Anda di halaman 1dari 6

Nama: Olivia Mutiara Larasati

NIM: 15/ 383452/ PN/ 14283


Kelompok 6

Struktur Pertanian

Struktur dipahami sebagai susunan. Dalam kamus bahas indonesia (1994) struktur
juga berarti susunan, atau cara sesuatu disusun atau dibangun. Sedangkan struktur sosial
diartikan konsep perumusan asas-asas hubungan antar individu dalam kehidupan masyarakat
yang merupakan pedoman bagi tingkah laku individu. Pengertian ini tidak jauh berbeda dalam
sosiologi H.P. Fraichild, 1957 misalnya struktur sosial diartikan sebagai pola yang mapan dari
organisasi internal setiap kelompok sosial. Dalam rumusan ini telah tercakup pengertian
mengenai karakter atau pola dari semua hubungan yang ada antara anggota dalam suatu
kelompok maupun antar kelompok.
Konsep struktur sosial yang menggambarkan pola hubungan antar individu dalam
kelompok ataupun antar kelompok ini untuk menjelaskannya sering dikaitkan dengan konsep-
konsep norma, status, peran, dan lembaga (tercakup pula asosiasi dan organisasi). Dalam setiap
lembaga, setiap anggota pasti memiliki status tertentu. Status ini dikenali oleh nilai tertentu yang
bersumber pada nilai kebudayaan. Dari sudut pandang tertentu kebudayaan adalah lapangan nilai
tertinggi. Hubungan atau interaksi antar anggota semuanya telah diatur dan ditentukan oleh
kompleks oleh norma dan peraturan yang ada.
Sebagai contoh, sering dikemukakan bahwa masyarakat yang tradisinya kuat ternyata
disebabkan oleh keterisolasian mereka secara fisik-geografis. Dengan demikian struktur fisik
atau khususnya dalam tatanan keruangan, sangat mempengaruhi kehidupan sosial. Demikian
pula masih terlihat dikebanyakan desa bahkan desa yang telah maju sekalipun bahwa golongan
laki-laki dan usia tua memiliki status sosial yang lebih tingggi. Ini menandakan bahwa struktur
biologi juga menandakan mempengaruhi tatanan kehidupan sosial masyarakatnya.
Struktur Fisik Desa, berakitan erat dengan lingkungan fisik desa itu dalam berbagai
aspeknya. Secara agak lebih khusus ia berkaitan dengan lingkungan geografis denga segala ciri-
cirinya seperti: iklim, curah hujan, keadaan atau jenis tanah, ketinggian tanah, tingkat
kelembaban udara, topografi dan lainya. Variasi dalam keadaan ciri-ciri ini akan menciptakan
pula perbedaan pada jenis tanaman yang ditanam, sistem pertanian yang diterapkan, dan lebih
lanjut kehidupan dari masing-masing kelompok masyarakatnya. Lingkungan geografis yang
memberikan kemungkinan untuk budidaya tanaman padi akan menciptakan masyarakat petani
sawah yang bebeda dengan lingkungan geografis yang cocok untuk budidaya gandum dengan
petani gandumnya. Tanah-tanah yang kurang subur akan cenderung menciptakan desa-desa kecil
yang terpencar, berjauhan satu sama lain, dengan penduduk yang jarang. Sebaliknya tanah-tanah
yang subur akan cenderung menciptakan desa-desa yang besar, berdekatan satu sama lain, dan
berpenduduk padat.
Pola pemukiman ini merupakan salah satu yang merupakan salah satu aspek yang dapat
menggambarkan dengan jelas keterkaitan antar struktur fisik desa dengan pola kehidupan
internal masyarakatnya, melalui penggambaran ini, sejumlah cirri-ciri pokok kehidupan
masyarakat desa dapat diungkapkan. Dalam bentuknya yang paling umum terdapat dua pola
pemukiaman, yakni (1) pemukiman penduduknya berdekatan satu sama lain dengan lahan
pertanian berada diluar dan terpisah dari lokasi pemukiman, dan (2) yang pemukiman
penduduknya terpencar dan terpisah satu sama lain, dan masing-masing berada didalam atau
ditengah lahan pertanian mereka.
Apabila ada perbedan permukiman petani di Indonesia, perbedaan itu lebih berkaitan
dengan tingkat kesuburan dan topografi. Seperti misalnya untuk daerah-daerah yang subur
terdapat kecenderungan terciptanya satuan pemukiman yang padat, dalam pengelompokan yagng
besar dan berdekatan satu sama lain. Sebaliknya untuk daerah yang kurang/tidak subur terdapat
kecenderungan munculnya desa-desa yang jarang penduduknya dengan pengelompokan yang
kecil dan berjauhan satu sama lain. Hal ini bisa dilihat pada daerah dataran rendah lebiih
memungkinkan terciptanya desa-desa yang besar, padat penduduk, dan berdekatan satu sama
lain. Sedangkan di daerah dataran tinggi cenderung memunculkan desa-desa yang kecil, jarang
penduduk, dan berjauhan satu sama lain.
Struktur Biososial, yakni struktur social (vertical maupun horizontal) yang berkaitan
dengan faktor-faktor biologis seperti umur, jenis kelamin, perkawinan, suku bangsa, dan lain-
lain. Keterkaitan antara struktur biososial dengan faktor biososial ini terlihat dari sifat mata
pencaharian masyarakatnya. Dalam masyarakat yang masih bersahaja, yakni dari mulai
masyarakat masih dalam tingkat food gathering economics sampai telah mengenal era pertanian
(tradisional), masyarakat manusia masih mengandalkan keadaan kekuatan fisik dan pengalaman
Dalam hal kekuatan fisik laki-laki tergolong lebih kuat dibanding dengan wanita.
Keterampilan dan kekuatan fisik yang dibutuhkan untuk perburuan secara dominan dimiliki oleh
kaum laki-laki. Kaum wanita yang mempunyai kemampuan ini adalah wanita dalam
pengecualian. Akibatnya laki-laki lebih dominan dalam kehidupan dalam kelompok masyarakat.
Jika dilihat dari faktor usia, maka faktor usia ini mempengaruhi pola pelapisan social
masyarakat desa. Jenis pekerjaan pertanian selain membutuhkan kekuatan fisik juga
membutuhkan pengalaman. Pertanian tradisional tidak memerlukan pendidikan khusus yang
menuntuk kemampuan tertentu dari subjeknya. Kegiatan-kegiatan dalm bidang ini cukup hanya
memerlukan pembiasaan yang dengan sendirinya akan diperoleh dengan pengalaman. Maka
orang tua yang menyimpan pengalaman lebih banyak akan lebih disegani dan dihormati dalam
tatanan masyarakat

