sering terjadi gerakan tanah, sedangkan
gerakan tanah lama dan gerakan tanah baru masih aktif bergerak akibat
curah hujan tinggi dan erosi yang kuat. Kisaran kemiringan lereng
mulai landai (5 - 15%) sampai curam (>70%). Tergantung pada kondisi
sifat fisik dan keteknikan batuan dan tanah. Vegetasi penutup lereng
umumnya sangat kurang. Lereng pada umumnya dibentuk oleh batuan

9
napal (Tmkl), perselingan batu lempung dan napal (Tmk), batu pasir
tufaan (QTd) dan breksi volkanik (Qpkg). Daerah yang termasuk zona
ini antara lain: Pucung, Jokoprono, Talunkacang, Mambankerep, G.
Krincing, Kuwasen, G. Bubak, Banaran, Asinan, Tebing Kali Garang
dan Kali Kripik bagian tengah dan selatan, Tegalklampis, G. Gombel,
Metaseh, Salakan dan Sidoro dengan luas penyebaran sekitar 23,6
km2(6,21%) dari seluruh daerah Semarang.

10
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Satuan Geomorfologi


3.1.1 Bentuklahan Fluvial
Salah satu bentuk lahan pada daerah pemetaan adalah bentuklahan
fluvial. Terdapat induk sungai dan anak sungai dimana pada peta topografi
anak sungai ditandai dengan simbol garis-garis yang tidak tegas,
sedangkan sungai induk pada peta topografi ditandai dengan simbol garis
yang berwarna biru tegas. Pada peta topografi daerah pemetaan, satuan
deliniasi daerah fluvial untuk sungai induk diberi warna hijau pada kertas
kalkir. Disamping itu juga, adanya sungai pada daerah tersebut ditandai
dengan adanya endapan yang berada di tengah alur sungai atau disebut
sebagai channel bar serta terdapatnya meander atau kelokan sungai pada
kenampakan topografinya.
Dari kenampakan aliran sungai pada peta topografi tersebut, maka
dapat diindikasikan bahwa pola pengaliran sungai tersebut yaitu pola
pengaliran dendritik. Hal tersebut disebabkan karena adanya aliran anak-
anak sungai yang bercabang dari sungai induknya dengan bentuk yang
tidak beraturan. Pola ini berkembang pada daerah dengan litologi batuan
yang resistensinya seragam dan erat kaitannya dengan bentuklahan
structural. Disamping itu juga, pada daerah tersebut terdapat banyak zona
lemah, sehingga akan mengakibatkan adanya rekahan-rekahan dimana
rekahan tersebut akan terisi oleh aliran fluviatil yang dapat memungkinkan
terbentuknya anak sungai yang bercabang-cabang.

11
Gambar 3.1 Pola Pengaliran Dendritik
Bentuklahan fluvial pada daerah pemetaan ini umumnya memiliki
morfologi dengan bentuk yang lurus, memiliki debit air sedikit sehingga
pada saat cuaca cerah sering dijumpai keadaan kering yang dimana banyak
terdapat material sedimen hasil erosi serta material-material lepasan.
Namun terdapat satu aliran sungai yang berada di bagian selatan peta yang
memiliki morfologi berupa meandering-meandering sungai, pada bagian
utara peta juga terdapat morfologi channel bar, selain itu juga terdapat
morfologi point bar, dataran banjir. Pembentukan channel bar dapat
disebabkan karena tingkat resistensi yang berbeda dimana pada bagian
tengah sungai memiliki tingkat resistensi yang tinggi, sehingga tidak
mudah untuk tergerus, selain itu juga disebabkan adanya penghalang
sehingga pada daerah tersebut berlangsung proses pengendapan.
Sedangkan point bar terbentuk karena arus sungai yang lemah pada bagian
tepi sungai sehingga berlangsung pengendapan yang intensif pada bagian
tepi sungai sedangkan dataran banjir merupakan dataran yang tergenang
saat air sungai meluap. Sungai ini memiliki lebar yang cukup besar serta
tingkat erosi yang cukup intensif sehingga dapat digolongkan alam stadia
dewasa.
3.1.2 Bentuklahan Struktural
Struktur yang ditemukan pada daerah pemetaan ini antara lain
berupa perlapisan miring, kekar, sesar, dan lipatan. Dari pengamatan di
lapangan, maka dapat diinterpretasikan bahwa pada daerah lokasi tersebut
memiliki struktur sekunder, yaitu merupakan perubahan morfologi pada

