Anda di halaman 1dari 18

ARTIKEL

Protokol Penanggulangan dan Penyelamatan Krisis Pangan dan Gizi


pada Kelompok Rawan
(Protocol for Recovery and Prevention of Food and Nutrition Crises on
Vurnerable Group)
Dodik Briawan1,2, Purwiyatno Hariyadi1,3, Eko Hari Purnomo1,3 dan Fahim M. Taqi1,3
SEAFAST Center, LPPM IPB,
1

2
Departemen Gizi Masyarakat, FEMA, IPB, dan
3
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta, IPB
Email : phariyadi@ipb.ac.id

Diterima : 14 Nopember 2014 Revisi : 24 Juni 2015 Disetujui : 25 Juni 2015


ABSTRAK
Krisis pangan dan gizi merupakan permasalahan yang berdampak terhadap pembangunan di
Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan protokol pencegahan dan penanggulangan
krisis pangan dan gizi. Data yang digunakan terdiri dari data sekunder dan primer. Protokol krisis pangan
dan gizi dikembangkan dengan melibatkan ahli dan narasumber dari pemerintah daerah di Sukabumi,
Situbondo dan Bogor. Kondisi krisis pangan dan gizi dapat ditetapkan dengan sistem survailan
menggunakan indikator yang valid, sensitif, dan mudah dikumpulkan. Model yang sudah ada yaitu Sistem
Kewaspadaan Pangan dan Gizi dapat digunakan dengan beberapa modifikasi tertutama pada komponen
indikator. Protokol pencegahan dan penanggulangan dikembangkan untuk kelompok rumah tangga rawan
di masyarakat. Kelompok ini dapat ditetapkan berdasarkan 14 indikator nonmoneter yang dikembangkan
oleh BPS, dengan prioritas yang mempunyai anak di bawah usia lima tahun dan atau ibu hamil. Upaya
penyelamatan terutama dilakukan dengan memberikan makanan tambahan pada kelompok rawan ini.
Penanggulangan diarahkan melalui bantuan ekonomi kepada rumah tangga sasaran. Pemerintah daerah
perlu membentuk tim manajemen krisis pangan dan gizi yang disertai peran dan tanggungjawab yang
jelas. Disarankan, pemerintah daerah mempunyai kewenangan dalam menetapkan kondisi krisis, yang
disertai anggaran pelaksanaan protokol tersebut. Selain itu, dalam jangka panjang program seperti SKPG,
Posyandu dan UPGK perlu diperbaiki dan ditingkatkan.
Kata kunci: krisis pangan dan gizi, protokol, survaila, penanggulangan, penyelamatan

ABSTRACT
Food and nutrition crises affect Indonesian development. This study aims to develop general protocol
for prevention and recovery of food and nutrition crises. The data comprises of secondary and primary data.
The crisis protocol is developed by involving experts and resource persons from Sukabumi, Situbondo and
Bogor local governments. The crisis condition could be determined using mechanism of surveillances,
valid, sensitive, and easy to generate indicators. The existing Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi
model could be applied with some modification on its components. The recovery and prevention protocol
should specifically be developed for vulnerable groups which can be determined using 14 non-monetary
indicators developed by CBS, with special priority given to households with children under 5 years and/or
pregnant mothers. The recovery is focused on feeding program for those groups. Prevention program is
designed for the development of economic activities for the targeted households. The local government
need to establish a crisis management team with well defined roles and responsibilities. It is proposed
that Head of Local Governments should have authority to determine, declare crisis condition, and allocate
budget to execute the protocol. In the long run, existing food and nutrition programs; especially SKPG,
Posyandu and UPGKshall be up-graded and improved.
Keywords: food and nutrition crisis, protocol, surveillances, recovery, prevention

Protokol Penanggulangan dan Penyelamatan Krisis Pangan dan Gizi pada Kelompok Rawan 149
Dodik Briawan, Purwiyatno Hariyadi, Eko Hari Purnomo dan Fahim M Taqi
I. PENDAHULUAN mengalami permasalahan kelaparan dengan
tingkat serius. Berdasarkan data Badan Pusat
K risis pangan dan gizi merupakan salah satu
permasalahan penting yang berdampak
terhadap pembangunan nasional Indonesia.
Statistik, rata-rata konsumsi kalori dan protein
per hari penduduk Indonesia secara keseluruhan
yaitu 1.842,75 kkal dan 53,08 gram (2013). Data
Masalah pangan dan gizi ini berkaitan
tersebut menunjukkan bahwa asupan pangan
erat dengan aspek perbaikan kehidupan
dan gizi masih di bawah standar penduduk
masyarakat, terutama untuk mencapai tujuan
golongan tahan pangan (>2000 kkal/kapita/hari).
pembangunan nasional yaitu terwujudnya
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tingkat
kehidupan masyarakat yang sejahtera, adil dan
presentase kemiskinan di Indonesia menurun,
makmur. Berdasarkan UU No.18 Tahun 2012,
akan tetapi hal ini tidak diikuti dengan kenaikan
ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi
rata-rata konsumsi pangan dan gizi penduduk
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
Indonesia. Terhitung sejak tahun 2007 dimana
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup,
rata-rata konsumsi kalora penduduk Indonesia
baik jumlah maupun mutunya, aman, merata
mencapai angka 2014,91 kkal dan terus
dan terjangkau. Pengertian ketahanan pangan
menurun hingga tahun 2012 mencapai angka
tersebut terkandung makna dimensi fisik
1.852,64 kkal. Ketidaktahanan pangan dan gizi
pangan (penyediaan), dimensi ekonomi (daya
juga ditunjukkan oleh masih tingginya prevalensi
beli), dimensi pemenuhan gizi individu, dimensi
gizi buruk dan kurang pada balita mencapai 19,6
keamanan pangan dan dimensi waktu (dimensi
persen pada 2013 (Riskesdas). Angka tersebut
kesinambungan).
meningkat apabila dibandingkan dengan data
Di satu sisi, kemiskinan diidentifikasi Riskesdas pada tahun 2010 sebesar 17,9
sebagai salah satu faktor kritis yang berkaitan persen dan 18,4 persen pada tahun 2007.
erat dengan ketahanan pangan. Kemiskinan
Dalam jangka waktu yang lebih panjang,
menyebabkan akses masyarakat terhadap
kondisi kemiskinan dan kekurangan pangan
pangan menjadi rendah; dan selanjutnya dapat
dan gizi akan lebih memprihatinkan jika risiko
menyebabkan kelaparan dan kekurangan gizi.
akan terjadinya ledakan jumlah penduduk turut
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun
dipertimbangkan. Dengan total fertility rate
2013, proporsi penduduk miskin di Indonesia
(TFR) yang selama lima tahun terakhir (tahun
pada tahun 2013 yaitu sebesar 11,47 persen
2010-2015) mencapai angka 2,442, diperkirakan
atau 28,55 juta jiwa. Standar untuk menetapkan
jumlah penduduk Indonesia selama dua puluh
penduduk miskin tersebut didasari oleh angka
lima tahun mendatang akan terus meningkat
garis kemiskinan yaitu penduduk yang memiliki
yaitu dari 238,5 juta pada tahun 2010 menjadi
pendapatan/penghasilan Rp. 308.826/kapita/
305,6 juta jiwa pada tahun 2035 (Bappenas,
bulan untuk kota dan Rp. 275.779/kapita/bulan
2013). Hal ini layak untuk dikhawatirkan karena
untuk penduduk desa. Sebenarnya, persentase
penyumbang terbesar laju pertumbuhan
penduduk miskin di Indonesia menunjukkan tren
penduduk adalah masyarakat berpenghasilan
menurun semenjak tahun 2006, namun dari segi
rendah yang hidup di bawah garis kemiskinan.
jumlah terjadi peningkatan jumlah penduduk
miskin meskipun tidak signifikan. Hal ini didukung Dalam kaitannya dengan akses terhadap
dengan kenaikan harga kebutuhan sehari-hari. pangan, krisis pangan dan gizi ini diperkirakan
Selain itu, adanya krisis ekonomi yang terjadi akan diperburuk oleh adanya krisis ekonomi
tahun 1998 menyebabkan presentase jumlah global (lihat Gambar 1). Kelesuan ekonomi
penduduk miskin di pada tahun 1999 naik sebagai salah satu dampak logis krisis
menjadi 23,43 persen. Oleh karena itu, dapat keuangan global sudah menampakkan akibat
disimpukan bahwa ada begitu banyak faktor nyata pada ketersediaan lapangan kerja dan ini
yang dapat menyebabkan kemiskinan. terlihat dari presentase jumlah pengangguran.
BPS mencatat pada bulan Agustus 2013
Tingkat kemiskinan di Indonesia telah
dari sebanyak 118,19 juta angkatan kerja di
melahirkan indikator kelaparan (Global Hunger
Indonesia, 7,39 juta diantaranya menganggur.
Index; Grebmer, dkk., 2008) sebesar 11,3,
Meskipun dari segi persentase di bawah 10
yang artinya Indonesia termasuk negara yang
persen, namun tren jumlah pengangguran

