Anda di halaman 1dari 29

Bagian Ilmu Kesehatan THT REFERAT

Fakultas Kedokteran Oktober 2016


Universitas Halu Oleo

NASAL MYIASIS

OLEH:

FAUZYAH NOVRINI KASMAN ARIFIN K1A1 10 055


GUSTAVITA MARIA BANDONG K1A1 11 034

PEMBIMBING:

dr. IED RAKHMA, Sp.THT, M.Kes.

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN THTFAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2016

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Judul :Nasal Myiasis

Nama :Fauzyah Novrini Kasman (K1A1 10 055)

Gustavita Maria Bandong (K1A1 11 034)

Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran

Telah menyelesaikan pembacaan laporan kasus dalam rangka Kepaniteraan Klinik

Bagian THT Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo pada tanggal xx Oktober

2016.

Menyetujui,

Pembimbing

dr. Ied Rakhma, Sp.THT,M.Kes.

2
NASAL MYIASIS
Fauzyah Novrini Kasman, Gustavita Maria Bandong, Ied Rakhma.

I. Pendahuluan
Myiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infestasi larva lalat pada

manusia atau hewan vertebrata dan memakan jaringan mati atau hidup serta

cairan tubuh atau makanan yang ditelan oleh hospesnya. 1,2 Myiasis ini banyak

ditemukan pada negara-negara tropis dan subtropis seperti Afrika dan Amerika.

Diantara lalat penyebab myiasis di dunia, lalat Chrysomya bezziana

mempunyai nilai medis yang penting karena larvanya bersifat obligat

parasit.2,3Infestasi myiasis pada jaringan akan mengakibatkan berbagai gejala

tergantung pada lokasi yang dikenai. Larva yang menyebabkan myiasis dapat

hidup sebagai parasit di kulit, jaringan subkutan, soft tissue, mulut, traktus

gastrointestinal, sistem urogenital, hidung, telinga dan mata. Higiene yang

buruk dan bekerja pada daerah yang terkontaminasi, melatarbelakangi infestasi

parasit ini.4,5
Myiasis pada hidung adalah infestasi pada rongga hidung oleh lalat yang

bertelur baik secara langsung dalam rongga hidung ataudi sekitarnya pada

manusia saat sedang tidur.Penyakit ini sering ditemukan pada negara-negara

dengan masyarakat golongan sosial ekonomi rendah.Manifestasi klinik

termasuk pruritus, nyeri, adanya tanda-tanda inflamasi, demam, dan infeksi

sekunder.Penyakit ini jarang menyebabkan kematian.Myiasis hidung

merupakan kasus yang jarang ditemukan. 2,4

II. Definisi

3
Kata Myiasis berasal dari bahasa Yunani, yaitu myia yang berarti lalat.

Arti myiasis secara luas adalah infestasi larva diptera (lalat)pada jaringan

hidup manusia atau hewan vertebrata lainnya dalam periode tertentu, dengan

memakan jaringan inangnya termasuk cairan tubuh. Larva-larva myiasis juga

mampu memakan bahan-bahan yang telah tercerna pada kasus myiasis

saluran pencernaan. Masyarakat Indonesia lebih mengenal penyakit ini

dengan nama belatungan, sedangkan penduduk India menyebutnya sebagai

peenash atau scholichiasis. 6


III. Epidemiologi
Prevalensi myiasis tergantung pada geografis dan siklus hidup dari

berbagai spesies lalat.7Myiasis pada hidung endemik terutama di negara

Afrika dan Amerika di daerah tropis maupun subtropik dengan faktor

predisposisi seperti sosial ekonomi rendah, higienitas buruk, daya imunitas

yang rendah, rhinitis atopik, penyakit keganasan dan penyakit sinonasal.


8,9
Lalat lebih suka lingkungan yang hangat dan lembab terutama pada musim

panas pada daerah beriklim, sementara di daerah tropis lalat bisa hidup

sepanjang tahun.Di Indonesia; Sulawesi, Sumba Timur, Pulau Lombok,

Sumbawa, Papua dan Jawa telah dilaporkan sebagai daerah endemik.Myiasis

tidak lazim pada ras tertentu. Tidak ada predileksi jenis kelamin untuk

myiasis, dan dapat terjadi pada semua umur. Sebagian besar pasien adalah

berusia di atas 60 tahun. 5,6

IV. Anatomi dan Fisiologi Hidung


A. Anatomi Hidung

Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks.Agak keatas dan belakang

dari apeks disebut dorsum nasi, yang berlanjut sampai kepangkal hidung dan

4
menyatu dengan dahi yang disebut kolumela membranosa mulai dari apeks,

yaitu di posterior bagian tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari

kartilago septum.Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai

dasar hidung.Disini bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal

memanjang dari atas kebawah yang disebut filtrum.Sebelah menyebelah

kolumela adalah nares anterior atau nostril (lubang hidung) kanan dan kiri,

sebelah latero-superior dibatasi oleh ala nasi dan sebelah inferior oleh dasar

hidung.10

Gambar 1.Hidung tampak dari anterolateral dan inferior


( dikutip dari kepustakaan 11)

