2
Departemen Gizi Masyarakat, FEMA, IPB, dan
3
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta, IPB
Email : phariyadi@ipb.ac.id
ABSTRACT
Food and nutrition crises affect Indonesian development. This study aims to develop general protocol
for prevention and recovery of food and nutrition crises. The data comprises of secondary and primary data.
The crisis protocol is developed by involving experts and resource persons from Sukabumi, Situbondo and
Bogor local governments. The crisis condition could be determined using mechanism of surveillances,
valid, sensitive, and easy to generate indicators. The existing Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi
model could be applied with some modification on its components. The recovery and prevention protocol
should specifically be developed for vulnerable groups which can be determined using 14 non-monetary
indicators developed by CBS, with special priority given to households with children under 5 years and/or
pregnant mothers. The recovery is focused on feeding program for those groups. Prevention program is
designed for the development of economic activities for the targeted households. The local government
need to establish a crisis management team with well defined roles and responsibilities. It is proposed
that Head of Local Governments should have authority to determine, declare crisis condition, and allocate
budget to execute the protocol. In the long run, existing food and nutrition programs; especially SKPG,
Posyandu and UPGKshall be up-graded and improved.
Keywords: food and nutrition crisis, protocol, surveillances, recovery, prevention
Protokol Penanggulangan dan Penyelamatan Krisis Pangan dan Gizi pada Kelompok Rawan 149
Dodik Briawan, Purwiyatno Hariyadi, Eko Hari Purnomo dan Fahim M Taqi
I. PENDAHULUAN mengalami permasalahan kelaparan dengan
tingkat serius. Berdasarkan data Badan Pusat
K risis pangan dan gizi merupakan salah satu
permasalahan penting yang berdampak
terhadap pembangunan nasional Indonesia.
Statistik, rata-rata konsumsi kalori dan protein
per hari penduduk Indonesia secara keseluruhan
yaitu 1.842,75 kkal dan 53,08 gram (2013). Data
Masalah pangan dan gizi ini berkaitan
tersebut menunjukkan bahwa asupan pangan
erat dengan aspek perbaikan kehidupan
dan gizi masih di bawah standar penduduk
masyarakat, terutama untuk mencapai tujuan
golongan tahan pangan (>2000 kkal/kapita/hari).
pembangunan nasional yaitu terwujudnya
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tingkat
kehidupan masyarakat yang sejahtera, adil dan
presentase kemiskinan di Indonesia menurun,
makmur. Berdasarkan UU No.18 Tahun 2012,
akan tetapi hal ini tidak diikuti dengan kenaikan
ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi
rata-rata konsumsi pangan dan gizi penduduk
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
Indonesia. Terhitung sejak tahun 2007 dimana
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup,
rata-rata konsumsi kalora penduduk Indonesia
baik jumlah maupun mutunya, aman, merata
mencapai angka 2014,91 kkal dan terus
dan terjangkau. Pengertian ketahanan pangan
menurun hingga tahun 2012 mencapai angka
tersebut terkandung makna dimensi fisik
1.852,64 kkal. Ketidaktahanan pangan dan gizi
pangan (penyediaan), dimensi ekonomi (daya
juga ditunjukkan oleh masih tingginya prevalensi
beli), dimensi pemenuhan gizi individu, dimensi
gizi buruk dan kurang pada balita mencapai 19,6
keamanan pangan dan dimensi waktu (dimensi
persen pada 2013 (Riskesdas). Angka tersebut
kesinambungan).
meningkat apabila dibandingkan dengan data
Di satu sisi, kemiskinan diidentifikasi Riskesdas pada tahun 2010 sebesar 17,9
sebagai salah satu faktor kritis yang berkaitan persen dan 18,4 persen pada tahun 2007.
erat dengan ketahanan pangan. Kemiskinan
Dalam jangka waktu yang lebih panjang,
menyebabkan akses masyarakat terhadap
kondisi kemiskinan dan kekurangan pangan
pangan menjadi rendah; dan selanjutnya dapat
dan gizi akan lebih memprihatinkan jika risiko
menyebabkan kelaparan dan kekurangan gizi.
