Anda di halaman 1dari 72

Bab II

Teknik Pemboran

2.1 Definisi Teknik Pemboran

Pemboran adalah proses pembuatan lubang sumur yang bertujuan untuk


membuat koneksi antara permukaan dan bawah permukaan. Pemboran dalam
industri minyak dan gas bumi umumnya bertujuan untuk mencapai formasi
produktif atau formasi yang mengandung hidrokarbon. Operasi pemboran
merupakan salah satu tahap yang dilakukan dalam proses eksplorasi minyak dan
gas bumi, dimana pada prosesnya sangat memperhatikan perencanaan pemboran
yang terdiri dari tahap persiapan (persiapan tempat, pengiriman peralatan pada
lokasi, pendirian rig, peralatan penunjang, penunjukan pekerja, persiapan lumpur,
dan pengecekan sistem rig), tahap proses pemboran itu sendiri, dan tahap
penyelesaian sumur. Tahapan- tahapan tersebut dilakukan agar pemboran yang
dilakukan aman dan efisien sehingga sumur dapat berproduksi dengan baik.
Pemboran yang dilakukan haruslah seekonomis dan seaman mungkin. Didalam
pemboran terdapat macam-macam pemboran, antara lain yaitu : Pemboran
ekslporasi (wild cat), Pemboran deliniasi, dan Pemboran pengembangan (infill
drilling).

2.1.1 Tujuan Pemboran


Pemboran dalam industri minyak dan gas bumi umumnya bertujuan untuk
mencapai formasi produktif atau formasi yang mengandung hidrokarbon. Tujuan
utama dari proses pemboran adalah membuat lubang yang menghubungkan
surface dan subsurface. Selain itu pemboran juga berfungsi untuk memperoleh
data-data bawah permukaan dan membuktikan apakah terdapat hidrokarbon atau
tidak.
Untuk mendapatkan efisiensi yang besar dan hasil yang optimum, perlu
adanya perencanaan yang sangat matang dan cermat dalam suatu kegiatan
pemboran. Perencanaan yang dimaksud meliputi perencanaan peralatan pemboran

75
yang akan digunakan, perencanaan lumpur dan hidrolikanya, perencanaan casing,
perencanaan penyemenan dan perencanaan peralatan penunjang lainnya.

2.1.2 Rig Pemboran


Rig pengeboran adalah suatu instalasi peralatan untuk melakukan
pengeboran ke dalam reservoir bawah tanah untuk memperoleh air, minyak, atau
gas bumi, atau deposit mineral bawah tanah. Istilah "rig" mengacu pada kumpulan
peralatan yang digunakan untuk melakukan pengeboran pada permukaan kerak
Bumi untuk mengambil contoh minyak, air, atau mineral. Dalam suatu Instalasi
pemboran, terutama untuk pemboran migas & geothermal, lazimnya
menggunakan spesifikasi peralatan yang mampu bekerja pada rating tekanan yang
cukup tinggi mulai dari 2000 psi sampai 15000 psi. Rig pengeboran minyak dan
gas bumi dapat digunakan tidak hanya untuk mengidentifikasi sifat geologis dari
reservoir tetapi juga untuk membuat lubang yang memungkinkan pengambilan
kandungan minyak atau gas bumi dari reservoir tersebut. Dalam suatu rig
pemboran terdapat 5 sistem utama, yaitu : hoisting system (sistem angkat), rotary
system (sistem putar), circulating system (sistem sirkulasi), Blow out preventer
system (BOP sistem) dan power system (sistem tenaga).
Rig pengeboran bisa berada di atas tanah (on shore) atau di atas laut/lepas
pantai (off shore) tergantung kebutuhan pemakaianya. Walaupun rig lepas pantai
dapat melakukan pengeboran hingga ke dasar laut untuk mencari mineral-mineral,
teknologi dan keekonomian tambang bawah laut belum dapat dilakukan secara
komersial. Jenis-jenis rig pengeboran ada beberapa diantaranya, yaitu:

76
Gambar 2.1 Rig Pengeboran

1. Land Rig
Merupakan rig yang beroperasi di daratan dan dibedakan atas rig besar dan
rig kecil. Pada rig kecil biasanya hanya digunakan untuk pekerjaan sederhana
seperti Well Service atau Work Over. Sementara itu, untuk rig besar bisa
digunakan untuk operasi pemboran, baik secara vertikal maupun directional. Rig
darat ini sendiri dirancang secara portable sehingga dapat dengan mudah untuk
dilakukan pembongkaran dan pemasangannya dan akan dibawa menggunakan
truk. Untuk wilayah yang sulit terjangkau, dapat menggunakan heliportable.

Gambar 2.2 Land Rig

77
2. Swamp Barge Rig
Merupakan jenis rig laut yang hanya pada kedalaman maksimum 7 meter.
Dan sangat sering dipakai pada daerah rawa-rawa dan delta sungai. Rig jenis ini
dilakukan dengan cara memobilisasi rig ke dalam sumur, kemudian
ditenggelamkan dengan cara mengisi Ballast Tanksnya dengan air. Pada rig jenis
ini, proses pengeboran dilakukan setelah rig duduk didasar dan Spud Cannya
tertancap didasar laut.

Gambar 2.3 Swamp Barge Rig

3. Jackup Rig
Rig jenis ini menggunakan platform yang dapat mengapung dengan
menggunakan tiga atau empat kakinya. Kaki-kaki pada rig ini dapat dinaikan dan
diturunkan, sehingga untuk pengoperasiannya semua kakinya harus diturunkan
hingga ke dasar laut. Kemudian, badan dari rig ini diangkat hingga di atas
permukaan air dan memiliki bentuk seperti platform. Untuk melakukan
perpindahan tempat, semua kakinya harus dinaikan dan badan rignya akan
mengapung dan ditarik menggunakan kapal. Pada operasi pengeboran
menggunakan rig jenis ini dapat mencapai kedalaman lima hingga 200 meter.

78
Gambar 2.4 Jack Up Rig

4. Semi-submersible Rig
Jenis rig yang sering disebut semis ini merupakan model rig yang
mengapung (Flooded atau Ballasted) yang menggunakan Hull atau semacam kaki.
Rig ini dapat didirikan dengan menggunakan tali mooring dan jangkar agar
posisinya tetap diatas permukaan laut. Dengan menggunakan Thruster (semacam
baling-baling) yang berada disekelilingnya, dan Ballast Control System, sistem ini
dijalalankan dengan menggunakan komputer sehingga rig ini mampu mengatur
posisinya secara dinamis dan pada level diatas air sesuai keinginan. Rig ini sering
dipakai jika Jackup Rig tidak mampu menjangkau permukaan dasar laut. Karena
jenis rig ini sangat stabil, maka rig ini sering dipakai pada lokasi yang berombak
besar dan memiliki cuaca buruk, dan pada kedalaman 90 hingga 750 meter.

79
Gambar 2.5 Semi-Submersible Rig
5. Drill Ship
Merupakan jenis rig yang bersifat mobile dan diletakan di atas kapal laut,
sehingga sangat cocok untuk pengeboran di laut dalam (dengan kedalaman lebih
dari 2800 meter). Pada kapal ini, didirikan menara dan bagian bawahnya terbuka
ke laut (Moon Pool). Dengan sistem Thruster yang dikendalikan dengan
komputer, dapat memungkinkan sistem ini dapat mengendalikan posisi kapalnya.
Memiliki daya muat yang lebih banyak sehingga sering dipakai pada daerah
terpencil maupun jauh dari daratan.

Gambar 2.6 Drill Ship

80
2.2 Sistem Peralatan Pemboran
Menurut fungsinya, secara garis besar peralatan pemboran dapat dibagi
menjadi lima sistem peralatan utama, yaitu sistem tenaga, sistem angkat, sistem
putar, sistem sirkulasi, sistem pencegah sembur liar dan sistem penunjang.

2.2.1 Sistem Angkat


Sistem angkat (hoisting system) merupakan salah satu komponen utama dari
peralatan pemboran. Fungsi utama sistem ini adalah memberikan ruang kerja yang
cukup untuk pengangkatan dan penurunan rangkaian pipa bor dan peralatan
lainnya. Sistem angkat terdiri dari dua bagian utama, yaitu :

1. Supporting Structure
Supporting structure adalah konstruksi menara yang ditempatkan diatas titik
bor. Fungsi utamanya adalah untuk menyangga peralatan peralatan pemboran
dan juga memberi ruang yang cukup bagi operasi pemboran. Supporting strucure
terdiri dari drilling tower (derrick atau mast), sub structiure dan rig floor. Drilling
tower atau biasa disebut menara pemboran dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :
a. Conventional atau standart derrick
b. Portable Skid Mast.
c. Mobile atau trailer mounted type mast.

Menara tipe standar (derrick) tidak dapat didirikan dalam satu unit, akan
tetapi pendiriannya disambung bagian demi bagian. Menara jenis ini banyak
digunakan pada pemboran sumur dalam dimana membutuhkan lantai yang luas
untuk tempat pipa pipa pemboran. Untuk memindahkan derrick ini harus dilepas
satu persatu bagian kemudian dirangkai kembali di suatu tempat yang telah
ditentukan letaknya. Menara tipe portable posisi berdirinya dari bagian yang
dikaitkan satu dengan lainnya dengan menggunakan las maupun scrup. Tipe ini
dapat juga didirikan dengan cara ditahan oleh telescoping dan diperkuat oleh tali
tali yang ditambatkan secara tersebar. Dibandingkan tipe derrick, tipe menara ini
lebih murah, mudah dan cepat dalam pendiriannya, transportnya murah, tetapi
dalam penggunaannya terbatas pada pemboran yang tidak terlalu dalam.
Menurut API menara yang terbuat dari besi baja tercantum dalam standar 4A
dan menara kayu tercantum standar 4B. Sedangkan untuk tipe mast termasuk
dalam 4D. Ukuran menara pemboran yang penting ialah kapasitas, tinggi, luas

81
lantai dan tinggi lantai bor. Ukuran kekuatan derrick dibagi berdasarkan dua jenis
pembebanan, yaitu :
a. Compressive Load
b. Wind Load

Sedangkan compressive load dapat dihitung dari jumlah berat yang diderita
hook ditambah dengan jumlah berat menara itu sendiri (yang diderita oleh kaki
kaki pada substructure).

Gambar 2.7. Menara Bor Standar Derrick

Gambar 2.8. Standart Rig (a) dan Portable Rig (b)

82
e s c o p in g
m ast
h y d r o lic
ra m

d ra w w o rk

e n g in e

S ta n d In

P acked

Gambar.2.9 Mobile / Trailer Mounted Type Mast


2. Hoisting system
Peralatan pengangkatan terdiri dari :
a. Drawwork

Drawwork merupakan otak dari derrick, karena melalui drawwork,


seorang driller melakukan dan mengatur operasi pemboran. Drawwork juga
merupakan rumah atau tempat dari gulungan drilling line. Desain daripada
drawwork tergantung dari beban yang harus dilayani, biasanya didisain
dengan horse power (Hp) dan kedalaman pemboran, dimana kedalamannya
harus disesuaikan dengan drill pipe-nya.

Gambar 2.10. Skema Instalasi Drawwork

b. Overhead tools

83
Overhead tool merupakan rangkaian sekumpulan peralatan yang terdiri
dari crown block, traveling block, hook dan elevator.
c. Drilling line
Drilling line terdiri dari reveed drilling line, dead line, dead line anchor
dan storage and suplay. Drilling line digunakan untuk menahan (menarik)
beban pada hook. Drilling line terbuat dari baja dan merupakan kumpulan
kawat baja yang kecil dan diatur sedemikian rupa hingga merupakan suatu
lilitan. Lilitan ini terdiri dari enam kumpulan dan satu bagian tengah yang
disebut core dan terbuat dari berbagai macam bahan seperti plastic dan
textile.

c r o w n b lo c k
w a te r t a b le

d r illin g lin e s

tr a v e llin g b lo c k
la t c h fo r
e le v a t o r lin k

s a fe ty la tc h
fo r h o o k

H o o k

Gambar 2.11. Over-head Tools

f a s t lin e

re e v e d
d r illin g lin e

d e a d lin e
a n c h o r

s u p p ly re e l
(s to ra g e )

Gambar 2.12. Drilling Line

84
Gambar 2.13. Sistem Pengangkatan

2.2.2 Sistem Putar


Fungsi utama dari sistem putar (rotary system) adalah untuk memutar
rangkaian pipa bor dan juga memberikan beratan di atas pahat untuk membor
suatu formasi. Rotary system terdiri dari tiga sub komponen, yaitu :

1. Rotary assembly
Peralatan putar berfungsi untuk :
a. Memutar rangkaian pipa bor selama operasi pemboran
berlangsung.
b. Menggantungkan rangkaian pipa bor yaitu dengan slip yang
dipasang (dimasukkan) pada rotary table ketika disambung atau melepas
bagian-bagian drill pipe.
Peralatan putar ditempatkan pada lantai bor di bawah crownblock diatas
lubang, terdiri dari :
a. Meja putar ( rotary table ).
b. Top drive.
c. Masterbushing
d. Kelly bushing.
e. Rotary slip.

2. Rangkaian pipa pemboran.


Rangkaian pipa bor menghubungkan antara swivel dan mata bor, berfungsi
untuk :
a. Menaik turunkan mata bor.
b. Memberikan beban diatas pahat untuk penembusan
(penetration).
c. Meneruskan putaran ke mata bor dan
d. Menyalurkan fluida pemboran yang bertekanan ke mata bor.

85
Rangkaian pipa bor, meliputi :
a. Swivel.
b. Kelly.
c. Drill Pipe.
d. HWDP.
e. Drill Collar.

3. Mata bor atau bit.


Mata bor merupakan peralatan yang langsung menyentuh formasi, berfungsi
untuk menghancurkan dan menembus formasi, dengan cara memberi beban pada
mata bor. Jenis-jenis mata bor terdiri dari :
a. Drag Bit
b. Roller-cone Bit
c. Diamond Bit

Sistem putar yang digunakan pada pemboran minyak terbagi menjadi dua,
yaitu :
1. Sistem Putaran Konvensional (menggunakan rotary table).
Digerakkan oleh power yang sama, yang digunakan pada sistem angkat. Bisa
digunakan bersama-sama atau sendiri-sendiri. Pada sistem konvensional ini
memerlukan alat yang disebut Kelly.
2. Sistem Putar Modern (Top Drive)
Merupakan sistem putar tetapi sudah tidak menggunakan rotary table (meja
putar) tetapi sudah mempunyai mesin penggerak sendiri yang terpisah dengan
sistem angkat. Pada sistem putar terdapat pipa putar yang mentransmisikan
putaran dari meja putar ke bit / pahat.

