Anda di halaman 1dari 6

BENCANA EKOLOGIS

Terlindungi dan terselamatkan dari ancaman bencana... adalah HAK DASAR MANUSIA.. lihat
juga beberapa tulisan tentang pengelolaan risiko bencana di http://www.sofyan-
eyanks.blogspot.com/

Tuesday, April 10, 2007

BENCANA EKOLOGIS DAN KEBERLANJUTAN


INDONESIA

Bencana adalah suatu situasi dimana cara masyararakat untuk hidup secara normal telah gagal
sebagai akibat dari peristiwa kemalangan luarbiasa, baik karena peristiwa alam ataupun
perbuatan manusia (Sphere Project, 2000).

Pengantar
Indonesia adalah negeri yang rawan dan rentan terhadap bencana, baik yang berasal dari alam
maupun yangterjadi akibat perbuatan manusia . Dalam kurun waktu lima tahun, 1998-2004
terjadi 1150 kali bencana, dengan korban jiwa 9900 orang serta kerugian sebesar Rp 5922 miliar.
Tiga bencana utama adalah banjir (402 kali, korban 1144 jiwa, kerugian 647,04 miliar Rp),
kebakaran (193 kali, korban 44 jiwa, kerugian 137,25 miliar Rp) dan tanah longsor (294 kali,
korban 747 jiwa, kerugian 21,44 miliar Rp)-Bakornas PBP 2005.

Menarik, karena tiga bencana tersebut adalah bencana akibat perbuatan manusia. Kartodihardjo
dan Jhamtani menyebut hal ini sebagai bencana pembangunan, yang didefinisikan sebagai
gabungan faktor krisis lingkungan akibat pembangunan dan gejala alam itu sendiri, yang
diperburuk dengan perusakan sumberdaya alam dan lingkungan serta ketidakadilan dalam
kebijakan pembangunan sosial. Tulisan ini karenanya ingin menyoroti bencana dari yang timbul
akibat ulah dan kelalaian manusia terhadap lingkungan dan aset alam dan tidak membahas
bencana murni karena gejala alam seperti tsunami dan gempa bumi.

Salah Urus Berujung Bencana

Bencana seperti banjir, kekeringan dan longsor sering dianggap sebagai bencana alam dan juga
takdir. Padahal fenomena tersebut, lebih sering terjadi karena salah urus lingkungan dan aset
alam, yang terjadi secara akumulatif dan terus-menerus.

Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani , bencana banjir mencakup 32,96% dari jumlah kejadian
bencana, sementara tanah longsor merupakan 25,04% dari total kejadian bencana. Bahkan, di
pesisir Jawa3, pada kurun waktu 1996 hingga 1999 saja, setidaknya terdapat 1.289 desa terkena
bencana banjir. Jumlahnya semakin meningkat hampir 3 kali lipatnya (2.823 desa) hingga akhir
tahun 2003, yang juga merupakan implikasi dari rusaknya ekosistem pesisir akibat dari konversi
lahan, destructive fishing, reklamasi, hingga pencemaran laut (dimana 80% industri di Pulau
Jawa berada disepanjang pantai utara Jawa)- (Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia,
Equinox Publishing, 2006).

Selain banjir, kekeringan adalah bencana lain yang semakin kerap terjadi di Indonesia.
Belakangan ini musim kemarau di Indonesia semakin panjang dan tidak beraturan , meski secara
geografis dan alamiah Indoensia berada di lintasan Osilasi Selatan-El Nino (ENSO). Misalnya,
walau kemarau 2003 termasuk normal, namun tercatat 78 bencana kekeringan di 11 propinsi,
dengan wilayah yang terburuk dampaknya adalah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dampak
kekeringan yang utama adalah menurunnya ketersediaan air, baik di waduk maupun badan
sungai, yang terparah adalah pulau Jawa (Status Lingkungan Hidup Indonesia 2004, Jakarta,
KLH). Dampak lanjutannya adalah pada sektor air bersih, produksi pangan serta pasokan listrik.
Kekeringan juga terkait dengan kebakaran hutan, karena cuaca kering memicu perluasan
kebakaran hutan dan lahan serta penyebaran asap.
Dampak dari bencana tersebut bukan hanya pada korban jiwa dan benda, namun berdampak pula
pada produksi pertanian, tercemarnya sumber air serta masalah sosial yang lebih luas seperti
pengungsi dan migrasi penduduk.
Walaupun kekerapan bencana meningkat secara signifikan beberapa tahun terakhir ini,
pemerintah tidak melakukan kajian menyeluruh mengenai pola dan penyebab bencana tersebut.