Hidung luar berbentuk piramid dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang

rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang

berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.Kerangka

tulang terdiri dari os nasal, prosesus frontalis os maksilla dan prosesus nasalis

os frontal; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang

tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago

5
nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang

disebut juga sebagai kartilago alar mayor dan tepi anterior kartilago septum.10

Gambar 2. Dinding medial kavum nasi (septum nasi)


( dikutip dari kepustakaan 11)

Rongga hidung atau kavum nasi adalah rongga yang dimulai pada

nostralis (apertura nasalis anterior = nares anterior) dan berakhir pada nares

posterior (koana). Terbagi dua oleh septum nasi yang terletak pada linea

mediana. Septum nasi merupakan dinding medial dari kavum nasi yang

dibentuk oleh vomer di bagian postero-inferior, lamina perpendicularis ossis

etmoidalis di bagian postero-superior dan kartilago septalis yang berada di

bagian anteroir di antara kedua tulang yang tersebut tadi. Septum nasi dapat

terdorong ke salah satu sisi, dinamakan deviasi septum nasi.12

6
Gambar 3. Dinding lateral kavum nasi
( dikutip dari kepustakaan 11)

Dinding lateral dari kavum nasi memiliki permukaan yang tidak rata dan

dibentuk oleh bagian inferior dari lamina kribriformis, yaitu merupakan

bagian sentral dari atap kavum nasi, dan dari sini melanjutkan diri ke arah

kaudoanterior sampai pada vestibulum nasi dan ke arah kaudoposterior

sampai pada nasofaring. Dibentuk oleh prosesus frontalis ossis maksilla dan

os nasal di bagian paling anterior, fasies medialis ossis maksilla dan lamina

perpendikularis ossis palatini yang berada di bagian dorso-kaudal. 12

Hiatus maksilla terdapat pada dinding ini, dan di sebelah kranialisnya

dinding lateral kavum nasi berhubungan dengan dinding medial kavum orbita

7
yan dibentuk oleh labirintus etmoidalis dan sebagian dari os lakrimal. Pada

dinding ini terdapat 3 buah penonjolan yang disebut konkanasalis.

Konkanasalis superior et media adalah bagian dari os etmoidal sedangkan

konkanasalis inferior adalah suatu tulang sendiri. Sepertiga bagian kranialis

membrana mukosa pada dinding medial dan dinding lateral diperlengkapi

oleh membrana mukosa olfaktoria, yang berwarna kekuning-kuningan. 10, 12

Sebelah kaudalkonka nasalis superior terdapat meatus nasi superior, di

sebelah kaudalkonka nasalis media terdapat meatus nasalis medius dan

meatus nasi inferior berada di sebelah kaudalis konka nasalis inferior. Di

sebalah kranialiskonka nasalis superior terdapat resesus sfenoetmiodalis ke

dalam mana bermuara sinus sfenoidalis. Sellulaetmoidalis posterior bermuara

ke dalam meatus nasi superior dan duktus nasolakrimalis bermuara pada

meatus nasi inferior. Sinus paranasalis lainnya bermuara ke dalam meatus

nasi medius. 10, 12

Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian

lateral rongga udara hidung; jumlah, bentuk, ukuran, dan simetri bervariasi.

Sinus-sinus ini membentuk di dalam beberapa tulang wajah dan diberi nama

yang sesuai; sinus maksilaris, sfenoidalis, frontalis, dan etmoidalis, yang

terakhir biasanya berupa kelompok-kelompok sel etmoidalis anterior dan

posterior yang saling berhubungan, masing-masing kelompok bermuara ke

dalam hidung. Seluruh sinus dilapisi oleh sel epitel saluran pernapasan yang

mengalami modifikasi, dan mampu menghasilkan mukus dan bersilia, sekret

8
disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat sinus terutama berisi

udara. 14

Vaskularisasi hidung

Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoid

anterior dan posterior yang merupakan cabang dari dari a.oftalmika dari

a.karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat suplai darah dari

cabang a.maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a.palatina mayor dan

a.sfenoalatina yang keluar dari foramen sphenopalatina bersama

n.sphenoalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior

konka media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang

a.fasialis. 12

Septum nasi mendapat suplai darah dari:

a. Ramus sfenopalatina yang dipercabangkan oleh a.maksilaris

b. Ramus etmoidalis posterior yang dipercabangkan oleh a.oftalmika

c. Ramus labialis superior yang dipercabangkan oleh a.fasialis.

d. Ramus ascendens dari a.palatina mayor.

