Anda di halaman 1dari 8

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Penganiayaan
Meskipun disebutkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), istilah penganiayaan tidak dijelaskan secara khusus. Menurut
yurisprudensi, yang dimaksud penganiayaan adalah sengaja menyebabkan
perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Dalam KUHP
ditambahkan pula pengertian penganiayaan yaitu sengaja merusak kesehatan
orang.1
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, penganiayaan diartikan
sebagai perlakuan sewenang-wenang dalam rangka menyiksa atau menindas
orang lain.2 Sedangkan menurut Sudarsono dalam bukunya kamus hukum,
penganiayaan diartakan sebagai perbuatan menyakiti, menyiksa atau bengis
terhadap manusia atau dengan sengaja mengurangi atau merusak kesehatan
orang lain.3
Wirjono Projodikoro manambahkan bahwa pasal penganiayaan
dalam KUHP berawal dari KUHP Belanda yang dirumuskan sebagai dengan
sengaja merusak kesehatan orang lain. Beliau menilai perumusan ini tidak tepat
karena meliputi perbuatan pendidik terhadap anak dan perbuatan dokter
terhadap pasien. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perumusan ini diganti
menjadi penganiayaan, yang berarti berbuat sesuatu secara sengaja dengan
tujuan untuk mengakibatkan rasa sakit.4

B. Dasar Hukum Penganiayaan


Perbuatan penganiayaan diatur secara tidak langsung dalam Undang-
Undang RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 33 ayat (1)
yang berbunyi: Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan,
penghukuman atau perlakuan yang kejam tidak manusiawi, merendahkan
derajat dan martabat kemanusiaannya. Meskipun tidak menggunakan istilah
penganiayaan, isi pasal tersebut sesuai dengan pengertian penganiayaan.5
Penganiayaan diatur dalam KUHP bab XX pasal 351 356 tentang
Penganiayaan. Bunyi pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut:6
Pasal 351
1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.
2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun.
4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 352
1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan
yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencaharian, diancam, sebagai penganiayaan
ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2) Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan
kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi
bawahannya.
3) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 353
1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.
2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah
dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun

Pasal 354
1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena
melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama
delapan tahun.
2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Pasal 355
1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 356
Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah
dengan sepertiga:
1) bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang
sah, istrinya atau anaknya;
2) jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau
karena menjalankan tugasnya yang sah;
3) jika kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang
berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum.

C. Definisi dan Dasar Pengadaan Visum et Repertum7


Visum et Repertum (VeR) atau biasa disingkat visum adalah
keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik
tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidup maupun
mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di
bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan.
Dasar hukum VeR adalah pasal 133 KUHAP yang menyebutkan:
1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas
untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan
bedah mayat.
Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan
penyidik pembantu. Penyidik yang dimaksud adalah yang berjabat Polisi
Negara RI. Dokter yang menolak permintaan penyidik dapat dikenakan sanksi
hukum pidana sesuai dengan KUHP pasal 216, yang berbunyi:
Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang
dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi
sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi
kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula
barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau
menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak
sembilan ribu rupiah.
Prosedur pemeriksaan pada visum tidak diatur secara khusus
sehingga dokter berhak menentukan jenis pemeriksaan apa saja yang akan
dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi kedokteran. Apabila
ditemukan barang bukti berupa perlukaan atau akibat-akibat lain pada tubuh
korban, hal tersebut harus disalinkan ke dalam bentuk VeR. Meskipun dokter
memiliki kewajiban membuat VeR, korban hidup selaku pasien juga memiliki
hak untuk menolak pemeriksaan. Bila suatu pemeriksaan tidak dapat dilakukan
akibat penolakan atau tidak mungkin dilakukan, maka hal ini seharusnya
dituliskan dalam catatan medis, beserta pernyataan tertulis dair pihak yang
bersangkutan.
Prosedur permintaan VeR tidak diatur secara rinci dalam KUHAP.
Dalam praktik sehari-hari, korban perlukaan akan langsung ke dokter baru
kemudian dilaporkan ke penyidik. Hal tersebut membawa kemungkinan bahwa
surat permintaan visum et repertum korban luka akan datang terlambat
dibandingkan dengan pemeriksaan korbannya. Sepanjang keterlambatan
tersebut masih cukup beralasan dan dapat diterima maka keterlambatan itu
tidak boleh dianggap sebagai hambatan pembuatan VeR.