K e lly

Penam pang
K e lly

M a s te r B u s h in g

Gambar 2.14. Skema Rotary Table Dengan Master Bushing

86
Gambar 2.15. Skema Sistem Putar Dengan Rotary Table

Gambar 2.16. Skema Sistem Putar Dengan Top Drive

2.2.3. Sistem Sirkulasi

Sistem sirkulasi terdiri dari empat sub-komponen utama, yaitu :

1. Fluida Pemboran.
Fluida pemboran adalah merupakan suatu campuran cairan (liquid) dari
beberapa komponen yang terdiri dari : air (tawar atau asin), minyak, tanah liat
(clay), bahan-bahan kimia (chemical additif), gas, udara, busa maupun detergen.
Dilapangan fluida pemboran dikenal sebagai lumpur . Dalam penentuan
komposisinya ditentukan oleh kondisi lubang bor dan jenis formasi yang di
tembus mata bor. Ada dua hal penting dalam penentuan komposisi lumpur
pemboran, yaitu :
a. Semakin ringan dan encer suatu lumpur pemboran, semakin
besar laju penembusan.

87
b. Semakin berat dan kental suatu lumpur pemboran, semakin
mudah untuk mengontrol kondisi di bawah permukaan, seperti masuknya
fluida formasi bertekanan tinggi (dikenal sebagai kick ). Bila keadaan ini
tidak dapat diatasi akan menyebabkan terjadinya semburan liar (blowout).

2. Tempat Persiapan
Ditempatkan pada sistem sirkulasi dimulai yaitu dekat pompa Lumpur.
Tempat persiapan meliputi :
a. Mud house.
b. Steel mud pits / tanks.
c. Mixing hopper.
d. Chemical mixing barrel.
e. Bulk mud storage bins.
f. Water tanks.
g. Reserve pit.

3. Peralatan Sirkulasi.
Peralatan sirkulasi merupakan komponen utama dalam system sirkulasi, turun
kerangkaian pipa bor dan naik ke annulus membawa serbuk bor kepermukaan
menuju conditioning area sebelum kembali ke mud pits untuk sirkulasi kembali.
Peralatan sirkulasi terdiri dari beberapa komponen khusus :
a. Mud pit
b. Mud pump.
c. Pump dischange and return lines.
d. Stand pipe.
e. Rotary house.

4. Conditioning Area.
Ditempatkan dekat rig. Area ini terdiri dari peralatan-perlatan khusus yang
digunakan untuk clean up Lumpur pemboran setelah keluar dari lubang bor.
Fungsi utama peralatan-peralatan ini adalah untuk membersihkan Lumpur bor dari
serbuk bor (cutting) dan gas-gas yang terbawa. Ada dua metode pokok untuk
memisahkan cutting dan gas. Pertama yaitu menggunakan prinsip gravitasi,
dimana Lumpur dialirkan melalui shale shaker dan setling tanks. Kedua yaitu

88
secara mekanik, dimana peralatan-peralatan khusus yang dipasang pada mud pits
dapat memisahkan Lumpur dan gas. Peralatannya terdiri dari :
a. Settling tanks : merupakan bak terbuat dari baja digunakan
untuk menampung lumpur bor selama conditioning.
b. Reserve pits : merupakan kolam besar yang digunakan untuk
menmpung cutting dari dalam lubang bor dan kadang-kadang untuk
menampung kelebihan lumpur bor.
c. Mud-gas separator : merupakan suatu peralatan yang
memisahkan gas yang terlarut dalam lumpur bor dalam jumlah besar.
d. Shale shaker : merupakan peralatan yang memisahkan cuttings
yang besar dari lumpur bor.
e. Desander : merupakan peralatan yang memisahkan butir-butir
pasir dari lumpur.
f. Desilter : merupakan peralatan yang memisahkan partikel-
partikel cutting yang berukuran paling halus dari lumpur.
g. Degasser : merupakan peralatan yang secara kontinyu
memisahkan gas terlarut dari lumpur.

Gambar 3.17. Sistem Sirkulasi

2.2.4. Sistem Pencegah Semburan Liar

89
Sistem pencegahan sembur liar (blow out preventer) dipasang untuk
menahan tekanan dari lubang bor. Peralatan ini disediakan pada operasi pemboran
karena peramalan tekanan tidak selalu memungkinkan. Apabila formasi
mempunyai tekanan yang besar dan kolom lumpur tidak dapat mengimbanginya
maka akan terjadi kick, yaitu intrusi fluida formasi yang bertekanan tinggi yang
masuk ke dalam lubang bor. Kick yang tidak terkendali dapat mengakibatkan
terjadinya blow out. Jadi blow out selalu diawali dengan adanya kick.
Blow Out Preventer (BOP) system berfungsi untuk menutup ruang annular
antara drill pipe dan casing bila terjadi gejala kick. Sistem peralatan ini bekerja
secara pneumatic (biasanya dipakai dengan menggunakan udara dan gas) dan
secara mekanik. BOP sistem terdiri dari BOP stack, accumulator dan supporting
system. BOP stack terdiri dari rangkaian annular preventer, pipe ram preventer,
drilling spools, blind ram preventer dan casing head. Kesemuanya ini disetkan
pada surface casing. Sedangkan tipe dan ukurannya disesuaikan dengan kondisi
tekanan lubang bor dan disesuaikan dengan ke ekonomiannya.

1. BOP Stack dan Accumulator.


Ditempatkan pada kepala casing atau kepala sumur langsung di bawah rotary
table pada lantai bor. BOP stack meliputi :
a. Annular preventer.
Ditempatkan paling atas dari susunan BOP stack. Annular preventer berisi
rubber packing element yang dapat menutup lubang annulus baik lubang
dalam keadaan kosong ataupun ada rangkaian pipa bor.
b. Pipe ram preventer.
Digunakan untuk menutup lubang annulus baik lubang pada waktu
rangkaian pipa bor berada pada lubang bor.
c. Drilling spool.
Terletak diantara preventers ( pada casing head ). Berfungsi sebagai tempat
pemasangan choke line ( yang mensirkulasikan kick keluar dari lubang
bor). Ram preventer pada sisa-sisanya mempunyai cutlets yang
digunakan untuk maksud yang sama.

90
d. Blind ram preventer.
Digunakan untuk menutup lubang bor pada waktu rangkaian pipa bor tidak
berada pada lubang bor.
e. Casing head.
Merupakan alat tambahan pada bagian atas casing yang berfungsi sebagai
pondasi BOP stack.

Accumulator biasanya ditempatkan agak jauh dari rig dengan pertimbangan


keselamatan, fungsi utamanya adalah menutup dengan cepat valve BOP stack
pada saat terjadi bahaya. Bekerja dengan high pressure hydroulis .

2. Supporting Sistem, meliputi :


a. Choke manifold
Choke manifold merupakan suatu kumpulan fitting dengan beberapa outlet
yang dikendalikan secara manual dan atau otomatis. Bekerja pada BOP
stack dengan high pressure line, disebut choke line. Bila dihidupkan,
choke manifold membantu menjaga back pressure dalam lubang bor untuk
mencegah terjadinya intrusi fluida formasi. Lumpur bor dapat dialirkan
dari BOP stack ke sejumlah valve (yang membatasi aliran dan langsung ke
reserve pits), mud-gas separator atau mud conditioning area back pressure
dijaga sampai lubang bor dapat di kontrol kembali.

b. Kill line.
Kill line bekerja pada BOP stack biasanya berlawanan, berlangsung
dengan choke manifold dan choke line. Lumpur berat dipompakan melalui
kill line ke dalam Lumpur bor sampai tekanan hidrostatik Lumpur dapat
mengimbangi tekanan formasi.

91
Gambar 3.18. Skema Penampang BOP
2.2.5. Sistem Tenaga
Sistem tenaga dalam operasi pemboran terdiri dari power suplay equipment,
yang dihasilkan oleh mesin mesin besar yang biasa dikenal dengan nama prime
mover dan distribution equipment yang berfungsi untuk meneruskan tenaga yang
diperlukan untuk mendukung jalannya kegiatan pemboran.
Hampir semua rig menggunakan internal combustion engine, dimana
penggunaan prime mover ditentukan oleh besarnya tenaga pada sumur yang
didasarkan pada casing program dan kedalaman sumur. Tenaga yang dihasilkan
prime mover besarnya berkisar antara 500 5000 Hp. Jumlah prime mover yang
diperlukan dalam suatu operasi pemboran sangat bervariatif, tergantung dari
jumlah tenaga yang diperlukan. Pada umumnya suatu operasi pemboran
memerlukan dua atau tiga buah mesin. Sedangkan untuk pemboran yang lebih
dalam memerlukan tenaga yang lebih besar, sehingga prime mover yang
diperlukan dapat mencapai empat unit.
Prime mover sebagai sistem daya penggerak harus mampu mendukung
keperluan fungsi angkat, putar, pemompaan, penerangan, dan lain lain. Dengan
demikian perencanaan dan pemilihan tipe dan jenis prime mover yang
dipergunakan harus memperhatikan hal tersebut.

92
T w o E n g in e s T h r e e E n g in e s F o u r E n g in e s

Gambar 3.19. Jenis Prime Mover

2.3 Lumpur Pemboran


Peranan Lumpur Pemboran adalah salah satu faktor penunjang dalam
pemboran baik pemboran eksplorasi maupun pengembangan. Kontrol terhadap
sifat fisiknya merupakan pekerjaan yang rutin sewaktu operasi pemboran untuk
memperkecil kemungkinan terjadinnya hole problem.

2.3.1 Fungsi Lumpur Pemboran


Pemilihan sistem lumpur berkenaan dengan sifat sifat lumpur yang cocok
dengan penanggulangan problem yang ditemui dalam pemboran. Dalam hal ini
lumpur yang diharapkan dapat memenuhi fungsi fungsi sebagai berikut :
Sebagi Media Pengangkatan Cutting
Pada bagian pertambahan sudut, cutting sampai kedasar lubang bor dengan
jarak jatuh yang pendek. Oleh karena itu pembersihan lubang memerlukan
perencanaan hidrolika dan sistem lumpur yang cocok. Lumpur dengan viskositas
dan gel strength rendah baik untuk pengangkatan cutting berukuran kecil.
Sedangkan lumpur dengan viskositas dan gel strength besar cocok untuk
pengangkatan cutting ukuran besar.

93
Membentuk mud cake yang tipis dan licin
Untuk menghindari gesekan yang berlebihan dan terjepitnya rangkaian
peralatan. Sistem lumpur yang dipilih harus mempunyai sifat fluid loss kecil dan
karakteristik mud cake yang baik dengan harga koefisien friksi relatif kecil.
Menahan cutting saat sirkulasi berhenti
Sifat gel strength lumpur yang dipilih harus memadai dalam menahan cutting.
Pengendapan cutting memperbesar gesekan, mempersulit kerja mekanis bit serta
dapat menyebabkan terjepitnya pipa.
Mendinginkan dan melumasi bit serta rangkaian pipa
Bit dan rangkaian peralatan yang rebah pada dasar lubang akan menjadi panas
karena efek gesekan dan putaran yang kontinyu. Sistem lumpur dengan panas
jenis yang memadai diperlukan agar peralatan tidak menjadi rusak dan bit tahan
lebih lama.
Media logging
Dalam pemboran horizontal digunakan MWD system yang dapat mencatat
resistivity dan radioaktivitas formasi. Sensor MWD memerlukan media
penghantar elektrolit untuk dapat mencatat data dengan baik. Water base mud dan
emulsion mud dapat digunakan untuk tujuan ini.
Mengimbangi tekanan formasi
Lumpur dengan densitas tertentu diperlukan untuk mengimbangi tekanan
formasi. Densitas lumpur yang besar akan memberikan tekanan hidrostatis yang
besar pula dan sebaliknya.
Membersihkan dasar lubang bor
Fluida dengan kandungan padatan (solid content) yang rendah merupakan
fluida yang paling baik untuk membersihkan lubang bor.
Media informasi
Pada operasi pemboran, lumpur dapat dianalisis untuk mengetahui ada
tidaknya kandungan hidrokarbon berdasarkan mud log. Analisa cutting untuk
mengetahui jenis formasi yang sedang dibor.

Mencegah gugurnya dinding lubang bor

94
Lumpur pemboran dapat menahan dinding lubang bor agar tidak runtuh,
sebab jika lubang bor kosong kemungkinan dinding akan runtuh. Adanya kolom
lumpur pada lubang bor memberikan tekanan hidrostatik untuk menhan gugurnya
dinding lubang bor.

2.3.2 Jenis Jenis Lumpur Pemboran


Penentuan jenis lumpur bor dalam suatu pemboran harus disesuaikan
dengan kebutuhan tergantung dari keadaan formasinya. Jenis lumpur yang tidak
sesuai akan menyebabkan problem pemboran. Dibawah ini akan diberikan
beberapa jenis lumpur pemboran berdasarkan fasa fluidanya, yaitu :
1. Water Base Mud
Bila bahan dasar dari lumpur adalah air maka lumpur tersebut disebut
dengan water base mud. Air yang digunakan dapat berupa air tawar maupun air
asin. Lumpur yang mempunyai bahan dasar air tawar disebut fresh water mud, dan
bila bahan dasarnya air asin disebut salt water base mud.
a. Fresh Water Mud
Fresh Water Mud yaitu lumpur yang fasa cairnya adalah air tawar dengan
kadar garam yang kecil (kurang dari 10.000 ppm = 1 % berat garam), dapat
dibedakan menjadi beberapa jenis antara lain :
Spud mud
Spud Mud digunakan untuk formasi bagian atas konduktor casing. Fungsi
utamanya mengangkat cutting dan membuka lubang di permukaan (formasi atas).
Volume yang diperlukan biasanya sedikit dan dapat dibuat dari air dan bentonite
(yield 100 bbl/ton) atau lempung (clay) air tawar yang lain menaikkan viskositas
dan gel strength pada zona-zona loss. Kadang-kadang perlu lost circulation
material, tetapi densitasnya harus kecil.
Natural mud
Natural Mud dibentuk dari pecahan-pecahan cutting dari fasa cair. Sifat-
sifatnya bervariasi tergantung dari formasi yang dibor. Umumnya tipe lumpur
yang digunakan untuk pemboran yang cepat seperti pemboran pada surface
casing (permukaan). Dengan bertambahnya kedalaman pemboran, sifat-sifat
lumpur yang lebih baik diperlukan dan natural mud ini ditreated dengan zat-zat
kimia dan additif-additif koloidal. Beratnya sekitar 9.1 10.2 ppg.

95
Bentonite treated mud
Adalah lumpur yang dibuat dari campuran bentonite, clay dan air. Lumpur
ini banyak digunakan dalam pemboran untuk menembus formasi yang bertekanan
tinggi. Bentonite adalah material yang paling umum digunakan untuk membuat
koloidal inorgis untuk mengurangi filtration loss dan mengurangi tebal mud cake.
Bentonite juga menaikkan viskositas dan gel strength dan gel yang mana dapat
dikontrol dengan thiner.

b. Salt Water Mud


Lumpur ini digunakan terutama untuk pemboran garam massif (salt dome)
atau salt stringer (lapisan-lapisan formasi garam) dan kadang kadang bila ada
aliran garam yang dibor. Filtrat lossnya besar dan mud cake-nya tebal bila tidak
ditambahkan organic colloid pH lumpur di bawah 8, karena itu perlu preservatif
untuk menahan fermentasi starch. jika salt mud-nya mempunyai pH yang lebih
tinggi, fermentasi terhalang oleh basa. Suspensi padatan sukar dicapai karena
flukolasi oleh clay. Suspensi ini bisa diperbaiki dengan penggunaan attapulgite
sebagai pengganti bentonite.

