Anda di halaman 1dari 15

TUGAS TOKSIKOLOGI

INFORMAL FUNGSISIDA

Oleh:

Kelompok 4

Elien Dwi Septalita 101311133240


Nabila Permata S. 101311133176
Nuurul Iman 101311133149
Rio Surya Christian 101311133210
Rizki Prasetya W. 101311133226
Tria Melissa 101311133198

UNIVERSITAS AIRLANGGA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
SURABAYA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam industri pertanian secara informal yang ada di masyarakat tidak terlepas
dari hama atau penyakit yang menyerang tanaman atau produk pertanian tersebut. Hama
dan penyakit yang menyerang tanaman atau produk pertanian tersebut berbeda-beda
sesuai dengan jenis dan varietas dari tanaman tersebut. Pengendalian hama dan penyakit
yang menyerang tanaman petani (pekerja sektor informal) adalah dengan penggunaan
pestisida. Pestisida adalah semua bahan yang bersifat racun dan dapat mempengaruhi
kehidupan mikroorganisme yang bertujuan untuk membunuh jasad hidup yang
mengganggu tumbuhan dan akhirnya dapat merugikan petani yang menanam.
Pestisida dapat dikelompokkan berdasarkan jenis sasaran, bentuk fisik, bentuk
formulasi, cara kerjanya, cara masuk, golongan senyawa, dan asal (bahan aktif).
Fungisida merupakan salah satu jenis pestisida yang berdasarkan jenis sasarannya.
Fungisida sasaran utamanya adalah untuk memberantas dan mencegah fungi atau
cendawan. Pada umumnya cendawan berbentuk seperti benang halus yang tidak dapat
dilihat dengan jelas dengan menggunakan mata telanjang. Namun, kumpulan dari benang
halus ini yang disebut mycelium dapat dilihat dengan jelas dengan menggunakan mata
telanjang. Cendawan akan berkembang pesat bila kondisi sekitarnya sangat lembab, tanah
asam dan selalu basah dengan suhu sekitar 25C-30C. Pengendalian yang sering
digunakan oleh petani dalam pekerjaan sektor informal ini adalah dengan menggunakan
fungisida, karena sebagai contohnya sampai saat ini belum ada tanaman cabai merah
yang tahan terhadap antraknosa (salah satu jenis fungi atau cendawan). Prinsip
penggunaan fungisida didasarkan pada prinsip antibiotik terhadap tanaman. Prinsip
lainnya yang berpotensi untuk mengendalikan pennyakit yaitu penggunaan bahan kimia
sintetik yang mampu memicu ketahanan tanaman. Namun di sisi lain penggunaan
fungisida secara terus menerus dapat berpengaruh buruk terhadap lingkungan juga
memiliki pengaruh buruk bagi kesehatan manusia, khususnya para petani yang bekerja
melakukan penyemprotan fungisida ini dan memiliki efek yang berbahaya bagi tubuh
apabila secara terus-menerus terpapar oleh bahan pestisida jenis fungisida ini.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana toksikodinamika dari beberapa kasus yang terjadi akibat paparan fungisida?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui bahaya-bahaya yang ditimbulkan akibat dari paparan fungisida.
2. Mengetahui dampak kimia yang ditimbulkan akibat dari paparan fungisida.
3. Mengetahui gejala klinis yang ditimbulkan akibat dari paparan fungisida.
4. Mengetahui resiko kecelakaan kerja yang dapat ditimbulkan dari fungisida.
1.4 Manfaat
Hasil pengerjaan makalah ini diharapkan dapat digunakan sebagai pembelajaran dan
penambah pengetahuan apa saja bahaya dan resiko bagi kesehatan maupun keselamatan
seorang petani yang bekerja melakukan penanganan maupun penyemprotan fungisida,
dan selanjutnya menambah kesadaran petani untuk melakukan pekerjaan penyemprotan
fungisida dengan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) agar tidak terjadi kecelakaan
maupun penyakit yang diakibatkan dari paparan fungisida.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Fungisida

Fungisida berasal dari kata fungus yang berarti jamur, dan sida yang berarti racun.
Sehingga pengertian fungisida adalah pestisida yang digunakan untuk mengendalikan
jamur penyebab penyakit. Fungisida dapat berbentuk tepung, cair, gas, butiran, dan
serbuk. Secara umum, kegunaan fungisida yaitu untuk mengendalikan penyakit atau
patogen pada tanaman yang disebabkan oleh jamur atau cendawan. Penggunaan fungisida
dapat diberikan melalui injeksi pada batang, semprotan cairan secara langsung, dan
dalam bentuk fumigan (fumigasi).