Ancaman signifikan terjadi pada tiga sektor utama prasyarat keberlanjutan kehidupan, yaitu air,
pangan dan energi. Untuk air, ancaman terbesar berasal dari meningkatnya permintaan secara
signifikan dan semakin terbatasnya ketersediaan air layak konsumsi. Keterbatasan tersebut
berasal dari menurunnya kualitas air (yang disebabkan oleh pencemaran, intrusi dan kerusakan
pada sumber air) serta kuantitas air (akibat privatisasi, komodifikasi air serta ineffisiensi
distribusi). Di Jakarta misalnya, warga yang terhubungkan dengan jaringan Perusahaan Air
Minum (PAM) berjumlah kurang dari 51 persen dari jumlah keseluruhan warga . Akibatnya,
sebagian besar warga mengambil air tanah (sumur, atau pompa) dan juga membeli air minum
kemasan atau penjual air keliling. Padahal, sekitar 70 persen air tanah di Jakarta menunjukkan
kondisi tidak layak sebagai air minum yang diperbolehkan. Akibatnya air berubah esensinya dari
kebutuhan dasar menjadi komoditi. (Pada tahun 2004, DKI Jakarta memiliki jumlah penduduk
sebesar 8.792.000 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 0,8% serta memiliki 2.322.178 KK.
(BPS, 2003). Pemantauan terhadap 48 sumur dilakukan di Jakarta pada tahun 2004. Hasil
pemantauan menunjukkan 27 sumur tercatat cemar berat dan cemar sedang dan 21 sumur
lainnya terindikasi cemar ringan dan dalam kondisi baik. Wilayah yang memiliki kualitas air
paling buruk adalah Jakarta Utara karena wilayah ini umumnya digunakan untuk kawasan
industri dan pemukiman padat, sedangkan wilayah dengan kualitas air masih cukup baik adalah
Jakarta Selatan (www.bplh.jakarta.go.id). Hasil pemantauan juga menunjukkan 15 persen
sumur melebihi baku mutu untuk parameter besi (Fe) dan 27 persen melebihi baku mutu untuk
parameter Mangan (Mn).dan 46 persen melebihi baku mutu untuk parameter detergen (MBAS).
70% penduduk di Pulau Jawa, tinggal dan hidup di wilayah pesisir Jawa)
Situasi serupa juga terjadi dengan pangan. Hilangnya kedaulatan rakyat pada pangan berujung
pada kasus kelaparan dan gizi buruk. Di NTT, ada 13 ribu lebih balita kurang gizi, sebanyak 36
diantaranya meningggal dunia. Kualitas sumber daya manusia Indonesia (IPM) berada di urutan
111 dari 177 negara (UNDP, 2004).

Laut Indonesia yang begitu luas, dipastikan mampu menjadi penyumbang terbesar perikanan laut
di dunia, dengan menyediakan 3,6 juta ton dari produksi perikanan laut secara keseluruhan pada
tahun 1997 (Burke, et all, 2002). Ironinya, di tingkat nasional, konsumsi ikan hanya berkisar 19
kg/kapita/tahun, lebih rendah dari Vietnam maupun Malaysia yang tingkat konsumsinya
mencapai 33 kg/kapita/tahun. Nelayan merupakan golongan masyarakat termiskin di Indonesia
dan makin terpinggirkan dari waktu ke waktu.

Revolusi hijau telah menghilangkan 75% dari 12.000 varietas padi lokal dan melahirkan
ketergantungan baru pada pupuk dan pestisida kimia dari perusahaan-perusahaan asing.
Keragaman hayati lokal dan ketahanan pangan rontok. Negara kita menjadi pengimpor beras
murni sejak pertengahan 90an. Liberalisasi perdagangan mengubah fungsi pangan yang multi
dimensi menjadi sekadar komoditas perdagangan. Bahkan WTO mengartikan ketahanan pangan
sebagai ketersediaan pangan di pasar. Konsep ini dalam praktiknya memaksa rakyat di negara-
negara sedang berkembang untuk memenuhi pangan yang akan dipenuhi oleh negara-negara
maju melalui mekanisme pasar bebas, yang berujung pada malapetaka pangan di berbagai
tempat.

