Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
BAB I PENDAHULUAN
dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, pemerintah daerah
diberi kewenangan yang luas dalam menyelenggarakan semua urusan pemerintah mulai dari
bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan keuangan, agama dan
pemerintah daerah melalui otonomi daerah diberikan kewenangan yang lebih luas, lebih nyata
dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-
sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing. Ini merupakan kesempatan yang sangat
kewenangan yang menjadi hak daerah. Pemerintah daerah bebas berkreasi dan berekspresi
dalam rangka membangun daerahnya, tentu saja dengan tidak melanggar ketentuan hukum
yaitu perundang-undangan.
Halim (2007:253) menjelaskan bahwa ciri utama suatu daerah yang dapat melaksanakan
otonomi yaitu kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki kewenangan
untuk dapat menggali sumber keuangan yang ada di daerah, mengelola dan menggunakan
keuangan sendiri untuk membiayai kegiatan pemerintahan, dan ketergantungan terhadap dana
dari pemerintah pusat harus seminimal mungkin agar pendapatan asli daerah menjadi sumber
keuangan terbesar.
Lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, mengemukakan bahwa
daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Memberikan
harkat dan martabat masyarakat di daerah, memberikan peluang pendidikan politik dalam
daerah, dan pada akhirnya diharapkan pula penciptaan cara berpemerintahan yang baik (good
government).
Pemberian hak otonomi kepada pemerintah daerah untuk menentukan anggaran
pendapatan dan belanja daerah (APBD) sendiri sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerah.
Menurut Halim (2007: 230), mengungkapkan bahwa kemampuan pemerintah daerah dalam
mengelola keuangan daerah dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
pelayanan sosial masyarakat. Evaluasi terhadap pengelolaan keuangan daerah dan pembiayaan
keuangan daerah akan sangat menentukan kedudukan suatu pemerintah daerah dalam rangka
yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun
barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh negara
atau daerah yang lebih tinggi serta pihak- pihak lain sesuai dengan ketentuan/peraturan
daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah
daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan daerah
pembangunan, terciptanya perekonomian daerah yang mandiri sebagai usaha bersama atas
asas kekeluargaan berdasarkan demokrasi ekonomi yang berlandaskan Pancasila dan Undang-
umum pengelolaan keuangan daerah berdasarkan peraturan menteri ini yaitu bahwa keuangan
daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien,
kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. Pengelolaan keuangan daerah pada dasarnya
keuangan daerah menjelaskan tentang aspek kebijakan keuangan daerah, yang berkaitan
dengan pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah guna mewujudkan visi dan misi daerah.
Secara spesifik, tujuan pelaporan keuangan oleh pemerintah daerah adalah untuk
menyajikan informasi yang berguna untuk pengambilan keputusan dan untuk menunjukkan
Pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas untuk menjalankan roda pemerintahan,
keuangan daerahnya untuk dinilai apakah ia berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau
tidak.
Laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Lombok Barat selama 5 (lima) tahun terakhir
dari tahun 2009 s/d 2013 ditunjukkan dalam tabel perkembangan APBD Kab. Lombok Barat
sebagai berikut:
Dari gambaran struktur APBD Kabupaten Lombok Barat selama 5 (lima) tahun
anggaran, pada sisi pendapatan menunjukkan bahwa Dana Perimbangan masih mendominasi
penerimaan daerah dibandingkan dengan PAD. Hal ini mengindikasikan masih tingginya
Pusat selama kurun waktu 2009-2013 kendati paket otonomi daerah telah digulirkan. Pada sisi
belanja kebutuhan belanja daerah terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, hal ini
merupakan dampak dari kewenangan otonomi daerah dimana pemerintah daerah secara aktif
dan lebih leluasa melakukan pembiayaan dalam upaya pengembangan segala bentuk aktifitas
dengan pengelolaan APBD, perlu ditetapkan standar atau acuan kapan suatu daerah dikatakan
mandiri, efektif dan efisien serta akuntabel. Untuk itu diperlukan suatu pengukuran kinerja
keuangan pemerintah daerah sebagai tolak ukur dalam penetapan kebijakan keuangan pada
tahun anggaran selanjutnya. Pengukuran kinerja sangat penting untuk menilai akuntabilitas
sekedar kemampuan menunjukan bagaimana uang publik dibelanjakan, akan tetapi meliputi
kemampuan yang menunjukan bahwa uang publik tersebut telah dibelanjakan secara
ekonomis, efektif dan efisien. Dalam sistem manajemen strategi, pengukuran kinerja berfungsi
sebagai alat penilai apakah strategi yang sudah ditetapkan telah berhasil dicapai. Dari hasil
pengukuran kinerja dilakukan feedback sehingga tercipta sistem pengukuran kinerja yang
Berdasarkan feedback (umpan balik) hasil pengukuran kinerja bisa memperbaiki kinerja pada
periode berikutnya baik dalam perencanaan maupun dalam implementasi (Mahsun, 2006:145).