2. Emulsion Mud
Lumpur jenis ini terbagi menjadi 2 yaitu : Oil in water emulsion mud dan
Water in oil emulsion mud.
a. Oil In Water Emulsion Mud
Pada lumpur ini minyak merupakan fasa tersebar (emulsi) dan air sebagai
fasa kontinyu. Sebagai dasar dapat digunakan baik fresh maupun salt water mud.
Sifat-sifat fisik yang dipengaruhi emulsifikasi hanyalah berat lumpur, volume
filtrat, tebal mud cake dan pelumasan. Segera setelah emulsifikasi, filtration loss
berkurang. Keuntungannya adalah bit bisa tahan lama, penetrasi rate naik,
pengurangan korosi pada drill string, perbaikan pada sifat-sifat lumpur (viskositas
dan tekanan pompa boleh/dapat dikurangi), water loss turun, mud cake tipis dan
mengurangi balling (terlapisnya alat oleh padatan lumpur) pada drill string.
Viskositas dan gel strength lebih mudah dikontrol bila emulsifier juga bertindak

96
sebagai thinner. Umumnya oil in water emulsion mud dapat bereaksi dengan
penambahan zat dan adanya kontaminasi seperti juga lumpur aslinya.
Suatu keungulan lainnya adalah bahwa karena bau serta fluorensinya lain
dengan crude oil (mungkin yang berasal dari formasi), maka ini berguna untuk
pengamatan cutting oleh geolog dalam menentukan adanya minyak di pemboran
tersebut. Adanya karet-karet yang rusak dapat juga dicegah dengan penggunaan
karet sintetis.
Lumpur demikian mempunyai tendensi untuk foaming yang bisa
dipecahkan dengan penambahan surface active agent tertentu. Maintenance
lumpur ini biasanya seperti pada salt mud biasa kecuali perlunya menambah
emulsifier, minyak dan surface active deformer (anti foam).

b. Water In Oil Emlsion Mud


Lumpur jenis ini berbahan dasar bentonite + 40 % air + 50 % solar atau
menggunakan crude oil + emulsifier + additive.

3. Oil Base Mud


Lumpur ini mengandung minyak sebagai fasa kontinyu. Komposisi diatur
agar kadar airnya rendah (3 5%) volume. Reaktif lumpur ini tidak sensitive
terhadap kontaminan. Tetapi air adalah kontaminan karena memberi efek negatif
bagi kestabilan lumpur ini. Untuk mengontrol viskositas, menaikkan gel strength,
mengurangi efek kontaminasi air dan mengurangi filtrate loss, perlu ditambahkan
zat-zat kimia. Faedah oil in base mud didasarkan pada kenyataan bahwa filtratnya
adalah minyak karena itu tidak akan menghidratkan shale atau clay yang sensitive
baik terhadap formasi biasa maupun formasi produktif (jadi juga untuk
completion mud). Kegunaan terbesar adalah pada saat komplesi dari work over
sumur. Kegunaan lain adalah untuk melepaskan drillpipe yang terjepit, sehingga
mempermudah pemasangan casing dan liner. Oil base mud ini harus ditempatkan
pada suatu tangki besi untuk menghindarkan kontaminasi air, rig harus
dipersiapkan agar tidak kotor dan bahaya api berkurang. Oil base emulsion dan
lumpur oil base mempunyai minyak sebagai fasa kontinyu dan air sebagai fasa
terbesar. Umumnya oil base mud, yaitu filtratnya minyak dan karena itu tidak
menghidratkan shale atau clay yang sensitive. Perbedaan utamanya dengan oil

97
base mud adalah bahwa air ditambahkan sebagai tambahan yang berguna (bukan
kontaminan). Air yang teremulsi dapat antara 15 50 % volume, tergantung
densitas dan temperatur yang diinginkan (dihadapi dalam pemboran). Karena air
merupakan bagian dari lumpur ini, maka lumpur ini mempunyai sifat-sifat lain
dari oil base mud, yaitu dapat mengurangi bahaya api, toleran pada air, dan
pengontrolan flow properties-nya dapat seperti pada water base mud.

4. Gaseous Drilling Fluid


Digunakan untuk daerah-daerah dengan formasi keras dan kering. Dengan
gas atau udara dipompakan pada annulus, salurannya tidak boleh bocor.
Keuntungan cara ini adalah penetration rate lebih besar, tetapi adanya formasi air
dapat menyebabkan bit balling (bit dilapisi cutting atau padatan-padatan) yang
mana merugikan. Juga tekanan formasi yang besar tidak membenarkan
digunakannya cara ini. Penggunaan natural gas membutuhkan pengawasan yang
ketat pada bahaya api. Lumpur ini juga baik untuk completion pada zone-zone
dengan tekanan rendah. Suatu cara pertengahan antara lain lumpur cair dengan
gas adalah aerated mud drilling dimana sejumlah besar udara (lebih dari 95%)
ditekan pada sirkulasi lumpur untuk memperendah tekanan hidrostatik (untuk
zona lost circulation), mempercepat pemboran dan mengurangi biaya pemboran.

2.3.3 Sifat Fisik Lumpur Pemboran


Komposisi dari Lumpur bor akan menentukan sifat-sifat serta performance
dari lumpur itu sendiri. Sistem pengontrolannya harus dikoreksi terhadap formasi
selama operasi pemboran berlangsung, hal ini dimaksudkan agar Lumpur bor
bekerja sesuai dengan harapan.

98
Gambar 2.20. 1. Mud Balanced. 2. Fann VG Meter. 3. Filter Press. Peralatan yang digunakan
di laboratorium untuk mengetahui sifat fisik Lumpur Pemboran
1. Densitas
Densitas atau berat jenis, didefinisikan sebagai berat lumpur per satuan
volume total lumpur. Densitas ini menyebabkan kemungkinan untuk membantu
dalam pengaturan tekanan-tekanan di lubang subsurface formasi, sehingga dalam
operasi pemboran densitas lumpur ini harus selalu dikontrol terhadap kondisi
formasinya agar diperoleh kelakuan lumpur yang sesuai dengan fungsi yang
diharapkan terhadap formasi yang dibor. Densitas lumpur yang relatif berat bagi
suatu formasi kemungkinan akan menyebabkan terjadinya lost circulation,
sebaliknya jika densitas lumpur relatif kecil dapat menyebabkan terjadinya blow
out. Pengontrolan densitas lumpur dapat dilakukan dengan menambahkan zat-zat
aditif, yang bersifat menaikkan maupun menurunkan densitas lumpur. Additif
yang biasa digunakan untuk memperbesar harga densitas antara lain :

Tabel 2.1. SG Additif

Additif SG
Barite 4.3
Limestone 3.0
Galena 7.0
Bijih Besi 7.0

Sedangkan untuk memperkecil atau mengurangi densitas lumpur bor, pada


umumnya dipakai additif seperti :
a. Air
b. Minyak
Cara lain untuk memperkecil densitas adalah dengan jalan mengurangi
kadar padatan di permukaan. Permukaan densitas lumpur dapat dilakukan dengan
satu sirkulasi dan viscositasnya harus kecil, karena dengan penambahan berat
lumpur terjadi kenaikan viscositas. Densitas lumpur bor akan dipengaruhi oleh
temperatur, densitas akan turun jika temperatur naik. Besarnya densitas lumpur
akan menentukan tekanan hidrostatik dari kolom lumpur.

2. Viskositas

99
Viskositas adalah sifat fisik yang mengontrol besarnya shear stress akibat
adanya pergeseran antar lapisan fluida. Viskositas dapat pula didefinisikan sebagai
perbandingan antara shear stress (tekanan penggeser) dan shear rate (laju
penggeseran). Untuk cairan yang termasuk Newtonian seperti air, perbandingan
shear rate dengan shear stress ini sebanding dan konstan (gambar 3.39),
sedangkan lumpur pemboran adalah termasuk cairan Non-newtonian dimana
perbandingan shear stress dengan shear rate tidak konstan, disebut viskositas
semu (apparent viscosity) serta memberikan hubungan variasi yang luas. Tujuan
dari pengenalan viscositas lumpur ini adalah untuk :
a. Mengontrol tekanan sirkulasi yang hilang di annulus
b. Memberikan kapasitas daya angkat yang memadai.
c. Membantu mengontrol swab-pressure dan surge pressure.

Gambar 2.21. Grafik Shear Stress vs Shear Rate Untuk Fluida Newtonian

100
Gambar 2.22. Grafik Shear Stress vs Shear Rate Untuk FluidaNon-Newtonian

Penentuan Harga Shear Stress dan Shear Rate


Harga Shear stress dan Shear Rate yang masing-masing dinyatakan dalam
bentuk penyimpangan skala penunjuk (Dial Reading) dan rpm motor pada Fann
VG meter, harus diubah menjadi shear stress dan shear rate dalam satuan
dyne/cm2 dan detik-1 agar diperoleh harga satuan viskositas dalam satuan cp.
Persamaannya sebagai berikut :

= 5,007 x C .................................................................................. (2-1)

= 1,704 x RPM ........................................................................... (2-2)

Dimana :
Penentuan Harga Viscositas Nyata (Apparent Viscosity)
= shear stress, dyne/cm2
= shear rate, detik-1
C = dial reading, derajat
RPM = revolution per minute dari rotor

101
Untuk setiap harga shear rate dihitung berdasarkan hubungan :

x100
Va = ........................................................................... (2-3)
(300 x C)
Va = RPM ............................................................................ (2-4)

Penentuan Plastic Viscosity dan Yield Point


Untuk menentukan Plastic Viscosity (VP) dan Yield Point (YP) dalam suatu
lapangan, digunakan persamaan bingham plastic sebagai berikut :
600 300
Vp = 600 300 ....................................................................... (2-5)
Dengan menggunakan sebelumnya didapatkan :
VP = C600 C300 ................................................................................. (2-6)
YP = C600 VP ................................................................................. (2-7)

dimana :
Vp = plastic viscosity,cp
Yp = yield point Bingham, lb/100 ft2
C600 = dial reading pada 600 rpm, derajat
C300 = dial reading pada 300 rpm, derajat

Viskositas yang terlalu tinggi akan menyebabkan :


a. Penetration rate turun.
b. Pressure loss tinggi terlalu
banyak gesekan.
c. Pressure surges yang
berhubungan dengan Lost circulation dan swabbing yang berhubungan
dengan blow out.
d. Sukar melepaskan gas dan
cutting dari lumpur dipermukaan.

102
Viskositas yang terlalu rendah menyebabkan :
a. Pengangkatan cutting tidak
baik.
b. Material-material pemberat
lumpur diendapkan.

Untuk mengencerkan lumpur dapat dilakukan dengan pengenceran dengan


air atau dengan penambahan thinner (zat-zat kimia), sedangkan penambahan
viskositas dapat dilakukan dengan penambahan zat-zat padat/bentonite pada water
base mud dan air atau asphalt pada oil base mud.

3. Gel Strength
Pada saat lumpur bersirkulasi yang berperan adalah viskositas. Sedangkan
diwaktu sirkulasi berhenti yang memegang peranan adalah gel strength. Lumpur
akan mengagar atau menjadi gel apabila tidak terjadi sirkulasi, hal ini disebabkan
oleh gaya tarik-menarik antara partikel-partikel padatan lumpur. Gaya mengagar
inilah yang disebut gel strength. Di waktu lumpur berhenti melakukan sirkulasi,
lumpur harus mempunyai gel strength yang dapat menahan cutting dan material
pemberat lumpur agar jangan turun. Akan tetapi kalau gel strength terlalu tinggi
akan menyebabkan terlalu berat kerja pompa lumpur pemboran untuk memulai
sirkulas. Walaupun pompa mempunyai daya yang kuat, pompa tidak boleh
memompakan lumpur dengan daya yang besar, karena formasi bisa pecah.
Misalnya sirkulasi berhenti untuk penggantian bit. Agar formasi tidak pecah di
dasar lubang bor, maka sirkulasi dilakukan dengan secara bertahap, dan sebelum
melakukan sirkulasi, rotary table diputar terlebih dahulu untuk memecah gel.
Gel strength dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu progressive
gel dan fragile gel. Tipe yang pertama adalah tipe gel strength yang pada mulanya
rendah tetapi semakin tinggi dengan bertambahnya waktu, gel strengthnya
meningkat terus menerus sampai mencapai angka tertinggi. Hal ini sering terjadi
pada lumpur yang mempunyai kadar padatan yang tinggi. Tipe ini tidak
diharapkan, karena akan mendatangkan banyak kesulitan dalam operasi
pemboran, seperti : diperlukan tekanan pompa yang besar untuk memulai sirkulasi

103
kembali . Tipe yang kedua adalah tipe gel strength yang pada kondisi awalnya
relatif sudah tinggi dan hanya mengalami kenaikkan yang sangat sedikit saja
seiring dengan bertambahnya waktu. Tipe ini hanya memerlukan tenaga pompa
yang tidak begitu besar untuk memulai sirkulasi, sehingga penghematan tenaga
dan optimasi pemboran diharapkan dapat terpenuhi. Untuk melihat perbedaan dari
kedua gaya tersebut diatas (antara prosesive gel dan fragile gel) dapat ditunjukkan
pada Gambar berikut ini :

Gambar 2.21. Perbedaan Tipe Progresive Gel dan Fragile Gel

4. Yield Point
Titik keliatan (yield point) adalah sifat mengagar yang menunjukkan
besarnya tekanan minimal yang yang harus diberikan kapada fluida agar fluida
tersebut dapat bergerak. Tekanan ini akibat dari gaya tarik-menarik antara
partikel-partikel di dalam lumpur. Titik keliatan adalah parameter fluida dinamik,
sedangkan sifat menggagar (gel strength) adalah parameter fluida static.
Titik keliatan (yield Point) di lapangan disebutkan dalam satuan lb/100ft2,
dan diukur dengan fann VG meter. Harga YP pada Fann VG meter adalah
pembacaan skala pada putaran 300 rpm dikurangi harga PV. Harga biasa
digunakan antara 3 sampai 15 lb/ft2. Untuk fluida Newtonian harga YP adalah
nol. Kenaikan Yp yang berlebihan adalah akibat flukolasi YP yang tinggi baik
untuk pembersihan lubang, tetapi akan menimbulkan kehilangan tekanan yang
besar.

104
5. Filtration Loss
Filtration loss adalah kehilangan sebagian dari fasa cair (filtrat) lumpur
masuk kedalam formasi permeabel. Pengukurannya dilakukan dengan standar
filter press, dimana lumpur ditempatkan pada silinder yang dasarnya dipasang
kertas saring, dan bagian atas tabung diberikan tekanan udara/gas. Selanjutnya
volume filtrat lumpur dan tebal mud cake dicatat. API filtration rate (statik) adalah
volume (cc) filtrat/30 menit pada tekanan 100 psig. Ketebalan mud cake biasanya
diukur dalam satuan 1/32 inch. Filtration loss yang terlalu besar berpengaruh jelek
terhadap formasi maupun lumpurnya sendiri, karena dapat menyebabkan
terjadinya formation damage (pengurangan permeabilitas efektif terhadap
minyak / gas) dan lumpur akan kehilangan banyak cairan. Mud cake sebaiknya
tipis agar tidak memperkecil lubang bor (pressure loss akan naik, pressure
surges/swabbing akan membesar).