150 PANGAN, Vol. 24 No. 2 Juni 2015 : 149-166


Gambar 1. Kerangka Analisis Dampak Krisis Global pada Konsumsi Rumah Tangga

menunjukkan peningkatan apabila dilihat pangan pemicu berbagai kerawanan; yang


mundur dua puluh tahun ke belakang. Dengan berpotensi menjadi ancaman hilangnya sebuah
tingkat pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan generasi (lost of generation). Kekhawatiran
hanya mencapai 5,2 persen (World Bank, 2014), dan risiko adanya lost generation ini dipertegas
maka laju pertambahan jumlah pengangguran dengan data dari Kementerian Kesehatan
dan penduduk miskin sangatlah sulit untuk yang menunjukkan bahwa anemia gizi masih
dibendung. merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia
dengan prevalensi 37,1 persen pada ibu
Di samping krisis ekonomi global yang
hamil (Riskesdas, 2013). Kekurangan zat gizi
melanda, beban ekonomi masyarakat akan
(mikro) akan berakibat pada (i) penurunan
semakin berat karena harga harga kebutuhan
kemampuan kognitif; (ii) peningkatan kematian
pokok yang semakin melambung tinggi
ibu melahirkan; (iii) bayi yang dilahirkan rentan
sementara di sisi lain daya beli masyarakat
cacat dan penyakit; dan (iv) penderita akan
makin menurun. BPS (2013) menyatakan
memberikan produktivitas yang rendah.
bahwa penghasilan yang dialokasikan untuk
kebutuhan sehari-hari oleh masyarakat miskin Dampak kerawanan pangan dan gizi akan
perbulan adalah Rp. 292.302 atau dengan kata menjadi lebih signifikan untuk rumah tangga
lain hanya Rp. 9.743/hari/orang, pencapaian lapisan sosial-ekonomi kelas bawah; terutama
pemenuhan kecukupan kalori sangatlah jauh untuk anggota rumah tangga kelompok rawan
dari rata-rata pengeluaran penduduk Rp. (ibu hamil dan anak balita). Lebih lanjut,
703.561 per bulan. Uang sebesar Rp. 9.743/hari rendahnya kualitas gizi selama kehamilan serta
tersebut bukanlah alokasi biaya untuk asupan terjadinya gangguan pertumbuhan anak balita,
pangan saja, melainkan untuk keperluan lain. dalam jangka panjang akan berakibat pada
oleh karena itu, dapat dibayangkan bagaimana menurunnya kualitas sumberdaya manusia.
mungkin penduduk miskin mampu memenuhi Risiko lost generation ini juga menjadi lebih
asupan pangan dan gizinya dengan baik. Dalam nyata dengan perkiraan Baird, dkk., (2007)
kaitannya dengan krisis global sekarang ini, yang menyatakan bahwa setiap penurunan
data-data ini bisa mengindikasikan suatu pra- Produk Domestik Bruto (GDP) sebesar 1 persen
kondisi yang mengarah pada terjadinya krisis akan menyebabkan peningkatan mortalitas

Protokol Penanggulangan dan Penyelamatan Krisis Pangan dan Gizi pada Kelompok Rawan 151
Dodik Briawan, Purwiyatno Hariyadi, Eko Hari Purnomo dan Fahim M Taqi
bayi sebanyak antara 17 dan 44 untuk seribu Mekanisme food coping pada rumah
bayi yang dilahirkan. Dalam konteks krisis tangga secara alami akan terjadi pada saat krisis
global, Bank Dunia juga memperkirakan bahwa pangan. Banyak studi yang telah dilakukan untuk
kematian yang disebabkan karena masalah mengkaji strategi pertahanan rumah tangga dari
gizi (malnutrition) secara global akan terjadi krisis pangan. Pada kondisi krisis pangan tingkat
peningkatan antara 200.000 dan 400.000 setiap ringan, rumah tangga akan memaksimalkan
tahunnya, jika kondisi krisis ini berlanjut (sampai potensinya untuk memperoleh pangan, misalnya
tahun 2015 akan mencapai 2,8 juta kematian dengan mencari pekerjaan sampingan, merubah
tambahan) (IMF, 2009). Diingatkan bahwa pola konsumsi pangan, mencari pangan dari
kematian anak-anak di Peru meningkat dengan kebun sekitarnya. Pada tahap kedua, rumah
17.000 sebagai akibat dari krisis ekonomi apada tangga akan menjual aset produktif yang dimiliki
akhir tahun 1980-an (Paxson and Schady, 2005). untuk memenuhi kebutuhan pangan atau
Mengingat pentingnya ketahanan pangan mencari bantuan/pinjaman pangan. Pada tahap
dalam kaitannya dengan kualitas SDM dan ketiga yang lebih parah, maka rumah tangga
ketahanan nasional (Hariyadi, 2009), untuk akan melakukan migrasi (menjadi gelandangan
mengantisipasi kondisi krisis global yang di kota), perpisahan dalam rumah tangga,
mungkin muncul; dan mengingat fenomena atau tindakan kriminal (Usfar, 2002; Setiawan,
perubahan iklim; maka perlu dikembangkan dkk., 2002). Sementara itu proses kekurangan
mekanisme dan protokol untuk penanggulangan gizi pada anggota rumah tangga yang kondisi
dan penyelamatan jika krisis pangan dan gizi fisiologisnya rawan (ibu hamil, anak balita)
terjadi; khususnya pada kelompok rawan. sudah mulai terjadi sejak tahap pertama krisis,
Protokol krisis pangan dan gizi dikembangkan dan akan terus memburuk pada tahapan
dengan melibatkan ahli dan narasumber dari selanjutnya.
pemerintah daerah di Sukabumi, Situbondo Sejak tahap pertama terjadinya krisis
dan Bogor berdasarkan metode survei dan pada rumah tangga, maka intervensi berupa
penggunaan skema SKPG. Kondisi krisis paket bantuan oleh pemerintah sudah sangat
pangan dan gizi dapat ditetapkan dengan sistem diperlukan. Kondisi krisis pangan rumah tangga
survailan menggunakan indikator yang valid, pada tahap pertama memerlukan bantuan
sensitif, dan mudah dikumpulkan.
pemerintah dalam skenario penanggulangan
II. KONDISI SAAT INI yaitu berupa paket produktif agar rumah tangga
mampu memanfaatkan potensi sumberdaya
Beberapa paket program pemerintah telah
internalnya. Pada kondisi krisis pangan rumah
dilakukan dalam menanggulangi krisis di tingkat
tangga tahap kedua dan ketiga, maka Pemerintah
rumah tangga, seperti bantuan beras miskin
(raskin), jaring pengaman sosial (JPS), bantuan perlu melaksanakan skenario penyelamatan,
langsung tunai (BLT), program PNPM, bantuan terutama pada rumah tangga yang mempunyai
kredit UKM dan lainnya. Namun tidak semua anggota kelompok rawan (ibu hamil dan anak
program tersebut efektif untuk mencegah balita), misalnya melalui pemberian makanan
terjadinya peningkatan gizi buruk maupun tambahan (feeding). Program PMT yang
terperosoknya rumah tangga dari status nyaris dilakukan oleh pemerintah saat ini dinilai kurang
miskin menjadi miskin. Kekurangefektifan efektif karena paket produk tidak sesuai dengan
program tersebut misalnya ditunjukkan oleh kebutuhan sasaran, atau karena bantuan PMT
studi yang dilakukan di Bogor terhadap peserta tersebut dikaitkan dengan upaya pemberdayaan
penerima program BLT. Hasil studi berupa survey ekonomi masyarakat. Pemberian bantuan
menunjukkan bahwa rumah tangga rawan pangan atau skema bantuan untuk keluarga
pangan yang memperoleh bantuan BLT hanya miskin seharusnya didasarkan pada pilihan
54,3 persen, dan sebaliknya 18,8 persen yang skenario penyelamatan atau penanggulangan.
tidak rawan malah mendapatkan BLT (Mutiara, Penyelamatan adalah ditujukan kepada rumah
2008). Pada studi lainnya, salah sasaran dalam tangga yang saat itu juga harus diberi makan,
penerimaan BLT tersebut bahkan mencapai sedangkan penanggulangan adalah lebih
44,1 persen (Agustina, 2006). mengarah pada pemberdayaan rumah tangga.

