Anda di halaman 1dari 9

Sejak diberlakukannya sistem self assessment dalam undang-undang perpajakan Indonesia,

telah diatur adanya hak dan kewajiban Wajib Pajak yang seimbang dengan hak dan kewajiban Fiskus
(pegawai Direktorat Jenderal Pajak), sehingga Wajib Pajak dan Fiskus dapat melaksanakan ketentuan
yang ada dengan sebaik-baiknya. Hak dan kewajiban masing-masing pihak tersebut adalah seperti
diuraikan di bawah ini.

1. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak


a. Hak Wajib Pajak
Hak-hak Wajib Pajak yang diatur dalam undang-undang perpajakan adalah :
1. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pengarahan dari fiskus.
Hak ini merupakan konsekuensi logis dari sistem self assessment yang mewajibkan
Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan pajaknya
sendiri. Untuk dapat melaksanakan sistem tersebut, hak Wajib Pajak untuk mendapat
pembinaan dan pengarahan sesuai ketentuan yang berlaku tentu merupakan prioritas
dari seluruh hak yang dimiliki Wajib Pajak.
2. Hak untuk membetulkan Surat Pemberitahuan (SPT).
Apabila Wajib Pajak dalam menyampaikan SPT terdapat kekeliruan misalnya karena
adanya data yang belum dilaporkan atau terdapat kesalahan dalam menghitung, Wajib
Pajak masih diberikan kesempatan untuk membetulkannya dengan syarat fiskus belum
melakukan tindakan pemeriksaan. Pembetulan tersebut diberikan dalam jangka waktu 2
(dua) tahun sesudah berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak
(Pasal 8 ayat (1) UU KUP)
3. Hak untuk memperpanjang waktu penyampaian SPT.
Dalam Pasal 3 ayat (3) UU KUP disebutkan bahwa batas waktu penyampaian SPT masa
paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah akhir masa pajak dan untuk SPT Tahunan
paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak. Batas waktu tersebut dapat
diperpanjang paling lama enam bulan dengan mengajukan permohonan secara tertulis
(Pasal 3 ayat (4) UU KUP)
4. Hak memperoleh kembali kelebihan pembayaran pajak.
Apabila Wajib Pajak dalam melakukan pembayaran pajaknya mengalami kelebihan,
maka atas kelebihan tersebut dapat diminta kembali (restitusi) sesuai Pasal 11 UU KUP
dengan suatu permohonan tertulis. Setelah Fiskus melakukan pemeriksaan, maka
pengembaliannya dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak sehubungan diterbitkannya Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
5. Hak mengajukan keberatan dan banding.
Apabila Wajib Pajak merasa tidak puas atas ketetapan pajak yang telah diterbitkan, Wajib
Pajak dapat mengajukan upaya hukum berupa keberatan dan banding. Upaya keberatan
diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sedangkan banding diajukan
kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) seperti diatur dalam Pasal 25 dan
Pasal 27 UU KUP
6. Hak mengadukan pejabat yang membocorkan rahasia Wajib Pajak
Penjelasan Pasal 34 UU KUP menegaskan bahwa setiap pejabat baik petugas pajak
maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan untuk tidak
mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang mengkut masalah perpajakan antara
lain:
a. SPT, Laporan Keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh Wajib Pajak;
b. Data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan;
c. Dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
d. Dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkenaan.