9
Gambar 4.Suplai darah kavum nasi (dinding lateral dan septum nasi)
( dikutip dari kepustakaan 11 )
Keempat arteri tersebut di atas membentuk anastomosis (pleksus

Kiesselbach), dan terletak di bagian anterior septum nasi, di dalam

vestibulum nasi dekat pada atrium dan di dekat meatus nasi medius. Pada

tempat ini sering terjadi epistaksis.12

Pembuluh-pembuluh vena membentuk jaringan kavernosa, terutama pada

konka nasalis inferior dan konka nasalis media, yang berfungsi untuk

menghangatkan serta membuat untuk menghangatkan serta membuat udara

inspirasi menjadi lembab. Pembuluh darah vena berjalan mengikuti

arterinya.12

10
Dinding lateral kavum nasi dapat terbagi dalam 4 kuadran, yaitu: 12

a. Kuadran antero-superior yang mendapat suplai darah dari ramus

etmoidalis anterior (merupakan cabang arteri oftalmika)

b. Kuadran antero-inferior mendapat suplai darah dari a.infraorbitalis;

kuadran ini mendapat juga aliran darah dari r.labialis superior

(cabang a.fasialis) dan r.palatina mayor (cabang dari a.maksilaris)

c. Kuadran posterosuperior mendapat suplai darah dari ramus nasalis

posterior lateralis (cabang dari a.maksilaris)

d. Kuadran posteroinferior yang dilayani oleh cabang-cabang dari

a.palatina mayor dan a.sfenopalatina (cabang a.maksilaris)

Aliran darah vena dari bagian anterior dibawa menuju ke vena fasialis

dan dari bagian posterior dibawa menuju ke pleksus venosus pterigoideus dan

pleksus venosus faringeus. 12

Innervasi hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari

nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris,

yang berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama

berasal dari cabang oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus.10

Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga

memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa

hidung.Ganglion ini menerima serabut serabut sensoris dari nervus

maksila.Serabut parasimpatis dari nervus petrosus profunda.Ganglion

11
sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konka

media.12

Gambar 5. Innervasi hidung (dikutip dari kepustakaan11)

Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Nervus olfaktorius turun

melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan

kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di

daerah sepertiga atas hidung.10

Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional,

fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasalis adalah:10,13

12
a. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),

penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam petukaran

tekanan dan mekanisme imunologik lokal;

b. Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan revoir

udara untuk menampung stimulus penghidu;

c. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses

bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang;

d. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi

terhadap trauma dan pelindung panas;

e. Refleks nasal: iritasi mukosa hidup akan menyebabkan refleks bersin

dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi

air liur, lambung dan pankreas.

V. Etiologi
Myiasis adalah infestasi larva lalat pada jaringan tubuh manusia atau

hewan yang masih hidup, disebabkan oleh larva lalat fakultatif dan atau

obligat.6,14Berdasarkan sifat dan kebiasaannya, maka larva lalat dibedakan

menjadi: 1,15
1. Obligat parasit yaitu larva yang hanya bisa berada pada jaringan

hidup dan membutuhkan jaringan inang sebagai makanan dalam

perkembangbiakannya, terdiri dari: Botflies, misalnya, larva dari

genus Gasterophilus, Oestrus. Warbleflies misalnya, Larva dari

Hipoderma bovis dan H. lineatum.Screwworm misalnya, Larva dari

Callitroga hominivorax, C. macellaria dan Chrysomyia bezziana

13
merupakan lalat yang paling umum bertanggung jawab menyebabkan

myiasis hidung.
2. Fakultatif parasit yaitu larva secara normal hidup bebas dan mampu

berkembang pada bahan bahan organik yang busuk (jaringan mati),

tetapi larva tersebut dapat dijumpai pada jaringan hidup jika lalat

betina meletakkan telurnya pada inang hidup, dimana mampu

berkembang dan selanjutnya dapat bertindak sebagai parasit untuk

kelangsungan hidupnya. Terdiri dari Blowflies, misalnya: Larva dari

Lucilia, Phormia, Calliphora dan Chrysomyia.

