Anda di halaman 1dari 5

1.

Epidemiologi leptospirosis di Indonesia


Internasional Leptospirosis Society menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara
dengan insiden Leptospirosis yang cukup tinggi dan untuk angka kematiannya Indonesia
menempati peringkat ketiga di dunia setelah Uruguay dan India, yaitu dengan angka kematian
sebesar 16,7% (WHO, 2004). Perkembangan Leptospirosis di Indonesia terjadi secara
fluktuatif. Pada tahun 2007, CFR Leptospitosis sebesar 8,2%,, tahun 2008 menurun sebesar
6,0%, tahun 2009 naik kembali menjadi 6,87%, tahun 2010 naik menjadi 10,51%, dan tahun
2011 turun kembali menjadi 9,57% (Depkes RI, 2012)
Daerah persebaran Leptospirosis di Indonesia meliputi Propinsi Jawa Barat, Jawa
Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera
Barat, Sumatera Utara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara,
Kalimatan Timur dan Kalimantan Barat (Depkes, 2008). Daerah dengan jumlah kasus maupun
kematian dengan insiden tertinggi adalah daerah beberapa daerah yang sering mengalami
banjir terutama di DKI Jakarta dan Jawa Tengah (Depkes RI, 2009). Jakarta merupakan
provinsi yang sering terkena banjir. Wilayah Jakarta tidak lepas dari bencana banjir dari sejak
awal Jakarta berdiri hingga sekarang (Depkes RI, 2014). Pada tahun 2002, terjadi outbreak
Leptospirosis seiring dengan terjadinya banjir besar di Jakarta (WHO 2011).
Menurut WHO (2003), leptospirosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteri patogen Spirochetes dari genus Leptospira, yang ditularkan secara langsung maupun
tidak langsung dari hewan ke manusia, sehingga penyakit ini digolongkan dalam zoonosis.
Beberapa ciri umum penyakit leptospirosis (Chin, 2000), diantaranya terjadinya demam
dengan serangan tiba-tiba, sakit kepala, menggigil, nyeri otot berat terutama pada betis dan
kaki dan merah pada conjunctiva (selaput mata) ini.
Secara epidemiologi, wilayah penyebaran leptospirosis umumnya pada daerah tropis dan
subtropics. Sebagian besar negara di Asia Tenggara dinyatakan sebagai daerah endemis
leptospirosis. Penyakit yang disebut reemerging infectious disease ini dalam
perkembangannya dipengaruhi oleh kondisi iklim, terutama pada musim penghujan serta
kemungkinan adanya kontak dengan lingkungan yang terkontaminasi leptospira. Penyakit ini
secara tradisional dihubungkan dengan penularan melalui tikus yang disebabkan oleh
reservoar icterohemorrhagiae dan copenhageni. Pada saat ini semua infeksi Leptospira lebih
sering disebut sebagai leptospirosis dengan mengabaikan gejala dan tanda klinik.
Penyakit infeksi akut leptospirosis dapat menular langsung atau tidak langsung dari
hewan ke manusia. Menurut WHO (2006), leptospirosis merupakan penyakit dengan gejala
klinis tidak spesifik dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosa tanpa uji laboratorium. Gejala
klinis leptospirosis dapat menyerupai penyakit lain yang sering dijumpai pada daerah
endemis, misalnya infeksi dengue, hanta virus, thypoid, hepatitis, malaria, meningitis. Hal ini
menyebabkan leptospirosis sering tidak terdiagnosis.
