Investigasi
Dampak Kenaikan Muka Air
Laut
di
Kota Jakarta
Oleh :
Dra. Sri Astuti, MSA
Dra. Titi Utami
Wahyu Yodhakersa, ST
(Pusat Litbang Permukiman)
I.PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.
Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta tahun 1985 - 2005 telah menetapkan beberapa pusat
pengembangan kawasan yang dinilai memiliki potensi dan nilai strategis. Kecederungan
perkembangan terlihat terjadi di kawasan pantai utara karena memiliki posisi yang strategis.
Sesuai dengan Keppres Nomor 17 tahun 1994, tentang REPELITA VI; menetapkan Kawasan
Pantura sebagai kawasan andalan.
Untuk pelaksanaannya selanjutnya diterbitkan Keppres no 52 tahun 1995 yang memberikan
kewenangan dan tanggung jawab kepada Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk
menyelenggarakan reklamasi kawasan Pantai Utara Jakarta. Reklamasi dilakukan di wilayah
pantai utara meliputi wilayah Penjaringan, Pademangan, Tanjung Priok, Koja dan Cilincing.
1.2. Tujuan.
Melakukan investigasi perkiraan dampak yang disebabkan adanya kenaikan muka air laut yang
berpengaruh pada kenaikan muka air laut di kota Jakarta.
Wilayah Jakarta Utara dengan luas daratan 154,01 Km 2 dan luas Lautan 6,997,50 Km2 mempunyai
batas batas geografis sebagai berikut :
Utara pada titik koordinat 106-20o-00oBT sampai dengan 06-10o-00o LS
Timur berbatasan dengan Kali Bloncong dan Kali Ketapang Jakarta
Selatan, Pedongkelan, sungai Begog selokan Petukangan wilayah DKI, Kali Cakung
Barat berbatasan dengan Jembatan Tiga, Kali Muara Karang dan Kali Muara Angke
(Sumber BP Pantura)
2.3. Administratif
2.3.1. Batas wilayah administrative
Secara administrative, wilayah Jakarta Utara terdiri atas 7 Kecamatan, yaitu kecamatan Pulau
Seribu, Kecamatan Penjaringan, Kecamatan Pademangan, Kecamatan Tanjung Priok, Kecamatan
Koja, Kecamatan Kelapa Gading dan Kecamatan Cilincing.
2.3.2. Penduduk
Berdasarkan data monografi, maka jumlah penduduk berdasarkan umur dan jenis kelamin adalah
sebagai berikut :
Pada tahun 1996, tercatat jumlah penduduk di Kota Jakarta Utara sebesar 1.617.200 jiwa dengan
rincian 795.500 laki-laki dan 821.700 wanita dengan kepadatan penduduk rata-rata sebesar 10.494
orang / km2. Kecamatan yang paling luas adalah Kecamatan Cilincing (4.256 Ha) dengan tingkat
kepadatan penduduk 6.316 jiwa/km 2 dan Kecamatan Penjaringan (3.548Ha) dengan tingkat
kepadatan 8.961 jiwa/km2 berdasarkan data yang terrekam, maka jumlah penduduk menurut
Kecamatan pada tahun 1996 tercantum dalam tabel 4:
Sesuai dengan arahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRWP) DKI Tahun 1995-2010, maka Kota
Jakarta Utara sebagai bagian terintergrasi dari hirarki perencanaan yang merupakan pedoman dan
arahan pelaksanaan pembangunan secara spasial. Hal ini akan memperjelas arahan arahan
yang perlu dikembangkan di dalam rencana tata ruang yang lebih rinci. Sesuai dengan arahan
tersebut diatas maka rencana pemanfaatan ruang diarahkan pada hal hal berikut :
a. Rencana peruntukan tanah : Rencana peruntukan tanah di kecamatan Cilincing lebih
didominasi oleh sector Karya Industri / pergudangan dengan fasilitasnya seluas
1.664,93Ha (ditambah tanah reklamasi seluas 535,45 Ha) dan sector wisma dengan
fasilitasnya seluas 953,22Ha.
b. Rencana peruntukan tanah di wilayah kecamatan Cilincing pada tahun 2005 adalah
diarahkan untuk dikembangkan sebagai:
i. Kawasan Lindung mencakup Kecamatan Penjaringan dengan luas 327,70
Ha sebagai kawasan hutan dan Kecamatan Penjaringan diarahkan sebagai
kawasan penghijauan dengan luas 200,000 Ha. Kecamatan kepulauan Seribu
III. GEOMORPHOLOGI
3.1. Morfologi dan Geologi
3.1.1. Morfologi
Berdasarkan bentuk bentang alam (Landscape) yang tercermin dalam citra satelit dan
kenampakan topografi, serta ditunjang oleh data-data geologi yang memberikan informasi batuan
penyusunan, maka wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya dapat dikelompokan dalam 4 satuan
geomorfologi (modifikasi Suwiyanto, 1977), yaitu :
a. Dataran Alluvial
Satuan ini terletak di bagian utara, menempati 20,20 % dengan penyebaran relatif
memanjang barat-timur sepanjang pantai utara, mencakup hilir S. Cisadane, S. Angke, S.