2.3.4 Komposisi Lumpur Pemboran


Secara umum lumpur pemboran terdiri dari 3 komponen atau fasa
pembentuk sebagai berikut :
1. Fasa cair (air atau minyak)
Fasa cair Lumpur pemboran pada umumnya dapat berupa air, minyak, atau
campuran air dan minyak. Air dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu air tawar
dan air asin. Air asin juga dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu air asin tidak
jenuh dan air asin jenuh. Sekitar 75% Lumpur pemboran menggunakan air
karena mudah didapat, murah, mudah dikontrol jika terdapat padatan-padatan
(solid content) dan merupakan fluida yang paling baik sebagai media penilaian
formasi. Istilah oil-base muds digunakan jika kandungan minyaknya lebih besar
dari 95%. Sedangkan emulsion muds mempunyai komposisi minyak 50-70%
(sebagai fasa kontinyu) dan air 30-50% (sebagai fasa diskontinyu).

2. Fasa padat (reactive solids dan inert solids)


a. Reactive Solid

105
Reactive solid atau fasa padatan yang bereaksi dengan sekelilingnya
membentuk koloid yang merupakan suspensi yang reaktif terdispersi dalam fasa
kontinyu (sifat koloid lumpur yang merupakan lembaran clay yang berukuran 10-
20 Amstrong dan terdispersi dalam fasa kontinyu air). Dalam hal ini clay akan
menghisap fasa cair air dan memperbaiki lumpur dengan meningkatkan densitas,
viskositas, gel strength serta mengurangi fluid loss. Mud engineer biasanya
membagi clay yang digunakan untuk lumpur menjadi tiga, yaitu :
montmorillonite, kaolinite dan illite. Montmorillonite yang paling sering
digunakan karena kemampuannya yang mudah swelling menghasilkan clay yang
homogenous bercampur dengan fresh water. Dalam literature pemboran manual,
montmorillonite direferensikan dengan bentonite, karena bentonite identik dengan
clay montmorillonite. Montmorillonite merupakan material berbentuk seperti plat
atau lempengan tipis dengan ukuran partikelnya lebih kecil dari 0,1 mikron.
Semakin kecil ukuran partikelnya, maka semakin luas bidang kontak antara
partikel solid dengan media cairannya, sehingga interconnected properties (sifat
saling berhubungan) dengan medianya besar, maka reaktifitasnya menjadi lebih
tinggi terhadap fasa cair lumpur pemboran. Seperti yang dijelaskan oleh Roger,
bentonite merupakan koloid yang sangat reaktif yang mempengaruhi sifat fisik
dan kimiawi lumpur pemboran. Sedangkan clay attapulgite, yang dapat swelling
dalam air asin, biasanya digunakan dalam kondisi lumpur salt water. Clay yang
merupakan reactive solid dapat didefinisikan sebagai padatan yang diameternya
kurang lebih 2 mikron yang mampu menyerap air sehingga mempunyai
kemampuan swelling. Kemampuan swelling ini dipengaruhi oleh gaya differensial
yang bekerja pada partikel clay, yang merupakan hasil dari gaya tolak-menolak
antara ion-ion sejenis dan gaya tarik-menarik antara ion-ion tak sejenis di
permukaan plat clay.

b. Inert Solid
Non-reactive solid merupakan zat padat yang tidak bereaksi (inert solid).
Non-reactive solid meliputi padatan-padatan dengan berat jenis rendah (low-
gravity) dan berat jenis tinggi (high-gravity). Padatan low gravity meliputi : pasir,

106
chert, limestone, dan dolomite, berbagai macam shale, dan campuran dari
berbagai macam mineral. Padatan-padatan ini berasal dari formasi yang dibor dan
terbawa oleh lumpur, dan biasannya mempunnyai ukuran yang lebih besar dari 15
mikron, dan bersifat abrasif, sehingga dapat merusak peralatan sirkulasi lumpur,
seperti liner pompa, oleh karena padatan tersebut harus segera dibuang. Menurut
Klasifikasi API, pasir adalah setiap padatan yang berukuran lebih besar dari 74
mikron; meskipun demikian setiap padatan yang berukuran lebih kecil dari pasir
juga dapat merusak peralatan.

3. Fasa Kimia (additive)


Didalam lumpur pemboran selain terdiri atas komponen pokok lumpur,
maka ada material tambahan yang berfungsi mengontrol dan memperbaiki sifat-
sifat lumpur agar sesuai dengan keadaan formasi yang dihadapi selama operasi
pemboran. Berikut ini akan disebutkan beberapa bahan kimia tersebut, yaitu untuk
tujuan : menaikkan berat jenis lumpur, menaikkan viskositas, menurunkan
viskositas, menurunkan filtration loss dan lain-lain.

Tabel 2.2. Additif Lumpur Pemboran

Additif Fungsi Additif Nama


1. Barite
Weighting Agent
Menaikkan Densitas 2. Galena
(Material Pemberat)
3. Kalsium Karbonat
1. Wyoming
Pengental Menaikkan Viskositas Bentonite
2. Attapulgite
1. Kalsium Ligno
Pengencer Menurunkan Viskositas Sulfat
2. Fosfat
Menurunkan Filtration CMC
Fluid Loss Reducer
Loss
1. M
Mengatasi Loss ilmica
Lost Circulation Material
Circulation 2. K
wik Seal
Corrosion Control Mengontrol korosi NO2
PH Adjuster Mengontrol PH NaOH
Flucoolant Mempercepat 1. F
Pengendapan Serbuk Bor luxit

107
2. B
aroflac
1. M
ogco Mul
2. T
Fas Kimia Untuk Emulsi rimulsi
Emulsifier
Minyak dan Air 3. A
tlasol
4. I
mco-Ceox

M e n g a n g k a t c u tt in g k e M e la p is i d in d in g s u m u r M e n e m b u s flu id a fo r m a s i
p e rm u k a a n d e n g a n M u d C a k e d a la m lu b a n g b o r

M e m b e r s ih k a n lu b a n g b o r d e n g a n M e n d in g i n k a n b it d a n
t e n a g a h id r o l ik p a d a b it r a n g k a ia n p ip a b o r

Gambar 2.22. Beberapa Fungsi Lumpur Pemboran

2.4 Well Control


Pemboran sumur merupakan suatu kegiatan yang menghabiskan biaya yang
sangat besar dan berteknologi tinggi, serta memiliki resiko yang besar. Resiko
yang terbesar adalah ketika sumur yang kita bor tidak terdapat apa-apa (Dry hole),
meskipun secara teknis pemboran berjalan lancar. Namun resiko yang sangat
membahayakan adalah ketika ada aliran fluida yang tidak terkontrol selama proses
pemboran berlangsung. Aliran ini akan terjadi jika tekanan pori dari formasi
(tekanan formasi) yang dibor lebih besar daripada tekanan hidrostatik (tekanan
lubang bor) yang diberikan oleh kolom lumpur di lubang sumur. Penting bahwa
tekanan lubang bor, yang disebabkan oleh kolom fluida, harus melebihi tekanan
formasi selama proses pemboran. Jika tekanan formasi lebih besar daripada
tekanan lubang sumur maka akan terjadi influx dari fluida formasi (kick) masuk

108
ke lubang sumur. Jika tidak ada aksi yang dilakukan untuk menghentikan influx
dari fluida formasi, kemudian semua lumpur akan terdorong keluar dari lubang
bor dan fluida formasi akan mengalir tak terkendali di permukaan. Ini disebut
Blowout. Aliran dari fluida formasi ini ke permukan dicegah oleh sistem kontrol
sekunder. Kontrol sekunder dicapai dengan menutup sumur pada permukaan
dengan valves, yang disebut dengan Blowout Preventer.
Mengontrol tekanan formasi, salah satunya dengan memastikan bahwa
tekanan lubang bor lebih besar daripada tekanan formasi (kontrol primer) atau
dengan menutup BOP valves di permukaan (kontrol sekunder), umumnya disebut
dengan menjaga tekanan sumur dibawah kontrol atau simpelnya disebut well
control.

2.4.1 Sebab Terjadinya Kick


Kick adalah suatu kejadian dimana fluida formasi masuk ke dalam lubang
bor karena tekanan formasi lebih besar daripada tekanan lubang bor. Dalam
melakukan pemboran, maka tekanan hidrostatik lumpur harus lebih besar daripada
tekanan formasi supaya tidak terjadi kick. Adapun sebab-sebab tekanan hidrostaik
lumpur tidak dapat mengimbangi tekanan formasi adalah :

1. Berat jenis Lumpur pemboran turun.


Dalam hal ini tekanan hidrotatis lumpur lebih kecil daripada tekanan
formasi.
Ph = 0.052 x D x w .........................................................................(2-8)

dimana:
Ph = tekanan hidrotatis lumpur, psi
D = kedalaman lubang bor, ft
w = berat lumpur, lbs/gal
Berat jenis lumpur turun diakibatkan bercampurnya fluida formasi dengan
lumpur bor. Masuknya fluida formasi ke dalam lubang bor akan menyebabkan
berat lumpur turun. Masuknya fluida lumpur pemboran dapat disebabkan karena:

109
a. Swabbing effect.
Swab effect terjadi apabila pencabutan rangkaian peralatan pemboran terlalu
cepat, sehingga antara rangkaian peralatan pemboran dan dinding lubang bor akan
sepeti piston. Ruang dibawah pahat yang ditinggalkan oleh drill string menjadi
kosong dan fluida formasi akan terhisap ke dalam lubang sumur.

b. Menembus formasi gas.


Pada waktu menembus formasi gas, cutting yang dihasilkan mengandung
gas, walaupun pada mulanya tekanan hidrostatik lumpur dapat menahan gas
supaya tidak masuk ke dalam lubang sumur, tetapi gas dapat masuk ke dalam
lubang bersama cutting. Gas keluar dari cutting masuk ke dalam lumpur, makin
lama gas makin banyak sehingga dapat menurunkan berat jenis dari lumpur bor.
Kalau hal ini terjadi, maka tekanan hidrostatik lumpur tidak dapat lagi
membendung masuknya gas ke dalam sumur secara lebih besar.

2. Tinggi kolom lumpur turun


Bila formasi pecah atau ada rekahan-rekahan pada lapisan di dalam lubang,
maka lumpur bor akan masuk ke dalam lapisan yang pecah atau rekah-rekah
tersebut. Akibat turunnya tinggi kolom di annulus tersebut, maka tekanan
hidrostatik lumpur juga akan turun pula. Adapun yang menyebabkan lumpur bor
masuk ke dalam formasi yaitu:
a. Squeeze effect
Jika sewaktu menurunkan rangkaian peralatan pemboran (drill string)
terlalu cepat, maka lumpur yang berada di bawah rangkaian (bit) terlambat
naik ke annulus diatas bit. Ini menyebabkan lumpur di bawah bit tertekan ke
formasi, karena kondisi antara rangkaian bor dengan lubang bor seperti
sebuah piston. Squeeze effect dapat mengakibatkan pecahnya formasi dan
lumpur bor akan masuk ke dalam formasi.
b. Berat jenis lumpur yang tinggi

110
Karena berat jenis lumpur yang digunakan tinggi, maka tekanan
hidrostatik lumpur menjadi besar. Bila menemui lapisan yang tekanan
rekahnya kecil, maka formasi akan rekah sehingga lumpur dapat masuk ke
dalam formasi.
c. Viskositas lumpur yang tinggi
Bila viskositas lumpur tinggi, maka disaat sirkulasi pressure loss di
annulus cukup tinggi. Hal ini dapat mengakibatkan formasi pecah bila
formasinya tidak kuat.
d. Gel strength lumpur yang tinggi
Gel strength sangat penting disaat tidak ada sirkulasi, karena dapat
menahan cutting dan menjaga material pembawa lumpur tidak menumpuk
di dasar lubang. Jika gel strength terlalu tinggi, ketika memulai sirkulasi
kembali setelah berhenti memerlukan tenaga pompa yang cukup besar. Bila
formasi tidak sanggup menahan tekanan pompa yang besar, maka formasi
akan pecah.
e. Pemompaan yang mengejut
Pemompaan yang mengejut akan dapat menyebabkan formasi pecah,
bila formasi tidak kuat. Disaat bit menembus formasi yang telah rekah
akibat pemompaan yang mengejut, maka lumpur akan mengisi rekahan dan
celah tersebut, sehingga jika lumpur masuk ke formasi cukup besar,
permukaan lumpur di annulus akan turun dan selanjutnya tekanan
hidrostatik akan turun.

3. Hilang lumpur
Hilang lumpur pada saat tertentu terlalu besar, sehingga permukaan lumpur
dalam lubang bor turun, dan tekanan hidrotatis lumpur dapat menjadi lebih kecil
daripada tekanan formasi. Hilang lumpur ini dapat terjadi karena porositas
formasi terlalu besar, formasi yang bergua (cavernous), mungkin pula karena ada
rekahan di dalam formasi.

4. Abnormal pressure.

111
Adakalanya pemboran menembus formasi dengan tekanan sangat tinggi,
dan melebihi tekanan hidrotatis lumpur. Hal ini disebabkan karena adanya
kompaksi sediment yang tidak komplit, patahan, dan kubah garam.

2.4.2 Indikasi Adanya Kick


Jika kick terjadi dan tidak dideteksi, mungkin akan berkembang menjadi
blowout. Kru pemboran harus waspada dan mengetahui tanda bahaya bahwa
indikasi influx terjadi dibawah dari lubang bor. Untuk mengetahui apa saja yang
terjadi di lubang bor, kru pemboran bergatung pada indikator-indikator yang ada
di permukaan. Indikator dipermukaan mungkin benar mengindikasi adanya kick
namun juga kadang salah, tetapi kru pemboran tetap bersiap-siap mencegah
terjadinya kick. Beberapa indikasi terjadinya kick:
a. Laju alir meningkat
b. Volume Pit Meningkat
c. Adanya aliran ketika pompa dihentikan
d. Adanya penambahan volume ketika trip
e. Drilling break
f. Gas cut mud

2.4.3 Metode Penanggulangan Well Kick

Apabila terjadi kick, maka well killing adalah cara penangulangannya.


Adapun hal-hal yang perlu dilakukan bila terjadi kick adalah sebagai berikut :
1. Bila terjadi saat pemboran berlangsung :
a. Menghentikan pompa.
b. Mengangkat kelly di atas BOP.
c. Menutup BOP dengan semua choke terbuka (menghindarkan adanya
shock karena tekanan).
d. Menutup choke perlahan (bila tekanan permukaan memungkinkan).
e. Mencatat Pdp dan Pann.
f. Mencatat kenaikan lumpur di permukaan.
g. Menyiapkan untuk sirkulasi.
2. Bila terjadi selama pengangkatan pipa :
a. Memasang full opening valve di drill string, lalu tutup.
b. Memasang back pressure valve.