Fungisida ada yang terbuat dari bahan alami, dan ada yang terbuat dari bahan
sintetis. Fungisida alami atau fungisida organik terbentuk dari bahan-bahan alami seperti
kulit randu, minyak rosemary, minyak cengkeh, minyak pohon teh, dan lain-lain.
Sedangkan fungisida sintetis dibentuk dari bahan-bahan kimia tertentu. Berdasarkan
bahan pembentuknya, fungisida alami lebih aman digunakan karena menggunakan
bahan-bahan organik. Kebanyakan fungisida berbahan dasar sulfur dalam konsentrasi
yang rendah antara 0.08 sampai 0.5% (jika dalam bentuk cair) hingga 90% (dalam wujud
bubuk).

Berdasarkan sifatnya, fungisida diklasifikasikan menjadi dua golongan, yaitu


fungisida selektif dan non selektif. Fungisida selektif digunakan untuk membunuh jamur
tertentu namun tidak menyakiti jamur lainnya, contohnya yaitu fungisida sulfur, tembaga,
quinon, heterosiklik. Sedangkan fungisida non selektif berguna untuk menghambat
sintesissterol, serta fungsi sistemik lainnya, contohnya yaitu fungisida hidrokarbon
aromatik, anti-oomycota, oxathiin, organofosfat (Hriday Chaube, V.S. Pundhir, 2006).

Sedangkan berdasarkan cara kerjanya fungisida dikategorikan menjadi fungisida


kontak, translaminar, dan sistemik. Fungisida kontak hanya bekerja pada bagian yang
tersemprot. Sedangkan fungisida translaminar bekerja dengan cara mengalir dari bagian
yang disemprot ke bagian yang tidak disemprot. Fungisida sistemik bekerja dengan cara
diserap oleh tumbuhan dan didistribusikan melalui sistem pembuluh tanaman.
Berdasarkan fungsi kerjanya, fungisida dibagi menjadi tiga yaitu fungisida,
fungistatik, dan genestatik. Fungisida dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan
jamur atau cendawan. Fungistatik berfungsi hanya untuk menghambat pertumbuhan
jamur atau cendawan. Sedangkan organostatik berfungsi untuk mencegah terjadinya
sporulasi.

Residu fungisida telah ditemukan pada makanan manusia. Hal ini dikarenakan pemberian
fungisida pada pasca panen guna memperpanjang usia simpan hasil pertanian. Fungisida
seperti vinclozolin diketahui sangat berbahaya dan saat ini telah dilarang penggunaannya.
Sejumlah fungisida pun telah diatur penggunaannya.

