Anda di halaman 1dari 8

TUJUAN

1. Mengetahui mula kerja (onset of action) analgetik pada pemberian peroral dan
intraperitoneal. Parameter yang diukur adalah waktu (menit) mulai analgetik
diberikan sampai terjadi pengurangan rasa nyeri.
2. Mengetahui puncak efek (peak effect) analgetik pada pemberian peroral dan
intraperitoneal. Parameter yang diukur adalah waktu (menit) terjadi pengurangan rasa
nyeri terhadap rangsanga nyeri yang maksimal
3. Mengetahui lama kerja obat (duration of action) analgetik pada pemberian peroral dan
intraperitoneal. Parameter yang diukur adalah waktu (menit) mulai terjadi
pengurangan rasa nyeri sampai pengurangan rasa nyeri menghilang
4. Dapat membandingkan onset dan durasi kerja obat yang diberikan secara peroral dan
intraperitoneal.

TINJAUAN PUSTAKA
Farmakokinetik
Ilmu yang mempelajari kinetika absorpsi, distribusi dan eliminasi (yakni, ekskresi dan
metabolisme) obat (Shargel & Yu, 1988 ; Ganiswara, et al, 1995 ; Bauer, 2001) pada manusia
atau hewan dan menggunakan informasi ini untuk meramalkan efek perubahan-perubahan
dalam takaran, rejimen takaran, rute pemberian, dan keadaan fisiologis pada penimbunan dan
disposisi obat (Lachman, et al, 1989).
Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau efek tubuh
terhadap obat. Farmakokinetik mencakup empat proses, yakni absorpsi (A), distribusi (D),
metabolisme (M), dan eksresi (E). Metabolisme atau biotransformasi , dan eksresi bentuk
utuh atau bentuk aktif, merupakan proses eliminasi obat.
Absorpsi
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah.
Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut
sampai dengan rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Yang terpenting adalah cara
pemberian obat per oral, dengan cara ini tempat absorpsi utama adalah usus halus karena
memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni 200m 2 (panjang 280cm, diameter 4cm,
disertai dengan vili dan mikrovili)
pemberian obat di bawah lidah hanya untuk obat yang sangat larut dalam lemak,
karena luas permukaan absorpsinya kecil, sehingga obat harus melarut dan diabsorpsi dengan
sangat cepat, misalnya nitrogliserin. karena darah dari mulut langsung ke vena cava superior
dan tidak melalui vena porta, maka obat yang diberikan sublingual ini tidak mengalami
metabolisme lintas pertama oleh hati (first pass metabolism).
pada pemberian obat melalui rektal, misalnya untuk pasien yang tidak sadar atau
muntah hanya 50% darah dari rektum yang melalui vena porta, sehingga eliminasi lintas
pertama oleh hati juga hanya 50%. akan tetapi absorpsi obat melalui mukosa rektum sering
kali tidak teratur dan tidak lengkap, dan banyak obat menyebabkan iritasi mukosa rektum.
absorpsi sebagian besar obat secara difusi pasif, maka sebagai barier absorpsi adalah
membran sel epitel saluran cerna, yang seperti halnya semua membran sel ditubuh kita,
merupakan lipid bilayer. dengan demikian, agar dapat melintasi membran sel tersebut,
molekul obat harus mempunyai kelarutan lemak (setelah terlebih dahulu larut dalam air).
kecepatan difusi berbanding lurus dengan derajat kelarutan lemak molekul obat (selain
dengan perbedaan kadar obat lintas membran, yang merupakan driving force proses difusi,
dan dengan luasnya area permukaan membran tempat difusi).
Distribusi
Apabila obat mencapai pembuluh darah, obat akan ditransfer lebih lanjut bersama aliran
darah dalam sistem sirkulasi. Akibat perubahan konsentrasi darah terhadap jaringan, bahan
obat meninggalkan pembuluh darah dan terdistribusi ke dalam jaringan (Mutscler, 1985).
Pada tahap distribusi ini penyebarannya sangat peka terhadap berbagai pengaruh yang terkait
dengan tahap penyerapan dan tahap yang terjadi sesudahnya yaitu peniadaan, serta terkait
pula dengan komposisi biokimia serta keadaan fisiopatologi subyeknya, disamping itu perlu
diingat kemungkinan adanya interaksi dengan molekul lainnya. Pada tahap ini merupakan
fenomena dinamik, yang selalu terdiri dari fase peningkatan dan penurunan kadar zat aktif.
Pengertian akumulasi dan penimbunan terutama penimbunan bahan toksik, harus dijajaki dari
sudut pandang dinamik, maksudnya melihat perbedaan antara kecepatan masuk dan
kecepatan keluar. Sebenarnya penimbunan bahan toksik merupakan efek racun dan hasil fatal
sebagai akibat lambat atau sangat lambatnya laju pengeluaran dibandingkan laju penyerapan
(Aiache,1993).
Metabolisme
Obat yang telah diserap usus ke dalam sirkulasi lalu diangkut melalui sistem pembuluh porta
(vena portae), yang merupakan suplai darah utama dari daerah lambung usus ke hati. Dalam