Bekasi dan S. Citarum. Secara umum satuan ini memiliki kemiringan lereng datar hingga
miring landai (0 15 %), dengan ketinggian berkisar antara 0 16 m di atas permukaan
laut (Gambar 4.14). Disamping itu dalam satuan ini juga dijumpai pula bentuk darat
(landform) dalam skala yang lebih lokal yaitu berupa dataran rawa, pematang pantai, dan
delta, dengan batuan penyusun utama berupa endapan aluvial terdiri dari fragmen
lempung hingga pasir kasar (kadang-kadang kerkilan) yang umumnya bersifat lepas
mengandung pecahan-pecahan cangkang serta sisa-sisa tumbuhan.
b. Kipas Gunungapi Bogor
Satuan ini terletak di bagian tengah daerah studi (di sebelah selatan dataran aluvial),
menempati 37,75%, dengan penyebaran dimulai dari Kota Bogor di selatan dan melebar
ke Cibinong, bagian hulu S. Cisadane, S. Angke, S. Ciliwung, dan S. Bekasi. Secara
umum satuan ini memiliki kemiringan lereng 0,5 15 %, dengan ketinggian berkisar antara
16 195 m di atas permukaan laut. Akan tetapi pada beberapa tempat dijumpai adanya
kemiringan lereng yang lebih terjal, terutama pada bagian selatan kipas gunungapi
tersebut (Gambar 4.15.). Kipas ini umumnya disusun oleh batuan hasil rombakan vulkanik
gunungapi dan tufa halus yang memiliki struktur perlapisan, sedangkan pada lembah
sungainya dapat dijumpai adanya endapan aluvial dengan fragmen penyusun utama
berukuran pasir halus hingga bongkah-bongkah yang bersifat andesitis dan basaltis.
c. Perbukitan Bergelombang
Satuan ini terletak di bagian selatan barat-timur daerah studi, menempati 16,80 %,
dengan penyebaran antara lain di sekitar wilayah timur G. Karang dan wilayah barat G.
Endut serta bukit-bukit intrusi seperti G. Dago, bukit 354, dan G. Putri, umumnya memiliki
kemiringan lereng 14 40%, dengan ketinggian berkisar antara 195 1225 m di atas
permukaan laut. Batuan penyusun utama pada satuan ini berupa batuan sedimen meliputi
batupasir, batulempeng, batugamping, intrusi andesit, dan breksi tufa.
d. Gunungapi Muda.
Satuan ini terletak di bagian Selatan daerah studi, menempati 25,25 %, dengan
penyebaran antara lain di sekitar G. Masigit, G. Salak, dan Cipanas, umumnya memiliki
kemiringan lereng 15 % hingga lebih dari 70 %, dengan ketinggian berkisar antara 1225
2500 m di atas permukaan laut. Batuan penyusun pada satuan ini umumnya berupa
endapan vulkanik gunungapi, breksi, lava, dan lahar.
Wilayah Pantai Utara (Pantura) Jakarta berada pada satuan geomorfologi dataran aluvial. Bentuk
wilayah pantai seperti yang terlihat saat ini merupakan hasil keseimbangan dinamis antara unsur-
unsur proses yang bersumber darat, laut, dan udara. Kondisi alam wilayah pantai terdiri dari
beberapa tipe ekosistem yang memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain dan umumnya
sangat peka terhadap berbagai perubahan .Aspek fisik wilayah, organisme, dan aktifitas manusia
akan saling berinteraksi sehingga dapat menimbulkan berbagai pengaruh, baik yang positif
maupun negatif.
Wilayah Pantura Jakarta terutama tersusun atas endapan aluvial lempung hingga lanauan, yang
ebagian besar berupa lempung rawa yang banyak mengandung sisa-sisa tumbuhan, lembab,
plastisitas rendah, dan kedap air. Ketebalan lapisan ini berkisar antara 1 hingga 5 m. Pada bagian
bawah endapan ini terdapat lapisan pasir yang memiliki daya dukung relatif lebih baik.
Ongkosono (1981) melaporkan bahwa bentang alam pantai jakarta sekarang ini lebih didominasi
oleh perubahan yang disebabkan oleh aktivitas manusia, perubahan-perubahan yang terjadi dapat
berakibat positif maupun negatif terhadap lingkungan sekitarnya. Berdasarkan pada morfologi,
Ongkosono, menggolongkan pantai Jakarta dalam 3 tipe pantai, yaitu :
a. Pantai landai, terdapat di Muara Angke dan kamal. Pantai ini masih tertutup oleh vegetasi,
sehingga proses pengendapan sedimen dapat berlangsung dengan sempurna.
