SKRIPSI
Oleh:
Alexius Ario Panduwaskito
NIM: 088114085
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2014
i
Ucapan rasa syukur dan terimakasih untuk Dia yang Maha Esa
iv
PRAKATA
Segala rasa puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha
Esa atas segala berkat dan kasih karunia-Nya sehingga penelitian dan penyusunan
skripsi yang berjudul Optimasi Metode Penetapan kadar etanol dan profil
senyawa yang terdapat dalam hasil produksi ciu rumahan Desa Sentul
dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar
Yogyakarta.
penulis mendapat banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena
1. Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi
2. Bapak Jeffry Julianus, M.Si. selaku dosen pembimbing yang dengan sabar
3. Bapak Enade Perdana Istyastono, Ph.D., Apt. selaku dosen penguji yang telah
4. Bapak Florentinus Dika Octa Riswanto, M.Sc. selaku dosen penguji yang
skripsi.
vii
5. Ibu Christofori Maria Ratna Rini Nastiti, M.Pharm., Apt., selaku Kaprodi
Farmasi dan dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan semangat yang
6. Ibu Rini Dwi Astuti, M.Sc, Apt. selaku Kepala Laboratorium Fakultas
farmasi.
Dharma: Mas Bimo, Mas Bimo anpus, yang telah banyak membantu selama
penelitian di laboratorium.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu
skripsi ini, sehingga penulis mengharapkan segala kritik dan saran yang
membangun. Semoga skripsi ini membantu dan bermanfaat bagi pembaca pada
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSEMBAHAN .. iv
DAFTAR ISI ix
INTISARI xvi
ABSTRACT . xvii
BAB I. PENDAHULUAN .. 1
1. Permasalahan .... 3
B. Tujuan Penelitian .. 4
ix
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA 5
C. Etanol ........................................................................................... 8
1. Gas Pembawa .. 10
3. Kolom .. 13
4. Fase Diam 15
5. Detektor ... 16
6. Pengaturan Suhu .. 19
G. Hipotesis ........................................................................................ 25
B. Variabel . 26
1. Variabel bebas . 26
x
2. Variabel tergantung . 26
C. Definisi Operasional . 27
D. Bahan Penelitian 27
E. Alat Penelitian 27
F. Prosedur Kerja .. 28
1. Pemilihan sampel . 28
2. Preparasi sampel .. 28
G. Analisis Hasil . 31
xi
D. Orientasi Metode Kromatografi Gas ............................................. 35
A. Kesimpulan 56
B. Saran .. 57
DAFTAR PUSTAKA .. 58
LAMPIRAN . 60
BIOGRAFI PENULIS . 90
xii
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xv
INTISARI
xvi
ABSTRACT
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alkohol produksi Bekonang dibuat dari bahan dasar tetes tebu yang
(Widodo, 2004). Tetes tebu yang digunakan merupakan sisa hasil produksi pabrik
kurang lebih selama 5-6 hari. Dari hasil fermentasi ini kemudian dilakukan proses
destilasi dengan pemanasan menggunakan kompor tungku dan alat destilasi yang
disebut dengan ciu Bekonang. Hasil produksi tersebut digunakan sebagai bahan
Etanol atau alkohol merupakan senyawa kimia yang berbentuk cair dan
bersifat volatil (mudah menguap). Etanol mudah terbakar dan titik didihnya 78oC
(Pharmaceutical Press, 2009). Karena bersifat volatil, senyawa ini sangat cocok
1
2
yang mudah menguap dalam suatu campuran (Gandjar dan Rohman, 2007).
Prinsip pemisahan dalam kromatografi gas yaitu dengan cara partisi dari
gerak, dan fase cair sebagai fase diam. Prinsip penetapan kadar dengan
kromatografi gas adalah sampel diinjeksikan pada instrumen dan oleh gas yang
Dari detektor dihasilkan sinyal pembacaan untuk dicatat oleh rekorder sehingga
area kromatogram.
Untuk dapat menetapkan kadar etanol dengan hasil yang dipercaya dan
profil senyawa lain yang terdapat di dalam hasil produksi ciu perlu dilakukan
serangkaian penelitian terdahulu yaitu optimasi dan validasi. Dalam hal ini,
peneliti mengambil bagian tahap optimasi metode kromatografi gas yang akan
digunakan pada penetapan kadar ciu Bekonang ini. Oleh karena sampel yang
didih dan polaritas yang hampir sama, maka peneliti menggunakan metode
ditingkatkan secara bertahap dari suhu awal kolom pada rentang waktu tertentu
sampai batas suhu maksimal kolom. Oleh karena itu, untuk menetapkan suhu awal
kolom dan rentang waktu peningkatan suhu pada sistem kromatografi gas ini
Parameter-parameter yang akan dioptimasi yaitu suhu kolom, tekanan kolom, dan
senyawa dalam sampel yang optimal maka peak senyawa yang dihasilkan harus
memiliki waktu retensi yang cepat, nilai resolusi lebih dari 1,5, nilai faktor
1. Permasalahan
2. Keaslian Penelitian
Jenis Pada Penetapan Kadar Etanol Dalam Minuman Anggur (Mardoni, 2006).
Namun sejauh yang diketahui penulis dan studi pustaka yang telah dilakukan
3. Manfaat penelitian
menetapkan kadar etanol dalam hasil produksi ciu di desa Sentul kabupaten
Sukoharjo.
informasi mengenai hasil optimasi metode dalam penetapan kadar etanol dan
profil senyawa yang terdapat dalam hasil produksi ciu rumahan desa Sentul
B. Tujuan Penelitian
kromatografi gas untuk dapat menetapkan kadar etanol dalam sampel ciu
Bekonang.
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
Tetes tebu (molase) adalah salah satu hasil samping pabrik gula tebu yang
alkohol salah satunya. Molase mengandung gula yang tidak mengkristal, sehingga
antara 5,5-6,5. Molase yang masih mengandung kadar gula sekitar 10-18% telah
2009).
