Anda di halaman 1dari 107

OPTIMASI METODE PENETAPAN KADAR ETANOL DAN PROFIL

SENYAWA YANG TERDAPAT DALAM HASIL PRODUKSI CIU


RUMAHAN DESA SENTUL KABUPATEN SUKOHARJO DENGAN
METODE KROMATOGRAFI GAS

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:
Alexius Ario Panduwaskito
NIM: 088114085

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2014

i
Ucapan rasa syukur dan terimakasih untuk Dia yang Maha Esa

Karena berkat-Nya lah saya dapat menyelesaikan skripsi ini

Penantian yang panjang pun telah berlalu

Saatnya menatap masa depan yang telah menanti di luar sana

Karya ini saya persembahkan untuk kedua orangtuaku yang kusayangi

Mas Agung, Rista, dan Andika yang selalu mendukungku

iv
PRAKATA

Segala rasa puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha

Esa atas segala berkat dan kasih karunia-Nya sehingga penelitian dan penyusunan

skripsi yang berjudul Optimasi Metode Penetapan kadar etanol dan profil

senyawa yang terdapat dalam hasil produksi ciu rumahan Desa Sentul

Kabupaten Sukoharjo dengan metode kromatografi gas dapat diselesaikan

dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar

Sarjana Farmasi (S.Farm.) di Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma,

Yogyakarta.

Dalam pelaksanaan penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi ini,

penulis mendapat banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena

itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Bapak Jeffry Julianus, M.Si. selaku dosen pembimbing yang dengan sabar

memberikan pengarahan, masukan, kritik dan saran baik selama penelitian

maupun penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Enade Perdana Istyastono, Ph.D., Apt. selaku dosen penguji yang telah

memberikan saran dan kritik yang membangun dalam penyusunan skripsi.

4. Bapak Florentinus Dika Octa Riswanto, M.Sc. selaku dosen penguji yang

telah memberikan saran dan kritik yang membangun dalam penyusunan

skripsi.

vii
5. Ibu Christofori Maria Ratna Rini Nastiti, M.Pharm., Apt., selaku Kaprodi

Farmasi dan dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan semangat yang

telah diberikan selama ini.

6. Ibu Rini Dwi Astuti, M.Sc, Apt. selaku Kepala Laboratorium Fakultas

Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

7. Seluruh Dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah

memberikan ilmu yang bermanfaat demi kemajuan mahasiswa dalam bidang

farmasi.

8. Seluruh staf laboratorium kimia Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma: Mas Bimo, Mas Bimo anpus, yang telah banyak membantu selama

penelitian di laboratorium.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu

penulis dalam mewujudkan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan

skripsi ini, sehingga penulis mengharapkan segala kritik dan saran yang

membangun. Semoga skripsi ini membantu dan bermanfaat bagi pembaca pada

khususnya dan ilmu pengetahuan pada umumnya.

Penulis

viii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING . ii

HALAMAN PENGESAHAN . iii

HALAMAN PERSEMBAHAN .. iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA . v

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

INTISARI xvi

ABSTRACT . xvii

BAB I. PENDAHULUAN .. 1

A. Latar Belakang Penelitian .. 1

1. Permasalahan .... 3

2. Keaslian penelitian ... 3

3. Manfaat penelitian ... 4

a. Manfaat metodologis ........................................................ 4

b. Manfaat praktis ................................................................. 4

B. Tujuan Penelitian .. 4

ix
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA 5

A. Tetes Tebu (Molase) . 5

B. Alkohol Ciu Bekonang . 6

C. Etanol ........................................................................................... 8

D. Kromatografi Gas ..... 8

1. Gas Pembawa .. 10

2. Sistem Injeksi Sampel . 12

3. Kolom .. 13

a. Kolom kemas ..................................................................... 14

b. Kolom kapiler .................................................................... 14

4. Fase Diam 15

5. Detektor ... 16

6. Pengaturan Suhu .. 19

a. Operasi isotermal ............................................................... 19

b. Suhu terprogram ................................................................. 20

7. Analisis Kuatitatif .... 21

E. Parameter Optimasi Metode .................................. 21

F. Landasan Teori .............. 24

G. Hipotesis ........................................................................................ 25

BAB III. METODE PENELITIAN . 26

A. Jenis dan Rancangan Penelitian . 26

B. Variabel . 26

1. Variabel bebas . 26

x
2. Variabel tergantung . 26

3. Variabel pengacau terkendali .. 26

C. Definisi Operasional . 27

D. Bahan Penelitian 27

E. Alat Penelitian 27

F. Prosedur Kerja .. 28

1. Pemilihan sampel . 28

2. Preparasi sampel .. 28

3. Optimasi metode kromatografi gas.. 28

a. Pembuatan larutan seri baku etanol kadar sedang ............. 28

b. Pembuatan larutan sampel ................................................. 29

c. Pembuatan larutan etanol murni, sampel murni

dan n-butanol murni .......................................................... 29

d. Pengaturan instrumen kromatografi gas ............................ 29

e. Optimasi suhu kolom ......................................................... 30

f. Optimasi initial time .......................................................... 30

g. Optimasi tekanan kolom .................................................... 31

G. Analisis Hasil . 31

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 33

A. Hasil Pemilihan Sampel 33

B. Hasil Preparasi Sampel .................. 33

C. Hasil Pemilihan Kolom .. 34

xi
D. Orientasi Metode Kromatografi Gas ............................................. 35

1. Pemilihan sistem pengaturan suhu ................................... 35

2. Pengaturan alat dengan sistem suhu terprogram . 37

E. Penggunaan Flame Ionization Detector (FID) .. 39

F. Optimasi Metode Kromatografi Gas . 41

1. Hasil pembuatan larutan seri baku etanol kadar sedang . 41

2. Pembuatan larutan sampel dengan standar internal n-butanol 42

3. Pembuatan larutan etanol murni, sampel murni, dan

n-butanol murni ....................................................................... 43

4. Hasil optimasi suhu kolom ...................................................... 46

5. Hasil optimasi initial time ....................................................... 50

6. Hasil optimasi tekanan kolom ................................................. 53

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN . 56

A. Kesimpulan 56

B. Saran .. 57

DAFTAR PUSTAKA .. 58

LAMPIRAN . 60

BIOGRAFI PENULIS . 90

xii
DAFTAR TABEL

Tabel I Kandungan Kimia Molase.. 6

Tabel II Contoh Gas Pembawa dan Pemakaian Detektor ... 11

Tabel III Kecepatan Linier Gas Pembawa untuk Kolom 30 m 12

Tabel IV Jenis Fase Diam dan Penggunaannya ... 15

Tabel V Jenis detektor, sampel, batas deteksi dan

kecepatan alir fase gerak ........................................... 16

Tabel VI Pengaturan Awal Alat Kromatografi Gas ................. 39

Tabel VII Hasil Perhitungan Nilai Resolusi (RS) .......................... 79

Tabel VIII Hasil Perhitungan Nilai Faktor Asimetri (AS)

Kromatogram Etanol ................................................. 83

Tabel IX Hasil Perhitungan Nilai Faktor Asimetri (AS)

Kromatogram n-Butanol ................................................ 83

Tabel X Hasil Perhitungan Nilai Efisiensi Kolom (HETP).. 87

xiii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Lintasan Embden-Meyerhof-Parnas ................................ 7

Gambar 2 Skema Kerja Alat Kromatografi Gas .. 9

Gambar 3 Karakteristik Gas Pembawa (N2, He, dan H2) ... 10

Gambar 4 Sistem Injeksi Kromatografi Gas .... 13

Gambar 5 Kolom Kemas dan Kolom Kapiler .. 15

Gambar 6 Skema FID .................................. 18

Gambar 7 Kromatogram Baku Etanol dengan Suhu Isothermal . 35

Gambar 8 Kromatogram Baku Etanol dengan Suhu Terprogram 36

Gambar 9 Kromatogram Baku Etanol Kadar Sedang ..................... 42

Gambar 10 Kromatogram Larutan Sampel ........................................ 43

Gambar 11 Kromatogram Larutan Etanol p.a ................................... 44

Gambar 12 Kromatogram Larutan n-Butanol p.a....................... 44

Gambar 13 Kromatogram Sampel ......................................... 45

Gambar 14 Kromatogram Sampel Range 0 ........................... 46

Gambar 15 Kromatogram Optimasi Suhu 50oC ................................ 47

Gambar 16 Kromatogram Optimasi Suhu 70oC 48

Gambar 17 Kromatogram Optimasi Suhu 90oC 49

Gambar 18 Kromatogram Optimasi Initial time 2 menit ... 51

Gambar 19 Kromatogram Optimasi Initial time 3 menit ... 51

Gambar 20 Kromatogram Optimasi Tekanan 10 psi ..... 53

Gambar 21 Kromatogram Optimasi Tekanan 7,5 psi .... 53

Gambar 22 Kromatogram Optimasi Tekanan 5 psi ................... 54

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Sertifikat analisis etanol . 61

Lampiran 2 Sertifikat analisis n-butanol .. 63

Lampiran 3 Kromatogram hasil optimasi suhu .. 65

Lampiran 4 Kromatogram hasil optimasi initial time 67

Lampiran 5 Kromatogram hasil optimasi tekanan . 70

Lampiran 6 Data perhitungan resolusi ........................................... 79

Lampiran 7 Data perhitungan nilai faktor asimetri (AS) .... 82

Lampiran 8 Data perhitungan nilai efisiensi kolom (HETP) . 86

xv
INTISARI

Desa Bekonang merupakan salah satu daerah perkampungan yang


terdapat di kabupaten Sukoharjo di Provinsi Jawa Tengah. Desa ini merupakan
sentra produksi alkohol yang dikenal hasil produksinya oleh masyarakat sebagai
Ciu Bekonang. Hasil produksi Ciu Bekonang digunakan sebagai bahan baku
etanol medis oleh pabrik-pabrik pembuat alat kesehatan.
Sebelum dilakukan penetapan kadar etanol dan senyawa lain yang
terkandung di dalam Ciu Bekonang, perlu dilakukan optimasi pada metode yang
digunakan dalam penetapan kadar. Pentingnya dilakukan optimasi pada metode
penetapan kadar ini untuk memperoleh pengaturan alat kromatografi yang dapat
memperoleh hasil pemisahan peak yang bagus dan bila digunakan pada proses
validasi, dapat memenuhi standar parameter-parameter validasi. Untuk
memperoleh pemisahan peak senyawa yang optimum, dalam penelitian ini
dilakukan optimasi suhu kolom awal, initial time, dan tekanan kolom. Optimasi
dari ketiga faktor tersebut dilakukan untuk memperoleh peak yang memenuhi
parameter-parameter optimasi, yakni waktu retensi, efisiensi kolom, resolusi, dan
faktor asimetri.
Hasil optimasi pada metode penetapan kadar senyawa dalam Ciu
Bekonang menggunakan Kromatografi Gas suhu terprogram antara lain suhu
awal: 70oC; initial time: 2 menit; rate: 30oC/menit; suhu akhir: 220oC; waktu
akhir: 2 menit; suhu injektor B: 200oC; suhu detektor A: 250oC; range: 3. Hasil
perhitungan asymetri factor yaitu 1 untuk peak etanol dan n-butanol. Waktu
retensi etanol yaitu 252 detik, resolusi 15,78 dan nilai efisiensi kolomnya sebesar
0,0009.

Kata kunci: Etanol, butanol, ciu Bekonang, kromatografi gas

xvi
ABSTRACT

Bekonang village is one of the villages located in Sukoharjo district in


Central Java province. This village is a center for the production of alcohol that
known of their products by the public as Ciu Bekonang. The production of Ciu
Bekonang was used as a raw material by the medical ethanol manufacturers of
medical devices.
Prior to the determination of ethanol and other compounds contained in
the Ciu Bekonang, optimization needs to be done on methods used in the assay.
The importance of optimization performed on the assay method was to obtain the
settings tool of gas chromatography that generate good peak separation which
meet the standard of validation parameters in validation process. To obtain
optimum separation of peak compounds, the researcher has to optimize value of
initial column temperature, initial time, and column pressure. Optimization of
these three factors was done to obtain the peak that meets optimization
parameters, specifically the retention time, column efficiency, resolution, and
asymetri factor.
The optimization results of assay methods of the compounds in ciu
Bekonang using programmed temperature gas chromatography include the initial
temperature: 70C; initial time: 2 minutes; rate: 30oC/menit; end temperature:
220C; end time: 2 minutes; injector B temperature: 200oC; detector A
temperature: 250oC; range: 3. The calculation results of asymetri factor were 1 for
both of ethanol and n-buthanol peaks. The retention time of ethanol was 252
seconds, 15.78 for resolution and value of column efficiency was 0.0009.

Key Words: Ethanol, buthanol, ciu Bekonang, gas chromatography

xvii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Desa Bekonang merupakan salah satu daerah perkampungan yang

terdapat di wilayah kabupaten Sukoharjo di Provinsi Jawa Tengah. Desa ini

merupakan sentra produksi alkohol yang dikenal hasil produksinya oleh

masyarakat sebagai ciu Bekonang. Pekerjaan sebagai produsen industri rumah

tangga pembuatan alkohol telah dilakukan sejak jaman dahulu.