Investigasi Dampak Kenaikan Muka Air Laut di Kota Jakarta halaman - 61
Proceeding - Studi Dampak Timbal Balik Antar Pembangunan Kota dan Perumahan di Indonesia dan Lingkungan Global
b. Pantai miring, terdapat di sekitar Ancol, Pluit, Muara Karang, pantai ini terbentuk akibat
habisnya hutan pantai, sehingga pantai memperoleh pengaruh langsung dari gelombang
laut.
c. Pantai terjal, terdapat di Kali Baru, Cilincing, Marunda dan tepi barat Kali Blencong,
terbentuk akibat pengerukan pasir dan lumpur di muka pantainya, menyebabkan
pengikisan pantai menyusup relatif jauh ke arah darat.
3.1.2. Geologi
1. Geologi Daratan
Berdasarkan Peta Geologi Lembar jakarta dan Kepulauan Seribu (Turkandi dkk, 1992),
Lembar Bogor (Effendi dkk, 1986), Lembar Serang (Rusmana dkk, 1991) dan Lembar
Karawang (Achdan dkk, 1992), batuan di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya digolongkan
dalam 4 kelompok, yaitu :
2. Kelompok Batuan Sedimen
Kelompok batuan ini meliputi :
Formasi Rengganis (Tmrs), disusun oleh batupasir halus kasar konglomeratan
dan batulempung.
Formasi Klapanunggal (Tmk), disusun oleh batugamping koral, sisipan
batugamping pasiran, napal, dan batupasir kuarsa glaukonitan.
Formasi Jatiluhur (Tmj), disusun oleh napal dan batulempung dengan sisipan
batupasir gampingan.
Formasi Bojongmanik (Tmb), disusun oleh perselingan batupasir dan batulempung
dengan sisipan batugamping, di sekitar Cilampea leuwiliang dijumpai adanya
lensa batugamping.
Formasi Genteng (Tpg), disusun oleh tufa batuapung, batupasir, breksi andesit
dan konglomerat dengan sisipan batulempung.
Satuan Batugamping Koral (Q1), disusun oleh koloni koral, hancuran koral dan
cangkang moluska, umumnya hanya terdapat di kepulauan Teluk Jakarta.
3. Kelompok Endapan Permukaan
Kelompok batuan ini meliputi :
- Satuan Aluvial Tua (Qoa), disusun oleh batipasir konglomeratan dan batulanau,
hanya terdapat di selatan Cikarang (Bekasi) sebagai endapan teras S. Cibeet dan
Citarum.
- Satuan Kipas Aluvial Bogor (Qva), disusun oleh tufa halus berlapis, tufa pasiran
berselingan dengan tufa konglomeratan, merupakan rombakan endapan volkanik
G. Salak dan Pangrango.
Secara regional, struktur geologi yang berkembang memperlihatkan adanya 3 arah dominan yaitu
arah barat laut Tenggara timur laut barat daya, dan barat - timur (Suwijanto, 1978).
Sedangkan dari peta Geologi tampak bahwa struktur geologi yang berkembang berupa struktur
patahan dan lipatan yang umumnya hanya berkembang baik pada batuan sedimen Tersier.
Struktur lipatan berupa sinklin dan antiklin, berarah relatif barat timur, sedangkan struktur
patahan berarah relatif utara selatan dan timur laut barat daya.
Adanya struktur sesar di wilayah Jakarta juga diprediksi berdasarkan penafsiran landsat dan
penampang seismik yaitu berupa sesar turun yang berarah barat timur dan timur laut barat
daya. Struktur sesar mendatar memanjang melalui daerah Kebayoran hingga Petamburan pada
bagian barat dan pada bagian timur terdiri atas tiga sistem sesar mendatar yaitu melalui daerah
Pasar rebo Halim Perdana Kusumah- Klender, daerah Cijantung-Lubang Buaya, dan daerah
Cibubur sebelah timur TMII. Struktur sesar turun Barat-Timur juga terdiri atas tiga sistim sesar
yaitu sesar turun yang melalui daerah Lebak Bulus dengan blok bagian Utara bergerak relatif turun
terhadap blok bagian selatan, melalui daerah Lenteng Agung dengan blok bagian utara yang juga
bergerak relatif turun terhadap blok bagian selatan, dan sesar turun yang melalui daerah Pasar
Rebo dengan blok bagian selatan bergerak relatif turun terhadap blok bagian utara. Sedangkan
sesar turun yang berarah timur laut-barat daya melalui tenggara Cilangkap dan Cibubur dengan
blok bagian barat laut bergerak relatif turun terhadap blok bagian tenggara.
a. Geologi Pantai.
Secara garis besar sebaran sedimen di perairan teluk Jakarta dapat dibagi menjadi 3
satuan endapan (PPGL, 1995) yaitu endapan lumpur dan endapan lumpur pasiran, serta
endapan pasir lumpuran.
1) Endapan pasir Lumpuran
Endapan pasir lumpuran didapatkan pada kedalaman lebih dari 15 meter dan
umumnya terdiri dari material volkanik, berwarna abu-abu kehitaman hingga kehijauan,
mengandung cangkang kerang dan terdapat hanya di daerah barat laut Teluk Jakarta.