Penegakan diagnosis leptospirosis dilakukan berdasarkan gejala klinis pada penderita
serta pemeriksaan serologi untuk melihat peningkatan titer dari serum penderita dengan
pemeriksaan microscopic aglutination test (MAT). sesuai rekomendasi WHO kriteria gejala
dan atau tandatanda klinis yang dialami penderita antara lain demam, mialgia, ikterik,
conjunctival suffusion, nyeri otot dan albuminuria. Juga dimasukkan hasil pemeriksaan
serologi, faktor epidemiologi yang berkaitan dengan penularan leptospirosis (seperti riwayat
kontak dengan hewan pembawa leptospira, riwayat kontak dengan air dan atau lingkungan
yang terkontaminasi baik di tempat kerja maupun tempat lain, demikian juga dengan
beraktivitas sehari-hari yang memungkinkan penderita kontak dengan sumber kontaminan.
Detail lengkap kriteria diagnosis leptospirosis WHO sebagai berikut (Faine S, Guideline for
The Control of Leptospirosis, WHO, 1982)
Berdasarkan aspek lingkungan, insiden leptospirosis lebih banyak terjadi pada negara
beriklim tropis dan subtropis dengan curah hujan yang tinggi. Kondisi lingkungan pada daerah
tersebut menjadi sangat optimal bagi pertumbuhan Leptospira. Berdasarkan aspek umur,
Menurut Depkes RI (2008), leptospirosis termasuk penyakit infeksi yang menyerang semua
golongan umur, namun 50% kasus pada umumnya berada pada kelompok umur 10 39
tahun. Kelompok umur tersebut merupakan kelompok yang paling banyak kontak dengan
faktor risiko.
Lingkungan kumuh dengan sanitasi buruk terkait erat dengan kejadian leptospirois, hal
mana disebabkan karena peningkatan populasi tikus sehingga memperbesar kemungkinan
kontak antara manusia dengan hewan terinfeksi. Manusia dapat terinfeksi leptospira melalui
kontak dengan air, tanah atau lumpur yang terkontaminasi oleh urine hewan yang terinfeksi.
Infeksi ini terjadi karena adanya luka/erosi pada kulit maupun selaput lendir. Air tergenang
dan mengalir lambat yang terkontaminasi urin hewan infektif berperan dalam penularan
leptospirosis. Paparan yang relatif lama pada genangan air yang terkontaminasi leptospira
terhadap kulit yang utuh dapat juga menularkan leptospira.
Menurut Zein (2009), Leptospirosis pada hakikatnya adalah infeksi hewan. Infeksi pada
manusia terjadi akibat kontak dengan air atau zat-zat lain yang terkontaminasi dengan tinja
dan air kemih hewan. Leptospira bisa terdapat pada hewan piaraan seperti anjing, babi, lembu,
kuda, kucing, marmut atau hewan-hewan pengerat lainnya seperti tupai, musang, kelelawar,
dan lain sebagainya. Vektor utama dari Icterohaemorrhagiae penyebab leptospirosis pada
manusia adalah tikus. Di dalam tubuh tikus, leptospira menetap dan membentuk koloni
sertaberkembang biak di dalam epitel tubulus ginjal tikus dan terus menerus ikut mengalir
dalam filtrat urin.
Sementara menurut Depkes RI (2008), leptospirosis disebut juga direct zoonoses (host to
host transmission), karena penularannya hanya memerlukan satu vertebrata saja. Penyakit
tersebut berkembang bebas di alam di antara hewan liar maupun domestik, sedangkan
manusia merupakan terminal atau dead end, sehingga leptospirosis disebut juga sebagai
anthrop ozoonoses.

