IDENTITAS PRAKTIKAN
Nama : Indwiarti Pane
NIM : 03031281419095
Shift/Kelompok : Jumat-Pagi/6
1
2
perubahan warna dan aroma. Dari segi ekonomi penggunaan kitosan dibanding
formalin, kitosan lebih baik. Untuk 100 kg ikan asin diperlukan satu liter kitosan
seharga Rp12.000, sedangkan formalin Rp16.000. Senyawa kitosan yang
berpotensi sebagai bahan antimikrobial bisa ditambahkan pada bahan makanan
karena tidak berbahaya bagi manusia. Pada manusia kitosan tidak dapat dicerna
sehingga tidak punya nilai kalori dan langsung dikeluarkan oleh tubuh bersama
feces. Kitosan memiliki sifat penghalang metabolisme sel membran bagian luar.
Seperti selulosa dan kitin, kitosan merupakan polimer alamiah yang
sangat melimpah keberadaannya di alam. Namun, hal tersebut menunjukkan
bahwa keterbatasannya dalam hal reaktivitas. Oleh karena itu, kitosan dapat
digunakan sebagai sumber material alami, sebab kitosan berfungsi sebagai
polimer alami yang mempunyai karakteristik yang baik, seperti dapat
terbiodegradasi, tak beracun, dapat mengadsorpsi, dan lain-lain.
Kitosan mempunyai bentuk spesifik mengandung gugus amino dalam
rantai karbonnya yang bermuatan positif, sehingga dalam keadaan cair sensitif
terhadap kekuatan ion tinggi. Kitosan memiliki gugus fungsional amina (NH2)
yang bermuatan positif yang sangat reaktif, sehingga mampu berikatan dengan
dinding sel bakteri yang bermuatan negatif. Selain itu kitosan memiliki struktur
yang menyerupai dengan peptidoglikan yang merupakan struktur penyusun 90%
dinding sel bakteri gram positif. Kitosan dan turunannya telah banyak
dimanfaatkan dalam berbagai bidang misalnya dalam bidang pangan,
mikrobiologi, pertanian farmasi, dan sebagainya. Kitosan memiliki banyak
keunggulan, diantaranya memiliki struktur yang mirip dengan serat selulosa yang
terdapat pada buah dan sayuran. Keunggulan lain yang sangat penting adalah
kemampuannya dalam menghambat dan membunuh mikroba atau sebagai zat
antibakteri, diantaranya kitosan menghambat pertumbuhan berbagai mikroba
penyebab penyakit tifus yang resisten terhadap antibiotik yang ada. Berbagai
hipotesa yang sampai saat ini masih berkembang mengenai mekanisme kerja
kitosan sebagai antibakteri adalah sifat afinitas yang dimiliki oleh kitosan yang
sangat kuat dengan DNA mikroba sehingga dapat berikatan dengan DNA yang
kemudian mengganggu mRNA dan sintesa protein. Sifat afinitas antimikroba dari
3
diketahui bahwa sifat larutan kitosan akan sangat tergantung pada dua kondisi di
atas. Kitosan yang dilarutkan dalam asam maka secara proporsional atom
hidrogen dari radikal amina primernya akan lepas sebagai pembawa muatan
negatif, maka akan terbentuklah polikationat, dan kitosan akan menggumpal.
Sebagai contoh, natrium alginat (molekul pembawa muatan negatif) dan larutan-
larutan bervalensi dua (sulfat, fosfat, atau polianion) dari ion mineral atau protein
dapat membentuk senyawa kompleks dengan kitosan.
Sebagai antibakteri, kitosan memiliki sifat mekanisme penghambatan,
dimana kitosan akan berikatan dengan protein membran sel, yaitu glutamat yang
merupakan komponen membran sel. Selain berikatan dengan protein membraner,
kitosan juga berikatan dengan fosfolipid membraner, terutama fosfatidil kolin,
sehingga dapat meningkatkan permeabilitas dari inner membrane (IM). Naiknya
permeabilitas IM akan mempermudah keluarnya cairan sel. Pada E. Coli
misalnya, 60 menit, komponen enzim galaktosidase akan terlepas. Hal ini
menunjukkan bahwa sitoplasma dapat keluar sambil membawa metabolit lainnya,
atau dengan kata lain mengalami lisis, yang akan menghambat pembelahan sel
(regenerasi). Hal ini akan menyebabkan kematian pada sel.