Besar butir umumnya berupa pasir berukuran sedang hingga halus. Pada beberapa
tempat endapan ini mengandung campuran kerikil yang terdiri dari fragmen
batulempung yang telah teroksidasi, konkresi besi maupun terdiri atas cangkang
kerang. Endapan pasir yang mengandung kerikil dijumpai terutama di sekitar Pulau
Lunang, P. Bokor, dan sebelah utara P. dapur. Material volkanik yang terdapat di dalam
endapan ini ditafsirkan berasal dari pegunungan di sebelah selatan kota Jakarta atau
diperkirakan merupakan hasil erupsi G. Krakatau. Jika dilihat berdasarkan lokasi
endapan pasir tersebut yaitu di dekat muara S. Cisadane maka diduga sungai
tersebutlah yang memiliki peranan penting dalam mekanisme pengendapan pasir ini.
2). Endapan Lumpur Pasiran
Investigasi Dampak Kenaikan Muka Air Laut di Kota Jakarta halaman - 64
Proceeding - Studi Dampak Timbal Balik Antar Pembangunan Kota dan Perumahan di Indonesia dan Lingkungan Global
Endapan ini dijumpai pada 4 lokasi di daerah Teluk Jakarta, terutama berdekatan
dengan lokasi tanjung Priok. Endapan ini diduga merupakan endapan transisi antara
endapan lumpur yang mendominasi perairan Teluk Jakarta dan endapan pasir
lumpuran. Dengan mempertimbangkan lokasi keterdapatannya, endapan ini boleh jadi
merupakan endapan lumpur yang terbentuk terlebih dahulu yang bercampur dengan
unsur pasir yang berasal dari garis pantai atau bahkan mungkin berasal dari muara
sungai di sekitarnya. Umumnya endapan ini terdapat pada kedalaman yang cukup
dangkal yaitu kurang dari 5 m.
3). Endapan Lumpur
Satuan endapan lumpur sangat mendiminasi dan tersebar hampir merata sepanjang
garis pantai, yaitu menempati sekitar 80 % perairan Teluk Jakarta. Makin ke arah timur,
endapan makin dominan dan diperkirakan bahwa muara S.Citarum merupakan sungai
utama yang membawa material lumpur tersebut. Endapan lumpur ini umumnya
ditandai dengan berubahnya warna air laut dari biru menjadi kecoklatan, dengan
banyaknya kandungan sedimen suspensi yang belum terendapkan. Perubahan air laut
ini terlihat lebih sering terjadi pada hulu S. Citarum dengan banyaknya kandungan
lumpur pada aliran sungainya dan umumnya terendapkan di sekitar ujung Timur Teluk
Jakarta.
TABEL. 5. KISARAN SUHU MUSIMAN AIR TELUK JAKARTA DAN KEPULAUAN SERIBU
SUHU C
MUSIM TELUK JAKARTA KEPULAUAN SERIBU
KISARAN RATA-RATA PERMUKAAN DASAR
Barat 25,5 29,0 28,0 28,2 28,8 28,1 28,6
Peralihan I 29,1 30,6 29,8 29,0 30,2 28,4 29,6
Timur 28,7 30,2 29,3 28,1 28,6 28,1 28,6
Peralihan II 29,4 30,4 29,6 29,1 29,4 29,1 29,3
Sumber : Draft Laporan ANDAL Regional Reklamasi Pantura Jakarta, LPM ITB, 1999
3.1.4.2. Salinitas
Salinitas perairan laut dan muara-muara sungai di Teluk Jakarta disajikan dalam tabel berikut;
3.1.4.5. Gelombang.
Pada umumnya tinggi gelombang di Teluk Jakarta berkisar antara 0,1 1 m, dengan
periode 1 sampai 8 detik, memiliki panjang gelombang 1 12 m. Penyebab gelombang
tinggi umumnya adalah kekuatan angin, apabila angin bertiup kuat, maka tinggi gelombang
juga bertambah.
permukaan menjadi bertambah besar, sehingga daya dukung permukaan menjadi terbatas dan
menyebabkan terjadinya banjir di beberapa tempat.
Dapat didentifikasikan dari data yang ada bahwa sebagian besar banjir yang terjadi di wilayah DKI
Jakarta meliputi wilayah Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat yang berhubungan
dengan drainase, sedangkan terjadinya banjir di wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Selatan
berhubungan dengan meluapnya air sungai.
Dibeberapa muara sungai, meluapnya air sungai dipengaruhi oleh pasang air laut yang biasanya
bertepatan dengan musim hujan antara bulan November-Desember (Ongkosono, 1981). Pada
waktu itu kondisi air laut masuk ke arah daratan sampai beberapa kilometer, seperti yang terjadi di
sekitar lokasi Gudang Sunda Kelapa dan Sungai Cideng, yang dipengaruhi air pasang hingga
sejauh 3,22 km ke arah darat, sedangkan saluran dari kali Ciliwung-Gunungsari dan seluruh
sungai yang menuju waduk Pluit tidak terpengaruh oleh air pasang surut.
