Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jamur ( Fungi ) merupakan organisme uniseluler maupun multiseluler
(umumnya berbentuk benang disebut hifa, hifa bercabang-cabang membentuk
bangunan seperti anyaman disebut miselium, dinding sel mengandung kitin,
eukariotik, tidak berklorofil. Jamur hidup secara heterotrof dengan jalan saprofit
(menguraikan sampah organik), parasit (merugikan organisme lain), dan simbiosis.
Berdasarkan kingdongnya, fungi (jamur) dibedakan menjadi lima divisi yaitu,
Zigomycotina (kelas Zygomycetes), Ascomycotina, Basidiomycotina, dan
Deuteromycotina. Sedangkan Obat antijamur adalah senyawa yang digunakan
untuk pengobatan penyakit yang disebabkan oleh jamur (Anonim, 2007).
Penyakit yang disebabkan oleh jamur biasanya akan tumbuh pada daerah-
daerah lembab pada bagian tubuh kita, diantaranya seperti pada bagian ketiak,
lipatan daun telinga, jari tangan dan kaki dan juga bagian lainnya. Penyakit kulit
karena jamur bisa menular karena kontak kulit secara langsung dengan
penderitanya. Gejala dari penyakit ini adalah warna kulit yang kemerahan, bersisik
dan adanya penebalan kulit. Dan yang jelas akan disertai dengan rasa gatal pada
kulit yang sudah terifeksi jamur tersebut.
Infeksi karena jamur disebut mikosis, umumnya bersifat kronis. Mikosis
ringan menyerang permukaan kulit (mikosis kutan), tetapi dapat juga menembud
kulit sehingga menimbulkan mikosis subkutan. Secara klinik, infeksi jamur dapat
digolongkan menurut lokasi infeksinya, yaitu:
1. Mikosis sistemik.
2. Dermatofit.
3. Mikosis mukokutan (Munaf, 2004).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan antifungi?
2. Bagaimana anatomi dan fisiologi sel fungi?
3. Bagaimana Mekanisme Kerja dari Anti Fungi berdasarkan golongan serta contoh
obat dan dosis?

1.3 Tujuan Penulisan Makalah

1
Penulisan Makalah yang berjudul Anti Fungi ini tidak sekedar tulisan saja
tetapi memiliki suatu tujuan tertentu.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui dengan jelas apa definisi anti fungi
2. Mengetahui bagaimana anatomi fisiologi sel fungi
3. Mengetahui tentang mekanisme kerja anti fungi berdasarkan golongan serta
contoh obat dan dosisnya
4. Memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh Dosen mata kuliah Farmakologi
II

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Anti Fungi

2
Antifungi adalah obat-obat yang berdaya menghentikan pertumbuhan atau
mematikan jamur yang menghinggapi manusia. Yang digunakan untuk mengobati
infeksi jamur.
Antifungi/antimikroba adalah suatu bahan yang dapat mengganggu
pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme. Pemakaian bahan antimikroba
merupakan suatu usaha untuk mengendalikan bakteri maupun jamur, yaitu segala
kegiatan yang dapat menghambat, membasmi, atau menyingkirkan mikroorganisme.
Tujuan utama pengendalian mikroorganisme untuk mencegah penyebaran penyakit dan
infeksi, membasmi mikroorganisme pada inang yang terinfeksi, dan mencegah
pembusukan dan perusakan oleh mikroorganisme. Ada beberapa hal yang harus
dipenuhi oleh suatu bahan antimikroba, seperti mampu mematikan mikroorganisme,
mudah larut dan bersifat stabil, tidak bersifat racun bagi manusia dan hewan, tidak
bergabung dengan bahan organik, efektif pada suhu kamar dan suhu tubuh, tidak
menimbulkan karat dan warna, berkemampuan menghilangkan bau yang kurang sedap,
murah dan mudah didapat (Pelczar & Chan 1988).
Salah satu sebab meluasnya infeksi oleh fungi ialah meningkatnya pemakaian
antibiotik spektrum luas atau pemakaian kortikosteroid yang kurang tepat. Faktor
hygiene juga sangat mempengaruhi penyebaran infeksi oleh fungi. Infeksi jamur sering
berkaitan dengan gangguan daya tubuh, bila daya tahan tubuh turun, maka pengobatan
jamur sering mengalami kegagalan.