Terdapat setidaknya 20 spesies lalat obligat myiasis, lebih dari 50 spesies

yang bertanggungjawab menyebabkan fakultatif myiasis, dan selanjutnya 35

spesies yang dilaporkan sebagai myiasis accidental. Dua spesies lalat obligat

myiasis yang penting adalah lalat Old World screw-worm (Chrrysomya

bezziana) dan lalat New World screw-worm (Cochliomyia hominivorax). 15

Identifikasi spesies lalat yang terlibat dalam menyebabkan myiasis telah

mengkonfirmasi bahwa spesies yang terlibat di sebagian besar kasus myiasis

kulit yang tercatat di Afrika, Arab, India dan Asia Tenggara adalah C.

bezziana. Kejadian Myiasis di Indonesia teridentifikasi disebabkan oleh larva

lalat: Chrysomia benziana, Booponus intonsus, Lucillia, Calliphora, Musca

dan Sarcophaga. Genus Chrysomia yang memegang peranan penting dalam

kasus myiasis yaitu Chrysomia megacephala dan Chrysomia

bezziana.Beberapa kasus myiasis yang terjadi pada manusia dan hewan di

Indonesia disebabkan oleh infestasi larva C. bezziana atau bercampur dengan

14
Sarcophaga sp. Sulawesi, Sumba Timur, Pulau Lombok,Sumbawa, Papua dan

Jawa telah dilaporkan sebagai daerah endemik myiasis.6,15

Lalat dewasa C. bezziana berwarna metalik hijau atau biru. Wajah lalat

ini biasanya berwarna kuning dengan lembut bulu-bulu kuning halus, Panjang

lalat dewasa berkisar antara 8 dan 12 mm. Tidak ada tanda-tanda

makroskopik yang khas untuk dapat mengenalinya dengan kasat mata

sehingga identifikasi hanya dapat dilakukan melalui pemeriksaan

mikroskopik.6,15

Gambar 6. Morfologi tubuh lalat Chrysomyia bezzianadewasa


(dikutip dari kepustakaan6)

Telur C.bezziana berwarna putih transparan dengan panjang 1,25 mm

dan berdiameter 0,26 mm, berbentuk silindris serta tumpul pada kedua

ujungnya. Larva C. bezziana terbagi menjadi tiga instar, yaitu L1, L2, dan L3.

Larva ini mempunyai 12 segmen, yaitu satu segmen kepala, tiga segmen

torak, dan delapan segmen abdominal. Ketiga instar tersebut dapat di bedakan

dari panjang tubuh dan warnanya. Panjang L1 adalah 1,6 mm dengan

diameter 0,25 mm dan berwarna putih, sedangkan L2 mempunyai panjang

3,5-5,5 mm dengan diameter 0,5-0,75 mm dan berwarna putih samapi krem.

15
Adapun panjang L3 mencapai 6,1-15,7 mm dengan diameter 1,1-3,6 mm. L3

muda berwarna krem namun jika telah dewasa berwarna merah muda.6

Larva mempunyai kait-kait dibagian mulutnya berwarna coklat tua atau

coklat orange.Larva menyerupai cacing yang mempunyai 11 segmen dengan

kait-kait anterior berlokasi pada segmen kedua dan kait-kait posterior

berlokasi pada segmen terakhir.Larva juga memiliki tanduk yang dapat

mengelilingi setiap segmen tubuhnya. Kait-kait anterior memiliki 4-6 bibir.6,15

Gambar 7. Morfologi dari larva chrysomyia bezziana


( dikutip dari kepustakaan 15)

