Anda di halaman 1dari 34

ANESTETIK

LOKAL
By Try Merdeka Puri S.Ked

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Anestetik Lokal

1
I. Pendahuluan
Anestetik lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau blokade
lorong natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsang transmisi
sepanjang saraf, jika digunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestetik lokal setelah
keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara spontan dan lengkap
tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf.4

Gambar 1.1 Aksi kerja obat bius lokal


Banyak persenyawaan lain juga memiliki daya kerja demikian, tetapi efeknya
tidak reversibel dan menyebabkan kerusakan permanen terhadap sel-sel saraf.
Misalnya, cara mematikan rasa setempat juga dapat dicapai dengan pendinginan yang
kuat (freezing anaesthesia) atau melalui keracunan protoplasma (fenol). Semua obat
anestetik lokal baru adalah sebagai rekayasa obat lama yang dianggap masih
mempunyai kekurangan-kekurangan.4
Kokain adalah obat anestetik pertama yang dibuat dari daun koka dan dibuat
pertama kali pada 1884. Penggunaan kokain aman hanya untuk anesthesia topical.
Penggunaan secara sistemik akan menyebabkan dampak samping keracunan system
saraf, sistem kardiovaskular, ketagihan, sehingga dibatasi pembuatannya hanya untuk
topical mata, hidung dan tenggorokan.4

II. Mekanisme Aksi Anestetik Lokal


A. Struktur Anestesi lokal

2
Anestetik lokal ialah gabungan dari garam larut dalam air dan alkaloid larut
dalam lemak dan terdiri dari bagian kepala cincin aromatik tak jenuh bersifat
lipofilik, bagian badan sebagai penghubung terdiri dari cincin hidrokarbon dan bagian
ekor terdiri dari amino tersier bersifat hidrofilik. Semakin panjang gugus alkoholnya,
semakin besar daya kerja anestetiknya, tetapi toksisitasnya juga meningkat.5
Pusat mekanisme kerjanya terletak di membran sel. Seperti juga alkohol dan
barbital, anestetika lokal menghambat penerusan impuls dengan jalan menurunkan
permeabilitas membran sel saraf untuk ion-natrium, yang perlu bagi fungsi saraf yang
layak. Hal ini disebabkan adanya persaingan dengan ion-ion kalsium yang berada
berdekatan dengan saluran-saluran natrium di membran sel saraf. Pada waktu
bersamaan, akibat turunnya laju depolarisasi, ambang kepekaan terhadap rangsangan
listrik lambat Iaun meningkat, sehingga akhirnya terjadi kehilangan rasa setempat
secara reversible.5
Diperkirakan bahwa pada proses stabilisasi membran tersebut, ion-kalsium
memegang peranan penting, yakni molekul-molekul lipofil besar dan anestetika lokal
mungkin mendesak sebagian ion-kalsium di dalam membran sel tanpa mengambil
alih fungsinya. Dengan demikian, membran sel menjadi lebih padat dan stabil, serta
dapat lebih baik melawan segala sesuatu perubahan mengenai permeabilitasnya.5
Di samping itu, anestetika lokal mengganggu fungsi semua organ di mana terjadi
konduksi/ transmisi dari beberapa impuls. Dengan demikian, anestetika lokal
mempunyai efek yang penting terhadap SSP, ganglia otonom, cabang-cabang
neuromuskular, dan semua jaringan otot.5
Bagian lipofilik
Biasanya terdiri dari cincin aromatic (benzene ring) tak jenuh, misalnya PABA
(para- amino-benzoic acid). Bagian ini sangat esensial untuk aktifitas anestesi.5
Bagian hidrofilik
Biasanya golongan amino tersier (dietil-amin).5
Golongan5
Anestetik lokal dibagi menjadi dua golongan
1. Golongan ester (-COOC-)

3
Kokain, benzokain (amerikain), ametocaine, prokain (nevocaine), tetrakain
(pontocaine), kloroprokain (nesacaine).

Gambar 2.1.1 Stuktur kimia Amino-esters

2. Golongan amida (-NHCO-)


Lidokain (xylocaine, lignocaine), mepivakain (carbocaine), prilokain
(citanest), bupivakain (marcaine), etidokain (duranest), dibukain (nupercaine),
ropivakain (naropin), levobupivacaine (chirocaine).

Gambar 2.1.2 Struktur kimia Amino-amides

Tabel 1. Perbedaan Ester dan Amida

4
B. Anatomi saraf5,6
Anestetik lokal sering digunakan untuk menghambat saraf baik perifer atau
sentral. Saraf perifer merupakan saraf campuran yang mengandung serat aferen dan
eferen yang mungkin termielinasi atau tidak termielinasi. Tiap akson dalam serat
saraf dikelilingi oleh endoneurium yang tersusun atas sel glia nonneural. Serabut
saraf individual bergabung menjadi fasikel dan dikelilingi oleh perineurium yang
tersusun atas jaringan ikat.
Akhirnya, seluruh saraf perifer ditutupi oleh epineurium yang terbentuk dari
jaringan ikat yang padat (Gambar 2.2.1). Maka, beberapa lapis jaringan pelindung
yang mengelilingi satu akson, dan lapisan-lapisan ini bertindak sebagai barier
terhadap penetrasi anestetik lokal. Sebagai tambahan pada jaringan ikat yang
terbungkus (envelope), semua saraf mamalia dengan diameter lebih dari 1m
termielinasi. Serabut saraf termielinasi secara segmental dibungkus sel schwan yang
membentuk memban lipid bilayer yang terbugkus beberapa ratus kali di sekeliling
tiap akson. Dengan demikian, terdapat mielin hampir lebih dari separuh ketebalan
serabut saraf > 1m (Gambar 2.2.2). Terpisah dari regio termielinasi adalah nodus
ranvier dimana struktur elemen untuk eksitasi neuronal terkonsentrasi (Gambar
2.2.3). Nodus ini ditutupi oleh interdigitasi sel schwan yang tidak bermyelin dan
glikoprotein yang bermuatan negatif.
Meskipun membran akson tidak kontak bebas dengan lingkungannya pada
daerah nodus, area ini memungkinkan aliran obat dan ion. Lebih jauh, protein yang
bermuatan negatif bisa mengikat anestetik lokal dasar dan bertindak sebagai depot.
Serabut saraf tak bermyelin (diamater < 1m) ditutupi oleh sel schwan yang secara
simultan membatasi (insulate) beberapa (5 hingga 10) akson (Gambar 2.2.2). Serabut-
serabut ini secara kontinyu ditutupi sel schwan dan tidak memiliki sekat (interruption)
yaitu nodus ranvier. Keberadaan lapisan pelindung multipel ini di sekeliling serabut
saraf bermyelin dan tak bermyelin menghadirkan barier potensial terhadap masuknya
anestetik lokal. Sebagai contoh, pada model hewan menegaskan bahwa hanya 1,6%
dosis anestetik lokal injeksi yang penetrasi ke dalam saraf setelah dilakukan blok
saraf perifer.

5
Gambar 2.2.1 Schematic cross section of typical peripheral nerve. The epineurium, consisting of
collagen fibers, is oriented along the long axis of the nerve. The perineurim is a discrete cell
layer, whereas the endoneurium is a matrix of connective tissue. Both afferent and efferent axons
are shown. Sympathetic axons (not shown) are also present in mixed peripheral nerves. (Adapted
with permission from Strichartz GR: Neural physiology and local anesthetic action. In Cousins
MJ, Bridenbaugh PO [eds]: Neural Blockade in Clinical Anesthesia and Management of Pain, p
35. Philadelphia, LippincottRaven, 1998.)

Gambar 2.2.2 Schwann cells form myelin around one myelinated axon or encompass several
unmyelinated axons. (Adapted with permission from Carpenter RL, Mackey DC: Local
anesthetics. In Barash PG, Cullen BF, Stoelting RF [eds]: Clinical Anesthesia, p 413.
Philadelphia, LippincottRaven, 1996.)