akan terjadinya ledakan jumlah penduduk turut
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun
dipertimbangkan. Dengan total fertility rate
2013, proporsi penduduk miskin di Indonesia
(TFR) yang selama lima tahun terakhir (tahun
pada tahun 2013 yaitu sebesar 11,47 persen
2010-2015) mencapai angka 2,442, diperkirakan
atau 28,55 juta jiwa. Standar untuk menetapkan
jumlah penduduk Indonesia selama dua puluh
penduduk miskin tersebut didasari oleh angka
lima tahun mendatang akan terus meningkat
garis kemiskinan yaitu penduduk yang memiliki
yaitu dari 238,5 juta pada tahun 2010 menjadi
pendapatan/penghasilan Rp. 308.826/kapita/
305,6 juta jiwa pada tahun 2035 (Bappenas,
bulan untuk kota dan Rp. 275.779/kapita/bulan
2013). Hal ini layak untuk dikhawatirkan karena
untuk penduduk desa. Sebenarnya, persentase
penyumbang terbesar laju pertumbuhan
penduduk miskin di Indonesia menunjukkan tren
penduduk adalah masyarakat berpenghasilan
menurun semenjak tahun 2006, namun dari segi
rendah yang hidup di bawah garis kemiskinan.
jumlah terjadi peningkatan jumlah penduduk
miskin meskipun tidak signifikan. Hal ini didukung Dalam kaitannya dengan akses terhadap
dengan kenaikan harga kebutuhan sehari-hari. pangan, krisis pangan dan gizi ini diperkirakan
Selain itu, adanya krisis ekonomi yang terjadi akan diperburuk oleh adanya krisis ekonomi
tahun 1998 menyebabkan presentase jumlah global (lihat Gambar 1). Kelesuan ekonomi
penduduk miskin di pada tahun 1999 naik sebagai salah satu dampak logis krisis
menjadi 23,43 persen. Oleh karena itu, dapat keuangan global sudah menampakkan akibat
disimpukan bahwa ada begitu banyak faktor nyata pada ketersediaan lapangan kerja dan ini
yang dapat menyebabkan kemiskinan. terlihat dari presentase jumlah pengangguran.
BPS mencatat pada bulan Agustus 2013
Tingkat kemiskinan di Indonesia telah
dari sebanyak 118,19 juta angkatan kerja di
melahirkan indikator kelaparan (Global Hunger
Indonesia, 7,39 juta diantaranya menganggur.
Index; Grebmer, dkk., 2008) sebesar 11,3,
Meskipun dari segi persentase di bawah 10
yang artinya Indonesia termasuk negara yang
persen, namun tren jumlah pengangguran
Protokol Penanggulangan dan Penyelamatan Krisis Pangan dan Gizi pada Kelompok Rawan 151
Dodik Briawan, Purwiyatno Hariyadi, Eko Hari Purnomo dan Fahim M Taqi
bayi sebanyak antara 17 dan 44 untuk seribu Mekanisme food coping pada rumah
bayi yang dilahirkan. Dalam konteks krisis tangga secara alami akan terjadi pada saat krisis
global, Bank Dunia juga memperkirakan bahwa pangan. Banyak studi yang telah dilakukan untuk
kematian yang disebabkan karena masalah mengkaji strategi pertahanan rumah tangga dari
gizi (malnutrition) secara global akan terjadi krisis pangan. Pada kondisi krisis pangan tingkat
peningkatan antara 200.000 dan 400.000 setiap ringan, rumah tangga akan memaksimalkan
tahunnya, jika kondisi krisis ini berlanjut (sampai potensinya untuk memperoleh pangan, misalnya
tahun 2015 akan mencapai 2,8 juta kematian dengan mencari pekerjaan sampingan, merubah
tambahan) (IMF, 2009). Diingatkan bahwa pola konsumsi pangan, mencari pangan dari
kematian anak-anak di Peru meningkat dengan kebun sekitarnya. Pada tahap kedua, rumah
17.000 sebagai akibat dari krisis ekonomi apada tangga akan menjual aset produktif yang dimiliki
akhir tahun 1980-an (Paxson and Schady, 2005). untuk memenuhi kebutuhan pangan atau
Mengingat pentingnya ketahanan pangan mencari bantuan/pinjaman pangan. Pada tahap
dalam kaitannya dengan kualitas SDM dan ketiga yang lebih parah, maka rumah tangga
ketahanan nasional (Hariyadi, 2009), untuk akan melakukan migrasi (menjadi gelandangan
mengantisipasi kondisi krisis global yang di kota), perpisahan dalam rumah tangga,
mungkin muncul; dan mengingat fenomena atau tindakan kriminal (Usfar, 2002; Setiawan,
perubahan iklim; maka perlu dikembangkan dkk., 2002). Sementara itu proses kekurangan
mekanisme dan protokol untuk penanggulangan gizi pada anggota rumah tangga yang kondisi
dan penyelamatan jika krisis pangan dan gizi fisiologisnya rawan (ibu hamil, anak balita)
terjadi; khususnya pada kelompok rawan. sudah mulai terjadi sejak tahap pertama krisis,
Protokol krisis pangan dan gizi dikembangkan dan akan terus memburuk pada tahapan
dengan melibatkan ahli dan narasumber dari selanjutnya.