2.2 Anatomi Fisiologi Sel Fungi


2.2.1 Anatomi Sel Fungi

Jamur tidak memiliki klorofil, sel pada jamur ada yang uniseluler,ada pula yang
mutiseluler. Dinding sel pada jamur terdiri dari kitin. Jamur multiseluler terbentuk dari
rangkaian sel membentuk benang seperti kapas, yang disebu benang hifa. Hifa memiliki
sekat-sekat yang melintang, tiap-tiap sekat memiliki satu sel, dengan satu atau beberapa
inti sel. Namun adapula hifa yang tidak memiliki sekat melintang, yang mengandung
banyak inti dan disebut senositik. Ada tidaknya sekat pada hifa ini dijadikan dasar
dalam penggolongan jamur. Hifa ada yang berfungsi sebagai pembentuk alat reproduksi.
Misalnya, hifa yang tumbuh menjulang ke atas menjadi sporangiofor yang artinya

3
pembawa sporangium.sporangium artinya kotak spora. Didalam sporangium terisi
spora. Ada pula hifa yang tumbuh menjadi konidiofor yang artinya pembawa konidia,
yang dapat menghasilkan konidium.

Kumpulan hifa membentuk jaringan benang yang dikenal sebagai miselium.


Miselium inilah yang tumbuh menyebar diatas substrat dan berfungsi sebagai penyerap
makanan dari lingkungannya.

4
Gambar 1. Bagian-bagian tubuh fungi

2.2.2 Struktur dan Fisiologi Fungi


Ada variasi yang cukup besar dalam struktur, ukuran, dan kompleksitas dari
berbagai jenis jamur. Misalnya, jamur termasuk ragi mikroskopis, cetakan terlihat pada
roti yang terkontaminasi, dan jamur umum.
Cetakan terdiri dari panjang, bercabang filamen sel yang disebut hifa (tunggal,
hifa). Massa kusut hifa terlihat dengan mata telanjang adalah miselium (jamak, miselia).
Dalam beberapa cetakan, sitoplasma melewati dan di antara sel-sel hifa tidak terganggu
oleh dinding silang. Jamur ini dikatakan jamur coenocytic. Mereka jamur yang memiliki
dinding silang disebut jamur septate, karena dinding silang disebut septa.
Ragi adalah mikroskopis, jamur uniseluler dengan inti tunggal dan organel
eukariotik. Mereka bereproduksi secara aseksual dengan proses pemula. Dalam proses
ini, sebuah bentuk sel baru pada permukaan sel asli, membesar, dan kemudian istirahat
bebas untuk menganggap eksistensi independen.
Beberapa jenis jamur memiliki kemampuan untuk beralih dari bentuk ragi ke
bentuk cetakan dan sebaliknya. Jamur ini dimorfik. Banyak jamur patogen yang ada di

5
dalam tubuh dalam bentuk ragi tetapi kembali ke bentuk cetakan di laboratorium ketika
dibudidayakan.
Reproduksi di ragi biasanya melibatkan spora. Spora diproduksi oleh salah satu
cara seksual atau aseksual. Spora aseksual mungkin bebas dan tidak dilindungi di ujung
hifa, di mana mereka disebut konidia (Gambar 1). Spora aseksual juga dapat terbentuk
di dalam kantung, dalam hal ini mereka disebut sporangiospores.