hati, seluruh atau sebagian obat mengalami perubahan kimiawi secara enzimatis dan hasil
perubahannya (metabolit) menjadi tidak atau kurang aktif, dimana proses ini disebut proses
diaktivasi atau bioinaktivasi(pada obat dinamakan first pass effect). Tapi adapula obat yang
khasiat farmakologinya justru diperkuat (bio-aktivasi), oleh karenanya reaksi-reaksi
metabolisme dalam hati dan beberapa organ lain lebih tepat disebut biotransformasi (Tjay dan
Rahardja, 2002).
Faktor yang mempengaruhi metabolisme obat yaitu induksi enzim yang dapat meningkatkan
kecepatan biotransformasi. Selain itu inhibisi enzim yang merupakan kebalikan dari induksi
enzim, biotranformasi obat diperlambat, menyebabkan bioavailabilitasnya meningkat,
menimbulkan efek menjadi lebih besar dan lebih lama. Kompetisi (interaksi obat) juga
berpengaruh terhadap metabolisme dimana terjadi oleh obat yang dimetabolisir oleh sistem
enzim yang sama (contoh alkohol dan barbiturat). Perbedaan individu juga berpengaruh
terhadap metabolisme karena adanya genetic polymorphism, dimana seseorang mungkin
memiliki kecepatan metabolisme berbeda untuk obat yang sama (Hinz,2005).
Bila obat diberikan per oral, maka availabilitas sistemiknya kurang dari 1 dan besarnya
bergantung pada jumlah obat yang dapat menembus dinding saluran cerna (jumlah obat yang
diabsorpsi) dan jumlah obat yang mengalami eliminasi presistemik (metabolisme lintas
pertama) di mukosa usus dan dalam hepar (Setiawati, 2005).
Obat yang digunakan secara oral akan melalui lever (hepar) sebelum masuk ke dalam darah
menuju ke daerah lain dari tubuh (misalnya otak, jantung, paru-paru dan jaringan lainnya). Di
dalam lever terdapat enzim khusus yaitu sitokrom P-450 yang akan mengubah obat menjadi
bentuk metabolitnya. Metabolit umumnya menjadi lebih larut dalam air (polar) dan akan
dengan cepat diekskresi ke luar tubuh melalui urin, feses, keringat dan lain-lain. Hal ini akan
secara dramatik mempengaruhi kadar obat dalam plasma dimana obat yang mengalami first
pass metabolism akan kurang bioavailabilitasnya sehingga efek yang di hasilkan juga
berkurang (Hinz, 2005).
Tipe metabolisme dibedakan menjadi dua bagian yaitu Nonsynthetic Reactions (Reaksi Fase
I) dan Synthetic Reaction (Reaksi Fase II). Reaksi fase I terdiri dari oksidasi, reduksi,
hidrolisa, alkali, dan dealkilasi. Metabolitnya bisalebih aktif dari senyawa asalnya. Umumnya
tidak dieliminasi dari tubuh kecuali dengan adanya metabolisme lebih lanjut. Reaksi fase II
berupa konjugasi yaitu penggabungan suatu obat dengan suatu molekul lain. Metabolitnya
umumnya lebih larut dalam air dan mudah diekskresikan (Hinz, 2005).
Metabolit umumnya merupakan suatu bentuk yang lebih larut dalam air dibandingkan
molekul awal. Perubahan sifat fisiko kimia ini paling sering dikaitkan dengan penyebaran
kuantitatif metabolit yang dapat sangat berbeda dari zat aktifnya dengan segala akibatnya.
Jika metabolit ini merupakan mediator farmakologik, maka akan terjadi perubahan, baik
berupa peningkatan maupun penurunan efeknya (Aiache, 1993).
Ekskresi
Pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh terutama dilakukan oleh ginjal melalui air seni
disebut ekskresi. Lazimnya tiap obat diekskresi berupa metabolitnya dan hanya sebagian
kecil dalam keadaan asli yang utuh. Tapi adapula beberapa cara lain yaitu melalui kulit
bersama keringat, paru-paru melalui pernafasan dan melalui hati dengan empedu (Tjay dan
Rahardja, 2002). Turunnya kadar plasma obat dan lama efeknya tergantung pada kecepatan
metabolisme dan ekskresi. Kedua faktor ini menentukan kecepatan eliminasi obat yang
dinyatakan dengan pengertian plasma half-life eliminasi (waktu paruh) yaitu rentang waktu
dimana kadar obat dalam plasma pada fase eliminasi menurun sampai separuhnya. Kecepatan
eliminasi obat dan plasma t1/2-nya tergantung dari kecepatan biotransformasi dan ekskresi.
Obat dengan metabolisme cepat half lifenya juga pendek. Sebaliknya zat yang tidak
mengalami biotransformasi atau yang resorpsi kembali oleh tubuli ginjal, dengan sendirinya
t1/2-nya panjang (Waldon, 2008).
Bioavabilitas
Bioavailabilitas suatu obat adalah laju dan jumlah relatif obat yang mencapai sirkulasi umum
tubuh (sistem peredaran darah). Laju relatif obat yang mencapai sistem peredaran darah (laju
absorbsi) dapat ditentukan dari konstanta laju absorbsi, sedangkan jumlah relatif obat yang
terabsorbsi dapat ditentukan dari availabilitas absolut atau availabilitas relatif. Manfaat dari
bioavailabilitas diantaranya adalah dapat diketahui waktu yang dibutuhkan suatu obat agar
dapat memberikan efek terapi dan seberapa banyak obat tersebut dapat terserap oleh tubuh.