Mardiasmo (2002:121) menyatakan bahwa pengukuran kinerja dilakukan untuk
memenuhi tiga maksud. Pertama, untuk membantu memperbaiki kinerja pemerintah. Kedua,
untuk mengalokasikan sumber daya dan pembuatan keputusan. Ketiga, untuk mewujudkan
(2002:139) inti dari pengukuran kinerja organisasi pemerintah adalah value for money. Value
for money merupakan konsep pendekatan pengukuran kinerja biasanya dinyatakan dengan
tingkat ekonomis, efisiensi dan efektifitas. Ekonomis merupakan pengelolaan hati-hati tanpa
ada pemborosan, sementara efisiensi adalah membandingkan antara jumlah output yang
dihasilkan terhadap input yang digunakan, serta efektifitas merupakan hubungan antara
daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah
membandingkan hasil yang dicapai dari suatu periode dibandingkan dengan periode
sebelumnya sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain itu dapat
pula dilakukan dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan pemerintah daerah
tertentu dengan rasio keuangan daerah lain yang terdekat ataupun potensi daerahnya relatif
sama untuk dilihat bagaimana posisi keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap
yaitu rasio kemandirian merupakan kemampuan pemerintah daerah untuk mendanai kegiatan
pemerintah, pembangunan, serta pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak
dan retribusi (Halim, 2007:232). Bila PAD yang diperoleh oleh daerah tinggi maka persentase
PAD dalam membiayai pelayanan pembangun juga tinggi, begitu pula sebaliknya. Menurut
Usman (2011) kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang rendah dengan rasio di bawah
merealisasikan PAD yang telah direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan
berdasarkan potensi riil daerah (Halim, 2007:234). Rasio efisiensi adalah rasio yang
daerah (Halim, 2007:234), dan rasio pertumbuhan pendapatan berfungsi dalam mengukur
Keuangan Daerah dan Tingkat Kemandirian Daerah Kota Malang menunjukkan bahwa secara
umum kinerja pengelolaan keuangan daerah dan tingkat kemandirian daerah kota Malang
terus membaik, hal tersebut dapat terlihat dari beberapa rasio kinerja keuangan daerah yaitu
rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektivitas, dan rasio efisiensi yang terus meningkat
dan berpengaruh baik terhadap kemandirian daerahnya meskipun ada beberapa rasio kinerja
keuangan daerah yang terus menurun atau memiliki trend negatif seperti rasio aktivitas dan
rasio pertumbuhan.
Menurut Mardiasmo, (2002: 169) Penggunaan analisis rasio keuangan sebagai alat
analisis kinerja keuangan secara luas telah diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat
komersial, sedangkan pada lembaga publik khususnya pemerintah kabupaten masih sangat
terbatas sehingga secara teoritis belum ada kesepakatan yang bulat mengenai nama dan kaidah
demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, maka analisis rasio keuangan terhadap pendapatan
belanja daerah perlu dilaksanakan meskipun kaidah pengakuntansian dalam APBD berbeda
dengan laporan keuangan yang dimiliki perusahaan swasta. Hal tersebut di atas mendorong
penulis untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan Analisis Rasio Untuk
2009 s/d 2013 berdasarkan analisis Rasio Keuangan terhadap APBD Kabupaten Lombok
Barat?