6
Gambar 2.2.3 Diagram of node of Ranvier displaying mitochondria (M), tight junctions in
paranodal area (P), and Schwann cell (S) surrounding node. (Adapted with permission from
Strichartz GR: Mechanisms of action of local anesthetic agents. In Rogers MC, Tinker JH,
Covino BG, et al [eds]: Principles and Practice of Anesthesiology, p 1197. St. Louis, Mosby Year
Book, 1993.)

C. Elektrofisiologi Konduksi Neural


Pembentukan potensial aksi utamanya merupakan hasil dari aktivasi voltage-
gated sodium channels. Kanal ini merupakan struktur protein memutari membran
lipid bilayer yang tersusun atas elemen struktur, pori air, dan elemen voltage sensing
yang mengendalikan aliran ion melalui pori. Kanal natrium terdapat dalam beberapa
penyesuaian (konformasi) tergantung pada potensial membran dan waktu. Pada
potensial membran istirahat, kanal natrium sebagian besar terdapat pada penyesuaian
(konformasi) istirahat (tertutup). Selama depolarisasi membran, kanal membuka
dalam beberapa ratus mikrodetik dan memungkinkan aliran 107 ion/detik-1. Kanal
natrium relatif selektif, tapi ion monovalen lain juga bisa mengalir melalui kanal ini.
Sebagai contoh, lithium traverses seperti natrium, sedangkan kalium hanya
seperduapuluh juga. Setelah aktivasi (membuka) kanal natrium dan depolarisasi,
kanal akan menutup spontan menjadi bentuk inaktif dalam pola time-dependent untuk
memungkinkan repolarisasi dan selanjutnya berbalik ke konformasi istirahat. Dengan
demikian, tiga keadaan kinetic conceptualize perubahan konduktansi natrium selama
depolarisasi dan repolarisasi.
Potensial aksi akan dihasilkan oleh depolarisasi saat ambang cetusan impuls
akson tercapai. Hal itu merupakan titik dimana tidak ada depolarisasi lebih lanjut
yang dibutuhkan proses lokal untuk menghasilkan potensial aksi lengkap. Ambang

7
batas ini bukan merupakan voltase absolut, melainkan tergantung pada dinamis kanal
natrium dan kalium. Sebagai contoh, stimulus depolarisasi maksimal yang jelas tidak
akan menghasilkan potensial aksi karena adanya insufisiensi waktu untuk kanal
natrium membuka. Tidak hanya stimulus depolarisasi yang meningkat terlalu lambat
menciptakan potensial aksi. Saat stimulus meningkat secara pelan, kanal natrium
yang awalnya teraktivasi akan terinaktivasi secara spontan, sehingga tidak akan
terdapat kanal yang cukup membuka pada satu waktu untuk menghasilkan potensial
aksi. Lebih jauh, voltage-sensitive potassium channels akan mulai meningkatkan
konduktansi kalium yang lebih jauh akan menginhibisi pembentukan potensial aksi.
Dengan demikian, suksesnya pembentukan potensial aksi membutuhkan stimulus
depolarisasi berupa intensitas dan durasi yang benar.
Sekali potensial aksi dihasilkan, propagasi potensial aksi sepanjang serabut saraf
dibutuhkan sebagai informasi untuk ditransmisikan. Baik pembentukan dan propagasi
impuls merupakan fenomena all or nothing ya atau tidak sama sekali. Pada kasus
propagasi impuls, baik potensial aksi yang timbul secara lokal mencapai ambang
batas potensial pada segmen yang bersebelahan dan menyebabkan propagasi
sepanjang saraf, atau depolarisasi lokal berakhir. Serabut tak bermyelin
membutuhkan pencapaian potensial ambang batas pada membran bersebelahan secara
cepat, sedangkan serabut bermyelin membutuhkan pembentukan potensial ambang
batas pada nodus ranvier berikutnya.
Repolarisasi setelah potensial aksi dan propagasi secara cepat megikuti
kewajiban untuk meningkatkan equlibria ion natrium internal dan eksternal,
penurunan konduktansi natrium terkendali waktu, dan peningkatan konduktansi
kalium terkendali voltase. Sebagai tambahan, konsentrasi internal aktif kalium terjadi
melalui enzim Na+/K+/ATPase terikat membran yang menekan tiga ion natrium
untuk tiap dua ion kalium yang diabsorbsi. Meskipun banyak serabut saraf tak
bermyelin mammalia mengmbangkan periode hiperpolarisasi setelah potensial aksi,
serabut saraf bermyelin kembali ke potensial membran istirahat dengan cepat.

D. Mekanisme Molekuler Kerja Anestetik Lokal5,6

8
Kanal natrium merupakan target kunci aktivitas anestetik lokal. Campuran
variasi yang luas yang memperlihatkan aktivitas anestetik lokal yang dikombinasikan
dengan efek berbeda dari anestetik lokal yang netral dan charged menegaskan bahwa
anestetik lokal bisa bekerja pada kanal natrium baik melalui modifikasi membran
lipid yang mengelilinginya atau melalui interaksi langsung dengan struktur
proteinnya.
Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa anestetik bisa mengurangi
konduktansi natrium melalui kanal natrium dengan berinteraksi dengan membran
lipid di sekelilingnya. Perubahan membran neuronal oleh anestetik lokal bisa terjadi
dengan mengubah fluiditas membran yang menyebabkan ekspansi membran dan
penutupan kanal natrium selanjutnya. Lebih jauh, perubahan komposisi membran
bisa merendahkan probabilitas terjadinya keadaan kanal natrium yang terbuka.
Observasi seperti itu bisa diperhitungkan pada kerja anestetik lokal yang bersifat
netral dan lipofilik, tetapi tidak menjelaskan perbedaan aktivitas anestetik lokal amine
tertier (misal lidocain).
Sebagai gantinya, mekanisme kerja anestetik lokal ini paling baik dijelaskan
dengan interaksi langsung menggunakan kanal natrium (teori modulator reseptor).
Anestetik lokal amin yang biasa digunakan terdapat dalam keadaan ekuilibrium bebas
sebagai bentuk netral yang larut lemak dan hidrofilik, bentuk bermuata tergantung
pKa dan pH lingkungan. Meskipun bentuk netral bisa menggunakan aksi anestetik
seperti dijabarkan sebelumnya, spesies kation secara jelas merupakan bentuk yang
paling poten (lihat gambar 17-4). Anestetik lokal amine tersier ini juga menunjukkan
blokade kanal natrium yang lebih besar jika membran saraf didepolarisasi secara
berulang (1 hingga 100 Hz), sedangkan anestetik lokal netral memperlihatkan sedikit
perubahan aktivitas dengan peningkatan frekuensi stimulasi (use- dependent block).
Peningkatan frekuensi stimulus meningkatkan probabilitas bahwa kanal natrium akan
terdapat dalam bentuk membuka dan inaktif jika dibandingkan dengan keadaan tanpa
stimulasi. Dengan demikian, perbedaan aktivitas anestetik lokal amine tertier antara
use-dependent block (stimulasi berulang) dan tonic block (tidak terstimulasi)
dijelaskan dengan baik oleh adanya reseptor anestetik lokal tunggal dalam kanal

9
natrium yang memiliki afinitas berbeda selama konformasi channel yang berbeda
(istirahat, membuka, inkatif). Secara spesifik, afinitas lebih tinggi yang terjadi selama
fase membuka dan inaktif. Untuk mendukung teori ini, jika afinitas kanal yang inaktif
terhadap anestetik lokal turun melalui manipulasi genetik, use-dependent block
dikurangi.
Manipulasi molekuler kanal natrium telah mengungkap spesifik dari reseptor
anestetik lokal. Sisi pengikatan anestetik lokal terletak sisi intraseluler kanal natrium,
bisa memiliki area pengikatan yang berbeda selama konformasi membuka dan
inaktivasi dari kanal natrium, dan memiliki stereoselektivitas dengan preferensi pada
isomer R.