pemerintah daerah di Sukabumi, Situbondo Sejak tahap pertama terjadinya krisis
dan Bogor berdasarkan metode survei dan pada rumah tangga, maka intervensi berupa
penggunaan skema SKPG. Kondisi krisis paket bantuan oleh pemerintah sudah sangat
pangan dan gizi dapat ditetapkan dengan sistem diperlukan. Kondisi krisis pangan rumah tangga
survailan menggunakan indikator yang valid, pada tahap pertama memerlukan bantuan
sensitif, dan mudah dikumpulkan.
pemerintah dalam skenario penanggulangan
II. KONDISI SAAT INI yaitu berupa paket produktif agar rumah tangga
mampu memanfaatkan potensi sumberdaya
Beberapa paket program pemerintah telah
internalnya. Pada kondisi krisis pangan rumah
dilakukan dalam menanggulangi krisis di tingkat
tangga tahap kedua dan ketiga, maka Pemerintah
rumah tangga, seperti bantuan beras miskin
(raskin), jaring pengaman sosial (JPS), bantuan perlu melaksanakan skenario penyelamatan,
langsung tunai (BLT), program PNPM, bantuan terutama pada rumah tangga yang mempunyai
kredit UKM dan lainnya. Namun tidak semua anggota kelompok rawan (ibu hamil dan anak
program tersebut efektif untuk mencegah balita), misalnya melalui pemberian makanan
terjadinya peningkatan gizi buruk maupun tambahan (feeding). Program PMT yang
terperosoknya rumah tangga dari status nyaris dilakukan oleh pemerintah saat ini dinilai kurang
miskin menjadi miskin. Kekurangefektifan efektif karena paket produk tidak sesuai dengan
program tersebut misalnya ditunjukkan oleh kebutuhan sasaran, atau karena bantuan PMT
studi yang dilakukan di Bogor terhadap peserta tersebut dikaitkan dengan upaya pemberdayaan
penerima program BLT. Hasil studi berupa survey ekonomi masyarakat. Pemberian bantuan
menunjukkan bahwa rumah tangga rawan pangan atau skema bantuan untuk keluarga
pangan yang memperoleh bantuan BLT hanya miskin seharusnya didasarkan pada pilihan
54,3 persen, dan sebaliknya 18,8 persen yang skenario penyelamatan atau penanggulangan.
tidak rawan malah mendapatkan BLT (Mutiara, Penyelamatan adalah ditujukan kepada rumah
2008). Pada studi lainnya, salah sasaran dalam tangga yang saat itu juga harus diberi makan,
penerimaan BLT tersebut bahkan mencapai sedangkan penanggulangan adalah lebih
44,1 persen (Agustina, 2006). mengarah pada pemberdayaan rumah tangga.
Protokol Penanggulangan dan Penyelamatan Krisis Pangan dan Gizi pada Kelompok Rawan 153
Dodik Briawan, Purwiyatno Hariyadi, Eko Hari Purnomo dan Fahim M Taqi
Sebagaimana diilustrasikan pada Gambar
2, kegagalan produksi atau krisis ekonomi
dapat mengakibatkan pendapatan masyarakat
menurun yang pada saatnya akan menyebabkan
ketersediaan pangan di masyarakat menjadi
terbatas. Pencegahan pada tahap ini merupakan
pencegahan yang sangat dini sebelum
terjadinya penurunan persediaan pangan
di masyarakat. Pada tahapan ini, intervensi
(protokol) penanggulangan yang efektif dapat
mencegah terjadinya kerawanan pangan di
masyarakat yang semakin memburuk. Apabila
kondisi berlanjut sampai terjadi krisis pangan,
maka selain bantuan penanggulangan juga
diperlukan bantuan kepada keluarga sasaran
melalui protokol penyelamatan (kuratif).