Struktur dan Fisiologi Jamur

Gambar 1

Struktur mikroskopis jamur septate menunjukkan aseksual producedconidia


yang meninggalkan jamur dan berkecambah untuk menghasilkan miselium baru.
Nutrisi. Jamur tumbuh baik di mana ada pasokan yang kaya bahan organik. Kebanyakan
jamur saprobik (mendapatkan nutrisi dari bahan organik mati). Karena mereka tidak
memiliki pigmen fotosintetik, jamur tidak dapat melakukan fotosintesis dan harus
mendapatkan nutrisi dari bahan organik preformed. Oleh karena itu mereka adalah
organisme chemoheterotrophic.
Kebanyakan jamur tumbuh pada pH asam sekitar 5.0, meskipun beberapa
spesies tumbuh pada tingkat pH yang lebih rendah dan lebih tinggi. Kebanyakan jamur
tumbuh sekitar 25 C (suhu kamar) kecuali untuk patogen, yang tumbuh pada suhu 37
C (suhu tubuh). Jamur menyimpan glikogen untuk kebutuhan energi mereka dan
penggunaan glukosa dan maltosa untuk metabolisme energi segera. Kebanyakan spesies

6
aerobik, kecuali untuk ragi fermentasi yang tumbuh baik dalam lingkungan aerobik dan
anaerobik.
Reproduksi aseksual terjadi pada jamur ketika spora terbentuk secara mitosis.
Spora ini dapat konidia, sporangiospores, arthrospores (fragmen hifa), dan
klamidospora (spora dengan dinding tebal).
Selama reproduksi seksual, inti kompatibel bersatu dalam miselium dan
membentuk spora seksual. Seksual sel yang berlawanan bisa bersatu dalam miselium
tunggal, atau miselia yang berbeda mungkin diperlukan. Ketika sel-sel bersatu, sekering
inti dan membentuk inti diploid. Beberapa divisi ikuti, dan negara haploid dibangun
kembali. Spora jamur sangat penting dalam identifikasi jamur, karena spora yang unik
dalam bentuk, warna, dan ukuran.
Sebuah spora tunggal yang mampu berkecambah dan membangun kembali
seluruh miselium. Spora juga metode untuk menyebarkan jamur di lingkungan.
Akhirnya, sifat spora seksual digunakan untuk mengelompokkan jamur ke dalam
berbagai divisi.

2.3 Mekanisme Kerja Anti Fungi Berdasarkan Golongannya Serta Contoh


dan Dosisnya
Mekanisme antijamur dapat dikelompokkan sebagai gangguan pada membran
sel, gangguan ini terjadi karena adanya ergosterol dalam sel jamur, ini adalah komponen
sterol yang sangat penting sangat mudah diserang oleh antibiotik turunan polien.
Kompleks polien-ergosterol yang terjadi dapat membentuk suatu pori dan melalui pori
tersebut konstituen essensial sel jamur seperti ion K, fosfat anorganik, asam karboksilat,
asam amino dan ester fosfat bocor keluar hingga menyebabkan kematian sel jamur.
Penghambatan biosintesis ergosterol dalam sel jamur, mekanisme ini merupakan
mekanisme yang disebabkan oleh senyawa turunan imidazol karena mampu
menimbulkan ketidakteraturan membran sitoplasma jamur dengan cara mengubah
permeabilitas membran dan mengubah fungsi membran dalam proses pengangkutan
senyawa senyawa essensial yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan metabolik
sehingga menghambat pertumbuhan atau menimbulkan kematian sel jamur (Sholichah
2010).