5
6
Komponen Analisa %
Air Gravimetri 20
Senyawa Organik
Gula:
Sakrosa Somoghi-Nelson 32
Glukosa Somoghi-Nelson 14
Fruktosa Somoghi-Nelson 16
Senyawa Nitrogen Kjeldahl 10
Senyawa Anorganik
Sio2 Titrimetri 0.5
K2O Titrimetri 3.5
CaO Titrimetri 1.5
MgO Titrimetri 0.1
P2O5 Titrimetri 0.2
Na2O Titrimetri -
Fe2O3 Titrimetri 0.2
Al2O3 Titrimetri -
Residu soda dan karbonat (CO2) 1.6
Residu Sulfat (sebagai SO3 0.4
skala rumah tangga yang menghasilkan alkohol untuk keperluan bahan baku
kimia industri dan juga keperluan pengobatan. Alkohol yang dihasilkan berasal
dari fermentasi tetes tebu. Tetes tebu tersebut diberikan enzim yang berasal dari
jamur lalu didiamkan beberapa hari, hasil fermentasi di destilasi dengan alat
buatan sendiri yang berasal dari drum, lalu hasil destilasi tersebut disaring
Dalam fermentasi ini glukosa didegradasi menjadi etanol dan CO2 melalui
suatu jalur metabolisme yang disebut glikolisis yang biasa jalurnya disebut jalur
C. Etanol
mudah menguap dengan bau spritus dan rasa membakar. Etanol mudah terbakar,
alkohol rantai tunggal, dengan rumus kimia C2H5OH dan rumus empiris C2H6O,
dan merupakan isomer konstitusional dari dimetil eter. Etanol sering disingkat
menjadi EtOH, dengan "Et" merupakan singkatan dari gugus etil (C2H5) (Myers
ke etanol. Reaksi ini terjadi tanpa adanya oksigen dan menghasilkan CO2
D. Kromatografi Gas
dinamis dan identifikasi semua jenis semua senyawa organik yang mudah
menguap dan juga melakukan analisis kualitatif dan kuantitatif senyawa dalam
KG terdapat dua tipe yang sering digunakan, tipe pertama yaitu gas-solid
(Christian, 2004). Pemakaian zat cair sebagai fase diam ternyata lebih meluas
3. Kolom pemisah
4. Detektor
5. Oven dengan pengatur suhu yang dapat diprogram untuk berbagai tingkat
temperatur
1. Gas Pembawa
cuplikan melewati kolom. Gas yang biasa digunakan adalah helium, nitrogen,
hidrogen, dan argon. Gas-gas ini relatif tidak mahal, bisa didapatkan dengan
mudah, tidak begitu berbahaya serta bersifat tidak reaktif sehingga tidak bereaksi
2004).
yang sama tapi pada kecepatan alir yang berbeda. Gas N2 memerlukan kecepatan
alir yang lambat (10cm/detik) untuk mencapai kinerja (efisiensi) yang optimum
dengan HETP minimum. Sementara H2 dan He dapat dialirkan lebih cepat untuk
Gambar 3. Karakteristik gas pembawa (N2, He, dan H2) (Hendayana, 2010)
11
Syarat gas pembawa yaitu murni dan tidak reaktif, gas pembawa keadaan
murni agar tidak berpengaruh pada detektor dan disimpan dalam tangki
Tabel II. Contoh Gas Pembawa dan Pemakaian Detektor (Gandjar dan Rohman,
2007)
Gas pembawa Detektor
Hidrogen Hantar panas
Helium Hantar panas
Ionisasi nyala
Fotometri nyala
Termoionik
Nitrogen Ionisasi nyala
Tangkap elektron
Fotometri nyala
Termoionik
Argon Ionisasi nyala
Argon + metana 5% Tangkap elektron
Karbon dioksida Hantar panas
dengan kecepatan rata-rata linear (, cm/detik), bukan dengan laju alir volumetrik
(F, mL/menit). Kecepatan rata-rata linear dapat diartikan sebagai kecepatan rata-
rata sampel melewati kolom atau kecepatan gas pembawa (MSP KOFEL, 2005).
12
Tabel III. Kecepatan Linear Gas Pembawa untuk Kolom 30 m (MSP KOFEL,
2005)
syringe dan juga sampel ke dalam aliran gas pembawa dan untuk menyediakan
a. Injeksi langsung (direct injection), yang mana sampel yang diinjeksikan akan
diuapkan dalam injektor yang panas dan dan 100% sampel masuk menuju
kolom.
sampel diuapkan dalam injektor yang panas dan dibawa ke dalam kolom
d. Injeksi langsung ke kolom (on column injection), yang mana ujung septum
Cuplikan yang dapat dianalisis dengan teknik KG dapat berupa zat cair
dan gas. Dengan syarat cuplikan tersebut mudah menguap dan stabil (tidak rusak
cuplikan biasanya sekitar 50 derajat di atas titik didih cuplikan. Bila cuplikan
rusak pada suhu tersebut maka cuplikan tersebut tidak dapat dianalisis dengan
teknik KG. Untuk kolom analitik memerlukan antara 0,1-10 L cuplikan cair
3. Kolom
mengandung fase diam yang bias berupa adsorben (kromatografi gas, padat) atau
cairan. Kolom tersebut terbuat dari logam, gelas, atau silika (Dean, 1995).
Ada 2 tipe kolom yang digunakan dalam KG yaitu kolom kemas dan
kolom kapiler. Kolom kemas adalah kolom tipe pertama dan telah digunakan
selama beberapa tahun. Kolom kapiler merupakan kolom yang paling banyak
digunakan sekarang, tetapi kolom kemas tetap digunakan untuk penelitian yang
a. Kolom kemas
Kolom yang biasanya dibuat dari gelas atau kaca yang disilanisasi untuk
menyebabkan tailing pada peak dari analit polar. Internal diameternya 2-5 mm,
kolomnya dikemas dengan partikel solid pendukung yang disalut dengan cairan
panjang jalur aliran fase gerak dan lapisan film diskontinyu dari fase diamnya
b. Kolom kapiler
Kolom kapiler terbuat dari lelehan silika yang disalut bagian luarnya
aluminium juga telah dilakukan untuk pengerjaan pada suhu yang tinggi
cairan fase diam yang memberi lapisan tipis antara 0,1-5m (Watson,1999).
