Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Tugas 1 10 persen
Uts 30 persen
Uas 35 persen
Pokok-pokok bahsan :
Definisi HPI
Istilah
- Hukum perselisihan
- Hukum collisie
- Hukum antargolongan
- Hukum antar tempat, antar adat
- Hukum antar waktu
- HATAH
- HATAH Intern
- HATAH Ekstern, HPI
HATAH:
Latar belakang
Politik rasial
5. Kemerdekaan Indonesia
Definisi HATAH
HATAH:
W W
TT
P P
S S
W = waktu
T = tempat
P =pribadi
S = soal-soal
WW
T T
P P
S S
WW
TT
P P
S S
WW
T T
P P
S S
Neg. X Neg. Y
Waktu sama, namun tempat dan negara berbeda. Berbeda pula pribadi dan soal-
soalnya.
HATAH Ekstern memiliki unsur asing. HATAH ekstern adalah hukum perdata nasional
mengatur masalah-masalah yag ada unsur asing
HPI
Supra
Sumber hukum SDA
2. Perjanjian Internasional
3. Doktrin
4. RUU HPI Indonesia
- Bawa BW
- Bawa Fotokopi Akte
Sesi 3
Titik Pertalian
Akibat dari penggolongan penduduk adalah warna atau pluralisme warna dalam
hukum di Indonesia.
tidak bicara tetntang golongan penduduk hari ini tapi golongan hukum. Para pihak
masih menjadi
pembeda
Hukum agraria tidak mengunifikasi, masih diakui hak ulayat dalam UU PA.
contohnya Girik yang
5. Agama
Ada Pemerintahan aceh. Hukum yang ada adalah hukum islam. Ada qanun dan KHI.
Inpres berlaku
Orang yang berasal dari satu golongan rakyat melakukan suatu perrbuaan hukum
masuk ke suasana hukum dari
oleh hakim.
7. Agama
Lex rei sitae : hukum tempat letaknya benda. Untuk benda tetap pasti pakai lex rei
sitae
Lex loci actus, lex loci contractus : tempat dilaksanakannya perbuatan hukum,
dibuatnya kontrak
Lex loci delicti comissi : tempat dilakukannya PMH. Jaman sekarang dipandang
terlalu kaku, perlu dilihat milieu (situasi
&kondisi) nya
Subyek Hukum :
- Pribadi Kodrati
- Pribadi Hukum
Mencakup:
Domisili
- Anglo Saxon
- Tempat yang bersangkutan berdomisili
- Domicile of origins
- Domicile of choice
- Domicile by operation of law
Prinsip:
Cakap mampu lakukan perbuatan hukum bisa tanggung jawab pula syarat:
dewasa, tidak diampu
Domicile of origins
By operation of law
Doctrine of revival klo doc lama sdh ditinggalkan dan doc baru belum dapat, of
origins aktif lagi
Habitual Residence
Setidaknya ada 3 teori yang menjelaskan titik laut yang dapat menentukan status
personal badan hukum:
Teori Korporasi
Alasan:
Sesuai logika hukum jika suatu badan hukum tunduk pada hukum dimana
formalitas-formalitas unutuk pendiriannya dilangsungkan sehingga suatu badan
hukum hanya akan mendapat status dari suatu sistem hukum tertentu saja
Teori ini memberi kepastian hukum
Menurut teori ini, badan hukum tunduk atau diatur berdasarkan hukum negara
tempatdimana menurut anggaran dasarnya badan hukum yang bersangkutan
memiliki kedudukan.
Suatu badan hukum harus tunduk pada hukum negara dimana ia memiliki tempat
kedudukan manajemen efektif. Pengikut: Negara-negara civil law di Eropa, kecuali
Belanda dan negara civil law di Amerika Selatan.
Implementasi: Akan bermasalah jika kantor pusat tersebut pindah ke negara lain.
Asas ini beranggapan bahwa status badan hukum ditentukan berdasarkan hukum
dari tempat di mana mayoritas pemegang sahamnya menjadi warga negara (lex
patriae) atau berdomisili (lex domicili).