12
batuan karena adanya pergerakan dari luar (tenaga tektonik). Untuk
perlapisan miring, pada awalnya akan terendapkan secara horizontality of
strata. Setelah itu, terendapkan kembali litologi secara horizontal yang
tepat berada diatas litologi yang pertama. Kemudian, pada singkapan ini
akan terkena gaya endogen, berupa gaya tektonik sehingga mengakibatkan
perlapisan tersebut termiringkan, dan juga terdapat rekahan pada
perlapisan tersebut. Hal tersebut dikarenakan adanya gaya compress yang
menekan batuan tersebut, sehingga akan terciptanya rekahan-rekahan yang
belum mengalami pergeseran (kekar). Struktur lain berupa rekahan yang
telah mengalami pergeseran yaitu sesar. Serta ditemukan struktur berupa
lipatan. Perlapisan miring yang tersusun oleh litologi tersebut
mengindikasikan terbentuknya struktur berupa lipatan. Hal tersebut
diinterpretasikan berdasarkan strike/dip yang berlawanan. Proses
pembentukan struktur tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh adanya
dorongan dari gaya endogen berupa tenaga tektonik sehingga lapisan
batuan tersebut mengalami deformasi, dimana batas elastis limit telah
terlampaui dan akan terangkat membentuk pelengkungan. Dimana
pelengkungan tersebut belum mengalami kondisi yang patah, akibat
litologi maupun deformasi yang mengenainya tidak mampu untuk
menyebaban perbedaan dari kelurusan litologi yang ada. Akibat pengaruh
lingkungan luar yang sangat tinggi, maka perlapisan tersebut akan
mengalami pelapukan yang sangat tinggi sehingga tidak terlihat begitu
jelas adanya struktur penyerta seperti pada sesar.
3.1.3 Bentuklahan Denudasional
Bentuklahan denudasional ditandai dengan ditemukannya berupa
material soil yang mengindikasikan tingkat pelapukan yang tinggi
sehingga menyebabkan terjadi pergerakkan tanah yang akan menghasilkan
slope yang relative rendah. Satuan deliniasi dicirikan pula oleh daerah
denudasional yang diinterpretasikan memiliki elevasi yang datar karena
adanya proses denudasi yang tinggi baik berupa erosi, pelapukan maupun
gerakan tanah. Disamping itu juga terdapat batas-batas wilayah