15
fleksibel, awet/tahan lama, dan memiliki silika kapiler yang bersifat inert terhadap
4. Fase Diam
Fase diam yang dipilih berdasarkan polaritas dari sampel yang akan
diujikan, dengan prinsip like dissolve like , oleh karena itu fase diam yang polar
akan lebih berinteraksi dengan senyawa yang lebih polar, dan begitulah
sebaliknya fase diam yang non polar akan lebih berinteraksi dengan senyawa yang
memperoleh resolusi. Retensi yang semakin lama dan selektif akan menghasilkan
resolusi yang semakin baik. Selektivitas bisa divariasi hanya dengan mengubah
kepolaran fase diam atau dengan mengubah suhu kolom (Dean, 1995).
16
Tabel IV. Jenis Fase Diam dan Penggunannya (Gandjar dan Rohman, 2007)
5. Detektor
keluarnya fase gerak (gas pembawa) yang membawa komponen hasil pemisahan.
Pada garis besarnya detektor pada KG termasuk detektor diferensial, dalam arti
respons yang keluar dari detektor memberikan relasi yang linier dengan kadar atau
g. Kemudahan penggunaan
Tabel V. Jenis Detektor, Sampel, Batas Deteksi dan Kecepatan Alir Fase gerak
(Rohman, 2009)
Senyawa nitrogen
Nitrogen-fosfor organik dan fosfat 0,1-10 g 20-40 1-5 60-80
organic
Senyawa-senyawa
Fotoionisasi yang terionisasi 2 pg 30-40 - -
dengan UV
0,5 pg Cl
Konduktifitas
Halogen, N, S 2 pg S 20-40 80 -
elektronik
4 pg N
Forier transform - Senyawa-
1000 pg 3-10 - -
infra red senyawa organik
digunakan dan sejauh ini telah umum digunakan dalam analisis KG. FID memiliki
18
rentang dinamis yang lebar, sensitivitas tinggi, dan akan mendeteksi semua
Pada pemakaian FID, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: pertama,
kecepatan alir O2 (udara) dan H2. Untuk memperoleh tanggapan FID yang optimal
adalah suhu FID harus diatas 100oC. Hal ini bertujuan untuk mencegah
kondensasi uap air yang mengakibatkan FID berkarat atau kehilangan (menurun)
Solut yang keluar dari kolom dicampur H2 dan udara kemudian dibakar
pada nyala di bagian dalam detektor. Atom karbon senyawa organik dapat
hidrogen udara.
CHO+ yang dihasilkan dalam nyala bergerak ke katoda yang berada di atas nyala.
Arus yang mengalir di antara anoda dan katoda diukur dan diterjemahkan sebagai
sinyal pada rekorder. Detektor ini jauh lebih peka daripada detektor daya hantar
panas. Kepekaan detektor ionisasi nyala akan lebih meningkat kalau N2 digunakan
6. Pengaturan Suhu
berhubungan dengan beberapa faktor. Suhu injektor harus relatif tinggi, konsisten
paling tinggi agar sampel masuk ke kolom dalam volum kecil, menurunkan
kecepatan, sensitifitas dan resolusi. Pada suhu tinggi, sampel berada pada fase gas
terlama dan terelusi dengan cepat, tetapi resolusinya jelek. Pada suhu rendah,
sampel berada di fase diam paling lama dan terelusi dengan lamban; resolusi
meningkat tetapi sensitifitas menurun. Suhu detektor harus cukup tinggi untuk
kelarutan senyawa dan titik didih senyawa. Karena titik didih senyawa
a. Operasi isotermal
yang kompleks dan biasanya diselesaikan dengan suatu kompromi. Sampel yang
20
isotermal run. Pemisahan pada suhu kolom yang sedang mungkin menghasilkan
resolusi yang bagus untuk komponen dengan titik didih rendah tetapi
membutuhkan waktu yang panjang untuk mengelusi komponen dengan titik didih
tinggi. Salah satu solusinya adalah dengan meningkatkan suhu kolom beberapa
poin lebih tinggi selama pemisahan sehingga komponen dengan titik didih tinggi
akan terelusi lebih cepat dan dengan peak yang lebih berdekatan (Dean,1995).
b. Suhu terprogram
titik didih luas dapat diperbaiki dan dipercepat dengan menaikan temperatur
kolom pada suatu laju yang seragam. Cairan yang mempunyai titik didih rendah
akan terelusi terlebih dahulu, sedangkan pada temperatur lebih tinggi zat yang
mempunyai titik didih lebih tinggi baru akan terelusi (Khopkar, 1990).
bawah suhu komponen sampel pada titik didih terendah, diutamakan di bawah
suhu 90oC. Suhu kolom kemudian dinaikkan dengan kecepatan yang telah
ditentukan. Pada aturan umumnya, waktu retensi dibagi pada peningkatan suhu
20-30oC. Suhu akhir seharusnya mendekati titik didih komponen yang terelusi
terakhir tetapi tidak boleh melebihi batas maksimal suhu pada fase diam yang
(Dean, 1995).
21
7. Analisis kuantitatif
disebabkan injeksi sampel, kecepatan aliran gas, dan variasi keadaan kolom dapat
diminimalisasi. Dalam prosedur ini, standar internal yang telah diukur dengan
seksama dimasukkan ke dalam setiap larutan baku dan sampel, dan rasio luas
puncak analit terhadap luas puncak standar internal adalah parameter analisisnya.