7
Penghambatan sintesis asam nukleat dan protein jamur, merupakan mekanisme
yang disebabkan oleh senyawa turunan pirimidin. Efek antijamur terjadi karena
senyawa turunan pirimidin mampu mengalami metabolisme dalam sel jamur menjadi
suatu antimetabolit. Metabolik antagonis tersebut kemudian bergabung dengan asam
ribonukleat dan kemudian menghambat sintesis asam nukleat dan protein jamur.
Penghambatan mitosis jamur, efek antijamur ini terjadi karena adanya senyawa
antibiotik griseofulvin yang mampu mengikat protein mikrotubuli dalam sel, kemudian
merusak struktur spindle mitotic dan menghentikan metafasa pembelahan sel jamur
(Sholichah 2010).
Ada beberapa jenis obat-obatan antijamur
a. Antijamur cream
Digunakan untuk mengobati infeksi jamur pada kulit dan vagina. Antara lain :
ketoconazole, fenticonazole, miconazole, sulconazole, dan tioconazole.
b. Antijamur peroral
Amphotericin dan nystatin dalam bentuk cairan dan lozenges. Obat-obatan ini tidak
terserap melalui usus ke dalam tubuh. Obat tersebut digunakan untuk mengobati
infeksi Candida (guam) pada mulut dan tenggorokan.
itraconazole, fluconazole, ketoconazole, dan griseofulvin dalam bentuk tablet yang
diserap ke dalam tubuh. Digunakan untuk mengobati berbagai infeksi jamur.
Penggunaannya tergantung pada jenis infeksi yang ada. example:
Terbinafine umumnya digunakan untuk mengobati infeksi kuku yang biasanya
disebabkan oleh jenis jamur tinea.
Fluconazole umumnya digunakan untuk mengobati jamur Vaginal. Juga dapat
digunakan untuk mengobati berbagai macam infeksi jamur pada tubuh
c. Antijamur injeksi
Amphotericin, flucytosine, itraconazole, voriconazole dan caspofungin adalah obat-
obatan anti jamur yang sering digunakan dalam injeksi.
Infeksi jamur dapat dibagi menjadi dua yaitu :
Infeksi jamur sistemik
- Amfoterisin B
- Flusitosin
- Ketokonazol
8
- Itakonazol
- Fluconazol
- Kalium Iodida
Infeksi jamur topikal (dermatofit dan mukokutan)

2.3.1 Infeksi Jamur Sistemik


2.3.1.1 Amfoterisin B
Amfoterisin A dan B merupakan hasil fermentasi streptomyces nodosus.
a. Mekanisme kerja
Amfoterisin B berikatan kuat dengan sterol yang terdapat pada membran sel
jamur sehingga membran sel bocor dan kehilangan beberapa bahan intrasel dan
menyebabkan kerusakan yang tetap pada sel.
Salah satu penyebab efek toksik yang ditimbulkan disebabkan oleh pengikatan
kolesterol pada membran sel hewan dan manusia.
Resistensi terhadap amfoterisin B mungkin disebabkan oleh terjadinya perubahan
reseptor sterol pada membran sel.
b. Farmakokinetik
Absorbsi : sedikit sekali diserap melalui saluran cerna.
Waktu paruh kira-kira 24-48 jam pada dosis awal yang diikuti oleh eliminasi fase kedua
dengan waktu paruh kira-kira 15 hari, sehingga kadar mantapnya akan tercapai setelah
beberapa bulan setelah pemberian.
Ekskresi : obat ini melalui ginjal berlangsung lambat sekali, hanya 3 % dari jumlah
yang diberikan.
c. Efek samping
Infus : kulit panas, keringatan, sakit kepala, demam, menggigil, lesu, anoreksia,
nyeri otot, flebitis, kejang dan penurunan faal ginjal.
50% penderita yang mendapat dosis awal secara IV akan mengalami demam dan
menggigil.
Flebitis (-) menambahkan heparin 1000 unit ke dalam infus.
Asidosis tubuler ringan dan hipokalemia sering dijumpai pemberian kalium.