2.2 Sifat Fisik Dan Kimia Fungisida

Secara umum sifat fisik fungisida yaitu:Berbentuk cair, gas atau padat. Sedangkan
sifat kimia fisik secara spesifik berbeda-beda tergantung dari jenis fungisidanya. Sebagai
contoh,
Fungisida jenis Cupric sulphate-tricupric hydroxide-hemihydrate mempunyai sifat:
Rumus Empiris : Cu H O S
Berat Molekul : 461,27
Warna : Biru kehijau-hijauan
Berat Jenis : 1,27 g/cm pada suhu 20C
Kekentalan : 2500 mPas pada suhu 20C
Kandungan bahan aktif : 345 g/L copper oxy sulfate
pH : 6-8
Flammabilitas : Tidak mudah terbakar
Explosivitas : Tidak mudah terbakar
Namun, secara umum sifat-sifat fungisida yang baik yaitu:
a. meracuni patogen sasaran;
b. tidak bersifat fitotoksit;
c. efek residunya minimal, agar tidak polusi;
d. tidak mudah terbakar;
e. tidak merusak alat;
f. dapat merata dan melekat pada daun; dan
g. aktif dalam waktu yang tidak terlalu lama.
2.3 Sumber Fungisida
Sumber fungisida terdapat beberapa jenis yaitu fungisida anorganik, fungisida organik,
fungisida nabati
1. Fungisida anorganik
Dengan menggunakan logam berat seperti Tembaga (Cu) dapat menyebabkan
koagulasi protoplas pathogen dan punya daya oligodinamik yaitu proses
penghambatan ion logam terhadap pertumbuhan mikroba khususnya jamur akan
tetapi sumber fungisida dari logam berat sudah ditinggalkan karena dampak yang
besar bagi tumbuhan dan pekerja
2. Fungisida organik
Dengan menggunakan belerang dan klor. Fungsida organik lebih tidak toksik
daripada fungsisida anorganik dan lebih manjur karena aman bagi lingkungan,
sifat toksik rendah. Belerang dicampur dengan kapur akan menghasilkan bubur
kalifornia sebagai fungisida. Dalam penggunaan belerang terbanyak adalah
golongan fungisida karbamat. Mekanisme karbamat yaitu Gugus C=S
ditiokarbamat oleh jamur diubah menjadi isotiosianat ( N=C=S), dan senyawa ini
akan menginaktifasi gugus SH asam amino pada jamur. Untuk penggunaan klor
dapat menghambat -NH2 dan SH pada asam amina jamur
3. Fungsisida nabati
Dibuat dari menggunakan ekstrak dari tanaman seperti daun mindi, daun sirih,
daun cengkeh, dan batang serai. Fungisida ini sangatlah terjangkau dan dapat
diapplikasikan langsung oleh petani maupun bidang pertanian.