3.2.2. Sedimentasi
Berdasarkan pengamatan foto udara Pantura Jakarta tahun 1990 dan tahun 1994, dapat diketahui
bahwa sungai atau saluran yang dominan memberikan kontribusi sedimen ke pantai utara DKI
adalah sebagai berikut
- Cengkareng Drain
- Kali Angke
- Kali Sunter (masuk ke kolam Pelabuhan Tanjung Priok)
- Cakung Drain
- Kali Blencong
- Kali tawar
Dari sungai atau saluran di atas, berdasarkan pengamatan foto udara, sungai/saluran yang paling
banyak memberikankontribusi sedimen ke panyai utara DKI Jakarta adalah Cengkareng Drain.
Laporan Bapedalda DKI Jakarta mengenai pemantauan pola sedimen transport air sungai
menunjukan bahwa laju angkutan sedimen suspensi di muara Cengkareng Drain adalah sebesar
4,68 m3/hari.
- Penggundulan hutan bakau yang mengakibatkan arus dan gelombang laut lebih
aktif menggerus pantai, seperti misalnya di Kalibaru.
- Pembangunan tanggul pantai dan penimbunan pantai secara setempat dapat
merubah pola arus.
- Pergerakan sedimen sehingga menimbulkan abrasi pantai lainnya.
Pengikisan di sepanjang Teluk Jakarta tidak sama satu tempat dengan tempat lainnya. Hal ini
disebabkan oleh faktor setempat, diantaranya akibat sedimentasi di muara sungai dan berbagai
bentuk bangunan fisik yang pembangunannya tidak memperhatikan tingkah laku arus di sepenjang
pantai TelukJakarta.
Di samping data tersebut di atas, perubahan garis pantai juga diamati berdasarkan serial foto
udara Pantai Utara Jakarta yang diperoleh dari DPPT DKI Jakarta dari tahun 1972 s.d 1994. Skala
foto udara yang digunakan adalah skala 1 : 5000 dan skala 1 : 15000.
Dari pengamatan serial foto udara dapat diketahui bahwa perubahan pantai yang dominan di
Pantura Jakarta sejak tahun 1972 s.d 1994, meliputi :
- Akresi di sekitar muara Cengkareng Drain yang berasal dari sedimen Cengkareng
Drain,
- Akresi di sekitar muara Kali Angke yang berasal dari sedimen Kali Angke,
- Penimbunan pantai oleh reklamasi Pantai Mutiara
- Pembuatan bangunan pantai seperti groin, revetment di Pantai Ancol
- Pembuatan Jetty di daerah Pantai Indah Kapuk, Muara Karang dan Muara Tawar
- Erosi pantai di daerah Cilincing/Marunda
Dengan adanya reklamasi Pantura Jakarta, akan menyebabkan majunya garis pantai sehingga
kemiringan dasar (slope) pantai akan semakin curam serta akan relatif meluruskan garis pantai
Teluk Jakarta yang semulaberupa cekungan.
IV. Kawasan
4.1. Kawasan Observasi
Analisa dilakukan berdasarkan data peta, dengan criteria homogenitas, dimana di kawasan
Kecamatan terdapat beragam tipologi fungsi (perumahan, pertanian, industri, pergudangan,
pelabuhan), jenis hunian beragam (rumah susun, rumah tunggal, bertingkat bahkan terdapat
kelompok nelayan pendatang dari bugis yang tinggal di perahu).
Dari analisa berdasarkan peta dari kota Jakarta Utara, ditetapkan kecamatan Cilincing sebagai
kawasan observasi.
Tipologi kawasan dalam hal ini adalah penggolongan satuan satuan kawasan menurut jenis tipe
tertentu dalam suatu wilayah kecamatan, dimana satuan kawasan tersebut merupakan satu
manajemen kawasan terpadu yang melibatkan banyak sector atau komponen penting yang
beroperasi dalam kawasan tersebut (integrated management area), dimana criteria penggolongan
dikelompokkan ke dalam criteria kawasan mantap, kawasan peralihan menuju mantap, kawasan
peralihan menuju Dinamis dan kawasan dinamis.
Sumber : Rencana RT/RW Kecamatan Cilincing Keterangan : Kawasan rawan banjir berada disekitar kelurahan
Cilincing
Berdasarkan tipologi tersebut diatas, ditetapkan kawasan kelurahan Cilincing sebagai kasus
karena merupakan kawasan rawan banjir, walaupun dalam kenyataan saat ini, telah banyak upaya
teknologi dilakukan untuk mengatasi banjir.
Kawasan yang menjadi lokasi observasi adalah kelurahan Cilincing, ditetapkan berdasarkan
criteria kawasan rawan banjir.
a. Jalan lingkungan
b. Jaringan listrik
c. Air bersih
d. Drainase
e. Mck
Kemampuan adaptasi fisik oleh masyarakat di kawasan ini adalah dengan adanya pembangunan
rumah-rumah sedikit banyak sudah mengantisipasi kemungkinan banjir karena dari sejak awal
mereka sudah menyadari bahwa kawasan ini mudah digenangi air. Bentuk bangunan rumah
tinggal terbagi menjadi 3 jenis yaitu bangunan permanen, semi permanen dan sementara.