9
Efek toksik terhadap ginjal dapat ditekan bila amfoterisin B diberikan bersama
flusitosin.
d. Indikasi
Untuk pengobatan infeksi jamur seperti koksidioidomikosis, aspergilosis,
kromoblastomikosis dan kandidosis.
Amfoterisin B merupakan obat terpilih untuk blastomikosis.
Amfoterisin B secara topikal efektif terhadap keratitis mikotik.
e. Sediaan
Amfoterisin B injeksi tersedia dalam vial yang mengandung 50 mg bubuk
f. Dosis
Pada umumnya dimulai dengan dosis yang kecil (kurang dari 0,25 mg/kgBB)
yang dilarutkan dalam dekstrose 5 % dan ditingkatkan bertahap sampai 0,4-0,6
mg/kgBB sebagai dosis pemeliharaan.
Secara umum dosis 0,3-0,5 mg/kgBB cukup efektif untuk berbagai infeksi
jamur, pemberian dilakukan selama 6 minggu dan bila perlu dapat dilanjutkan sampai 3-
4 bulan.
2.3.1.2 Flusitosin
Flucytosine (5-fluorocytosine) adalah primidin sintetis yang telah mengalami
fluorinasi
a. Mekanisme kerja
Flusitosin masuk ke dalam sel jamur dengan bantuan sitosin deaminase dan
dalam sitoplasma akan bergabung dengan RNA setelah mengalami deaminasi menjadi
5-Fluorourasil. Sintesis protein sel jamur terganggu akibat penghambatan langsung
sintesis DNA oleh metabolit fluorourasil
b. Farmakokinetik
Absorbsi : diserap dengan cepat dan baik melalui saluran cerna.Pemberian
bersama makanan memperlambat penyerapan tapi jumlah yang diserap tidak
berkurang. Penyerapan juga diperlambat pada pemberian bersama suspensi
alumunium hidroksida/magnesium hidroksida dan dengan neomisin.
Distribusi :didistribusikan dengan baik ke seluruh jaringan dengan volume
distribusi mendekati total cairan tubuh.

10
Ekskresi : 90% flusitosin akan dikeluarkan bersama melalui filtrasi glomerulu
dalam bentuk utuh, kadar dalam urin berkisar antara 200-500g/ml.
Kadar puncak dalam darah setelah pemberian per-oral dicapai 1-2 jam. Kadar ini
lebih tinggi pada penderita infusiensi ginjal.
Masa paruh obat ini dalam serum pada orang normal antara 2,4-4.8 jam dan
sedikit memanjang pada bayi prematur tetapi dapat sangat memanjang pada
penderita insufisiensi ginjal.

c. Efek samping
Dapat menimbulkan anemia, leukopenia, dan trombositopenia, terutama pada
penderita dengan kelainan hematologik, yang sedang mendapat pengobatan
radiasi atau obat yang menekan fungsi tulang, dan penderita dengan riwayat
pemakaian obat tersebut.
Mual,muntah, diare dan enterokolitis yang hebat.
Kira-kira 5% penderita mengalami peninggian enzim SGPT dan SGOT,
hepatomegali.
Terjadi sakit kepala, kebingungan, pusing, mengantuk dan halusinasi.
d. Indikasi
infeksi sistemik, karena selain kurang toksik obat ini dapat diberikan per oral.
Penggunaannya sebagai obat tunggal hanya diindikasikan pada
kromoblastomikosis
e. Sediaan dan dosis
Flusitosin tersedia dalam bentuk kapsul 250 dan 500 mg
Dosis yang biasanya digunakan ialah 50-150 mg/kgBB sehari yang dibagi dalam
4 dosis.
2.3.1.3 Ketokonazol
a. Mekanisme kerja
Seperti azole jenis yang lain, ketoconazole berinterferensi dengan biosintesis
ergosterol, sehingga menyebabkan perubahan sejumlah fungsi sel yang
berhubungan dengan membran.
b. Farmakokinetik
11
Absorbsi : diserap baik melalui saluran cerna dan menghasilkan kadar
plasma yang cukup untuk menekan aktivitas berbagai jenis jamur. Penyerapan
melalui saluran cerna akan berkurang pada penderita dengan pH lambung yang
tinggi,pada pemberian bersama antasid.
Distribusi : ketokonazol setelah diserap belum banyak diketahui.
Ekskresi : Diduga ketokonazol diekskresikan bersama cairan empedu ke
lumen usus dan hanya sebagian kecil saja yang dikeluarkan bersama urin,
semuanya dalam bentuk metabolit yang tidak aktif.