III.3. Kitin
Kitin berasal dari bahasa yunani Chitin, yang berarti kulit kuku,
merupakan komponen utama dari eksokeleton crustacean yang berfungsi sebagai
komponen penyokong dan pelindung. Senyawa kitin ini adalah suatu polimer
golongan poli sakarida yang tersusun atas satuan-satuan N-asetilglukosamina
melalui ikatan -(1,4), secara formalnya dapat dipertimbangkan sebagai senyawa
turunan selulosa gugus hidroksil pada atom C-2 digantikan gugus asetamina.
Kitin adalah polisakarida struktural yang digunakan untuk menyusun
eksoskleton dari artrhopoda (serangga, laba-laba, krustase, dan hewan-hewan lain
sejenis). Kitin tergolong homopolisakarida linear yang tersusun atas residu N-
asetilglukosamin pada rantai beta dan memiliki monomer berupa molekul glukosa
dengan cabang yang mengandung nitrogen. Kitin murni mirip dengan kulit,
7
namun akan mengeras ketika dilapisi dengan garam kalsium karbonat. Kitin
membentuk serat mirip selulosa yang tidak dapat dicerna oleh vertebrata.
Kitin adalah polimer yang paling melimpah di laut. Sedangkan pada
kelimpahan di muka bumi, kitin menempati posisi kedua setelah selulosa. Hal ini
karena kitin dapat ditemukan di berbagai organisme eukariotik termasuk serangga,
moluska, krustase, fungi, algae, dan protista. Kitin merupakan senyawa terbanyak
kedua setelah selulosa yang berfungsi sebagai komponen organik yang paling
banyak tersedia di alam. Kitin banyak ditemukan secara alamiah pada kulit jenis
crustacean, antara lain kepiting, udang dan lobster. Kitin juga ditemukan di
beberapa jenis serangga, zooplankton serta dinding sel jamur.
Kitin adalah polisakarida alami seperti selulosa, dekstran, alginat, dan
sebagainya yang dapat terdegradasi secara alami dan non-toksik. Kitin merupakan
polisakarida rantai linier dengan rumus (1-4)-2-asetamido-2-deoksi-D-
glucopyranosa, sedangkan kitosan adalah deasetilasi kitin. Kitin ditemukan pada
fungi dan arthropoda, merupakan komponen utama penyusun eksoskeleton. Dari
struktur kitin terlihat bahwa kitin murni mengandung gugus asetamido (NH-
COCH3), kitosan murni mengandung gugus amino (NH2) sedangkan selulosa
mengandung gugus hidroksida (OH). Perbedaan gugus ini akan mempengaruhi
sifat-sifat kimia kitin, kitosan, dan selulosa. Sebenarnya kitin dan kitosan yang
diproduksi secara komersial memiliki kedua gugus asetamido dan gugus amino
pada rantai polimernya, dengan beragam komposis gugus tersebut.
Kitin secara komersial umumnya diekstraksi dari kulit udang, cangkang
kepiting yang diperoleh dari limbah industri pengolahan. Proses ekstraksi kitin
dari kulit udang dan cangkang kepiting secara kimia merupakan proses yang
relatif sederhana. Kitin yang terdapat pada kulit atau cangkang ini masih terikat
dengan protein, CaCO3, pigmen, dan lemak. Berbagai teknik dilakukan untuk
memisahkannya, tetapi pada umumnya melalui tiga tahapan yaitu demineralisasi
dengan HCl encer, deproteinisasi dengan NaOH encer (setelah tahap ini diperoleh
kitin) dan selanjutnya deasetilasi kitin menggunakan NaOH pekat.