Kedaulatan energi pun dipertaruhkan. Perusahaan-perusahaan lintas negara (Transnational


Corporations atau TNCs) telah menyedot 75% cadangan minyak kita hingga hari ini. Sementara
58% total produksi gas bumi dan 70% batubara pertahun terus di ekspor. Sementara itu, 90%
kebutuhan energi rakyat Indonesia dibuat bergantung kepada BBM dan 45% rumah tangga
belum dapat mengakses listrik. Tak pernah ada strategi nyata untuk mengurangi ketergantungan
terhadap BBM. Yang justru dilakukan adalah dorongan untuk mengkonsumsi terus menerus yang
menguntungkan segelintir orang.

Sementara itu pilihan atas energi murah, mudah diakses, dan bersih telah menjadi pilihan yang
amat langka. Saat ini ketika negara takluk pada diktasi pasar bebas, rakyat yang sudah
sedemikian tergantung dipaksa untuk membeli energi dengan harga pasar dunia. Kenaikan harga
BBM, menurut sejumlah penelitian meningkatkan kemiskinan hingga 11 %. Total rakyat miskin
di Indonesia setelah lonjakan kenaikan BBM menjadi 41%.

Kenaikan harga barang-barang konsumsi, daya beli yang rendah, tidak tersedianya lapangan
pekerjaan bukan saja meningkatkan jumlah penduduk miskin. Di sisi yang lain banyak liputan
media menunjukkan perubahan pola konsumsi terutama perempuan dan anak-anak. Rakyat
terpaksa bersiasat mengurangi asupan gizi demi membeli minyak tanah.

Kemudian, berkurangnya lapangan pekerjaan ditambah naiknya harga barang yang dipicu
mendorong rakyat ikut serta merusak lingkungan demi sesuap nasi. Maraknya keterlibatan rakyat
dalam pertambangan illegal yang merusak lingkungan di Kalimantan Selatan, Jawa Barat,
Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Papua adalah fakta gagalnya negara menjamin
penghidupan warganya.
Dari fenomena diatas, aspek penting untuk diperhatikan adalah pola perusakan ekologi dan pola
iklim. Untuk krisis air misalnya, Jawa-Bali diprediksi akan segera mengalami krisis. Namun
fenomena ini tidak dijadikan pelajaran oleh daerah lain, seperti Sumatra, Kalimantan dan
Sulawesi yang sudah semakin sering mengalami krisis air. Pada musim kemarau kita selalu
kekurangan air dan pada musim hujan kita kebanjiran, ini mengindikasikan bahwa semua
infrastruktur yang dibuat untuk merekayasa lingkungan telah gagal, karena sumber masalah tidak
ditangani dengan sungguh-sungguh. Krisis demi krisis akibat salah urus ini kemudian berujung
pada bencana ekologis yang kian nyata terlihat.

Bencana Ekologis

Bencana ekologis adalah akumulasi krisis ekologis yang disebabkan oleh ketidakadilan dan
gagalnya sistem pengurusan alam yang telah mengakibatkan kolapsnya pranata kehidupan
masyarakat.

Saat ini keberlanjutan Indonesia berada dititik kritis karena bencana ekologis yang terjadi secara
akumulatif dan simultan di berbagai tempat, tanpa ada upaya yang signifikan untuk mengurangi
kerentanan dan kerawanan masyarakat terhadap dampak bencana ekologis.

Tanda-Tanda Bencana Ekologis


Pertanda bencana ekologis justru ada didepan mata dimana masyarakat sebagai stakeholder
utama dan lingkungan hidup berada pada kondisi:

1. Ketiadaan pilihan untuk bertahan hidup


Pada banyak tempat, komunitas masyarakat sampai pada ketiadaan pilihan untuk bertahan
hidup. Komunitas Melayu yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian di sepanjangan
Daerah Aliran Sungai Siak harus merubah mata pencahariannya ketika puluhan perusahaan
konsesi kehutanan menyerobot alih lahan-lahan masyarakat. Masyarakat kemudian beralih
menjadi nelayan sungai. Berdirinya industri pengolahan disepanjang Sungai Siak ditambah
kegagalan pemerintah dalam mengatur buangan limbah membuat sungai tercemar sehingga
hasil tangkapan menurun drastis. Ketiadaan pilihan tersebut pada akhirnya membuat sebagian
besar masyarakat melayu yang berada disepanjang Sungai Siak bermigrasi ke daerah lain
sebagai buruh pekerja sedangkan sebagian kecilnya tetap bertahan sambil mengharapkan
bantuan dari sanak saudara yang bekerja ke Malaysia, juga sebagai buruh.