c. Farakodinamik
Ketokonazol aktif sebagai antijamur baik sistemik maupun nonsistemik yang
efektif terhadap Candidia, Coccsidioides immitis, Cryptococcus neoformans, H.
capsulatum, B. dermatitidis, Aspergillus, dan Sporotrix spp.
d. Efek samping
Efek toksik lebih ringan daripada Amfoterisin B.
Mual dan muntah merupakan ESO paling sering dijumpai
ESO jarang : sakit kepala, vertigo, nyeri epigastrik, fotofobia, parestesia, gusi
berdarah, erupsi kulit, dan trombositopenia.
e. Indikasi
Ketokonazol terutama efektif untuk histoplasmosis paru, tulang, sendi dan
jaringan lemak.
f. Kehamilan dan laktasi
Obat ini sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil karena pada tikus, dosis 80
mg/kgBB/hari menimbulkan cacat pada jari hewan coba tersebut.
2.3.1.4 Itrakonazol
a. Mekanisme kerja
Seperti halnya azole yang lain, itraconazole berinterferensi dengan enzim yang
dipengaruhi oleh cytochrome P-450, 14(-demethylase. Interferensi ini
menyebabkan akumulasi 14-methylsterol dan menguraikan ergosterol di dalam
sel-sel jamur dan kemudian mengganti sejumlah fungsi sel yang berhubungan
dengan membran
b. Farmakokinetik
12
Itrakonazol akan diserap lebih sempurna melalui saluran cerna, bila diberikan
bersama dengan makanan. Dosis 100 mg/hari selama 15 hari akan menghasilkan
kadar puncak sebesar 0,5 g/ml.
Waktu paruh eliminasi obat ini 36 jam (setelah 15 hari pemakaian).
c. Sediaan dan dosis
Itrakonazol tersedia dalam kapsul 100 mg.
Untuk dermatofitosis diberikan dosis 1 x 100mg/hari selama 2-8 minggu
Kandidiasis vaginal diobati dengan dosis 1 x 200 mg/hari selama 3 hari.
Pitiriasis versikolor memerlukan dosis 1 x 200 mg/hari selama 5 hari.
Infeksi berat mungkin memerlukan dosis hingga 400 mg sehari.
d. Efek samping
Kemerahan,
pruritus,
lesu,
pusing,
edema,
parestesia
10-15% penderita mengeluh mual atau muntah tapi pengobatan tidak perlu
dihentikan
e. Indikasi
Itrakonazol memberikan hasil memuaskan untuk indikasi yang sama dengan
ketokonazol antara lain terhadap blastomikosis, histoplasmosis,
koksidiodimikosis, parakoksidioidomikosis, kandidiasis mulut dan tenggorokan
serta tinea versikolor.
2.3.1.5 Flukonazol
a. Farmakokinetik
Obat ini diserap sempurna melalui saluran cerna tanpa dipengaruhi adanya
makanan ataupun keasaman lambung.
Kadar puncak 4-8 g dicapai setelah beberapa kali pemberian 100 mg.

13
Waktu paruh eliminasi 25 jam sedangkan ekskresi melalui ginjal melebihi 90%
bersihan ginjal.
b. Farakodinamik
Ketokonazol aktif sebagai antijamur baik sistemik maupun nonsistemik yang
efektif terhadap Candidia, Coccsidioides immitis, Cryptococcus neoformans, H.
capsulatum, B. dermatitidis, Aspergillus, dan Sporotrix spp.
c. Sediaan dan dosis
Flukonazol tersedia untuk pemakaian per oral dalam kapsul yang mengandung
50 dan 150mg.
Dosis yang disarankan 100-400 mg per hari.
Kandisiasis vaginal dapat diobati dengan dosis tunggal 150 mg.

d. Efek samping
Gangguan saluran cerna merupakan ESO paling banyak
Reaksi alergi pada kulit, eosinofilia, sindrom stevensJohnson.
e. Indikasi
Flukonazol dapat mencegah relaps meningitis oleh kriptokokus pada penderita
AIDS setelah pengobatan dengan Amfoterisin B. Obat ini juga efektif untuk
pengobatan kandidiasis mulut dan tenggorokan pada penderita AIDS.