E. Mekanisme Blokade Nervus Perifer5,6,7


Anestetik lokal bisa memblok fungsi nervus perifer melalui beberapa
mekanisme. Seperti dibahas sebelumnya, blokade kanal natrium menyebabkan
pelemahan pembentukan potensial aksi saraf dan propagasi. Meskipun hal itu masih
tidak diketahui pada manusia mengenai persentase potensial aksi saraf harus
diturunkan sebelum blok fungsional terjadi, penelitian pada hewan menegaskan
bahwa potensial aksi harus diturunkan sedikitnya 50% sebelum hilangnya fungsi
yang bisa diukur terlihat. Penelitian sebelumnya telah memeriksa perbedaan pada
serabut saraf yang peka (susceptible) terhadap blokade anestetik lokal berdasarkan
ukuran, mielinasi, dan panjang serabut yang terpapar lokal anestetik. Secara klinik,
seseorang bisa melihat suatu pola yang berbeda hambatan sensori setelah aplikasi
anestetik lokal terhadap saraf perifer. Secara klasik, sensasi suhu hilang, diikuti nyeri
tajam, lalu sentuhan ringan. Dengan demikian, asumsi awal bahwa serabut kecil,
tidak bermyelin (C) yang mengkonduksi sensasi suhu secara inherent lebih peka
terhadap blokade anestetik daripada serabut besar bermyelin (A) yang mengkonduksi
sentuhan. Perbedaan blok antara serabut yang besar dan kecil juga dipengaruhi
pilihan anestetik lokal. Pada grup amide, pKa yang tinggi, dan kelarutan lipid yang
rendah merupakan penghambat serabut C yang poten. Dengan demikian, penelitian
eksperimental mengindikasikan bahwa blok anestetik lokal serabut saraf secara

10
intrinsik akan bergantung pada tipe (ukuran) serabut, frekuensi stimulasi membran,
dan pilihan anestetik lokal.
Selama aplikasi klinik, paparan panjang serabut saraf bisa menjelaskan
perbedaan blok, yaitu serabut saraf yang kecil membutuhkan panjang serabut terpapar
anestetik lokal yang lebih pendek untuk terjadinya blok daripada serabut yang besar.
Diteorikan bahwa observasi ini dikarenakan penurunan konduksi hambatan critical
length dari saraf. Penurunan konduksi menjelaskan penurunan kemampuan nodus
ranvier yang berurutan untuk mempropagasi impuls pada adanya anestetik local.
Karena jarak internodal menjadi lebih besar dengan peningkatan ukuran serabut saraf,
serabut saraf yang lebih besar akan menunjukkan peningkatan resistensi terhadap
blok anestetik local. Penggunaan lidokain dengan volume yang kecil dan konsentrasi
yang lebih besar menciptakan blok sensoris dan motorik yang lebih efektif disamping
spread lidokain dan penetrasi intraneural yang lebih sedikit.
Mekanisme akhir dimana anestetik lokal bisa memblok fungsi saraf perifer
adalah melalui degradasi pola listrik yang ditransmisi. Diteorikan bahwa bagian besar
informasi sensoris ditransmisikan melalui saraf perifer yang dibawa melalui
pengkodean sinyal elektrik dalam after-potentials dan after oscillation. Bukti atas
teori ini ditemukan pada penelitian yang menunjukkan hilangnya fungsi saraf sensoris
setelah blokade anestetik lokal yang tidak lengkap. Sebagai contoh, sensasi suhu kulit
bisa hilang disamping konduksi serabut kecil yang tidak bisa dirintangi impeded.
Lebih jauh, kedalaman bedah dari blok anestesi epidural dan saraf perifer bisa dicapai
dengan hanya perubahan pada somatosensori yang dicetuskan potensial dari daerah
yang dianestesi.

F. Mekanisme Blokade Neuraxis Sentral5,6,8


Blok neuraxis sentral melalui pemberian anestetik lokal baik spinal atau epidural
melibatkan mekanisme yang sama pada level akar saraf spinal, baik intra atau
extradural, seperti dibahas di awal. Sebagai tambahan, pemberian anestetik lokal
neuroaxis sentral memungkinkan potensial aksi multipel dari anestetik lokal dalam
medula spinalis pada lokasi yang berbeda. Sebagai contoh, dalam dorsal horn,

11
anestetik lokal bisa menggunakan blok kanal ion natrium dan kalium yang familiar
pada dorsal horn neuron dan menghambat pembentukan dan propagasi aktivitas
elektrik nosiseptif. Kanal ion neuronal medula spinalis lainnya, seperti kanal kalsium,
juga penting untuk aktivitas listrik aferen dan eferen. Pemberian penghambat kanal
kalsium terhadap kanal kalsium N (neuronal) medula spinalis mengakibatkan
hiperpolarisasi membran sel, tahanan terhadap stimulasi listrik dari nosiseptif aferen,
dan analgesi yang intens. Anestetik lokal tampak memiliki aksi yang serupa pada
kanal kalsium, yang memberikan kontribusi terhadap kerja analgesik dari anestetik
lokal yang diberikan secara sentral neuraxial.

G. Farmakologi dan Farmakodinamik5,6,7,8

1. Properti Kimia dan Hubungan terhadap Aktivitas dan Potensi


Anestetik lokal yang digunakan secara klinik mengandung substitusi cincin
benzen larut lemak yang dihubungkan dengan grup amine (tersier atau kuartener
tergantung pKa dan pH) melalui satu cincin alkil yang mengandung baik linkage
amide atau ester. Tipe linkage memisahkan anestetik lokal menjadi aminoamide,
yang dimetabolisir di hepar, atau aminoester, yang dimetabolisme oleh plasma
cholinesterase. Beberapa properti kimia anestetik lokal akan mempengaruhi efikasi
dan potensinya.

Gambar 2.5.1-1 General struture of clinically used local anesthetics. (Adapted with
permission from Carpenter RL, Mackey DC: Local anesthetics. In Barash PG, Cullen BF,
Stoelting RF [eds]: Clinical Anesthesia, p 413. Philadelphia, LippincottRaven, 1996.)

12
Semua anestetik lokal yang digunakan secara klinik merupakan basa lemah yang
bisa ada dalam larut lipid, bentuk netral atau sebagai bermuatan, bentuk hidrofilik.
Kombinasi pH lingkungan dan pKa, atau konstanta disosiasi anestesi lokal
menentukan berapa banyak campuran yang ada dalam tiap bentuk (Tabel 17-2).
Seperti dibahas sebelumnya, lokasi primer kerja anestetik lokal tampak pada sisi
intrasel kanal natrium, dan bentuk bermuatan merupakan bentuk aktif yang paling
utama. Penetrasi bentuk larut lemak melalui lipid membran neural merupakan bentuk
utama akses molekul anestetik, meskipun beberapa akses oleh bentuk bermuatan bisa
dicapai melalui pori kanal atrium yang bersifat aqueous. Dengan demikian,
penurunan pKa dengan pH lingkungan yang sedemikian akan meningkatkan
persentase bentuk yang larut lemak, mempercepat penetrasi membran neural dan
onset kerja.