2. Gagalnya fungsi ekosistem


Kegagalan fungsi pemerintah mematuhi deregulasinya menyebabkan rusaknya fungsi-fungsi
ekosistem. Banyak perkebunan-perkebunan skala besar, Hak Pengusahaan Hutan maupun
industri tambang yang menyerobot wilayah masyarakat yang selama ini telah menciptakan
simbiosis mutualisme dengan ekosistem sekitarnya, memasuki daerah tangkapan air, memotong
home range spesies yang dilindungi,dll. Industri-industri tersebut kemudian menjadi parasit
bagi ekosistem sekaligus memperlemah ekosistem yang ada. Pada satu titik, kegagalan
ekosistem tersebut kemudian harus dibayar dengan sejumlah bencana banjir, longsor, hama
baru, malaria, konflik satwa dengan manusia, dll.
3. Ketersingkiran
Kebijakan negara yang tidak mengakui hak-hak masyarakat lokal membuat
ratusan komunitas harus menyingkir dari tanahnya sendiri ketika industri-industri berskala
besar dukungan pemerintah mengambil alih tanah-tanah mereka. Hingga hari ini, konflik-
konflik kepemilikan lahan masih terus berlangsung tanpa satupun memberikan indikasi yang
positif terhadap hak-hak masyarakat terhadap kepemilikannya.

4.Kemiskinan
Disebutkan bahwa pembangunan industri-industri berskala besar tersebut ditujukan untuk
menyejahterakan masyarakat. Fakta yang ditemui malah justru bertolak belakang dengan
jargon tersebut. Menarik bila dilihat bahwa justru kantong kemiskinan terbanyak malah jutsru
paling banyakdi daerah-daerah yang kaya dengan sumberdaya alam.Di Sumatera, 64 persen
masyarakat miskin malah justru berada di sekitar konsesi-konsesi perkebunan dan kehutanan.
Di kawasan industrinya sendiri banyak ditemukan para buruh yang dipaksa untuk bekerja 18
jam sehari dengan bayaran yang hanya bisa memenuhi kebutuhannya sampai dengan akhir
bulan. Penyakit kurang gizi adalah satu hal yang lumrah dan bisa disaksikan dimana-mana.

5. Kematian
Pada akhirnya kegagalan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dan
ketidakmampuannya menjamin fungsi-fungsi ekologis telah menciptakan sejumlah tragedi yang
mengambil korban nyawa. Dalam tujuh tahun terakhir hampir tujuhratus orang meninggal
dunia dengan sia-sia akibat bencana banjir dan longsor yang disebabkan kegagalan fungsi
ekosistem. Ribuan lainnya harus mengulang kehidupannya dari awal.

PRA-SYARAT untuk menyelamatkan INDONESIA dari bencana ekologis


Untuk menahan dan mengurangi laju bencana ekologis yang lebih luas maka diperlukan
beberapa pra-syarat, sebagai berikut:
1. Reorientasi visi pembangunan dari pembangunan berkelanjutan (sustainable development)
menjadi masyarakat berkelanjutan (sustainable societies)
2. Mengedepankan pendekatan bioregion dan meninggalkan paradigma sektoral dalam
pengelolaan aset alam dan wilayah.
3. Menyelesaikan konflik agraria dan sumberdaya alam, diikuti dengan reforma agraria sejati
4. Mengembangkan partisipasi sejati rakyat dalam pembangunan dengan indikator organisasi
rakyat yang kuat, kritis dan mandiri
5. Membangun resiliensi dan resistensi rakyat terhadap privatisasi dan komodifikasi sumber
kehidupan
6. Mengakui kearifan lokal pengurusan sumber-sumber kehidupan dan mendudukkan kembali
peran negara sebagai penjamin hak konstitusional warganegara

Paper ini merupakan konsep dasar WALHI tentang bencana ekologis


bagaimana problem solving yang ditawarkan WALHI... akan disampaikan dalam tulisan
berikutnya..
terlindungi & terselamatkan dari bencana..
adalah HAK DASAR MANUSIA

Anda mungkin juga menyukai