Alkohol produksi Bekonang dibuat dari bahan dasar tetes tebu yang

difermentasikan dan mengalami proses destilasi sehingga diperoleh etanol

(Widodo, 2004). Tetes tebu yang digunakan merupakan sisa hasil produksi pabrik

gula yang kemudian difermentasikan. Proses fermentasi menggunakan ragi yang

mengandung spesies mikroba seperti saccharomyces cerevisiae yang berlangsung

kurang lebih selama 5-6 hari. Dari hasil fermentasi ini kemudian dilakukan proses

destilasi dengan pemanasan menggunakan kompor tungku dan alat destilasi yang

terbuat dari pipa-pipa yang terdapat pendinginnya (Sebayang, 2006).

Produsen di Bekonang memproduksi etanol dengan kadar 30-40% yang

disebut dengan ciu Bekonang. Hasil produksi tersebut digunakan sebagai bahan

baku etanol medis oleh pabrik-pabrik pembuat alat-alat kesehatan.

Etanol atau alkohol merupakan senyawa kimia yang berbentuk cair dan

bersifat volatil (mudah menguap). Etanol mudah terbakar dan titik didihnya 78oC

(Pharmaceutical Press, 2009). Karena bersifat volatil, senyawa ini sangat cocok

1
2

ditetapkan kadarnya menggunakan metode kromatografi gas. Kromatografi gas

merupakan metode yang dinamis untuk pemisahan dan deteksi senyawa-senyawa

yang mudah menguap dalam suatu campuran (Gandjar dan Rohman, 2007).

Prinsip pemisahan dalam kromatografi gas yaitu dengan cara partisi dari

komponen-komponen senyawanya berdasarkan titik didih dan kepolaran

komponen-komponen senyawanya dengan menggunakan fase gas sebagai fase

gerak, dan fase cair sebagai fase diam. Prinsip penetapan kadar dengan

kromatografi gas adalah sampel diinjeksikan pada instrumen dan oleh gas yang

mempunyai tekanan tertentu sampel dibawa menuju kolom kapiler untuk

dipisahkan berdasarkan komponen penyusun dan diteruskan menuju detektor.

Dari detektor dihasilkan sinyal pembacaan untuk dicatat oleh rekorder sehingga

menghasilkan kromatogram. Kadar senyawa diketahui dengan menghitung luas

area kromatogram.

Untuk dapat menetapkan kadar etanol dengan hasil yang dipercaya dan

profil senyawa lain yang terdapat di dalam hasil produksi ciu perlu dilakukan

serangkaian penelitian terdahulu yaitu optimasi dan validasi. Dalam hal ini,

peneliti mengambil bagian tahap optimasi metode kromatografi gas yang akan

digunakan pada penetapan kadar ciu Bekonang ini. Oleh karena sampel yang

digunakan mengandung komponen-komponen senyawa yang mempunyai titik

didih dan polaritas yang hampir sama, maka peneliti menggunakan metode

kromatografi gas dengan suhu terprogram untuk menghasilkan pemisahan

kromatogram komponen-komponen senyawa dengan baik.


3

Pada sistem kromatografi gas dengan suhu terprogram, suhu kolom

ditingkatkan secara bertahap dari suhu awal kolom pada rentang waktu tertentu

sampai batas suhu maksimal kolom. Oleh karena itu, untuk menetapkan suhu awal

kolom dan rentang waktu peningkatan suhu pada sistem kromatografi gas ini

perlu dilakukan optimasi parameter-parameter yang dapat mempengaruhi proses

pemisahan komponen-komponen senyawa di dalam hasil produksi ciu.

Parameter-parameter yang akan dioptimasi yaitu suhu kolom, tekanan kolom, dan

initial time. Untuk menghasilkan pemisahan kromatogram komponen komponen

senyawa dalam sampel yang optimal maka peak senyawa yang dihasilkan harus

memiliki waktu retensi yang cepat, nilai resolusi lebih dari 1,5, nilai faktor

asimetri sama dengan 1, dan nilai efisiensi kolom kurang dari 1.

1. Permasalahan

Bagaimana kondisi optimal sistem kromatografi gas untuk dapat

menetapkan kadar etanol dalam sampel ciu Bekonang?

2. Keaslian Penelitian

Peneliti menemukan penelitian serupa yang pernah dilakukan yaitu

penelitian yang berjudul Perbandingan Metode Kromatografi Gas dan Berat

Jenis Pada Penetapan Kadar Etanol Dalam Minuman Anggur (Mardoni, 2006).

Namun sejauh yang diketahui penulis dan studi pustaka yang telah dilakukan

penulis, penelitian mengenai optimasi metode penetapan kadar dan profil

kandungan alkohol hasil produksi industri ciu rumahan di daerah Sukoharjo

secara kromatografi gas belum pernah dilakukan.


4

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat metodologis. Dengan penelitian ini diharapkan dapat

memberikan sumbangan ilmiah mengenai metode kromatografi yang dipilih untuk

menetapkan kadar etanol dalam hasil produksi ciu di desa Sentul kabupaten

Sukoharjo.

b. Manfaat praktis. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan

informasi mengenai hasil optimasi metode dalam penetapan kadar etanol dan

profil senyawa yang terdapat dalam hasil produksi ciu rumahan desa Sentul

kabupaten Sukoharjo dengan metode kromatografi gas.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukan penelitian ini untuk mengetahui kondisi optimal sistem

kromatografi gas untuk dapat menetapkan kadar etanol dalam sampel ciu

Bekonang.
BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Tetes Tebu (Molase)

Tetes tebu (molase) adalah salah satu hasil samping pabrik gula tebu yang

masih memiliki kandungan gula yang tinggi sekitar 52 persen, sehingga

memungkinkan dijadikan bahan baku berbagai industri. Industri yang

memanfaatkan tetes tebu adalah industri yang menghasilkan produk distilasi,

alkohol salah satunya. Molase mengandung gula yang tidak mengkristal, sehingga

gula tersebut dapat dimanfaatkan untuk memproduksi etanol melalui proses

fermentasi (Juwita, 2012).

Molase masih mengandung kadar gula yang cukup untuk dapat

menghasilkan etanol dengan proses fermentasi, biasanya pH molase berkisar

antara 5,5-6,5. Molase yang masih mengandung kadar gula sekitar 10-18% telah

memberikan hasil yang memuaskan dalam pembuatan etanol (Simanjuntak,

2009).

5
6

Tabel I. Kandungan Kimia Molase (Widyanti, 2010)

Komponen Analisa %
Air Gravimetri 20
Senyawa Organik
Gula:
Sakrosa Somoghi-Nelson 32
Glukosa Somoghi-Nelson 14
Fruktosa Somoghi-Nelson 16
Senyawa Nitrogen Kjeldahl 10
Senyawa Anorganik
Sio2 Titrimetri 0.5
K2O Titrimetri 3.5
CaO Titrimetri 1.5
MgO Titrimetri 0.1
P2O5 Titrimetri 0.2
Na2O Titrimetri -
Fe2O3 Titrimetri 0.2
Al2O3 Titrimetri -
Residu soda dan karbonat (CO2) 1.6
Residu Sulfat (sebagai SO3 0.4

B. Alkohol Ciu Bekonang

Di Desa Bekonang Kabupaten Sukoharjo terdapat pengerajin industri kecil

skala rumah tangga yang menghasilkan alkohol untuk keperluan bahan baku

kimia industri dan juga keperluan pengobatan. Alkohol yang dihasilkan berasal

dari fermentasi tetes tebu. Tetes tebu tersebut diberikan enzim yang berasal dari

jamur lalu didiamkan beberapa hari, hasil fermentasi di destilasi dengan alat

buatan sendiri yang berasal dari drum, lalu hasil destilasi tersebut disaring

sehingga menghasilkan cairan yang jernih (Widodo, 2004).

Fermentasi merupakan proses kegiatan mikrobia pada bahan pangan

sehingga dihasilkan produk yang diinginkan (Hidayat, 2007). Saccharomyces


7

cerevisiae merupakan mikroorganisme yang terlibat dalam mengubah gula pada

substrat menjadi alkohol pada kondisi aerob (Hidayat, 2008).

Dalam fermentasi ini glukosa didegradasi menjadi etanol dan CO2 melalui

suatu jalur metabolisme yang disebut glikolisis yang biasa jalurnya disebut jalur

Embden-Meyerhof-Parnas (Sebayang, 2006).

Gambar 1. Lintasan Embden-Meyerhof-Parnas (Anonim, 2014)


8

C. Etanol

Etanol merupakan cairan bening, tidak berwarna, mudah mengalir,

mudah menguap dengan bau spritus dan rasa membakar. Etanol mudah terbakar,

titik didihnya sekitar 78oC (Pharmaceutical Press, 2009).

Senyawa ini merupakan jenis obat psikoaktif. Etanol termasuk ke dalam

alkohol rantai tunggal, dengan rumus kimia C2H5OH dan rumus empiris C2H6O,

dan merupakan isomer konstitusional dari dimetil eter. Etanol sering disingkat

menjadi EtOH, dengan "Et" merupakan singkatan dari gugus etil (C2H5) (Myers

and Myers, 2007).

Etanol yang dihasilkan diperoleh dari peragian karbohidrat yang

berkataliskan enzim. Enzim tersebut mengubah karbohidrat ke glukosa kemudian

ke etanol. Reaksi ini terjadi tanpa adanya oksigen dan menghasilkan CO2

(Fessenden dan Fessenden, 1986).


enzim
C6H12O6 CH3CH2 OH+ CO2 (1)

D. Kromatografi Gas

Kromatografi gas merupakan metode yang dinamis untuk pemisahan dan

deteksi senyawa-senyawa yang mudah menguap dalam suatu campuran.

Kegunaan umum Kromatografi Gas (KG) adalah untuk melakukan pemisahan

dinamis dan identifikasi semua jenis semua senyawa organik yang mudah

menguap dan juga melakukan analisis kualitatif dan kuantitatif senyawa dalam

suatu campuran (Gandjar dan Rohman, 2007).


9

KG terdapat dua tipe yang sering digunakan, tipe pertama yaitu gas-solid

(adsorption) chromatography dan gas-liquid (partition) chromatography

(Christian, 2004). Pemakaian zat cair sebagai fase diam ternyata lebih meluas

dibandingkan zat padat, sehingga teknik ini kadangkala dikenal sebagai

kromatografi gas-cair (Khopkar, 1990).

Komponen dasar dari KG adalah sebagai berikut:

1. Sumber gas pembawa dengan regulator tekanan dan kontrol aliran

2. Tempat injeksi dan syringe

3. Kolom pemisah

4. Detektor

5. Oven dengan pengatur suhu yang dapat diprogram untuk berbagai tingkat

temperatur

6. Recorder atau alat pencatat (Dean, 1995).

Gambar 2. Skema kerja alat kromatografi gas (Rohman, 2009)


10

1. Gas Pembawa

Gas pembawa merupakan fase gerak yang berfungsi untuk membawa

cuplikan melewati kolom. Gas yang biasa digunakan adalah helium, nitrogen,

hidrogen, dan argon. Gas-gas ini relatif tidak mahal, bisa didapatkan dengan

mudah, tidak begitu berbahaya serta bersifat tidak reaktif sehingga tidak bereaksi

dengan molekul-molekul cuplikan pada tekanan dan suhu kromatograf (Christian,

2004).

Ketiga jenis gas pembawa tersebut hampir memberikan harga HETP

yang sama tapi pada kecepatan alir yang berbeda. Gas N2 memerlukan kecepatan

alir yang lambat (10cm/detik) untuk mencapai kinerja (efisiensi) yang optimum

dengan HETP minimum. Sementara H2 dan He dapat dialirkan lebih cepat untuk

memperoleh efisiensi yang optimum, 25 cm/detik untuk gas H2 dan 35 cm/detik

untuk gas He (Hendayana, 2010).

Gambar 3. Karakteristik gas pembawa (N2, He, dan H2) (Hendayana, 2010)
11

Syarat gas pembawa yaitu murni dan tidak reaktif, gas pembawa keadaan

murni agar tidak berpengaruh pada detektor dan disimpan dalam tangki

bertekanan tinggi (Gandjar dan Rohman, 2007).

Gas pembawa dipilih berdasarkan sifat inert-nya. Fungsi utamanya

adalah membawa uap analit melalui system kromatografi tanpa berinteraksi

dengan komponen-komponen sampel. Terkadang pemilihan gas pembawa

ditentukan oleh detektor yang digunakan (Dean, 1995).

Tabel II. Contoh Gas Pembawa dan Pemakaian Detektor (Gandjar dan Rohman,
2007)
Gas pembawa Detektor
Hidrogen Hantar panas
Helium Hantar panas
Ionisasi nyala
Fotometri nyala
Termoionik
Nitrogen Ionisasi nyala
Tangkap elektron
Fotometri nyala
Termoionik
Argon Ionisasi nyala
Argon + metana 5% Tangkap elektron
Karbon dioksida Hantar panas

Untuk kolom kapiler, aliran gas pembawa paling baik diungkapkan

dengan kecepatan rata-rata linear (, cm/detik), bukan dengan laju alir volumetrik

(F, mL/menit). Kecepatan rata-rata linear dapat diartikan sebagai kecepatan rata-

rata sampel melewati kolom atau kecepatan gas pembawa (MSP KOFEL, 2005).
12

Tabel III. Kecepatan Linear Gas Pembawa untuk Kolom 30 m (MSP KOFEL,
2005)

Diameter Kolom Kecepatan Linear (cm/detik) Laju Alir (mL/menit)


(mm)
He H2 He H2
0.18 30-45 45-60 0,5-0,7 0,7-0,9
0.25 30-45 45-60 0,9-1,3 1,3-1,8
0.32 30-45 45-60 1,4-2,2 2,2-2,9
0.45 30-45 45-60 2,9-4,3 4,3-5,7
0.53 30-45 45-60 4,0-6,0 6,0-7,9

2. Sistem Injeksi Sampel

Fungsi tempat penginjeksian adalah untuk menyediakan jalan masuk bagi

syringe dan juga sampel ke dalam aliran gas pembawa dan untuk menyediakan

panas yang cukup untuk menguapkan sampel (Dean, 1995).