13
Tabel 2. Properti Psikokimia Anestetik Lokal yang digunakan secara Klinik

Kelarutan lemak merupakan determinan aktivitas penting lainnya. Meskipun


peningkatan kelarutan lemak bisa mempercepat penetrasi membran neural,
peningkatan solubilitas bisa juga mengakibatkan peningkatan sekuesterasi anestetik
lokal dalam myelin dan kompartemen yang larut lipid. Dengan demikian,
peningkatan kelarutan lipid biasanya memperlambat laju kerja. Serupa dengan ini,
durasi kerja meningkat karena absorpsi molekul anestetik lokal ke dalam myelin dan
sekitar kompartemen neural menciptakan depot untuk pelepasan lambat anestetik
lokal. Akhirnya, peningkatan solubilitas lipid meningkatkan potensi anestetik lokal.
Pengamatan ini bisa dijelaskan dengan korelasi antara kelarutan lipid dan afinitas
reseptor kanal natrium dan kemampuan untuk mengubah konformasi kanal natrium
dengan efek langsung pada membran sel lipid.
Derajat pengikatan protein juga mempengaruhi aktivitas anestetik lokal, karena
hanya bentuk yang tidak terikat yang bebas untuk aktivitas farmakologi. Umumnya,
makin larut lipid dan agen yang kerjanya lebih panjang meningkatkan pengikatan
protein. Meskipun kanal natrium merupakan struktur protein, tidak tampak bahwa
derajat pengikatan protein anestetik lokal berhubungan dengan pengikatan terhadap
reseptor anestetik lokal. Penelitian menegaskan bahwa disosiasi molekul anestetik
lokal dari kanal natrium terjadi dalam detik terlepas dari derajat ikatan protein
anestetik lokal. Dengan demikian, perpanjangan durasi kerja terkait dengan

14
peningkatan derajat ikatan protein harus melibatkan protein ekstraseluler atau
membran lain.
Ciri fisik akhir yang menarik adalah campuran stereoisomer dari anestetik lokal
yang tersedia secara komersil. Semua anestetik lokal yang tersedia saat ini merupakan
campuran racemic dengan pengecualian lidokain (achiral), ropivakain (S), dan levo-
bupivacain (l=S). Stereoisomer anestetik lokal tampaknya memiliki efek berbeda
yang potensial terhadap potensi anestetik, farmakokinetik, dan toksisitas sistemik.

2. Takifilaksis terhadap Anestetik Lokal


Takifilaksis terhadap anestetik lokal merupakan fenomena klinik dimana injeksi
berulang dosis yang sama anestetik lokal menyebabkan penurunan efikasi.
Takifilaksis telah dijabarkan setelah blok neuraxis sentral, blok nervus perifer, dan
untuk anestetik lokal yang berbeda. Fitur klinik yang menarik dari takifilaksis
terhadap anestetik lokal bergantung pada interval dosis. Jika interval dosis cukup
singkat sehingga suatu nyeri tidak terjadi, takifilaksis tidak terjadi. Sebaliknya,
keadaan tidak nyamannya pasien untuk periode panjang sebelum redosing
mempercepat berkembangnya takfilaksis. Baik mekanisme farmakokinetik dan
farmakodinamik bisa terlibat. Suatu penelitian yang memeriksa blok sciatic berulang
dan analgesi infiltrasi pada tikus tercatat takfilaksis disertai peningkatan bersihan
lidokain radiolabelled keluar saraf dan kulit. Tidak semua penelitian mendukung
mekanisme farmakokinetik untuk takfilaksis. Sebagai contoh, dengan perkembangan
takfilaksis klinik, tidak terdapat perbedaan spread anestetik lokal di dalam atau
clearance dari ruang epidural.
Pengamatan bahwa nyeri penting untuk terjadinya takifilaksis telah
menyebabkan spekulasi bahwa terdapat mekanisme farmakodinamik terjadinya
takifilaksis melalui sensitisasi medula spinalis. Tikus yang menerima blok saraf
sciatic berulang gagal untuk mengembangkan takifilaksis pada tidak adanya stimulasi
noksius. Paparan oleh stimulasi termal dalam derajat noksius yang meningkat dengan
cepat juga meningkatkan terjadinya takfilaksis, sedangkan praterapi dengan NMDA
suatu antagonis (MK-801) yang mencegah sensitisasi medula spinalis juga mencegah

15
terjadinya takifilaksis. Efek second-messenger nitrit oksida pada jalur pintas NMDA
bisa penting, karena pemberian inhibitor nitrit oksida sintetase mencegah terjadinya
takifilaksis dengan pola tergantung dosis pada model yang sama.

3. Aditif untuk Meningkatkan Aktivitas Anestetik Lokal


Epinephrine
Epinephrine telah ditambahkan pada anestetik lokal sejak tahun 1890an.
Keuntungan epinephrine yang dilaporkan meliputi memperpanjang blok anestetik
lokal, meningkatkan intensitas blok, dan penurunan absorbsi sistemik anestetik lokal.
Efek vasokonstriksi epinephrin berlawanan dengan efek vasodilatasi anestetik lokal,
menurunkan absorbsi sistemik dan bersihan intraneural, dan mungkin dengan
redistribusi intraneural anestetik lokal.
Efek analgesik langsung dari epinephrine juga bisa terjadi melalui interaksi
dengan reseptor -2 adrenergik di otak dan medula spinalis, terutama karena anestetik
lokal meningkatkan ambilan vaskular epinephrin. Dosis paling rendah disarankan,
karena kombinasi epinephrine dengan anestetik lokal memiliki efek toksik pada
jaringan, sistem kardiovaskular, nervus perifer, dan medula spinalis.

INCREASE DECREASEBLOOD DOSE/CONCENTRATION


URATION LEVELS (%) OF EPINEPHRINE

NERVE BLOCK
Bupivacaine +- 10-20 1:200,000
Lidocaine ++ 20-30 1:200,000
Mepivacaine ++ 20-30 1:200,000
Ropivacaine -- 0 1:200,000
EPIDURAL
Bupivacaine +- 10-20 1:300,000-1:200,000
L-bupivacaine +- 10 1:200,000-400,000
Chloroprocaine ++ 1:200,000
Lidocaine ++ 20-30 1:600,000-1:200,000

16
Mepivacaine ++ 20-30 1:200,000
Ropivacaine -- 0 1:200,000

SPINAL
Bupivacaine +- 0.2 mg
Lidocaine ++ 0.2 mg

Tetracaine ++ 0.2 mg

Data from Liu SS. Local Anesthetics and Analgesia. In, Ashburn MA, Rice LJ (eds):
The Management of Pain. New York: Churchill Livingstone Inc., 1997:141170 and Kopacz
DJ. A comparison of epidural levobupivacaine 0.5% with or without epinephrine for lumbar
spine surgery. Anesth Analg 2001;93:755.
Tabel 3. Efek Penambahan Epinephrine pada Anestetik Lokal

4. Alkalinisasi Larutan Anestetik


Sejak tahun 1800an, larutan anestetik lokal dialkalinisasi untuk mempercepat
onset blok neural. pH preparat anestetik lokal komersial berkisar antara 3,9 hingga
6,47 dan menjadi asam jika disatukan dengan epinephrine.
Karena pKa anestetik lokal yang umunya digunakan berkisar antara 7,6 hingga
8,9, kurang dari 3% anestetik lokal komersial yang tersedia terdapat dalam bentuk
larut lipid yang netral. Seperti dibahas sebelumnya, bentuk netral dipercaya
merupakan bentuk paling penting untuk penetrasi ke dalam sitoplasma neural,
sedangkan bentuk bermuatan utamanya berinteraksi dengan reseptor anestetik lokal
dalam kanal natrium. Dengan demikian, tujuan alkalinisasi adalah untuk
meningkatkan persentase anestetik lokal dalam bentuk larut lipid yang netral.
Namun, anestetik lokal yang digunakan secara klinik tidak bisa dialkalinisasi di luar
dari pH 6,05 hingga 8 sebelum terjadi presipitasi, dan pH demikian hanya akan
meningkatkan bentuk netral sekitar 10%.