Dalam hal kelarutan, kitin berbeda dengan selulosa karena kitin
merupakan senyawa yang stabil terhadap pereaksi kimia. Kitin bersifat
8
hidrofobik, tidak dapat larut dalam air, alkohol dan hampir semua pelarut-pelarut
organik. Kitin dapat larut dalam asam klorida, asam sulfat, dan asam posfat pekat
dalam larutan Dimetilasetamida-LiCl dan asam formiat 98-100%. Hidrolisis kitin
dengan asam pada kondisi tertentu menghasilkan oligosakarida yang terdiri dari
N-asetil-chito-oligosakarida. Kitin juga merupakan senyawa yang stabil terhadap
reaksi kimia, tidak beracun dan bersifat biodegradable. Kitin tidak larut dalam air,
alkohol serta asam maupun alkali encer. Kitin dapat larut melalui degradasi
menggunakan asam-asam mineral pekat, seperti asam pekat anhidro, namun
sampai sekarang belum ada keterangan yang pasti apakah semua kitin dapat larut
dalam asam format anhidro. Kelarutan kitin dipengaruhi derajat kristalisasi.
Kitin dibagun oleh unit-unit monomer N-asetilglukosamin (GlcNAc)
yang tersusun linear dengan ikatan (1,4). Rantai satu dengan yang lainnya
berasosiasi dengan ikatan hydrogen yang sangat kuat antara gugus N-H dari satu
rantai dan gugus C=O dari rantai yang berdekatan. Ikatan hydrogen menyebabkan
kitin tidak dapat larut dalam airdan membentuk formasi serabut (fibril).
Berdasarkan pola penyusunan rantai polimernya, kitin fibril dibedakan menjadi
tiga jenis, yaitu -kitin, -kitin, dan -kitin . Pada -kitin rantai-rantai polimer
yang berdekatan tersusun secara antiparalel. Betuk ini banyak ditemukan pada
jamur dan arthropoda. Jenis -kitin memepunyai rantai polimer yang tersusun
secara paralel, sedangkan -kitin fibrilnya masing-masing tersusun dari tiga rantai,
dua rantainya tersusun parallel dan rantai ketiganya antiparalel.
Kitin pada jamur berbentuk fibril yang memiliki panjang yang berbeda
tergantung pada spesies dan lokasi selnya . Pada Saccharomyces Cereviceae,
mikrofibril kitinnya memiliki panjang sekitar 60 nm dan terdapat khusus pada
sekat primer. Pada serangga lebih dari 80% komponen kutikulanya adalah kitin.
Pada Crustaceae, kitin melekat pada matriks dari CaCO 3 dan fosfat. Pada
serangga matriksnya adalah proteinaceous yaitu suatu protein yang sudah
mengalami pentaninnan. Kitin pada alga terutama ditemukan pada diatom laut
yaitu Thallassiosira fluviatilis dan Cyclo cryptica dengan mempunya kandungan
sebesar 10-15 % dari berat kering dari kitin itu.
9
Pada bakteri, aktinomisetes dan jamur tidak ditemukan kitin . Tetapi kitin
merupakan komponen utama penyusun dinding sel jamur klas Basidiomycetes,
Phycomycetes, Ascomycetes, dan Lichens. Meskipun sumber kitin bermacam-
macam, namun secara komersial kitin dieksplorasi dari cangkang udang-udangan
dan Crustaceae. Sebanyak 50-60% dari limbah udang, dihasilkan 25% berat kitin
dari 32% berat kering limbah tersebut. Kitin merupakan bahan dasar untuk bahan-
bahan kimia yang diperlukan secara luas di berbagai bidang seperti biokimia,
obat-obatan, pangan, gizi, enzimologi, industri kertas, tekstil dan film, kitin juga
sebagai sumber N-Asetilglukosamin yang dipakai sebagai pengawet dan juga
sebgai antibiotik. Kitosan berfungsi juga sebagai derivat kitin yang dipakai dalam
proses pengolahan limbah dan pengikatan logam.