Gambar 2. Klasifikasi Penanganan Krisis Untuk mencegah terjadinya kejadian rawan
Pangan dan Gizi Menurut Kerangka pangan dan gizi perlu dilakukan pengamatan
Kerja yang Dikembangkan oleh dan kajian setiap indikator yang digunakan
SKPG (Depkes, 2009). sesuai dengan urutan kejadiannya. Indikator
bertujuan untuk menyediakan informasi bagi tersebut ada yang digunakan untuk panduan
penentuan kebijakan, perencanaan program kapan tindakan preventif dan tindakan kuratif
dan penetapan tindakan dalam penanganan harus dilakukan. Analisis situasi pangan dan gizi
masalah pangan dan gizi. Keberadaan SKPG menurut SKPG dilakukan dengan menggunakan
sudah ada sejak tahun 1970-an. Pada awalnya tiga indikator utama; yaitu:
SKPG dikembangkan oleh Kementerian Pertama, indikator pertanian meliputi produksi
Kesehatan dan saat ini dilanjutkan oleh BBKP beras dan produksi setara beras yang dijadikan
dengan tujuan utama untuk memantau keadaan sebagai ratio perimbangan produksi dengan
pangan dan gizi di masyarakat. kebutuhan pangan. Rasio ketersediaan produksi
Protokol Penanggulangan dan Penyelamatan Krisis Pangan dan Gizi pada Kelompok Rawan 155
Dodik Briawan, Purwiyatno Hariyadi, Eko Hari Purnomo dan Fahim M Taqi
(perubahan memburuknya pola konsumsi dan Indikator yang digunakan dalam
penyakit) di suatu wilayah tertentu. Sementara pemetaan SKPG adalah menggunakan data
gizi buruk didefinisikan sebagai keadaan kurang rutin dari masing-masing sub-sektor yang
gizi tingkat berat pada anak-anak berdasarkan terkait. Tantangan dalam kompilasi dan
indeks perbandingan berat badan dan tinggi pengolahan data disebabkan karena Pemda
badan (BB/TB) <-3SD dan atau ditemukan belum mempunyai staf teknis yang kompeten,
tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan sehingga tidak semua daerah (kabupaten/
marasmus-kwashiorkor. Deklarasi KLB berupa kota) yang mempunyai peta rawan pangan
desa tempat terjadinya KLB memerlukan yang secara sekuensial tersedia setiap tahun.
konfirmasi yang dilakukan oleh petugas. Hal Demikian pula sangat jarang intervensi (bantuan
ini dilaporkan apabila terdapat kasus gizi penanggulangan atau penyelamatan) dilakukan
buruk yaitu dengan mengidentifikasi status gizi oleh Pemda yang didasarkan atas peta SKPG.
dengan BB/TB <-3SD atau melihat tanda-tanda
Oleh karena itu, dalam studi ini disarankan bahwa
klinis. Konfirmasi dilakukan secepatnya setelah
peran pemerintah dalam melakukan revitalisasi
diterima laporan. KLB dinyatakan selesai
SKPG untuk meningkatkan ketersediaan data
apabila penderita gizi buruk sudah ditanggulangi
pangan dan gizi di daerah sangat penting.
(sesuai tata laksana gizi buruk), kasus baru lagi
selama 3 bulan < 1 persen, dan faktor resiko Dengan kata lain, program Revitalisasi SKPG
ditanggulangi. sebagaimana dinyatakan dalam Rencana Aksi
Nasional Pangan dan Gizi harus benar-benar
Kelemahan SKPG dari aspek kelembaga- dilaksanakan secara berkelanjutan.
an adalah masih belum jelasnya lembaga
yang secara koordinatif dapat secara efektif IV.
P ENANGANAN DAMPAK KRISIS
menggerakan sub-sektor (dinas/kantor) yang PANGAN DAN GIZI
terkait untuk melaksanakan SKPG mulai dari Seperti telah disampaikan sebelumnya,
pengumpulan, pengolahan dan intervensi. skema penanganan dampak krisis pangan
Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota dan gizi yang dikembangkan didasarkan pada
dengan Ketua Pelaksana Harian Kepala kerangka kerja SKPG. Dengan menggunakan
Dinas Pertanian dinilai tidak efektif dalam
kategori yang sudah ada (Gambar 3), maka
mengkoordinasikan sub-sektor dengan tingkat
visualisasi situasi pangan dan gizi bersama
eselon yang setara. Akibatnya, pelaksanaan
dengan skema penanganannya dapat disajikan
SKPG di beberapa daerah dilaksanakan bukan
pada Gambar 4. Secara umum tingkat
sebagai kegiatan rutin, tetapi lebih merupakan
pelaksanaan krisis pangan dan gizi penanganan
sebagai proyek yang jalan jika tersedia
dibedakan menjadi tiga kategori yaitu: wilayah
anggaran.
Gambar 4. Gradasi Situasi Kerawanan Pangan dan Gizi Serta Skema Penanganannya
Protokol Penanggulangan dan Penyelamatan Krisis Pangan dan Gizi pada Kelompok Rawan 157
Dodik Briawan, Purwiyatno Hariyadi, Eko Hari Purnomo dan Fahim M Taqi
bersangkutan. Peningkatan status gizi juga mandiri pangan tahun 2009).
terkait erat dengan pengetahuan tentang gizi
Me n c e rma t i t u ju a n d a n s a s a r a n
dan sumber gizi agar setiap rumah tangga dapat
proksidemapan maka sangat jelas bahwa
membelanjakan sumberdaya yang dimiliki-
program penanganan pangan difokuskan
nya secara tepat dan bijaksana dalam rangka
pada masyarakat di perdesaan. Oleh karena
mendapatkan asupan gizi yang optimal.