5. Opioid
Penambahan opioid pada anestetik lokal telah mencapai popularitas. Opioid
memiliki kerja analgesik dengan mekanisme multipel neuraxial sentral dan perifer.
Pemberian opioid supraspinal menimbulkan analgesi melalui reseptor opioid pada

17
berbagai lokasi, melalui aktivasi jalur spinal descending dan melalui aktivasi jalur
analgesi nonopioid. Pemberian opioid spinal menimbulkan analgesi utamanya melalui
pelemahan serabut C nosisepsi dan tidak tergantung dengan mekanisme supraspinal.
Pemberian bersama opioid pada anestetik lokal neuraksial mengakibatkan analgesi
sinergistik. Pengecualian untuk analgesi sinergi ini adalah 2-chloroprocaine, yang
tampak menurunkan keefektivan opioid epidural jika diberikan untuk anestesi
epidural. Mekanisme kerjanya tidak jelas tapi tampaknya tidak melibatkan
antagonisme langsung reseptor opioid. Keseluruhan, penelitian klinik mendukung
praktik pemberian neuroaksial sentral anestetik lokal dan opioid pada manusia untuk
memperpanjang dan intensifikasi analgesi dan anestesi.
Penemuan reseptor opioid perifer menawarkan situasi lain dimana pemberian
bersama anestetik lokal dan opioid bisa berguna. Hasil klinik yang menjanjikan
adalah pada pemberian anestik lokal dan opioid intraartikuler untuk analgesi
paskaoperasi, sedangkan kombinasi anestetik lokal dan opioid untuk blok saraf
tampak tidak efektif. Terdapat beberapa alasan atas efek yang kurang yang diprediksi
dari pemberian bersama anestetik lokal dan opioid untuk blok nervus perifer. Secara
anatomis, reseptor opioid perifer dijumpai utamanya di ujung terminal serabut aferen.
Namun, saraf perifer umunya diblok oleh deposisi anestetik proksimal terhadap ujung
terminal serabut saraf. Sebagai tambahan, lokasi umum blok saraf perifer ditutupi
beberapa lapis jaringan pengikat sehingga anestetik harus melintasi sebelum
mencapai akses ke reseptor opioid perifer. Akhirnya, penelitian sebelumnya telah
memperlihatkan pentingnya inflamasi jaringan lokal bersamaan untuk keefektivan
analgesi dari reseptor opioid perifer. Mekanisme dasar dari ketergantungan pada
inflamasi lokal bersifat spekulatif dan bisa melibatkan upregulasi atau aktivasi
reseptor opioid perifer atau penghilangan hubungan interseluler untuk memungkinkan
aliran opioid ke reseptor. Kurangnya inflamasi pada lokasi blok nervus perifer juga
bisa mengurangi efek pemberian bersama anestetik lokal dan opioid. Semua faktor ini
bergabung untuk menurunkan keefektivan teoritis kombinasi anestetik lokal dan
opioid untuk blok nervus perifer. Sebagai ringkasan, pemberian bersama opioid dan
anestetik lokal pada neuroaksis sentral tampak efektif, nontoksik dengan tujuan untuk

18
meningkatkan aktivitas anestetik lokal, sedangkan terdapat sedikit alasan teori untuk
mengharapkan campuran tersebut untuk meningkatkan blok nervus perifer.

6. Agonis -2 Adrenergik
Agonis -2 adrenergik bermanfaat sebagai adjuvan pada anestetik lokal. Agonis
-2, seperti klonidin, menimbulkan analgesi melalui reseptor adrenergik supraspinal
dan spinal. Klonidin juga memiliki efeks inhibis langsugn pada konduksi nervus
perifer (serabut saraf A dan C). Dengan demikian, penambahan clonidine memiliki
rute kerja multipel tergantung pada tipe aplikasi. Bukti awal menegaskan bahwa
pemberian bersama agonis -2 dan anestetik lokal mengakibatkan sinergi analgesi
pada neuroaksis sentral dan nervus perifer, sedangkan efek sistemik (supraspinal)
bersifat tambahan. Keseluruhan, uji klinik mengindikasikan bahwa klonidin
meningkatkan anestesi epidural dan intratekal, blok nervus perifer, dan anestesi
regional intravena tanpa bukti terjadinya neurotoksisitas.

H. Farmakokinetik Anestesi Lokal5,8


Bersihan anestetik lokal dari jaringan neural dan dari tubuh mengatur baik durasi
dan efek toksisitas potensial efek klinik blok neural anestetik lokal utamanya
tergantung pada faktor lokal seperti dibahas dalam bagian farmakologi. Namun,
toksisitas sistemik utamanya tergantung pada kadar anestetik lokal dalam darah.
Resultan kadar dalam darah setelah pemberian anestetik lokal untuk blokade neural
tergantung pada absorpsi, distribusi, dan eliminasi anestetik lokal.

1. Absorpsi Sistemik
Secara umum, anestetik lokal dengan penurunan absorbsi sistemik akan memiliki
batas keamanan yang lebih besar pada penggunaan klinik. Laju dan luas absorbsi
akan tergantung pada beberapa faktor, dimana yang paling penting adalah lokasi
injeksi, dosis anestetik lokal, dan penambahan epineprin.
Jumlah lemak relatif dan vaskularisasi di sekitar lokasi injeksi anestetik lokal
akan berinteraksi dengan properti psikokimia anestetik lokal untuk mempengaruhi

19
ambilan sistemik. Secara umum, daerah dengan vaskularisasi yang banyak akan
memiliki ambilan yang cepat dan lengkap dibanding daerah dengan banyak lemak,
terlepas dari tipe anestetik lokal. Maka, laju absorbsi dari injeksi anesteti lokal ke
berbagai lokasi secara umum menurun sesuai urutan berikut: interkostal, kaudal,
epidural, pleksus brakialis, sciatik/femoral.
Makin besar dosis total anestetik lokal yang diinjeksikan, makin besar absorbsi
sistemik dan kadar puncak dalam darah (Cmax). Hubungan ini hampir linear dan
relatif tidak terpengaruhi oleh konsentrasi anestetik dan kecepatan injeksi.
Properti psikokimia anestetik lokal akan mempengaruhi absorbsi sistemik.
Umumnya, makin poten agen dengan kelarutan lipid yang lebih besar dan ikatan
protein akan menghasilkan absorbsi sistemik dan Cmax yang lebih rendah (Gambar
17-9). Peningkatan ikatan dengan jaringan neural dan nonneural mungkin
menjelaskan observasi ini.

LOCAL TECHNIQUE DOSE (mg) Cmax Tmax TOXIC PLASMA


ANESTHETIC (mcg/mL) (min) CONCENTRATION
(mcg/mL)
Bupivacaine Brachial plexus 150 1.0 20 3
Celiac plexus 100 1.50 17
Epidural 150 1.26 20
Intercostal 140 0.90 30
Lumbar sympathetic 52.5 0.49 24
Sciatic femoral 400 1.89 15
L-bupivacaine Epidural 75 0.36 50 4
Brachial plexus 250 1.2 55

20
Lidocaine Brachial plexus 400 4.00 25 5
Epidural 400 4.27 20
Intercostal 400 6.8 15
Mepivacaine Brachial plexus 500 3.68 24 5
Epidural 500 4.95 46
Intercostal 500 8.06 9
Sciatic femoral 500 3.59 31
Ropivacaine Brachial plexus 190 1.3 53 4
Epidural 150 1.07 40
Intercostal 140 1.10 21

Data from Liu SS. Local Anesthetics and Analgesia. In Ashburn MA, Rice LJ (eds): The
Management of Pain. New York: Churchill Livingstone Inc., 1997:141170, Berrisford RG.
Plasma concentrations of bupivacaine and its enantiomers during continuous extrapleural
intercostal nerve block. British Journal of Anaesthesia 70:201, 1993. Kopacz DJ. A comparison of
epidural levobupivacaine 0.5% with or without epinephrine forlumbar
spine surgery. Anesth Analg 2001 Sep:93:755, and Crews JC. Levobupivacaine for axillary
brachial plexus block: a pharmacokinetic and clinical comparison in patients with normal renal
function or renal disease. Anesth Analg 2002;95:219.
Tabel 4. Cmax tipikal setelah Anestesi Regional dengan Anestetik Lokal yang
biasa digunakan

2. Distribusi
Setelah absorbsi sistemik, anestetik lokal secara cepat didistribusikan ke tubuh.
Distribusi regional anestetik lokal akan tergantung pada aliran darah organ, koefisien
partisi anestetik lokal antar kompartemen, dan ikatan protein plasma. Organ akhir
yang menjadi perhatian utama toksisitas adalah di dalam kardiovaskuler dan dan
sistem saraf pusat. Keduanya dipertimbangkan sebagai kelompok kaya pembuluh
dan akan mengalami distribusi anestetik lokal yang cepat. Di samping perfusi darah
yang tinggi, kadar darah dan jaringan regional anestetik lokal dalam organ-organ ini
awalnya tidak berkorelasi dengan kadar darah sistemik karena histeresis. Karena
regional, bukan sistemik, farmakokinetik mengatur efek farmakodinamik selanjutnya,
kadar darah sistemik tidak berkorelasi dengan efek lokal anestetik lokal pada organ

21
akhir. Farmakokinetik regional anestetik lokal untuk jantung dan otak belum
digambarkan penuh; maka volume distribusi pada keadaan mantap (steady state)
(VDss) sering digunakan untuk menjabarkan distribusi anestetik local.