152 PANGAN, Vol. 24 No. 2 Juni 2015 : 149-166


Program bantuan pangan untuk skenario setan yang tidak memiliki ujung pangkalnya.
penyelamatan yang tepat adalah apabila Dalam keadaan yang demikian, kejadian-
mempertimbangkan kebutuhan fisiologis, kejadian yang timbul secara berurutan dapat
tahapan krisis, karakteristik rumah tangga dan mengakibatkan tingkat konsumsi makanan yang
pola konsumsi pangan setempat. Misalnya menurun pada banyak penduduk, sehingga
program bantuan pangan WIC (women, infant disebut rawan pangan.
and children) yang diterapkan di USA adalah
Sebelum dinyatakan sebagai kondisi
paket bantuan pangan yang tidak hanya terdiri
rawan pangan, beberapa peristiwa tertentu
dari makanan pokok, tetapi juga ada sumber
dapat terjadi pada waktu bersamaan. Kejadian
protein seperti telur dan susu. Pengalaman
kegagalan panen tidak selalu menimbulkan
SEAFAST Center (Astawan dkk., 2005) dalam
rawan pangan, kalau persediaan pangan
menyelengarakan PMT untuk ibu hamil adalah
di pasar dan pada keluarga masih cukup
dengan paket bantuan berupa biskuit, bihun dan
banyak dan terdapat kesempatan kerja yang
susu menunjukkan hasil yang positif. Produk
cukup luas. Sebaliknya, sekalipun persediaan
tersebut didesain sesuai dengan kebutuhan gizi
pangan di pasar masih cukup banyak tetapi
dan preferensi sasaran, sehingga pada akhir
bila kesempatan kerja menjadi sangat terbatas
kegiatan, PMT dapat menahan laju anemia ibu
sebagai akibat kegagalan panen, maka
hamil 30 persen, meningkatkan berat kehamilan
akan berakibat banyak penduduk menderita
dan menekan kejadian berat lahir rendah.
kekurangan pangan. Jika hal tersebut terus
III. SKEMA PENANGANAN KRISIS PANGAN berkelanjutan dapat mengarah pada situasi
DAN GIZI kelaparan dan kekurangan gizi yang berat.
Kerawanan pangan adalah situasi di Konsep Sistem Kewaspadaan Pangan
daerah, masyarakat atau rumah tangga yang dan Gizi (SKPG) menyebutkan proses
tingkat ketersediaan pangannya tidak cukup terjadinya rawan pangan dimulai dari
untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis kegagalan produksi pangan, yang diikuti
bagi pertumbuhan dan kesehatan bagi sebagian dengan menurunnya perrsediaan pangan di
besar masyarakat (Sandjaja, 2009). Kerawanan masyarakat dan rumah tangga, dan akhirnya
pangan dapat terjadi secara berulang-ulang akan menyebabkan kekurangan gizi. Proses
pada waktu tertentu (kronis) atau dapat terjadi tersebut menggambarkan urutan kejadian
akibat keadaan darurat seperti bencana alam yang dapat menjadi sebab timbulnya rawan
maupun sosial (transien). Pada dasarnya pangan dan gizi. Namun demikian pada kondisi
keadaan rawan pangan dan gizi merupakan masyarakat tertentu, sekuensi proses terjadinya
bagian akhir dari serangkaian peristiwa yang kerawanan pangan tidak selalu linear, misalnya
terjadi melalui berbagai proses perubahan terjadinya kemiskinan laten di perkotaan, atau
situasi sosial maupun ekonomi. Suatu daerah kejadian saat bencana alam dimana kondisi
dapat dikatakan rawan pangan jika banyak kekurangan pangan terjadi dengan masif dan
penduduk mengalami kekurangan pangan. pada waktu serentak. Model SKPG bukanlah
Rawan gizi ialah suatu keadaan dimana banyak model yang baru; dan karena itu secara relatif
penduduk mengalami kekurangan gizi. sudah dikenal oleh masyarakat pemangku
kepentingan pangan, gizi dan kesehatan;
Berakar dari kondisi kemiskinan, pen-
baik di pusat maupun di daerah. Karena itu,
duduk di daerah rawan tersebut memiliki
model ini bisa digunakan sebagai kerangka
kualitas konsumsi makanan yang rendah
dasar dalam rangka pengembangan program
sehingga asupan zat gizinya menjadi rendah.
dan protokol penanganan krisis pangan dan
Hal ini selanjutnya berdampak pada daya tahan
gizi. Secara umum kerangka kerja SKPG
tubuh yang rendah, sehingga taraf kesehatan
dalam penangangan masalah pangan dan
umumnya juga rendah. Tingkat kesehatan yang
gizi dapat dilihat pada Gambar 2. Pelaksana
tidak baik secara tidak langsung juga berdampak
SKPG adalah Pemerintah Daerah (Pemda)
pada produktivitas kerja yang menurun, tingkat
Kabupaten/Kota dengan kegiatan pengamatan
pendapatannya, dan selanjutnya mempengaruhi
terhadap situasi pangan dan gizi masyarakat
pula konsumsi. Hal ini merupakan lingkaran
secara teratur dan terus menerus yang

Protokol Penanggulangan dan Penyelamatan Krisis Pangan dan Gizi pada Kelompok Rawan 153
Dodik Briawan, Purwiyatno Hariyadi, Eko Hari Purnomo dan Fahim M Taqi
Sebagaimana diilustrasikan pada Gambar
2, kegagalan produksi atau krisis ekonomi
dapat mengakibatkan pendapatan masyarakat
menurun yang pada saatnya akan menyebabkan
ketersediaan pangan di masyarakat menjadi
terbatas. Pencegahan pada tahap ini merupakan
pencegahan yang sangat dini sebelum
terjadinya penurunan persediaan pangan
di masyarakat. Pada tahapan ini, intervensi
(protokol) penanggulangan yang efektif dapat
mencegah terjadinya kerawanan pangan di
masyarakat yang semakin memburuk. Apabila
kondisi berlanjut sampai terjadi krisis pangan,
maka selain bantuan penanggulangan juga
diperlukan bantuan kepada keluarga sasaran
melalui protokol penyelamatan (kuratif).
Gambar 2. Klasifikasi Penanganan Krisis Untuk mencegah terjadinya kejadian rawan
Pangan dan Gizi Menurut Kerangka pangan dan gizi perlu dilakukan pengamatan
Kerja yang Dikembangkan oleh dan kajian setiap indikator yang digunakan
SKPG (Depkes, 2009). sesuai dengan urutan kejadiannya. Indikator
bertujuan untuk menyediakan informasi bagi tersebut ada yang digunakan untuk panduan
penentuan kebijakan, perencanaan program kapan tindakan preventif dan tindakan kuratif
dan penetapan tindakan dalam penanganan harus dilakukan. Analisis situasi pangan dan gizi
masalah pangan dan gizi. Keberadaan SKPG menurut SKPG dilakukan dengan menggunakan
sudah ada sejak tahun 1970-an. Pada awalnya tiga indikator utama; yaitu:
SKPG dikembangkan oleh Kementerian Pertama, indikator pertanian meliputi produksi
Kesehatan dan saat ini dilanjutkan oleh BBKP beras dan produksi setara beras yang dijadikan
dengan tujuan utama untuk memantau keadaan sebagai ratio perimbangan produksi dengan
pangan dan gizi di masyarakat. kebutuhan pangan. Rasio ketersediaan produksi

Gambar 3. Matriks Tiga Indikator SKPG (Sumber: BKP, 2007b)

154 PANGAN, Vol. 24 No. 2 Juni 2015 : 149-166


(Produksi Setara Beras atau PSB) dibandingkan pangan, peta rawan gizi, dan peta kemiskinan.
kebutuhan beras dengan skor : Pemetaan menghasilkan gambaran lokasi rawan
pangan dan gizi dengan kategori wilayah rawan
Skor 1 = apabila ratio > 1,14 (surplus)
pangan resiko tinggi, resiko sedang dan resiko
Skor 2 = apabila ratio > 1,00 - 1,14
rendah dan aman. Berdasarkan pertimbangan
(swasembada)
diatas, maka skema krisis pangan dan gizi
Skor 3 = apabila ratio > 0,95 - 1,00 (cukup) dapat dikembangkan mengacu pada kerangka
Skor 4 = apabila ratio 0,95 (defisit) kerja SKPG. Hal ini juga sesuai dengan
Kedua, indikator status gizi balita yang dinilai Dokumen Rencana Aksi Nasional Pangan
dengan prevalensi gizi kurang pada balita. Skor dan Gizi 2006-2010 yang dikeluarkan oleh
prevalensi Kekurangan Energi dan Protein Badan Perencanaan Pembangunan Nasional;
(KEP) : yang menetapkan Revitalisasi SKPG untuk
meningkatkan ketersediaan data pangan dan
Skor 1: wilayah dengan prevalensi <10
gizi di daerah salah satu rencana aksi strategis
persen
(Bappenas, 2007).
Skor 2: wilayah dengan prevalensi 10,1 15
persen Pada tahun 1997 - 1998 Indonesia
Skor 3: wilayah dengan prevalensi 15,1 - 20 mengalami krisis multi dimensi yang salah
persen satunya adalan bermunculan kasus gizi buruk
Skor 4: wilayah dengan prevalensi >20 seperti yang diberitakan di media massa.
persen Namun pada saat itu SKPG tidak memberikan
Ketiga, indikator kemiskinan yang dinilai konstribusi dalam penyediaan informasi dini.
dengan persentase kepala keluarga (KK) miskin. Tidak semua daerah sudah menerapkan SKPG
Persentase KK miskin dengan skor: ini sebagai bagian dari instrumen pembangunan
ketahanan pangan. Banyak faktor yang menjadi
Skor 1 : KK miskin 0,00 - 20,99 persen penyebabkan tidak berfungsinya SKPG dengan
Skor 2 : KK miskin 21,00 - 41,99 persen baik, baik dari aspek konsep, teknis pelaksanaan
Skor 3 : KK miskin 42,00 - 62,99 persen dan kelembagaan. Misalnya, penetapan
Skor 4 : KK miskin >63,00 persen penggunaan titik batas atau cut-off point seperti
Berdasarkan pada komposit ketiga yang disebutkan dalam buku panduan adalah
indikator tersebut, dikembangkanlah matriks tidak bersifat baku atau permanen; artinya dapat
SKPG yang akan membagi kondisi kerawanan disesuaikan dengan kondisi masing-masing
gizi dalam empat (4) kategori (Gambar 3); yaitu daerah. Hal ini menyebabkan penerapan SKPG
kategori hijau, kuning, merah, dan hitam. tidak bisa dibandingkan hasilnya antara daerah
satu dengan lainnya, terutama jika titik batas
Pada SKPG dengan menggunakan tersebut berbeda antar daerah.
indikator pertanian, suatu daerah ditetapkan
sebagai resiko tinggi apabila rasio produksi dan Penetapan titik batas KEP pada daerah
kebutuhan pangan (setara padi) 0,95 (defisit). rawan (merah) adalah >20 persen. Batas ini
Dengan indikator kemiskinan, daerah ditetapkan nampaknya terlalu tinggi artinya Pemda masih
beresiko tinggi adalah jika persen keluarga belum akan melakukan tindakan intervensi
miskin 63,00 persen. Dengan indikator pada saat KEP masih kurang dari 20 persen.
kesehatan, daerah ditetapkan resiko tinggi jika Apabila dibandingkan dengan Keputusan
prevalensi kurang energi-protein >20 persen. Menteri Kesehatan Nomor: 1116/Menkes/SK/
VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pemantuan SKPG melalui peta rawan Surveilans Epidemiologi Kesehatan batas
pangan dan gizi di tingkat kabupaten/kota dapat tersebut terlalu besar. Salah satu sasaran SK
menggambarkan tingkat kerawanan masing- Menkes ini adalah penyelenggaraan Sistem
masing kecamatan dan dapat ditinjau dari tiga Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa Gizi
aspek, yaitu pangan, gizi, dan kemiskinan. (SKD-KLB Gizi). Kejadian Luar Biasa Gizi Buruk
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa (KLB-Gizi Buruk) adalah suatu kondisi apabila
sebenarnya peta rawan pangan dan gizi terjadi lebih dari 1 persen kasus gizi buruk
merupakan gabungan antara tiga peta, yaitu peta disertai dengan meningkatnya faktor resiko