Asas ini dianggap sudah ketinggalan zaman karena kesulitan untuk menetapkan
kewarganegaraan atau domisili dari mayoritas pemegang saham, terutama jika
komposisi kewarganegaraan atau domisili itu ternyata beraneka ragam.
Status dan kewenangan yuridik suatu badan hukum harus tunduk pada kaidah-
kaidah hukum dari tempat yang merupakan pusat kegiatan administrasi badan
hukum tersebut.
Cara Pembentukan
Sesi 5
Jenis:
Macam:
X Y
Xyz
Oreign court theory consider himself sitting in foreign court double renvoi
Penunjukan:
- Xy
- Yx
- Xy
- Bisa sachnorm atau gesamt
Contoh:
Praktek di Indonesia
Jawaban
1. Untuk mencari titik temu dalam pemasalahan perbedaan dua atau lebih
sistem hukum , baik dalam persoalan perbedaan lingkungan, pribadi, dan
soal-soal
2. HATAH intern hanya berbicara maslaah antar tata hukum yang berbeda di
dalam satu negara. Nanti terbagi pada soal waktu, tempat, dan glongan.
Sementara hatah ekstern berbicra pada masalah perbedaan hukum pada
negara-negara yang berbeda. Dinamai pula dengan HPI
4. Hukum perselisihan kurang tepat karena dia memberi kesan sekana-akan ada
bentrokan di antara sistem hukum yang ada, padahal hukum tersebut
memberikan harmonisasi terhadap perbedaan sistem-sistem hukum yang
ada. Selain itu, kata perselisihan seakan-akan menggambarkan ada sistem
hukum yang lebih diunggulkan dari yang lain, padahal sebenarnya tidak.
Sementara isitilah antar tata hukum lebih bak digunakan, selain karena
berkonotasi lebih baik, frasa tersebut lebih menggambarkan keadaan
sebenarnya di mana terdapat hukum yang menjembatani perbedaan antara
sistem hukum yang ada.
7. Agama
Akibat dari penggolongan penduduk adalah warna atau pluralisme warna dalam
hukum di Indonesia.
tidak bicara tetntang golongan penduduk hari ini tapi golongan hukum. Para
pihak masih menjadi
pembeda
Hukum agraria tidak mengunifikasi, masih diakui hak ulayat dalam UU PA.
contohnya Girik yang
5. Agama
Ada Pemerintahan aceh. Hukum yang ada adalah hukum islam. Ada qanun dan
KHI. Inpres berlaku
Sesi 7
Ketertiban umum
Wirjono Prodjodikoro
bahwa sukar sekali untuk mengadakan suatu ukuran bagi Pengertian
ketertiban umum penentuan suatu ukuran ini juga amat dipersukar oleh
kenyataan bahwa pengertian ketertiban umm mengandung anasir-anasir mngenai
peraturan, sedangkan penentuan aturan adalah hasil pekerjaan pikiran belaka
Contoh kasus:
- kasus tante raja belanda
- kasus sophia lauren
- kasus Yani Haryanto vs ED8 F. MAN (sugar)
Soal intesitas
- banyak dan eratnya hubungan perkara yang bersangkutan dengan keadaan
di dalam negeri
- pengecualian untuk tindakan yang bersifat barbar
Contoh:
- kasus tembakau jerman
Alasan menolak
- kental dengan muatan politis --> kasus pernikahan nazi jerman
- erat kaitannya dengan muatan policy making --> makanya di Anglo saxon
KU seri ng disebut policy making
Di Indonesia
- 1337 BW --> dalam rechtsorde
- 23 AB --> keamanan
- sebagai sinonim keadilan
KKonsepsi KU:
- konsepsi romawi
- konsepsi jerman
- konsepsi anglo saxon
- konsepsi negara sosialis
Romawi-perancis:
- dipergunakan hukum sendiri
- ordre public bukan pengecualian
Romawi-italia:
- salah satu dari tiga bangunan HPI:
1. prinsip nasionalitas
2. Ketertiban umum
3. Pilihan hukum
Jerman:
- vorbehalt klausel dianggap sebagai pengecualian
Pasal 30 EGBGB --> KU kalau ketergantungan dengan kesusilaan atau
maksud tujuan dari perundang-undangan jerman
- hanya klo secara keras sangat menusuk, klo cmn ketidaksamaan gk
dianggap bertentangan
Anglo-saxon:
- public policy
- politik memegang peranan penting
- act of state doctrine:
1. luther vs sagor --> perusahaan kayu
2. Princess palay olga vs weiss --> harta warisan
Negara sosialis:
- hanya yg bertentangan dengan prinsip uud soviet yg gk dipakai
PENYELUDUPAN HUKUM
Kapan terhadi?