Daerah Kabupaten Lombok Barat tahun 2009 s/d 2013 berdasarkan analisis Rasio Keuangan
dewasa ini.
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
perundang-undangan.
Adapun tujuan otonomi daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 adalah untuk
rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat serta peningkatan
potensi daerah secara optimal dan terpadu secara nyata dan bertanggungjawab sehingga
Pusat campur tangan di daerah yang akan memberikan peluang untuk koordinasi tingkat
lokal.
Sistem kewenangan pemerintahan dalam otonomi daerah diatur melalui pola
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Sistem hubungan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 (telah mengalami
perubahan sebanyak dua kali yang terakhir UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sedangkan Desentralisasi fiskal secara singkat dapat diartikan sebagai suatu
proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada
pemerintahan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan
dan atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Dana yang berasal dari APBN
yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah yang mencakup semua
daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa
serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Penyelenggaraan asas tugas pembantuan adalah cerminan dari sistem dan prosedur
penugasan Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada
kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/ kota kepada desa untuk
ekonomi daerah (PDRB) riel, sehingga pendapatan per kapita akan terdorong. (2)
dan pelayanan publik, harus pula diiringi dengan penerapan prinsip good governance
proses penyelenggaraan kekuasaan dalam menyediakan barang dan jasa publik (public
goods dan services). Prinsip-prinsip good governance antara lain adalah prinsip
yang baru yaitu New Public Management yang berfokus pada manajemen keuangan
manajemen public klasik yang kemudian memunculkan suatu model manajemen publik
yang mengadopsi spirit dan teknik-teknik dari sektor bisnis, inilah yang selanjutnya
disebut sebagai New Public Management. Jadi, ini merupakan hasil evaluasi terhadap
kinerja birokrasi publik klasik yang memiliki kinerja lemah, lamban, kaku, boros,
orientasi prosedural, tidak peka terhadap kepentingan publik, melayani diri sendiri dan
kinerjanya. Atau dibahasakan oleh Eko Prasodjo (2007), NPM merupakan reformasi
paradigma administrasi publik lama yang berbasiskan traditional ruled based, authority
driven process dengan pendekatan baru yang berbasiskan pada market (mekanisme
Yeremias T. Keban (2004) terdiri dari tujuh doktrin. Pertama, menggunakan manajemen
profesional dalam sektor publik. Kedua, menggunakan indikator kinerja. Ketiga, lebih
fokus pada kontrol output. Keempat, perhatian lebih diarahkan pada unit-unti kecil dari
Republik Indonesia Nomor 58 tahun 2005, pengelolaan keuangan daerah adalah semua
hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerinah daerah yang dapat
dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan
dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005, tentang
keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka
daerah yang mandiri sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan berdasarkan
demokrasi ekonomi yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
Asas umum pengelolaan keuangan daerah berdasarkan peraturan menteri ini yaitu
bahwa keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan,
azas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. Pengelolaan keuangan daerah
keuangan daerah, yang berkaitan dengan pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah
bagi daerah yang akan menimbulkan perbedaan antar daerah satu dengan lainnya,
terutama dalam hal kemampuan keuangan daerah, Suatu daerah mampu melaksanakan
otonomi daerah apabila memiliki kemampuan sebagai berikut (Nataluddin, 2001: 167):
a. Kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki kewenangan dan
penyelenggaraan pemerintahannya.
b. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin agar
proyek-proyek daerah dalam 1 tahun anggaran tertentu, dan pihak lain menggambarkan
pengeluaran-pengeluaran dimaksud.