Depkes RI. 2008. Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan Penanggulangan kasus


Leptopsirosis di Indonesia;
Chin, J., 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular;
WHO. 2003. Human Leptosirosis Guidance For Diagnosis, Surveillance And Control;
Zein. 2009. Leptospirosis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam;
ILS. 2001. ILS Worldwide Survei 1998, 1999, 2000;
Faine, S. 1982. Guidelines For The Control of Leptospirosis, WHO;
Depkes RI. 2012. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2011;
Widoyono. 2005. Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasan
http://publichealth-journal.helpingpeopleideas.com/epidemiologi-leptospirosis

2. Pencegahan Leptospirosis
Penyediaan logistik di sarana kesehatan, koordinasi dengan pemangku kepentingan dan sektor
terkait, penemuan dini penderita dan pelayanan pengobatan yang tepat di puskesmas dan rumah
sakit melalui penyuluhan masyarakat tentang tanda-tanda penyakit, resiko kematian serta
tatacara pencarian pertolongan.
Upaya pencegahan terhadap penyakit Leptospirosis dengan cara sebagai berikut :
1. Melakukan kebersihan individu dan sanitasi lingkungan antara lain mencuci kaki, tangan
dan bagian tubuh lainnya setelah bekerja di sawah.
2. Pembersihan tem pat penyimpanan air dan kolam renang.
3. Pendidikan kesehatan tentang bahaya, cara penularan penyakit dengan melindungi
pekerja beresiko tinggi dengan penggunaan sepatu bot dan sarung tangan, vaksinasi terhadap
hewan peliharaan dan hewan ternak.
4. Pemeliharaan hewan yang baik untuk menghindari urine hewan-hewan tersebut terhadap
masyarakat.
5. Sanitasi lingkungan dengan membersihkan tempat-tempat habitat sarang tikus.
6. Pemberantasan rodent bila kondisi memungkinkan.
Surveilans Ketat Pada KLB
1. Pengamatan perkembangan jumlah kasus dan kematian leptospirosis menurut lokasi
geografis dengan melakukan surveillans aktif berupa data kunjungan berobat, baik register
rawat jalan dan rawat inap dari unit pelayanan termasuk laporan masyarakat yang kemudian
disajikan dalam bentuk grafik untuk melihat kecenderungan KLB.
2. Memantau perubahan faktor risiko lingkungan yang menyebabkan terjadinya perubahan
habitat rodent (banjir, kebakaran, tempat penampungan pengungsi, daerah rawa dan gambut).
Sistem Kewaspadaan Dini KLB
1. Pemantauan terhadap kesakitan dan kematian leptospirosis.
2. Pemantauan terhadap distribusi rodent serta perubahan habitatnya, banjir
3. Pemantauan kolompok risiko lainnya, seperti petani, pekerja perkebunan, pekerja
pertambangan dan selokan, pekerja rumah potong hewan, dan militer
http://www.indonesian-publichealth.com/epidemiologi-leptospirosis-2/

3. Review Kebiajakan Leptospirosis di Indonesia


KEBIJAKAN OPERASIONAL PENGENDALIAN
1. Pengendalian leptospirosis dilakukan secara desentralisasi dan otonomi
2. Pelaksanaan pengendalian Leptospirosis dilakukan dgn memperkuat kerjasama lintas
program dan lintas sektor terkait secara terpadu dgn koordinator Komda Pengendalian
Zoonosis di daerah (kab/Kota/Prov) dan Komnas Pengendalian Zoonosis di jenjang Nasional.
3. Pengendalian leptospirosis mengikutsertakan peran serta aktif semua komponen
masyarakat
4. Penatalaksanaan kasus dilaksanakan secara dini sejak diagnosa klinis suspek ditegakkan
dgn pemberian pengobatan antibiotika sesuai dgn petunjuk teknis.
5. Pembiayaan pengendalian Leptospirosis berasal dari Kab/Kota, Provinsi dan pemerintah
Pusat serta bantuan masyarakat, internasional yang tidak mengikat dan tak bertentangan
dengan peraturan yang berlaku.
6. Peningkatan kapasitas sumberdaya terutama sumber daya manusia melalui berbagai
pelatihan/sosialisasi Leptospirosis.
7. Mengembangkan jejaring pengendalian leptospirosis disetiap jenjang administrasi
pemerintahan dengan berbagai mitra pemangku kepentingan.
8. Meningkatkan pembinaan teknis dan monitoring untuk mencapai kualitas pelaksanaan
secara optimal,
9. Melaksanakan evaluasi untuk mengetahui hasil kegiatan program dan sebagai dasar
perencanaan selanjutnya.

Upaya yang akan dilaksanakan


Meningkatkan surveilans dengan memanfaatkan system SKDR (EWARS) dan
pengembangan surveilans berbasis rumah sakit.
Peningkatkan kegiatan surveilans di daerah yang belum ada laporan kasus yang
mempunyai faktor risiko tinggi untuk dikembangkan Hospital surveillans dengan
memanfaatkan RDT.
Pengembangan jejaring laboratorium antara hewan dan manusia serta kerjasama sharing
informasi dengan BBvet Bogor.
Peningkatan pengendalian faktor risiko baik pada tikus dan hewan ternak di daerah yang
terjadi KLB dan endemis dengan kegiatan pengendalian dengan fokus di tempat umum
seperti pasar, bandara, terminal dan tempat rekreasi serta desinfeksi lingkungan dengan
khlorinasi .
Sosialisasi pengendalian Leptospirosis untuk tenaga kesehatan di Puskesmas, Rumah
Sakit dan Pengelola program di tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi di daerah endemis
terjadi KLB Leptospirosis.

Anda mungkin juga menyukai