Puncak standar internal dan puncak lainnya harus terpisah dengan baik sebagai
bersifat stabil dan reprodusibel, baik pada penyiapan sampel atau proses
kuantitatif:
a. Analit (solut) harus telah diketahui dan terpisah sempurna dari komponen-
b. Baku dengan kemurnian yang tinggi dan telah diketahui harus tersedia
berhubungan satu dengan yang lain dan perlu dimengerti untuk memahami konsep
1. Waktu retensi
Waktu retensi (tR) adalah waktu mulai injeksi cuplikan hingga suatu
komponen campuran keluar kolom, dengan kata lain waktu yang diperlukan suatu
komponen campuran (solute) untuk keluar dari kolom. Waktu retensi diukur
melalui kromatogram dari menit ke-0 hingga muncul puncak peak (Hendayana,
2010).
2. Faktor Kapasitas
(3)
K= faktor kapasitas
3. Selektivitas
= (4)
komponen kedua. Harga selektivitas dapat sama dengan satu atau lebih besar dari
satu. Bila harga = 1 berarti senyawa 1 dan senyawa 2 keluar dari kolom
bersama-sama, dengan kata lain senyawa 1 dan senyawa 2 tidak dapat dipisahkan.
Sebaliknya bila > 1 maka senyawa 1 keluar lebih cepat dari senyawa 2. Semakin
4. Efisiensi
dapat dijelaskan dengan teori plat (N). Pemahaman teori plat sebagai berikut:
dan fase diam ketika solute bergerak melalui kolom (Hendayana, 2010).
baik pemisahan. Teori plat dapat diartikan bahwa sepanjang kolom terjadi proses
24
ekstraksi sebanyak N kali. Semakin besar nilai N maka semakin baik pemisahan
(Hendayana, 2010).
5. Resolusi
(Hendayana, 2010).
2 t R B t R A
RS = (5)
W A WB
puncak dengan tinggi yang sama. Nilai 1,0 menghasilkan 2,3% overlap pada 2
puncak dengan tinggi yang sama dan diyakini sebagai pemisahan yang minimum
untuk menghasilkan hasil kuantitatif yang bagus. Hasil 1,5 hanya menyebabkan
0,1% overlap pada puncak yang sama tinggi dan menjadi dasar suatu nilai resolusi
yang cocok dan bagus untuk puncak yang sama tinggi (Christian, 2004).
F. Landasan Teori
profil senyawa yang terdapat dalam hasil produksi ciu berdasarkan perbedaan
produksi ciu dan interaksinya dengan fase gerak dan fase diam di dalam kolom
25
yang berdekatan sehingga perlu dilakukan pengaturan suhu yang tepat untuk
G. Hipotesis
Metode kromatografi gas pada penetapan kadar dan profil alkohol hasil
optimasi yang meliputi waktu retensi, efisiensi kolom, resolusi dan asymetri
factor.
BAB III
METODE PENELITIAN
B. Variabel
1. Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah alkohol hasil produksi industri
2. Variabel tergantung
tinggi.
26
27
C. Definisi Operasional
daerah Sukoharjo.
dengan pengaturan awal yaitu kolom kapiler CP-Wax CB 25 (i.d. 0,32 mm),
D. Bahan-bahan Penelitian
fermentasi tetes tebu, baku etanol p.a.(E. Merck), , n-butanol p.a. (E. Merck),
E. Alat-alat Penelitian
Kromatografi Gas (HP 5890) dengan Flame Ionization Detector (FID), kolom
kapiler CP-Wax (25 m, i.d. 0,32 mm), alat-alat gelas yang lazim digunakan untuk
F. Prosedur Kerja
1. Pemilihan sampel
sebanyak 600 mL setiap produksi dan diambil sebanyak tiga kali produksi yang
produksi dengan cara random yaitu dengan mengambil undian dan dipilih
2. Preparasi sampel
pada setiap botol, lalu sejumlah 100 mL sampel kemudian disaring dengan kertas
Whatman no 1 agar lebih jernih. Kemudian disimpan dalam botol tertutup untuk
butanol ke dalam labu ukur. Encerkan dengan aquabidest hingga batas tanda dan
standar internal 600 L n-butanol ke dalam labu ukur. Encerkan dengan aquabides
Tekanan : 10 psi
Injektor B : 200oC
Detektor A : 250oC
Range :3
Bandingkan waktu retensi dan pemisahan antara kromatogram baku etanol dan
sampel.
Mengatur kromatografi gas dengan temperatur awal 50oC, 70oC dan 90oC
Selanjutnya mencatat waktu retensi dan pemisahan yang dihasilkan pada masing-
masing kromatogram.
baku etanol pada temperatur awal 50oC, 70oC, dan 90oC. Selanjutnya mencatat
Mengatur kromatografi gas dengan tekanan kolom 5 psi, 7.5 psi dan 10
psi, atur masing-masing initial time pada 2 menit dan 3 menit secara berurutan.
temperatur awal 50oC, 70oC, dan 90oC. Selanjutnya mencatat waktu retensi dan
G. Analisis Hasil
ditetapkan.
Waktu retensi (tR) adalah waktu mulai injeksi cuplikan hingga suatu
2. Resolusi
(W1+W2/2). Nilai resolusi > 1,5 untuk memberikan pemisahan puncak yang baik
3. Faktor asimetri
lebar bagian pertama puncak diukur dari garis simetri 10% tinggi puncak
TF =
lebar bagian kedua puncak diukur dari garis simetri 10% tinggi puncak
4. Efisiensi kolom
kolom (L) dengan jumlah lempeng (N), H= L / N. Jumlah lempeng (N) dihitung
2
waktu retensi
dengan: N = 16 (Gandjar dan Rohman, 2007).
lebar dasar puncak
BAB IV
PEMBAHASAN
berasal dari dusun Sentul desa Bekonang, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
untuk menghasilkan data dengan kadar sampel yang representatif, maka sampel
yang diambil minimal 15% dari populasi rumah produksi yang ada.