13
pemukiman yang ditandai dengan adanya jalan yang membentuk banyak
simpang sehingga terlihat seperti persegi. Daerah denudasional
mengindikasikan bahwa adanya aktivitas manusia pada daerah tersebut
yang menyebabkan adanya pemerataan pada daerah tersebut. Proses yang
terjadi pada kawasan ini dapat berupa proses alami maupun proses buatan
manusia. Dimana pada proses secara alami dapat terjadi salah satunya
yaitu proses longsoran dari dataran yang lebih tinggi yang memiliki
kelerengan yang curam, sehingga lama kelamaan daerah tersebut akan
mengalami keseragaman elevasi.
3.2 Satuan Litologi
3.2.1 Satuan Batulanau
Satuan batulanau pada daerah pemetaan ini memiliki kenampakan
megaskopis berwarna abu-abu. Batuan tersebut memiliki struktur yang
pejal dan kompak, serta tidak adanya lubang-lubang akibat pelepasan gas.
Memiliki tekstur berupa ukuran butir sekitar 1/256 1/16 mm. Dimana
bentuk butir, kemas, dan sortasi pada batuan tersebut tidak dapat
diidentifikasi secara megaskopis. Hal tersebut disebabkan karena pada
batuan tersebut memiliki fragmen yang berukuran sangat kecil. Sehingga
untuk mengetahui bentuk butir, kemas, dan sortasi harus dilakukan
pengamatan secara mikroskopis. Batuan tersebut memiliki komposisi yang
terdiri dari matriks berupa lanau (1/256 1/16 mm). Saat ditetesi dengan
larutan HCl, batuan tersebut berbuih yang ditandai dengan adanya
gelembung gas yang kecil serta tidak mengalami penyusutan pada batuan
tersebut, maka dapat diinterpretasikan bahwa semen penyusun batuan
tersebut bersifat karbonatan.
Berdasarkan dari ukuran butirnya yang kecil, maka dapat
diindikasikan rombakan batuan ini telah tertransport jauh dari batuan
asalnya. Fragmen yang terdapat pada batuan tersebut memiliki ukuran
butir yaitu lempung, sehingga dapat diinterpretasikan bahwa energi
transportasi pada fragmen batuan tersebut tergolong cukup rendah dengan
arus yang lemah. Hal tersebut disebabkan karena ukuran butir penyusun

14
batuan berbanding lurus terhadap energi transportasinya. Disamping itu
juga, pada fragmen batuan tersebut memiliki energi erosi yang tinggi,
karena ikatan antar butirnya sangat kuat. Sehingga sangat sulit untuk
dierosi kembali oleh air.
Berdasarkan deskripsi di atas, maka dapat diinterpretasikan bahwa
pada awalnya material sedimen tersebut akan mengalami erosi ke tempat
yang jauh dari batuan asalnya. Hal tersebut diakibatkan oleh adanya
pengaruh air yang mengalir. Pada saat air yang membawa material
sedimen tersebut mengalami penurunan kecepatan aliran dan energi. Maka
material sedimen tersebut akan mengalami deposisi, karena air yang
mengalir tidak mampu untuk mengangkut material-material sedimen
tersebut. Fragmen pada batuan tersebut mengalami mekanisme transportasi
berupa suspended load. Fragmen-fragmen sedimen tersebut akan
terendapkan pada suatu lokasi tertentu, dimana pada lokasi tersebut akan
terendapkan pula mineral karbonat. Kemudian, mineral karbonat tersebut
akan mengalami transportasi dan deposisi bersamaan dengan material
sedimen tersebut. Dalam jangka waktu yang lama, material sedimen
tersebut akan mengalami proses lithifikasi atau pembatuan menjadi batuan
sedimen klastik.
Berdasarkan diagram Hjulstrom, batuan ini
membutuhkan kecepatan tertentu untuk mentranspor
butir-butirnya dan untuk mengendapkan butir-butirnya.
Dengan komposisi utama berupa lanau yang berukuran
1/256 - 1/16 mm skala Wentworth, pada diagram dapat
dilihat bahwa material tersebut akan terdeposisi pada
kecepatan arus dibawah 0,5 cm/s. Hal tersebut
menunjukkan bahwa untuk mengendapkan material ini
dibutuhkan arus yang sangat tenang, karena ukuran
butirnya yang sangat halus dan densitasnya yang sangat
kecil. Namun ketika kecepatan dinaikkan sedikit saja,
hingga sekitar 30 cm/s, sedimen tersebut akan tertransport

15
dengan cara suspension. Dan untuk mengerosi batuan ini
dibutuhkan kekuatan aliran yang sangat tinggi sekitar 100
1000 cm/s, karena dipengaruhi oleh gaya kohesi antar
partikelnya yang menyebabkan ikatan sangat kuat
sehingga sulit untuk tererosi.