. Menurut Halim (2002: 245), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah
merupakan rencana kerja pemerintah daerah yang diwujudkan dalam bentuk uang
(rupiah) selama periode tertentu (satu tahun) serta merupakan salah satu instrumen
mengenai apa yang akan dilakukan pemerintah di masa yang akan datang (Ekawarna,
Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
selanjutnya disebut APBD adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang
dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
daerah menurut Permendagri no.13 tahun 2006 ps. 16 APBD, adalah sebagai berikut :
a. Fungsi otoritas yaitu merupakan dasar untuk melaksanakan pendapatan dan
telah ditetapkan.
d. Fungsi alokasi yaitu harus diarahkan untuk menciptakan lapangan
fungsi-fungsi diatas. Adapun Struktur ABPB terdiri dari Penerimaan Daerah dan
Pendapatan Daerah dan Pembiayaan. Bentuk dan struktur APBD menurut permendagri
Jumlah Pendapatan
2 BELANJA
Belanja Tidak Langsung xxx xxx
Belanja Pegawai
Belanja Bunga
Belanja Subsidi
Belanja Hibah
Belanja Bantuan Sosial
Belanja Bantuan Keuangan
Belanja Langsung xxx xxx
Belanja Pegawai
Belanja Barang dan Jasa
Belanja Modal
Jumlah Belanja xxx xxx
Surplus/(Defisit) xxx xxx
3 PEMBIAYAAN
Penerimaan Pembiayaan xxx xxx
Sisa Lebih Perhitungan
Anggaran Tahun Lalu
Pencairan Dana Cadangan
Hasil Penjualan Kekayaan
Daerah yg Dipisahkan
Penerimaan Pinjaman Daerah
Penerimaan Kembali Pemberian
Pinjaman
Penerimaan Piutang Daerah
Pengeluaran Pembiayaan xxx xxx
Pembentukan Dana Cadangan
Investasi Pemda
Pembayaran Pokok Utang
Pemberian Pinjaman Daerah
xxx xxx
Jumlah Pembiayaan
Kinerja Instansi Pemerintah menegaskan bahwa laporan yang harus disusun dalam
menyampaikan laporan keuangan tahunan kepada DPRD yang terlebih dahulu diperiksa
disampaikan oleh kepala daerah kepada DPRD selambat-lambatnya enam bulan setelah
Kedua, untuk mengalokasikan sumber daya dan pembuatan keputusan. Ketiga, untuk
mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan.
adalah value for money. Value for money merupakan konsep pendekatan pengukuran
adalah membandingkan antara jumlah output yang dihasilkan terhadap input yang
digunakan, serta efektifitas merupakan hubungan antara keluaran dengan tujuan yang
harus dicapai.
Sistem Pengukuran kinerja anggaran adalah suatu sistem yang bertujuan untuk
penyusunan program dan tolak ukur kinerja sebagai instrumen untuk mencapai tujuan
dan sasaran program dan kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang akan
atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan
kualitas yang terukur (Permendagri No.13 Tahun 2006 Pasal 1 ayat 37). Sedangkan
kerja (work load) dan unit cost dari setiap kegiatan yang terstruktur (Ekawarna, Sam
organisasi dan manajer dalam menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik.
dibelanjakan, akan tetapi kemampuan menunjukkan bahwa uang publik tersebut telah
keluaran (output) dan hasil (outcome). Indikator Kinerja adalah sesuatu yang akan
dihasilkan dari suatu kegiatan berupa barang atau jasa. Keberhasilan suatu kegiatan
diukur dengan output, sedangkan program diukur dengan outcome. Output adalah
sesuatu yang diperoleh baik berupa barang atau jasa setelah dilaksanakannya suatu
kegiatan.
keuangan daerah sebagai dasar penilaian kinerja keuangannya. Salah satu alat ukur
kinerja adalah analisis rasio keuangan yang digunakan sebagai konsep pengelolaan
dicapai dari satu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya sehingga dapat
diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi (Halim, 2007:232). Selain itu, dapat
dilakukan dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan yang dimiliki suatu
pemerintah daerah tertentu dengan rasio keuangan daerah lain yang terdekat ataupun
potensi daerah relatif sama untuk dilihat bagaimana posisi keuangan pemerintah daerah
yang penting tentang keadaan keuangan dan kegiatan perusahaan berdasarkan laporan
otonomi daerah.