Kosters-dubbink
- berdasarkan kata-kata dalam suatu kaidah hukum
- jika melanggar jiwa dan tujuannya
- secara muslihat
- diberlakukan hukum lain klo emg seharusnya
- dengan cara yg tak hak dan penipu --> ada itikad buruk
Teori obyektif
- gak haruus ada itikad buruk
Teori subyektif
- harus ada itikad buruk
Hubugan KU - PH
- KU karena sendi asasi hukum nasional
- PH karena ia penyeludupan hukum
Wiryonoi
- ku bersifat umum -.> utk semua hal
- ph kasus per kasus
Contoh peristiwa PH
- perkawinan
- perceraian --> Ny. Mr. I. Tj
- naturalisasi --> perceraian orang cirebon; nottebohm --> orang
belanda ke estonia
- domisili
- kontrak
Sesi 8
Purnadi
Kaidah:
- patokan bersikap tindak
- pencerminan suatu nilai
Kaidah pencerminan
- kaidah pencerminan yang mencerminkan kaidah tidak tertulis
- contoh:
1. UUPA
2. IMA - NV - STBLD 1939/570 - Pribumi bisa megang
3. UU PT
1. teori umum
A. Lex fori
B. Asas hukum dari pihak tergugat - udah gk berlaku lagi
C. Asas hukum dari pihak debitur - biar menyeimbangkan posisi
Lex fori
- hukum sang hakim
- terdiri atas:
A. Formil - selalu
B. Materiil - gak selalu
Sesi 9
PILIHAN HUKUM
1. Definisi: kebebasan yang diberikan kepada kedua belah pihak (party autonomy) dalam
hal kontrak/perikatan mengenai hukum mana yang berlaku bagi tiap-tiap pihak. Hal ini
didasarkan pada asas kebebasan berkontrak (lihat BW/KUH Perdata).
2. Pertanyaan: hukum mana yang akan berlaku bagi para pihak yang terikat, apabila para
pihak misalnya diketahui beda kewarganegaraan?
3. Beberapa dasar pilihan hukum:
Tempat di mana kontrak itu dilangsungkan (lex loci contractus, pasal 18
Algemene Besluit) >> ini cara paling sederhana.
Lokasi objek kontrak, apabila menyangkut kebendaan (lex rei sitae, pasal 17
Algemene Besluit).
Untuk perikatan terkait pekerjaan, didasarkan pada tempat pelaksanaan perikatan
pekerjaan.
4. Bedakan pendasaran pilihan hukum dari tempat kontrak dilangsungkan dengan
pelaksanaan pekerjaan!
5. Misal: X seorang WNI mengadakan suatu perjanjian dengan Y warga negara Singapore di
Vietnam. Apabila ditinjau dari teori lex loci contractus maka hukum yg berlaku bagi
kontraknya adalah hukum Vietnam. Namun demikian, hal ini tidak serta merta
menyebabkan masing-masing pihak tunduk pada hukum negara ybs. Hanya hubungan
hukumnya yang tunduk pada suatu sistem hukum.
6. Mengapa perlu ada pelekatan?
Kontrak dianggap sama spt manusia dan benda, yaitu harus tunduk pd suatu
sistem hukum. Pandangan ini lahir di abad pertengahan.
Memberikan kepastian hukum bagi kedua belah pihak.
Memberikan pilihan penyelesaian sengketa bagi kedua belah pihak.
Menentukan keabsahan suatu kontrak menurut hukum masing-masing negara.
7. Untuk dua pihak yang belum pernah bertemu, dapat diberlakukan lex loci executionis
(tempat dimana pelaksanaan prestasi).