2.4 Fase Toksikologi Fungisida


Terdapat berbagai contoh dari fungisida contohnya, senyawa merkuri (metil dan etil
merkuri), arsenik, benomil, pentaklorofenol, dan sebagainya. Berikut di bawah ini akan
diuraikan fase kerja dari beberapa contoh fungisida, yaitu arsenik dan merkuri
2.4.1 Fase Eksposisi
1. Arsenik
Fase eksposisi arsenik atau arsen, dalam mekanisme masuknya ke dalam
tubuh terdiri dari tiga macam mekanisme yaitu, melalui saluran pencernaan,
melalu saluran pernapasan, dan melalui kulit. Mekanisme masuknya arsen
melalui saluran pencernaan dalam bentuk makanan atau minuman yang
tertelan dan secara cepat akan diserap lambung dan usus halus, selanjutnya
akan masuk ke peredaran darah (Wijanto, 2005). Arsenik yang terdapat pada
bidang industri pertanian, arsenik trioksid dapat bercampur dengan debu,
sehingga udara dan air di lingkungan tersebut berisiko terpapar kontaminan
arsen. Pemajanan arsenik yang sering terjadi adalah melalui kulit, contohnya
adalah pencemaran lingkungan atau pencemaran industri di tempat kerja, baik
itu pemajanan sengaja atu tidak sengaja pada kulit.
2. Merkuri
Mekanisme masuknya merkuri ke dalam tubuh dapat melalui saluran
pencernaan (makanan), saluran pernapasan, dan melalui kulit. Makanan yang
mengandung merkuri dan tertelan akan diserap oleh lambung, melalui saluran
pencernaan, kemudian akan masuk ke peredaran darah. Merkuri yang terhirup
melalui pernapasan akan mengisi ruang dari paru-paru dan berikatan dengan
darah (Palar, 2008). Merkuri yang masuk melalui jalan pencernaan dan
pernapasan pada akhirnya akan terakumulasi dalam otak, hati, dan ginjal.
Masuknya merkuri melalui kulit akan berikatan dengan sel dan menimbulkan
iritasi kulit.
2.4.2 Fase Toksikokinetik
1. Arsenik
a. Adsorbsi
Absorbsi arsen akan lebih mudah apabila lapisan stratum corneum (lapisan
terluar epidermis) rusak atau apabila integritas kulit terganggu. Senyawa
arsen yang larut dalam air diadsorbsi dari semua selaput lendir. Absorbsi
senyawa arsen yang sulit laurt dalam air contohnya As2O3, dimana
senyawa ini sangat tergantung pada kehalusan dari bagiannya (fineness of
subdivission).
b. Distribusi
Arsen akan mengikat globulin dalam darah. Setelah arsen masuk ke dalam
tubuh selama kurun waktu 24 jam, arsen dapat ditemukan dalam
konsentrasi tinggi di berbagai organ tubuh, seperti hati, ginjal, limpa, paru-
paru, dan saluran pencernaan). Arsen mengikat gugus sulfhidril (-SH)
dalam protein jaringan. Sebagian kecil arsen menembus blood-brain
barrier.
c. Ekskresi
Arsenik diekskresikan melalui ginjal, metabolit urine empat arsenat,
arsenit, dan trivalen arsenk didetokfikasikan di hati dengan metilasi
dihasilkan asam monomethylarsenic dan dimetil asam arsenik
2. Merkuri
a. Adsorbsi
Merkuri masuk ke dalam tubuh melalui paru-paru dalam bentuk uap atau
debu. Sekitar 80% uap merkuri yang terinhalasi dan diabsorbsi . Absorbsi
merkuri logam yang tertelan dari saluran cerna hanya dalam jumlah kecil
yang dapat diabaikan, sedangkan senyawa merkuri larut air mudah
diabsorbsi. Beberapa senyawa merkuri organik dan anorganik dapat
diabsorbsi melalui kulit.
b. Distribusi
Unsur merkuri yang diabsorbsi dengan cepat dioksidasi menjadi ion
Hg2+, yang memiliki afinitas berkaitan dengan subtrat-substrat yang kaya
gugus tersebut. Merkuri ditemukan dalam ginjal (terikat pada
metalotionen) dan hati. Merkuri dapat melewari darah, otak, dan plasenta.
Metal merkuri mempunyai afinitas yang kuat terhadap otak. Sekitar 90%
merkuri terdapat dalam eritrosit. Metabolisme senyawa alkil merkuri
serupa dengan metabolisme merkuri logam atau senyawa anorganiknya.
Senyawa fenil dan dan metoksietil merkuri dimetabolisme dengan lambat.
c. Ekskresi
Unsur merkuri dan senyawa anorganikanya dieliminasi lebih banyak
melalui kemih dibandingkan feses. Sedangkan senyawa merkuri anorganik
terutama diekskresi melalyi feses sampai 90%. Waktu paruh biologis
merkuri anorganik mendekati 6 minggu.

2.4.3 Fase Toksikodinamik


1. Arsenik
Arsen mempengaruhi respirasi sel dengan car mengikat gugus sulfhidril (-
SH) pada dihirolpoat, sehingga menghambat kerja enzim yang terikat dengan
transfer energi, terutama pada piruvat, sehingga menimbulkan efek patologis
yang reversibel. Sebagian arsen menggantikan gugus fosfat sehingga terjadi
gangguan oksidasi fosforilasi dalam tubuh.
Senyawa arsen memiliki tempat predileksi pada endotel pembuluh darah
dan menyebabkan paralisis kapiler, dilatasi, dan peningkatan permeabilitas.
Pembuluh darah jantung yang terpajan arsen menimbulkan petekie
subepikardial dan subendokardial. Efek lokal arsen pada kapiler
menyebabkan serangkaian respon kongesti, statis, dan trombosis sehingga
menyebabkan nekrosis dan iskemia jaringan.
2. Merkuri
Keracunan akut yang disebabkan oleh logam merkuri umumnya terjadi
pada pekerja, salah satunya di pertanian. Keracunan akut yang ditimbulkan
oleh logam merkuri dapat diketahui dengan mengamati gejala-gejala berupa
peradangan pada tenggorokan, rasa sakit pada bagian perut, mual, dan
muntah. Apabila gejala-gejala awal tersbeut tidak segera diatasi, penderita
akan mengalami pembengkakan pada kelenjar ludah, radang pada ginjal
(nephritis) dan radang pada hati (hepatitis).
Sedangkan pada peristiwa keracunan kronis oleh merkuri, terdapat dua
organ tubuh yang sering mengalami gangguan yaitu, pada sistem pencernaan
dan sistem saraf. Radang gusi (gingivitis) merupakan gangguan paling umum
yng terjadi pada sistem pencernaan. Tanda seseroang menderita keracunan
kronis merkuri dapat dilihat dari organ matanya. Pada lensa mata penderita
terdapat warna abu-abu sampai gelap, atau abu-abu kemerahan, semua tanda
tersebut dapat dilihat dengan mikroskop mata. Selain itu, gejala keracunan
kronis merkuri adalah terjadinya anemia ringan (Palar, 2008).