pemilihan sampel adalah ciu Bekonang yang diambil sebanyak 600,0 mL dari
kemudian disaring dengan kertas Whatman no.1 dan disimpan dalam botol
tertutup untuk menghindari penguapan alkohol bila sampel disimpan lebih dari
satu hari. Tujuan dari homogenisasi ini untuk mendapatkan sampel yang
Hasil preparasi sampel ini adalah sampel yang memiliki homogenitas yang tinggi,
seperti validasi dan penetapan kadar, pada optimasi sampel hanya digunakan
33
34
untuk melihat pemisahan yang terjadi pada sampel dalam kondisi optimasi dan
mengandung etanol yang merupakan senyawa organik cair yang bersifat mudah
yang mengandung fase diam polietilen glikol yang memiliki sifat polar. Menurut
Sastrohamidjojo (2005), fase-fase cair (fase diam) polar, seperti polietilen glikol,
mempunyai sifat baik penerima maupun pemberi ikatan hidrogen sehingga fase
cair tersebut dapat memisahkan campuran senyawa-senyawa polar dan non polar
Kolom Cp-Wax yang digunakan merupakan jenis kolom kapiler yang memiliki
kemampuan pemisahan yang lebih baik dibandingkan dengan jenis kolom kemas.
senyawa yang baik, kolom Cp-Wax ini memiliki keterbatasan dalam suhu. Suhu
yang harus dipakai saat menggunakan kolom Cp-Wax maksimal 250oC. Artinya
35
senyawa yang titik leburnya sangat tinggi atau belum melebur di atas suhu 250 oC
menentukan pengaturan awal kromatografi gas yang tepat. Pada awalnya peneliti
hanya mencoba-coba berbagai suhu kolom, suhu injektor, dan suhu detektor untuk
satu running alat hanya menggunakan satu suhu. Pengaturan suhu isothermal ini
sangat bagus untuk senyawa dengan titik didih rendah, tetapi sangat lama jika
mendeteksi senyawa dengan titik didih tinggi. Selain itu suhu isothermal ini tidak
yang berdekatan.
A
Ket:
A= etanol
etanol kadar sedang, dengan pengaturan suhu kolom 120oC, suhu detektor dan
injektor sama 250oC. Pengaturan itu adalah pengaturan terbaik pada saat itu, yang
terjadi adalah dengan suhu yang cukup tinggi tetapi menghasilkan waktu retensi
etanol yang masih cukup lama, selain itu kromatogram ini juga memiliki nilai
A B
Ket:
A= etanol
B= n-butanol
Gambar di atas adalah salah satu kromatogram baku etanol (A) dengan
standar internal n-butanol (B) yang dideteksi dengan kromatografi gas suhu
terprogram yang dipakai yaitu suhu kolom awal 70oC, initial time 2 menit, suhu
37
sebelumnya (Gambar 7), waktu retensi etanol yang dicapai lebih cepat +100 detik
walaupun suhu yang digunakan lebih rendah dari pengaturan dengan suhu
isothermal.
yang sangat baik. Maka dapat dikatakan bahwa dengan pengaturan suhu
dengan komponen senyawa lain juga lebih baik. Kelemahan pengaturan suhu
terprogramkan yaitu sistem pengaturan ini cukup kompleks sehingga perlu banyak
yang tidak digunakan pada sistem suhu isothermal antara lain initial time dan
initial temperature, final time dan final temperature, serta rate. Pengaturan
adalah memberikan waktu pada kolom untuk mencapai suhu yang dikehendaki
ada initial temperature yang merupakan suhu awal kolom yang ingin dicapai
temperature dimulai setelah alat melewati initial time. Tujuan meningkatkan suhu
senyawa yang memiliki kadar kecil dengan jelas. Selain itu juga menyebabkan
Selain pengaturan yang telah disebutkan di atas, ada pengaturan lain yang
pada umumnya harus dilakukan pada alat kromatografi gas antara lain column
head pressure, split vent, purge vent, tekanan udara, tekanan hidrogen, dan
tekanan nitrogen.
39
FID atau yang biasa diartikan detektor ionisasi nyala merupakan salah
satu dari sekian banyak detektor yang digunakan dalam kromatografi gas. FID
merupakan detektor yang sudah cukup lama digunakan dalam kromatografi gas,
kemampuan detektor ini dalam mendeteksi senyawa yang memiliki karbon sangat
tinggi. Selain itu FID juga memiliki sensitivitas yang tinggi jika dibandingkan
Oleh sebab itu peneliti tidak melakukan optimasi untuk memilih detektor
yang paling cocok, disamping karena keterbatasan alat yang dimiliki, kemampuan
FID sebagai detektor dalam penetapan kadar dan profil alkohol tidak perlu
40
diragukan lagi. FID mampu mendeteksi semua senyawa yang memiliki atom
karbon terutama golongan alkohol. Menurut Gandjar dan Rohman (2007), untuk
mL/menit dan O2 sepuluh kalinya. Kedua adalah suhu FID harus diatas 100oC.
Hal ini bertujuan untuk mencegah kondensasi uap air yang mengakibatkan FID
udara sebagai bahan bakar dengan alasan keamanan laboratorium (sifat oksigen
lebih reaktif ditakutkan dapat meledak). Udara juga mengandung oksigen (O2)
tetapi dalam jumlah yang relatif aman sehingga mengurangi resiko terjadi
ledakan. Selain itu dalam penelitian ini juga diperoleh kecepatan aliran H 2 = 35
mL/menit, dan suhu detektor yang digunakan di atas 100oC yaitu 250oC. Berikut
Kecepatan Aliran Gas Pembawa Nitrogen : 0.8 mL/min Nitrogen make up: 27.7
mL/min
dan udara kemudian dibakar pada nyala di bagian dalam detektor. Atom karbon
CHO + O CHO+ + e-
41
CHO+ yang dihasilkan dalam nyala bergerak ke katoda yang berada di atas nyala.
Arus yang mengalir di antara anoda dan katoda diukur dan diterjemahkan sebagai
sinyal pada rekorder. Kepekaan detektor ionisasi nyala akan lebih meningkat
Oleh sebab itu digunakannya gas hidrogen dan udara pada penelitian ini
meningkatkan jumlah atom karbon yang dengan mudah dapat dideteksi oleh FID.