Pada dasarnya, ada 4 sistem penginjeksian sampel pada KG, yaitu:

a. Injeksi langsung (direct injection), yang mana sampel yang diinjeksikan akan

diuapkan dalam injektor yang panas dan dan 100% sampel masuk menuju

kolom.

b. Injeksi terpecah (split injection), yang mana sampel yang diinjeksikan

diuapkan dalam injektor yang panas dan selanjutnya dilakukan pemecahan.

c. Injeksi tanpa pemecahan (splitness injection), yang mana hampir semua

sampel diuapkan dalam injektor yang panas dan dibawa ke dalam kolom

karena katup pemecah ditutup.

d. Injeksi langsung ke kolom (on column injection), yang mana ujung septum

dimasukkan langsung ke dalam kolom (Rohman, 2009).


13

Cuplikan yang dapat dianalisis dengan teknik KG dapat berupa zat cair

dan gas. Dengan syarat cuplikan tersebut mudah menguap dan stabil (tidak rusak

pada kondisi operasional). Di tempat pemasukan cuplikan terdapat pemanas yang

suhunya dapat diatur untuk menguapkan cuplikan. Suhu tempat penyuntikan

cuplikan biasanya sekitar 50 derajat di atas titik didih cuplikan. Bila cuplikan

rusak pada suhu tersebut maka cuplikan tersebut tidak dapat dianalisis dengan

teknik KG. Untuk kolom analitik memerlukan antara 0,1-10 L cuplikan cair

sedangkan kolom preparatif memerlukan antara 20-1000 L (Hendayana, 2010).

Gambar 4. Sistem injeksi kromatografi gas (Gandjar dan Rohman, 2007)

3. Kolom

Kolom merupakan tempat terjadinya proses pemisahan karena di

dalamnya terdapat fase diam, sehingga merupakan komponen yang sentral

(Gandjar dan Rohman, 2007). Kolom yang berfungsi sebagai pemisah


14

mengandung fase diam yang bias berupa adsorben (kromatografi gas, padat) atau

cairan. Kolom tersebut terbuat dari logam, gelas, atau silika (Dean, 1995).

Ada 2 tipe kolom yang digunakan dalam KG yaitu kolom kemas dan

kolom kapiler. Kolom kemas adalah kolom tipe pertama dan telah digunakan

selama beberapa tahun. Kolom kapiler merupakan kolom yang paling banyak

digunakan sekarang, tetapi kolom kemas tetap digunakan untuk penelitian yang

tidak membutuhkan resolusi tinggi atau ketika dibutuhkan peningkatan kapasitas

kolom (Christian, 2004).

a. Kolom kemas

Kolom yang biasanya dibuat dari gelas atau kaca yang disilanisasi untuk

menghilangkan senyawa silanol polar Si-OH dari permukaannya yang

menyebabkan tailing pada peak dari analit polar. Internal diameternya 2-5 mm,

kolomnya dikemas dengan partikel solid pendukung yang disalut dengan cairan

fase diam (Watson, 1999).

Dibandingkan dengan kolom kapiler, kolom kemas memiliki variasi

panjang jalur aliran fase gerak dan lapisan film diskontinyu dari fase diamnya

yang tidak seragam (Dean, 1995).

b. Kolom kapiler

Kolom kapiler terbuat dari lelehan silika yang disalut bagian luarnya

dengan poliamida untuk memberikan sifat fleksibel kolom. Penyalutan dengan

aluminium juga telah dilakukan untuk pengerjaan pada suhu yang tinggi

(>400oC). Internal diameternya 0,15-0,5 mm. Dinding kolom disalut dengan

cairan fase diam yang memberi lapisan tipis antara 0,1-5m (Watson,1999).
15

Memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan kolom kemas yaitu

fleksibel, awet/tahan lama, dan memiliki silika kapiler yang bersifat inert terhadap

bahan kimia (Dean, 1995).

Gambar 5. Kolom kemas dan kolom kapiler (Rohman, 2009)

4. Fase Diam

Fase diam yang dipilih berdasarkan polaritas dari sampel yang akan

diujikan, dengan prinsip like dissolve like , oleh karena itu fase diam yang polar

akan lebih berinteraksi dengan senyawa yang lebih polar, dan begitulah

sebaliknya fase diam yang non polar akan lebih berinteraksi dengan senyawa yang

lebih non polar (Christian, 2004).

Komponen-komponen sampel harus teretensi di fase diam untuk

memperoleh resolusi. Retensi yang semakin lama dan selektif akan menghasilkan

resolusi yang semakin baik. Selektivitas bisa divariasi hanya dengan mengubah

kepolaran fase diam atau dengan mengubah suhu kolom (Dean, 1995).
16

Tabel IV. Jenis Fase Diam dan Penggunannya (Gandjar dan Rohman, 2007)

Fase diam Polaritas Golongan sampel Suhu


maksimum oC
Squalen Non polar Hidrokarbon 125 oC
Apiezon L Non polar Hidrokarbon, ester, eter 300 oC
Metil silikon Non polar Steroid, pestisida, 300 oC
alkaloida, ester
Dionil ptalat Semi polar Semua jenis 170 oC
Dietilenglikosuksinat Polar Ester 200 oC
Carbowax 20M Polar Alkohol, amina 250 oC
aromatik, keton

5. Detektor

Detektor merupakan perangkat yang berada di ujung kolom tempat

keluarnya fase gerak (gas pembawa) yang membawa komponen hasil pemisahan.

Pada garis besarnya detektor pada KG termasuk detektor diferensial, dalam arti

respons yang keluar dari detektor memberikan relasi yang linier dengan kadar atau

laju aliran massa komponen yang teresolusi (Rohman, 2009).

Detektor harus mempunyai karakteristik sebagai berikut:

a. Sensitivitas yang tinggi

b. Tingkat noise yang rendah

c. Respon yang linier pada rentang dinamis yang lebar

d. Respon yang baik pada semua komponen organik

e. Tidak sensitive pada variasi alirah dah perubahan suhu

f. Stabil dan ruggedness

g. Kemudahan penggunaan

h. Positif untuk mengidentifikasi suatu komponen (Dean, 1995).


17

Tabel V. Jenis Detektor, Sampel, Batas Deteksi dan Kecepatan Alir Fase gerak
(Rohman, 2009)

Kecepatan alir (ml/ menit)


Batas
Jenis detektor Jenis sampel Gas
deteksi H2 Udara
pembawa
Hantar panas Senyawa umum 5-100 ng 15-30 - -
200-
Ionisasi nyala Hidrokarbon 10-100 pg 20-60 30-40
500

Penangkap Halogen organik,


0,05-1 pg 30-60 - 70-100
elektron pestisida

Senyawa nitrogen
Nitrogen-fosfor organik dan fosfat 0,1-10 g 20-40 1-5 60-80
organic

Fotometri nyala Senyawa-senyawa 100-


10-100 pg 20-40 50-70
(393nm) sulful 150

Fotometri nyala Senyawa-senyawa 120-


1-10 pg 20-40 -
(393nm) fosfor 170

Senyawa-senyawa
Fotoionisasi yang terionisasi 2 pg 30-40 - -
dengan UV
0,5 pg Cl
Konduktifitas
Halogen, N, S 2 pg S 20-40 80 -
elektronik
4 pg N
Forier transform - Senyawa-
1000 pg 3-10 - -
infra red senyawa organik

Sesuai untuk 10 pg- 10


Selektif massa 0,5-30 - -
senyawa apapun ng
Sesuai untuk 0,1 20
Emisi atom 60-70 - -
elemen apapun pg

FID (Flame Ionization Detector) adalah detektor KG yang paling banyak

digunakan dan sejauh ini telah umum digunakan dalam analisis KG. FID memiliki
18

rentang dinamis yang lebar, sensitivitas tinggi, dan akan mendeteksi semua

senyawa yang mengandung karbon (Scott, 2003).

Gambar 6. Skema FID (Scott, 2003)

Pada pemakaian FID, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: pertama,

kecepatan alir O2 (udara) dan H2. Untuk memperoleh tanggapan FID yang optimal

sebaiknya kecepatan aliran H2 + 30 mL/menit dan O2 sepuluh kalinya. Kedua

adalah suhu FID harus diatas 100oC. Hal ini bertujuan untuk mencegah

kondensasi uap air yang mengakibatkan FID berkarat atau kehilangan (menurun)

sensitivitasnya (Gandjar dan Rohman, 2007).

Solut yang keluar dari kolom dicampur H2 dan udara kemudian dibakar

pada nyala di bagian dalam detektor. Atom karbon senyawa organik dapat

menghasilkan radikal CH yang selanjutnya menghasilkan ion CHO+ dalam nyala

hidrogen udara.

CHO + O CHO+ + e- (2)


19

CHO+ yang dihasilkan dalam nyala bergerak ke katoda yang berada di atas nyala.

Arus yang mengalir di antara anoda dan katoda diukur dan diterjemahkan sebagai

sinyal pada rekorder. Detektor ini jauh lebih peka daripada detektor daya hantar

panas. Kepekaan detektor ionisasi nyala akan lebih meningkat kalau N2 digunakan

sebagai gas pembawa (Hendayana, 2010).

6. Pengaturan Suhu

Secara keseluruhan, pemilihan suhu dalam kromatografi gas

berhubungan dengan beberapa faktor. Suhu injektor harus relatif tinggi, konsisten

dengan stabilitas thermal sampel, untuk memberikan kecepatan penguapan yang

paling tinggi agar sampel masuk ke kolom dalam volum kecil, menurunkan

penyebaran dan meningkatkan resolusi. Suhu kolom berhubungan dengan

kecepatan, sensitifitas dan resolusi. Pada suhu tinggi, sampel berada pada fase gas

terlama dan terelusi dengan cepat, tetapi resolusinya jelek. Pada suhu rendah,

sampel berada di fase diam paling lama dan terelusi dengan lamban; resolusi

meningkat tetapi sensitifitas menurun. Suhu detektor harus cukup tinggi untuk

mencegah sampel terkondensasi (Christian, 2004).

KG didasarkan pada dua sifat senyawa yang dipisahkannya yakni

kelarutan senyawa dan titik didih senyawa. Karena titik didih senyawa

berhubungan dengan suhu makan suhu merupakan faktor utama dalam

kromatografi gas (Gandjar dan Rohman, 2007).

a. Operasi isotermal

Pemilihan suhu kolom untuk operasi isotermal merupakan permasalahan

yang kompleks dan biasanya diselesaikan dengan suatu kompromi. Sampel yang
20

komponen-komponennya memiliki titik didih dengan rentang yang luas

menghasilkan hasil kromatograf yang tidak memuaskan hanya dengan single

isotermal run. Pemisahan pada suhu kolom yang sedang mungkin menghasilkan

resolusi yang bagus untuk komponen dengan titik didih rendah tetapi

membutuhkan waktu yang panjang untuk mengelusi komponen dengan titik didih

tinggi. Salah satu solusinya adalah dengan meningkatkan suhu kolom beberapa

poin lebih tinggi selama pemisahan sehingga komponen dengan titik didih tinggi

akan terelusi lebih cepat dan dengan peak yang lebih berdekatan (Dean,1995).

b. Suhu terprogram

Pemisahan konstituen-konstituen dalam sampel yang mempunyai daerah

titik didih luas dapat diperbaiki dan dipercepat dengan menaikan temperatur

kolom pada suatu laju yang seragam. Cairan yang mempunyai titik didih rendah

akan terelusi terlebih dahulu, sedangkan pada temperatur lebih tinggi zat yang

mempunyai titik didih lebih tinggi baru akan terelusi (Khopkar, 1990).

Sampel diinjeksikan ke dalam sistem kromatografi ketika suhu kolom di

bawah suhu komponen sampel pada titik didih terendah, diutamakan di bawah

suhu 90oC. Suhu kolom kemudian dinaikkan dengan kecepatan yang telah

ditentukan. Pada aturan umumnya, waktu retensi dibagi pada peningkatan suhu

20-30oC. Suhu akhir seharusnya mendekati titik didih komponen yang terelusi

terakhir tetapi tidak boleh melebihi batas maksimal suhu pada fase diam yang

digunakan. Kecepatan pemanasan 3-5oC/menit harus dicoba pada awal operasi

kemudian diatur sedemikian rupa sehingga diperoleh pemisahan yang optimum

(Dean, 1995).
21

7. Analisis kuantitatif

Analisis kuantitatif secara KG menggunakan metode standar internal.

Metode standar internal digunakan karena terdapat ketidakpastian yang

disebabkan injeksi sampel, kecepatan aliran gas, dan variasi keadaan kolom dapat

diminimalisasi. Dalam prosedur ini, standar internal yang telah diukur dengan

seksama dimasukkan ke dalam setiap larutan baku dan sampel, dan rasio luas

puncak analit terhadap luas puncak standar internal adalah parameter analisisnya.

Puncak standar internal dan puncak lainnya harus terpisah dengan baik sebagai

syarat keberhasilan metode ini (Skoog, West, dan Holler, 1994).