b. Mengukur efisiensi dan efektivitas dalam merealisasikan pendapatan daerah.
c. Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan
pendapatan daerahnya.
d. Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan
pendapatan daerah.
e. Melihat pertumbuhan atau perkembangan perolehan pendapatan dan
daerah yang berasal dari sumber yang lain, misalnya bantuan pemerintah
operasi pada sektor publik sehingga suatu kegiatan dikatakan efektif jika
(Halim 2007:234).
d. Rasio Efisiensi Pendapatan Asli Daerah
Menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan
dikategorikan efisien apabila rasio yang dicapai kurang dari 1 (satu) atau
semakin baik. Untuk itu pemerintah daerah perlu menghitung secara cermat
keberhasilan itu kurang memiliki arti apabila ternyata biaya yang dikeluarkan
positif, yaitu belanja yang dilakukan tidak lebih besar dari total pendapatan
yang diterima pemerintah daerah. Rasio ini menunjukkan adanya surplus dan
defisit anggaran. Surplus atau defisit yaitu selisih lebih/ kurang antara
h. Rasio Pertumbuhan
Analisis pertumbuhan dilakukan untuk mengetahui perkembangan kinerja
2007:241).
pemerintah Kabupaten Gorontalo masih sangat rendah dengan rasio di bawah 100 % ,
Bulukumba ditinjau dari rasio kemandirian, efektivitas dan efisiensi, aktivitas, dan
(2008-2010) kurang baik karena hampir semua perhitungan rasio mengalami penurunan
kinerja.
Wahyuni (2007) meneliti tentang Analisis Rasio Untuk Mengukur Kinerja
kinerja pengelolaan keuangan Kota Malang berdasarkan analisis rasio keuangan adalah
yang lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya. Rata-rata relaisasi PAD diatas 100%
yaitu sebesar 100, 97%. Defisiit anggaran dari tahun ke tahun juga semakin turun
bahkan pada tahun 2006 kota Malang mengalami surplus anggaran yakni sebesar Rp
35.721.565.841,45. Namun ada beberapa aspek yang perlu diperbaiki oleh pemerintah
kota Malang seperti kemandirian keuangan kota Malang yang masih rendah dan
aktifitas pemerintah kota Malang dalam membelanjakan dana yang sebagian besar
Daerah dan Tingkat Kemandirian Daerah Di Era Otonomi Daerah: Studi Kasus Kota
Malang (Tahun Anggaran 2007-2011) ditinjau dari rasio kemandirian, efektivitas dan
daerah Kota Malang bersifat instruktif karena memiliki rata-rata 18,76% (<25%), rasio
asli daerah cenderung stabil atau sangat efektif, rasio efisiensi Kota Malang prosentase
maksimal, dan rasio aktivitas Pemerintah Kota Malang di era otonomi daerah
dalam mengelola keuangan daerahnya terlihat dari rasio pertumbuhan yang mengalami
trend positif (PAD dan Pendapatan Daerah), meskipun ada juga yang mengalami trend
(tingkat kemandirian daerah) yang ditinjau dari persentase Pendapatan Asli Daerah
(PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah dengan rata-rata persentase 3,40 % sebelum
otonomi daerah dan 3,14 % sesudah otonomi daerah. Persentase Bagi hasil Pajak dan
Bukan Pajak (BHPBP) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) menunjukkan bahwa
pada masa sebelum otonomi daerah lebih tinggi dengan rata-rata persentase sebesar
10,07 % dari pada sesudah otonomi daerah yakni dengan rata-rata persentase sebesar
5,65 %. Persentase Sumbangan daerah (SB) terhadap Total penerimaan daerah (TPD)
derajat desentralisasi fiskal (tingkat kemandirian daerah) pada masa sebelum otonomi
daerah lebih tinggi dengan rata-rata persentase sebesar 76,63 % di bandingan setelah
otonomi daerah diberlakukan yakni rata-rata persentase sebesar 70,80. Kebutuhan fiskal
sebelum otonomi daerah lebih rendah dengan rata-rata persentase sebesar 4,16 % dari
pada sesudah otonomi daerah diberlakukan dengan ratarata persentase sebesar 4,69 %.