Siklus hidup C.bezziana berkisar 9-15 hari dan lalat betina bertelur 150-

200 telur sekaligus.Telur diletakkan di luka dan selaput lendir dari mamalia

hidup dan akan menetas setelah 24 jam pada suhu 30C. Setelah 12-18 jam,

larva stadium I muncul dari dalam telur dan bergerak dipermukaan luka atau

16
pada jaringan yang basah. Larva ini berubah menjadi larva stadium II setelah

30 jam dan larva stadium III setelah 4 hari. Larva stadium I berwarna putih

dan memiliki ukuran panjang 1,5 mm, larva stadium II berukuran 4-9 mm dan

larva stadium III berukuran 18 mm. Larva stadium II dan III menembus

jaringan hidup dari host dan hidup dari jaringannya. Pada saat makan hanya

kait-kait posterior yang tampak.Larva stadium III meninggalkan luka setelah

makan dan berubah menjadi pupa dan kemudian lalat dewasa.Tahap pupa

sangat tergantung dengan faktor suhu, cuaca yang hangat akan

menguntungkan pertumbuhan. Tergantung pada suhu, tahap pupa dapat

berlangsung dari 1 minggu sampai 2 bulan. Lalat jantan menjadi seksual

dewasa setelah 24 jam meninggalkan puparium mereka, sementara lalat

betina memakan waktu sekitar 6-7 hari untuk menjadi sepenuhnya lalat

seksual dewasa. Jika cuaca tropis (29C atau 84,2F), seluruh siklus hidup

akan berlangsung sekitar 24 hari, namun, pada suhu dingin (di bawah 22C

atau 71,6F), siklus hidup dapat berlangsung selama 2-3 bulan.6,14, 15

17
Gambar 8. Siklus hidup lalat Chrysomyia bezziana
(dikutip dari kepustakaan 6 & 15)

VI. Patogenesis
Pada usia tua biasanya telah terjadi kurangnya derajat penciuman yang

dapat memfasilitasi lalat untuk bertelur pada hidung. Faktor predisposisinya

adalah rhinitis atrofi dan keganasan. Myiasis pada hidung lebih sering terjadi

pada orang yang menderita rhinitis atrofi, yaitu penyakit hidung kronis

dengan etiologi tidak diketahui, ditandai dengan atrofi mukosa hidung dan

tulang yang progresif dan adanya sekret kental yang cepat mengering dan

membentuk krusta memberikan karakteristik bau busuk yang disebut ozaena.

Pada rhinitis atrofi,sensasi sensorik berkurang sehingga pasien dapat tidak

menyadari lalat hinggap pada krusta atau cairan hidung.2,16,17


Lalat betina tertarik pada lesi bernanah atau cairan yang berbau, dan

meletakkan telurnya kurang lebih 200 butir, yang kemudian dalam waktu 24

jam menetas menjadi larva. Lalat dewasa tidak dapat bertelur dalam dua

lubang hidung, namun, migrasi larva dalam lubang hidung lain melalui koana

dapat terjadi.Telur ini dapat pula berpindah ke tempat lainnya pada tubuh

manusia dengan jari pasien sendiri terlebih lagi dengan higienitas yang buruk

ataupun hilang dengan bersin atau saat menggaruk. 16,17Setelah telur lalat

menetas, larva akan masuk lebih dalam dengan kait tajam pada mulut dan

duri halus intersegmental yang akan mengikis jaringan dan melukai pembuluh

darah sekitar serta membuat terowongan di dalam jaringan sehingga akan

18
memperparah kerusakan jaringan. Larva menghasilkan toksin yang dapat

merusak jaringan hostnya. Sekresi enzim proteolitik oleh bakteri di sekitarnya

akan menguraikan jaringan menjadi jaringan nekrotik termasuk allantoin,

amonia, dan kalsium karbonat yang kemudian akan dimakan oleh larva.

Interaksi dari enzim dan toksin bakteri-larva dapat pula menyebabkan erosi

pada tulang. Efektivitas dari aktivitas larva tampak dari hasil stimulasi

jaringan granulasi oleh aktivitas fisik larva yang selalu bergerak untuk

mendapatkan makanan dari jaringan nekrotik. Terdapat peningkatan eksudat

serosa, yang juga didorong oleh efek iritan dari aktivitas larva. Nekrosis

jaringan terus berlangsung diikuti dengan invasi dan pertumbuhan larva

hingga membentuk lesi berbentuk gua yang besar. Dapat timbul tanda klinis 2

hari setelah infestasi seperti pendarahandari lesi, jaringan sekitarnya menjadi

tegang , edema dan bau busuk yang menyengat. 16,17


VII. Gejala Klinis
Myiasis diklasifikasikan menurut lokasi infestasi: traumatik (luka), mata,

hidung dan rongga tubuh tertentu, anal dan vaginal, enteric,dan sebagainya.

Beberapa spesies lalat menghasilkanmyiasis subdermal ketika akses melalui

kulit tak terputus seperti lalat Bot (Gasterophilusdan Cuterebra spp.)dan

lalatWarble(Hypoderma spp.).15

19
Gambar 9. A.Foto pasien, B. Tampak benda bergerak-gerak
di kavum nasi dekstra.(dikutip dari kepustakaan 8)
Pada myiasis hidung, gejalanya mirip sinusitis akut, yaitu sekret

mukopurulen unilateral yang banyak, biasanya dengan bau yang menusuk;

stenosis hidung, biasanya total pada sisi yang terkena; sakit atau nyeri kepala

dalam beberapa bentuk; dan seringkali perdarahan atau sekret mukopurulen

yang mengandung darah. Larvanya melekat erat pada jaringan. Pada kasus

yang lebih berat dapat terjadi banyak dekstruksi jaringan disertai

pembengkakan dinding. Sebagian mukosa yang melapisi hidung dan sinus

dapat rusak, sehingga tulang dan kartilago menjadi terpapar. Ronggga kranial

dapat diinvasi meskipun jarang, menyebabkan meningitis yang fatal. 9

Gambar 10. A. foto pasien, B. Tampak krusta kuning kecoklatan,

20
dasar hidung hiperemis, dan tampak kumpulan larva. (dikutip dari
kepustakaan 8)