Gas nitrogen yang digunakan sebagai gas pembawa juga berperan penting dalam
meningkatkan kepekaan/sensitivitas dari FID. Maka dari itu, kondisi ini sudah
berpotensi untuk menghasilkan hasil yang optimal dalam penetapan kadar dan
Sukoharjo.
digunakan, maka kita sudah siap untuk melakukan optimasi metode kromatografi
gas untuk menetapkan kadar dan profil senyawa alkohol dalam ciu. Untuk
melakukan optimasi itu sendiri perlu melalui beberapa tahap berikut ini:
Larutan seri baku etanol ini akan digunakan untuk pembuatan kurva baku
dalam bagian validasi metode dan penetapan kadar. Sedangkan larutan seri baku
yang digunakan dalam optimasi adalah larutan seri baku kadar sedang 6% v/v. Hal
ini dikarenakan larutan seri baku kadar sedang sudah dapat merepresentasikan
hasil pada larutan seri baku kadar lainnya. Pada penelitian ini digunakan standar
42
internal n- butanol yang memiliki fungsi mengkoreksi nilai AUC yang dihasilkan
karena instrumen kromatografi gas ini tidak dapat menghasilkan nilai AUC yang
konstan.
sebanyak 18 kali, meliputi 6 kali optimasi suhu kolom, 6 kali optimasi initial time,
dan 6 kali optimasi tekanan kolom (column head pressure). Sehingga total larutan
Berikut ini adalah contoh kromatogram larutan seri baku etanol kadar
B
A
Ket:
A= etanol
B= n-butanol
Etanol memiliki titik didih yang lebih rendah dari n-butanol sehingga
terelusi terlebih dahulu oleh fase gerak. Waktu retensi etanol adalah 253 detik dan
Selain menggunakan larutan seri baku etanol kadar sedang, penelitian ini
juga ingin melihat pemisahan yang terjadi pada larutan sampel yang ditambah
43
dengan standar internal n-butanol. Kromatogram dari larutan sampel ini kemudian
dibandingkan dengan larutan seri baku etanol untuk melihat apakah di dalam
waktu retensi etanol dengan waktu retensi peak kromatogram yang terbentuk pada
larutan sampel.
Contoh kromatogramnya:
B
A
Ket:
A= etanol
B= n-butanol
Waktu retensi kedua peak tersebut berurutan yaitu 252 detik dan 323
detik. Maka jika dibandingkan dengan waktu retensi kromatogram pada Gambar 9
dapat dipastikan pada masing-masing larutan memiliki senyawa yang sama. Peak
no. 2 adalah standar internal n-butanol dan peak no. 1 adalah senyawa etanol.
Oleh sebab itu dapat dipastikan bahwa di dalam sampel hasil produksi ciu
Larutan etanol murni adalah larutan etanol p.a. yang tanpa penambahan
standar internal maupun pengenceran. Hal ini sama halnya dengan larutan n-
44
pengenceran. Larutan sampel murni juga merupakan larutan sampel yang tidak
dibuat dan diinjeksikan pada kromatografi gas untuk melihat waktu retensi
Kemudian dibandingkan dengan waktu retensi senyawa pada gambar 9 dan 10.
Waktu retensi senyawa etanol pada gambar 11 adalah 252 detik, waktu
retensi senyawa butanol pada gambar 12 adalah 323 detik, dan waktu retensi
senyawa etanol pada sampel gambar 13 adalah 252 detik. Waktu retensi pada
kelima gambar ini merupakan hasil pengukuran dari pengaturan awal instrumen
kromatografi gas.
Pengukuran sampel ini juga memiliki tujuan lain yaitu mengecek adanya
senyawa lain selain etanol yang terkandung di dalam sampel. Dengan mengubah
nilai range (lihat tabel VI) menjadi 0 maka dapat kita lihat peak senyawa-senyawa
Peak kecil yang ditandai nomer 1 adalah peak senyawa lain selain etanol
di dalam sampel yang dapat terdeteksi oleh instrumen kromatografi gas. Senyawa
tersebut memiliki waktu retensi 247 detik. Senyawa tersebut memiliki kadar yang
sangat kecil di dalam sampel dan tidak terlihat dalam kromatogram dengan range
3. Oleh sebab itu, untuk memastikan profil atau nama senyawa tersebut dapat
temperature. Pemilihan besarnya suhu kolom yang akan dioptimasi dimulai dari
pengaturan awal suhu kolom yaitu 70oC, kemudian ditambahkan 20oC dan
dikurangi 20oC sehingga diperoleh 3 suhu yang akan dicoba dalam optimasi ini
yakni suhu 50oC, 70oC, dan 90oC. Pengaturan instrumen yang lain seperti tekanan,
initial time, rate dan lain-lain mengikuti nilai yang tertera pada pengaturan awal.
47
yang memberikan hasil yang paling optimal pada penetapan kadar dan profil
optimasi. Keempat parameter optimasi tersebut yaitu waktu retensi, nilai resolusi
(RS), nilai efisiensi kolom (HETP), dan nilai faktor asimetri (AS). Oleh sebab itu,
kolom:
Ket:
A= etanol
B= n-butanol
Pada suhu kolom 50oC terdeteksi peak etanol dan peak n-butanol masing-
masing memiliki waktu retensi 272 detik dan 381 detik. Dari hasil pengolahan
data diperoleh nilai resolusi peak 19,82, peak etanol memiliki jumlah lempeng
teoretis sebesar 7.389.400, nilai HETP 0,00338, dan nilai faktor asimetri 1,25,
nilai HETP 0,0038, dan nilai faktor asimetri 1,8. Nilai resolusi menunjukkan
bahwa peak kedua senyawa terpisah secara sempurna dan memenuhi syarat lebih
dari nilai 1,5. Sementara dari nilai faktor asimetri menunjukkan peak A dan peak
48
B mengalami tailing atau tidak simetri, rentang nilai yang memenuhi syarat yaitu
teoretis. Semakin kecil nilai HETP maka semakin bagus efisiensi kolom. Oleh
karena panjang kolom yang digunakan sama, maka yang menentukan nilai HETP
adalah jumlah lempeng teoretis. Semakin banyak jumlah lempeng teoretis maka
semakin kecil nilai HETP dan efisiensi kerja kolom semakin bagus.