112
c. Membuka full opening valve.
d. Menutup BOP dengan choke terbuka.
e. Menutup choke perlahan, bila tekanan memungkinkan.
f. Mencatat Pdp dan Pann dan kenaikan lumpur.
g. Stripping dan kemudian siap untuk sirkulasi.

Setelah diketahui bahwa terjadi kick sumur harus segera ditutup. Setelah
semua persiapan cukup maka tahap selanjutnya adalah mematikan sumur. Pada
proses mematikan sumur ini dipakai prinsip bahwa tekanan pada dasar lubang bor
harus konstan. Dalam hal ini tekanan pada dasar lubang sumur sama dengan
tekanan formasi. Ada pula pendapat dipakai tekanan tambahan S (overbalance)
antara 100 150 psi terhadap formasi, Pada Pbh = Pf + S. dalam pembicaraan ini
selanjutnya dipakai Pbh = Pf. Dalam proses mematikan sumur ini diambil
beberapa asumsi :
Pressure drop di annulus dianggap terlalu kecil dibandingkan dengan
pressure drop di dalam pipa bor, dan perubahan presure drop di annulus
juga dianggap terlalu kecil dan diabaikan.
Lubang bor dianggap dalam keadaan baik, tidak runtuh atau membesar.

Untuk menaikkan berat jenis lumpur yang akan digunakan untuk


menanggulangi kick ada berbagai macam metode, antara lain :
1. Metode Driller
Cara ini sering disebut pula sebagai Two-Circulation Method.
Sirkulasi ke-1 : keluarkan cairan kick dari dalam lubang bor dengan lumpur lama.
Sirkulasi ke-2 : lubang bor dianggap dalam keadaan baik, tidak runtuh atau
membesar.
Profil tekanan pada pipa bor pada casing dan drill pipe bahwa tekanan pada
drill pipe harus dijaga agar tetap konstan. Hal ini dapat diperoleh dengan
mengatur choke. Sementara itu cairan kick harus diberi kesempatan untuk
mengembang agar tekanan pada dasar lubang tidak terlalu besar. Tetapi
pengembangan cairan kick berarti pengurangan volume lumpur, yang juga berarti

113
pengurangan tekanan hidrostatis lumpur, yang juga berarti kenaikan tekanan pada
casing.
Pbh = Phl + Phi + Pc...........................................................................(2-9)

dimana:
Pbh = tekanan pada dasar lubang.
Phl = tekanan hidrostatis lumpur.
Phi = tekanan hidrostatis cairan kick.
Pc = tekanan pada casing/choke manifold.

Untuk perhitungan dalam mematikan kick ini biasa dipakai kill work
sheat, yang merupakan rincian pola pemompaan terutama pada tahap 1.

Gambar 2.23. Profil Tekanan Casing dan Drillpipe Pada Drillers Method

2. Wait and Weight Method


Cara ini sering juga disebut One-Circulation Method atau juga
Engineers Method. Intinya adalah :
a. Wait atau tunggu, selama membuat lumpur berat.
b. Sirkulasikan cairan kick keluar dari lubang bor dengan lumpur berat.

114
Dalam hal ini perlu dicatat, bahwa tekanan di annulus berkurang dibanding
dengan drillers method karena pada tahap kedua lumpur berat telah masuk ke
dalam annulus.

Gambar 2.24. Profil Tekanan Casing dan Drillpipe Pada Wait and Weight Method

3. Metode Concurent
Cara ketiga adalah Metode Concurent. Dalam hal ini pemompaan dilakukan
dengan memompakan lumpur lama, tetapi sambil memompakan lumpur tersebut,
lumpur diperberat. Cara ini lebih cepat, tetapi ada dua kegiatan yang harus
dikerjakan pada saat bersamaan ialah dengan memompakan lumpur dengan pola
tertentu dan memperberat lumpur. Dua pekerjaan ini dalam kenyataannya sulit
dikerjakan secara bersamaan.

4. Cara Kombinasi
Ada cara lain yang pada dasarnya adalah gabungan atau variasi dari cara-
cara tersebut di atas. Misalnya, wait and weight method, dimana harus menambah
berat lumpur sekaligus, maka penambahan dilakukan secara bertahap, sehingga
pada sirkulasi yang pertama cairan kick dikeluarkan dari dalam lubang bor dengan
lumpur berat, tetapi sebelum seberat yang diperlukan untuk mematikan sumur.

2.5 Casing

115
Setelah suatu pemboran mencapai kedalaman tertentu maka kedalam
sumur perlu dipasang casing yang kemudian disusul dengan proses
penyemenan. Casing merupakan suatu pipa baja yang intinya berfungsi
untuk menjaga stabilitas lubang bor.

2.5.1 Fungsi Casing


Secara umum fungsi dari casing adalah sebagai berikut :
a. Mencegah runtuhnya lubang bor atau caving`
b. Mencegah kontaminasi air tawar oleh lumpur pemboran
c. Menutup zona bertekanan abnormal dan zone lost
d. Membuat diameter sumur tetap
e. Mencegah hubungan langsung antar formasi
f. Tempat kedudukan BOP dan peralatan produksi

2.5.2 Klasifikasi Casing


Berdasarkan fungsinya casing dapat diklasifikasikan menjadi conductor
casing, surface casing, intermediate casing dan liner casing.
1. Conductor Casing
Casing ini dipasang pada kedalaman dekat dengan permukaan sumur, dengan kata
lain pada kedalaman yang dangkal, dimana biasanya pada kedalaman ini formasi
rapuh. Dengan kata lain casing jenis ini dipasang untuk melindungi lubang bor
dari kemungkinan runtuh dan juga berfungsi untuk menjaga kemungkinan
terjadinya kontaminasi air tanah oleh zat kimia pada lumpur pemboran.
2. Surface Casing
Casing ini berfungsi untuk menjaga formasi supaya tidak runtuh. Setelah
conductor casing dipasang, maka pemboran dilanjutkan dan formasi lubang bor
terbuka, dimana kalau terlalu panjang akan cenderung runtuh, maka diambil
patokan bahwa lubang terbuka maksimal harus dua per tiga dari kedalaman
lubang bor dan kemuidian dipasang surface casing ini. Pada surface casing ini
juga, pertama kali dipasangkan peralatan pencegah semburan liar (BOP). Hal ini
karena mengingat bahwa semakin dalam tekanan formasi akan dikhawatirkan
terjadi kick.
3. Intermediate Casing

116
Casing ini berfungsi untuk menutup formasi yang membahayakan operasi
selanjutnya. Dimana formasi yang membahayakan tersebut antara lain adalah
formasi yang bertekanan tinggi, formasi yang dapat menyebabkan lost circulation,
formasi yang mudah runtuh dan lain-lain. Suatu sumur dapat mempunyai lebih
dari satu intermediate casing, tergantung kondisi dari sumur yang bersangkutan.
4. Production Casing
Casing ini dipasang dari permukaan sampai ke formasi produktif. Kalau
selubung ini dipasang sampai puncak formasi produktif, komplesi/penyelesaian
sumurnya disebut open hole completion, sedangkan apabila menembus lapisan
produktif kemudian disemen dan diperforasi, disebut dengan perforated
competion.
5. Liner
Liner pada pokoknya mempunyai fungsi yang sama dengan production
casing tetapi tidak dipasang hingga ke permukaan. Salah satu alasan mengapa
dipergunakan liner adalah alasan biaya, karena lebih pendek maka harganya lebih
murah.

2.6 Semen Pemboran


Penyemenan merupakan salah satu kegiatan utama dalam operasi pemboran
yang dilakukan setelah pemboran berakhir dengan tujuan merekatkan casing
dengan formasi.

2.6.1 Fungsi Penyemenan


Cementing atau penyemenan adalah proses pendorongan bubur semen ke
dalam casing dan naik ke annulus yang kemudian didiamkan sampai semen
tersebut mengeras hingga mempunyai sifat melekat baik terhadap casing maupun
formasi. Fungsi semen pemboran dalam suatu pemboran dari sumur adalah :

1. Melindungi casing/liner dari tekanan yang datang dari bagian luar casing
yang dapat menimbulkan collapse.
2. Mencegah adanya migrasi fluida yang tidak diinginkan dari satu formasi ke
formasi lain.
3. Melindungi casing terhadap pengaruh cairan formasi yang bersifat korosif.

117
4. Mengurangi kemungkinan terjadinya semburan liar atau blow out melalui
annulus, melindungi casing terhadap tekanan formasi.

Untuk memenuhi fungsi-fungsi tersebut di atas, maka semen pemboran


harus memenuhi beberapa syarat, yaitu :

1. Semen setelah ditempatkan harus mempunyai kekuatan atau strength yang


cukup besar dalam waktu tertentu.
2. Semen harus memberikan daya ikat casing dengan formasi yang cukup atau
baik.
3. Semen tidak boleh terkontaminasi dengan kotoran (cairan formasi) maupun
cairan pendorong semen.
4. Semen harus stabil atau tidak mudah berubah strength-nya setelah beberapa
waktu dari penempatannya.
5. Semen harus impermeable (permeabilitas nol).

2.6.2 Macam-macam Penyemenan


Prosedur untuk penyemenan dibagi menjadi dua, yaitu primary cementing
dan secondary cementing.

1. Primary Cementing
Primary cementing adalah proses penyemenan yang dilakukan segera
setelah casing dipasang. Di dalam primary cementing ini, pertimbangan teknis
dan ekonomis tidak dapat dikesampingkan. Tujuan dari primary cementing adalah
a. Memisahkan lapisan yang akan diproduksi dengan lapisan
lapisan yang lainnya.
b. Mencegah terjadinya aliran fluida (air, minyak atau gas) dari
satu lapisan ke lapisan yang lain.
c. Memberi kekuatan pada lapisan yang lemah.
d. Melindungi casing dari korosi.
e. Melindungi casing terhadap tekanan dari luar.
f. Memberi kekuatan pada casing.
g. Mencegah terjadinya blow out dari annulus.

118
Primary cementing yang buruk dapat menyebabkan semen gagal
mengisolasi zona zona yang diinginkan. Kegagalan ini memberi pengaruh
pengaruh :
a. Stimulasi yang tidak efektif.
b. Kesalahan dalam evaluasi reservoir.
c. Adanya hubungan dengan fluida yang tidak diinginkan.
d. Pengangkatan fluida yang berlebihan.
e. Akumulasi gas didalam annulus.

T u b in g

P r o d u c tio n
P acker

P r o d u c tio n
C a s in g

G as
G a s - O il
C o n ta c t

O il
P e rfo ra s i

U p p e r p e r fo r a t io n s m u s t b e s q u e e z e d
w it h c e m e n t to r e d u c e g a s flo w

Gambar 2.25. Primary Cementing

L o s t c ir c u la tio n
zo ne
S h a llo w , S h a le C em ent
C a s in g w eaker C a s in g
C a s in g
C em ent zones
C em ent W a te r
sa nd
H e a v in g
s h a le O il
In c r e a s e d sand
O pen
M u d w e ig h t
h o le r e q u ir e d H ig h
to c o n t ro l p re s s u re
p re s s u re s zones

M e lin d u n g i f o r m a s i M e n g is o la s i f o r m a s i M e l in d u n g i d a e r a h p r o d u k s i
y a n g a k a n d ib o r y a n g b e r te k a n a n tin g g i d a ri z o n a w a te r- b e a rin g s a n d s

Gambar 2.26. Tujuan Primary Cementing

2. Secondary Cementing
Secondary cementing adalah penyemenan tahap kedua setelah primary
cementing dilaksanakan. Penyemenan tahap kedua ini bersifat memperbaiki dan

119
membantu penyemenan tahap pertama karena penyemenannya kurang sempurna.
Secondary cementing merupakan proses pendorongan bubur semen dibawah suatu
tekanan tertentu kedalam ruang kosong, seperti perforasi, rekahan, celah
dibelakang casing, maupun zona yang porous. Operasi ini banyak dilakukan
dalam pekerjaan komplesi dan work over dengan tujuan :
1. Untuk mengontrol GOR tinggi, dengan membatasi zona
minyak dengan zona gas. GOR ini perlu dikontrol untuk memperbaiki
produksi minyak.
2. Untuk mengotrol produksi air atau gas yang berlebihan. Zona
air atau gas biasanya dapat di squeeze untuk memperkecil intrusi air atau
gas.
3. Memperbaiki kebocoran casing, semen dapat diselipkan
melalui lubang akibat korosi pada casing.
4. Untuk menyekat zona lost circulation.
5. Untuk mencegah migrasi fluida lain kedalam zona yang
diproduksikan (block squeezing).
6. Untuk mengisolasi zona-zona permanent completion. Hal ini
lazim dipraktekkan di beberapa area. Setelah suatu sumur dengan banyak
zona produksi, kemudian dipasangi pipa dan masing masing zona diisolasi
dengan semen.
7. Untuk memperbaiki primary cementing, persoalan yang
dihasilkan adalah dari adanya channeling. Penyemenan yang tidak
mencukupi pada primary cementing seringkali dapat diatasi dengan
secondary cementing.
8. Untuk menutup perforasi lama, atau zona produksi pada open
hole completion.

2.6.3 Klasifikasi Semen Pemboran

1. Kelas A : Digunakan dari permukaan sampai kedalaman 6000 ft (1830


meter) dengan temperatur hingga 800C dan tidak tahan terhadap sulfate.

120
Tersedia hanya dalam tipe Ordinary (O), digunakan pada kondisi normal.
(Setara dengan ASTM C-150 tipe I).
2. Kelas B : Digunakan dari permukaan sampai kedalaman 6000 ft (1830
meter) dan temperatur hingga 800C dengan kondisi formasi banyak
mengandung sulfate. Tersedia hanya dalam tipe Ordinary (O) dan Moderate
Sulfate Resistent (MSR). (Setara dengan ASTM C-150 tipe II).
3. Kelas C : Digunakan dari permukaan sampai kedalaman 6000 ft ft (1830
meter) dan temperatur hingga 800C pada kondisi dimana diperlukan
pengerasan yang cepat. Tersedia semen tipe Ordinary (O), Moderate Sulfate
Resistent (MSR) dan High Sulfate Resistent (HSR). (Setara dengan ASTM
C-150 tipe III).
4. Kelas D : Digunakan dari kedalaman 6000 ft (1830 meter) sampai 10.000 ft
(3050 meter) dengan kondisi tekanan formasi dan temperatur agak tinggi
(antara 80 1300C). Tersedia semen tipe Moderate Sulfate Resistent (MSR)
dan High Sulfate Resistent (HSR).
5. Kelas E : Digunakan dari kedalaman 10.000 ft (3050 meter) sampai 14.000
ft (4270 meter) dengan kondisi temperatur (130 145 0C) dan tekanan
formasi tinggi. Tersedia semen tipe Moderate Sulfate Resistent (MSR) dan
High Sulfate Resistent (HSR).
6. Kelas F : Digunakan dari kedalaman 10.000 ft (3050 meter) sampai 16.000
ft (4880 meter) dengan kondisi temperatur (130 1600C) dan tekanan
formasi yang sangat tinggi. Tersedia semen tipe Moderate Sulfate Resistent
(MSR) dan High Sulfate Resistent (HSR).
7. Kelas G : Digunakan sebagai semen dasar untuk penyemenan dengan
kedalaman dari permukaan sampai 8000 ft (2440 meter) dengan temperatur
hingga 900C. Bila ditambah dengan additif, maka semen kelas G ini dapat
digunakan pada tekanan dan temperatur yang lebih tinggi serta kedalaman
yang lebih. sebagai semen dasar dan jika diperlukan dapat ditambah additif
yang sesuai. Tersedia semen tipe Moderate Sulfate Resistent (MSR) dan
High Sulfate Resistent (HSR).