Protokol Penanggulangan dan Penyelamatan Krisis Pangan dan Gizi pada Kelompok Rawan 155
Dodik Briawan, Purwiyatno Hariyadi, Eko Hari Purnomo dan Fahim M Taqi
(perubahan memburuknya pola konsumsi dan Indikator yang digunakan dalam
penyakit) di suatu wilayah tertentu. Sementara pemetaan SKPG adalah menggunakan data
gizi buruk didefinisikan sebagai keadaan kurang rutin dari masing-masing sub-sektor yang
gizi tingkat berat pada anak-anak berdasarkan terkait. Tantangan dalam kompilasi dan
indeks perbandingan berat badan dan tinggi pengolahan data disebabkan karena Pemda
badan (BB/TB) <-3SD dan atau ditemukan belum mempunyai staf teknis yang kompeten,
tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan sehingga tidak semua daerah (kabupaten/
marasmus-kwashiorkor. Deklarasi KLB berupa kota) yang mempunyai peta rawan pangan
desa tempat terjadinya KLB memerlukan yang secara sekuensial tersedia setiap tahun.
konfirmasi yang dilakukan oleh petugas. Hal Demikian pula sangat jarang intervensi (bantuan
ini dilaporkan apabila terdapat kasus gizi penanggulangan atau penyelamatan) dilakukan
buruk yaitu dengan mengidentifikasi status gizi oleh Pemda yang didasarkan atas peta SKPG.
dengan BB/TB <-3SD atau melihat tanda-tanda
Oleh karena itu, dalam studi ini disarankan bahwa
klinis. Konfirmasi dilakukan secepatnya setelah
peran pemerintah dalam melakukan revitalisasi
diterima laporan. KLB dinyatakan selesai
SKPG untuk meningkatkan ketersediaan data
apabila penderita gizi buruk sudah ditanggulangi
pangan dan gizi di daerah sangat penting.
(sesuai tata laksana gizi buruk), kasus baru lagi
selama 3 bulan < 1 persen, dan faktor resiko Dengan kata lain, program Revitalisasi SKPG
ditanggulangi. sebagaimana dinyatakan dalam Rencana Aksi
Nasional Pangan dan Gizi harus benar-benar
Kelemahan SKPG dari aspek kelembaga- dilaksanakan secara berkelanjutan.
an adalah masih belum jelasnya lembaga
yang secara koordinatif dapat secara efektif IV.
P ENANGANAN DAMPAK KRISIS
menggerakan sub-sektor (dinas/kantor) yang PANGAN DAN GIZI
terkait untuk melaksanakan SKPG mulai dari Seperti telah disampaikan sebelumnya,
pengumpulan, pengolahan dan intervensi. skema penanganan dampak krisis pangan
Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota dan gizi yang dikembangkan didasarkan pada
dengan Ketua Pelaksana Harian Kepala kerangka kerja SKPG. Dengan menggunakan
Dinas Pertanian dinilai tidak efektif dalam
kategori yang sudah ada (Gambar 3), maka
mengkoordinasikan sub-sektor dengan tingkat
visualisasi situasi pangan dan gizi bersama
eselon yang setara. Akibatnya, pelaksanaan
dengan skema penanganannya dapat disajikan
SKPG di beberapa daerah dilaksanakan bukan
pada Gambar 4. Secara umum tingkat
sebagai kegiatan rutin, tetapi lebih merupakan
pelaksanaan krisis pangan dan gizi penanganan
sebagai proyek yang jalan jika tersedia
dibedakan menjadi tiga kategori yaitu: wilayah
anggaran.

Gambar 4. Gradasi Situasi Kerawanan Pangan dan Gizi Serta Skema Penanganannya

156 PANGAN, Vol. 24 No. 2 Juni 2015 : 149-166


risiko tinggi (skor 9-12; hitam), wilayah risiko penanggulangan kemiskinan dari skema
sedang (skor 6 - 8; tanpa 4; merah), dan wilayah proyek menjadi skema program.
risiko rendah (skor <6; tanpa 4, kuning).
Secara sepintas PNPM mandiri tampak
4.1. Program Penanggulangan menjadi program ideal penanggulangan
kemiskinan secara terpadu. Akan tetapi terdapat
Dengan menggunakan skema pada
beberapa hal yang masih perlu diperbaiki dalam
Gambar 4; maka program penanggulangan
rangka meningkatkan efektivitas PNPM mandiri
bisa dibedakan dalam dua kelompok; yaitu
sebagai program penanggulangan kemiskinan.
Penanggulangan Sangat Dini (PSD), dan
Seperti telah disajikan sebelumnya, sasaran
Penanggulangan Dini (PD). Penanggulangan
utama dari suatu program penanganan krisis
sangat dini (PSD) adalah upaya intervensi
adalah pada tingkatan rumah tangga. Rumah
pemerintah yang perlu dilakukan pada wilayah
tangga yang rentan terhadap dampak krisis
risiko rendah (skor <6; tanpa 4, kuning); untuk
bisa terdapat baik di wilayah yang miskin
mencegah jangan sampai masuk ke wilayah
ataupun suatu wilayah yang relatif kaya/mapan.
risiko sedang. Program intervensi PSD ini
PNPM mandiri menekankan usulan program
umum berupa upaya pemberdayaan ekonomi
pemberdayaan dari suatu kelompok masyarakat
masyarakat. Sedangkan penanggulangan dini
disuatu wilayah tertentu. Kondisi ini dapat
(PD) adalah upaya intervensi pemerintah yang
menghambat pengentasan dan pemberdayaan
perlu dilakukan pada wilayah risiko sedang (skor
rumah tangga miskin yang berada di kelompok
6 - 8; tanpa 4; merah) untuk mencegah jangan
masyarakat mapan/kaya.
sampai masuk ke wilayah risiko tinggi (skor 9 - 12;
hitam). Program intervensi PD yang disarankan Walaupun sudah dinyatakan secara
adalah berupa program-program padat karya, eksplisit bahwa PNPM mandiri adalah program
bantuan pangan dan pemberdayaan ekonomi pemberdayaan berdasarkan skema program
masyarakat. dan menghindari pendekatan proyek, akan
tetapi kesinambungan program ini masih perlu
Untuk kelompok masyarakat miskin yang
dipertanyakan. Hal ini terlihat dari belum adanya
masih mampu melaksanakan kegiatan ekonomi
komitmen nyata pemerintah untuk menyatakan
produktif, dampak krisis dapat dicegah atau
bahwa program ini akan dilaksanakan secara
ditanggulangi dengan melalui dua pendekatan
terus menerus tanpa batas waktu. Menteri
yaitu peningkatan kesejahteraan dan pendidikan
koordinator kesejahteraan masyarakat dalam
konsumen. Peningkatan kesejahteraan dicapai
rapat koordinasi nasional pelaksanaan PNPM
melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat.
Mandiri tahun 2008 hanya menyatakan bahwa
Sedangkan pendidikan konsumen yang
PNPM mandiri akan dilaksanakan minimal
diberikan meliputi ketahanan pangan berbasis
sampai 2015. Dalam kenyataannya, rumah
sumberdaya, teknologi dan kearifan lokal,
tangga miskin yang membutuhkan program
keamanan pangan, dan pendidikan gizi.
pemberdayaan akan tetap ada termasuk di
Sampai dengan tahun 2007 ada sekitar negara maju dengan tingkat pendapatan
53 program pengentasan kemiskinan di sekitar perkapita yang tinggi sekalipun.
22 kementerian/lembaga. Mulai tahun 2007,
Dalam rangka pemanfaatan PNPM
berbagai program pengentasan kemiskinan
mandiri sebagai instrumen penanggulangan
tersebut mulai disatukan dan dikoordinasikan
dampak krisis, program ini belum secara khusus
di bawah satu program utama yaitu Program
memberikan perhatian terhadap pendidikan
Nasional Pengembangan Masyarakat Mandiri
masyarakat tentang gizi, keamanan pangan, dan
(PNPM Mandiri). Pada tahun 2009, PNPM
ketahanan pangan. Fokus utama PNPM masih
mandiri diharapkan mulai berjalan efektif
pada pemberdayaan masyarakat utamanya dari
dalam mengkoordinasikan berbagai program
sektor ekonomi. Sektor pendidikan konsumen
yang tersebar di berbagai kementerian/
belum tersentuh dan diperhatikan secara serius.
lembaga tersebut. PNPM Mandiri dilaksanakan
Banyak data menunjukkan bahwa peningkatan
dibawah kendali kementerian koordinator
kesejahteraan rumah tinggi tidak serta merta
bidang kesejahteraan masyarakat. PNPM
meningkatkan status gizi rumah tangga
mandiri ditujukan untuk merubah paradigma