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Studi Kasus
Rendahnya konsumsi buah dan sayuran diketahui disebabkan karna beberapa
faktor, salah satunya adalah rendahnya mutu buah dan sayur karena disebabkan tingginya
residu pestisida. Pestisida yang sering digunakan pada buah dan sayur adalah insektisida
dan fungisida. Fungisida pada buah-buahan seperti melon sudah mulai digunakan saat
masa pengecambahan benih dengan cara direndam dalam air selama 4-6 jam.
Pestisida meracuni manusia tidak hanya pada saat pestisida itu digunakan, tetapi
juga saat mempersiapkan, atau sesudah melakukan penyemprotan. Dari hasil
pemeriksaan cholinesterase pada petani melon di Kecamatan Penawangan Kabupaten
Grobogan diperoleh rata-rata hasil pemeriksaan sekitar 8.288 U/L dan hasil pemeriksaan
tertinggi 11.350 U/L dengan standar normal untuk laki-laki 4.620- 11.500 U/L, hal ini
berarti kandungan pestisida dalam darah petani ada yang mendekati ambang batas
tertinggi. Tingginya kadar cholinesterase dalam darah petani dapat menimbulkan
gangguan kesehatan (Yuantari, dkk, 2012).
Penelitian ini merupakan hasil penggunan fungisida pada kelompok petani melon
di Desa Curut Kecamatan Penawangan Kabupaten Grobogan. Petani melon tersebut
menggunakan jenis fungisida sistemik yang cukup banyak dan penggunaannya tidak
sesuai petunjuk penggunaan karena beranggapan bahwa semakin banyak menggunakan
pestisida (fungisida) akan semakin melindungi melon dari serangan hama, jamur, dan
penyakit. Fungisida yang digunakan merupakan fungisida sistemik dimana Fungisida
sistemik ini bersifat mencegah serangan cendawan (jamur) dengan cara membuat semua
bagian tanaman menjadi beracun, sehingga menghambat atau mencegah cendawan
melakukan penetrasi ke semua bagian tanaman. Sifat fungisida ini adalah pengendalian
preventif, artinya fungisida ini akan disemprotkan sebagai langkah pencegahan supaya
jamur tidak mengganggu tanaman. Namun, banyaknya jenis fungisida yang digunakan
petani melon tersebut membuat melon menjadi sangat rentan terhadap jamur, dampaknya
petani menggunakan lebih banyak larutan fungisida dari berbagai merek untuk mengatasi
masalah tersebut.
Jenis fungisida yang digunakan antara lain Nativo, Antracol, Folirfos, Indar dan
Heksa. Petani yang terpajan fungisida melalui kulit saat menyemprotkan ke tanaman,
maka akan terjadi iritasi dan dermatitis. Kebanyakan fungisida akan menyebabkan iritasi
pada saluran pernafasan, selaput lendir, membrane mata dan hidung. Semua fungisida
bersifat sitotoksik dan karena mutagenik, maka dapat menyebabkan mutasi, kanker dan
teratogenik. Semakin lama petani penyemprot menggunakan pestisida maka diasumsikan
semakin besar kemungkinan terjadinya keracunan bahan kimia pada petani penyemprot
pestisida tersebut.