Kapasitas fiskal sebelum kebijakan otonomi daerah lebih rendah dengan rata-rata
persentase sebesar 3,59 % dari pada sesudah kebijakan otonomi daerah diberlakukan
dengan rata-rata persentase sebesar 4,51 %. Dan upaya fiskal pada masa setelah
elastisitasnya sebesar 2,11 % dari pada sebelum otonomi daerah dengan ratarata
rasio kemandirian kota Manado masih sangat rendah, rasio efektiftivitas cukup efektif.
Pada rasio aktivitas pemerintah kota Manado memperioritaskan dananya pada belanja
operasi. Rasio pengelolaan belanja sudah sangat baik karena melebihi 100% yang
setiap tahunnya, sedangkan rasio pertumbuhan belanja operasi masih sangat tinggi
keuangan daerah kota Manado berdasarkan analisis rasio keuangan cukup baik.
terkait dengan pengelolaan APBD, perlu ditetapkan standar atau acuan kapan suatu
daerah dikatakan mandiri, efektif dan efisien serta akuntabel. Untuk itu diperlukan
suatu pengukuran kinerja keuangan pemerintah daerah sebagai tolak ukur dalam
menunjukan bahwa uang publik tersebut telah dibelanjakan secara ekonomis, efektif
dan efisien. Dalam sistem manajemen strategi, pengukuran kinerja berfungsi sebagai
alat penilai apakah strategi yang sudah ditetapkan telah berhasil dicapai. Dari hasil
memperbaiki kinerja pada periode berikutnya baik dalam perencanaan maupun dalam
Barat pada tahun 2009 s/d 2013 dengan membandingkan indikator kinerja keuangan
efisiensi , aktivitas Debt Service Coverage Ratio (DSCR), pengelolaan belanja, dan
pertumbuhan. Dari tujuh indikator ini akan dilakukan pemeringkatan kinerja keuangan
Rasio Ketergantungan
Keuangan Daerah
Rasio Efektifitas PAD
Rasio Pertumbuhan
Barat tahun 2009 s/d 2013 berdasarkan analisis Rasio Keuangan terhadap APBD
Barat tahun 2009 s/d 2013 berdasarkan analisis Rasio Keuangan terhadap APBD
Kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Lombok Barat
dilihat dari rasio keuangan. Analisis rasio keuangan dilakukan dengan membandingkan hasil
yang dicapai dari satu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya sehingga dapat
yang beralamat di Jln. Soekarno-Hatta. Gerung. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan
november 2014.
seluruh data berupa Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
3.4 Variabel penelitian meliputi klasifikasi variabel dan definisi operasional variabel
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kinerja keuangan pemerintah
daerah yang mencakup beberapa parameter berupa rasio menurut Abdul Halim (2007) dan
daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber yang lain,
misalnya bantuan pemerintah pusat ataupun dari pinjaman (Halim 2007: 232).
3.4.2. Rasio ketergantungan Keuangan Daerah
Menurut Mahmudi (2010 : 142) rasio ketergantungan keuangan daerah dihitung
penerimaan daerah dengan total penerimaan daerah. Semakin tinggi rasio ini maka
pada sektor publik sehingga suatu kegiatan dikatakan efektif jika kegiatan tersebut
efisien apabila rasio yang dicapai kurang dari 1 (satu) atau dibawah 100%. Semakin
kecil rasio efisiensi berarti kinerja pemerintahan semakin baik. Untuk itu
pemerintah daerah perlu menghitung secara cermat berapa besar biaya yang
tidak. Hal itu perlu dilakukan karena meskipun pemerintah daerah berhasil
namun keberhasilan itu kurang memiliki arti apabila ternyata biaya yang dikeluarkan
alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan secara optimal.