Adanya gugus fungsi hidroksil primer dan sekunder mengakibatkan
chitosan mempunyai kereaktifan kimia yang tinggi. Gugus fungsi yang terdapat
pada chitosan memungkinkan juga untuk modifikasi kimia yang beraneka ragam
termasuk reaksi-reaksi dengan zat perantara ikatan silang, kelebihan ini dapat
memungkinkannya chitosan digunakan sebagai bahan campuran bioplastik, yaitu
plastik yang dapat terdegradasi dan tidak mencemari lingkungan.
ekonomis yang relatif rendah. Maka dari itu, kebanyakan dalam proses
pengolahan limbah udang dilakukan secara manual.
Seluruh tubuh kelompok krutasea terdiri dari ruas-ruas yang terbungkus
oleh kerangka luar atau eksoskeleton dari zat tanduk atau kitin dan diperkuat oleh
bahan kapur kalsium. Limbah udang yang berupa kulit, kepala, dan ekor dengan
mudah didapatkan mengandung senyawa kimia yang berupa kitin dan kitosan.
Senyawa kitin dan kitosan ini dapat diolah karena hal ini dimungkinkan karena
kitin dan kitosan mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi,
reaktifikasi kimia yang tinggi dan menyebabkan sifat polielektrolit kation
sehingga dapat berperan sebagai penukaran ion dan dapat berfungsi sebagai
absorben untuk logam berat dalam air limbah.
Fungsi kulit udang pada udang yaitu sebagai pelindung. Sebagian besar
limbah udang yang dihasilkan oleh usaha pengolahan udang berasal dari kepala,
kulit dan ekornya. Kulit udang mengandung protein (25%-40%), kitin (15%-20%)
dan kalsium karbonat (45%-50%). Kandungan kitin dari kulit udang lebih sedikit
dibandingkan dengan kulit atau cangkang kepiting. Kandungan kitin pada limbah
kepiting mencapai 50%-60%, sementara limbah udang menghasilkan 42%-57%,
sedangkan cumi-cumi dan kerang, masing-masing 40% dan 14%-35%. Namun
karena bahan baku yang mudah diperoleh adalah udang, maka proses kitin dan
kitosan biasanya lebih memanfaatkan limbah udang.
Selama ini limbah kulit udang hanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak
atau sebagai industri makanan seperti pembuatan kerupuk udang. Limbah kulit
udang dapat diolah untuk pembuatan chitin yang dapat diproses lebih lanjut untuk
menghasilkan produk chitosan yang memiliki banyak manfaat dalam bidang
industri, antara lain adalah sebagai pengawet makanan yang tidak berbahaya (non
toxic) pengganti formalin. Chitosan adalah bahan alami yang direkomendasikan
untuk digunakan sebagai bahan pengawet makanan karena tidak beracun dan
aman bagi kesehatan. Secara umum, cangkang kulit udang mengandung protein
34,9%, mineral CaCO3 27,6%, kitin 18,1%, dan komponen lain seperti zat terlarut,
lemak dan protein tercerna sebesar 19,4%. Chitin merupakan polisakarida yang
bersifat non toxic (tidak beracun) dan biodegradable sehingga chitin juga banyak
11
dimanfaatkan dalam berbagai bidang. Lebih lanjut chitin dapat mengalami proses
deasetilasi untuk menghasilkan chitosan. Pembuatan chitosan dilakukan dengan
cara penghilangan gugus asetil (-COCH3) pada gugusan asetil amino kitin menjadi
gugus amino bebas chitosan dengan menggunakan larutan basa. Kitin mempunyai
struktur kristal yang panjang dengan ikatan kuat antara ion nitrogen dan gugus
karboksil, sehingga pada proses deasetilasi digunakan NaOH . natrium hidroksida
konsentrasi 40-50% dan suhu yang tinggi (100-150oC) untuk mendapatkan
chitosan dari kitin.