Satuan batulanau ini terdapat hampir pada semua


STA didaerah pemetaan. Namun pada STA 1 STA 23
satuan batulanau ini lebih dominan dibandingkan satuan

batupasir.

Foto 1. Satuan batulanau (lapuk) yang lebih dominan


dibandingkan satuan batupasir(segar) pada STA 22

3.2.2 Satuan Batupasir


Satuan batupasir pada daerah pemetaan ini memiliki kenampakan
yang berwarna coklat yang dapat diidentifikasi secara kasat mata. Pada
batuan tersebut memiliki struktur yang pejal, kompak, serta tidak
menunjukkan adanya lubang-lubang akibat proses pelepasan gas atau yang

16
disebut struktur masif. Batuan tersebut termasuk ke dalam detritus halus,
karena memiliki tekstur yang tersusun atas ukuran butir pasir halus hingga
pasir kasar ( hingga 1 mm) dengan bentuk butir yang membundar atau
rounded. Batuan tersebut memiliki hubungan antar butir yang satu dengan
yang lainnya saling berdekatan dan bersentuhan atau yang disebut kemas
tertutup. Ukuran butiran pada batuan tersebut memiliki keseragaman antar
butir yang sama, sehingga akan memiliki pemilahan yang baik atau
disebut sorted.
Batuan tersebut memiliki komposisi berupa fragmen, matriks, dan
semen yang dapat diidentifikasi secara megaskopis. Batuan tersebut
tersusun atas fragmen-fragmen yang berukuran pasir halus hingga pasir
kasar. Disamping itu juga, pada batuan tersebut tersusun atas matriks atau
ukuran yang lebih kecil dari butir yaitu berupa pasir sangat halus hingga
lempung. Batuan tersebut pada saat ditetesi dengan larutan HCl berbuih
yang ditandai dengan adanya gelembung gas. Hal tersebut dapat
diinterpretasikan bahwa batuan tersebut memiliki semen atau pengikat
antara fragmen dan matriks yang bersifat karbonatan.
Berdasarkan dari bentuk butir yang rounded dan ukuran butirnya yang
kecil, maka dapat diindikasikan rombakan batuan ini telah tertransport
jauh dari batuan asalnya yang menyebabakan bentuk material yang
tertransport semakin membundar. Fragmen yang terdapat pada batuan
tersebut memiliki ukuran butir yaitu pasir kasar, sehingga dapat
diinterpretasikan bahwa energi transportasi pada fragmen batuan tersebut
tergolong cukup rendah dengan arus yang lemah. Hal tersebut disebabkan
karena ukuran butir penyusun batuan berbanding lurus terhadap energi
transportasinya.
Berdasarkan dari ukuran dan bentuk butir, maka dapat
diinterpretasikan bahwa material sedimen tersebut telah mengalami erosi
dan tertransport jauh dari batuan asalnya. Hal tersebut diakibatkan oleh
adanya pengaruh air yang mengalir dengan kecepatan yang rendah. Pada
saat air yang membawa material sedimen tersebut mengalami penurunan