Semakin tinggi presentase dana yang dialokasikan untuk belanja rutin berarti
2007:236)
3.4.6. Debt Service Coverage Ratio (DSCR)
Dalam rangka melaksanakan pembangunan sarana dan prasarana didaerah,
alternatif sumber dana lain, yaitu dengan melakukan pinjaman, sepanjang prosedur
oleh pemerintah daerah memiliki equitas antara periode yang positif, yaitu belanja
yang dilakukan tidak lebih besar dari total pendapatan yang diterima pemerintah
daerah. Rasio ini menunjukkan adanya surplus dan defisit anggaran. Surplus atau
defisit yaitu selisih lebih/ kurang antara pendapatan dan belanja selama satu periode
laporan.
3.4.8. Rasio Pertumbuhan
Analisis pertumbuhan dilakukan untuk mengetahui perkembangan kinerja
keuangan serta kecenderungan baik berupa kenaikan atau penurunan kinerja selama
kurun waktu tertentu. Rasio pertumbuhan (growth ratio) mengukur seberapa besar
berupa gambaran umum Kabupaten Lombok Barat dan data kuantitatif berupa Laporan
Realisasi APBD Kabupaten Lombok Barat tahun anggaran 2009-2013. Dilihat dari
sumbernya maka pengumpulan data dapat menggunakan: sumber primer adalah sumber data
yang langsung memberikan data kepada pengumpul data dan sumber sekunder merupakan
sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data misalnya lewat orang
lain atau lewat dokumen (Sugiyono, 2010:193). Dalam penelitian ini menggunakan sumber
data sekunder yaitu berupa catatan-catatan, laporan keuangan, dan berbagai publikasi yang
terkait dengan masalah yang diangkat. Data penelitian ini diperoleh dari Direktorat Jenderal
Daerah tahun 2009 s/d 2013 yang dipublikasikan (www.djpk.depkeu.go.id/) dengan format
berdasarkan kriteria dan kebutuhan rumus dari masing-masing rasio yang dikemukakan oleh
Abdul Halim, kemudian diolah secara manual dan kemudian dianalisis dan diinterpretasikan
informasi melalui penelaahan pada teori-teori yang dipelajari lewat buku, literatur,
dan jurnal untuk digunakan sebagai dasar teori yang melengkapi proses penyusunan
tesis ini.
3.5.2 Dokumentasi yaitu dengan mengumpulkan data yang akan diteliti berupa Laporan
Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Lombok Barat tahun
merupakan alat ukur kinerja keuangan. Rumus yang digunakan dalam mengukur
pendapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari
sumber yang lain, misalnya bantuan pemerintah pusat ataupun dari pinjaman
data ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat
pusat dan propinsi) semakin rendah, dan demikian pula sebaliknya. Rasio
pendapatan asli daerah. Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi
daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin
tinggi.
penerimaan daerah dengan total penerimaan daerah. Semakin tinggi rasio ini
pemerintah pusat dan / atau pemerintah provinsi. Rasio ini dirumuskan sebagai
berikut:
PendapatanTransfer
Rasio ketergantungan Keuangan Daerah= x 100
Total Penerimaan D a erah(TPD)
pada sektor publik sehingga suatu kegiatan dikatakan efektif jika kegiatan
Realisasi PAD
Rasio Efektifitas PAD= x 100
Target PAD yang Ditetapkan
rasio yang dicapai minimal sebesar 1 (satu) atau 100%. Namun demikian semakin
tinggi rasio efektifitas, menggambarkan kemampuan daerah yang semakin baik.
efisien apabila rasio yang dicapai kurang dari 1 (satu) atau dibawah 100%.
Semakin kecil rasio efisiensi berarti kinerja pemerintahan semakin baik. Untuk
itu pemerintah daerah perlu menghitung secara cermat berapa besar biaya yang
tidak. Hal itu perlu dilakukan karena meskipun pemerintah daerah berhasil
ditetapkan, namun keberhasilan itu kurang memiliki arti apabila ternyata biaya
60%-80% Efisien
alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan secara optimal.