Untuk menjamin kondisi yang digunakan dalam analisis kuantitatif

bersifat stabil dan reprodusibel, baik pada penyiapan sampel atau proses

kromatografi, berikut beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam analisis

kuantitatif:

a. Analit (solut) harus telah diketahui dan terpisah sempurna dari komponen-

komponen lain dalam kromatogram

b. Baku dengan kemurnian yang tinggi dan telah diketahui harus tersedia

c. Prosedur kalibrasi yang sudah diketahui harus digunakan (Rohman, 2009).

E. Parameter Optimasi Metode

Dalam kromatografi modern terdapat beberapa parameter yang

berhubungan satu dengan yang lain dan perlu dimengerti untuk memahami konsep

kromatografi. Parameter tersebut adalah waktu retensi, faktor kapasitas,

selektivitas, efisiensi, dan resolusi.


22

1. Waktu retensi

Waktu retensi (tR) adalah waktu mulai injeksi cuplikan hingga suatu

komponen campuran keluar kolom, dengan kata lain waktu yang diperlukan suatu

komponen campuran (solute) untuk keluar dari kolom. Waktu retensi diukur

melalui kromatogram dari menit ke-0 hingga muncul puncak peak (Hendayana,

2010).

2. Faktor Kapasitas

Faktor kapasitas (k) merupakan suatu ukuran kekuatan interaksi suatu

komponen dengan fasa diam yang diformulasikan sebagai berikut:

(3)

K= faktor kapasitas

tR = waktu retensi yaitu waktu yang diperlukan oleh suatu komponen

yang berinteraksi dengan fasa diam untuk meninggalkan kolom

t0 = waktu yang diperlukan oleh suatu komponen yang tidak berinteraksi

dengan fasa diam untuk meninggalkan kolom

ns = jumlah mol suatu senyawa di dalam fasa diam

nm = jumlah mol suatu senyawa di dalam fasa gerak

VS = volume fasa diam

Vm = volume fasa gerak

Senyawa yang mempunyai harga faktor kapasitas tinggi menunjukkan

komponen tersebut berinteraksi dengan fase diam secara kuat. Sebaliknya,


23

senyawa yang mempunyai faktor kapasitas yang rendah menunjukkan komponen

tersebut berinteraksi dengan fase diam secara lemah (Hendayana, 2010).

3. Selektivitas

Selektivitas () diartikan sebagai ukuran keterpilihan dua komponen

campuran yang dipisahkan, difromulasikan sebagai berikut:

= (4)

K1 dan k2 masing-masing adalah faktor kapasitas komponen pertama dan

komponen kedua. Harga selektivitas dapat sama dengan satu atau lebih besar dari

satu. Bila harga = 1 berarti senyawa 1 dan senyawa 2 keluar dari kolom

bersama-sama, dengan kata lain senyawa 1 dan senyawa 2 tidak dapat dipisahkan.

Sebaliknya bila > 1 maka senyawa 1 keluar lebih cepat dari senyawa 2. Semakin

besar nilai maka semakin baik pemisahan (Hendayana, 2010).

4. Efisiensi

Tingkat pemisahan dengan kromatografi tercermin pada peak-peak

kromatogram yang dihasilkan. Semakin lebar suatu peak kromatogram maka

dapat dikatakan pemisahan semakin kurang efisien. Secara kuantitatik, efisiensi

dapat dijelaskan dengan teori plat (N). Pemahaman teori plat sebagai berikut:

dalam proses kromatografi terjadi kesetimbangan distribusi di antara fase gerak

dan fase diam ketika solute bergerak melalui kolom (Hendayana, 2010).

Dengan kata lain, kromatografi merupakan proses ekstraksi

berkesinambungan. Semakin banyak proses ekstraksi dilakukan maka semakin

baik pemisahan. Teori plat dapat diartikan bahwa sepanjang kolom terjadi proses
24

ekstraksi sebanyak N kali. Semakin besar nilai N maka semakin baik pemisahan

(Hendayana, 2010).

5. Resolusi

Tujuan utama dari kromatografi adalah memisahkan komponen-

komponen campuran secara sempurna. Derajat pemisahan dua komponen

campuran dalam proses kromatografi dinyatakan dengan istilah resolusi (RS)

(Hendayana, 2010).

Rumus perhitungan resolusi:

2 t R B t R A
RS = (5)
W A WB

(Skoog, West, dan Holler, 1994).

Nilai resolusi 0,6 digunakan untuk melihat terbentuk lembah dari 2

puncak dengan tinggi yang sama. Nilai 1,0 menghasilkan 2,3% overlap pada 2

puncak dengan tinggi yang sama dan diyakini sebagai pemisahan yang minimum

untuk menghasilkan hasil kuantitatif yang bagus. Hasil 1,5 hanya menyebabkan

0,1% overlap pada puncak yang sama tinggi dan menjadi dasar suatu nilai resolusi

yang cocok dan bagus untuk puncak yang sama tinggi (Christian, 2004).

F. Landasan Teori

Metode kromatografi gas digunakan dalam penetapan kadar etanol dan

profil senyawa yang terdapat dalam hasil produksi ciu berdasarkan perbedaan

titik didih senyawasenyawa golongan alkohol yang terkandung di dalam hasil

produksi ciu dan interaksinya dengan fase gerak dan fase diam di dalam kolom
25

KG yang digunakan. Sistem KG menggunakan sistem pengaturan suhu

terprogram karena senyawasenyawa alkohol di dalam ciu memiliki titik didih

yang berdekatan sehingga perlu dilakukan pengaturan suhu yang tepat untuk

memperoleh kromatogram hasil pemisahan senyawa yang memenuhi parameter-

parameter optimasi. Alat KG perlu diketahui kondisi optimalnya agar memperoleh

hasil yang memenuhi parameter validasi pada proses selanjutnya.

G. Hipotesis

Metode kromatografi gas pada penetapan kadar dan profil alkohol hasil

produksi ciu rumahan daerah kabupaten Sukoharjo memenuhi parameter

optimasi yang meliputi waktu retensi, efisiensi kolom, resolusi dan asymetri

factor.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental dengan

rancangan penelitian deskriptif dikarenakan mendeskripsikan keadaan yang ada

dan dilakukan manipulasi terhadap subjek uji.

B. Variabel

1. Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah alkohol hasil produksi industri

rumahan daerah Sukoharjo

2. Variabel tergantung

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah waktu retensi, resolusi,

asimetri faktor, dan efisiensi kolom yang dihasilkan.

3. Variabel pengacau terkendali

Variabel pengacau terkendali yang terdapat dalam penelitian ini adalah:

a. Pelarut, untuk mengatasinya digunakan pelarut pro analisis dengan kemurnian

tinggi.

b. Kondisi lingkungan, dikarenakan etanol mudah menguap, oleh karena itu

wadah sampel selalu dalam posisi tertutup.

26
27

C. Definisi Operasional

1. Sampel yang digunakan adalah alkohol hasil produksi industri rumahan

daerah Sukoharjo.

2. Optimasi metode kromatografi gas menggunakan sistem kromatografi gas

dengan pengaturan awal yaitu kolom kapiler CP-Wax CB 25 (i.d. 0,32 mm),

Flame Ionization Detector (FID), serta suhu terprogramkan.

3. Optimasi yang dilakukan meliputi optimasi temperatur awal kolom, optimasi

initial time, dan optimasi tekanan kolom.

4. Parameter optimasi yang digunakan meliputi waktu retensi, resolusi, asimetri

faktor, dan efisiensi kolom.

D. Bahan-bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah ciu Bekonang dari

fermentasi tetes tebu, baku etanol p.a.(E. Merck), , n-butanol p.a. (E. Merck),

akuabides (Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma), gas hydrogen HP

99,995% (CV. Perkasa), udara (Laboratorium Analisis Pusat Universitas Sanata

Dharma), gas nitrogen HP 99,9995% (CV. Perkasa).

E. Alat-alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi seperangkat alat

Kromatografi Gas (HP 5890) dengan Flame Ionization Detector (FID), kolom

kapiler CP-Wax (25 m, i.d. 0,32 mm), alat-alat gelas yang lazim digunakan untuk

penelitian di laboratorium analisis (PYREX-GERMANY).


28

F. Prosedur Kerja

1. Pemilihan sampel

Penelitian ini menggunakan sampel yang berasal dari desa Bekonang

yang merupakan hasil industri rumahan produksi alkohol. Sampel diambil

sebanyak 600 mL setiap produksi dan diambil sebanyak tiga kali produksi yang

dilakukan di 15 rumah produksi dari 70 rumah produksi, pemilihan tempat

produksi dengan cara random yaitu dengan mengambil undian dan dipilih

sebanyak 15 rumah produksi dari total rumah produksi.

2. Preparasi sampel

Sampel yang didapat dihomogenkan terlebih dahulu dengan cara digojog

pada setiap botol, lalu sejumlah 100 mL sampel kemudian disaring dengan kertas

Whatman no 1 agar lebih jernih. Kemudian disimpan dalam botol tertutup untuk

menghindari penguapan sampel.

3. Optimasi metode kromatografi gas

A. Pembuatan larutan seri baku etanol kadar sedang

Larutan etanol p.a. sejumlah 600 L diambil dan dimasukkan ke dalam

labu ukur 10 mL, kemudian ditambahkan standar internal sejumlah 600 L n-

butanol ke dalam labu ukur. Encerkan dengan aquabidest hingga batas tanda dan

gojog homogen sehingga diperoleh konsentrasi larutan baku etanol 6%v/v.

Larutan ini dibuat masing-masing satu kali untuk pengerjaan 18 parameter

optimasi kromatografi gas.


29

B. Pembuatan larutan sampel

Larutan sampel hasil preparasi diambil sejumlah 2000 L menggunakan

mikropipet dan dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, kemudian ditambahkan

standar internal 600 L n-butanol ke dalam labu ukur. Encerkan dengan aquabides

hingga batas tanda.

C. Pembuatan larutan etanol murni, sampel murni dan n-butanol murni

Siapkan masing-masing 10 mL larutan etanol p.a., n-butanol p.a., dan

larutan sampel ke dalam labu uku 10 mL untuk diinjeksikan ke dalam

kromatografi gas dengan pengaturan awal.

D. Pengaturan instrument kromatografi gas

Atur instrumen kromatografi gas dengan pengaturan awal sebagai berikut:

Gas : Nitrogen, Hidrogen, Udara

Kolom : Cp-Wax 52 CB, 25 m x 0.32 mm

Fase Diam : Polietilen glikol

Jenis Detektor : FID (Flame Ionization Detector)

Tekanan : 10 psi

Tekanan Udara : 4 bar

Tekanan Hidrogen : 2,2 bar

Tekanan Nitrogen : 1,5 bar

Split Vent : 99,2 mL/min

Purge Vent : 3,22 mL/min

Temperatur Awal : 70oC

Initial time : 2 menit


30

Rate : 30oC /min

Temperatur Final : 220oC

Waktu Final : 2 menit

Injektor B : 200oC

Detektor A : 250oC

Range :3

Injeksikan masing-masing 1 L larutan baku etanol dan larutan sampel

ke dalam instrumen kromatografi gas dengan pengaturan yang dipilih.

Bandingkan waktu retensi dan pemisahan antara kromatogram baku etanol dan

sampel.

E. Optimasi suhu kolom

Mengatur kromatografi gas dengan temperatur awal 50oC, 70oC dan 90oC

bergantian, kemudian masing-masing injeksikan sejumlah 1 L larutan baku.

Selanjutnya mencatat waktu retensi dan pemisahan yang dihasilkan pada masing-

masing kromatogram.

F. Optimasi initial time

Mengatur kromatografi gas dengan initial time 2 menit dan 3 menit

secara bergantian, kemudian masing-masing injeksikan sejumlah 1 L larutan

baku etanol pada temperatur awal 50oC, 70oC, dan 90oC. Selanjutnya mencatat

waktu retensi dan pemisahan yang dihasilkan pada masing-masing kromatogram.


31

G. Optimasi tekanan kolom

Mengatur kromatografi gas dengan tekanan kolom 5 psi, 7.5 psi dan 10

psi, atur masing-masing initial time pada 2 menit dan 3 menit secara berurutan.

Kemudian masing-masing injeksikan sejumlah 1 L larutan baku etanol pada

temperatur awal 50oC, 70oC, dan 90oC. Selanjutnya mencatat waktu retensi dan

pemisahan yang dihasilkan pada kromatogram.

G. Analisis Hasil

Kondisi optimal diperoleh dengan cara membandingkan kromatogram

yang dihasilkan pada masing-masing kondisi pengaturan instrumen yang telah

ditetapkan.

1. Waktu retensi (tR)

Waktu retensi (tR) adalah waktu mulai injeksi cuplikan hingga suatu

komponen campuran keluar kolom. Waktu retensi diukur melalui kromatogram

dari menit ke-0 hingga muncul puncak peak (Hendayana, 2010).

2. Resolusi

Resolusi didefinisikan sebagai perbedaan antara waktu retensi 2 puncak

yang saling berdekatan (t R = tR2-tR1) dibagi dengan rata-rata lebar puncak

(W1+W2/2). Nilai resolusi > 1,5 untuk memberikan pemisahan puncak yang baik

(Gandjar dan Rohman, 2007).

3. Faktor asimetri

Faktor asimetri (tailing factor) digunakan untuk melihat ada tidaknya

puncak yang mengalami pengekoran (tailing) atau tidak simetris.


32

lebar bagian pertama puncak diukur dari garis simetri 10% tinggi puncak
TF =
lebar bagian kedua puncak diukur dari garis simetri 10% tinggi puncak

(Gandjar dan Rohman, 2007).