Gejala myiasis yang paling sering ditemukan yaitu keluarnya sekret

bercampur darah atau sekret mukopurulen dari lubang hidung, nyeri pada

hidung, obstruksi pada hidung, nyeri pada wajah, nyeri kepala dan hidung

berbau. Menurut literatur yang dikemukakan oleh Dharmawan dan

Francesconi dkk menyebutkan bahwa pada stadium lanjut, epitaksis aktif dan

sensasi benda asing akibat pergerakan larva umumnya dijumpai. Larva

berpenetrasi ke dalam jaringan dengan menggunakan kait dari kitin pada

rahang yang tajam dan ruas intersegmental yang menyerupai jangkar

sehingga dapat mengikis jaringan dan mencederai pembuluh darah kecil

sehingga terjadi epistaksis. Selain itu, anamnesis lainnya yang perlu digali

yakni adanya riwayat kemasukan serangga. 5, 6, 8

VIII. DIAGNOSIS
A. Anamnesis
Tanda-tanda myiasis hidung biasanya berkaitan dengan keberadaan

dan pergerakan larva, yang meliputi sensasi adanya benda asing, dengan

atau tanpa sensasi gerakan, hidung dan wajah menjadi edema dan eritem

yang dapat meluas ke dahi dan bibir, adanya noda darah atau cairan

hidung mukopurulen, berbau busuk, dan anosmia.Terjadi obstruksi

hidung sehingga bernapas melalui mulut dan suara sengau. Dapat

menjadi epistaksis dan mungkin ada ulat yang keluar dari hidung.Jika

belatung jatuh ke dalam tenggorokan dapat bermanifestasi sebagai

batuk, laringospasme, dispnea, dan stridor.2,10,16,17


B. Pemeriksaan Fisis
Rhinoskopi Anterior

21
Pemeriksaan rhinoskopi tampak edema, ulserasi membran mukosa

yang berisi material nekrotik dan belatung. Dapat pula tampak perforasi

septum, palatal, ataupun keduanya pada pasien.Sekret mukopurulen

berbau busuk.Pada kasus yang lanjut dapat menyebabkan sumbatan

duktus nasolakrimalis.Ulat dapat merayap ke dalam sinus atau

menembus ke intrakranial.Pemeriksaan rhinoskopimungkin tidak hanya

mengkonfirmasi diagnosistetapi juga dapat digunakan untuk mengobati

pasien, membantu dalam mengeluarkan belatung dengan forcep. 6,10,16

Gambar 11. Larva yang menggelinding keluar dari hidung ( dikutip dari
kepustakaan 17)

C. Pemeriksaan penunjang
1. Nasoendoskopi
Dapat memperlihatkan keadaan rongga hidung lebih jelas.Tampak

jaringan nekrotik luas berisi kelompok belatung.Kadang-

kadang,larva tidak dapat terlihat karena sifatnya fotofobik dan

22
cenderungbersembunyi di bagian terdalam dari rongga hidung

hingga ke tuba eustachius.3, 10, 16

Gambar 12. Larva pada kavitas nasal seorang laki-laki 65 tahun


(dikutip dari kepustakaan 18)
2.
CT-Scan
Pada pemeriksaan CT-Scan bergunauntuk

mengevaluasitingkatkerusakantulangdaninvasi jaringan.CT-Scan

kepala potongan aksial dapat terlihat bayangan bulat yang

bersegmen-segmen di dalam sinus paranasal.10,14,17

Gambar 13.CT-Scan: didapatkan lesi dengan komponen nekrosis


di kavum nasi kanan dengan perluasan ke sinus etmoidalis kanan

23
mencapai kantus inferior, disertai destruksi dinding media
anterior maksilaris.(dikutip dari kepustakaan 8 )
IX. Penatalaksanaan

Pengobatan myiasis hidung sebagian besar konservatif yang

bertujuan mengeluarkan parasit dan membatasi kerusakan jaringan.

Untuk mengobati infeksi sekunder yang menyertai myiasis (bakteri),

yaitu dengan pemberian antibiotik spektrum luas atau antibiotik yang

sesuai dengan hasil kultur bakteri yang berasal dari luka myiasis dan

resistensi kuman. Belatung muda lebih sulit untuk dikeluarkan karena

perlekatan yang lebih kuat dibandingkan belatung dewasa. Minyak

terpentin dan parafin cair digunakan dalam semua kasus pada hari

pertama.Terpentin mengiritasi belatung dan kemudian akan keluar dari

sarangnya sementara parafin cair mencegah akses oksigen pada belatung

dan kemudian akan mati lemas akibat kekurangan oksigen yang

dilanjutkan dengan ekstraksi larva secara manual menggunakan forcep.