First Pass Effect (FPE)


[Pengaruh Lintas Pertama] : Perombakan yang dialamiobat dalam dinding
usus(dimetabolisir) dan hati (diekskresi ato diubah secara biokimia) sebelum mencapai
jantung, sirkulasi paru-paru, dan sirkulasi tubuh. FPE dapat menurunkan bioavailabilitas jadi
lebih rendah daripada persentase yangsebenarnya di resorpsi, sehingga efek obat berkurang.
FPE juga bisa meningkatkan bioavailabilitas.
First pass effect adalah keadaan dimana beberapa obat yang dapat diambil oleh hati secara
efisien dan dimetabolisme secara cepat sehingga jumlah obat yang mencapai sirkulasi
sistemik jauh berkurang dibanding jumlah obat yang diabsorbsi masuk ke dalam vena portae.
Beberapa routes of administration yang terhindar dari first-pass effect, antara lain: intravena,
intramuskular, dan sublingual.
Hubungan waktu dan efek obat
Efek farmakologik obat merupakan fungsi dan konsentrasi obat di tempat kerja obat.
Ada tiga fase yang didapatkan dari hubungan waktu dan efek obat, yaitu :
1. Mula kerja (onset of action)
Mula kerja adalah waktu dimana obat mulai memasuki plasma dan berakhir
sampai mencapai konsentrasi efektif minimum (MEC Minimum Effective
Concentration).

2. Puncak Efek (Peak Effect)


Puncak efek adalah proses dimana obat mencapai konsentrasi tertinggi dalam
darah atau plasma.
3. Lama kerja (Duration of action)
Lama kerja adalah lamanya obat mempunyai efek farmakologis. Beberapa
obat menghasilkan efek dalam beberapa menit, tetapi yang lain dapat memakan waktu
beberapa jam atau hari. Kurva respons waktu menilai 3 parameter dari kerja obat :
mula kerja obat, puncak efek, dan lama kerja.
Kadar obat dalam plasma atau serum menurun di bawah ambang atau MEC,
maka ini berarti dosis obat yang memadai tidak tercapai ; kadar obat yang terlalu
tinggi dapat menyebabkan toksisitas.

Cara pemberian obat


Mula kerja, puncak efek, dan lama kerja obat dipengaruhi oleh kecepatan absorpsi,
distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat. Kecepatan absorpsi dipengaruhi oleh cara
pemberian obat. Pada praktikum ini cara pemberian obat yang digunakan adalah peroral dan
intraperitoneal.
1. Pemberian peroral
Merupakan cara pemberian obat melalui mulut dengan tujuan mencegah,
mengobati,mengurangi rasa sakit sesuai dengan efek terapi dari jenis obat. Paling
cocok untuk obat yang diberikan sendiri. Obat harus tahan terhadap lingkungan asam
dalam lambung dan harus menembus lapisan usus sebelum memasuki aliran darah.
Pada pemberian secara oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah dan
didistribusikan ke seluruh tubuh, terlebih dahulu harus mengalami absorbsi
pada saluran cerna.
Beberapa obat diabsorbsi di lambung, namun duodenum sering merupakan jalan
masuk utama ke sirkulasi sistemik karena permukaan absorbsinya yang lebih besar.
Kebanyakan obat diabsorbsi dari saluran cerna dan masuk ke hati sebelum disebarkan
ke sirkulasi. Minum obat bersamaan dengan makanan dapat mempengaruhi absorbsi.
Keberadaan makanan dalam lambung memperlambat waktu pengosongan lambung
sehingga obat yang tidak tahan asam, menjadi rusak atau tidak diabsorbsi. Obat akan
disekresi melalui ginjal dengan tiga proses yaitu penyaringan glomerulus , penyerapan
kembali pada tubulus ginjal , dan sekresi pengangkutan aktif pada tubulus ginjal.