3. Eliminasi
Clearance (Cl) anestetik lokal aminoester utamanya tergantung pada clearance
plasma oleh kolinesterasi, sedangkan anestetik lokal amide tergantung pada clearance
hepar. Maka, ekstraksi hepar, perfusi hepatik, dan metabolisme hepatik, dan
pengikatan protein (Tabel 17-2) utamanya akan menentukan laju bersihan anestetik
lokal aminoamide. Secara umum, anestetik lokal dengan laju bersihan yang lebih
tinggi akan memiliki batas keamanan yang lebih besar.

4. Farmakokinetik Klinik
Terdapat beberapa bukti atas peningkatan kadar sistemik anestetik lokal pada
individu yang sangat muda dan tua yang harus menurunkan clearance dan
meningkatkan absorbsi, sedangkan korelasi resultan kadar darah sistemik antara dosis
anestetik lokal dan tinggi pasien sering tidak konsisten. Efek gender pada
farmakokinetik klinik anestetik lokal belum didefinisikan dengan baik, meskipun
kehamilan bisa menurunkan bersihan. Keadaan patofisiologi seperti penyakit jantung
dan hepar akan merubah parameter farmakokinetik yang diharapkan), dan dosis
anestetik lokal yang lebih rendah harus digunakan untuk pasien ini. Seperti
diharapkan, penyakit ginjal memiliki efek minimal pada parameter farmakokinetik
anestetik local.

5. Penggunaan Klinik Anestetik Lokal


Penggunaan klinik umum anestetik lokal meliputi pemberian lidokain untuk
menumpulkan respon terhadap instrumentasi trakea dan menekan disritmia jantung.
Pemberian lidokain intravena dan topikal telah digunakan dengan keberhasilan yang
bervariasi untuk menumpulkan respon hemodinamik terhadap intubasi dan ekstubasi
trakea. Sebagai tambahan respon hemodinamik, instrumentasi jalan nafas bisa

22
mengakibatkan batuk, bronkonstriksi, dan respon jalan nafas lain. Lidokain intravena
efektif untuk menurunkan sensitivitas jalan nafas terhadap instrumentasi dengan
mendepresi refleks jalan nafas dan menurunkan influks kalsium ke otot polos jalan
nafas. Dosis lidokain intravena dari 2 hingga 2,5 mg/kg dibutuhkan secara konsisten
untuk menumpulkan respon hemodinamik dan jalan nafas terhadap instrumentasi
trakea. Lidokain intravena juga efektif untuk melemahkan peningkatan tekanan
intraokuler, tekanan intrakaranial, dan tekanan intraabdomen selama instrumentasi
jalan nafas. Pelemahan semua respon ini bermanfaat pada situasi klinik tertentu
(misal laserasi kornea atau peningkatan tekanan intrakranial). Lidokain intravena
memiliki efek antidisritmia jantung yang cukup dikenal.
Akhirnya, lidokain intravena (1 hingga 5 mg/kg) merupakan analgesi efektif dan
telah digunakan untuk mengobati nyeri neuropati paskaoperasi dan kronik. Inhibisi
sentral dan perifer pembentukan dan propagasi aktivitas elektrik spontan pada serabut
saraf C dan A yang cedera diperkirakan merupakan mekanisme primer berlawanan
dengan blok konduksi khusus. Positron emission tomography pada pasien dengan
nyeri neuropati menegaskan bahwa perubahan aktivitas pada aliran darah yang
mengalir ke thalamus juga berperan atas efek analgesi sistemik dari anestetik lokal.
Kemampuan anestetik lokal untuk memberikan efek analgesi sistemik pada lokasi
sentral dan perifer sebagian menjelaskan kemampuan blok neural tunggal untuk
memberikan analgesi yang berlangsung lama akibat nyeri neuropati. Sebagai
tambahan, mexiletine yang diberikan peroral (suatu agen antidisritmia kelas I yang
serupa lidokain) sukses digunakan untuk mengobati kondisi nyeri kronik.

I. Toksisitas Anestesi Lokal 5,6,8


1. Toksisitas Sistem Saraf Pusat
Anestetik lokal bisa melintasi sawar darah otak, dan toksisitas SSP menyeluruh
bisa terjadi akibat absorpsi sistemik atau injeksi vaskular langsung. Tanda toksisitas
SSP menyeluruh karena anestetik lokal tergantung dosis. Dosis rendah menimbulkan
depresi CNS, dosis lebih tinggi mengakibatkan eksitasi CNS dan kejang. Laju
pemberian anestetik lokal intravena juga akan mempengaruhi tanda toksisitas SSP,

23
laju infus yang lebih tinggi untuk dosis yang sama akan mengurangi munculnya
depresi SSP sementara meninggalkan eksitasi intak. Reaksi dikotomi terhadap reaksi
anestesi lokal ini ini mungkin akibat sensitivitas neuron inhibitor yang lebih besar
terhadap impuls yang memblok efek anestetik lokal.
Potensi anestetik lokal untuk terjadinya toksisitas SSP menyeluruh hampir
paralel dengan potensi blok potensial aksi. Secara umum, penurunan ikatan anestetik
lokal oleh protein dan bersihannya akan meningkatkan potensi toksisitas SSP. Faktor-
faktor eksternal bisa meningkatkan potensi toksisitas SSP, seperti asidosis dan
peningkatan PCO2, mungkin melalui peningkatan perfusi serebral atau penurunan
ikatan anestetik lokal dengan protein. Terdapat juga faktor eksternal yang bisa
menurunkan potensi anestetik lokal untuk terjadinya toksisitas SSP menyeluruh.
Sebagai contoh, ambang kejang anestetik lokal meningkat pada pemberian barbiturat
dan benzodiazepin.
Penambahan vasokonstriktor seperti epinephrin bisa mengurangi atau
mempromosikan timbulnya potensi toksisitas SSP menyeluruh akibat toksisitas SSP.
Penambahan epinephrine pada anestetik lokal akan menurunkan absorpsi sistemik
dan kadar puncak darah dan meningkatkan batas aman. Di pihak lain, ambang kejang
untuk pemberian lidokain intravena pada tikus turun sekitar 42% jika apineprin
(1:100.000), norepinephrine, atau phenylephrine ditambahkan pada larutan plain.
Mekanisme peningkatan toksisitas dengan penambahan epinephrin tidak jelas
tapi tampaknya tergantung pada terjadinya vasokonstriksi akibat vasokonstriksi.
Sistem sirkulasi yang hiperdinamis bisa meningkatkan efek toksis anestetik lokal
dengan menyebabkan peningkatan aliran darah serebral dan pengiriman lidokain ke
otak atau melalui gangguan terhadap sawar darah otak. Sebagai tambahan untuk
meningkatkan distribusi anestetik lokal ke otak, perubahan sirkulasi yang
hiperdinamik juga bisa menurunkan bersihan anestetik lokal dari tubuh karena
perubahan distribusi aliran darah menjauhi hati. Perubahan bersihan tubuh total akibat
perubahan sirkulasi yang hiperdinamik yang diinduksi anestetik lokal telah diteliti
pada anjing. Kejang dengan begitu mudah meningkatkan denyut jantung, tekanan

24
darah, dan output jantung sementara secara mantap menurunkan bersihan tubuh total
(29 hingga 68%) atas lidokain, mepivakain, bupivakain, dan etidokain.