D. Aspek Medikolegal Visum et Repertum7


Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah
sebagaimanatertulisdalampasal184KUHP. Visumetrepertum turut
berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap
kesehatandanjiwamanusia.VeRmenguraikansegalasesuatutentang
hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian pemberitaan,
yangkarenanyadapatdianggapsebagaipenggantibarangbukti.
Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat
dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di
dalambagiankesimpulan.Dengandemikian visumetrepertum secara
utuhtelahmenjembataniilmukedokterandenganilmuhukumsehingga
denganmembaca visumetrepertum,dapatdiketahuidenganjelasapa
yang telah terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat
menerapkannormanormahukumpadaperkarapidanayangmenyangkut
tubuhdanjiwamanusia.
Apabila VeR belum dapat menjernihkan duduk persoalan di

sidang pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau

diajukannyabahanbaru,sepertiyangtercantumdalamKUHAP,yang

memungkinkan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas

barangbukti,apabilatimbulkeberatanyangberalasandariterdakwaatau

penasehathukumnya terhadap suatuhasil pemeriksaan. Halitu sesuai

denganpasal180KUHAP.

Bagi penyidik (polisi/polisi militer) VeR berguna untuk


mengungkapkanperkara.BagiPenuntutUmum(Jaksa)keteranganitu
bergunauntukmenentukanpasalyangakandidakwakan,sedangkanbagi
hakim sebagai alat bukti formal untuk menjatuhkan pidana atau
membebaskanseseorangdarituntutanhukum.
MengingatpentingnyaperananVeRdalamkaitannyadengan
hukum,perludibuatsuatuStandarProsedurOperasional(SPO)disuatu
RumahSakittentangtatalaksanapengadaanVeR.

E. Penentuan Derajat Luka


Derajat luka dalam visum et repertum dikategorikan sesuai
dengan deskripsidalampasalpasal KUHP. Rumusanhukum tentang
penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam pasal 352 (1) KUHP
menyatakan bahwa penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian,
diancam, sebagai penganiayaan ringan. Jadi bila luka pada seorang
korban diharapkan dapat sembuh sempurna dan tidak menimbulkan
penyakitataukomplikasinya,makalukatersebutdimasukkankedalam
kategoritersebut.6
Selanjutnya rumusan hukum tentang penganiayaan (sedang)
sebagaimanadiaturdalampasal351(1)KUHPtidakmenyatakanapapun
tentangpenyakit.Sehinggabiladoktermemeriksaseorangkorbandan
didapatipenyakitakibatkekerasan,makakorbandimasukkankedalam
kategoritersebut.7
Akhirnya, rumusan hukum tentang penganiayaan yang
menimbulkan luka berat diatur dalam pasal 351 (2) KUHP yang
menyatakan: Jika perbuatan mengakibatkan lukaluka berat, yang
bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Sesuaidenganpasal90KUHP,yangdimaksudlukaberatadalah:6
jatuhsakitataumendapatlukayangtidakmemberiharapanakan
sembuhsamasekali,atauyangmenimbulkanbahayamaut;
tidakmamputerusmenerusuntukmenjalankantugasjabatanatau
pekerjaanpencarian;
kehilangansalahsatupancaindera;
mendapatcacatberat;
menderitasakitlumpuh;
terganggunyadayapikirselamaempatminggulebih;
gugurataumatinyakandunganseorangperempuan.
DAFTAR PUSTAKA

1. R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta


Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia.

2. Poerdarminto. Kamus Umum Bahasa Indonesia.

3. Sudarsono. Kamus Hukum.

4. Wirjono Projodikoro. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia.

5. Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi


Manusia.

6. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 2010. Diambil dari:


http://hukumpidana.bphn.go.id/babbuku/bab-xx-penganiayaan/

7. Afandi D. Visum et Repertum Perlukaan Aspek Medikolegal dan Penentuan


Derajat Luka. Maj Kedokt Indon, vol 60, No 4, April 2010.

Anda mungkin juga menyukai