itu proksidemapan ini tidak akan menjangkau
Dari sisi pendanaan, PNPM mandiri dibiaya kelompok rawan pangan di perkotaan.
dengan menggunakan dana yang berasal dari Padahal kita ketahui bersama bahwa masalah
APBN, APBD dan dana masyarakat. Salah kerawanan/krisis pangan dapat terjadi baik di
satu dana masyarakat yang ditargetkan untuk desa maupun di kota. Di samping itu, karena
pembiayaan program ini adalah dana corporate proksidemapan adalah merupakan kegiatan
social responsibility (CSR) dari industri. Sejauh Departemen Pertanian maka dukungan dari
ini penggunaan dana CSR disesuaikan dengan departemen yang lain tidak bisa optimum. Hal ini
kebutuhan masyarakat sekitar industri dan juga teridentifikasi dari hasil survei pelaksanaan
pengelolaan diserahkan sepenuhnya kepada proksidemapan di Kabupaten Sukabumi dan
industi bersangkutan. Oleh karena itu, dalam Situbondo.
rangka mendorong pelaksanaan PNPM mandiri,
Memperhatikan beberapa hal yang telah
pemerintah perlu mengatur porsi minimum
dijabarkan diatas maka program pemberdayaan
pembelanjaan dana CSR untuk pemberdayaan
masyarakat serta program program pen-
masyarakat melalui PNPM Mandiri.
dukungnya dalam rangka menanggulangi
Sementara itu, kegiatan pemerintah dalam dampak krisis terhadap kerawanan pangan
rangka mengatasi dampak krisis terhadap harus dilaksanakan secara kontinu dan
kerawanan pangan lebih banyak dilakukan sebaiknya dilaksanakan di bawah kendali
oleh Kementerian Pertanian (Kementan), Hal satu institusi untuk memudahkan kontrol dan
ini terutama dilakukan oleh Badan Ketahanan menghindari tumpang tindih. Kementerian
Pangan (BKP) Kementan. Salah satu program koordinator bidang kesejahteraan masyarakat
andalan Badan Ketahanan Pangan Kementerian dinilai merupakan institusi yang tepat untuk
Pertanian adalah program aksi desa mandiri mengendalikan program ini. Dalam rangka
pangan (proksidemapan). Tujuan utama menjamin bahwa program pemberdayaan
proksidemapan adalah untuk meningkatkan masyarakat ini mencapai sasaran masyarakat
ketahanan pangan dan gizi (mengurangi maka rumah tangga harus didefinisikan sebagai
kerawanan pangan dan gizi) masyarakat melalui sasaran utama program. Rumah tangga
pendayagunaan sumberdaya, kelembagaan sasaran dan atau kelompoknya harus didorong
dan budaya lokal di perdesaan. Secara lebih dan difasilitasi untuk mengembangkan usulan
khusus, tujuan proksidemapan adalah untuk program permberdayaan yang paling sesuai
meningkatkan kemandirian masyarakat, dengan kebutuhan dan kemampuan yang
meningkatkan peran dan fungsi kelembagaan dimiliki. Oleh karena itu tenaga pendamping
masyarakat desa, mengembangkan sistem harus disediakan oleh pemerintah yang
ketahanan pangan masyarakat desa, sekaligus juga dapat di optimalkan perannya
meningkatkan pendapatan masyarakat, dan untuk memberikan pendidikan gizi, keamanan
meningkatkan aksesbilitas pangan masyarakat. pangan, dan ketahanan pangan. Pendanaan
Proksidemapan dilaksanakan dalam rangka program pemberdayaan ini melibatkan baik dana
memperkuat sistem ketahanan pangan secara pemerintah dalam bentuk APBN dan APBD dan
keseluruhan mulai dari aspek ketersedian (dalam juga dana masyarakat, misalnya berupa dana
bentuk peningkatan produksi dan cadangan CSR yang harus ditetapkan secara jelas.