Apabila pejabat tersebut membocorkan rahasia Wajib Pajak kepada pihak lain, maka
Wajib Pajak dapat mengadukan pejabat tersebut karena telah melakukan tindak pidana
perpajakan sebagaimana dimaksud Pasal 41 UU KUP

7. Hak mengajukan permohonan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.


Dalam hal-hal tertentu, ada kalanya Wajib Pajak tidak dapat melunasi utang pajaknya
secara sekaligus (misalnya Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami
keadaan diluar kekuasaannya), maka Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya (Pasal 9 ayat (4) UU KUP). Hak ini
diberikan untuk membantu Wajib Pajak yang mengalami kondisi diatas sehingga Wajib
Pajak dapat tetap melaksanakan kewajibannya sesuai ketentuan yang berlaku
8. Hak mengurangi penghasilan kena pajak dengan biaya yang telah dikeluarkan.
Dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak, Wajib Pajak (khususnya Wajib
Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap) dapat mengurangi penghasilannya dengan
segala pengeluaran-pengeluaran yang telah ditentukan dalam UU. Ketentuan ini diatur
dalam Pasal 6 UU PPh.
9. Hak pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Sesuai Pasal 7 UU PPh, hak ini khusus diberikan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi
dengan memberikan pengurangan sebesar PTKP yang telah ditentukan. Berdasarkan
Peraturan Direktur Jendral Pajak No. 15/PJ/2006 tanggal 23 Februari 2006, besarnya
PTKP tersebut dihitung berdasarka penghasilan netonya dikurangi dengan PTKP yang
jumlahnya adalah sebagai berikut:

Setahun Sebulan
a. Untuk diri pegawai Rp 13.200.000 Rp 1.100.000
b. Tambahan untuk pegawai
Rp 1.100.000 Rp 100.000
yang kawin
c. Tambahan untuk setiap
anggota keluarga sedarah
dan semenda dalam garis Rp 1.200.000 Rp 100.000
keturunan lurus, serta
anak angkat yang menjadi
tanggungan sepenuhnya,
paling banyak 3 (tiga)
orang

10. Hak menggunakan norma penghitungan penghasilan neto


Hak ini diberikan kepada Wajib Pajak yang mempunyai peredaran bruto usaha dalam
satu tahun kurang dari Rp 600 juta dengan syarat memberitahukan kepada Direktur
Jendral Pajak dalam jangka waktu tiga bulan pertama dari tahun pajak yang
bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UU PPh. Norma penghitungan adalah
suatu pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh
Direktur Jendral Pajak.
11. Hak memperoleh fasilitas perpajakan
Pasal 31A UU PPh memberikan fasilitas perpajakan kepada Wajib Pajak yang
melakukan penanaman modal pada bidang usaha tertentu dan/atau daerah tertentu
dalam bentuk:
a. Pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% dari jumlah penanaman yang
dilakukan;
b. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
c. Kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 tahun; dan
d. Pengenaan PPh atas dividen sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 sebesar 10%
kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih
rendah.

Sementara itu, pasal 31B menegaskan bahwa terhadap Wajib Pajak yang melakukan
restrukturisasi utang usaha melalui lembaga khusus yang dibentuk pemerintah dapat
memperoleh fasilitas pajak yang bersifat terbatas baik dalam jangka waktu maupun
jenisnya berupa keringanan PPh yang terutang atas:

a. Pembebasan utang;
b. Pengalihan harta kepada kreditor untuk penyelesaian utang;
c. Perubahan utang menjadi penyertaan modal
12. Hak untuk melakukan pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran.
Dalam UU PPN ditegaskan bahwa apabila Wajib Pajak (Pengusaha Kena Pajak)
mempunyai Pajak Masukan (Pajak yang dibayar kepada pihak lain) maka atas Pajak
Masukan tersebut dapat dikreditkan terhadap Pajak Keluarannya (Pajak yang dipungut
dari pihak lain)
13. Hak meminta keterangan mengenai koreksi dalam penerbitan ketetapan pajak
Pasal 25 ayat (6) UU KUP memberikan hak kepada Wajib Pajak agar Direktur Jenderal
Pajak memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan
pajak, penghitungan pajak, pemotongan atau pemungutan pajak. Hal ini terkait dengan
proses pengajuan upaya hukum keberatan yang akan disampaikan Wajib Pajak
14. Hak memberikan alasan tambahan.
Pasal 26 ayat (2) UU KUP menegaskan bahwa sebelum surat keputusan atas keberatan
diterbitkan, maka Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan
tertulis.
15. Hak mengajukan gugatan.
Pasal 23 ayat (2) UU KUP menegaskan adanya hak Wajib Pajak untuk mengajukan
gugatan atas:
a. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau
pengumuman lelang;
b. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang
ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26;
c. Keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 yang berkaitan
dengan Surat Tagihan Pajak;
d. Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang berkaitan dengan Surat
Tagihan Pajak.
16. Hak untuk menunda penagihan pajak
Hak ini berkaitan dengan proses banding yang sedang dilakukan Wajib Pajak.
Ditegaskan oleh Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan Pajak bahwa penggugat dapat
mengajukan pemohonan agar tindak lanjut penagihan pajak diundur selama
pemeriksaan berjalan, sampai ada putusan pengadilan pajak.
17. Hak untuk memperoleh imbalan bunga
Hak ini didasarkan pada Pasal 27A UU KUP bahwa apabila pengajuan keberatan atau
banding diterima seluruhnya atau sebagian, sepanjang utang pajak dalam SKPKB atau
SKPKBT telah dibayar yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, maka kelebihan
pembayaran pajak tersebut dikembalikan dengan bunga sebesar 2% sebulan untuk
paling lama 24 bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak sampai diterbitkannya keputusan keberatan atau putusan banding.
18. Hak mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung
Hak ini timbul berdasarkan ketentuan Pasal 91 UU PP yang hanya bisa dilakukan
berdasarkan alasan-alasan tertentu yang disebutkan dalam UU. Misalnya, adanya bukti
tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahp
persidangan, akan menghasilkan putusan yang berbeda.

b. Kewajiban Wajib Pajak


Kewajiban Wajib Pajak yang diatur dalam UU Perpajakan adalah:
1. Kewajiban untuk mendaftarkan diri
Pasal 2 UU KUP menegaskan bahwa setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada
Dirjen Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib
Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Khusus terhadap
Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN, wajib melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan kepadanya diberikan
Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (NPPKP)
2. Kewajiban mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)
Pasal 3 ayat (1) UU KUP menegaskan bahwa setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat
Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab,
satuan mata uang rupiah dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor pajak
tempat Wajib Pajka terdaftar.
3. Kewajiban membayar atau menyetor pajak
Kewajiban membayar atau menyetor pajak dilakukan di Kas Negara melalui Kantor Pos
atau Bank BUMN / BUMD atau tempat pembayaran lain yang ditetapkan Menteri
Keuangan (Pasal 10 ayat (1) UU KUP)
4. Kewajiban membuat pembukuan atau pencatatan
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
dan Wajib Pajak Badan di Indonesia diwajibkan membuat pembukuan (pasal 28 ayat 1).
Sedangkan pencatatan dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang diperbolehkan menghitung penghasilan neto
dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak Orang
Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
5. Kewajiban mentaati pemeriksaan pajak
Terhadap wajib pajak yang diperiksa harus mentaati ketentuan dalam rangka
pemeriksaan pajak sesuai dengan Pasal 29 ayat (3) UU KUP
6. Kewajiban melakukan pemotongan atau pemungutan pajak.
Kewajiban melakukan pemotongan atau pemungutan pajak ini dilakukan oleh Wajib
Pajak terhadap pihak lain dalam rangka melaksanakan perintah UU pajak itu sendiri,
seperti Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 26 UU PPh , dan ketentuan dalam UU PPN.
7. Kewajiban membuat Faktur Pajak
Setiap Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak (Pasal 13 UU PPN). Faktur Pajak yang dibuat
merupakan bukti adanya pungutan pajak yang dilakukan oleh PKP.
8. Kewajiban melunasi Bea Materai.
Dalam UU Bea Materai No. 13 Tahun 1985 disebutkan bahwa Bea Materai merupakan
pajak yang dikenakan terhadap dokumen, maka terhadap dokumen-dokumen tersebut
wajib dilunasi Bea Materainya.