Larva yang terletak didalam dan tidak dapat dijangkau dapat dikeluarkan

lebih mudah dengan menggunakan nasal endoskopi dengan pembiusan.

Pengobatan lokal dilakukan dengan menggunakan kloroform dan minyak

terpentin (1 : 4).2, 10, 17

Rongga hidung diobati dengan anti ozaena nasal drop dua kali sehari

yang mengandung kloramfenikol 90 mg%, estradioldipropionat 0.64mg

%, vitamin D2 900 IU dan propilenagliserol. Kloramfenikol bertindak

khususnya pada flora bakteri proteodik, estrogen memiliki efek

menstimulasi peningkatan produksi kelenjar dan meningkatkan turgor

24
dari mukosa hidung yang atropi, vitamin D2 terutama aktif pada lokasi

mukosa hidung yang dipengaruhi oleh proses organik. Pasien juga

diberikan campuran 25% glukosadan gliserin sebagai tetes hidung

dandigunakan 2-3 kali sehari.3,17Glukosa berfungsi mencegah

pertumbuhan bakteri proteolitik sementara gliserin membuat mukosa

tetap lembab.Penderita akan bersih dari larva dalam waktu dua hingga

tiga hari dan diijinkan meninggalkan rumah sakit dalam waktu lima

sampai tujuh hari. Bila terjadi komplikasi lebih berat, tindakan

pembedahan harus dilakukan. 17

Gambar 14.Kiri: Setelah penyedotan cairan pada hidung tampak


larva pada kavitasnasal. Kanan: Larva yang telah diekstraksi dari
hidung pasien. Larva terpanjang10 mm
( dikutip dari kepustakaan 2 )
Pengobatan pilihan di literatur lainnya termasuk penggunaan

kloroform, dekstrosa, larutan yodium, larutan garam normal dan minyak

tetes. Menggunakan pengobatan topikal dengan 1%ivermectin dalam

larutan propilen glikol langsung diterapkan ke daerah yang terkena juga

telah dilaporkan. Larutan topikal yang dimasukkan ke hidung selama dua

jam, diikuti dengan pembilasan menggunakan larutan fisiologis. 2

25
Terlepas dari zat apapun yang digunakan, hal yang lebih penting

adalah menghilangkan semua larva secara manual. Penghapusan larva

dengan debridemen lokal dari jaringan mukosa yang terlibat adalah

pengobatan pilihan. Untuk memastikan penghapusan larva secara tuntas,

perlu untuk mengulangi pemeriksaan secara berkala. 2

X. Komplikasi

Gambar 15. Pasien dengan perforasi septal dan palatal


(dikutip dari kepustakaan 19)

Beberapa komplikasi dapat terjadi selama infestasi pada rongga hidung.

Apabila tidak diobati maka larva dapat bergerak ke atas dan masuk ke saluran

air mata, selanjutnya merusak tulang rawan dan tulang septum,

menghancurkan os nasal dan os frontal. Komplikasi ini dapat berupa selulit

pada wajah,ulserasi dinding faring posterior, perforasi septum nasi dengan

gambaran hidung pelana, perforasi palatal, perforasi periorbital dengan edema

ringantanpa adanyadiplopia. Selain itu, larva dapat masuk ke dalamsinus

paranasal bahkan dalam kasus yang ekstrim dapat menyebabkan penetrasi ke

dalam sistem saraf pusat, menembus dasar tengkorak dan menyebabkan

meningitis sampai kematian, dengan tingkat kematian hingga 1,19%. Setelah

belatung telah dikeluarkan, semua pasien disarankan untuk operasi korektif

untuk perforasi palatal, perforasi septum nasi, maupun perforasi periorbital.

Namun sebagian besar pasien tidak setuju untuk dilakukan tindakan.2,3,6,17,19


XI. Prognosis

26
Myiasis adalah penyakit dengan morbiditas minimal dalam sebagian

besar kasus. Prognosis myiasis hidung baikjika perawatan dilakukan dengan

benar. Dua bulan setelah operasi endoskopi, tidak ada tanda-tanda

kekambuhan pada pasien.2, 7


XII. Pencegahan
Pencegahan myiasis hidung memerlukan pengendalikan populasi lalat

dan perlindungan terhadap pasien dengan hambatan fisik. Efisiensi dalam

pembuangan limbah dilengkapi dengan insektisida dapat meminimalkan

populasi lalat. Menutup jendela dan pintu dengan rapat serta meningkatkan

higienitas juga akan mengurangi kontak antara lalat dengan pasien. Metode

Sterile Insect Technique (SIT) yaitu pelepasan lalat jantan yang disterilisasi

dengan teknik radiasi dan pengembangan pemikat lalat (attractan) juga masih

dilakukan dan menunjukkan hasil yang cukup memuaskan.2, 4, 6

DAFTAR PUSTAKA

1. Garcia, Linne Shore. 2007. Diagnostic Medical Parasitology. 5th Edition.


Washington DC: ASM Press. p683-90.