Semakin tinggi presentase dana yang dialokasikan untuk belanja rutin berarti
(Halim 2007:236):
Belum ada patokan yang pasti berapa besarnya rasio belanja rutin maupun
belanja pembangunan sendiri adalah belanja modal. Dan nama akun belanja
Bagian Daerah (BD) dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB). Penerimaan Sumber Daya Alam dan Bagian
Daerah lainnya serta Dana Alokasi Umum setelah dikurangi Belanja Wajib,
dengan penjumlahan Angsuran Pokok, Bunga dan Pinjaman lainnya yang jatuh
( PAD+ BD + DAU ) BW
DSCR= x 100
Total ( AP+BP+ BL)
dilakukan oleh pemerintah daerah memiliki ekuitas antara periode yang positif,
yaitu belanja yang dilakukan tidak lebih besar dari total pendapatan yang diterima
pemerintah daerah. Rasio ini menunjukkan adanya surplus dan defisit anggaran.
Surplus atau defisit yaitu selisih lebih/ kurang antara pendapatan dan belanja
selama satu periode laporan. Rasio pengelolaan belanja dapat dirumuskan sebagai
berikut:
Total Pendapatan
Rasio Pengelolaan Belanja= x 100
Total Belanja
8. Rasio Pertumbuhan
Analisis pertumbuhan dilakukan untuk mengetahui perkembangan kinerja
keuangan serta kecenderungan baik berupa kenaikan atau penurunan kinerja selama
kurun waktu tertentu. Rasio pertumbuhan (growth ratio) mengukur seberapa besar
sebagai berikut:
DAFTAR PUSTAKA
Anastasia, Melisa. 2012. Evaluasi Kinerja Keuangan Daerah Kabupaten Bulukumba. Universitas
Hasanuddin. Makassar.
Ekawarna, Shita Unjaswati, Iskandar Sam, dan Sri Rahayu. 2009. Pengukuran Kinerja Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Daerah Kbupaten Muaro Jambi.
Jurnal Cakrawala Akuntansi. Vol 1, No. 1. Februari.
Emanuel be haukilo. 2011. Evaluasi Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Timor
Tengah Utara (studi kasus sebelum dan sesudah otonomi daerah). Universitas Negeri
Sebelas Maret Surakarta
Fidelius. 2013. Analisis Rasio Untuk Mengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah Kota
Manado. Universitas Sam Ratulangi Manado
Halim, Abdul. 2007. Akuntansi Keuangan Daerah. Edisi ke 3. Salemba Empat. Jakarta.
Keban, Yeremias. T. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik, Konsep, Teori, dan Isu.
Yogyakarta. Gava Media.
Kuncoro, Mudrajad, 2009. Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi. Edisi 3. Erlangga. Jakarta.
Mahmudi. 2010. Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. UPP STIM YKPN. Yogyakarta
Mamesah, D.J. 1995. Sistem Administrasi Keuangan Daerah. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Nataluddin. 2001. Potensi Dana Perimbangan Pada Pemerintahan Daerah di Propinsi Jambi,
Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta : UPP YKPN
Oesi Agustina. 2013. Analisis Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah dan Tingkat Kemandirian
Daerah Kota Malang. Universitas Brawijaya Malang
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan
Kinerja Instansi Pemerintah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah.
Prasojo, Eko, 2007. Partisipasi Masyarakat dalam Pemerintahan Daerah: inputs untuk Revisi
UU No. 32/ 2004, Paper. USAID-LGSP
Saragih, Juli Panglima. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi.
Cetakan Pertama. Penerbit Ghalia Indonesia: Jakarta
Usman, 2011, Analisis Perkembangan Kinerja Keuangan Pada Pemerintah Daerah Kabupaten
Gorontalo, Gorontalo, UG
Wahyuni. 2007. Analisis Rasio Untuk Mengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah Kota
Malang. UIN MALIKI Malang