Ket:
A= etanol
B= n-butanol
15,78, peak etanol (A) memiliki waktu retensi 253 detik, jumlah lempeng teoretis
sebesar 25.603.600, nilai efisiensi kolom sebesar 0,0009, dan nilai faktor asimetri
1, sedangkan peak n-butanol (B) memiliki waktu retensi 324 detik, jumlah
lempeng teoretis sebesar 10.497.600, nilai efisiensi kolom sebesar 0,00238, dan
nilai faktor asimetri 1. Dari data tersebut menunjukkan tidak ada peak yang
pemisahan peak yang sangat bagus dibuktikan dengan nilai resolusi yang baik.
Tetapi digunakan suhu 70oC karena waktu retensi yang dihasilkan lebih cepat
dibandingkan dengan menggunakan suhu 50oC. Waktu retensi yang cepat sangat
penting untuk menghemat waktu pengerjaan dalam penetapan kadar, apalagi bila
Secara teori semakin tinggi suhu kolom yang digunakan maka semakin
cepat senyawa terelusi. Tetapi ini belum menjamin apakah jika suhu kolom
ditingkatkan maka pemisahannya juga lebih baik. Oleh karena itu dilakukan
Ket:
A= etanol
B= n-butanol
menunjukkan nilai resolusi peak sebesar 5,71, peak etanol (A) memiliki waktu
retensi 252 detik, jumlah lempeng teoretis sebesar 11.289.600, nilai efisiensi
kolom sebesar 0,002214, dan nilai faktor asimetri 1, sedangkan peak n-butanol
50
(B) memiliki waktu retensi 292 detik, jumlah lempeng teoretis sebesar
11.136.522,4, nilai efisiensi kolom sebesar 0,002244, dan nilai faktor asimetri 1,5.
retensi senyawa tercepat diantara suhu optimasi yang lain. Tetapi nilai resolusi
peaknya paling kecil diantara suhu optimasi yang lain. Meskipun nilai resolusinya
masih memenuhi syarat kromatogram yang bagus, tetapi akan lebih baik
Alasannya yaitu memungkinkan senyawa selain etanol terpisah dengan baik dan
dapat ditetapkan kadarnya. Maka dilihat dari data-data yang diperoleh, suhu
kolom 70oC adalah suhu yang paling bagus memberikan hasil pemisahan senyawa
time. Initial time adalah waktu atau jeda yang diperlukan senyawa analisis untuk
diubah ke bentuk gas sebelum berinteraksi dengan fase diam dan terbaca oleh
detektor. Ada 2 initial time yang akan digunakan dalam proses optimasi ini yaitu 2
menit dan 3 menit. Initial time ini diperoleh dari orientasi yang dilakukan
sebelumnya. Berikut ini adalah kromatogram hasil proses optimasi initial time:
51
A= etanol
B= n-butanol
sebesar 15,78, peak etanol (A) memiliki waktu retensi 253 detik, jumlah lempeng
teoretis sebesar 25.603.600, nilai efisiensi kolom sebesar 0,00097, dan nilai faktor
asimetri 1, sedangkan peak n-butanol (B) memiliki waktu retensi 324 detik,
Ket:
A= etanol
B= n-butanol
sebesar 18,89, peak etanol (A) memiliki waktu retensi 253 detik, jumlah lempeng
teoretis sebesar 6.400.900, nilai efisiensi kolom sebesar 0,00390, dan nilai faktor
asimetri 1, sedangkan peak n-butanol (B) memiliki waktu retensi 338 detik,
jumlah lempeng teoretis sebesar 7.311.616, nilai efisiensi kolom sebesar 0,00341,
Dari data kedua kromatogram tersebut dapat diperoleh bahwa initial time
2 menit memberikan proses lebih cepat dilihat dari waktu retensi senyawanya
yang lebih cepat dibandingkan initial time 3 menit. Demikian juga initial time 2
menit memilki nilai efisiensi kolom yang lebih kecil dari initial time 3 menit dan
juga peak yang dihasilkan tidak mengalami tailing. Maka untuk proses penetapan
Pada proses optimasi initial time, suhu kolom yang digunakan tidak
hanya suhu yang sudah merupakan hasil optimasi yaitu 70oC, tetapi pengukuran
juga dilakukan pada suhu 50oC dan 90oC juga. Hal ini dilakukan untuk melihat
adanya kemungkinan muncul hasil yang melenceng dari prediksi, misalnya ada
pemisahan peak yang lebih cepat dan bagus dari suhu optimasi.
retensi senyawa di dalam kolom adalah tekanan kolom. Oleh karena itu penting
tekanan yang akan digunakan dalam proses optimasi ini. Besarnya nilai tekanan
Optimasi tekanan dilakukan pada setiap suhu optimasi 50oC, 70 oC, dan
90 oC, serta pada initial time 2 dan 3 menit. Kromatogram berikut ini merupakan
hasil optimasi tekanan yang dilakukan pada suhu 70 oC dan initial time 2 menit.