Berdasarkan data tahun 1999 terdapat kenaikkan jumlah rumah permanen menjadi 11.467,
sedangkan jumlah rumah sementara turun dari 8.157 berkurang sebanyak 347 bangunan dan
rumah semi permanen berkurang sebanyak 512 bangunan. Kondisi ini disebabkan karena
adaptasi penduduk dengan lingkungan relatif baik dan mereka berupaya menata lingkungannya
dengan cara melakukan reklamasi pantai. Walaupun demikian proses penyesuaian dengan
lingkungan fisik tetap tergantung pada kondisi perekonomian mereka karena tidak semua pemilik
rumah mampu meninggikan lantai bangunan atau membuat tanggul untuk menghalangi limpahan
banjir. Sesuai dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh penduduk Cilincing, rata rata
berpenghasilan antara Rp 100.000 Rp 400.000,- dengan jumlah pengeluaran yang relatif besar
untuk barang-barang konsumsi dengan kisaran antara 60% sampai 90% sedangkan untuk
pendidikan hanya dianggarkan antara 10% sampai 30% dari penghasilan dan kurang dari 10%
dianggarkan untuk kesehatan. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari dipenuhi melalui pasar terdekat.
Masyarakat sudah mampu mengadaptasi lingkungan terutama untuk para nelayan, walaupun
secara umum mereka sudah menerima risiko yang berkaitan dengan kegiatan hidup mereka,
termasuk kehidupan sebagai nelayan. Masyarakat Cilincing menyadari risiko tinggal dikawasan
pantai dengan pasang surut yang realtif tinggi, mereka menjalani semua risiko pekerjaan dan
dianggap bukan rintangan lagi untuk melakukan aktivitas. Kegiatan semua strata dikalangan
penduduk ini sudah mulai diperkenalkan dari sejak masa kanak-kanak sampai dewasa bahkan
sampai dianggap tidak mampu untuk melaut kembali. Berbagai jenis mata pencaharian dilakukan
sesuai dengan kondisi lingkungan, umumnya berkaitan erat dengan perikanan dan budidaya
kerang hijau karena hanya kemampuan ini yang dirasakan sesuai dan dapat mereka lakukan.
Pekerjaan lain yang dilakukan menjadi buruh, berdagang, bekerja di industri. Secara
perekonomian mereka mampu menyesuaikan diri tetapi sebenarnya secara perilaku terhadap
lingkungan, kesadaran pemeliharaan lingkungan relatif sedikit.
Penduduk Cilincing memiliki rata-rata 5 anggota dalam satu keluarga dengan lokasi kerja masih
dalam lingkungan Kecamatan, baik itu pekerjaan yang dilakukan oleh Kelapa Keluarga maupun
oleh anggota keluarga yang lain.
Adaptasi dalam skala besar untuk mengatasi kenaikan muka air laut dilakukan dengan
penanganan reklamasi yang diperkuat melalui ketentuan kepres sebagai berikuat.
Investigasi Dampak Kenaikan Muka Air Laut di Kota Jakarta halaman - 73
Proceeding - Studi Dampak Timbal Balik Antar Pembangunan Kota dan Perumahan di Indonesia dan Lingkungan Global
Kepres no 52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantura Jakarta, dan Perda no 8 tahun 1995, perihal
yang sama, maka melalui Kep. Gubernur DKI Jakarta no. 982 tahun 1995 dibentuk Badan
Pelaksana Reklamasi (BPR) Pantura Jakarta.
Pelaksanaan Reklamasi Pantura (Proyek Pantura) bertujuan antara lain untuk mengalihkan arah
perkembangan kota Jakarta yang pada saat ini condong ke selatan. Pelaksanaan reklamasi yang
pada akhirnya merupakan pengembangan kota pantai adalah batu-sendi bagi modernisasi dari
Jakarta sebagai kota metropolitan, sambil membantu mengatasi masalah-masalah yang dihadapi
Jakarta saat ini seperti banjir, drainase, transportasi dan meningkatnya permintaan akan
perumahan dan fasilitas lainnya. Dengan latar belakng ini, maka pengembangan berbagai sektor
dan unsur proyek Pantura harus diarahkan dan diselaraskan sebagai bagian terpadu dari Kota
Jakarta secara keseluruhan.
Wilayah proyek Pantura memiliki garis pantai kurang lebih 32 km, sepanjang pantai dari batas
Barat hingga batas Timur wilayah DKI. Lebar daerah reklamasi menjangkau dari garis pantai yang
ada sekarang hingga garis kedalaman laut 8,00 m yang berjarak antara 1 s.d 2,0 Km dari garis
pantai. Luas daerah reklamasi seluruhnya kurang lebih 2700 Ha.