Protokol Penanggulangan dan Penyelamatan Krisis Pangan dan Gizi pada Kelompok Rawan 157
Dodik Briawan, Purwiyatno Hariyadi, Eko Hari Purnomo dan Fahim M Taqi
bersangkutan. Peningkatan status gizi juga mandiri pangan tahun 2009).
terkait erat dengan pengetahuan tentang gizi
Me n c e rma t i t u ju a n d a n s a s a r a n
dan sumber gizi agar setiap rumah tangga dapat
proksidemapan maka sangat jelas bahwa
membelanjakan sumberdaya yang dimiliki-
program penanganan pangan difokuskan
nya secara tepat dan bijaksana dalam rangka
pada masyarakat di perdesaan. Oleh karena
mendapatkan asupan gizi yang optimal.
itu proksidemapan ini tidak akan menjangkau
Dari sisi pendanaan, PNPM mandiri dibiaya kelompok rawan pangan di perkotaan.
dengan menggunakan dana yang berasal dari Padahal kita ketahui bersama bahwa masalah
APBN, APBD dan dana masyarakat. Salah kerawanan/krisis pangan dapat terjadi baik di
satu dana masyarakat yang ditargetkan untuk desa maupun di kota. Di samping itu, karena
pembiayaan program ini adalah dana corporate proksidemapan adalah merupakan kegiatan
social responsibility (CSR) dari industri. Sejauh Departemen Pertanian maka dukungan dari
ini penggunaan dana CSR disesuaikan dengan departemen yang lain tidak bisa optimum. Hal ini
kebutuhan masyarakat sekitar industri dan juga teridentifikasi dari hasil survei pelaksanaan
pengelolaan diserahkan sepenuhnya kepada proksidemapan di Kabupaten Sukabumi dan
industi bersangkutan. Oleh karena itu, dalam Situbondo.
rangka mendorong pelaksanaan PNPM mandiri,
Memperhatikan beberapa hal yang telah
pemerintah perlu mengatur porsi minimum
dijabarkan diatas maka program pemberdayaan
pembelanjaan dana CSR untuk pemberdayaan
masyarakat serta program program pen-
masyarakat melalui PNPM Mandiri.
dukungnya dalam rangka menanggulangi
Sementara itu, kegiatan pemerintah dalam dampak krisis terhadap kerawanan pangan
rangka mengatasi dampak krisis terhadap harus dilaksanakan secara kontinu dan
kerawanan pangan lebih banyak dilakukan sebaiknya dilaksanakan di bawah kendali
oleh Kementerian Pertanian (Kementan), Hal satu institusi untuk memudahkan kontrol dan
ini terutama dilakukan oleh Badan Ketahanan menghindari tumpang tindih. Kementerian
Pangan (BKP) Kementan. Salah satu program koordinator bidang kesejahteraan masyarakat
andalan Badan Ketahanan Pangan Kementerian dinilai merupakan institusi yang tepat untuk
Pertanian adalah program aksi desa mandiri mengendalikan program ini. Dalam rangka
pangan (proksidemapan). Tujuan utama menjamin bahwa program pemberdayaan
proksidemapan adalah untuk meningkatkan masyarakat ini mencapai sasaran masyarakat
ketahanan pangan dan gizi (mengurangi maka rumah tangga harus didefinisikan sebagai
kerawanan pangan dan gizi) masyarakat melalui sasaran utama program. Rumah tangga
pendayagunaan sumberdaya, kelembagaan sasaran dan atau kelompoknya harus didorong
dan budaya lokal di perdesaan. Secara lebih dan difasilitasi untuk mengembangkan usulan
khusus, tujuan proksidemapan adalah untuk program permberdayaan yang paling sesuai
meningkatkan kemandirian masyarakat, dengan kebutuhan dan kemampuan yang
meningkatkan peran dan fungsi kelembagaan dimiliki. Oleh karena itu tenaga pendamping
masyarakat desa, mengembangkan sistem harus disediakan oleh pemerintah yang
ketahanan pangan masyarakat desa, sekaligus juga dapat di optimalkan perannya
meningkatkan pendapatan masyarakat, dan untuk memberikan pendidikan gizi, keamanan
meningkatkan aksesbilitas pangan masyarakat. pangan, dan ketahanan pangan. Pendanaan
Proksidemapan dilaksanakan dalam rangka program pemberdayaan ini melibatkan baik dana
memperkuat sistem ketahanan pangan secara pemerintah dalam bentuk APBN dan APBD dan
keseluruhan mulai dari aspek ketersedian (dalam juga dana masyarakat, misalnya berupa dana
bentuk peningkatan produksi dan cadangan CSR yang harus ditetapkan secara jelas.
pangan), aspek distribusi (akses pangan secara
4.2. Program Penyelamatan
fisik dan ekonomi dan stabilisasi harga pangan),
dan aspek konsumsi (penganekaragaman Untuk wilayah risiko tinggi (skor 9 - 12;
konsumsi pangan). Sasaran dari proksidemapan hitam) selain upaya - upaya penanggulangan
adalah rumah tangga miskin di desa rawan perlu dilakukan tindakan ekstra, yaitu upaya
pangan (Pedoman umum program aksi desa penyelamatan. Program penyelamatan

158 PANGAN, Vol. 24 No. 2 Juni 2015 : 149-166


terutama ditujukan pada rumah tangga yang Bakar Minyak (PKPS-BBM) dilakukan dalam
sangat miskin dan atau didalamnya terdapat bentuk kompensasi yang bersifat khusus (cash
kelompok rawan pangan dan gizi (ibu hamil dan program) atau jaring pengaman sosial (social
balita). Program penyelamatan dilaksanakan safety net). Pengalihan subsidi BBM tersebut
secara cepat/responsif dan meminimalkan berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT), pembe-
kerumitan birokrasi. Program ini ditujukan untuk basan biaya pendidikan, pengobatan keluarga
mengangkat kelompok rawan dari kondisi gizi miskin, subsidi beras, minyak goreng dan gula.
buruk atau gizi kurang dan membawanya ke Kebijakan subsidi BBM tersebut juga disinergi-
kondisi sehat sehingga mampu melaksanakan kan dengan program PNPM, sehingga aspek
aktifitas ekonomi produktif. Namun demikian, bantuan dan pemberdayaan berjalan bersa-
program penyelamatan tersebut perlu maan.
dibarengi dengan program pemberdayaan Pada kondisi peta SKPG hitam maka
untuk menggerakan perekonomian masyarakat program penanggulangan akibat krisis dapat
sehingga mereka mampu menolong dirinya dilakukan melalui dua pendekatan yang
sendiri dan menanggulangi dampak krisis secara dilakukan secara serentak, yaitu bantuan
mandiri. Perlu disadari bahwa pada saat krisis, langsung pangan dan pemberdayaan per-
program bantuan pangan sangat diperlukan ekonomian masyarakat. Program ini dirancang
agar keluarga miskin tidak terperosok ke dalam agar keluarga miskin masih dapat memenuhi
keadaan gizi buruk. Program Pemerintah untuk kebutuhan dasar pangan, sehingga tidak
pemberian bantuan (social protection), seperti akan terperosok pada gizi buruk. Dan secara
JPS, BLT atau yang lainnya berupa uang (cash) bersamaan dengan pemberdayaan ekonomi
dikritik tidak bersifat mendidik masyarakat. akan membuat keluarga tersebut dapat mandiri,
Karena alasan itulah maka bantuan untuk termasuk didalamnya mampu memenuhi
keluarga miskin sebaiknya tetap menyertakan kebutuhan dasar lainnya. Namun, mengingat
program pemberdayaan perokonomian. bahwa situasi kekurangan pangan dan gizi
Namun jika dibandingkan dengan negara maju pada keluarga miskin juga akan berdampak
sekalipun, misalnya Pemerintah USA sudah panjang, terutama jika kekurangan gizi tersebut
lama melaksanakan program social security terjadi pada anggota individu rawan, yaitu anak
di antaranya berupa bantuan pangan bagi balita dan ibu hamil. Dengan alasan inilah maka
rakyatnya yang miskin. perlu ada upaya penyelamatan, khususnya
PROGRAM gizi di AS dikenal dengan untuk individu (anggota keluarga) berisiko tinggi
nama program WIC atau Supplemental Food kurang gizi, yaitu ibu hamil dan anak balita.
Program for Women, Infants, and Children. Program penyelamatan ini berupa program
Program WIC ditetapkan resmi Pemerintah AS bantuan pangan yang sesuai dengan kebutuhan
tahun 1972, dengan tujuan utama mencegah dasar berupa pangan pokok, protein hewani,
gizi buruk pada keluarga berpenghasilan minyak goreng dan garam beryodium.
rendah. Kelompok sasaran program WIC Untuk keluarga yang mempunyai anggota
adalah wanita hamil, ibu menyusui, dan anak ibu hamil dan atau anak balita memperoleh
balita dari keluarga miskin. Program WIC terdiri paket makanan tambahan (PMT). Selain itu
dari pemberian makanan tambahan (PMT), peserta program juga memperoleh pendidikan
pendidikan gizi, dan pelayanan kesehatan gizi dalam rangka meningkatkan perilaku makan
dasar. Program WIC tersebut sampai saat ini yang sehat. PMT untuk pemulihan mempunyai
masih ada, dan dari hasil evaluasi manfaatnya formula khusus untuk memenuhi persyaratan
sangat besar dirasakan oleh warga AS yang kebutuhan gizi dan kemampuan pencernaan
miskin. Peserta program WIC setiap bulan anak. PMT ini diberikan terutama pada anak
menerima kupon yang dapat ditukarkan di toko yang mengalami gizi buruk atau gizi kurang
swalayan terdekat berupa paket makanan, yang yang disertai dengan penyakit penyerta. PMT
terdiri dari susu, sari buah, telur, peanut butter, untuk anak balita normal dan ibu hamil pada
sereal. prinsipnya adalah berasal dari bahan makanan
Kebijakan Pemerintah dalam rangka Pro- yang tersedia di pasar, namun jumlah dan cara
gram Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan pengolahannya harus disesuaikan dengan