pangan), aspek distribusi (akses pangan secara
4.2. Program Penyelamatan
fisik dan ekonomi dan stabilisasi harga pangan),
dan aspek konsumsi (penganekaragaman Untuk wilayah risiko tinggi (skor 9 - 12;
konsumsi pangan). Sasaran dari proksidemapan hitam) selain upaya - upaya penanggulangan
adalah rumah tangga miskin di desa rawan perlu dilakukan tindakan ekstra, yaitu upaya
pangan (Pedoman umum program aksi desa penyelamatan. Program penyelamatan
Protokol Penanggulangan dan Penyelamatan Krisis Pangan dan Gizi pada Kelompok Rawan 159
Dodik Briawan, Purwiyatno Hariyadi, Eko Hari Purnomo dan Fahim M Taqi
sasaran. Untuk itu pemberian PMT tersebut karena itu, selain revitalisasi Posyandu, masih
dapat menggunakan bahan makanan lokal diperlukan pula tambahan identifikasi rumah
(Hariyadi, 2010) dan dapat disesuaikan masing- tangga miskin sasaran; misalnya melalui jalur
masing daerah. Pada kajian ini, protokol/SOP administrasi kependudukan struktural RT/
yang disarankan adalah lebih menekankan RW. Demikian pula diperlukan cara identifikasi
protokol pemberian makanan tambahan (PMT) yang lain, yaitu pada rumah tangga miskin di
untuk rumah tangga rawan; dengan mengacu perkotaan yang disinyalir jarang datang ke
panduan yang telah dikembangkan oleh Posyandu.
SEAFAST Center (Astawan, dkk., 2005).
Langkah-langkah intervensi yang perlu
Secara khusus; program penyelamatan dilakukan dalam rangka penanggulangan
untuk bayi dan balita gizi buruk perlu didesain gizi buruk bisa dikembangkan sesuai dengan
secara khusus. Mengacu pada pengalaman karakteristik daerah masing-masing dan
di Kota Bogor, Kabupaten Bogor dan Pusat melibatkan berbagai komponen masyarakat:
Pengembangan Gizi dan Makanan, Kementerian
Pertama, Pengumpulan data. Dalam hal ini
Kesehatan RI di Bogor, maka penanganan
lembaga kesehatan seperti puskesmas, bidan
kasus gizi buruk memerlukan tindakan yang
desa dan kader posyandu bersama unsur
cepat melibatkan perlakuan medis yang tepat
masyarakat lainnya bersepakat melakukan
pula. Secara umum, skema penanganan gizi
pendataan, mencakup jumlah balita, serta
buruk; sebagai bagian dari sistem SKPG secara
jumlah balita yang menderita gizi kurang dan
keseluruhan, dapat diperlihatkan pada skema
gizi buruk.
Gambar 5.
Kedua, Analisis data. Data yang telah diperoleh
Pengalaman Dinas Kesehatan Kabupaten
selanjutnya dianalisis dengan indikator
dan Kota Bogor dalam mengidentifikasi
persentase jumlah balita status gizi baik, gizi
keluarga yang mempunyai anak balita gizi
kurang dan gizi buruk.
buruk adalah melalui Posyandu. Karena itulah
maka kajian ini menyarankan dilakukannya Ketiga, Perumusan Masalah dan Penetapan
revitalisasi Posyandu. Pada saat ini cakupan Kegiatan Penyelamatan. Diskusi dan tukar
kedatangan ke Posyandu mencapai sekitar 60- pendapat perlu dilakukan oleh semua unsur
80 persen. Cakupan kedatangan ke Posyandu masyarakat untuk memberikan pemahaman
akan mengalami peningkatan terutama pada tentang arti penting dan siginifikansi
saat bulan penimbangan balita (Februari permasalahan pangan dan gizi yang ada.
dan September atau bulan imunisasi). Oleh Selanjutnya, perlu dicari kesepakatan rencana
Gambar 5. Skema Penangan Gizi Buruk serta keterkaitannya dengan Posyandu, PPG, dan
Puskesmas (Rumah Sakit)(Sumber: Depkes, 2008b)
Protokol Penanggulangan dan Penyelamatan Krisis Pangan dan Gizi pada Kelompok Rawan 161
Dodik Briawan, Purwiyatno Hariyadi, Eko Hari Purnomo dan Fahim M Taqi
terdaftar di sekolah; (iv) perilaku kesehatan Kriteria kemiskinan (variabel non-moneter)
keluarga; (v) kebiasaan makan (berapa kali untuk Pendataan BLT tahun 2008 adalah (i)
anggota rumah tangga makan dalam sehari); (vi) luas lantai per anggota keluarga < 8 m2; (ii)
sumber air minum; (vii) kondisi rumah (kondisi jenis lantai rumah tanah/papan/kualitas rendah;
fisik rumah secara umum); (viii) pemilikan (iii) jenis dinding rumah bumbu/papan kualitas
barang-barang rumah tangga; (ix) jenis bahan rendah, (iv) tidak adanya fasilitas tempat buang
bakar yang digunakan untuk memasak; (x) air besar; (v) sumber air minum bukan air bersih