Wilayah proyek Pantura dibagi dalam 3 seksi, yaitu ;
1) Seksi Barat, termasuk daerah proyek Pantai Mutiara dan proyek Pantai Hijau di daerah
Pluit serta wilayah Pelabuhan Perikanan Muara Angke dan daerah proyek Pantai Indah
kapuk dimana yang merupakan daerah reklamasi adalah daerah laut seluas kira-kira
1000 ha (kira-kira 6,5 km x 1,5 km)
2) Seksi Tengah, meliputi wilayah Muara Baru dan wilayah Sunda Kelapa, begitu pula
daerah Kota, Ancol Barat dan Ancol Timur hingga pada batas daerah Pelabuhan Tanjung
Priok, dimana yang merupakan daerah reklamasi adalah daerah laut seluas kira-kira
1400 ha (kira-kira 8 km x 1,7 km)
3) Seksi Timur, yang meliputi wilayah Pelabuhan Tanjung Priok ke Timur termasuk daerah
Marunda dengan luas daerah laut yang akan direklamasi kurang lebih 300 ha (kira-kira 3
km x 1 km).
Bagian di daratan meliputi daerah-daerah administratif Kecamatan Penjaringan, Taman Sari,
Pademangan, Tanjung Priok, Koja dan Kec Cilincing.
Pokok-pokok permasalahan yang harus diperhatikan didalam pengusulan proyek pantura kepada
Badan pelaksana antara lain,
- Banjir; pengaruh banjir pada daerah yang ada dan daratan disebelah hulu.
- Saluran; pada daerah reklamasi dan yang berhubungan dengan hidrolik daerah yang
telah ada.
- Elevasi; syarat untuk menjamin keamanan terhadap banjir, menjamin saluran yang
baik, memperhatikan subsidence, memperhatikan kenaikan muka air laut (Sea Level
Rise/SLR), elevasi tanah pada tahap penyelesaian, elevasi formasi (elevasi reklamasi)
- Reklamasi; Garis besar dari metode yang akan digunakan, sumber dari bahan
timbunan, kualitas bahan, bahan lainnya untuk perbaikan tanah, persyaratan untuk
penyerahan.
- Perlindungan pantai; konstruksi breakwater, tanggul laut dan turap, elevasi puncak,
jenis armour dan kaki konstruksi. Gelombang limpasan baik untuk periode jangka
pendek dan jangka panjang, pasang, stabilitas dan gempa.
- Masalah lingkungan, kualitas air, penurunan muka air tanah, kerusakan bakau,
kerusakan karang lepas pantai, dan pulau-pulau.
Dalam pelaksanaan reklamasi, maka pemerintah mengharapkan keikut sertaan masyarakat, dalam
hal ini investor. Untuk itu kepada mereka yang ingin turut melaksanakan reklamasi, diberikan suatu
pedoman untuk perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan reklamasi untuk proyek pantura, agar
dapat searah dan sesuai dengan maksud dan tujuan semula.
V. Lingkungan
5.1. Kawasan Kecamatan Cilincing
Kecamatan Cilincing merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kotamadya Jakarta Utara.
Sesuai dengan SK Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor : 1251 tahun 1986,
luas wilayah kecamatan keseluruhan 42,54 Km2 terdiri dari 74 RW dan 837 RT dengan 7
kelurahan. Kelurahan Semper Timur dan Semper Barat merupakan hasil pemekaran dari
kelurahan Semper, rincian sebagai berikut :
Sarana yang terdapat di kecamatan Cilincing : Mushola, rumah sakit dan pusat perbelanjaan.
KESEHATAN
NO KELURAHAN
RS BERSALIN POLI BKIA PUSKESMAS APOTIK
1 Sukapura 1 3 11 0 0 1
2 Rorotan 0 0 1 3 0 0
3 Marunda 0 0 0 0 0 0
4 Cilincing 0 0 0 0 2 1
5 Semper Timur 0 10 4 1 4 0
6 Semper Barat 0 0 7 0 3 2
7 Kali Baru 0 0 6 0 1 0
1 13 29 4 10 4
LAPANGAN
NO KELURAHAN KOLAM RENANG
SEPAKBOLA BL. TANGKIS VOLLEY LAINNYA
1 2 3 4 5 6 7
1 Sukapura 7 4 9 3 0
2 Rorotan 1 10 4 0 0
3 Marunda 1 4 3 0 0
4 Cilincing 1 10 5 0 0
5 Semper Timur 1 12 11 1 0
6 Semper Barat 2 4 8 4 0
7 Kali Baru 1 2 2 2 0
14 46 42 10 0
UMUM
NO KELURAHAN
TK SD SLP SLA
1 2 3 4 5 6
1 Sukapura 5 6/2 0/6
2 Rorotan 5 2/4 1/6
3 Marunda 1 1/3 2/2 2/2
4 Cilincing 7 12/3 4/3 2/1
5 Semper Timur 7 7/7 0/3 1/5
6 Semper Barat 10 15/9 1/7 3/3
7 Kali Baru 7 18/9 1/4 0/0
42 61/37 9/31 10/15
MCK SALURAN
PAM BELI PAM SUMUR
UMUM LIMBAH RT
1 Sukapura 11 1 3.107 3.028 1
2 Rorotan 0 1 0 4.309 1
3 Marunda 0 1 0 2.852 1
4 Cilincing 0 1 2.532 6.295 1
5 Semper Timur 0 1 1.362 5.422 1
6 Semper Barat 0 1 5.146 7.264 1
7 Kali Baru 0 1 2.014 7.983 1
11 7 14.161 37.153 7
VI. PARIWISATA
Sampai saat ini sudah diupayakan perbaikan-perbaikan yang berkaitan dengan tujuan wisata ,
beberapa wilayah ditata untuk dijadikan obyek wisata antara lain berupa penataan kawasan bahari
meliputi pelestarian kawasan pelabuhan lama , kompleks rumah tradisional , lokasi pembakaran
jenazah di Cilincing yang menjadi kawasan wsata religi, peningkatan potensi wisata dengna objek
peninggalan sejarah.