2.3.1.6 Kalium Iodida


Kalium Iodida adalah obat terpilih untuk Cutaneous lymphatic sporotrichosis
a. Efek samping
rinitis
salivasi
lakrimasi
rasa terbakar pada mulut dan tenggorok
iritasi pada mata
sialodenitis dan akne pustularis pada bagian atas bahu
b. Dosis

14
Kalium iodida diberikan dengan dosis 3 kali sehari 1 ml larutan penuh (1g/ml).
Dosis ditingkatkan 1 ml sehari sampai maksimal 12-15 ml.
Penyembuhan terjadi dalam 6-8 minggu, namun terapi masih dilanjutkan sampai
sedikitnya 4 minggu setelah lesi menghilang atau tidak aktif lagi.
2.3.2 Anti jamur untuk infeksi topikal
Griseofulvin
Imidazol dan Triazol
Tolnaftat
Nistatin

2.3.2.1 Griseofulvin
Griseofulvin adalah antibiotik anti jamur yang dihasilkan oleh sejumlah spesies
Penicillium dan pertama kali diperkenalkan adalah berbentuk obat oral yang
diperuntukkan bagi pengobatan penyakit dermatophytosis
a. Mekanisme Kerja
Griseofulvin kelompok obat fungistatis yang mengikat protein-potein
mikrotubular dan berperan untuk menghambat mitosis sel jamur.
Selain itu, griseofulvin juga inhibitor (penghambat) bagi sintensis asam nukleat.
b. Farmakokinetik
Griseofulvin kurang baik penyerapannya pada saluran cerna bagian atas karena
obat ini tidak larut dalam air. Penyerapan lebih mudah bila griseofulvin
diberikan bersama makanan berlemak
Dosis oral 0.5 hanya akan menghasilkan kadar puncak dalam plasma kira-kira 1
g/ml setelah 4 jam.
Obat ini mengalami metabolisme di hati dan metabolit utamanya adalah 6-
metilgriseofulvin.
Waktu paruh obat ini kira-kira 24 jam, 50% dari dosis oral yang diberikan
dikeluarkan bersama urin dalam bentuk metabolit selama 5 hari.
c. Farmakodinamik
Obat ini bekerja dengan menghambat skualenapoksidase dan obat ini
memberiakn efek fungistatik. Spectrum aktivitasnya hanya efektif terhadap
15
dermatofit, karena di sel-sel kandida tidak tercapai konsentrasi yang cukup
(Schmitz dkk, 2009).
d. Efek samping
Leukopenia dan granulositopenia menghilang bila terapi dilanjutkan.
Sakit kepala keluhan utama pada kira-kira 15% penderita yang biasanya
hilang sendiri sekalipun pemakaian obat dilanjutkan.
artralgia, neuritis perifer, demam, pandangan mengabur, insomnia,
berkurangnya kecakapan, pusing dan sinkop, pada saluran cerna dapat terjadi
rasa kering mulut, mual, muntah, diare dan flatulensi.
Pada kulit dapat terjadi urtikaria, reaksi fotosensitivitas, eritema multiform,
vesikula dan erupsi menyerupai morbili.
e. Indikasi
Efektif untuk infeksi jamur di kulit, rambut, dan kuku yang disebabkan oleh
jamur Microsporum, Tricophyton, dan Epidermophyton.

f. Sediaan dan dosis


Griseofulvin tersedia dalam bentuk tablet berisi 125 dan 500 mg dan suspesi
mengandung 125 mg/ml.
Pada anak griseofulvin diberikan 10 mg/kgBB/hari
Untuk dewasa 500-1000 mg/hari dalam dosis tunggal.
Hasil memuaskan akan tercapai bila dosis yang diberikan dibagi empat dan
diberikan setiap 6 jam
g. Kontra indikasi
Griseofulvin bersifat kontraindikasi pada pasien penderita penyakit liver karena
obat ini menyebabkan kerusakan fungsi hati
2.3.2.2 Imidazol Dan Triazol
Anti jamur golongan imidazol mempunyai spektrum yang luas. Yang termasuk
kelompok ini ialah mikonazol, klotrimazol, ekonazol, isokonazol, tiokonazol,
dan bifonazol.
1. Mikonazol