8. Adalah dimungkinkan dalam suatu perikatan berlaku >1 sistem hukum karena isi
prestasinya. Untuk memberikan kepastian, para pihak harus menyatakan hukum mana
yang berlaku bagi perikatan yang berlaku. Hal ini disebut spaltung atau depecage.
9. Terdapat pembatasan tertentu mengenai pilihan hukum, namun hal ini masih menjadi
perdebatan. Tidak semua negara membebaskan para pihak memilih hukum yang berlaku
bagi kontrak, jadi mengenai hal ini harus pula merujuk ke hukum nasional masing-
masing negara. Ex: Brazil tidak mengakui pilihan hukum. Bahkan sampai sekarang,
keberadaan pilihan hukum menjadi perdebatan tersendiri.
10. Pandangan-pandangan:
a. Kontra:
Kok bisa pihak perdata (pribadi kodrati/badan hukum) diberikan
wewenang bagai negara dalam kontrak?
Hukum mana yang mengatur kecakapan para pihak?
Didasarkan pada hukum apa keabsahan kontraknya?
Apakah pilihan hukumnya sudah sah?
b. Pro:
Para pihak perdata yang berperikatan tidak diberikan wewenang bagai
negara. Mereka hanya memilih hukum yang berlaku untuk perikatannya.
Perjanjiannya hanya bersifat perdata, hanya mengikat pihak yang terkait,
tidak mengikat orang lain diluarnya.
11. Dasar pembenar pilihan hukum:
Kecakapan para pihak.
Apakah negara masing-masing memperbolehkan pilihan hukum bagi warga
negara dalam kontraknya.
12. Beberapa legislasi yang memperkuat pengakuan pilihan hukum di Indonesia (diluar
doktrin-doktrin dan Landmark Decision ol eh Prof. Sudargo Gautama):
Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan (Pasal 72).
13. Pilihan Hukum:
Secara tegas tertera di surat kontraknya.
Secara diam-diam, dapat dilakukan via:
o Penggunaan bahasa suatu negara, misal apabila kontrak ditulis dalam
bahasa Indonesia maka dianggap pakai hukum Indonesia.
o Penggunaan bank di suatu negara, misal biaya suatu pekerjaan atau
ongkos jual beli antara WNI dengan WNA dibayar melalui bank di
Indonesia.
o Penggunaan mata uang suatu negara, misal bila biaya suatu perikatan
pekerjaan atau jual beli dibayar menggunakan mata uang Rupiah
Indonesia, maka para pihak (yang berbeda kewarganegaraan dan sistem
hukum tentunya) dianggap taat pada hukum Indonesia.
Proper Law of the Contract, melihat pada titik taut/tendensi terkuat dari
kontraknya (lihat pusat gravitasi nya).
Most Characteristic Connection, melihat pada pihak yang prestasinya paling
berkarakter, misal pelbagai perjanjian perbankan (bank-nya dominan) dan kontrak
jual beli (penjualnya dominan).
Dalam hal suatu perjanjian sedemikian sumirnya sehingga tidak diketahui apakah
para pihaknya melakukan suatu pilihan hukum maka dapat merujuk ke lex loci
contractus atau lex loci solutionis.
14. Batasan-batasan tertentu dalam pilihan hukum:
Bidang Hukum, sebatas perjanjian.
Ketertiban Umum.
Legislasi atau kaidah yang super memaksa, misal dalam PP Nomor 42 tahun 2007
tentang Waralaba harus pakai hukum Indonesia, kontrak kerja hulu migas dan
segala bentuk kontrak kerja yang melibatkan WNI yang harus pakai hukum
Indonesia.
Bukan penyelundupan hukum.
15. Apabila kita bicara pilihan hukum, yang kita bicarakan adalah HUKUM SUBSTANTIF,
bukan hukum acara/prosedural nya, karena hukum acara menganut asas lex fori.
Sesi 10
A. PERKAWINAN CAMPURAN
1. Definisi menurut Pasal 1 GHR, Staatsblad 1898 No 158: perkawinan antara dua orang di
Indonesia yang berbeda hukumnya.