121
8. Kelas H : Digunakan sebagai semen dasar untuk penyemenan dengan
kedalaman dari permukaan sampai 8000 ft (2440 meter) dengan temperatur
hingga 950C. Tersedia semen tipe Moderate Sulfate Resistent (MSR) dan
High Sulfate Resistent (HSR).

Tabel 2.3. Klasifikasi Semen Berdasarkan API


Static
API Mixing Water Slurry Weight Well Depth
Temperatur
Classification (gal/sk) (lb/gal) (ft)
(0F)
A (portland) 5.2 15.6 0 to 6.000 80 to 170
B (portland) 5.2 15.6 0 to 6.000 80 to 170
C (high early) 6.3 14.8 0 to 6.000 80 to 170
D (retarded) 4.3 16.4 6.000 to 12.000 170 to 260
E (retarded) 4.3 16.4 6.000 to 14.000 170 to 290
F (retarded) 4.3 16.2 10.000 to 16.000 230 to 320
G (basic) 5.0 15.8 0 to 8.000 80 to 170
H (basic) 4.3 16.4 0 to 8.000 80 to 203

2.6.4 Komposisi dan Pembuatan Semen

Semen yang biasa dipergunakan dalam industri perminyakan adalah semen


Portland, dikembangkan oleh Joseph Aspdin tahun 1824. Disebut Portland
karena mula-mulanya bahannya didapat dari pulau Portland di Inggris. Semen
Portland ini termasuk semen hidrolis dalam arti akan mengeras bila bertemu atau
bercampur dengan air.

Semen Portland mempunyai 4 komponen mineral utama, yaitu :

122
Gambar 2.26. Empat Komponen Semen Portland

1. Tricalcium Silicate
Tricalcium silicate (3CaO.SiO2) dinotasikan sebagai C3S, yang dihasilkan
dari kombinasi CaO dan SiO2. Komponen ini merupakan yang terbanyak dalam
semen Portland, sekitar 40 % - 50 % untuk semen yang lambat proses
pengerasannya dan sekitar 60 % - 65 % untuk semen yang cepat proses
pengerasannya (high-early strength cement). Komponen C 3S pada semen
memberikan strength yang terbesar pada awal pengerasan.

2. Dicalcium Silicate
Dicalcium silicate (2Cao.SiO2) dinotasikan sebagai C2S, yang juga
dihasilkan dari kombinasi CaO dan SiO2. Komponen ini sangat penting dalam
memberikan final strength semen. Karena C2S ini menghidrasinya lambat maka
tidak terpengaruh dalam setting time semen, akan tetapi sangat menentukan dalam
kekuatan semen lanjut. Kadar C2S dalam semen tidak lebih dari 20 %.

3. Trilcalcium Aluminate
Tricalcium aluminate (3Cao. Al2O3) dinotasikan sebagai C3A, yang
terbentuk dari reaksi antara Cao dengan Al2O3. Walaupun kadarnya lebih kecil
dari komponen silikat (sekitar 15 % untuk high early strength cement dan sekitar
3 % untuk semen yang tahan terhadap sulfat), namun berpengaruh pada rheologi
suspensi semen dan membantu proses pengerasan awal pada semen.

123
4. Tetracalcium Aluminoferrite
Tetracalcium aluminoferrite (4Cao.Al2O3.Fe2O3) dinotasikan sebagai C4AF,
yang terbentuk dari reaksi Cao, Al2O3 dan Fe2O3. Komponen ini hanya sedikit
pengaruhnya pada strength semen.API menjelaskan bahwa kadar C4AF ditambah
dengan 2 kali kadar C3A tidak boleh lebih dari 24 % untuk semen yang tahan
terhadap kandungan sulfat yang tinggi. Penambahan oksida besi yang berlebihan
akan menaikkan kadar C4AF dan menurunkan kadar C3A, dan berfungsi
menurunkan panas hasil reaksi / hidrasi C3S dan C2S. Semen Portland terbuat dari
bahan-bahan mentah tertentu, pemilihan bahan-bahan mentah tersebut sangat
berpengaruh terhadap komposisi bubuk semen yang diinginkan.

Pembuatan Semen Portland melalui beberapa tahap berikut :


1. Proses Peleburan
Dalam bagian ini ada dua cara yang umum digunakan, yaitu :
a. Dry process
Pada awal proses ini, mineral clay dan limestone sama-sama
dihancurkan.lalu dikeringkan di rotary dries. Hasilnya dibawa ke tempat
penggilingan untuk dileburkan. Kemudian hasil leburan ini masuk ketempat
penyaringan, dan partikel-partikel yang kasar dibuang dengan sistem
sentrifugal. Hasil saringan ini ditempatkan di beberapa silo (tempat
berbentuk tabung yang tertutup) dan setelah didapat komposisi kimia yang
diinginkan, kemudian akan melalui proses pembakaran Kiln..

124
Gambar 2.27. Dry Process

b. Wet Process
Material-material mentah dicampur dengan air, lalu dimasukan ke tempat
penggilingan (Grinding Mill). Campuran ini kemudian dipompa melalui
Vibrating Screen. Material-material yang kasar dikembalikan
kepenggilingan, sementara campuran yang lolos yang berupa suspensi ini
ditampung pada suatu tempat berbentuk kolom-kolom. Di tempat ini,
suspensi mengalami proses rotasi dan pemampatan sehingga didapat
campuran yang homogen. Di tempat ini pula, komposisi kimia suspensi di
ubah-ubah untuk didapatkan komposisi yang diinginkan sebelum dibawa ke
Kiln.

Gambar 2.28. Wet Process

2. Proses Pembakaran
Setelah melalui salah satu proses peleburan di atas, campuran tersebut
dimasukan ketempat pembakaran (Kiln). Di Kiln, campuran ini berputar-putar
kemudian berubah menjadi clinker. Ada 6 tahap temperatur yang harus dilalui
campuran di Kiln, yaitu :

125
Gambar 2.29. Proses Pembakaran
a. Tahap 1 (sampai 2000C)
Di tahap ini mengalami proses penguapan air bebas.

b. Tahap 2 (200 8000C)


Pada tahap ini mengalami proses pra-pemanasan, dimana partikel-partikel
clay mengalami dehidroksidasi (pembebasan unsur-unsur hidroksida).

c. Tahap 3 (800 11000C) dan Tahap 4 (1100 13000C)


Pada tahap ini mengalami proses pembebasan unsur karbon (dekarbonisasi).
Dehidroksidasi mineral-mineral clay disempurnakan dan didapat hasil yang
berbentuk kristal. Kalsium karbonat membebaskan sejumlah besar
karbondioksida. Produk bermacam-macam kalsium aluminat dan ferit mulai
terjadi.

d. Tahap 5 (1300 1500 13000C).


Pada tahap ini, sebagian campuran reaksi mencair. Dan suhu 1500 0C
(Clinkering temperature), C2S dan C3S terbentuk. Sementara itu lime,
alumunia dan oksida besi tetap dalam fasa cair.

e. Tahap 6 (1300 10000C)


Pada tahap ini, C3A dan C4AF berubah dari fasa liquid menjadi padat dan
berbentuk kristal.

3. Proses Pendinginan

126
Proses pendinginan sebenarnya telah dimulai dari sebagian tahap 5, ketika
temperatur mulai menurun dari clinkering temperature. Kualitas clinker dan
selesainya pembuatan semen sangat tergantung dari laju pendinginan perlahan-
lahan sekitar 4 50C (7 80F) sampai suhu 12500C, kemudian pendinginan cepat
sekitar 18 - 200C (32 360F) per menit. Saat laju pendinginan lambat 4 - 5 0C, C3A
dan C4AF dengan cepat mengkristal, kristal C3S dan C2S menjadi lebih teratur dan
MgO bebas juga meng-kristal (Mineral ini disebut Periclase). Pada kondisi ini,
aktifitas hidrolik kecil. Compressive strenght awal tinggi, namun stenght
lanjutnya rendah. Saat laju pendinginan cepat, fasa liquid (yang terjadi pada tahap
5) memadat seperti gelas. C3A dan C2S menurun. MgO bebas tetap dalam fasa
gelas, sehingga menjadi kurang aktif dan menyebabkan semen menjadi kurang
kokoh. Pada kondisi ini, Compressive strenght awal rendah, namun strenght
lanjutnya tinggi.

4. Proses Penggilingan
Pada tabung penggiling ada bola-bola baja, yang dapat mengakibatkan
sekitar 97 99 % energi yang masuk diubah menjadi panas. Oleh karena itu
diperlukan pendinginan, karena bila terlalu panas akan banyak gipsum yang
menghidrasi menjadi kalsium sulfat hemihidrat (CSH1/2) atau larutan anhidrit
(CS). Akhirnya dari proses penggilingan, didapat bubuk semen yang diinginkan,
yang dihasilkan dari penggilingan clinker dengan gipsum (CSH2).

Gambar 2.30. Proses Penggilingan

127
2.6.5 Sifat Fisik Semen Pemboran

Bubur semen yang dibuat harus disesuaikan sifat-sifatnya dengan keadaan


formasi yang akan disemen. Sifat-sifat bubur semen yang dimaksud adalah
sebagai berikut : density, thickening time, strength, sifat filtrasi, permeabilitas
semen, kualitas perforasi, ketahanan korosi dan pengaruh tekanan serta
temperature.

1. Densitas
Penambahan air dan additif akan berpengaruh pada density bubur semen.
Pada umumnya density bubur semen dibuat lebih besar dari density lumpur, hal ini
mengingat bahwa kontaminasi lumpur akan meningkat dengan density yang
relatif sama. Penentuan density bubur semen tergantung dari faktor berat jenis
bubuk semen dan air. Density ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Gbk Gw Ga
Dbs
Vbk Vw Va .................................................(2-10)

dimana :
Dbs : Densitas suspensi semen, ppg.
Gbk : Berat bubuk semen, lb.
Gw : Berat air, lb.
Ga : Berat additif, lb.
Vbk : Volume bubuk semen, gal.
Vw : Volume air, gal.
Va : Volume additif, gal.

Densitas suspensi semen sangat berpengaruh terhadap tekanan hidrostatis


suspensi semen di dalam lubang sumur. Bila formasi tidak sanggup menahan
tekanan suspensi semen, maka akan menyebabkan formasi pecah, sehingga terjadi
lost circulation. Untuk mengurangi densitas suspensi semen dapat ditambahkan
clay, zat-zat kimia silikat jenis jenis extender atau bahan-bahan yang dapat
memperbesar volume suspensi semen seperti pozzolan. Untuk memperbesar

128
densitas suspensi semen dapat ditambahkan pasir atau material-material pemberat
ke dalam suspensi semen seperti barite.

2. Thickening Time & Viskositas


Bubur semen harus tetap dalam keadaan cair agar dapat dipompakan ke
tempat dimana semen harus mengeras dalam waktu tertentu. Thickening Time
(pumpability) adalah waktu yang dibutuhkan bubur semen untuk mencapai
konsistensi 100 poise. Harga 100 poise ini merupakan batas bubur semen masih
dapat dipompakan. Dalam hidrasinya semen makin lama makin mengeras dan
naik viskositasnya. Viskositas pada semen disebut konsistensi karena semen
merupakan fluida yang Non-Newtonian dan ini untuk membedakan terhadap
istilah viskositas fluida newtonian. Untuk memperpanjang atau memperpendek
thickening time adalah dengan menambahkan additif-additif ke bubur semen.
Besarnya thickening time yang diperlukan adalah tergantung dari kedalaman
penyemenan, volume bubur semen yang akan dipompakan serta jenis
penyemenan. Umumnya thickening time adalah 3 3,5 jam untuk penyemenan
dengan kedalaman 6.000 18.000 ft. Waktu tersebut termasuk waktu pembuatan
bubur semen sampai penempatan semen di belakang casing ditambah dengan
harga safety faktor, sedangkan pada penyemenan yang lebih dalam dimana
tekanan dan temperatur akan semakin tinggi sehingga diperlukan additif-additif
untuk memperlambat pengerasan (thickening time).
Untuk memperpanjang thickening time perlu ditambahkan retarder ke dalam
suspensi semen, seperti kalsium lignosulfonat, carboxymethil retarder cellulose
dan senyawa-senyawa asam organik. Untuk memperpendek thickening time dapat
ditambahkan accelerator ke dalam suspensi semen seperti kalsium klorida, sodium
klorida, gypsum, sodium silikat, air laut dan additif yang tergolong dispersant.
Bila semen mengeras di dalam casing merupakan problema yang fatal bagi
operasi pemboran selanjutnya. Waktu pemompaan (pumpability time) yang
maksimum umumnya disamakan dengan thickening time dengan pertimbangan
faktor keamanan. Waktu pemompaan yang diperlukan dipengaruhi oleh tinggi
kolom dan volume suspensi semen yang harus dipompakan, kecepatan laju alir
pemompaan dan temperatur operasi sumur tersebut.

129
3. Filtration Loss
Filtration loss adalah peristiwa hilangnya cairan dalam suspensi semen ke
dalam formasi permeabel yang dilaluinya. Cairan atau umumnya air yang masuk
ini disebut dengan filtrat. Filtrat yang hilang tidak boleh terlalu banyak, karena
akan membuat suspensi semen kekurangan air yang disebut dengan flash-set. Bila
suspensi semen mengalami flash-set, maka akibatnya akan sama jika air yang
dicampurkan dalam bubur semen yang jumlahnya lebih kecil dari kadar
minimumnya. Akibatnya friksi pada annulus akan naik, pressure loss naik dan
tekanan bubur semen di annulus juga naik. Bila hal ini terjadi, maka formasi akan
rekah. Jadi dapat disimpulkan, bila formasi yang akan dilalui bubur semen
merupakan formasi yang porous dan permeabel, maka perlu penambahan additif
yang sesuai sebelum bubur semen dipompakan.