2. Hak dan Kewajiban Fiskus


a. Hak Fiskus
1. Hak menerbitkan NPWP atau NPPKP secara jabatan.
Hak ini dilakukan karena Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan
kewajibannya untuk mendaftarkan diri dan/atau melaporkan usahanya ke kantor pajak,
sesuai Pasal 2 ayat (4) UU KUP.
2. Hak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Fiskus berhak menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak NIhil (SKPN). Pengertian
menerbitkan surat ketetapan pajak sekaligus juga dalam arti membetulkannya secara
jabatan, sesuai Pasal 16 ayat (1) UU KUP.
3. Hak menerbitkan Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
Dalam hal Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak sebagaimana ditentukan dalam
SKPKB setelah jatuh tempo pembayaran, maka fiskus mempunyai hak untuk
menerbitkan Surat Paksa agar Wajib Pajak dalam waktu 2 x 24 jam harus melunasi
utang pajaknya. Apabila dalam jangka waktu tersebut Wajib Pajak tetap tidak
melunasinya, maka fiskus dapat menindaklanjutinya dengan menerbitkan Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan
4. Hak melakukan pemeriksaan dan penyegelan.
Hak fiskus untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan diatur dalam Pasal 29 UU KUP. Sementara itu, terhadap
penyegelan dilakukan fiskus terhadap tempat atau ruangan tertentu apabila Wajib Pajak
tidak memenuhi kewajibannya, yaitu tidak memberikan kesempatan kepada pemeriksa
pajak untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu guna kelancaran
pemeriksaan.
5. Hak menghapuskan atau mengurangi sanksi administrasi.
Dalam praktik penerbitan SKP, tentu dapat terjadi ketidaktelitian petugas pajak yang
dapat membebeni Wajib Pajak yang tidak bersalah. Dalam hal yang demikian, maka
sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terdapat dalam ketetapan
pajak tersebut dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak
6. Hak melakukan penyidikan.
Penyidikan terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) tertentu dilingkungan Dirjen Pajak yang diberi wewenang khusus untuk
melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana diatur dalam
Pasal 44 UU KUP.
7. Hak melakukan pencegahan
Hak ini didasarkan pada Pasal 29 UU tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU
PPSP). Pencegahan dilakukan apabila Wajib Pajak mempunyai utang sekurang-
kurangnya Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah) dan diragukan iktikad baiknya dalam
melunasi utang pajak.
8. Hak melakukan penyanderaan.
Hak ini didasarkan pada ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU PPSP, yaitu apabila masih
mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah) dan
diragukan iktikad baiknya dalam melunasi utang pajak.

b. Kewajiban Fiskus
1. Kewajiban untuk membina Wajib Pajak
Suksesnya penerimaan pajak antara lain juga ditentukan melalui pembinaan yang
dilakukan oleh fiskus. Pembinaan dapat dilakukan dengan berbagai upaya antara lain
pemberian pemberian penyuluhan ketentuan perpajakan terbaru, pemberian
pengetahuan perpajakan, baik melalui media massa meaupun penerangan langsung
kepada masyarakat.
2. Kewajiban menerbitkan SKPLB
Berdasarkan permohonan Wajib Pajak atas adanya kelebihan pembayaran pajak dan
fiskus telah melakukan pemeriksaan atas permohonan tersebut, fiskus berkewajiban
menerbitkan SKPLB paling lambat 12 bulan sejak surat permohonan diterima (Pasal 17B
UU KUP). Sedangkan untuk Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, akan diterbitkan Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lambat 3 bulan sejak
permohonan diterima untuk PPh dan paling lambat 1 bulan untuk PPN (Pasal 17C UU
KUP)
3. Kewajiban merahasiakan data Wajib Pajak
Setiap petugas pajak dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak kepada pihak
lain atas segala sesuatu yang menyangkut masalah perpajakan sebagaimana diatur
dalam Pasal 34 UU KUP.
4. Kewajiban melaksanakan Putusan
Sesuai Pasal 88 ayat (2) UU Pengadilan Pajak, Putusan Pengadilan Pajak harus
dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal diterima putusan.