2. Definisi menurut Pasal 57 UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan: Perkawinan
antara dua orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihaknya adalah WNI.
3. Permasalahan dalam perkawinan campuran di Indonesia:
Perbedaan kewarganegaraan di antara para pihak, yang menyebabkan
permasalahan pembagian harta bersama.
Permasalahan hak asuh anak dalam hal putusnya perkawinan.
Permasalahan hak waris.
Permasalahan proses pemutusan perkawinan kalau ada gugatan cerai.
Perbedaan agama sehingga salah satu pihak harus pindah agama.
Perbedaan ketentuan keabsahan perkawinan.
4. Pasal 7 ayat (2) GHR: perbedaan agama, suku bangsa, dan keturunan BUKAN
penghalang terjadinya suatu perkawinan.
5. Menentukan hukum yang berlaku bagi perkawinan:
Lex loci celebrationis (Didasarkan pada tempat diselenggarakannya perkawinan,
yang berfungsi sebagai syarat formil).
Syarat materil yang kembali merujuk ke hukum masing-masing calon mempelai,
harus lihat pantangan-pantangannya dsb, kalau dalam konteks UU Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum perkawinan di
Indonesia.
6. Pengecualian Pasal 2 GHR:
Pasal 73 HOCI: dimungkinkan mengikuti hukum istri saat ada laki-laki non-
Nasrani menikah dgn perempuan Nasrani.
Pasal 75 HOCI (ketentuan perkawinan untuk pribumi Nasrani): untuk laki-laki
bumiputera non-Nasrani agar melakukan pilihan hukum ke arah hukum istri saat
kawin dengan perempuan Bumiputera Nasrani.
Pasal 15 OV: sso bukan Eropa yang hendak menikah dengan orang Eropa harus
tunduk lebih dulu pada hukum perdata Eropa. Pasal ini dikecualikan oleh pasal 12
HOCI: Laki-laki pribumi Nasrani boleh melakukan pilihan hukum yaitu
perkawinannya dengan perempuan eropa dilakukan menurut hukum sang suami.
Ini disebabkan dalam hukum perkawinan Nasrani, monogami adalah kepastian.
7. Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 membatasi ruang lingkup perkawinan
campuran. Namun demikian, dua orang WNA yang menikah di Indonesia tetap dianggap
perkawinan campuran (lihat Pasal 19 UU Nomor 12 tahun 2006 jo. Permenkumham
Nomor 02-HL.05.01/2006).
8. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan sebenarnya mendiamkan
perihal perkawinan beda agama karena dikembalikan kepada agama masing-masing, mis:
hukum perkawinan Katolik yg cenderung membolehkan beda agama karena sedikit lebih
longgar.
9. Pandangan pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 24 tahun 2013 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan: sebenarnya dibolehkan perkawinan beda agama, toh tetap diakui dalam
perihal administrasi kependudukan.
10. Keppres Nomor 12 tahun 1983 yang efektif pada 1 Januari 1989 menghapuskan
kewenangan kantor capil untuk mengawinkan pasangan beda agama, lewat kasus Andi
Vonny Gani seorang perempuan Muslimah yang hendak menikah dengan Petrus Nelwan
seorang laki-laki Kristen Protestan. Sejak itu kantor capil hanya boleh mencatatkan
perkawinan dari pihak non-Muslim yang sah kawin menurut hukum agama masing-
masing. Langkah-langkah yang dilakukan untuk mengakali ini:
Nikah di luar negeri kemudian dicatatkan ke kantor capil Indonesia.
Nikah dua kali (sekali di masjid sekali di gereja dsb). Yang begini menimbulkan
masalah: siapa yang terbitkan surat nikah? Pihak KUA atau gereja, kalau misalnya
melibatkan Muslim dengan Nasrani? Ex: kasus pernikahan Ruhut Sitompul
dengan Anna Rudhiantiana Legawati, yang mana Ruhut mengaku bahwa beliau
hanya kumpul kebo bersama Anna Rudhiantiana Legawati.
Pura-pura pindah agama, yang penting menikah dulu, misal: orang Muslim yang
mau menikah sama orang Nasrani ikut katekisasi kilat biar bisa peneguhan sidi
lalu bisa nikah tak lama setelahnya.