17
kecepatan aliran dan energi. Maka material sedimen tersebut akan
mengalami deposisi, karena air yang mengalir tidak mampu lagi untuk
mengangkut material-material sedimen tersebut. Fragmen pada batuan
tersebut mengalami mekanisme transportasi berupa gravity flow. Dimana
mekanisme transportasi material sedimen tersebut dipengaruhi oleh
gravitasi. Jenis mekanisme transportasi tersebut termasuk ke dalam jenis
grain, karena memiliki sortasi yang baik. Dimana hal tersebut disebabkan
karena bentuk sungai yang relarif landai dan tidak memiliki slope yang
terjal. Disamping itu juga, mekanisme transportasi pada material sedimen
tersebut terjadi secara saltation. Dimana aliran fluida yang ada mampu
mengangkut material sedimen dengan cara meloncat-loncat di atas
permukaan yang diakibatkan adanya gaya gravitasi. Fragmen-fragmen
sedimen tersebut akan terendapkan pada suatu lokasi tertentu, dimana pada
lokasi tersebut akan terendapkan pula material karbonatan. Kemudian,
material karbonat tersebut akan mengalami transportasi dan deposisi
bersamaan dengan fragmen-fragmen material sedimen tersebut. Dalam
jangka waktu yang lama, material sedimen tersebut akan mengalami
proses lithifikasi atau pembatuan. Dimana material karbonat yang
terkandung dalam batuan tersebut akan menjadi semen yang bersifat
karbonatan.
Berdasarkan diagram Hjulstrom, batuan ini
membutuhkan kecepatan tertentu untuk mentranspor
butir-butirnya dan untuk mengendapkan butir-butirnya.
Dengan komposisi utama berupa pasir halus yang
berukuran 1/8-1/4 mm skala Wentworth, pada diagram
dapat dilihat bahwa material tersebut akan terdeposisi
pada kecepatan arus dibawah 1 cm/s. Namun ketika
kecepatan dinaikkan sedikit, hingga sekitar 30 cm/s,
sedimen tersebut akan tertransport dengan cara bedload.
Dan ketika kecepatan aliran dinaikkan lagi hingga 1000

18
cm/s, suatu batuan sedimen bermaterial ini akan
mengalami erosi.

Satuan batupasir ini juga terdapat hampir diseluruh


STA pada daerah pemetaan namun hanya menjadi sisipan
atau bagian dari perselingan dengan satuan batulanau
yang dominan. Namun pada STA 24 26 satuan batupasir
ini bersifat lebih dominan dibandingkan satuan batulanau.

Foto 1. Satuan batupasir yang lebih dominan dibandingkan


satuan batulanau pada STA 18

3.3 Struktur Geologi


Kekar adalah bidang rekahan yang tidak memperlihatkan/adanya
pergeseran yang artinya bagian lapisan/masanya masih berhubung atau
bergabung. Sesar adalah rekahan atau zona rekahan pada batuan yang
memperlihatkan pergeseran atau sudah ada mengalami pergeseran.
Pergeseran pada sesar sendiri bias terjadi sepanjang garis lurus (traanslasi)
atau terputar (translasi). Lipatan adalah hasil perubhan bentuk atau volume

19
dari suatu bahan yang ditunjukan sebagai lengkungan atau kumpulan
lengkungan pada unsur garis atau bidang didalam bahan tersebut.
Pada daerah pemetaan yang telah dilakukan ditemukan indikasi
lipatan jika dilihat secara regional. Hal ini dilihat dari dip yang berlawanan
arah pada beberapa singkapan dilapangan. Namun untuk analisis stereonet
tidak dapat dilakukan untuk menentukan tegasan utama secara pasti karena
data lapangan yang dikumpulkan tidak mencukupi karena lipatan yang
ditemukan hanya berdasarkan arah dip yang berlawanan sehingga tidak
ditemukan informasi lain.
Dalam lapangan yang telah kami petakan/mapping pada daerah
kami, ditemukan struktur geologi yaitu berupa kekar diinterpretasikan
terbentuk karena gaya endogen berupa tektonik (deformasi) karena
memiliki arah gaya utama pada saat pembentukannya, arah gaya utamanya
sendiri diinterpretasikan sesuai dengan analisis yang telah dibuat dengan
menggunakan analisis stereonet didapat sigma 1 60o, N 82o W; sigma 2
29o, N 100o E; dan sigma 3 0o, N 190o E maka gaya tegasan utama kekar
pada daerah pemetaan kami itu berasal dari arah (WE). Arah ini searah
dengan pola jawa yang aktif bergerak pada zaman miosen tengah sampai
miosen akhir. Arah gaya ini sedikit berlawanan dengan arah gaya
pembentuk struktur lipatan itu sendiri dimana arah strike dari tiap STA
dilapangan cenderung berarah Tenggara Barat Laut (SE-NW) yang
menunjukkan arah gaya pembentuk lipatan cenderung dari Timur Laut
Barat Daya (NE-SW). Sedangkan arah ini sesuai dengan pola meratus.
Berdasarkan data tersebut dapat diinterpretasikan bahwa pada wilayah
pemetaan ini terdapat 2 gaya yang bekerja.