2. Wu CJ, Chang TS, Chu ST. Nasal Myiasis in a Bedridden Patient and
Literature Review. Journal Medical Science.2012; 32(1).p.39-41

27
3. Widyaningsih I, Supriyono B. Miasis. Surabaya; Universitas Wijaya
Kusuma (serial on internet). (cited on October 2016)p.1-5. Available on:
URL:https://www.google.co.id/search?q=3.+Widyaningsih+I%2C+
Supriyono+B.+Miasis.+Surabaya%3B+Universitas+Wijaya+Kusuma.p.1-
5&oq=3.+Widyaningsih+I%2C+Supriyono+B.+Miasis.+Surabaya
%3B+Universitas+Wijaya+Kusuma.p.15&aqs=chrome..69i57.2279j0j8&s
ourceid=chrome & ie=UTF-8

4. Lee YT, Chen TL, Lin YC, Fung CP, Cho WL. Nasocomial nasal myiasis
in an intubated patient. Journal of the Chinese Medical Association. A
Case Report (Serial on internet). 2011 (cited on October 2016); 74.p.369-
71. Available on: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21872818

5. FrancesconiF, Lupi O. Myiasis. Clinical Microbiology Reviews(Serial on


internet). 2012 (cited on October 2016) ;25(1)p.79-98. Available
on:http://cmr.asm.org/content/25/1/79.short

6. Wardhana AH. Chrysomya bezziana; Penyebab myiasis pada hewan dan


manusia : permasalahan dan penanggulangannya.Wartazoa, 2006; 16(3):
p.146-59

7. Blechman AB. Myiasis: Background, pathophysiology, epidemiology


(serial on the internet). 2016 (cited on October 2016) p 4-7 . Available on:
URL: http://emedicine.medscape.com/article/1491170overview#showall

8. Zuleika, Puspa. Penatalaksanaan tiga kasus miasis hidung. Jurnal


Kedokteran dan Kesehatan, Oktober 2015; 2(3): p325-31.

9. Ballenger, John Jacob. 1994. Hidung dan Sinus Paranasalis. Dalam:


Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Jilid satu.
Tangerang: Binarupa Aksara. p118-9.

10. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. 2012.Sumbatan Hidung ;


Rhinorea, Infeksi Hidung, dan Sinus; Myiasis Hidung. Dalam:Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.Edisi
ketujuh. Jakarta; FKUI.2006. p.96-121

11. Netter, Frank H. 2011.Netters Atlas of Human Anatomy. 5th Edition.


Philadelphia: Saunders Elsevier. p39-47.

28
12. Buranda, Theopilus., et al. 2011. Sistem Respirasi. Dalam: Diktat Anatomi
Biomedik I. Tim Anatomi Unhas. Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin. p137-48.

13. Higler PA. 1997. Hidung: anatomi dan fisiologi terapan. Dalam: Adams
GL, Bioes LR, Higler PA; alih bahasa Wijaya C; editor Effendi H. Bioes,
buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC. p173-84.

14. Burgess IF. Myiasis: maggotsinfestasion. NT, April 2003;9(13).p.51-3

15. Spradbery J C.Life cycle. In:A Manual for the Diagnosis of Srew-worm
Fly. Australia ; Commonwealth of Australia. 2002.p.4-8

16. Ranga RK, Yadav SPS, Goyal A, Agrawal A. Endoscopic management of


nasal myiasis: A tenyears experience. Case series. Clinical Rhinology: An
International Journal, January-April 2013;6(1): p.58-60.

17. Sinha V, Shah S, Ninama M, Gupta D, Prajapati B, More Y, et al.Nasal


Myiasis. Journal Rhinol, 2006; 13(2): p. 120-3

18. Baptista, Marco AFB. Baden, Lindsey R., Editor. Nasal Myiasis. Image in
clinical medicine. The New England Journal of Medicine, 2015;
372:12.p17

19. Arora S, et al.Clinical Etiology of Myiasis in ENT: a Retrogade Period-


Interval Study. Brazilian Journal of Otorhinolaryngology.An Original
Article.2009.p.356-61

29

Anda mungkin juga menyukai