2. Pemberian suntikan intraperitoneal


Penyuntikan dilakukan pada rongga perut sebelah kanan bawah, yaitu di antara
kandung kemih dan hati. Cara ini hanya dilakukan untuk pemberian obat untuk hewan
uji, karena memiliki resiko infeksi yang sangat besar. Intraperitonial akan
memberikan efek yang cepat karena pada daerah tersebut banyak terdapat pembuluh
darah. Hewan uji dipegang pada punggung supaya kulit abdomen menjadi tegang.
Pada saat penyuntikan posisi kepala lebih rendah dari abdomen. Suntikan jarum
membentuk sudut 10o menembus kulit dan otot masuk ke rongga peritoneal.
Alat:
1. Analgetic meter
2. Spuit 1 ml
3. Sonde
4. Stopwatch

Bahan:
1. Tikus
2. Obat analgetik : Antalgin tablet dan metamizol Na (Antrain)

Prosedur kerja:
1. Menentukan ambang nyeri control (diukur sebelum pemberian obat analgetik)
Timbang tikus dan catat beratnya (gram)
Pegang tikus sedemikian rupa sehingga tikus cukup merasa rileks.
Posisikan bagian runcing dari analgetic meter pada sela jari kaki
Letakkan beban pada analgesi meter tersebut dan geser. Dengan 1 beban
bernilai 10 gram/skala, sedangkan jika dipakai 2 beban bernilai 20 gram/skala.
Geser sampai tikus menunjukkan respon nyeri berupa menjerit, mencicit atau
menarik kakinya. Jika dengan satu beban tikus belum menunjukkan respon
nyeri, tambah beban secara bertahap. Catat berat beban (gram) yang
menimbulkan nyeri (beban control)

2. Pemberian analgetik
Tikus perlakuan dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok tikus yang diberi
analgetik peroral dan kelompok tikus yang diberi analgetik secara
intraperitoneal. Hitung dosis obat yang diberikan dengan cara sebagai berikut:
Diketahui : antrain mengandung metamizol 500 mg/ml
Antalgin tablet mengandung metampiron 500 mg
Dosis analgetik metamizol tikus 250 mg/kgBB/kali
Jika berat tikus 100 gr, maka dosis metamizol = 250 x 0,1 kg/kali = 25
mg/tikus
Memasukan obat
a. Peroral, dilakukan per sonde. Gerus 1 tablet antalgin 500 mg, ambil
1/10 nya. Tambahkan CMC dan aquades sampai dengan volumenya
menjadi 1 ml. berikan pada tikus personde
b. Per-intraperitoneal, dilakukan lewat injeksi di daerah perut. Jika
kebutuhan tikus 25 mg/tikus, sedang metamizol 500 mg/ml, maka
kebutuhan tikus dalam ml :
500 mg/ml = 25 mg / x ml
X = 25 / 500 ml
X = 0.05 ml
Ambil metamizol 50 mg dengan spuit sebanyak 0,05 ml, suntikkan
secara intraperitoneal.
3. Menentukan efek analgetik
Pegang tikus secara relaks dan berikan beban pada tikus dengan cara posisikan
bagian runcing dari analgetic meter pada sela jari kaki. Letakkan beban pada
analgesi meter tersebut dan geser. Geser sampai tikus menunjukkan respon
nyeri berupa menjerit, mencicit atau menarik kakinya. Berikan beban sebesar
dua kali berat beban pada tikus control (analgetik dikatakan mempunyai efek
jika setelah analgetik diberikan, tikus mampu menahan beban seberat dua kali
beban kontrol.) setiap 5 menit amati apakah ada respon nyeri tikus (menjerit,
mencicit, atau menarik kakinya). Pengamatan dilakukan sampai menit ke 60.
Catat hasil pengamatan tersebut pada table dan buatlah kurva waktu-% efek.
Tentukan onset dan durasinya
NB:
Efek analgetik (+) : jika tikus tidak memberi respon nyeri saat diberi rangsangan
Efek analgetik (-) : jika tikus member respon nyeri saat diberi rangsangan
Onset : 20% populasi memberikan efek analgetik (+)
Durasi : mulai dari 20% efek analgetik (+) sampai dengan <20% efek analgetik (+)

http://dokumen.tips/documents/injeksi-vs-oral-revisi.html
https://www.scribd.com/doc/99061168/Pemberian-Obat-Per-Oral
https://www.scribd.com/document/250556439/FARMAKOLOGI-MULA-
KERJA-PUNCAK-EFEK-DAN-LAMA-KERJA-OBAT-ANALGETIK-PADA-
PEMBERIAN-PER-ORAL-DAN-INTRAPERITONEAL
https://www.academia.edu/7579886/Bagan_perjalanan_obat7

Anda mungkin juga menyukai