Protokol Penanggulangan dan Penyelamatan Krisis Pangan dan Gizi pada Kelompok Rawan 159
Dodik Briawan, Purwiyatno Hariyadi, Eko Hari Purnomo dan Fahim M Taqi
sasaran. Untuk itu pemberian PMT tersebut karena itu, selain revitalisasi Posyandu, masih
dapat menggunakan bahan makanan lokal diperlukan pula tambahan identifikasi rumah
(Hariyadi, 2010) dan dapat disesuaikan masing- tangga miskin sasaran; misalnya melalui jalur
masing daerah. Pada kajian ini, protokol/SOP administrasi kependudukan struktural RT/
yang disarankan adalah lebih menekankan RW. Demikian pula diperlukan cara identifikasi
protokol pemberian makanan tambahan (PMT) yang lain, yaitu pada rumah tangga miskin di
untuk rumah tangga rawan; dengan mengacu perkotaan yang disinyalir jarang datang ke
panduan yang telah dikembangkan oleh Posyandu.
SEAFAST Center (Astawan, dkk., 2005).
Langkah-langkah intervensi yang perlu
Secara khusus; program penyelamatan dilakukan dalam rangka penanggulangan
untuk bayi dan balita gizi buruk perlu didesain gizi buruk bisa dikembangkan sesuai dengan
secara khusus. Mengacu pada pengalaman karakteristik daerah masing-masing dan
di Kota Bogor, Kabupaten Bogor dan Pusat melibatkan berbagai komponen masyarakat:
Pengembangan Gizi dan Makanan, Kementerian
Pertama, Pengumpulan data. Dalam hal ini
Kesehatan RI di Bogor, maka penanganan
lembaga kesehatan seperti puskesmas, bidan
kasus gizi buruk memerlukan tindakan yang
desa dan kader posyandu bersama unsur
cepat melibatkan perlakuan medis yang tepat
masyarakat lainnya bersepakat melakukan
pula. Secara umum, skema penanganan gizi
pendataan, mencakup jumlah balita, serta
buruk; sebagai bagian dari sistem SKPG secara
jumlah balita yang menderita gizi kurang dan
keseluruhan, dapat diperlihatkan pada skema
gizi buruk.
Gambar 5.
Kedua, Analisis data. Data yang telah diperoleh
Pengalaman Dinas Kesehatan Kabupaten
selanjutnya dianalisis dengan indikator
dan Kota Bogor dalam mengidentifikasi
persentase jumlah balita status gizi baik, gizi
keluarga yang mempunyai anak balita gizi
kurang dan gizi buruk.
buruk adalah melalui Posyandu. Karena itulah
maka kajian ini menyarankan dilakukannya Ketiga, Perumusan Masalah dan Penetapan
revitalisasi Posyandu. Pada saat ini cakupan Kegiatan Penyelamatan. Diskusi dan tukar
kedatangan ke Posyandu mencapai sekitar 60- pendapat perlu dilakukan oleh semua unsur
80 persen. Cakupan kedatangan ke Posyandu masyarakat untuk memberikan pemahaman
akan mengalami peningkatan terutama pada tentang arti penting dan siginifikansi
saat bulan penimbangan balita (Februari permasalahan pangan dan gizi yang ada.
dan September atau bulan imunisasi). Oleh Selanjutnya, perlu dicari kesepakatan rencana

Gambar 5. Skema Penangan Gizi Buruk serta keterkaitannya dengan Posyandu, PPG, dan
Puskesmas (Rumah Sakit)(Sumber: Depkes, 2008b)

160 PANGAN, Vol. 24 No. 2 Juni 2015 : 149-166


kegiatan penyelamatan termasuk sumber dana gizi, pemerintah mempunyai peta kerawanan di
dan penyumbang dana intervensi, bentuk wilayah masing-masing berdasarkan berbagai
bantuan yang akan diberikan untuk balita yang kategori yang berkaitan dengan keadaan sosial,
menderita gizi buruk, penetapan pengelola ekonomi, politik, keamanan termasuk situasi
keuangan dan penetapan teknis pemberian pangan dan gizi masyarakat.
bantuan. Selain itu, perlu dilakukan upaya
Tahapan yang dapat diambil untuk
capacity building dalam bidang pangan dan
menentukan sasaran dari program
gizi, termasuk pelatihan kader Posyandu, dan
penanggulangan dan penyelamatan dapat
lain-lain. Tenaga kesehatan dari Puskesmas
dilakukan melalui: (i) tingkat wilayah; dan (ii)
misalnya- juga bisa dibekali dengan berbagai
tingkat rumah tangga. Pada tingkat wilayah
pengatahuan dan keterampilan untuk bisa
penetapan daerah sasaran didasarkan pada
melakukan fungsinya sebagai mediator
sistem kewaspadaan yang sudah dilakukan oleh
mengarahkan kelompok masyarakat selama
pemerintah, misalnya SKPG atau FIA; sesuai
proses diskusi. Kementerian Kesehatan telah
dengan tingkat kapasitas daerah.
menerbitkan Panduan Umum Capacity Building
SKPG yang mengandung unsur pendidikan Tahun 1990-an BKKBN menggunakan
pangan dan gizi pada masyarakat. unit keluarga sebagai penentu kesejahteraan
dengan menggunakan 22 indikator, yang
Keempat, Implementasi. Implementasi kegiat-
dikategorikan menjadi 5 yaitu: (i) Pra-Sejahtera
an dilakukan oleh segenap unsur masyarakat,
(Pra-KS); (ii) Sejahtera I (KS I); (iii) Sejahtera II
sesuai dengan kesepakatan dan pedoman dan
(KS II); (iv) Sejahtera III (KS III) Sejahtera III+
protokol umum pelaksanaan penyelamatan
(KS II+); dan (v) Keluarga Pra-KS dan KS I
termasuk pemilihan jenis pangan, dan menu
dikategorikan sebagai keluarga miskin.
sesuai dengan status kesehatan dan gizi
penderita gizi buruk dan ibu hamil. Pada tingkat rumah tangga untuk
menentukan kelompok sasaran untuk program
Kelima, Monitoring dan Evaluasi. Puskesmas
intervensi sebaiknya memperhatikan beberapa
atau kelompok kerja yang ditunjuk sesuai
indikator. Raharto dan Romdiati dalam Prosiding
dengan kesepakatan bertugas melakukan
WNPG VII (2004) misalnya menyebutkan
monitoring terhadap makanan tambahan yang
kelompok rumah tangga miskin berdasarkan:
dikomsumsi oleh balita, termasuk apakah
makanan sesuai dengan kebutuhannya, apakah Pertama, Karakteristik demografi rumah tangga;
makanan tersebut sudah diterima dan betul- yaitu (i) besar rumah tangga (jumlah anggota
betul dikonsumsi oleh balita gizi buruk dan Ibu rumah tangga); (ii) rasio ketergantungan, yaitu
hamil. Selanjutnya dilakukan pula pemantauan rasio anggota rumah tangga yang berusia
berat badan balita mingguan dan bulanan serta kurang dari 15 dan 65 tahun keatas terhadap
melakukan pendataan apabila ada balita yang mereka yang berusia 15-64 tahun; dan (iii) jenis
menderita gizi buruk baru. Secara skematis kelamin dari kepala rumah tangga
mekanisme umum penanganan gizi buruk ini Kedua, Indikator ekonomi berdasarkan sumber
ditunjukkan pada Gambar 5. pendapatan; yang terdiri dari (i) sumber
4.3. Sasaran Rumah Tangga Untuk Program pendapatan tetap rumah tangga; (ii) jumlah
Penanganan anggota rumah tangga yang mempunyai
pekerjaan berupah; (iii) pemilikan lahan
Protokol penanganan (penanggulangan
pertanian; (iv) pemilikan ternak; dan (v) pemilikan
dan penyelamatan) krisis pangan dan gizi
alat-alat tangkap (untuk nelayan).
ditujukan kepada kelompok rawan yang ada
di masyarakat. Batasan terhadap kelompok Ketiga, Indikator sosial, termasuk pendidikan,
rawan dapat dilakukan pada tingkat wilayah, kesehatan, kebiasaan makan, perumahan dan
dimana prioritas perlu diberikan pada daerah keikutsertaan dalam kegiatan masyarakat; yaitu
yang banyak mengalami kesulitan dalam (i) tingkat pendidikan kepala rumah tangga; (ii)
penyediaan dan distribusi pangan, sehingga jumlah anggota rumah tangga dewasa yang
mengurangi akses pangan oleh rumah tangga. buta huruf; (iii) jumlah anak usia sekolah yang
Dengan menggunakan peta situasi pangan dan sedang/terdaftar di sekolah dan yang tidak