Hasil penelitian Pesticide Action Network Asia and the Pasific (PANAP) tentang
bahaya pestisida di Wonosobo, Jawa Tengah sebagai bagian pemantauannya di kawasan
Asia, pada Agustus-Oktober 2008 menunjukkan bahwa 6 orang terdiri dari 2 orang
perempuan dan 4 orang laki-laki dari 100 responden mengalami gangguan kesehatan.
Hasil yang tercantum dalam buku berjudul Communities in Peril: Asian regional report
on community monitoring of highly hazardous pesticide use 2010
(http://www.panap.net) tersebut menyebutkan, dua orang laki-laki terpapar pestisida
Matador (lambda cyhalothrin).

Satu orang petani mukanya tersembur gramoxone (paraquat) setelah dia membuka
tank penyemprot. Mukanya terbakar, memar dan mengelupas. Luka-lukanya telah
berlangsung sebulan dan dia hanya mengobatinya secara tradisional. Petani lainnya
mengalami sakit kepala, mual-mual, pandangan kabur setelah dia mencampur pestisida
Matador di rumahnya saat cuaca berawan. Dia mengobatinya dengan obat yang dibelinya
di toko biasa.

Dua laki-laki dan dua perempuan keracunan karena 1 fungisida dan 3 insektisida
dicampur bersama. Mereka merasakan dampaknya setelah menyemprotkannya dalam
waktu dua jam setiap hari selama 3 hari berturut-turut. Laki-laki mengalami sakit kepala,
mual, jalan sempoyongan, dan menggigil. Dia pergi ke petugas kesehatan dan
mendapatkan suntikan serta istirahat 3 hari. Yang perempuan mengalami gangguan
menstruasi, dan gejala lainnya. Salah satunya mengalami keguguran. Wanita yang
mengalami keguguran ini tidak pergi ke dokter dan hanya minum air kelapa muda, susu
dan istirahat. Sebagian besar korban tidak mengetahui dampak kimia jangka panjang.

Dalam pemantauan ini ada 100 responden, terdiri dari 39 perempuan dan 61 laki-
laki di 4 desa. Hasil pemantauan menemukan tipe pestisida yang digunakan petani terdiri
dari lebih dari 3 bahan kimia fungisida, insektisida, pestisida dan adhesive. Label tidak
menyebutkan dosis, karena jika mereka menggunakan sesuai yang disebutkan label, hama
dan penyakit tidak akan mati. Label juga kecil dan sering tida bisa terbaca, hanya
menurut intuisi pemakai saja. Penyemprotan lebih intensif selama musim hujan.