3.4 Sejarah Geologi


Pada daerah pemetaan geologi struktur yang dilakukan didaerah
Jabungan dan sekitarnya, Semarang , Jawa Tengah ini diketahui bahwa
wilayah ini termasuk kedalam Formasi Kerek dengan ciri khas berupa
Perselingan batu lempung, napal, batu pasir tufaan, konglomerat, breksi
volkanik dan batu gamping. Batu lempung kelabu muda - tua, gampingan,

20
sebagian bersisipan dengan batu lanau atau batu pasir. Pernyataan tersebut
terbukti setelah dilakukan pemetaan dan pendeskripsian secara langsung
dilapangan dengan ditemukannya satuan batulanau dan satuan batupasir

Pada awalnya litologi batulanau terendapkan pada cekungan


pengendapan berupa laut dalam yang disimpulkan dari litologi yang
ditemukan berupa batulanau dengan cakupan yang cukup luas. Diketahui
bila batulanau memiliki ukuran butir yang halus sehingga membutuhkan
arus yang lemah untuk mengendapkannya. Arus lemah dengan cakupan luas
ini umumnya ditemukan pada wilayah laut dalam. Sedangkan satuan
batupasir yang ditemukan dengan semen karbonat menunjukkan perbedaan
lingkungan pengendapan karena untuk mengendapkan material berukuran
pasir membutuhkan arus yang cukup kuat. Semen karbonatan yang
ditemukan diinterpretasikan bahwa lingkungan pengendapan selanjutnya
terbentuk pada wilayah laut dangkal karena produk semen karbonat
umumnya terdapat pada laut dangkal dengan jumlah yang besar. Hal ini
menunjukkan terjadinya regresi atau turunnya muka air laut. Setelah
pengalami proses litifikasi batuan terkena gaya yang berasal dari arah timur
laut - barat daya (NE-SW) yang sesuai dengan pola meratus yang
berpengaruh besar terhadap tatanan tektonik pulau jawa, sehingga
menghasilkan lipatan dengan strike/dip batuan yang menunjukkan arah
barat laut tenggara (SE-NW). setelah itu batuan mengalami kompresi lagi
dengan arah gaya barat timur (W-E) yang sesuai dengan pola jawa.

21
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemetaan yang telah dilakukan pada daerah Jabungan
dan sekitarnya di Desa Mluweh, Kelurahan Jabungan, Kecamatan
Banyumanik, Kota Semarang, provinsi Jawa Tengah
Geomorfologi daerah tersebut dibedakan menjadi 3 bentuk lahan yang
ada. Dimana terdiri dari bentuk lahan fluvial, struktural, dan
denudasional.
Pada daerah tersebut hampir didominasi secara keseluruhan oleh litologi
batulanau dan batupasir hanya sebagai sisipan.
Struktur yang terbentuk pada daerah tersebut adalah kekar, sesar, dan
indikasi adanya lipatan.

4.2 Saran
Untuk daerah penelitian ini sendiri dapat dimanfaatkan lebih baik lagi
sebagai objek studi geologi selain itu batupasir hasil galian dapat
digunakan sebagai material di dalam pembuatan gelas/kaca sedangkan
batulanau dapat dimanfaatkan sebagi bahan bangunan

22
DAFTAR PUSTAKA

Fahrudin. 2015. Geologi Struktur. Semarang: FASTINDO.

Tim Asisten Geologi Struktur. 2015. Buku Panduan Praktikun Geologi Struktur.
Semarang: Teknik Geologi Universitas Diponegoro.

23

Anda mungkin juga menyukai