2. Toksisitas Kardiovaskular Anestetik Lokal


Umumnya, dosis anestetik lokal yang lebih besar dibutuhkan untuk timbulnya
toksisitas kardiovaskular daripada toksisitas SSP. Serupa dengan toksisitas SSP,
potensi toksisitas kardiovaskular mencerminkan potensi anestetik agen tersebut.
Perhatian telah difokuskan pada pengecualian yang terlihat untuk agen yang lebih
poten, lebih larut lipid (bupivakain, levo-bupivakain, ropivakain). Agen-agen ini
tampak memiliki kelanjutan tokisitas kardiovaskular yang berbeda daripada agen
yang kurang poten, dengan bupivakain merupakan paling kardiotoksik. Sebagai
contoh, peningkatan dosis toksik lidokain menyebabkan hipotensi, bradikardi dan
hipoksia, sedangkan dosis toksik bupivakain, levobupivakain, dan ropivakain sering
mengakibatkan kolaps kardiovaskluer yang mendadak sebagai akibat disritmia
ventrikel yang resisten terhadap resusitasi.
Toksisitas kardiovaskular dimediasi di SSP. Telah diperlihatkan bahwa sistem
saraf sentral dan perifer terlibat pada peningkatan kardiotoksisitas dengan bupivakain.
Nukleus traktus solitari di medula merupakan regio penting untuk kontrol otonom
sistem kardiovaskular. Aktivitas neural nukleus traktus solitari pada tikus secara
bermakna dikurangi dengan dosis bupivakain intravena secara cepat sebelum
terjadinya hipotensi. Lebih jauh, injeksi intraserebral langsung bupivakain bisa
menimbulkan disritmia mendadak dan kolaps kardiovaskular.
Efek perifer bupivakain pada sistem otonom dan vasomotor juga bisa
meningkatkan toksisitas kardiovaskularnya. Bupivakain memiliki potensi inhibisi
perifer pada refleks simpatis yang telah diamati bahkan pada konsentrasi darah serupa
dengan yang diukur setelah anestesi regional tanpa komplikasi. Akhirnya, bupivakain
juga memiliki kemapuan vasosilatasi langsung yang poten, yang bisa
mengeksaserbasi kolaps kardiovaskular.
Toksisitas kardiovaskular dimediasi di Jantung. Makin poten anestetik lokal
tampak memiliki potensi toksisitas elektrofisiologi jantung langsung yang lebih besar.

25
Meskipun semua anestetik lokal memblok sistem konduksi jantung melalui blok
kanal natrium tergantung dosis, dua fitur kemampuan blok kanal natrium oleh
bupivakain bisa meningkatkan kardiotoksisitasnya. Pertama, bupivakain
memperlihatkan afinitas pengikatan yang lebih kuat terhadap kanal natrium saat
istirahat dan tidak teraktivasi daripada lidokain. Kedua, anestetik lokal mengikat
channel natrium selama sistol dan disosiasi selama diastol (Gambar 17-14).
Bupivakain berdisosiasi dari channel natrium selama diastol jantung jauh lebih
lambat daripada lidokain. Memang, bupivakain berdisosiasi secara lambat sehingga
durasi diastol pada denyut nadi fisiologis (60-180 kali per menit) tidak
memungkinkan cukup waktu untuk pemulihan lengkap channel natrium dan konduksi
bupivakain memblok akumulasi. Sebaliknya, lidokain secara penuh berdisosiasi dari
channel natrium selama distol dan sedikit akumulasi konduksi terjadi. Maka,
peningkatan efek elektrofisiologi anestetik lokal yang lebih poten pada sistem
konduksi jantung bisa menjelaskan peningkatan potensialnya untuk menghasilkan
kolaps kardiovaskular mendadak melalui disritmia jantung.
Peningkatan potensi depresi miokard langsung akibat anestetik lokal yang lebih
poten merupakan faktor lain yang mengkontribusi terjadinya peningkatan
kardiotoksisitas (Gambar 17-16). Lagi, mekanisme multipel bisa diperhitungkan
untuk peningkatan potensi depresi miokard dari anestetik lokal yang lebih poten.
Bupivakain, anestetik lokal yang dipelajari secara lengkap, memiliki afinitas terhadap
kanal natrium yang tinggi pada miosit jantung. Lebih jauh, bupivakain menginhibisi
pelepasan miosit dan utilisasi kalsium serta mengurangi metabolisme energi
mitokondria, terutama selama hipoksia. Maka, multipel efek langsung bupivakain
terhadap aktivitas miosit jantung bisa menjelaskan kardiotoksisitas bupivakain dan
anestetik lokal poten lain.

26
Gambar 2.7.2.1. Plasma concentrations required to induce myocardial depression in dogs
administered bupivacaine, levo-bupivacaine, ropivacaine, and lidocaine. dP/dtmax = 35%
reduction of inotropy from baseline measure. %EF = 35% reduction in ejection fraction
from baseline measure. CO = 25% reduction in cardiac output from baseline measure. (Data
from Groban L, Deal DD, Vernon JC, et al: Does local anesthetic stereoselectivity or
structure predict myocardial depression in anesthetized canines? Reg Anesth Pain Med
27:460, 2002.)

3. Pengobatan Toksisitas Sistemik Akibat Anestetik Lokal


Metode paling baik untuk menghindari toksisitas sistemik akibat anestetik lokal
adalah dengan pencegahan. Kadar toksisitas sistemik bisa terjadi akibat injeksi
intravena atau intraarteri yang tidak disengaja atau akibat absorbsi sistemik dosis
berlebihan yang ditempatkan di area yang benar. Injeksi intravaskular dan intraarteri
yang tidak disengaja bisa diminimalisasi dengan aspirasi syringe yang sering,
penggunaan dosis uji kecil anestetik lokal (~3ml) untuk menguji efek sistemik
subjektif dari pasien (misal tinnitus, baal sirkumoral), dan baik injeksi pelan atau
fraksinasi sisa dosis anestetik lokal. Pengetahuan terperinci mengenai farmakokinetik
anestetik lokal juga akan membantu mengurangi pemberian dosis anestetik lokal yang
berlebihan. Idealnya, denyut jantung, tekanan darah, dan elektrokardiogram harus
dimonitor selama pemberian anestetik lokal dosis besar. Pengobatan awal dengan
benzodiazepin juga bisa mengurangi kemungkinan kejang dengan meningkatkan
ambang kejang.
Pengobatan toksisitas sistemik utamanya suportif. Injeksi anestetik lokal harus
dihentikan. Oksigenisasi dan ventilasi harus dipertahankan, karena toksisitas sistemik
anestetik lokal ditingkatkan dengan hipoksemia, hiperkarbi, dan asidosis. Jika
diperlukan, trakea pasien harus diintubasi dan dilakukan ventilasi tekanan positif.

27
Seperti dibahas sebelumnya, tanda toksisitas SSP khasnya akan terjadi sebelum
kejadian kardiovaskular. Kejang akan meningkatkan metabolisme tubuh dan
menyebabkan hipoksemia, hiperkarbi, dan asidosis. Pengobatan farmakologi untuk
menghentikan kejang mungkin dibutuhkan jika oksigenisasi dan ventilasi tidak bisa
dipertahankan. Pemberian thiopental intravena (50 hingga 100 mg), midazolam (2
hingga 5 mg), dan propofol (1 mg/kg) bisa menghentikan kejang akibat toksisitas
sistemik anestetik lokal. Suksinilkolin (50mg) bisa menghentikan aktivitas otot akibat
kejang dan memfasilitasi ventilasi dan oksigenisasi. Namun, suksinilkolin tidak akan
menghentikan aktivitas kejang di SSP, dan peningkatan kebutuhan metabolik serebral
akan terus tak berkurang.
Depresi kardiovaskular akibat anestetik lokal yang kurang poten (misal, lidokain)
biasanya ringan dan disebabkan oleh depresi miokard ringan dan vasodilatasi.
Hipotensi dan bradikardi biasanya bisa diterapi dengan ephedrin (10 hingga 30 mg)
dan atropin (0,4mg). Seperti dibahas sebelumnya, anestetik lokal poten (misal:
bupivakain) bisa menimbulkan depresi kardiovaskular yang dalam dan disritmia
malignan yang harus diterapi dari awal. Oksigenisasi dan ventilasi harus segera
dilakukan, dengan resusitasi kardiopulmonal jika diperlukan. Disritmia ventrikel
mungkin sulit diterapi dan mungkin membutuhkan dosis besar dan multipel
kardioversi elektrik, epinephrin, vasopresin, dan amiodaron. Penggunaan penghambat
channel kalsium pada keadaan ini tidak direkomendasikan, karena efek
kardiodepresannya yang berlebihan. Pengobatan toksisitas jantung yang menjanjikan
adalah pemberian lipid intravena yang secara teoritis memindahkan bupivakain dari
lokasi kerjanya.