4. Water Cement Ratio (WCR)


Water cement ratio adalah perbandingan antara volume air dan semen yang
dicampurkan untuk mendapatkan sifat-sifat bubur semen yang diinginkan. Air
yang dicampurkan tidak boleh terlalu banyak ataupun kurang, karena akan
mempengaruhi baik-buruknya ikatan semen nantinya. Batasannya diberikan
dalam bentuk kadar maksimum dan minimum air. Kadar air minimum adalah
jumlah air yang dicampurkan tanpa menyebabkan konsistensi suspensi semen
lebih dari 30 Uc. Bila air yang ditambahkan lebih kecil dari kadar minimumnya
maka akan menaikkan densitas suspensi semen yang akan menimbulkan gesekan
(friksi) yang cukup besar di annulus sewaktu suspensi semen dipompakan yang
akhirnya akan menaikkan tekanan di annulus.

Tabel 2.4. Kandungan Air Normal Pada Suspensi Semen


PROPERTIS OF NEAT CEMENT SLURRIES
Slurry Weight Gallon Mixing Cuft Slurry Percent Mixing
Class
lb/gal water / sak sk. Cement water
A 15.6 5.2 1.18 46
B 15.6 5.2 1.18 46
C 15.8 6.32 1.32 56
D 16.46 4.29 1.05 38
G 15.8 4.97 1.15 44

130
H 16.46 4.29 1.05 38

5. Waiting On Cement (WOC)


Waiting on cement atau waktu menunggu pengerasan semen adalah waktu
yang dihitung saat menunggu pengerasan suspensi semen setelah semen selesai
ditempatkan. WOC ditentukan oleh faktor-faktor seperti tekanan dan temperatur
sumur, WCR, compressive strength dan additif-additif yang dicampurkan ke
dalam suspensi semen (seperti accelerator atau retarder). WOC berdasarkan API
adalah jika compressive strength mencapai 1000 psi (7 Mpa).

6. Permeabilitas
Permeabilitas diukur pada semen yang mengeras dan bermakna sama
dengan permeabilitas pada batuan formasi yang berarti sebagai kemampuan untuk
mengalirkan fluida. Semakin besar permeabilitas semen maka semakin banyak
fluida yang dapat melalui semen tersebut dan begitu pula sebaliknya.
Semen diinginkan tidak mempunyai permeabilitas. Karena jika semen
mempunyai permeabilitas besar akan menyebabkan terjadinya kontak fluida
antara formasi dengan annulus dan juga strength semen berkurang. Permeabilitas
semen dapat naik karena air yang dicampurkan dalam bentuk bubur semen terlalu
banyak. Tetapi permeabilitas semen dapat juga meningkat karena terlalu
berlebihan dalam penambahan additif.
Perhitungan permeabilitas dapat dilakukan dengan menggunakan rumus
darcy sebagai berikut :
Q L
K
A P ...............................................................(2-11)
dimana :
K : Permeabilitas, mD.
Q : Laju alir, ml/s.
: Viscositas, cp.
L : Panjang sampel, cm.
A : Luas permukaan sampel, cm2.
P : Perbedaan tekanan, psi.

131
Harga permeabilitas maksimum yang direkomendasikan oleh API adalah
tidak lebih dari 0,1 mD. Permeabilitas semen erat kaitannya dengan kekuatan
semen. Harga permeabilitas yang kecil akan menyebabkan harga strength yang
besar begitupun sebaliknya.

7. Compressive Strength & Shear Strength


Strength pada semen terbagi menjadi dua yaitu compressive strength dan
shear strength. Compressive strength didefinisikan sebagai kekuatan semen dalam
menahan tekanan-tekanan yang berasal dari formasi maupun dari casing,
sedangkan shear strength didefinisikan sebagai kekuatan semen dalam menahan
berat casing. Jadi compressive strength menahan tekanan-tekanan dalam arah
horisontal dan shear strength menahan tekanan-tekanan pada arah vertikal.

2.6.6 Additif Penyemenan


Bermacam-macam semen telah dibuat orang untuk memenuhi kebutuhan
bermacam-macam kondisi sumur, seperti kedalaman, temperatur, tekanan dan ini
dapat diubah-ubah densitas dan thickening time-nya dalam batas-batas tertentu
dengan mengubah kadar air. Additif atau zat-zat tambahan adalah material-
material yang ditambahkan pada semen untuk memberikan variasi yang lebih luas
pada sifat-sifat bubur semen agar memenuhi persyaratan yang diinginkan. Additif
ini penting sekali dalam perencanaan bubur semen karena digunakan untuk :
1. Mempercepat atau memperlambat thickening time.
2. Memperbesar strength.
3. Menaikkan atau menurunkan density bubur semen.
4. Menaikkan volume bubur semen.
5. Mencegah lost circulation.
6. Mengurangi fluid loss.
7. Menaikkan sifat tahan lama (durability).
8. Mencegah kontaminasi gas pada semen.
9. Menekan biaya.

132
a. Accelelator
Adalah additif yang digunakan untuk mempercepat pengerasan bubur
semen. Penggunaan additif ini terutama untuk penyemenan pada temperatur dan
tekanan rendah (sumur yang dibor masih dangkal) yang umumnya juga karena
jarak untuk mencapai target tidak terlalu panjang. Selain itu juga mempercepat
naiknya strength semen dan mengimbangi additif lain (seperti dispersant dan fluid
loss control agent), agar tidak tertunda proses pengerasan suspensi semennya.
Contoh-contoh additif yang berlaku sebagai accelerator yang umum digunakan
adalah Calcium Chloride, Sodium Chloride, Gypsum, Sodium Silicate dan Sea
Water.
b. Retarder
Adalah additif yang digunakan untuk memperpanjang waktu pengerasan.
Hal ini biasanya dilakukan pada penyemenan sumur yang dalam, dimana
temperaturnya tinggi. Additif yang berfungsi sebagai retarders antara lain :
Lignosulfonate, Organic Acids, Modified Lignosulfonate, Carboxy Methyl
Hydroxy Ethyl Cellulose.
c. Extender
Merupakan additif yang digunakan untuk membuat volume bubur semen
menjadi lebih banyak dari setiap sak semenya, karena diperlukan penambahan air.
Dengan demikian extenders berfungsi sebagai additif yang dapat mengurangi atau
menurunkan density bubur semen. yang termasuk extenders adalah : Bentonite-
Attapulgite, Gilsonite, Diatomaceous Earth, Perlite dan Pozzolans.
d. Weighting agents
Merupakan additif yang digunakan untuk memperbesar density bubur semen
dan biasanya digunakan pada formasi yang bertekanan tinggi yang berguna
mengurangi kemungkinan terjadinya blow out. yang termasuk dalam additif ini
adalah : Hematite, Limenite, Barite dan pasir.
e. Dispersant
Adalah additif yang berfungsi untuk mengurangi viskositas suspensi semen.
Pengurangan viskositas atau friksi terjadi karena dispersant mempunyai kelakuan
sebagai thinner (pengencer). Hal ini menyebabkan suspensi semen menjadi encer,
sehingga dapat mengalir dengan aliran turbulensi walaupun dipompa dengan laju
pemompaan yang rendah. Additif yang dapat digunakan adalah Organic Acids,
Lignosulfonate, Plymers dan Sodium Chloride.

133
f. Fluid Loss Control Agents
Fluid loss control agent adalah additif yang berfungsi mencegah hilangnya
fasa liquid semen ke dalam formasi, sehingga terjaga kandungan cairan pada
suspensi semen. Additif yang termasuk ke dalam fluid loss control agents
diantaranya polymer, CMHEC dan Latex.
g. Loss Circulation Control Agents
Seperti halnya dengan sirkulasi lumpur pemboran pada sirkulasi bubur
semen pada penyemenan bisa juga terjadi kehilangan bubur semen. Sehingga di
sini perlu ditambahkan additif untuk menghindari hal tersebut. Gilsonite dianggap
material yang paling baik untuk itu, selain itu juga dapat berfungsi sebagai
extenders. Lost Circulation Materials lainnya : Walnut Hulls, Cellophane Flakes
dan Nylon Fibers.
Tabel 2.6. Additif Untuk Semen Loss Circulation

Nature of Water
Type Material Amount Used
Particles Required
Additif for Controlling Lost Circulation
2 gal / 50
Gilsonite Graded 1 to 50 lbm/sack
lbm
Granular Perlite Expanded 1/2 to 1 cuft/sack 4 gal/cuft
0.85 gal / 50
Walnut shells Graded 1 to 5 lbm/sack
lbm
2 gal / 50
Lamellted Coal Graded 1 to 10 lbm/sack
lbm
Cellophane Flake 1/8 to 2 lbm/sack None
Fibrous
Nylon Short-fibered 1/8 to 1/4 lbm/sack None
Formulation of Material for Controlling Lost Circulation
4.8 gal / 100
Gypsum cement - -
lbm
5.0 gal / 100
Gypsum / portland cement - 10 to 20% gypsum
lbm
12 to 16
Semisolid or Bentonite cement - 10 to 25% gel
gal/sack
flash setting (the silicate
is mixed
with water
Cement + sodium silicate - -
before
adding
cement)
Quick
Bentonite / diesel oil - - -
gelling

134
h. Specially Additif
Ada bermacam-macam additif lainnya yang dikelompokkan sebagai
specially additif, diantaranya adalah silika, mud kill, radioactive tracers, fibers,
antifoam agent.

Tabel 2.7. Additif Spesial Untuk Semen

Additif Recommended Quantity


Mud decontaminants 1.0% *
Silica flour 30 to 40% *
Radioactive tracers Variable
Dyes 0.1 to 1.0% *
Hydrazine 6 gal / 1.000 bbls mud
Fibers 0.125 to 0.5% *
Gypsum 4 to 10% *
* Percent by weight of cement

2.7 Masalah-masalah Pemboran


Operasi Pemboran yang telah direncanakan dengan matang tidak selalu
berjalan dengan baik, terkadang dijumpai hambatan dalam operasi pemboran. Ada
beberapa problem yang menghambat operasi pemboran tersebut. Problem
pemboran dapat diklasifikasikan dalam empat bagian dasar, yaitu: Problem Shale,
Hilang Lumpur, Pipa Terjepit dan Well Kick

2.7.1 Shale Problem


Shale (serpih) adalah batuan sedimen yang terbentuk oleh deposisi dan
kompaksi sedimen untuk jangka waktu yang sangat lama. Serpih ini komposisi
utamanya adalah lempung (clay), lanau (silt), air dan sejumlah kecil quartz dan
feldspar. Berdasarkan kandungan airnya, serpih dapat berupa batuan yang kompak
atau batuan yang lunak dan tidak kompak, yang biasanya disebut serpih lempung
atau serpih lumpur. Serpih ini juga dapat berada dalam bentuk metamorphic
seperti slate, phylite, mica schist.
Dalam pemboran, ada dua jenis serpih yang biasa dijumpai, yaitu serpih
yang tidak kompak (sering disebut lempung) dan serpih yang kompak. Pemboran

135
yang menembus formasi shale akan menemui permasalahan, terutama pemboran
yang menembus formasi yang tidak kompak. Problem tersebut adalah runtuhnya
formasi shale ke dalam lubang bor. Formasi yang runtuh dapat menyebabkan:
lubang bor membesar, pipa bor terjepit, penyemenan yang kurang sempurna,
bertambahnya kebutuhan lumpur dan kesulitan logging. Gejala yang timbul yang
sering tampak bila sedang mengalami masalah shale:
1. Tekanan pompa naik
2. Serbuk bor bertambah
3. Air filtrasi bertambah banyak
4. Ada banyak endapan serbuk bor di dalam lubang bor
5. Terjadi gumpalan pada pahat (bit bailing)
6. Terjadi perubahan sifat-sifat lumpur, antara lain : berat lumpur bertambah,
viscositas lumpur naik, dan bertambahnya air tapisan.

Sebab-Sebab Terjadinya Shale Problem


Penyebab masalah shale ini dapat dikelompokan dari segi lumpur maupun
dari segi drilling practice atau mekanis. Beberapa penyebab dari kelompok
mekanis antara lain:
1. Erosi, karena kecepatan lumpur di annulus yang terlalu tinggi.
2. Gesekan pipa bor terhadap dinding lubang bor.
3. Adanya penekanan (pressure surge) atau penyedotan (swabbing) pada
waktu cabut dan masuk pahat (tripping).
4. Adanya tekanan dari dalam formasi.
5. Adanya air filtrasi atau lumpur yang masuk ke dalam formasi.

Usaha Untuk Menanggulangi Shale Problem


Problem shale, dalam hal ini adalah Sloughing shale berhubungan langsung
dengan adsorbsi air dari lumpur pemboran, maka perubahan dalam jenis atau
komposisi kimia lumpur akan memberikan pemecahan untuk masalah ini.
Penggunaan oil based mud telah terbukti berhasil mengurangi terjadinya
sloughing shale. Keberhasilan ini berdasarkan fakta bahwa fasa minyak
memberikan adanya membran di sekitar lubang yang mencegah adanya kontak
antara air dan serpih. Fasa air pada oil based mud dapat juga mempersiapkan

136
sedemikian hingga konsentrasi garamnya sesuai dengan lapisan yang ditembus.
Dalam hal ini, gaya osmosis atau dehidrasi sama dengan gaya hidrasi serpih dan
tekanannya, yang menyebabkan air mengalir diantara lumpur dan serpih adalah
nol. Lumpur potassium chloride polymer juga telah terbukti berhasil mencegah
terjadinya sloughing shale. Lumpur jenis ini mengurangi swelling serpih yang
diakibatkan penggantian ion sodium, Na+ (dengan kation exchange) oleh ion
potassium (K+) yang memungkinkan lembaran-lembaran lempung menjadi terikat
lebih kuat. Dispersi juga dikurangi sebagai akibat diperbaikinya tepian serpih
yang rusak oleh polymer. Jenis lumpur lain yang terbukti berhasil untuk
mengurangi masalah ini diantara lain adalah: lime-mud, gyp-mud, calcium
choride dan silicate mud, surfactant mud, polymer mud, lignosulphonate mud dan
lain-lain. Cara pencegahan yang lain adalah dengan meminimalkan waktu
dibiarkannya lubang yang mengandung serpih dalam keadaan tidak dicasing.
Sudut kemiringan lubang harus dikurangi (diusahakan lurus) dan swab serta surge
effect harus dikurangi untuk menghindari terjadinya rekahan pada bagian lubang
terbuka. Kecepatan fluida yang tinggi di annulus harus dihindari untuk
mengurangi terjadinya erosi lubang dan sloughing shale secara mekanis.

2.7.2 Pipa Terjepit (Pipe Stuck)


Definisi pipa terjepit adalah keadaan dimana bagian dari pipa bor atau
setang bor (drill collar) terjepit (stuck) di dalam lubang bor. Dalam kenyataannya
operasi pemboran tidak selalu berjalan dengan lancar, seringkali pipa bor terjepit.
Penyebab terjepitnya rangkaian pipa bor pada sumur pemboran adalah karena
adanya differential sticking maupun mechanical sticking. Masalah pipa terjepit ini
biasanya diklasifikasikan sebagai berikut :

Differential Pipe Sticking


Jenis jepitan ini terjadi oleh karena beberapa faktor. Faktor-faktor yang
menyebabkan differential pipe sticking adalah :
1. Beda tekanan hidrostatik dari kolom lumpur melebihi tekanan dari formasi
yang permeable.