4. Efisiensi kolom

Ukuran efisiensi kolom dapat ditunjukkan dengan nilai HETP (Height

Equivalent to a Theoretical Plate, H). HETP diperoleh dari pembagian panjang

kolom (L) dengan jumlah lempeng (N), H= L / N. Jumlah lempeng (N) dihitung

2
waktu retensi
dengan: N = 16 (Gandjar dan Rohman, 2007).
lebar dasar puncak
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Hasil Pemilihan Sampel

Penelitian ini menggunakan sampel alkohol hasil produksi rumahan yang

berasal dari dusun Sentul desa Bekonang, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.

Terdapat sekitar 70 rumah produksi yang memproduksi ciu Bekonang, sehingga

untuk menghasilkan data dengan kadar sampel yang representatif, maka sampel

yang diambil minimal 15% dari populasi rumah produksi yang ada.

Pemilihan sampel dilakukan secara acak dengan cara mengambil undi,

sehingga terpilihlah 15 rumah produksi yang dijadikan sampel penelitian. Hasil

pemilihan sampel adalah ciu Bekonang yang diambil sebanyak 600,0 mL dari

masing-masing rumah produksi.

B. Hasil Preparasi Sampel

Preparasi sampel dilakukan dengan menggojog sampel hingga homogen

kemudian disaring dengan kertas Whatman no.1 dan disimpan dalam botol

tertutup untuk menghindari penguapan alkohol bila sampel disimpan lebih dari

satu hari. Tujuan dari homogenisasi ini untuk mendapatkan sampel yang

diasumsikan telah seragam dalam hal kadar komponen-komponen senyawanya.

Hasil preparasi sampel ini adalah sampel yang memiliki homogenitas yang tinggi,

dalam arti memiliki kadar komponen-komponen senyawa yang seragam. Tidak

seperti validasi dan penetapan kadar, pada optimasi sampel hanya digunakan

33
34

untuk melihat pemisahan yang terjadi pada sampel dalam kondisi optimasi dan

tidak dihitung nilai AUCnya.

C. Hasil Pemilihan Kolom

Pemilihan kolom merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian

yang menggunakan metode kromatografi. Hal ini disebabkan karena kolom

merupakan tempat terjadinya pemisahan komponen-komponen sampel dan di

dalamnya terdapat fase diam sebagai pemeran penting dalam pemisahan

komponen-komponen sampel tersebut. Sampel yang digunakan diketahui

mengandung etanol yang merupakan senyawa organik cair yang bersifat mudah

menguap, polar, dan memiliki titik didih 78oC.

Berdasarkan sifat etanol tersebut, maka peneliti memilih kolom Cp-Wax

yang mengandung fase diam polietilen glikol yang memiliki sifat polar. Menurut

Sastrohamidjojo (2005), fase-fase cair (fase diam) polar, seperti polietilen glikol,

mempunyai sifat baik penerima maupun pemberi ikatan hidrogen sehingga fase

cair tersebut dapat memisahkan campuran senyawa-senyawa polar dan non polar

dalam suatu cuplikan / analit yaitu dengan menahan komponen-komponen polar.

Kolom Cp-Wax yang digunakan merupakan jenis kolom kapiler yang memiliki

kemampuan pemisahan yang lebih baik dibandingkan dengan jenis kolom kemas.

Selain memiliki keunggulan dalam menghasilkan pemisahan komponen

senyawa yang baik, kolom Cp-Wax ini memiliki keterbatasan dalam suhu. Suhu

yang harus dipakai saat menggunakan kolom Cp-Wax maksimal 250oC. Artinya
35

senyawa yang titik leburnya sangat tinggi atau belum melebur di atas suhu 250 oC

tidak bisa dianalisis menggunakan kolom Cp-Wax.

D. Orientasi Metode Kromatografi Gas

Sebelum dilakukan optimasi, peneliti melakukan orientasi untuk

menentukan pengaturan awal kromatografi gas yang tepat. Pada awalnya peneliti

hanya mencoba-coba berbagai suhu kolom, suhu injektor, dan suhu detektor untuk

melihat seberapa bagus pemisahan yang terjadi.

1. Pemilihan Sistem Pengaturan Suhu

Awalnya peneliti menggunakan operasi suhu isothermal di mana dalam

satu running alat hanya menggunakan satu suhu. Pengaturan suhu isothermal ini

sangat bagus untuk senyawa dengan titik didih rendah, tetapi sangat lama jika

mendeteksi senyawa dengan titik didih tinggi. Selain itu suhu isothermal ini tidak

dapat memisahkan dengan jelas komponen-komponen senyawa dengan titik didih

yang berdekatan.

A
Ket:
A= etanol

Gambar 7. Kromatogram Baku Etanol dengan Suhu Isothermal


36

Gambar 7 adalah gambar salah satu kromatogram hasil orientasi

menggunakan sistem suhu isothermal. Senyawa yang digunakan adalah baku

etanol kadar sedang, dengan pengaturan suhu kolom 120oC, suhu detektor dan

injektor sama 250oC. Pengaturan itu adalah pengaturan terbaik pada saat itu, yang

menghasilkan kromatogram yang cukup ramping dan runcing. Masalah yang

terjadi adalah dengan suhu yang cukup tinggi tetapi menghasilkan waktu retensi

etanol yang masih cukup lama, selain itu kromatogram ini juga memiliki nilai

faktor asimetri sama dengan 2, yang menunjukkan kromatogram tidak simetris.

Hal yang berbeda ditunjukkan pada kromatogram dengan metode

kromatografi gas suhu terprogram berikut ini:

A B
Ket:
A= etanol
B= n-butanol

Gambar 8. Kromatogram Baku Etanol dengan Suhu Terprogram

Gambar di atas adalah salah satu kromatogram baku etanol (A) dengan

standar internal n-butanol (B) yang dideteksi dengan kromatografi gas suhu

terprogram. Jika dibandingkan dengan kromatogram suhu isothermal sebelumnya,

kromatogram ini lebih runcing, simetris, dan ramping. Pengaturan suhu

terprogram yang dipakai yaitu suhu kolom awal 70oC, initial time 2 menit, suhu
37

detektor 250oC dan suhu injektor 200oC. Berbeda dengan kromatogram

sebelumnya (Gambar 7), waktu retensi etanol yang dicapai lebih cepat +100 detik

walaupun suhu yang digunakan lebih rendah dari pengaturan dengan suhu

isothermal.

Fakta ini juga ditegaskan dengan pemisahan etanol dengan n-butanol

yang sangat baik. Maka dapat dikatakan bahwa dengan pengaturan suhu

terprogramkan hasil kromatogram yang diperoleh lebih baik dan pemisahan

dengan komponen senyawa lain juga lebih baik. Kelemahan pengaturan suhu

terprogramkan yaitu sistem pengaturan ini cukup kompleks sehingga perlu banyak

komponen yang butuh dioptimasi.

2. Pengaturan Alat dengan Sistem Suhu Terprogram

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa kekurangan sistem

suhu terprogramkan adalah pengaturannya lebih banyak daripada sistem suhu

isothermal. Pada pengaturan suhu terprogramkan terdapat pengaturan tambahan

yang tidak digunakan pada sistem suhu isothermal antara lain initial time dan

initial temperature, final time dan final temperature, serta rate. Pengaturan

tambahan inilah yang menjadikan sistem suhu terprogram dapat menghasilkan

pemisahan komponen-komponen senyawa yang lebih baik.

Initial time merupakan pengaturan yang mengatur waktu kapan kita

menginginkan fase gerak membawa sampel menuju kolom untuk dilakukan

pemisahan komponen-komponen senyawanya. Fungsi dari menahan sampel ini

adalah memberikan waktu pada kolom untuk mencapai suhu yang dikehendaki

agar dapat berinteraksi dengan komponen senyawa secara optimal. Selanjutnya


38

ada initial temperature yang merupakan suhu awal kolom yang ingin dicapai

sebelum berinteraksi dengan komponen senyawa. Initial temperature ini harus

dicapai kolom selama initial time.

Kemudian initial temperature akan meningkat sesuai rate yang

diinginkan. Rate merupakan tetapan peningkatan suhu kolom beberapa derajat

setiap menitnya sampai mencapai final temperature. Peningkatan initial

temperature dimulai setelah alat melewati initial time. Tujuan meningkatkan suhu

kolom secara bertahap adalah terjadinya pemisahan komponen-komponen

senyawa yang memiliki kadar kecil dengan jelas. Selain itu juga menyebabkan

peak senyawa berkadar tinggi menjadi lebih runcing dan simetris.

Selain pengaturan yang telah disebutkan di atas, ada pengaturan lain yang

pada umumnya harus dilakukan pada alat kromatografi gas antara lain column

head pressure, split vent, purge vent, tekanan udara, tekanan hidrogen, dan

tekanan nitrogen.
39

Tabel VI. Pengaturan Awal Alat Kromatografi Gas

Jenis pengaturan Hasil


Gas Nitrogen, Hidrogen, Udara
Kolom Cp-Wax 52 CB, 25 m x 0.32 mm
Fase Diam Polietilen glikol
Jenis Detektor FID (Flame Ionization Detector)
Column head pressure 10 psi
Tekanan Udara 4 bar
Tekanan Hidrogen 2,2 bar
Tekanan Nitrogen 1,5 bar
Split Vent 99,2 mL/min.
Purge Vent 3,22 mL/min.
Initial temperature 70oC
Initial time 2 min.
Rate 30oC/min.
Final temperature 220oC
Final time 2 min.
Suhu detektor 250oC
Suhu injektor 200oC
Range 3

E. Penggunaan Flame Ionization Detector (FID)

FID atau yang biasa diartikan detektor ionisasi nyala merupakan salah

satu dari sekian banyak detektor yang digunakan dalam kromatografi gas. FID

merupakan detektor yang sudah cukup lama digunakan dalam kromatografi gas,

kemampuan detektor ini dalam mendeteksi senyawa yang memiliki karbon sangat

tinggi. Selain itu FID juga memiliki sensitivitas yang tinggi jika dibandingkan

dengan detektor lain.

Oleh sebab itu peneliti tidak melakukan optimasi untuk memilih detektor

yang paling cocok, disamping karena keterbatasan alat yang dimiliki, kemampuan

FID sebagai detektor dalam penetapan kadar dan profil alkohol tidak perlu
40

diragukan lagi. FID mampu mendeteksi semua senyawa yang memiliki atom

karbon terutama golongan alkohol. Menurut Gandjar dan Rohman (2007), untuk

memperoleh tanggapan FID yang optimal sebaiknya kecepatan aliran H2 + 30

mL/menit dan O2 sepuluh kalinya. Kedua adalah suhu FID harus diatas 100oC.

Hal ini bertujuan untuk mencegah kondensasi uap air yang mengakibatkan FID

berkarat atau kehilangan (menurun) sensitivitasnya.

Dalam penelitian ini peneliti tidak menggunakan O2 tetapi menggunakan

udara sebagai bahan bakar dengan alasan keamanan laboratorium (sifat oksigen

lebih reaktif ditakutkan dapat meledak). Udara juga mengandung oksigen (O2)

tetapi dalam jumlah yang relatif aman sehingga mengurangi resiko terjadi

ledakan. Selain itu dalam penelitian ini juga diperoleh kecepatan aliran H 2 = 35

mL/menit, dan suhu detektor yang digunakan di atas 100oC yaitu 250oC. Berikut

data kecepatan aliran gas yang diperoleh:

Kecepatan Aliran Gas Total : 452 mL/min

Kecepatan Aliran Gas Udara : 417 mL/min

Kecepatan Aliran Gas Hidrogen : 35 mL/min

Kecepatan Aliran Gas Pembawa Nitrogen : 0.8 mL/min Nitrogen make up: 27.7

mL/min

Menurut Hendayana (2010), solut yang keluar dari kolom dicampur H2

dan udara kemudian dibakar pada nyala di bagian dalam detektor. Atom karbon

senyawa organik dapat menghasilkan radikal CH yang selanjutnya menghasilkan

ion CHO+ dalam nyala hidrogen udara.

CHO + O CHO+ + e-
41

CHO+ yang dihasilkan dalam nyala bergerak ke katoda yang berada di atas nyala.

Arus yang mengalir di antara anoda dan katoda diukur dan diterjemahkan sebagai

sinyal pada rekorder. Kepekaan detektor ionisasi nyala akan lebih meningkat

kalau N2 digunakan sebagai gas pembawa.

Oleh sebab itu digunakannya gas hidrogen dan udara pada penelitian ini

meningkatkan jumlah atom karbon yang dengan mudah dapat dideteksi oleh FID.

Gas nitrogen yang digunakan sebagai gas pembawa juga berperan penting dalam

meningkatkan kepekaan/sensitivitas dari FID. Maka dari itu, kondisi ini sudah

berpotensi untuk menghasilkan hasil yang optimal dalam penetapan kadar dan

profil senyawa alkohol hasil produksi ciu rumahan di daerah kabupaten

Sukoharjo.