Protokol Penanggulangan dan Penyelamatan Krisis Pangan dan Gizi pada Kelompok Rawan 161
Dodik Briawan, Purwiyatno Hariyadi, Eko Hari Purnomo dan Fahim M Taqi
terdaftar di sekolah; (iv) perilaku kesehatan Kriteria kemiskinan (variabel non-moneter)
keluarga; (v) kebiasaan makan (berapa kali untuk Pendataan BLT tahun 2008 adalah (i)
anggota rumah tangga makan dalam sehari); (vi) luas lantai per anggota keluarga < 8 m2; (ii)
sumber air minum; (vii) kondisi rumah (kondisi jenis lantai rumah tanah/papan/kualitas rendah;
fisik rumah secara umum); (viii) pemilikan (iii) jenis dinding rumah bumbu/papan kualitas
barang-barang rumah tangga; (ix) jenis bahan rendah, (iv) tidak adanya fasilitas tempat buang
bakar yang digunakan untuk memasak; (x) air besar; (v) sumber air minum bukan air bersih
sumber penerangan utama; (xi) jumlah pakaian (seperti mata air tidak terlindungi, air sungai atau
anggota rumah tangga yang dapat dipakai tadah hujan); (vi) penerangan yang digunakan
untuk bepergian; dan (xii) keikutsertaan dalam bukan listrik; (vii) bahan bakar yang digunakan
kegiatan masyarakat (seperti perelek di Jawa dari kayu bakar/arang; (viii) frekuensi makan
Barat; jimpitan di Jawa Tengah). dalam satu hari kurang dari dua kali; (ix) tidak
mampu membeli daging/ayam/susu sekali dalam
Di samping indikator-indikator tersebut, seminggu; (x) tidak mampu membeli pakaian
beberapa indikator kemiskinan yang berasal baru bagi setiap ART satu kali dalam setahun; (xi)
dari beberapa hasil kajian yang berkaitan tidak mampu berobat ke poliklinik/puskesmas
dengan dampak krisis perlu dipertimbangkan jika ART sakit; (xii) lapangan pekerjaan kepala
dalam menentukan rumah tangga miskin. rumah tangga petani penggarap, nelayan,
Indikator tersebut diantaranya adalah (i) jumlah pekebun, buruh (upah per bulan kurang dari
anak balita di dalam rumah tangga yang upah minimum propinsi); (xiii) pendidikan kepala
mengalami kekurangan gizi; (ii) jumlah anak rumah tangga tidak pernah sekolah/tidak tamat
usia sekolah SD di dalam rumah tangga tetapi SD/MI; dan (xiv) tidak memiliki aset/barang
tidak bersekolah; (iii) jumlah anggota rumah berharga (misalnya emas, ternak, sepeda motor
tangga yang melakukan lebih dari satu macam atau barang modal lainnya) senilai Rp 500.000
pekerjaan sebagai upaya untuk mendapatkan (upah minimum propinsi).
penghasilan tambahan; (iv) jumlah jam kerja
kepala rumah tangga; dan (v) jumlah anggota Berdasarkan indikator tersebut
rumah tangga yang sedang mencari pekerjaan keluarga dikelompokkan menjadi empat
kategori. Kategori tersebut didasarkan pada
Rumah tangga miskin merupakan korban jumlah komponen indikator yang memenuhi
pertama dari adanya krisis. Namun demikian persyaratan untuk menunjukkan tingkat
munculnya kemiskinan baru dapat terjadi keparahan kemiskinan suatu keluarga, yaitu:
setelah krisis (transitory poverty). Sehingga (i) Keluarga tidak miskin jika hanya memenuhi
LIPI merekomendasikan penggunaan indikator 0-3 indikator; (ii) keluarga hampir miskin jika
pelengkap seperti konsumsi pangan, anak balita memenuhi 4 - 8 indikator; (iii) Keluarga miskin
kurang gizi, anak usia sekolah yang masih jika memenuhi 9 - 12 indikator; dan (iv) Keluarga
sekolah atau tidak sekolah, keterlibatan wanita sangat miskin jika memenuhi 13 - 14 indikator.
dalam aktivitas ekonomi, jumlah aset yang dijual. Keempat belas indikator ini yang digunakan
Pemerintah Indonesia dalam rangka oleh BPS untuk melakukan pandataan
jumlah keluarga miskin di Indonesia. Dalam
mempertahankan kesejahteraan masyarakat
pelaksanaannya pengunaan data ini pernah
yang berpenghasilan rendah terutama
digugat oleh Serikat Rakyat Miskin Indonesia
masyarakat miskin melalui program
(SRMI) yang mengatakan indikator tersebut tidak
kompensasi kenaikan bahan bakar minyak
mewakili kondisi keluarga miskin di Indonesia.
(BBM) diantaranya adalah Bantuan Langsung
Namun putusan PN Jakarta Pusat tanggal 19
Tunai (BLT) (Bappenas, 2007). Penyaluran
Pebruari 2009 menyatakan bahwa BPS telah
BLT plus ditujukan bagi rumah tangga miskin,
melakukan tugas dengan benar. Soemardjan
yakni berupa bantuan dana tunai dan pangan.
(1998) menyarankan skema bantuan akibat
Bantuan pangan diantaranya terdiri dari minyak
berbagai krisis ditujukan kepada keluarga
goreng dan gula, yang rencananya akan
atau rumah tangga sangat miskin dan miskin.
disalurkan melalui RT/RW, sedangkan bantuan
Tahapan prioritas bantuan adalah: (i) Prioritas
dana tunai disalurkan melalui kantor pos, seperti
utama bantuan yang diutamakan untuk keluarga
yang selama ini sudah berlangsung. tersebut adalah untuk pangan, kesehatan

162 PANGAN, Vol. 24 No. 2 Juni 2015 : 149-166


dan anak (untuk pangan dan pendidikan); (ii) Kurang Energi dan Protein (KEP) dan Anemia
Prioritas selanjutnya bantuan pemerintah untuk Gizi Besi (AGB), akan kehilangan potensi
menyediakan proyek padat karya terutama ketika mencapai usia produktif. Hal ini tentunya
yang bersifat produktif dan berkelanjutan; (iii) berkaitan erat dengan tingkat produkifitas dan
Prioritas ketiga penyuluhan kepada rumah kualitas hidup individu yang mengalami masalah
tangga untuk menggunakan sumberdaya alam kurang gizi serta menjadi sebuah mata rantai
dan sosial dari lingkungan terdekat; dan (iv) yang sulit diputus (Lingkaran Setan).
Prioritas keempat dianjurkan hidup berhemat di
Balita dengan status gizi kurang maupun
rumah tangga dan masyarakat, misalnya untuk
buruk akan berdampak terhadap pertumbuhan
jajan, piknik, pemakaian listrik, penggunaan
dan perkembangannya. Berbagai kajian
telepon, kebiasaan merokok, membeli koran
menunjukkan bahwa jika asupan zat gizi tidak
dan seterusnya.
dapat terpenuhi pada masa golden age atau
Ibu hamil dan anak balita merupakan dua masa pertumbuhan pesat maka akan mengalami
anggota keluarga yang paling rawan terkena gangguan dan kegagalan pertumbuhan otak dan
dampak krisis. Selain itu kelompok tersebut terganggunga sistem perkembangan tubuhnya.
mempunyai dampak jangka panjang yang Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Atmarita
serius apabila mengalami kekurangan pangan/ pada tahun 2005 bahwa pada bayi/anak laki-
gizi. Kondisi ibu hamil yang benar-benar laki gagalnya pertumbuhan mulai terjadi pada
sehat sangat diperlukan bagi pertumbuhan umur kurang dari tiga bulan baik bayi dan balita
dan perkembangan janin dalam kandungan, laki-laki yang terdapat di desa maupun di kota.
sehingga nantinya akan terlahir sebagai bayi Sedangkan untuk bayi/anak perempuan gagal
yang sehat dan sempurna secara fisik dan tumbuh pada usia enam bulan, baik di desa
mental. Selama kehamilan kebutuhan asupan maupun kota.
energi, protein, dan mineral pun meningkat.
Riwayat gizi kurang dan gizi buruk kurang
Wanita hamil memerlukan minimal tambahan
lebih dipengaruhi oleh status gizi ibu sebelum
asupan energi sebesar 300 kkal per hari dan
dan pada saat hamil. Ibu dengan gizi kurang
harus mengandung protein, karbohidrat, lemak,
akan melahirkan anak gizi kurang/buruk. Untuk
vitamin, mineral, dan air. Jika kondisi ibu hamil
itu, kelompok ibu hamil merupakan kelompok
tidak 100 persen sehat atau mengalami kurang
rawan gizi yang harus dipantau keadaannya
gizi dapat mengakibatkan komplikasi pada janin
agar siklus gizi buruk dapat diputus. Salah satu
maupun ibu hamil.
upaya yang dapat dilakukan adalah dengan
Kurang gizi pada ibu hamil akan berdampak melakukan pemberian makanan tambahan
pada perkembangan janin dalam kandungannya. terhadap ibu hamil terutama pada ibu hamil
Anemia adalah salah satu dari empat masalah keluarga miskin.
gizi utama di Indonesia yang dialami oleh sekitar
Secara khusus, peneliti menganggap
40 50 persen ibu hamil. Anemia berdampak
bahwa perlu untuk memberikan fokus khusus
buruk pada peningkatan angka kematian ibu
pada kelompok rumah tangga rawan yang perlu
dan bayi serta penurunan produktivitas kerja
mendapatkan upaya penyelamatan dengan
dan kemampuan belajar. Selain itu, anemia
segera. Kelompok khusus tersebut adalah rumah
pada ibu hamil dapat menyebabkan pendarahan
tangga yang memenuhi 14 indikator yang sudah
sebelum dan pada saat melahirkan, keguguran,
dikembangkan oleh BPS, serta mempunyai
kelahiran bayi prematur dan Berat Bayi Lahir
anak balita dan atau ibu hamil. Intervensi berupa
Rendah (BBLR < 2500 gram).
bantuan penyelamatan sangat diperlukan oleh
Masa balita khususnya pada usia 0 - 3 anggota keluarga rawan tersebut (balita dan ibu
tahun merupakan tahap penting perkembangan hamil), agar terhindar dari konsekuensi yang
otak manusia. Tahap ini membutuhkan asupan permanen dan meluas di masa mendatang.
gizi yang cukup agar perkembangan otak anak
IV. KESIMPULAN
dapat optimal. Jika terjadi masalah kekurangan
gizi pada masa ini maka perkembangan otak 4.1. Kesimpulan
tidak mencapai maksimal. Bahkan secara Pertama, untuk mengantisipasi kejadian rawan
ekonomi balita yang mengalami kurang gizi,
pangan di suatu daerah perlu ditentukan