137
2. Luas kontak antara rangkaian pipa dasar lubang bor dengan dinding lubang.
Bertambahnya ukuran rangkaian pipa dasar akan meningkatkan luas kontak.
Meningkatnya ketebalan mud cake akan meningkatkan luas kontak, jika
luas kontak bertambah maka semakin memperkuat jepitan karena beda
tekanan ini juga bertambah.

Gambar 2.31. Differential Pipe Sticking

Mechanical Sticking (Jepitan Mekanis)


Pipa dapat terjepit secara mekanis bila :
1. Keratan bor atau formasi yang mengalami sloughing menyumbat annulus
disekitar rangkaian bor.
2. Rangkaian bor diturunkan terlalu cepat sehingga menghantam bridge atau
tight spot atau dasar lubang.
3. Ditarik masuk ke dalam lubang kunci (key seat).

Metode yang biasanya dilakukan untuk membebaskan pipa yang terjepit


secara mekanis adalah dengan usaha menggerakkan pipa baik diputar ataupun
ditarik atau dengan mengaktifkan jar, apabila rangkaian pipa dilengkapi dengan
jar. Jika metode ini gagal, biasanya disemprotkan fluida organik dan kemudian
prosedur yang telah disebutkan tadi diulangi.

Key Seating
Di dalam lubang yang mempunyai dog leg (perubahan sudut kemiringan
lubang secara mendadak dan berada pada formasi yang lunak, tool joint drill pipe

138
membuat lubang tambahan yang merupakan perluasan dari lubang utama yang
dibuat oleh bit.

Gambar 2.32. Perkembangan Key Seat

Penanggulangan Problem Pipa Terjepit


1. Penanggulangan Differential Pipe Sticking
Walaupun sudah dicegah seperti cara-cara diatas, tetapi rangkaian pipa
bor tetap terjepit, maka ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk
membebaskan rangkaian pipa yang terjepit tersebut. Beberapa metode yang
umum digunakan adalah sebagai berikut :
a. Pengurangan tekanan hidrostatik.
Metode yang biasanya dilakukan untuk mengurangi tekanan
hidrostatik lumpur adalah pipa-U (U-Tube). Rangkaian pipa bor
dengan annulus antara rangkaian dan formasi dianggap sebagai pipa
U, dengan bit sebagai penghubung. Ada dua kondisi pada saat
terjadinya differential sticking, yaitu :
Tekanan formasi telah diketahui (contohnya pada sumur
pengembangan).
Tekanan formasi belum diketahui (misalnya pada pemboran
eksplorasi).

139
Gambar 2.33. Konfigurasi Pipa U Sumur

Jika tekanan formasi telah diketahui, overbalance pressure dapat


dikurangi secara bertahap hingga mencapai tingkat yang aman akan
tetapi tekanan hidrostatik lumpur harus selalu lebih besar daripada
tekanan formasi. Tekanan hidrostatik dapat dikurangi dengan cara
memompakan lumpur baru dengan densitas yang lebih rendah, atau
dengan memompakan sejumlah kecil fluida yang mempunyai specific
gravity (SG) rendah. Minyak solar (diesel oil) adalah fluida yang
biasanya digunakan karena SG-nya rendah, akan tetapi air tawar atau
asin (salline), dapat juga digunakan untuk mengurangi tekanan
hidrostatik. Volume fluida dengan SG rendah ditentukan dengan
menghitung pengurangan tekanan hidrostatik yang diperlukan dan
kemudian mengkonversi hasil tersebut menjadi tinggi dan volume
minyak solar atau air.
Minyak solar kemudian dipompakan melalui rangkaian sampai
seluruh volumenya. Karena minyak solar mempunyai gradien tekanan
yang lebih rendah daripada lumpur, maka tekanan total di dalam drill
pipe akan menjadi lebih kecil daripada tekanan total di annulus dan
karena itu akan ada tekanan balik menuju drill pipe.
Drill pipe kemudian dibiarkan untuk mendapatkan aliran balik
(back-flow) pada interval yang sama hingga seluruh volume minyak
solar keluar. Pada saat tersebut tinggi level fluida di annulus telah
turun sedemikan hingga tekanan hidrostatik akan sama dengan atau

140
sedikit lebih besar dari pada tekanan formasi. Selama aliran balik ini,
rangkaian bor sebaiknya dicoba digerakkan terus menerus sampai pipa
yang terjepit bebas. Jika menggunakan jar pada rangkaian, hendaknya
jar diaktifkan untuk memberikan gaya tambahan yang dapat
membebaskan pipa. Jar ini hanya berguna jika titik jepit berada di
bawahnya.
b. Perendaman dengan fluida organik
Fluida organik biasanya disemprotkan sepanjang daerah jepitan
untuk mengurangi ketebalan mud cake dan faktor gesekan. Campuran
antara minyak solar dan surfactant adalah fluida yang banyak
digunakan karena kemampuannya untuk membasahi sekeliling pipa
yang terjepit dan karena itu menciptakan lapisan tipis antara pipa dan
mud cake. Hal ini menurunkan koefisien gesek, dan pada akhirnya
akan meningkatkan efektivitas usaha-usaha mekanis untuk
membebaskan pipa. Prosedur umum yang dilakukan adalah
memompakan fluida organik ke dalam drill pipe dan secara berangsur-
angsur memompakan sejumlah kecil fluida organik tadi ke annulus
sampai seluruh daerah terjepit dapat terendam. Pipa sebaiknya
diusahakan untuk bergerak secara terus menerus selama operasi
perendaman dengan fluida organik ini. Keberhasilan operasi ini
tergantung pada volume fluida organik yang digunakan, karakteristik
mud cake, besarnya gaya differential dan penempatan fluida organik
ini pada tempat yang tepat. Agar efektif sejumlah 150 bbl fluida
adalah volume minimum yang sebaiknya disemprotkan. Fluida ini
paling tidak didiamkan selama 8 jam untuk mendapatkan hasil yang
optimum. Larutan organik tertentu juga perlu ditambahkan ke dalam
lumpur pemboran yang digunakan untuk membor formasi batuan yang
rawan terhadap kemungkinan differential sticking. Penggunaan oil
base mud akan menghasilkan pengurangan tekanan hidrostatik lumpur
dan bahan-bahan pemberat (weighting material) dapat digunakan

141
untuk mengkompensasikan berkurangnya gradien tekanan. Hal ini
sangat penting pada sumur yang memungkinkan terjadinya kick.
c. Operasi back-off
Bila tidak ada metode seperti di atas yang berhasil
membebaskan pipa yang terjepit, maka operasi back-off adalah pilihan
terakhir yang dilakukan. Operasi back-off mencakup pelepasan bagian
pipa yang masih bebas dari dalam lubang. Hal ini secara efektif berarti
melepaskan rangkaian pemboran pada atau di atas daerah jepitan dan
pengangkatan bagian pipa yang masih bebas dari dalam lubang.
Bagian rangkaian pemboran yang masih tersisa (fish), dapat diambil
dengan menggunakan peralatan DST maupun peralatan washover.
Sebagai pilihannya adalah menutup lubang (plug back) dan kemudian
membelokannya (sidetrack). Teknik pelaksanaan back-off dapat
berupa mechanical back-off, back-off shoot dan string off shoot.

2. Penanggulangan Mechanical Pipe Sticking


Metode yang biasanya dilakukan untuk membebaskan pipa yang
terjepit secara mekanis adalah dengan usaha menggerakkan pipa baik
diputar maupun ditarik atau dengan mengaktifkan jar, apabila rangkaian
pipa dilengkapi dengan jar. Jika metode ini gagal, biasanya disemprotkan
fluida organik dan kemudian prosedur yang telah disebutkan tadi diulangi.
Jika usaha tersebut belum berhasil, maka pipa haru dilepaskan dengan cara
back off.

3. Penanggulangan Key Seat


Untuk mengatasi key seat, lubang harus di-reaming dan jika
digunakan jar, maka dilakukan jar up (ke atas). Fluida organik dapat
disemprotkan untuk mengurangi gesekan sekitar key seat sehingga
memungkinkan dilakukannya usaha untuk menggerakkan pipa. Key seat ini

142
dapat dicegah dengan membor lubang lurus atau menghindari perubahan
mendadak sudut kemiringan atau sudut arah lubang pada sumur berarah.

2.7.3. Hilang Lumpur (Lost Circulation)


Hilang lumpur adalah peristiwa hilangnya lumpur pemboran masuk ke
dalam formasi. Hilang lumpur ini merupakan problem lama di dalam pemboran,
yang meskipun telah banyak penelitian, tetapi masih banyak terjadi dimana-mana,
serta kedalaman yang berbeda-beda. Hilang lumpur tejadi karena dua faktor, yakni
: faktor mekanis dan faktor formasi.

Sebab-Sebab Lost Circulation


1. Faktor Mekanis
Hilang lumpur terjadi jika tekanan hidrostatik lumpur naik hingga melebihi
tekanan rekah formasi, yang akan mengakibatkan adanya crack (rekahan) yang
memungkinkan lumpur (fluida) mengalir ke dalamnya. Hilang lumpur ini terjadi
jika besar lubang pori lebih besar daripada ukuran partikel lumpur pemboran.
Pada prakteknya, ukuran lubang pori yang didapat mengakibatkan terjadinya
hilang lumpur berada pada kisaran 0.1 - 1.00 mm. Pada lubang bagian permukaan,
hilang lumpur atau hilang sirkulasi dapat menyebabkan washout yang besar, yang
dapat menyebabkan rig pemboran yang digunakan menjadi ambles. Laju
penembusan yang tinggi akan menghasilkan keratan bor yang banyak dan bila
tidak terangkat dengan cepat akan menyebabkan kenaikan densitas lumpur yang
pada akhirnya akan menaikkan tekanan hidrostatik.
Hilang lumpur juga terjadi sebagai akibat kenaikan tiba-tiba dari tekanan
hidrostatik lumpur yang disebabkan kenaikan berat lumpur yang mendadak atau
gerakan pipa. Penurunan pipa yang cepat akan menyebabkan fluida memberikan
tekanan tambahan (surging) pada annulus.

2. Faktor Formasi
Ditinjau dari segi formasinya, maka hilang lumpur dapat disebabkan oleh:
a. Coarseley Permeable Formation

143
Contoh dari jenis formasi ini adalah pasir dan gravel. Namun tidak semua
jenis formasi ini menyerap lumpur. Untuk dapat menyerap lumpur perlu keadaan,
antara lain tekanan hidrostatis lumpur harus lebih besar daripada tekanan formasi,
formasi harus permeabel, disamping ada pengertian bahwa lumpur mampu masuk
ke dalam formasi bila diameter lubang atau pori-pori sedikitnya tiga kali lebih
besar dari diameter butiran atau partikel padat dari lumpur. Jadi kalau lumpur
sampai dapat masuk ke dalam formasi, berarti lubang atau celah-celah cukup
besar.
b. Cavernous Formation
Hilang lumpur ke dalam reef, gravel ataupun formasi yang mengandung
banyak gua-gua sudah dapat diduga sebelumnya. Gua-gua ini banyak terdapat
pada formasi batu kapur (limestone dan dolomite).
c. Fissures, Fracture, Faults
Ini merupakan celah-celah atau rekahan dalam formasi. Bila hilang lumpur
tidak terjadi pada formasi permeabel ataupun batuan kapur, biasanya ini terjadi
karena celah-celah atau retakan tersebut. Fracture ini dapat terjadi alamiah tetapi
dapat juga terjadi karena sebab-sebab mekanis (induced fractures). Hal ini dapat
terjadi misalnya karena penekanan (pressure surge) pada waktu masuk pahat,
ataupun kenaikan tekanan karena drilling practice yang tidak benar, misalnya
tekanan pompa yang terlalu tinggi, lumpur terlalu kental, gel strength terlalu
besar. Dapat juga karena perlakuan yang kurang sesuai, misalnya menjalankan
pompa secara mengejut, tekanan pompa yang terlalu tinggi, lumpur terlalu kental,
gel strength terlalu besar. Dapat juga karena perlakuan yang kurang sesuai,
misalnya menjalankan pompa secara mengejut.

Penanggulangan Lost Circulation


Cara menanggulangi hilang lumpur ini sangat berbeda antar satu dengan
yang lain, tergantung dari sebab-sebab, sifat-sifat formasi dan lain sebagainya.
Hilang lumpur dapat ditanggulangi dengan teknik penyumbatan atau dengan
teknik penyemenan.

144
1. Teknik Penyumbatan
Dalam menghadapi hilang lumpur (lost circulation) ini dipakai bahan
penyumbat. Dimana bahan penyumbat dapat terdiri dari lost circulation material
(LCM) serta bahan - bahan khusus. Lost circulation material dapat dibagi dalam 3
jenis, yaitu : material fibrous (tipe serabut), material flakes (tipe keping-kepingan)
dan material granular (tipe butiran).

a. Material Fibrous
Material fibrous terdiri dari kapas kasar, serat rami, serat kayu, leather
flock, fiber seal dan chip seal. Material jenis ini umumnya sedikit kaku dan
cenderung memaksa masuk ke dalam rekahan yang besar. Jika lumpur
mengandung konsentrasi yang cukup tinggi dari material fibrous, kemudian
dipompakan masuk ke dalam lubang bor, maka timbul tahanan gesekan yang
cukup besar akan berkembang dan berfungsi sebagai penyumbat.aliran.
b. Material Flakes
Material flakes terdiri dari mika (halus dan kasar), vermicullite dan kwik
seal (kombinasi serabut dan keping - kepingan). Material ini apabila
disirkulasikan ke dalam lubang bor akan terletak melintang lurus dimuka formasi,
dan selanjutnya akan menutup rekahan yang ada. Jika cukup kuat dalam menahan
tekanan kolom lumpur, maka material ini akan membentuk filter cake yang luas
dan kompak, tetapi apabila tidak cukup kuat menahan tekanan kolom lumpur,
maka material ini akan terdorong masuk ke dalam formasi.
c. Material Granular
Material granular terdiri dari nut shells, nut plug, tuff plug, kulit kelapa
sawit dan lain sebagainya. Dari hasil test pengaruh konsentrasi lost circulation
material terhadap besarnya fracture yang berhasil disumbat (ditutup) seperti yang
dapat dilihat pada gambar berikut, maka material granular adalah yang terbaik.
Besarnya ukuran dari rekahan yang dapat disumbat oleh material jenis granular
adalah lebih besar jika dibandingkan dari jenis lost circulation material lainnya.
Perlu diketahui bahwa dalam penggunaan lost circulation material (LCM) ini
dapat dikombinasikan dari berbagai jenis dan ukurannya (dari yang lembut,
sedang dan kasar).

145
2. Teknik Penyemenan
Apabila pencegahan problem hilang lumpur ternyata tidak berhasil maka
untuk mengatasinya dapat kita lakukan dengan penyemenan. Program
penyemenan ini dapat dikerjakan disemua zona lost. Cara mengatasi problem
hilang lumpur dengan penyemenan menggunakan prinsip keseimbangan kolom
fluida.

146

Anda mungkin juga menyukai