16
Mikonazol merupakan turunan imidazol sintetik yang relatif stabil, mempunyai
spektrum ani jamur yang lebar baik terhadap jamur sistemik maupun jamur
dermatofit.
a. Mekanisme Kerja
Mikonazol menghambat sintesis ergosterol yang menyebabkan permeabilitas
membran sel jamur meningkat
b. Farmakokinetik
Daya absorbsi Miconazole melalui pengobatan oral kurang baik..
Miconazole sangat terikat oleh protein di dalam serum. Konsentrasi di dalam
CSF tidak begitu banyak, tetapi mampu melakukan penetrasi yang baik ke dalam
peritoneal dan cairan persendian.
Kurang dari 1% dosis parenteral diekskresi di dalam urin dengan komposisi
yang tidak berubah, namun 40% dari total dosis oral dieliminasi melalui kotoran
dengan komposisi yang tidak berubah pula.
Miconazole dimetabolisme oleh liver dan metabolitnya diekskresi di dalam usus
dan urin. Tidak satupun dari metabolit yang dihasilkan bersifat aktif.

c. Indikasi
Diindikasikan untuk dermatofitosis, tinea versikolor, dan kandidiasis
mukokutan.
d. Efek samping
Berupa iritasi dan rasa terbakar dan maserasi memerlukan penghentian terapi.
e. Sediaan dan dosis
Obat ini tersedia dalam bentuk krem 2% dan bedak tabur yang digunakan 2 kali
sehari selama 2-4 minggu.
f. Indikasi
Krem 2 % untuk penggunaan intravaginal diberikan sekali sehari pada malam
hari untuk mendapatkan retensi selama 7 hari.
Gel 2% tersedia pula untuk kandidiasis oral.
2.3.3 Golongan penghambat pembentukan dinding sel

17
Kelas echinocandin merupakan obat dalam golongan ini (contoh:
anidulafungin,caspofungin, micafungin). Golongan ini merupakan golongan antifungi
terbaru. Mekanisme kerja golongan ini adalah menghambat sintesis glucan pada
dinding sel fungi yang merusak keutuhan dinding sel. Echinocandin cocok digunakan
sebagai terapi pada infeksi candida dan aspergillus.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
a. Antifungi adalah obat-obat yang digunakan untuk menghilangkan infeksi yang
digunakan untuk menghilangkan infeksi yang disebabkan oleh jamur.
b. Infeksi pada jamur dapat terjadi pada :
a. Kulit oleh dermatofit (jamur yang hidup diatas kulit)
b. Selaput lendir mulut,bronchi, usus, dan vagina oleh sejenis ragi yang disebut
candida albicans.
c. Salah satu sebab meluasnya infeksi oleh fungi ialah meningkatnya pemakaian
antibiotik spektrum luas atau pemakaian kortikosteroid yang kurang tepat.
d. Penggolongan obat-obat antifungi dibedakan menjadi 5 yaitu :
a. Antibiotika
b. Asam-asam organik
c. Derivat imidazol
18
d. Derivat triazol
e. Dan obat lainnya
3.2 Saran
a. Infeksi jamur sering berkaitan dengan gangguan daya tahan tubuh, bila daya tahan
tubuh turun, maka pengobatan jamur sering mengalami kegagalan. Sebab itu
disarankan untuk pasien agar tetap menjaga ketahanan daya tahan tubuhnya.
b. Setelah memahami makalah ini semoga bermanfaat bagi pembaca.
c. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini oleh karena itu
sangat diharapkan kritik maupun saran dari pembaca, untuk peyempurnaan pada
makalah-makalah berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman,deden.2008.Biologi untuk SMK kelas X.Grafindo Media Pratama, Jakarta.

Buku Farmakologi kelas X | Departemen Kesehatan RI. Anti Jamur(Fungistatika).Mei


2004

Husada,Dian.Pengertian Obat Anti Jamur.01 Juni 2013.


http://dianhusadaikesutyaningsih.blogspot.com/p/pengertian-obat-anti-jamur.html.

Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


2007. Kumpulan Kuliah Farmakologi Ed. 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Obat Jamur. hlm.571.

Tjay, tan hoan dan kirana rahardja.2007. obat-obat penting. PT. Elex media komputindo
kelompok kompas gramedia, Jakarta.

19

Anda mungkin juga menyukai