A. Sistem Pertanian Berpindah


Perladangan berpindah (shifting cultivation) merupakan satu diantara yang menerapkan
teknologi konservasi dalam pertanian yang lebih berintegrasi dengan sistem alami.
Menurut Lahajir (2001), bahwa dari perspektif sosial budaya, sistem perladangan
berpindah secara umum dianggap sebagai satu-satunya sistem pertanian yang sesuai
dengan ekosistem hutan tropis. Disamping itu, sistem perladangan dari segi ekologi, lebih
berintegrasi ke dalam struktur ekosistem alami (Geertz, 1976). Sedangkan dalam hal
biodeversiti di dalam sistem perladangan berpindah lebih tinggi dari sistem pertanian
permanen seperti sawah. Tingginya biodeversiti/keanekaragaman hayati adalah berasal
dari pemberaan dan tanaman beraneka (mixed cropping).
Dalam perladangan berpindah, tahapan pemberaan (fallow) merupakan persentasi
tertinggi dalam proses penggunaan lahan, di mana tanah digunakan dalam waktu periode
yang pendek, sehingga erosi dan sedimentasi di sungai rendah. Memang, praktek
pembakaran bisa menyebabkan kehilangan nutrient, tetapi dapat meningkatkan pH yang
baik untuk pertumbuhan tanaman, sedangkan kandungan bahan organik disimpan selama
pemberaan. Dalam sistem dengan periode pemberaan stabil tidak menyebabkan
peningkatan CO2 pada atmosfer karena penghutanan kembali. Rendahnya produktivitas
dapat dipecahkan jika institusi penelitian agrikultural mengambil peranan yang lebih baik
-perladangan berpindah. Oleh sebab itu, sistem perladangan berpindah dapat dijadikan
alternatif sistem agrikulture yang permanen di wilayah tropis basah.
Perladangan berpindah (shifting cultivation) merupakan suatu sistem yang dibangun
berdasarkan pengalaman masyarakat dalam mengolah lahan dan tanah yang dipraktekan
secara turun menurun. Berbagai hasil penelitian, dengan dasar yang berbeda, akan
menghasilkan suatu yang positif dan negatif. Secara negatif, perladangan berpindah
dianggap menyebabkan penggundulan hutan dan erosi tanah yang sangat kritis. Tuduhan
yang paling sering, saat kebakaran hutan di Kalimantan, salah satu yang dianggap
menjadi sebab adalah sistem perladangan berpindah. Kemudian, dari segi produktivitas
dianggap sangat rendah, apalagi bila dibandingkan dengan resiko lingkungan yang akan
terjadi.
Namun demikian, sisi positifnya, bahwa sistem perladangan berpindah ini lebih akrab
dengan sistem alami yang tentunya lebih adaptif, karena mempertahankan struktur alami
dari pada melakukan perubahan ekosistem yang sangat baru. Pada kesempatan ini, sisi
positif perlu mendapat perhatian yang lebih mendalam, terutam bila dihubungkan dengan
konservasi, yaitu (i) pemberaan (fallow) dalam konservasi tanah dan (ii) sistem
perladangan berpindah sebagai suatu bentuk pertanian konservasi.