3. Penghindaran Pajak
Apabila Wajib Pajak melakukan penghindaran pajak dengan cara melanggar ketentuan
undang-undang perpajakan yang akibatnya merugikan penerimaan Negara, maka Wajib Pajak
dikatakan telah melakukan penyelundupan atau pelanggaran pajak (tax evasion) yang tentu saja
tidak diperbolehkan. Tetapi, apabila Wajib Pajak melakukan penghindaran pajak dengan menuruti
aturan yang berlaku, maka penghindaran dengan cara demikian disebut dengan pengelakan
pajak (tax avoidance) yang sifatnya legal.
Perbedaan kedua cara penghindaran pajak di atas diilustrasikan oleh Bapak Drs. Sophar
Lumbantoruan, MPA., dalam bukunya Akuntansi Pajak, dengan contoh sebagai berikut, apabila
ada seseorang yang hendak pergi ke Bogor melalui jalan tol, harus membayar uang tol. Jika ia
pergi melalui jalan tol namun tidak membayar uang tol, maka tindakannya digolongkan sebagai
pelanggaran pajak (tax evasion). Tetapi, apabila ia pergi ke Bogor melalui jalan alternative yant
tidak perlu membayar uang tol, maka tindakannya digolongkan sebagai pengelakan pajak (tax
avoidance)

4. Rahasia Jabatan
Pasal 34 UU KUP menegaskan bahwa setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada
pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam
rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Namun demikian kerahasiaan untuk tidak mengungkapkan rahasia Wajib Pajak
tersebut dikecualikan terhadap pejabat atau tenaga ahli yang akan bertindak sebagai saksi atau
saksi ahli dalam sidang pengadilan dan pejabat atau tenaga ahli yang memberikan keterangan.
Untuk kepentingan pemeriksaan dalam sidang Pengadilan baik dalam perkara pidana
maupun perdata, maka atas permintaan tertulis dari Hakim, Menteri Keuangan dapat memberi
izin tertulis meminta pejabat untuk memberikan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang
ada pada pejabat tersebut. Permintaan Hakim harus menyebutkan nama tersangka atau nama
tergugat, keterangan-keterangan yang diminta serta kaitan antara perkara pidana atau perdata
yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta. Pembatasan ini perlu ditegaskan agar
keterangan perpajakan yang diminta adalah hanya mengenai perkara pidana atau perdata
tentang perbuatan atau peristiwa yang menyangkut bidang perpajakan dan hanya terbatas pada
tersangka yang bersangkutan saja.

5. Kuasa / Wakil Wajib Pajak


Untuk menentukan siapa yang dapat mewakili Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya, telah diatur dalam Pasal 32 ayat (1) UU KUP yaitu sebagai berikut:
a. Dalam hal badan oleh Pengurus;
b. Dalam hal badan dalam pembubaran atau pailit oleh orang atau badan yang dibebani untuk
melakukan pemberesan;
c. Dalam hal warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiat,
atau yang mengurus harta peninggalannya;
d. Dalam hal anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali
atau pengampunya.

Pengertian pengurus yang mewakili badan termasuk juga orang yang nyata-nyata mempunyai
wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka
menjalankan kegiatan perusahaan. Penjelasan Pasal 32 ayat (4) bahkan menegaskan bahwa
pengertian pengurus ini berlaku pula bagi Komisaris dan pemegang saham mayoritas atau
pengendali.

DAFTAR PUSTAKA
B. Ilyas, Wirawan, dan Burton, Richard. 2001. Hukum Pajak. Edisi Pertama. Jakarta : Salemba Empat.
B. Ilyas, Wirawan, dan Burton, Richard. 2010. Hukum Pajak. Edisi Kelima. Jakarta : Salemba Empat.

Anda mungkin juga menyukai