F. Optimasi Metode Kromatografi Gas

Setelah melakukan orientasi, pemilihan kolom dan detektor yang

digunakan, maka kita sudah siap untuk melakukan optimasi metode kromatografi

gas untuk menetapkan kadar dan profil senyawa alkohol dalam ciu. Untuk

melakukan optimasi itu sendiri perlu melalui beberapa tahap berikut ini:

1. Hasil pembuatan larutan seri baku etanol kadar sedang

Larutan seri baku etanol ini akan digunakan untuk pembuatan kurva baku

dalam bagian validasi metode dan penetapan kadar. Sedangkan larutan seri baku

yang digunakan dalam optimasi adalah larutan seri baku kadar sedang 6% v/v. Hal

ini dikarenakan larutan seri baku kadar sedang sudah dapat merepresentasikan

hasil pada larutan seri baku kadar lainnya. Pada penelitian ini digunakan standar
42

internal n- butanol yang memiliki fungsi mengkoreksi nilai AUC yang dihasilkan

karena instrumen kromatografi gas ini tidak dapat menghasilkan nilai AUC yang

konstan.

Total optimasi instrumen kromatografi gas yang akan dilakukan

sebanyak 18 kali, meliputi 6 kali optimasi suhu kolom, 6 kali optimasi initial time,

dan 6 kali optimasi tekanan kolom (column head pressure). Sehingga total larutan

seri baku etanol kadar sedang yang dibuat sebanyak 18 larutan.

Berikut ini adalah contoh kromatogram larutan seri baku etanol kadar

sedang yang diukur dengan pengaturan awal instrumen kromatografi gas:

B
A
Ket:
A= etanol
B= n-butanol

Gambar 9. Kromatogram Baku Etanol Kadar Sedang

Etanol memiliki titik didih yang lebih rendah dari n-butanol sehingga

terelusi terlebih dahulu oleh fase gerak. Waktu retensi etanol adalah 253 detik dan

n-butanol 324 detik.

2. Pembuatan larutan sampel dengan standar internal n-butanol

Selain menggunakan larutan seri baku etanol kadar sedang, penelitian ini

juga ingin melihat pemisahan yang terjadi pada larutan sampel yang ditambah
43

dengan standar internal n-butanol. Kromatogram dari larutan sampel ini kemudian

dibandingkan dengan larutan seri baku etanol untuk melihat apakah di dalam

sampel dengan n-butanol terdapat senyawa etanol dengan cara membandingkan

waktu retensi etanol dengan waktu retensi peak kromatogram yang terbentuk pada

larutan sampel.

Contoh kromatogramnya:

B
A

Ket:
A= etanol
B= n-butanol

Gambar 10. Kromatogram Larutan Sampel

Waktu retensi kedua peak tersebut berurutan yaitu 252 detik dan 323

detik. Maka jika dibandingkan dengan waktu retensi kromatogram pada Gambar 9

dapat dipastikan pada masing-masing larutan memiliki senyawa yang sama. Peak

no. 2 adalah standar internal n-butanol dan peak no. 1 adalah senyawa etanol.

Oleh sebab itu dapat dipastikan bahwa di dalam sampel hasil produksi ciu

mengandung etanol sehingga dapat ditetapkan kadarnya.

3. Pembuatan larutan etanol murni, sampel murni, dan n-butanol murni

Larutan etanol murni adalah larutan etanol p.a. yang tanpa penambahan

standar internal maupun pengenceran. Hal ini sama halnya dengan larutan n-
44

butanol murni yang merupakan larutan n-butanol p.a. tanpa ditambahkan

pengenceran. Larutan sampel murni juga merupakan larutan sampel yang tidak

dilakukan pengenceran maupun ditambahkan standar internal. Ketiga larutan ini

dibuat dan diinjeksikan pada kromatografi gas untuk melihat waktu retensi

masing-masing larutan bila tanpa pengenceran atau penambahan apapun.

Kemudian dibandingkan dengan waktu retensi senyawa pada gambar 9 dan 10.

Berikut adalah gambar kromatogram ketiga larutan tersebut:

Gambar 11. Kromatogram Larutan Baku Etanol p.a

Gambar 12. Kromatogram Larutan n-Butanol p.a


45

Gambar 13. Kromatogram Sampel

Waktu retensi senyawa etanol pada gambar 11 adalah 252 detik, waktu

retensi senyawa butanol pada gambar 12 adalah 323 detik, dan waktu retensi

senyawa etanol pada sampel gambar 13 adalah 252 detik. Waktu retensi pada

kromatogram ketiga larutan tersebut memiliki kesamaan dengan waktu retensi

peak kromatogram gambar sebelumnya. Perlu diketahui semua kromatogram dari

kelima gambar ini merupakan hasil pengukuran dari pengaturan awal instrumen

kromatografi gas.

Untuk sementara dapat disimpulkan bahwa waktu retensi senyawa etanol

pada instrumen kromatografi dengan pengaturan awal sebesar 252 detik.

Sedangkan senyawa butanol sebagai standar internal memiliki waktu retensi

sebesar 323 detik.

Pengukuran sampel ini juga memiliki tujuan lain yaitu mengecek adanya

senyawa lain selain etanol yang terkandung di dalam sampel. Dengan mengubah

nilai range (lihat tabel VI) menjadi 0 maka dapat kita lihat peak senyawa-senyawa

dengan kadar yang sangat kecil. Berikut ini adalah kromatogramnya:


46

Gambar 14. Kromatogram Sampel Range 0

Peak kecil yang ditandai nomer 1 adalah peak senyawa lain selain etanol

di dalam sampel yang dapat terdeteksi oleh instrumen kromatografi gas. Senyawa

tersebut memiliki waktu retensi 247 detik. Senyawa tersebut memiliki kadar yang

sangat kecil di dalam sampel dan tidak terlihat dalam kromatogram dengan range

3. Oleh sebab itu, untuk memastikan profil atau nama senyawa tersebut dapat

digunakan metode kromatografi gas dengan spektrofotometri massa. Hal ini

dilakukan pada bagian penetapan kadar dan profil senyawa lain.

4. Hasil optimasi suhu kolom

Kegiatan optimasi metode diawali dengan menentukan suhu kolom atau

yang dalam sistem pengaturan suhu terprogram disebut dengan initial

temperature. Pemilihan besarnya suhu kolom yang akan dioptimasi dimulai dari

pengaturan awal suhu kolom yaitu 70oC, kemudian ditambahkan 20oC dan

dikurangi 20oC sehingga diperoleh 3 suhu yang akan dicoba dalam optimasi ini

yakni suhu 50oC, 70oC, dan 90oC. Pengaturan instrumen yang lain seperti tekanan,

initial time, rate dan lain-lain mengikuti nilai yang tertera pada pengaturan awal.
47

Dalam penelitian ini, untuk menetapkan pengaturan instrumen mana

yang memberikan hasil yang paling optimal pada penetapan kadar dan profil

senyawa dalam sampel, maka pengaturan tersebut harus memenuhi 4 parameter

optimasi. Keempat parameter optimasi tersebut yaitu waktu retensi, nilai resolusi

(RS), nilai efisiensi kolom (HETP), dan nilai faktor asimetri (AS). Oleh sebab itu,

berikut ini adalah kromatogram dari hasil pengukuran masing-masing suhu

kolom:

Ket:
A= etanol
B= n-butanol

Gambar 15. Kromatogram Optimasi Suhu 50oC

Pada suhu kolom 50oC terdeteksi peak etanol dan peak n-butanol masing-

masing memiliki waktu retensi 272 detik dan 381 detik. Dari hasil pengolahan

data diperoleh nilai resolusi peak 19,82, peak etanol memiliki jumlah lempeng

teoretis sebesar 7.389.400, nilai HETP 0,00338, dan nilai faktor asimetri 1,25,

peak n-butanol memiliki memiliki jumlah lempeng teoretis sebesar 6.451.600,

nilai HETP 0,0038, dan nilai faktor asimetri 1,8. Nilai resolusi menunjukkan

bahwa peak kedua senyawa terpisah secara sempurna dan memenuhi syarat lebih

dari nilai 1,5. Sementara dari nilai faktor asimetri menunjukkan peak A dan peak
48

B mengalami tailing atau tidak simetri, rentang nilai yang memenuhi syarat yaitu

0,95-1,1. Nilai efisiensi kolom ditunjukkan dengan nilai HETP, yaitu

perbandingan antara panjang kolom (dalam milimeter) dengan jumlah lempeng

teoretis. Semakin kecil nilai HETP maka semakin bagus efisiensi kolom. Oleh

karena panjang kolom yang digunakan sama, maka yang menentukan nilai HETP

adalah jumlah lempeng teoretis. Semakin banyak jumlah lempeng teoretis maka

semakin kecil nilai HETP dan efisiensi kerja kolom semakin bagus.

Ket:
A= etanol
B= n-butanol

Gambar 16. Kromatogram Optimasi Suhu 70oC

Kromatogram optimasi suhu 70oC memiliki nilai resolusi peak sebesar

15,78, peak etanol (A) memiliki waktu retensi 253 detik, jumlah lempeng teoretis

sebesar 25.603.600, nilai efisiensi kolom sebesar 0,0009, dan nilai faktor asimetri

1, sedangkan peak n-butanol (B) memiliki waktu retensi 324 detik, jumlah

lempeng teoretis sebesar 10.497.600, nilai efisiensi kolom sebesar 0,00238, dan

nilai faktor asimetri 1. Dari data tersebut menunjukkan tidak ada peak yang

mengalami tailing karena nilai faktor asimetrinya memenuhi syarat.


49

Jika dibandingkan kedua hasil optimasi ini, keduanya memberikan

pemisahan peak yang sangat bagus dibuktikan dengan nilai resolusi yang baik.

Tetapi digunakan suhu 70oC karena waktu retensi yang dihasilkan lebih cepat

dibandingkan dengan menggunakan suhu 50oC. Waktu retensi yang cepat sangat

penting untuk menghemat waktu pengerjaan dalam penetapan kadar, apalagi bila

menggunakan jumlah replikasi sampel yang cukup banyak.

Secara teori semakin tinggi suhu kolom yang digunakan maka semakin

cepat senyawa terelusi. Tetapi ini belum menjamin apakah jika suhu kolom

ditingkatkan maka pemisahannya juga lebih baik. Oleh karena itu dilakukan

optimasi ketiga dengan suhu kolom 90oC, hasilnya ditunjukkan pada

kromatogram berikut ini:

Ket:
A= etanol
B= n-butanol

Gambar 17. Kromatogram Optimasi Suhu 90oC

Hasil pengolahan data kromatogram optimasi suhu kolom 90oC

menunjukkan nilai resolusi peak sebesar 5,71, peak etanol (A) memiliki waktu

retensi 252 detik, jumlah lempeng teoretis sebesar 11.289.600, nilai efisiensi

kolom sebesar 0,002214, dan nilai faktor asimetri 1, sedangkan peak n-butanol
50

(B) memiliki waktu retensi 292 detik, jumlah lempeng teoretis sebesar

11.136.522,4, nilai efisiensi kolom sebesar 0,002244, dan nilai faktor asimetri 1,5.

Dari data tersebut menunjukkan suhu kolom 90oC memberikan waktu

retensi senyawa tercepat diantara suhu optimasi yang lain. Tetapi nilai resolusi

peaknya paling kecil diantara suhu optimasi yang lain. Meskipun nilai resolusinya

masih memenuhi syarat kromatogram yang bagus, tetapi akan lebih baik

menggunakan suhu optimasi yang memberikan resolusi yang lebih besar.

Alasannya yaitu memungkinkan senyawa selain etanol terpisah dengan baik dan

dapat ditetapkan kadarnya. Maka dilihat dari data-data yang diperoleh, suhu

kolom 70oC adalah suhu yang paling bagus memberikan hasil pemisahan senyawa

sehingga akan digunakan dalam proses selanjutnya.

Tabel VII. Hasil Perhitungan Parameter Optimasi Suhu


Parameter
Suhu 50oC Suhu 70oC Suhu 90oC
Optimasi
Waktu Retensi 270 detik 252 detik 251 detik
Resolusi 19,82 15,78 5,71
Asymetri factor 1,8 1 1,5
HETP 0,003383 0,000976 0,002214
5. Hasil optimasi initial time

Setelah optimasi suhu kolom selesai, dilanjutkan dengan optimasi initial

time. Initial time adalah waktu atau jeda yang diperlukan senyawa analisis untuk

diubah ke bentuk gas sebelum berinteraksi dengan fase diam dan terbaca oleh

detektor. Ada 2 initial time yang akan digunakan dalam proses optimasi ini yaitu 2

menit dan 3 menit. Initial time ini diperoleh dari orientasi yang dilakukan

sebelumnya. Berikut ini adalah kromatogram hasil proses optimasi initial time:
51

A= etanol

B= n-butanol

Gambar 18. Kromatogram Optimasi Initial time 2 menit

Kromatogram optimasi initial time 2 menit memiliki nilai resolusi peak

sebesar 15,78, peak etanol (A) memiliki waktu retensi 253 detik, jumlah lempeng

teoretis sebesar 25.603.600, nilai efisiensi kolom sebesar 0,00097, dan nilai faktor

asimetri 1, sedangkan peak n-butanol (B) memiliki waktu retensi 324 detik,

jumlah lempeng teoretis sebesar 10.497.600, nilai efisiensi kolom sebesar

0,00238, dan nilai faktor asimetri 1.

Ket:
A= etanol
B= n-butanol

Gambar 19. Kromatogram Optimasi Initial time 3 menit


52

Kromatogram optimasi initial time 3 menit memiliki nilai resolusi peak

sebesar 18,89, peak etanol (A) memiliki waktu retensi 253 detik, jumlah lempeng

teoretis sebesar 6.400.900, nilai efisiensi kolom sebesar 0,00390, dan nilai faktor

asimetri 1, sedangkan peak n-butanol (B) memiliki waktu retensi 338 detik,

jumlah lempeng teoretis sebesar 7.311.616, nilai efisiensi kolom sebesar 0,00341,

dan nilai faktor asimetri 1,2.