Minta penetapan ke Pengadilan Negeri setempat, misal seperti 2 kasus di PN
Surakarta tahun 2010-2011 yang mengizinkan para pemohon untuk
melangsungkan perkawinan beda agama di hadapan pejabat kantor dinas
Dukcapil (Kependudukan dan Catatan Sipil) Kota Surakarta.
11. Perbandingan prosedur pengesahan nikah:
Islam: kedua calon mempelai mesti mengucapkan dua kalimat syahadat, dengan
dihadiri saksi.
Kristen: harus terlebih dahulu dibaptis, ikut katekisasi dan peneguhan sidi (sidi itu
proses pengakuan iman Kristiani secara pribadi).
Katolik: lebih baik jangan sampai menikah beda agama. Kalaupun terjadi,
anaknya harus dibesarkan menurut iman Katolik.
Hindu: dilarang.
Buddha: tidak ada larangan secara tegas namun disebutkan bahwa sama
keyakinan merupakan salah satu kunci kebahagiaan rumah tangga.
Konfusianisme: tidak ada larangan secara tegas.
12. Secara positif, pasangan yang kawin di luar negeri yang hanya mencatatkan perkawinan
di Indonesia boleh menjalankan prosedur perceraian di Indonesia, namun akan menjadi
masalah ketika ada pihak yg mendalilkan bahwa tidak pernah ada perkawinan, atau lebih
buruknya, pengadilan menolak perkara ini, ex: kasus perceraian Julia Perez vs Damian
Perez yang ditolak oleh PN Jaksel dengan alasan mereka menikah di luar negeri.
13. Pernikahan beda warga negara akan memudahkan si WNA untuk mendapatkan ijin
tinggal tetap dan/atau naturalisasi WNI.
14. Perlu hati-hati dalam menikah dengan WNA. Harus melihat ketentuan pemberian
kewarganegaraan melalui perkawinan, karena bisa saja suatu negara otomatis
memberikan kewarganegaraan lewat perkawinan yang pada akhirnya menyebabkan si
WNI yang menikah kehilangan kewarganegaraan Indonesia-nya akibat mengawini warga
negara asing tertentu.
15. Kasus Gloria Natapradja:
Menurut UU Nomor 62 tahun 1958, ia dianggap warga negara Perancis sehingga
harus mengurus izin tinggal secara berkala. Masalahnya, keharusan ini seringkali
menyebabkan anak rentan dideportasi akibat risiko telat mengurus izin tinggal.
Menurut UU Nomor 12 tahun 2006, ia dapat dianggap sebagai WNI karena
mewarisi kewarganegaraan Indonesia dari ibu berdasarkan CEDAW, namun hal
ini tetap masih memerlukan permohonan kepada hakim.
16. Anak-anak eks-kewarganegaraan ganda tetap berhak tinggal di Indonesia karena mereka
diperkenankan mengurus izin tinggal tetap.
B. PERALIHAN AGAMA
1. Secara hukum, sepanjang seseorang sudah menjalani ritual masuk agama (misal:
mengucapkan dua kalimat syahadat dengan disaksikan sejumlah umat untuk masuk Islam
atau menjalani proses pembaptisan dan sidi bagi agama Kristen Protestan, CMIIW),
maka ia dianggap masuk ke agama ybs.
2. Konteks HATAH: ada proses peralihan sosial.
Sudahkah ia meninggalkan ritus-ritus agama sebelumnya?
Sudahkah ia diterima oleh komunitas penganut agama barunya?
Sudahkah cara hidupnya dianggap sama oleh penganut agama barunya?
3. Contoh kasus modern: Asmirandah yang murtad ke agama Kristen Protestan untuk
menikah dengan Jonas Rivano.
4. Contoh kasus zaman dulu: kasus Tjoa Peng An, seorang Tionghoa yang pindah ke agama
Islam dan ganti nama jadi Kartoprawiro namun peralihan sosialnya belum dianggap
lengkap dan kasus Nyonya JMR seorang Eropa yang kawin dengan seorang pengacara
pribumi bernama Mr. I. Tj secara Islam namun kemudian murtad dan menceraikan
suaminya. Putusan ini dikritik keras.