Kelurahan Cilincing memiliki luas 881,225 Ha tetapi hanya 29,537 Ha yang dihuni sedangkan
kawasan lainnya terbagi menjadi kawasan industri, fasilits umum, jalan, sungai, saluran dan
lainnya.
Batas kawasan kelurahan yaitu :
- Utara berbatasan dengan Kali Banglio-Laut Jawa
- Selatan berbatasan dengan Kali Gubug Genteng, Jalan Raya
- Barat berbatasan dengan Jalan Baru, Jalan Pedongkelan, Saluran Kali Dadap
- Timur berbatasan dengan Patok Pilar Tapal Batas, Kali Blencong dan Jalan KBN
Pengelompokkan bangunan, pada umumnya tertata dengan grid system yang teratur. Bangunan
sample diambil di RW 5.
Pekerjaan utama penghuni rumah adalah berdagang. Rumah ini dihuni oleh 4 keluarga terdiri dari
nenek, 4 orang ibu dan 12 cucu, sehingga berjumlah 17 orang.
Ukuran lahan seluas 15M x 8 M dibangun pada tahun 1990. Ketidak mampuan meninggikan
bangunan mengakibatkan setiap kali banjir rumahnya akan tergenang setinggi 30 cm.
Upaya mengatasi banjir dilakukan dengan menimbun lantai belakang dengan tanah brangkal yang
diperoleh secara gratis dari tetangga tetangga yang sedang merenovasi / membangun rumah.
Kondisi bangunan rumah tinggal sudah setengah rusak, terletak di darat, tidak bertingkat, dinding
bangunan bata dan panel tripleks.
Banjir yang disebabkan oleh pasang air laut merupakan hal yang rutin dan sudah mereka ketahui
bila banjir akan tiba. Hal ini disebabkan karena salah satu keluarga mereka adalah nelayan, yang
mengenal betul sifat sifat pasang laut. Pasang yang tertinggi biasanya akan menyebabkan banjir
selama 2 malam. Air pasang setinggi 20 cm mulai dating sekitar pukul 11.00 malam dan surut pada
pagi hari.
Penyesuaian dilakukan terhadap perabot rumah tangga, yaitu dengan ketinggian tempat tidur dari
lantai sekitar 50 cm, sehingga ketika air datang, mereka cukup naik keatas tempat tidur, dan
meletakkan barang barang pada tempat tempat yang tinggi (meja).
VIII. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulan bahwa pada dasarnya pengaruh kenaikan muka
air laut, telah diantisipasi oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.
Namun demikian, masih sulit dideteksi apakah kerusakan yang terjadi pada kawasan maupun
bangunan semata-mata disebabkan oleh kenaikan muka air laut atau oleh sebab sebab lain. Hal
tersebut menjadikan suatu kesulitan dalam memilah milah mana kerusakan yang disebabkan
oleh pasang laut maupun oleh factor lain.
Dengan kondisi tersebut, maka korelasi antara ktnaikan tinggi muka air laut dengan besarnya
kerugian harus diawali dengan pemilahan secara jelas, mana kerusakan akibat naiknya air laut,
dan mana kerugian akibat hal lain.
Tipe bangunan tepi laut, di perkotaat, ternyata tidak selalu berbentuk panggung. Bentuk panggung
secara tradisional, ditemukan pada beragam lokasi, seperti di tepi laut, di daerah perbukitan.
Munculnya bentuk bentuk rumah tradisional berbentuk panggung, secara umum merupakan
antisipasi terhadap alam, baik di dataran tinggi maupun di perairan dan merupakan suatu bentuk
permukiman yang tersebut merupakan antiisipasi terhadap alam. Penanganan bentuk inipun
cenderung merupakan adaptasi yang dilakukan secara sendiri-sendiri.
Bentuk penanganan yang cukup banyak ditemui di daerah tepi air, justru adalah dengan
menaikkan lantai / tanah.
Di era modern maka penanganan lebih bersifat menyeluruh atau dalam skala besar, misalnya
dengan reklamasi sekaligus membangun tanggul yang akan mengantisipasi naiknya muka air laut.