Dari data kedua kromatogram tersebut dapat diperoleh bahwa initial time

2 menit memberikan proses lebih cepat dilihat dari waktu retensi senyawanya

yang lebih cepat dibandingkan initial time 3 menit. Demikian juga initial time 2

menit memilki nilai efisiensi kolom yang lebih kecil dari initial time 3 menit dan

juga peak yang dihasilkan tidak mengalami tailing. Maka untuk proses penetapan

kadar akan menggunakan initial time 2 menit.

Pada proses optimasi initial time, suhu kolom yang digunakan tidak

hanya suhu yang sudah merupakan hasil optimasi yaitu 70oC, tetapi pengukuran

juga dilakukan pada suhu 50oC dan 90oC juga. Hal ini dilakukan untuk melihat

adanya kemungkinan muncul hasil yang melenceng dari prediksi, misalnya ada

pemisahan peak yang lebih cepat dan bagus dari suhu optimasi.

Tabel VIII. Hasil Perhitungan Parameter Optimasi Initial Time

Parameter Suhu 50oC Suhu 70oC Suhu 90oC


Optimasi I.t. 2 mnt I.t. 3 mnt I.t.2 mnt I.t. 3 mnt I.t.2 mnt I.t. 3 mnt
Waktu retensi 270 detik 277 detik 252 detik 252 detik 251 detik 249 detik
Resolusi 19,82 22 15,78 18,89 5,71 15,67
Asymetri factor 1,8 2,2 1 1,2 1,5 1,33
HETP 0,003383 0,003211 0,000976 0,003905 0,002214 0,00225
53

6. Hasil optimasi tekanan kolom

Selain suhu kolom, faktor lain yang dapat mempengaruhi kecepatan

retensi senyawa di dalam kolom adalah tekanan kolom. Oleh karena itu penting

dilakukan optimasi tekanan kolom. Setelah dilakukan orientasi, diperoleh 3 nilai

tekanan yang akan digunakan dalam proses optimasi ini. Besarnya nilai tekanan

kolom tersebut yaitu 5 psi, 7.5 psi, dan 10 psi.

Optimasi tekanan dilakukan pada setiap suhu optimasi 50oC, 70 oC, dan

90 oC, serta pada initial time 2 dan 3 menit. Kromatogram berikut ini merupakan

hasil optimasi tekanan yang dilakukan pada suhu 70 oC dan initial time 2 menit.

Ket:
A= etanol
B= n-butanol

Gambar 20. Kromatogram Optimasi Tekanan 10 psi


54

Ket:
A= etanol
B= n-butanol

Gambar 21. Kromatogram Optimasi Tekanan 7,5 psi

Ket:
A= etanol
B= n-butanol

Gambar 22. Kromatogram Optimasi Tekanan 5 psi

Dari ketiga kromatogram tersebut, dapat dilihat semakain kecil tekanan

kolom yang diberikan, maka semakin lama waktu retensi senyawa yang

diperlukan dan peak yang dihasilkan semakin lebar, tumpul, dan cenderung

mengalami tailing. Maka tekanan kolom 10 psi dipilih karena memberikan hasil

peak dengan bentuk dan waktu retensi yang paling baik.


55

Tabel IX. Hasil Perhitungan Parameter Optimasi Tekanan

Parameter 5 psi 7,5 psi 10 psi


Optimasi
Waktu retensi 474 detik 337 detik 252 detik
Resolusi 14,33 13 15,78
Asymetri factor 1 0,273 1
HETP 0,008309 0,002175 0,000976

Setelah serangkaian proses optimasi dan pengolahan data kromatogram

dilakukan, maka diperoleh hasil optimasi sebagai berikut: suhu kolom awal 70oC;

Initial time: 2 menit; rate: 30oC/min; suhu kolom final: 220oC; waktu final: 2

menit; suhu injektor B: 200oC; suhu detektor A: 250oC; tekanan (Column Head

Pressure): 10 psi. Data perhitungan waktu retensi, resolusi, asymetri factor dan

HETP seluruh optimasi tertera pada tabel X.

Tabel X. Hasil Perhitungan Keseluruhan Parameter Optimasi

Waktu
Asymetri
Parameter optimasi retensi Resolusi HETP
factor
(detik)
i.t 2 menit 489 20,78 1 0,003150
5 psi
i.t 3 menit 489 13,86 1,75 0,001681
Suhu i.t 2 menit 351 19,5 2 0,003117
7,5 psi
50oC i.t 3 menit 356 26 1,2 0,001950
i.t 2 menit 270 19,82 1,25 0,003383
10 psi
i.t 3 menit 277 22 1,25 0,003211
i.t 2 menit 474 14,33 1 0,008309
5 psi
i.t 3 menit 452 16,71 0,71 0,004830
Suhu i.t 2 menit 337 13 0,273 0,002175
7,5 psi
70oC i.t 3 menit 331 15,67 0,67 0,001736
i.t 2 menit 252 15,78 1 0,000976
10 psi
i.t 3 menit 252 18,89 1 0,003905
i.t 2 menit 482 11,125 1,1 0,00800
5 psi
i.t 3 menit 453 7,78 0,588 0,01082
Suhu i.t 2 menit 336 11,25 1,2 0,003439
7,5 psi
90oC i.t 3 menit 328 12 0,67 0,012991
i.t 2 menit 251 5,71 1 0,002214
10 psi
i.t 3 menit 249 15,67 1 0,002250
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Hasil optimasi penetapan kadar ciu Bekonang dengan metode

Kromatografi Gas suhu terprogram yang didapatkan yaitu:

Gas : Nitrogen, Hidrogen, Udara

Kolom : Cp-Wax 52 CB, 25m x 0.32mm

Fase Diam : Polietilen glikol

Jenis Detektor : FID (Flame Ionization Detector)

Tekanan : 10 psi

Tekanan Udara : 4 bar

Tekanan Hidrogen : 2,2 bar

Tekanan Nitrogen : 1,5 bar

Split Vent : 99,2 mL/min

Purge Vent : 3,22 mL/min

Temperatur Awal : 70oC

Initial time : 2 menit

Rate : 30oC /min

Temperatur Final : 220oC

Waktu Final : 2 menit

Injektor B : 200oC

Detektor A : 250oC

Range :3

56
57

B. Saran

Perlu dilakukan validasi metode dan penetapan kadar etanol hasil

produksi rumahan dusun Sentul Desa Bekonang dengan menggunakan metode

pada penelitian ini.


58

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2014, http://www.questpedia.org/id/Bakteri_asam_laktat, diakses


tanggal 20 November 2014.
Christian, G.D., 2004, Analytical Chemistry, Sixth Edition, Jhon Wiley & Sons,
Inc., United States of America, pp. 65, 66, 555 565, 568 - 569, 574, 587
588.
Dean, J. A., 1995, Analytical Chemistry Handbook, Mc Graw-Hill, Inc., United
States of America, pp. 5.20-5.21, 5.25, 5.29-5.30, 5.32, 5.46, 5.51.
Fessenden, R. J. and Fessenden, J. S., 1986. Kimia Organik, Edisi Ketiga,
diterjemahkan oleh Aloysius Hadyana Pudjaatmaka, Penerbit Erlangga,
Jakarta, 267.
Gandjar, G.I., dan Rohman A., 2007, Kimia Farmasi Analisis, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, pp. 337-339, 419 437.
Hendayana, S., 2010, Kimia Pemisahan: Metode Kromatografi dan Elektroforesis
Modern, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 10 16, 34, 37 38, 47 - 48.
Hidayat, 2007, Fermentasi, http://ptp2007.wordpress.com
/2007/10/08/fermentasi/, diakses tanggal 18 Desember 2012.
Hidayat, 2008, Fermentasi dan Mikroorganisme yang Terlibat,
http://ptp2007.wordpress.com/2008/06/19/fermentasi-dan-
mikroorganisme-yang-terlibat/, diakses tanggal 18 Desember 2012.
Juwita, R., 2012, Studi Produksi Alkohol Dari Tetes Tebu (Saccharum
officinarum L.) Selama Proses Fermentasi, Skripsi, Universitas Hasanudin,
Makasar, 3.
Khopkar, 1990, Konsep Dasar Kimia Analitik, UI Press, Jakarta, pp. 166, 389.
Mardoni, 2006, Perbandingan Metode Kromatografi Gas dan Berat Jenis Pada
Penetapan Kadar Etanol dalam Minuman Anggur, Skripsi, Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta, 29-37.
MSP KOFEL, 2005, Gas Chromatography Troubleshooting and Reference Guide,
Version 1.0, MSP KOFEL Industriestrasse, Zollikofen, pp. 16 17.
Myers, Richard L. and Myers, Rusty L., 2007, The 100 most important chemical
compounds: a reference guide, Westport, Conn. Greenwood Press, 122.
Pharmaceutical Press, 2009, Martindale; The Complete Drug Reference, 36th
edition, Pharmaceutical Press, London, UK, pp. 1625.
Rohman, A., 2009, Kromatografi untuk Analisis Obat, Edisi Pertama, Graha Ilmu,
Yogyakarta, pp 183, 188, 217 240.
Scott, R.P.W., 2003, Book 4 Chrom-Ed Book Series: Gas Chromatography
Detectors, Libraryforscience, LLC., pp. 33 35.
59

Sebayang, F., 2006, Pembuatan Etanol dari Molase Secara Fermentasi


Menggunakan Sel Saccharomyces cerevisiae yang Termobilisasi pada
Kalsium Alginat, Jurnal Teknologi Proses, Universitas Sumatera Utara,
Sumatera Utara, 7.
Simanjuntak, R., 2009, Studi Pembuatan Etanol Dari Limbah Gula (Molase),
Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Sumatra Utara, 4.
Skoog, D. A., West, D. M., and Holler, F. J., 1994, Analytical Chemistry An
Introduction. Sixth Edition, Saunders College Publishing, USA, 503, 507.
Watson, D. G., 1999, Pharmaceutical Analysis A Textbook for Pharmacy Students
and Pharmaceutical Chemists, Churchill Livingstone, London, United
Kingdom, pp. 211 212.
Widodo, A, 2004, Tinjauan Sosiologi Kesehatan Mengenai Kebiasaan Minu-
Minuman Keras (Ciu Bekonang) Di Daerah Sukoharjo dan Upaya
Menanggulanginya, Infokes, Volume 8 No 1, Surakarta, pp. 1 2.
Widyanti, E.M., 2010, Produksi Asam Sitrat Dari Substrat Molase Pada Pengaruh
Penambahan VCO (Virgin Coconut Oil) Terhadap Produktivitas
Aspergillus niger Itbcc L74 Terimobilisasi, Tesis, Universitas Diponegoro,
Semarang, 2.
60

LAMPIRAN
61

Lampiran 1. Sertifikat analisis etanol


62

Lampiran 1. Sertifikat analisis etanol


63

Lampiran 2. Sertifikat analisis N-butanol


64

Lampiran 2. Sertifikat analisis N-butanol


65

Lampiran 3. Kromatogram hasil optimasi suhu

a. Suhu 70

Peak Start TR Max TR End TR


A 252 253 256
B 321 324 326

b. Suhu 90oC

Peak Start TR Max TR End TR


A 251 252 254
66

B 290 292 294

c. Suhu 50oC

Peak Start TR Max TR End TR


A 270 272 274
B 376 381 383

Keterangan: A= peak etanol


B= peak n-butanol
67

Lampiran 4. Kromatogram hasil optimasi initial time

1. Initial time 2 menit


a. Suhu 70oC

Peak Start TR Max TR End TR


A 252 253 256
B 321 324 326

b. Suhu 90oC

Peak Start TR Max TR End TR


A 251 252 254
68

B 290 292 294


c. Suhu 50oC

Peak Start TR Max TR End TR


A 270 272 274
B 376 381 383

2. Initial time 3 menit


a. Suhu 70oC

Peak Start TR Max TR End TR


A 252 253 256
B 335 338 340
69

b. Suhu 90oC

Peak Start TR Max TR End TR


A 249 250 251
B 295 297 299

c. Suhu 50oC

Peak Start TR Max TR End TR


A 277 279 282
B 406 411 413

Keterangan: A= peak etanol


B= peak n-butanol
70

Lampiran 5. Kromatogram hasil optimasi tekanan

1. Tekanan 10 psi
a. Suhu 70oC (Initial time: 2 menit)

Peak Start TR Max TR End TR


A 252 253 256
B 321 324 326

b. Suhu 90oC (Initial time: 2 menit)

Peak Start TR Max TR End TR


A 251 252 254
71

B 290 292 294


c. Suhu 50oC (Initial time: 2 menit)

Peak Start TR Max TR End TR


A 270 272 274
B 376 381 383

d. Suhu 70oC (Initial time: 3 menit)

Peak Start TR Max TR End TR


A 252 253 256
B 335 338 340
72

e. Suhu 90oC (Initial time: 3 menit)

Peak Start TR Max TR End TR


A 249 250 251
B 295 297 299

f. Suhu 50oC (Initial time: 3 menit)

Peak Start TR Max TR End TR


A 277 279 282
B 406 411 413
73

2. Tekanan 7,5 psi


a. Suhu 70oC (Initial time: 2 menit)

Peak Start TR Max TR End TR


A 337 339 344
B 414 417 419

b. Suhu 90oC (Initial time: 2 menit)