Sesi 11
Perkawinan
- formeel
- materieel --> hukum masing2 pihak yg menikah
Kenapa perkawinan bisa jadi alasan persamaan hak --> karena ada ketentuan
hukum swuami
Pasal 2 GHR --> istri ikut hukum suami --> hendak memberikan refleksi
persamarataan
OV, HOCI, GHR masih berlaku kalau tidak diatur dalam UU Perkawinan -->
pasal 66 UU Perkawinan
Pasal 19 UU 12 2006 --> klo udh kawin sah, 5 tahun turut2 atau 10 tahun
turut2, atau klo gk mau bisa dpt izin tinggal tetap. Hati2 klo negara lawan
ngasih kewarganegaraan.
Klo anak dari dua orangtua beda WN, bisa dimintakan dwi kewarganegaraan
terbatas ke kementerian hukum dan ham.
Peralihan Agama
Kasus:
- Tjoa Peng An
- Mr I.TJ
Sesi 12
Actionability
Justifiability
Jerman --> orang jerman gk bisa dituntut lbh besar dari yg diatur di jerman
Lex loci delicti gk bisa diberlakukan krn terlalu kaku --> muncul proper law of
the tort
PMH
1. Dalam PMH berlaku asas lex loci delicti commissi (hukum yang berlaku adalah hukum
tempat PMH itu dilakukan). Asas lain yang dapat juga berlaku yaitu lex fori, Recht van
de dader (hukum yang berlaku adalah hukum yang berlaku bagi si pelaku) dan masuknya
pelaku ke dalam suasana hukum korban.
2. Bila dalam suatu PMH tempatnya sulit ditentukan dapat digunakan lex fori, yaitu
dikembalikannya hukum yang berlaku pada hakim.
3. Recht van de dader dapat diterapkan apabila masalah PMH yang terjadi melibatkan antar-
golongan, mis: apabila orang Bumiputera melakukan PMH terhadap orang golongan
Eropa maka yang berlaku adalah hukum adatnya.
4. Lex loci delicti commissi dapat digunakan apabila tempat PMH jelas.
5. Persoalan-persoalan HATAH dalam PMH:
Hukum mana yang berlaku?
Apakah menurut hukum yang berlaku perbuatan tersebut masuk PMH?
Apabila masuk PMH, apa akibatnya? Bagaimanakah ganti ruginya?
6. Dalam perihal PMH, Hard and fast rule didasarkan pada dimana perbuatan fisik yang
dianggap PMH itu dilakukan tanpa memandang akibatnya. Namun demikian, ini dapat
berubah mengingat penentuan locus tidak selamanya merujuk kepada lokasi dimana
PMH itu terlaksana, namun bisa saja merujuk ke di mana akibatnya terasa.
7. Dalam konteks HATAH Ekstern, kita juga bicara yurisdiksi, misal: dalam penerbangan
Japan Airlines jurusan Jakarta Amsterdam via Osaka, ada orang kehilangan kopernya.
Sepanjang penerbangan ia dianggap tunduk pada hukum Jepang sesuai nomor lambung
pesawatnya, namun saat ia hendak menggugat dapat digunakan hukum Indonesia demi
alasan efektivitas dan efisiensi.
8. Perbandingan: Indonesia menganut lex loci delicti commissi dengan subsider lex fori
dalam praktik, sementara Inggris menganut actionability (apakah PMH yang dimaksud
merupakan PMH menurut kedua belah pihak), justifiability, dan Proper Law of the Tort.
Jerman, di sisi lain, punya aturan yang berbeda dalam hal ganti rugi, yakni hanya berhak
mengganti rugi menurut hukum Jerman.
9. Proper Law of the Tort: mana hukum yang dianggap paling sesuai diterapkan dalam
perkara perdata. Sebab: lex loci delicti commissi dipandang terlalu kaku untuk PMH yang
kebetulan. Sama seperti Proper Law of the Contract, Proper Law of the Tort juga
merujuk kepada pusat gravitasi alias yurisdiksi mana yang dianggap lebih dominan.