B. Sistem Pertanian Keluarga


Usahatani keluarga adalah usahatani yang dikelola oleh petani dan keluarganya.
Umumnya mereka mengelola lahan milik sendiri atau lahan sewa yang tidak terlalu luas
dan menanam berbagai macam tanaman pangan,palawija dan atau hortikultura. Usahatani
tersebut dapat diusahakan di tanah sawah,ladang dan pekarangan. Hasil yang mereka
panen biasanya digunakan untuk konsumsi keluarga,jika hasil panen mereka lebih banyak
dari jumlah yang mereka konsumsi mereka akan menjualnya ke pasar tradisional. Jadi
pertanian dalam arti sempit dapat dicirikan oleh sifat subsistensi atau semi komersial.
Ciri lain usahatani keluarga adalah tidak adanya spesifikasi dan spesialisasi. Mereka biasa
menanam berbagai macam komoditi. Dalam satu tahun musim tanam petani dapat
memutuskan untuk menanam tanaman bahan pangan atau tanaman perdagangan.
Keputusan petani untuk menanam bahan pangan terutama didasarkan atas kebutuhan
pangan keluarga,sedangkan bila mereka memutuskan untuk menanam tanaman
perdagangan faktor-faktor determinan yang mempengaruhi pengambilan keputusan
tersebut antara lain adalah iklim,ada tidaknya modal, tujuan penggunaan hasil penjualan
tanaman tersebut dan ekspektasi harga. Jenis komoditi perdagangan rakyat meliputi
tembakau, tebu rakyat, kopi, lada, karet, kelapa, teh, cengkeh, vanili, buah-buahan,
bunga-bungaan dan sayuran. Di samping mengusahakan komoditi-komoditi di
atas,usahatani keluarga juga mencakup usahatani sampingan yaitu peternakan/perikanan
dan pencarian hasil hutan. Bila pendapatan seorang petani sebagian besar diperoleh dari
sektor perikanan maka ia disebut nelayan. Namun demikian ciri subsistensi atau semi
komersial tetap lekat pada usahatani keluarga baik usahatani tanaman pangan,
perkebunan, peternakan, perikanan maupun kehutanan.

C. Sistem Pertanian Feodalistik


Feodalisme dalam pengertian ini dikaitkan dengan stratifikasi sosial yang ditandai
dengan perbedaan kekayaan, pendapatan, kekuasaan dan martabat
Secara umum ada dua tipe pertanian feodalistik yaitu :
a. Feodalisme persewaan
b. Latufundia (hacienda)

a. Feodalisme persewaan
-Penggunaan lahan, pajak atau kekuasaan ekonomi merupakan dasar bagi para pemilik
lahan (tuan tanah) untuk menguasai petani dan mereka yang tidak memiliki lahan.
-Petani dan orang yang tidak berlahan (landless) tidak memiliki pilihan lain untuk
mempertahankan hidupnya, sehingga terpaksa membayar sewa yang tinggi
-Bagi tuan tanah, lahan adalah kekayaan untuk disewakan dan sekaligus memberikan
martabat dan kekuasaan karena ketergantungan penyewa juga mencakup kehidupan
pribadinya dan memaksa penyewa untuk patuh dalam segala keadaan.

b. Latufundia (hacienda)
-Latufundia adalah pemilikan lahan yang luar biasa luasnya. Saat ini hanya terdapat di
negara-negara Amerika Latin.
-Bentuk yang paling banyak dijalankan adalah hacienda (facenda) yang berasal dari UU
kolonial yang memperbolehkan berlangsungnya kerja paksa atau pemberian hadiah lahan
bagi jasa kemiliteran
-Hacienda adalah kesatuan sosial dan ekonomi yang sama dengan satu negara kecil,
hidup secara swasembada dan memenuhi kebutuhan ekonomi sendiri (autarki) berada di
bawah pelindung (patron).
-Hacienda juga meliputi padang rumput, perkebunana dan hutan. Penguasa umumnya
mendapat pelayanan dari pekerja penyewa, pemukim, penggembala, pengelola dan lain-
lain, dan sebaliknya dia juga menyediakan fasilitas-fasilitas sosial ekonomi walaupun
dengan standar yang sangat rendah.

D. Sistem Pertanian Kapitalistik


Tipe pertanian kapitalistik yang paling penting di negara yang sedang berkembang adalah
perkebunan. Sebuah perkebunan ialah sebuah pertanian yang bersekala besar yang
mengutamakan tanaman tahunan misalnya pohon, semak atau perdu, seringkali sistim
penanamannya satu jenis (monokultur). Hasilnya biasanya diolah secara industri di
pabrik pengolahan perkebunan itu sendiri dan diarahkan untuk ekspor misalnya tebu,
pisang, teh, cengkih, kelapa sawit dan sebagainya

E. Sistem Pertanian Kolektif


Didalam pertanian sosialistik, produksi telah diserahkan kepada rakyat dan produksi
direncanakan oleh negara. Pertanian kolektif umunya bukan hanya merupakan sistim
ekonomi tetapi lebih merupakan pandangan hidup secara keseluruhan, berdasarkan
politik, etika atau agama.

Anda mungkin juga menyukai