sumber penerangan utama; (xi) jumlah pakaian (seperti mata air tidak terlindungi, air sungai atau
anggota rumah tangga yang dapat dipakai tadah hujan); (vi) penerangan yang digunakan
untuk bepergian; dan (xii) keikutsertaan dalam bukan listrik; (vii) bahan bakar yang digunakan
kegiatan masyarakat (seperti perelek di Jawa dari kayu bakar/arang; (viii) frekuensi makan
Barat; jimpitan di Jawa Tengah). dalam satu hari kurang dari dua kali; (ix) tidak
mampu membeli daging/ayam/susu sekali dalam
Di samping indikator-indikator tersebut, seminggu; (x) tidak mampu membeli pakaian
beberapa indikator kemiskinan yang berasal baru bagi setiap ART satu kali dalam setahun; (xi)
dari beberapa hasil kajian yang berkaitan tidak mampu berobat ke poliklinik/puskesmas
dengan dampak krisis perlu dipertimbangkan jika ART sakit; (xii) lapangan pekerjaan kepala
dalam menentukan rumah tangga miskin. rumah tangga petani penggarap, nelayan,
Indikator tersebut diantaranya adalah (i) jumlah pekebun, buruh (upah per bulan kurang dari
anak balita di dalam rumah tangga yang upah minimum propinsi); (xiii) pendidikan kepala
mengalami kekurangan gizi; (ii) jumlah anak rumah tangga tidak pernah sekolah/tidak tamat
usia sekolah SD di dalam rumah tangga tetapi SD/MI; dan (xiv) tidak memiliki aset/barang
tidak bersekolah; (iii) jumlah anggota rumah berharga (misalnya emas, ternak, sepeda motor
tangga yang melakukan lebih dari satu macam atau barang modal lainnya) senilai Rp 500.000
pekerjaan sebagai upaya untuk mendapatkan (upah minimum propinsi).
penghasilan tambahan; (iv) jumlah jam kerja
kepala rumah tangga; dan (v) jumlah anggota Berdasarkan indikator tersebut
rumah tangga yang sedang mencari pekerjaan keluarga dikelompokkan menjadi empat
kategori. Kategori tersebut didasarkan pada
Rumah tangga miskin merupakan korban jumlah komponen indikator yang memenuhi
pertama dari adanya krisis. Namun demikian persyaratan untuk menunjukkan tingkat
munculnya kemiskinan baru dapat terjadi keparahan kemiskinan suatu keluarga, yaitu:
setelah krisis (transitory poverty). Sehingga (i) Keluarga tidak miskin jika hanya memenuhi
LIPI merekomendasikan penggunaan indikator 0-3 indikator; (ii) keluarga hampir miskin jika
pelengkap seperti konsumsi pangan, anak balita memenuhi 4 - 8 indikator; (iii) Keluarga miskin
kurang gizi, anak usia sekolah yang masih jika memenuhi 9 - 12 indikator; dan (iv) Keluarga
sekolah atau tidak sekolah, keterlibatan wanita sangat miskin jika memenuhi 13 - 14 indikator.
dalam aktivitas ekonomi, jumlah aset yang dijual. Keempat belas indikator ini yang digunakan
Pemerintah Indonesia dalam rangka oleh BPS untuk melakukan pandataan
jumlah keluarga miskin di Indonesia. Dalam
mempertahankan kesejahteraan masyarakat
pelaksanaannya pengunaan data ini pernah
yang berpenghasilan rendah terutama
digugat oleh Serikat Rakyat Miskin Indonesia
masyarakat miskin melalui program
(SRMI) yang mengatakan indikator tersebut tidak
kompensasi kenaikan bahan bakar minyak
mewakili kondisi keluarga miskin di Indonesia.
(BBM) diantaranya adalah Bantuan Langsung
Namun putusan PN Jakarta Pusat tanggal 19
Tunai (BLT) (Bappenas, 2007). Penyaluran
Pebruari 2009 menyatakan bahwa BPS telah
BLT plus ditujukan bagi rumah tangga miskin,
melakukan tugas dengan benar. Soemardjan
yakni berupa bantuan dana tunai dan pangan.
(1998) menyarankan skema bantuan akibat
Bantuan pangan diantaranya terdiri dari minyak
berbagai krisis ditujukan kepada keluarga
goreng dan gula, yang rencananya akan
atau rumah tangga sangat miskin dan miskin.
disalurkan melalui RT/RW, sedangkan bantuan
Tahapan prioritas bantuan adalah: (i) Prioritas
dana tunai disalurkan melalui kantor pos, seperti
utama bantuan yang diutamakan untuk keluarga
yang selama ini sudah berlangsung. tersebut adalah untuk pangan, kesehatan
Protokol Penanggulangan dan Penyelamatan Krisis Pangan dan Gizi pada Kelompok Rawan 163
Dodik Briawan, Purwiyatno Hariyadi, Eko Hari Purnomo dan Fahim M Taqi
lembaga yang berwenang menetapkan suatu dan ibu hamil.