Saat penyemprotan, petani menggunakan mesin untuk menghemat waktu dan


energi ketika tanaman mulai tumbuh tinggi, tetapi mereka menggunakan penyemprot
punggung ketika tanaman masih muda. Sementara itu pelindung tubuh sangat terbatas,
mereka sering hanya menggunakan baju kaos lengan pangan, celana panjang dan topi.
Mereka jarang menggunakan sarung tangan, masker, dan penutup mata. Penyemprotan
dilakukan pada pagi hari dan sore. Kaum laki-laki juga menyemprot sambil merokok,
dimana bisa bereaksi dengan pestisida.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Fungisida berasal dari kata fungus yang berarti jamur, dan sida yang berarti racun.
Sehingga pengertian fungisida adalah pestisida yang digunakan untuk mengendalikan
jamur penyebab penyakit. berdasarkan cara kerjanya fungisida dikategorikan menjadi
fungisida kontak, translaminar, dan sistemik. Fungisida kontak hanya bekerja pada bagian
yang tersemprot. Sedangkan fungisida translaminar bekerja dengan cara mengalir dari
bagian yang disemprot ke bagian yang tidak disemprot. Fungisida sistemik bekerja
dengan cara diserap oleh tumbuhan dan didistribusikan melalui sistem pembuluh
tanaman. Berdasarkan fungsi kerjanya, fungisida dibagi menjadi tiga yaitu fungisida,
fungistatik, dan genestatikfungistatik berfungsi hanya untuk menghambat pertumbuhan
jamur atau cendawanSedangkan organostatik berfungsi untuk mencegah terjadinya
sporulasi.Secara umum sifat fisik fungisida yaitu:Berbentuk cair, gas atau padat.
Sedangkan sifat kimia fisik secara spesifik berbeda-beda tergantung dari jenis
fungisidanya.Sumber fungisida terdapat beberapa jenis yaitu fungisida anorganik,
fungisida organik, fungisida nabati. fase toksikologi fungisida yaitu pekerja akan terpapar
bahan kimia fungisida ini lalu masuk melalui ingesti, inhalasi dan kontak langsung lalu
diabsopsi dan di distribusikan melalui pembuluh darah dan di ekskresikan melalui
ekshalasi, urine dan feses. Dalam studi kasus di atas banyak kejadian petani keracunan
fungisida melalui inhalasi karena penyemprotan dan melalui ingesti karena tidak mencuci
tangan sehabis mencampurkan fungisida dengan pestisida

4.2 Saran
a. Dalam memberikan fungisida sesuai dengan aturan, jika tidak maka kerugian
akan timbul. Petani merugi karena tidak ada yang membeli dan konsumen pun
juga tidak mau membeli karena terdapat banyak pestisida yang menempel di
sayuran atau buah-buahan
b. Untuk proses pengadukan antara fungisida dengan bahan lain diharapkan
menggunakan alat atau pelindung tangan (sarung tangan) agar tidak kontak
langsung dengan bahan kimia tersebut dan apabila pada waktu mengaduk
campuran pestisida setelah itu wajib cuci tangan menggunakan sabun agar tidak
keracunan apabila memegang makanan/minuman
c. Pada waktu penyemprotan juga harus melihat arah angin. Harus searah dengan
arah angin agar bahan kimia tersebut tidak terkena pekerja itu sendiri dan
menggunakan masker
d. Menggunakan pestisida yang kandungannya tidak terlalu toksik dengan
menggunakan fungisida yang organic dan yang alami
e. Pekerja khususnya para petani harus sering memeriksakan kesehatan secara
berkala ke puskesmas terdekat agar bila terjadi penyakit dapat teratasi lebih
dahulu
DAFTAR PUSTAKA

Adawiah. 2013. Pengenalan Fungisida. Lampung: Universitas Lampung


Hartini, Eko. 2014. Kontaminasi Residu Pestisida Dalam Buah Melon (Studi Kasus Pada Petani
Di Kecamatan Penawangan). Jurnal Kesehatan Masyarakat. Kemas 10 (1) (2014) 96
102.
Hriday Chaube, V.S. Pundhir. 2006. Crop Diseases and Their Management. Prentice-Hall of
India Pvt.Ltd. ISBN 978-81-203-2674-3. Page.292-3
http://beritabumi.or.id/penelitian-panap-pestisida-ganggu-kesehatan-petani/(diakses tanggal 11
November 2016)
http://mitalom.com/pengertian-fungisida-dan-jenis-jenis-fungisida/ (diakses tanggal 12
November pukul 08.37 WIB).
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23876/4/Chapter%20II.pdf(diakses tanggal 11
November 2016)
http://www.nufarm.com/Assets/21962/1/Microthiol80WG.pdf (diakses tanggal 11 November
2016).
http://www.nufarm.com/ID/Kurproxat345 (diakses tanggal 13 November pukul 09.46 WIB)
Mahyuni, Eka Lestari. 2015. Faktor Risiko Dalam Penggunaan Pestisida Terhadap Keluhan
Kesehatan Pada Petani Di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo 2014. Kesmas. Vol.9,
No.1.
Nuraini, Siti. 2011. Laporan Praktikum Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Lampung:
Universitas Lampung

Anda mungkin juga menyukai