Protokol Penanggulangan dan Penyelamatan Krisis Pangan dan Gizi pada Kelompok Rawan 163
Dodik Briawan, Purwiyatno Hariyadi, Eko Hari Purnomo dan Fahim M Taqi
lembaga yang berwenang menetapkan suatu dan ibu hamil.
daerah termasuk pada kategori kritis/tidak krisis. Kesembilan, upaya penanggulangan lebih
Jika daerah tersebut dinyatakan krisis, maka ditujukan pada daerah yang wilayahnya
kepala daerah diberi kewenangan penuh oleh banyak ditemukan rumah tangga mengalami
undang-undang untuk mengalokasikan APBD kesulitan untuk akses ekonomi. Sehingga
guna membantu penanganan melalui protokol skema bantuan lebih diarahkan pada usaha
penyelamatan maupun penangulangan. produktif di masyarakat. Untuk wilayah
Kedua, penetapan suatu daerah menjadi rawan pedesaan dan pertanian, usaha produktif yang
atau tidak rawan pangan dan gizi didasarkan bisa dilakukan adalah usaha produktif dalam
p a da m ekan isme p e manta u a n wila y a h bidang pertanian dan pangan, melalui program
(surveillances) menggunakan indikator yang Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK). Untuk
valid, sensitif dan mudah diimplementasikan wilayah non-pertanian dan perkotaan, program
oleh Pemerintah Daerah (Pemda). penanggulangan dampak krisis pangan dan
Ketiga, dalam rangka menghindari tumpang gizi diarahkan untuk menggerakkan dan
tindih dan mengefektifkan program maka meningkatkan perekonomian masyarakat.
program penyelamatan dan pemberdayaan Program pemberdayaan harus dilaksanakan
dalam rangka penanganan dampak krisis secara kontinu dan mencakup rumah tangga baik
pangan dan gizi sebaiknya dikoordinasikan yang berada di pedesaan maupun perkotaan.
dibawah kementerian koordinator kesejahteraan 4.2. Saran
rakyat.
Pertama, secara struktuktural kementerian
Keempat, proses pengusulan program pe- koordinator kesejahteraan masyarakat tidak
nanganan (penyelamatan dan penanggulang- membawahi Kementerian Pertanian dan
an) dampak krisis pangan dan gizi perlu dibuat Badan Ketahanan Pangan sebagai institusi
secara sederhana akan tetapi efektif baik yang terkait erat dengan masalah kerawanan
dalam pencapaian tujuan maupun menghindari pangan. Oleh karena itu disarankan agar
kecurangan. wewenang koordinasi kementerian koordinator
Kelima, sistem penanganan dampak krisis kesejateraan masyarakat dapat diperluas
pangan dan gizi yang pernah dikembangkan sehingga mempermudah pelaksanaan program
yaitu Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi pemberdayaan dalam rangka menghadapi krisis
(SKPG) dinilai telah memadai, terutama dengan pangan dan gizi.
komponen isyarat dini (early warning) dan Kedua, disarankan kepada Pemerintah untuk
pemetaan daerah rawan. melakukan revitalisasi beberapa program
Keenam, sasaran rumah tangga miskin yang pangan dan gizi yang sudah ada, yaitu : (i)
harus mendapatkan bantuan dalam program Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG);
penyelamatan dan penanggulangan paling (ii) Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu); dan (iii)
tidak harus didasarkan pada 14 indikator non- Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK)
moneter yang dikembangkan BPS. Ketiga, dalam rangka meningkatkan
Ketujuh, program penyelamatan diprioritaskan tingkat partisipasi dari semua stakeholders
secara khusus pada kelompok rawan yaitu pemberdayaan masyarakat maka pendanaan
rumah tangga miskin yang memiliki anak program dapat berasal bukan hanya dari
dibawah lima tahun (balita) dan atau ibu hamil. pemerintah dalam bentuk APBD dan APBN,
Bagi kelompok rawan ini, kriteria yang dapat tetapi juga dari swasta melalui dana CSR
digunakan sebagai isyarat dini adalah data mereka.
tumbuh kembang anak dan kesehatan ibu hamil
Keempat, untuk meningkatkan efektifitas
yang diperoleh dari Posyandu.
penanganan (penyelamatan dan penanggulang-
Kedelapan, bantuan dalam rangka program an) dampak krisis pangan dan gizi, disarankan
penyelamatan dampak krisis pangan dan gizi agar melibatkan tenaga pendamping (misalnya:
yang paling diutamakan adalah pemberian mahasiswa atau tenaga yang direkrut secara
makanan tambahan (PMT) untuk anak balita khusus). Tenaga pendamping sekaligus ber-

164 PANGAN, Vol. 24 No. 2 Juni 2015 : 149-166


tugas untuk memberikan umpan balik data ke Poorest Countries. www.imf.org/external/pubs/
dalam sistem kewaspadaan pangan dan gizi ft/survey/so/2009/NEW030309A.htm.
(SKPG) dalam rangka menjamin aktualitas Mutiara E. 2008. Analisis Strategi Food Coping
SKPG. Keluarga dan Penentuan Indikator Kelaparan.
Disertasi Pasca Sarjana IPB. Bogor
DAFTAR PUSTAKA
Paxson, C. and Schady, N. 2005. Child Health
Agustina H. 2006. Coping strategy keluarga miskin and Economic Crisis in Peru. The World Bank
Penerima BLT dalam Pemenuhan Kebutuhan Economic Review, 19(2).
Hidup dan Tingkat Kepuasan di Kota dan Riskesdas. 2013. Hasil Riskesdas 2013 Terkait
Kabupaten Bogor. Skripsi Jur. GMSK IPB. Kesehatan Ibu. [terhubung berkala]. http://
Bogor www.kesehatanibu.depkes.go.id/archives/678
Astawan M., Palupi NS, Sulaeman A, Riyadi H dan (diakses 18 Juni 2015).
Prihananto. 2005. Laporan Feeding Program Sandjadja. 2009. Kamus Gizi: Pelengkap Kesehatan
pada Ibu Hamil dan Dampaknya terhadap Status Keluarga. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka
Gizi Ibu dan Kualitas Anak. SEAFAST Center, Utama.
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta,
Setiawan B, Sukandar D dan Briawan D. 2002.
IPB, dan Departemen Gizi Masyarakat, FEMA,
Kajian Indikator Ketahanan Pangan Berdasarkan
IPB.
Agroekosistem Lahan Kering dan Pasang Surut.
Badan Ketahanan Pangan. 2007a. Pedoman Umum Laporan Kajian. Bogor
Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi. Jakarta
Soemardjan S. 1998. Prihatin Lahir Batin: Dampak
Badan Ketahanan Pangan. 2007b. Petunjuk Berbagai Krisis dalam Rumah Tangga. Dalam
Operasional Sistem Kewaspadaan Pangan dan Prosiding Dampak Krisis Moneter dan Bencana
Gizi. Jakarta El Nino terhadap Masyarakat, Keluarga, Ibu dan
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2007. Anak di Indonesia. LIPI dan UNICEF. Jakarta
Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006- Usfar AA. 2002. Household Coping Strategies for
2010. Jakarta. Food Security in Indonesia and the Relation to
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2013. Nutritional Status: A Comparison Before and
Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. After the 1997 Economic Crisis. Thesis. Stuttgart
Jakarta. University
Baird S, Friedman J and Schady N. 2007. Aggregate World Bank. 2014. Laporan Bank Dunia:
Income Shocks and Infant Mortality in the Pertumbuhan Ekonomi Indonesia pada 2015
Developing World. Policy Research Working Diperkirakan 5,2 Persen. [terhubung berkala].
Paper 4346. Washington, DC: World Bank. http://www.worldbank.org/in/news/press-
Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. 2008b. release/2014/12/08/indonesia-to-grow-by-5-2-
Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi percent-in-2015-world-bank-report (diakses 18
Buruk. Jakarta. Juni 2015).
Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. 2009.
Pedoman Teknis SKPG Tahun 2009. Jakarta.
Grebmer KV; Fritschel H, Nestorova B, Olofinbiyi T,
Pandya-Lorch R, and Yohannes Y. 2008. Bonn,
Global Hunger Index; The Challenge of Hunger.
Bonn, Washington D.C., Dublin
Hariyadi, P. 2009. Ketahanan Pangan sebagai
Fondasi Ketahanan Nasional. Prosiding Seminar
menuju Ketahanan Pangan yang Kokoh sebagai
Buffer Krisis dan Fondasi Ketahanan Nasional
dalam rangka Persiapan Sidang Tahunan Asian
Development Bank tahun 2009.
Hariyadi, P. 2010. Penguatan Industri Penghasil
Nilai Tambah Berbasis Potensi Lokal Peranan
Teknologi Pangan untuk Kemandirian Pangan.
PANGAN Vol. 19 No. 4 Desember 2010: 295-
301
International Monetary Fund. 2009. Global Economic
Crisis: Economic Crisis Starts to Hit Worlds

Protokol Penanggulangan dan Penyelamatan Krisis Pangan dan Gizi pada Kelompok Rawan 165
Dodik Briawan, Purwiyatno Hariyadi, Eko Hari Purnomo dan Fahim M Taqi
BIODATA PENULIS

Dodik Briawan, menyelesaikan pendidikan Gizi


Masyarakat di Institut Pertanian Bogor (IPB; S1)
dan di University of Queensland, Australia (S2),
serta S3 pada bidang Gizi Manusia di IPB.
Purwiyatno Hariyadi, menyelesaikan pendidikan
S1 Teknologi Pangan di IPB, S2 Ilmu Pangan, serta
S3 Kimia Pangan dan Teknik Kimia di University of
Wisonsin-Madison, USA.
Eko Hari Purnomo, menyelesaikan pendidikan
S1 bidang Teknologi Pangan di IPB, dan bidang
Teknik Pangan di the University of New South
Wales, Australia (S2) dan University of Twente,
The Netherland (S3).
Fahim M Taqi, menyelesaikan pendidikan S1
bidang Teknologi Pangan di IPB, dan bidang
Teknik Pangan di University of Paul Cezanne dAix
Marseille III, Marseille, Perancis, dan S3 bidang
Technological Watch dan Competitive Intelligence
di Universite Paul Cezanne dAix Marseille III,
Perancis. di Perancis.

166 PANGAN, Vol. 24 No. 2 Juni 2015 : 149-166

Anda mungkin juga menyukai