Peak Start TR Max TR End TR


A 336 337 340
B 380 382 384

c. Suhu 50oC (Initial time: 2 menit)


74

Peak Start TR Max TR End TR


A 351 354 356
B 467 471 476

d. Suhu 70oC (Initial time: 3 menit)

Peak Start TR Max TR End TR


A 331 332 337
B 423 426 429

e. Suhu 90oC (Initial time: 3 menit)


75

Peak Start TR Max TR End TR


A 328 329 332
B 381 383 386

f. Suhu 50oC (Initial time: 3 menit)

Peak Start TR Max TR End TR


A 356 358 361
B 497 501 503

3. Tekanan 5 psi
76

a. Suhu 70oC (Initial time: 2 menit)

Peak Start TR Max TR End TR


A 474 477 481
B 600 606 611

b. Suhu 90oC (Initial time: 2 menit)

Peak Start TR Max TR End TR


A 482 486 489
B 571 575 580

c. Suhu 50oC (Initial time: 2 menit)


77

Peak Start TR Max TR End TR


A 489 493 497
B 674 680 684

d. Suhu 70oC (Initial time: 3 menit)

Peak Start TR Max TR End TR


A 452 455 458
B 567 572 575

e. Suhu 90oC (Initial time: 3 menit)


78

Peak Start TR Max TR End TR


A 453 456 462
B 522 526 531

f. Suhu 50oC (Initial time: 3 menit)

Peak Start TR Max TR End TR


A 489 493 497
B 674 680 684

Keterangan: A= peak etanol


B= peak n- butanol
79

Lampiran 6. Data perhitungan resolusi

Hasil Perhitungan Nilai Resolusi (RS)


Tekanan (psi)
Hasil Optimasi 5 7,5 10
i.t 2 min i.t 3 min i.t 2 min i.t 3 min i.t 2 min i.t 3 min
50 20,78 13,86 19,5 26 19,82 22
Suhu 70 14,33 16,71 13 15,67 15,78 18,89
(oC)
90 11,125 7,78 11,25 12 5,71 15,67

Rumus hitungan nilai resolusi (Rs):

Rs =

1. Optimasi suhu 500C ( initial time 2 menit; tekanan 10 psi)

Rs =

= 19,82

2. Optimasi suhu 70oC ( initial time 2 menit; tekanan 10 psi)

Rs =

= 15,78

3. Optimasi suhu 90oC ( initial time 2 menit; tekanan 10 psi)

Rs =

= 5,71

4. Optimasi initial time 3 menit ( suhu 50oC; tekanan 10 psi)

Rs =

= 22
80

5. Optimasi initial time 3 menit ( suhu 70oC; tekanan 10 psi)

Rs =

= 18,89

6. Optimasi initial time 3 menit ( suhu 90oC; tekanan 10 psi)

Rs =

= 15,67

7. Optimasi tekanan 7,5 psi ( initial time 2 menit; suhu 50oC)

Rs =

= 19,5

8. Optimasi tekanan 7,5 psi ( initial time 2 menit; suhu 70oC)

Rs =

= 13

9. Optimasi tekanan 7,5 psi ( initial time 2 menit; suhu 90oC)

Rs =

= 11,25

10. Optimasi tekanan 7,5 psi ( initial time 3 menit; suhu 50oC)

Rs =

= 26
81

11. Optimasi tekanan 7,5 psi ( initial time 3 menit; suhu 70oC)

Rs =

= 15,67

12. Optimasi tekanan 7,5 psi ( initial time 3 menit; suhu 90oC)

Rs =

= 12

13. Optimasi tekanan 5 psi ( initial time 2 menit; suhu 50oC)

Rs =

= 20,78

14. Optimasi tekanan 5 psi ( initial time 2 menit; suhu 70oC)

Rs =

= 14,33

15. Optimasi tekanan 5 psi ( initial time 2 menit; suhu 90oC)

Rs =

= 11,125

16. Optimasi tekanan 5 psi ( initial time 3 menit; suhu 50oC)

Rs =

= 13,86
82

17. Optimasi tekanan 5 psi ( initial time 3 menit; suhu 70oC)

Rs =

= 16,71

18. Optimasi tekanan 5 psi ( initial time 3 menit; suhu 90oC)

Rs =

= 7,78

Lampiran 7. Data perhitungan nilai faktor asimetri (AS)

Hasil Perhitungan Nilai Faktor Asimetri (AS) Kromatogram Etanol


Tekanan (psi)
Hasil
5 7,5 10
Optimasi
i.t 2 min i.t 3 min i.t 2 min i.t 3 min i.t 2 min i.t 3 min
50 1 1,75 2 1,2 1,25 1,25
Suhu
70 1 0,71 0,273 0,67 1 1
(oC)
90 1,1 0,588 1,2 0,67 1 1

Hasil Perhitungan Nilai Faktor Asimetri (AS) Kromatogram n-Butanol


Tekanan (psi)
Hasil
5 7,5 10
Optimasi
i.t 2 min i.t 3 min i.t 2 min i.t 3 min i.t 2 min i.t 3 min
50 1,25 1,44 1,3 1,67 1,8 2,2
Suhu
70 1,125 1,2 1,5 0,67 1 1,2
(oC)
90 1,167 0,83 1,5 0,67 1,5 1,33

Rumus hitungan nilai faktor asimetri (AS):

lebar bagian pertama puncak diukur dari garis simetri10% tinggi puncak
AS =
lebar bagian kedua puncak diukur dari garis simetri10% tinggi puncak
83

1. Optimasi suhu 500C ( initial time 2 menit; tekanan 10 psi)

AS(etanol) = AS(n-butanol) =

= 1,25 = 1,8

2. Optimasi suhu 70oC ( initial time 2 menit; tekanan 10 psi)

AS(etanol) = AS(n-butanol) =

=1 =1

3. Optimasi suhu 90oC ( initial time 2 menit; tekanan 10 psi)

AS(etanol) = AS(n-butanol) =

=1 = 1,5

4. Optimasi initial time 3 menit ( suhu 50oC; tekanan 10 psi)

AS(etanol) = AS(n-butanol) =

= 1,25 = 2,2

5. Optimasi initial time 3 menit ( suhu 70oC; tekanan 10 psi)

AS(etanol) = AS(n-butanol) =

=1 = 1,2

6. Optimasi initial time 3 menit ( suhu 90oC; tekanan 10 psi)

AS(etanol) = AS(n-butanol) =

=1 = 1,33

7. Optimasi tekanan 7,5 psi ( initial time 2 menit; suhu 50oC)

AS(etanol) = AS(n-butanol) =

=2 = 1,3
84

8. Optimasi tekanan 7,5 psi ( initial time 2 menit; suhu 70oC)

AS(etanol) = AS(n-butanol) =

= 0,273 = 1,5

9. Optimasi tekanan 7,5 psi ( initial time 2 menit; suhu 90oC)

AS(etanol) = AS(n-butanol) =

= 1,2 = 1,5

10. Optimasi tekanan 7,5 psi ( initial time 3 menit; suhu 50oC)

AS(etanol) = AS(n-butanol) =

= 1,2 = 1,67

11. Optimasi tekanan 7,5 psi ( initial time 3 menit; suhu 70oC)

AS(etanol) = AS(n-butanol) =

= 0,67 = 0,67

12. Optimasi tekanan 7,5 psi ( initial time 3 menit; suhu 90oC)

AS(etanol) = AS(n-butanol) =

= 0,67 = 0,67

13. Optimasi tekanan 5 psi ( initial time 2 menit; suhu 50oC)

AS(etanol) = AS(n-butanol) =

=1 = 1,25

14. Optimasi tekanan 5 psi ( initial time 2 menit; suhu 70oC)

AS(etanol) = AS(n-butanol) =

=1 = 1,125
85

15. Optimasi tekanan 5 psi ( initial time 2 menit; suhu 90oC)

AS(etanol) = AS(n-butanol) =

= 1,1 = 1,167

16. Optimasi tekanan 5 psi ( initial time 3 menit; suhu 50oC)

AS(etanol) = AS(n-butanol) =

= 1,75 = 1,44

17. Optimasi tekanan 5 psi ( initial time 3 menit; suhu 70oC)

AS(etanol) = AS(n-butanol) =

= 0,71 = 1,2

18. Optimasi tekanan 5 psi ( initial time 3 menit; suhu 90oC)

AS(etanol) = AS(n-butanol) =

= 0,588 = 0,83
86

Lampiran 8. Data perhitungan nilai efisiensi kolom (HETP)

Hasil Perhitungan Nilai Efisiensi Kolom (HETP) Kromatogram Etanol


Tekanan (psi)
Hasil
5 7,5 10
Optimasi
i.t 2 min i.t 3 min i.t 2 min i.t 3 min i.t 2 min i.t 3 min
50 0,003150 0,001681 0,003117 0,001950 0,003383 0,003211
Suhu
70 0,008309 0,004830 0,002175 0,001736 0,000976 0,003905
(oC)
90 0,00800 0,01082 0,003439 0,012991 0,002214 0,002250

Rumus hitungan nilai efisiensi kolom (HETP):

L
HETP= , ket: L= panjang kolom (mm)
N
2
waktu retensi
N= jumlah lempeng teoritis = 16
lebar dasar puncak

1. Optimasi suhu 500C ( initial time 2 menit; tekanan 10 psi)

25000
HETP(etanol)= 2
= 0.00338
272
16
0 .4

2. Optimasi suhu 70oC ( initial time 2 menit; tekanan 10 psi)

25000
HETP(etanol)= 2
= 0.000976
253
16
0 .2

3. Optimasi suhu 90oC ( initial time 2 menit; tekanan 10 psi)

25000
HETP(etanol)= 2
= 0.002214
251
16
0 .4
87

4. Optimasi initial time 3 menit ( suhu 50oC; tekanan 10 psi)

25000
HETP(etanol)= 2
= 0.003211
277
16
0 .4

5. Optimasi initial time 3 menit ( suhu 70oC; tekanan 10 psi)

25000
HETP(etanol)= 2
= 0.003905
252
16
0 .4

6. Optimasi initial time 3 menit ( suhu 90oC; tekanan 10 psi)

25000
HETP(etanol)= 2
= 0.00225
249
16
0 .4

7. Optimasi tekanan 7,5 psi ( initial time 2 menit; suhu 50oC)

25000
HETP(etanol)= 2
= 0.003117
351
16
0 .4

8. Optimasi tekanan 7,5 psi ( initial time 2 menit; suhu 70oC)

25000
HETP(etanol)= 2
= 0.002175
337
16
0 .4

9. Optimasi tekanan 7,5 psi ( initial time 2 menit; suhu 90oC)

25000
HETP(etanol)= 2
= 0.003439
336
16
0 .4
88

10. Optimasi tekanan 7,5 psi ( initial time 3 menit; suhu 50oC)

25000
HETP(etanol)= 2
= 0.00195
356
16
0 .4

11. Optimasi tekanan 7,5 psi ( initial time 3 menit; suhu 70oC)

25000
HETP(etanol)= 2
= 0.001736
331
16
0 .4

12. Optimasi tekanan 7,5 psi ( initial time 3 menit; suhu 90oC)

25000
HETP(etanol)= 2
= 0.012991
328
16
0 .4

13. Optimasi tekanan 5 psi ( initial time 2 menit; suhu 50oC)

25000
HETP(etanol)= 2
= 0.00315
489
16
0 .4

14. Optimasi tekanan 5 psi ( initial time 2 menit; suhu 70oC)

25000
HETP(etanol)= 2
= 0.008309
474
16
0 .4

15. Optimasi tekanan 5 psi ( initial time 2 menit; suhu 90oC)

25000
HETP(etanol)= 2
= 0.008
482
16
0 .4
89

16. Optimasi tekanan 5 psi ( initial time 3 menit; suhu 50oC)

25000
HETP(etanol)= 2
= 0.001681
489
16
0 .4

17. Optimasi tekanan 5 psi ( initial time 3 menit; suhu 70oC)

25000
HETP(etanol)= 2
= 0.00483
452
16
0 .4

18. Optimasi tekanan 5 psi ( initial time 3 menit; suhu 90oC)

25000
HETP(etanol)= 2
= 0.01082
453
16
0 .4
BIOGRAFI PENULIS

Penulis skripsi yang berjudul Optimasi Metode


Penetapan Kadar Etanol dan Profil Senyawa yang
Terdapat dalam Hasil Produksi Ciu Rumahan Desa
Sentul Kabupaten Sukoharjo dengan Metode
Kromatografi Gas, memiliki nama lengkap Alexius
Ario Panduwaskito. Anak dari pasangan bapak Andreas
Rapih Indarto dan ibu M.G. Banon Fitri Wahjuni yang
lahir di Jakarta, 5 April 1990. Pendidikan formal yang
ditempuh penulis meliputi: TK St. Carolus Boromeus
Bengkulu (1994-1996), SD St. Carolus Boromeus
Bengkulu (1996-2002), SMP St. Carolus Boromeus
Bengkulu (2002-2005), SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan (2005-2008) dan
melanjutkan kuliah di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
pada tahun 2008. Selama menempuh pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma, penulis menjadi anggota dalam UKF Sepakbola Squdra Viola,
mengikuti berbagai seminar terutama tentang HIV/AIDS, menjadi Seksi
Kesehatan/P3K pada kegiatan Pharmacy Performance and Event Cup tahun
2008 dan Titrasi tahun 2010, serta menjadi Seksi Perlengkapan dalam acara
Pharmacy Performace and Event Cup pada tahun 2010.

90

Anda mungkin juga menyukai