Ket:
A= etanol
B= n-butanol
Ket:
A= etanol
B= n-butanol
Ket:
A= etanol
B= n-butanol
kolom yang diberikan, maka semakin lama waktu retensi senyawa yang
diperlukan dan peak yang dihasilkan semakin lebar, tumpul, dan cenderung
mengalami tailing. Maka tekanan kolom 10 psi dipilih karena memberikan hasil
dilakukan, maka diperoleh hasil optimasi sebagai berikut: suhu kolom awal 70oC;
Initial time: 2 menit; rate: 30oC/min; suhu kolom final: 220oC; waktu final: 2
menit; suhu injektor B: 200oC; suhu detektor A: 250oC; tekanan (Column Head
Pressure): 10 psi. Data perhitungan waktu retensi, resolusi, asymetri factor dan
Waktu
Asymetri
Parameter optimasi retensi Resolusi HETP
factor
(detik)
i.t 2 menit 489 20,78 1 0,003150
5 psi
i.t 3 menit 489 13,86 1,75 0,001681
Suhu i.t 2 menit 351 19,5 2 0,003117
7,5 psi
50oC i.t 3 menit 356 26 1,2 0,001950
i.t 2 menit 270 19,82 1,25 0,003383
10 psi
i.t 3 menit 277 22 1,25 0,003211
i.t 2 menit 474 14,33 1 0,008309
5 psi
i.t 3 menit 452 16,71 0,71 0,004830
Suhu i.t 2 menit 337 13 0,273 0,002175
7,5 psi
70oC i.t 3 menit 331 15,67 0,67 0,001736
i.t 2 menit 252 15,78 1 0,000976
10 psi
i.t 3 menit 252 18,89 1 0,003905
i.t 2 menit 482 11,125 1,1 0,00800
5 psi
i.t 3 menit 453 7,78 0,588 0,01082
Suhu i.t 2 menit 336 11,25 1,2 0,003439
7,5 psi
90oC i.t 3 menit 328 12 0,67 0,012991
i.t 2 menit 251 5,71 1 0,002214
10 psi
i.t 3 menit 249 15,67 1 0,002250
BAB V
A. Kesimpulan
Tekanan : 10 psi
Injektor B : 200oC
Detektor A : 250oC
Range :3
56
57
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
61
a. Suhu 70
b. Suhu 90oC
c. Suhu 50oC
b. Suhu 90oC
b. Suhu 90oC
c. Suhu 50oC
1. Tekanan 10 psi
a. Suhu 70oC (Initial time: 2 menit)
3. Tekanan 5 psi
76
Rs =
Rs =
= 19,82
Rs =
= 15,78
Rs =
= 5,71
Rs =
= 22
80
Rs =
= 18,89
Rs =
= 15,67
Rs =
= 19,5
Rs =
= 13
Rs =
= 11,25
10. Optimasi tekanan 7,5 psi ( initial time 3 menit; suhu 50oC)
Rs =
= 26
81
11. Optimasi tekanan 7,5 psi ( initial time 3 menit; suhu 70oC)
Rs =
= 15,67
12. Optimasi tekanan 7,5 psi ( initial time 3 menit; suhu 90oC)
Rs =
= 12
Rs =
= 20,78
Rs =
= 14,33
Rs =
= 11,125
Rs =
= 13,86
82
Rs =
= 16,71
Rs =
= 7,78
lebar bagian pertama puncak diukur dari garis simetri10% tinggi puncak
AS =
lebar bagian kedua puncak diukur dari garis simetri10% tinggi puncak
83
AS(etanol) = AS(n-butanol) =
= 1,25 = 1,8
AS(etanol) = AS(n-butanol) =
=1 =1
AS(etanol) = AS(n-butanol) =
=1 = 1,5
AS(etanol) = AS(n-butanol) =
= 1,25 = 2,2
AS(etanol) = AS(n-butanol) =
=1 = 1,2
AS(etanol) = AS(n-butanol) =
=1 = 1,33
AS(etanol) = AS(n-butanol) =
=2 = 1,3
84
AS(etanol) = AS(n-butanol) =
= 0,273 = 1,5
AS(etanol) = AS(n-butanol) =
= 1,2 = 1,5
10. Optimasi tekanan 7,5 psi ( initial time 3 menit; suhu 50oC)
AS(etanol) = AS(n-butanol) =
= 1,2 = 1,67
11. Optimasi tekanan 7,5 psi ( initial time 3 menit; suhu 70oC)
AS(etanol) = AS(n-butanol) =
= 0,67 = 0,67
12. Optimasi tekanan 7,5 psi ( initial time 3 menit; suhu 90oC)
AS(etanol) = AS(n-butanol) =
= 0,67 = 0,67
AS(etanol) = AS(n-butanol) =
=1 = 1,25
AS(etanol) = AS(n-butanol) =
=1 = 1,125
85
AS(etanol) = AS(n-butanol) =
= 1,1 = 1,167
AS(etanol) = AS(n-butanol) =
= 1,75 = 1,44
AS(etanol) = AS(n-butanol) =
= 0,71 = 1,2
AS(etanol) = AS(n-butanol) =
= 0,588 = 0,83
86
L
HETP= , ket: L= panjang kolom (mm)
N
2
waktu retensi
N= jumlah lempeng teoritis = 16
lebar dasar puncak
25000
HETP(etanol)= 2
= 0.00338
272
16
0 .4
25000
HETP(etanol)= 2
= 0.000976
253
16
0 .2
25000
HETP(etanol)= 2
= 0.002214
251
16
0 .4
87
25000
HETP(etanol)= 2
= 0.003211
277
16
0 .4
25000
HETP(etanol)= 2
= 0.003905
252
16
0 .4
25000
HETP(etanol)= 2
= 0.00225
249
16
0 .4
25000
HETP(etanol)= 2
= 0.003117
351
16
0 .4
25000
HETP(etanol)= 2
= 0.002175
337
16
0 .4
25000
HETP(etanol)= 2
= 0.003439
336
16
0 .4
88
10. Optimasi tekanan 7,5 psi ( initial time 3 menit; suhu 50oC)
25000
HETP(etanol)= 2
= 0.00195
356
16
0 .4
11. Optimasi tekanan 7,5 psi ( initial time 3 menit; suhu 70oC)
25000
HETP(etanol)= 2
= 0.001736
331
16
0 .4
12. Optimasi tekanan 7,5 psi ( initial time 3 menit; suhu 90oC)
25000
HETP(etanol)= 2
= 0.012991
328
16
0 .4
25000
HETP(etanol)= 2
= 0.00315
489
16
0 .4
25000
HETP(etanol)= 2
= 0.008309
474
16
0 .4
25000
HETP(etanol)= 2
= 0.008
482
16
0 .4
89
25000
HETP(etanol)= 2
= 0.001681
489
16
0 .4
25000
HETP(etanol)= 2
= 0.00483
452
16
0 .4
25000
HETP(etanol)= 2
= 0.01082
453
16
0 .4
BIOGRAFI PENULIS
90