daerah termasuk pada kategori kritis/tidak krisis. Kesembilan, upaya penanggulangan lebih
Jika daerah tersebut dinyatakan krisis, maka ditujukan pada daerah yang wilayahnya
kepala daerah diberi kewenangan penuh oleh banyak ditemukan rumah tangga mengalami
undang-undang untuk mengalokasikan APBD kesulitan untuk akses ekonomi. Sehingga
guna membantu penanganan melalui protokol skema bantuan lebih diarahkan pada usaha
penyelamatan maupun penangulangan. produktif di masyarakat. Untuk wilayah
Kedua, penetapan suatu daerah menjadi rawan pedesaan dan pertanian, usaha produktif yang
atau tidak rawan pangan dan gizi didasarkan bisa dilakukan adalah usaha produktif dalam
p a da m ekan isme p e manta u a n wila y a h bidang pertanian dan pangan, melalui program
(surveillances) menggunakan indikator yang Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK). Untuk
valid, sensitif dan mudah diimplementasikan wilayah non-pertanian dan perkotaan, program
oleh Pemerintah Daerah (Pemda). penanggulangan dampak krisis pangan dan
Ketiga, dalam rangka menghindari tumpang gizi diarahkan untuk menggerakkan dan
tindih dan mengefektifkan program maka meningkatkan perekonomian masyarakat.
program penyelamatan dan pemberdayaan Program pemberdayaan harus dilaksanakan
dalam rangka penanganan dampak krisis secara kontinu dan mencakup rumah tangga baik
pangan dan gizi sebaiknya dikoordinasikan yang berada di pedesaan maupun perkotaan.
dibawah kementerian koordinator kesejahteraan 4.2. Saran
rakyat.
Pertama, secara struktuktural kementerian
Keempat, proses pengusulan program pe- koordinator kesejahteraan masyarakat tidak
nanganan (penyelamatan dan penanggulang- membawahi Kementerian Pertanian dan
an) dampak krisis pangan dan gizi perlu dibuat Badan Ketahanan Pangan sebagai institusi
secara sederhana akan tetapi efektif baik yang terkait erat dengan masalah kerawanan
dalam pencapaian tujuan maupun menghindari pangan. Oleh karena itu disarankan agar
kecurangan. wewenang koordinasi kementerian koordinator
Kelima, sistem penanganan dampak krisis kesejateraan masyarakat dapat diperluas
pangan dan gizi yang pernah dikembangkan sehingga mempermudah pelaksanaan program
yaitu Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi pemberdayaan dalam rangka menghadapi krisis
(SKPG) dinilai telah memadai, terutama dengan pangan dan gizi.
komponen isyarat dini (early warning) dan Kedua, disarankan kepada Pemerintah untuk
pemetaan daerah rawan. melakukan revitalisasi beberapa program
Keenam, sasaran rumah tangga miskin yang pangan dan gizi yang sudah ada, yaitu : (i)
harus mendapatkan bantuan dalam program Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG);
penyelamatan dan penanggulangan paling (ii) Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu); dan (iii)
tidak harus didasarkan pada 14 indikator non- Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK)
moneter yang dikembangkan BPS. Ketiga, dalam rangka meningkatkan
Ketujuh, program penyelamatan diprioritaskan tingkat partisipasi dari semua stakeholders
secara khusus pada kelompok rawan yaitu pemberdayaan masyarakat maka pendanaan
rumah tangga miskin yang memiliki anak program dapat berasal bukan hanya dari
dibawah lima tahun (balita) dan atau ibu hamil. pemerintah dalam bentuk APBD dan APBN,
Bagi kelompok rawan ini, kriteria yang dapat tetapi juga dari swasta melalui dana CSR
digunakan sebagai isyarat dini adalah data mereka.
tumbuh kembang anak dan kesehatan ibu hamil
Keempat, untuk meningkatkan efektifitas
yang diperoleh dari Posyandu.
penanganan (penyelamatan dan penanggulang-
Kedelapan, bantuan dalam rangka program an) dampak krisis pangan dan gizi, disarankan
penyelamatan dampak krisis pangan dan gizi agar melibatkan tenaga pendamping (misalnya:
yang paling diutamakan adalah pemberian mahasiswa atau tenaga yang direkrut secara
makanan tambahan (PMT) untuk anak balita khusus). Tenaga pendamping sekaligus ber-
Protokol Penanggulangan dan Penyelamatan Krisis Pangan dan Gizi pada Kelompok Rawan 165
Dodik Briawan, Purwiyatno Hariyadi, Eko Hari Purnomo dan Fahim M Taqi
BIODATA PENULIS