4. Toksisitas Neural Anestetik Lokal


Sebagai tambahan pada toksisitas sistemik, anestetik lokal bisa menyebabkan
cedera pada sistem saraf pusat dan perifer akibat paparan langsung. Mekanisme
neurotoksisitas akibat anestetik lokal masih spekulatif, tetapi penelitian sebelumnya
telah menunjukkan adanya cedera sel schwan akibat anesteteik lokal, inhibisi
transport aksonal cepat, gangguan sawar darah saraf, penurunan aliran darah neural

28
dalam kaitannya dengan ischemi, dan gangguan integritas membran sel melalui
kemampuan pembersihan anestetik lokal. Meskipun semua anestetik lokal yang
digunakan secara klinik bisa menyebabkan kerusakan serabut saraf tergatung
konsentrasi pada saraf tepi jika digunakan dalam konsentrasi cukup tinggi, penelitian
sebelumnya telah memperlihatkan bahwa anestetik lokal yang digunakan dalam
konsentrasi klinik biasanya aman untuk saraf tepi. Medula spinalis dan akar saraf, di
lain pihak lebih rentan untuk mengalami cedera.

5. Gejala Neurologi Transien setelah Anestesi Spinal


Penelitian prospektif, random mengungkap 4 hingga 40% insiden gejala
neurologis transien, meliputi nyeri atau kelainan sensori pada punggung bawah,
pantat, atau ekstremitas bawah, setelah anestesi lidokain spinal. Gejala-gejala ini juga
telah dilaporkan dengan anestetik lokal lain (Tabel 17-11). Peningkatan risiko gejala
neurologis transien dihubungkan dengan lidokain, posisi litotomi, anestesi rawat
jalan, tetapi tidak dengan barisitas larutan atau dosis anestetik lokal. Etiologi
neurologi yang potensial atas sindrom ini berpasangan dengan toksisitas lidokain
yang tergantung konsentrasi mengarah pada perhatian terhadap etiologi neurotoksik
atas gejala neurologis transien akibat lidokain spinal.

6. Miotoksisitas Anestetik Lokal


Toksisitas terhadap otot skeletal merupakan efek samping tidak umum injeksi
anestetik lokal. Data eksperimental menegaskan, bahwa anestetik lokal memiliki
potensi miotoksitas pada konsentrasi yang diaplikasikan secara klinis. Bukti
histopatologis memperlihatkan bahwa injeksi agen ini menyebabkan mionekrosis
difus, yang mana keduanya reversibel dan tidak dapat dilihat. Sifat reversibel cedera
ini mungkin karena mioblas yang bersifat resilience, yang menimbulkan kerusakan
jaringan. Banyak mekanisme teoritis mengenai cedera tetapi disregulasi kalsium
intrasel kemunginan paling besar. Satu penelitian memperlihatkan bahwa ropivakain
kurang miotoksik daripada bupivakain utamanya karena bupivakain menyebabkan

29
apoptosis (kematian sel terprogram). Penyelidikan lebih lanjut dibutuhkan untuk
menentukan relevansi klinik miotoksik lokal atau sistemik setelah injeksi tunggal atau
infus kontinyu anestetik lokal.

7. Reaksi Alergi terhadap Anestetik Lokal


Reaksi alergi nyata terhadap anestetik lokal jarang dan biasanya melibatkan
reaksi tipe I (IgE) atau tipe IV (imunitas seluler). Reaksi tipe 1 mencemaskan, karena
bisa terjadi syok anafilaksis, dan lebih umum dengan anestetik lokal golongan ester
daripada amide. Alergi tipe I yang nyata terhadap agen aminoamide sangat jarang.
Peningkatan potensi alergenik dengan ester mungkin akibat metabolisme hidrolitik
terhadap asam para-aminobenzoic, yang bersifat alergen. Penambahan pengawet
seperti methylparaben dan metabisulfit juga bisa memprovokasi respon alergi.

ANALISIS KASUS

Seorang wanita usia 31 tahun, berat badan 70 kg, dengan diagnosis G4P3A0
hamil 41-42 minggu belum inpartu janin tunggal hidup dengan presentasi kepala akan
menjalani operasi sectio caesaria yang telah dijadwalkan pada tanggal 11 Oktober
2010. Dari anamnesis didapatkan 1 hari SMRS, penderita mengeluh perut mulas
yang menjalar kepinggang hilang timbul tetapi masih jarang dan lemah. R/ keluar
darah lendir (+), R/ keluar air-air (-), penderita mengaku hamil cukup bulan dan

30
gerakan anak masih bisa dirasakan. Hal ini menandakan bahwa penderita telah
memiliki tanda-tanda inpartu.
Dari anamnesis juga didapatkan penderita memiliki riwayat asma sejak kecil
yang sering dicetuskan oleh kelelahan, keadaan panas atau dingin, debu, namun
jarang kambuh. Hal ini berarti dokter anestesi harus menghindari obat-obat anestesi
yang dapat mencetuskan asma seperti thiopental dan sevoflurane.
Penderita tidak memiliki penyakit hipertensi, diabetes, penyakit hati, janyung,
paru, dan ginjal. Penderita juga belum pernah menjalani operasi sebelumnya, tidak
ada alergi obat atau makanan, tidak merokok maupun minum alkohol. Hal ini berarti
penggunaan obat-obat yang memiliki efek simpatis maupun blok parasimpatis dapat
digunakan pada pasien ini.
Anestesi yang dikerjakan pada penderita adalah anestesi regional dengan teknik
Spinal Anestesi Block dengan alasan teknik yang sederhana, induksi cepat, kontak
fetus dengan obat-obatan minimal, pasien sadar dan bahaya aspirasi sedikit.
1. Tindakan Preoperasi
Penderita langsung masuk ke ruang operasi setelah konsul diterima oleh bagian
anestesi. Anamnesis dilakukan kepada penderita (autoanamnesis). Pemeriksaan fisik
vital sign dilakukan secara cepat di ruang induksi. Hal ini dilakukan karena penderita
dalam keadaan darurat yang membutuhkan tindakan pembedahan. Teknik anestesi
yang dipakai pada psien yang akan dilakukan sectio secaria adalah seminimal
mungkin mendepresi janin, aman dan nyaman bagi ibu, dan memungkinkan ahli
obstetri bekerja secara optimal. Disamping itu perlu juga dipikirkan komplikasi yang
mungkin akan terjadi dan sejauh mana teknik ini dapat menimbulkan efek samping
pada janin yang akan dilahirkan.
Pada pasien ini dipilih teknik anestesia regional. Alasan pertimbangan memilih
teknik ini adalah:
1. Bahaya aspirasi lebih kecil, kecuali pasien sadar.

2. Hubungan fisiologis antara ibu dan janin terjalin lebih cepat.

3. Efek obat terhadap janin lebih kecil.

31
4. Jumlah perdarahan karena tindakan lebih sedikit.

5. Mobilisasi dan mulai pemberian makan lebih cepat.

Dilakukan pemasangan infus sebagai preload menggunakan cairan RL 500 cc


satu jalur di tangan kiri. Pasien diberikan premedikasi dengan ondansentron 8 mg
untuk mengurangi mual muntah pasca bedah dan midazolam 2 mg untuk meredakan
kecemasan.

2. Tindakan Anestesi
Ondansentron disuntikkan bolus sebanyak 8 mg, untuk mengurangi efek mual
muntah yang sering terjadi selama proses anestesi spinal. Pada pukul 12.25 WIB
dilakukan teknik anestesi spinal.
a. Pasien dalam posisi duduk sambil memegang bantal kepala. Selain nyaman
bagi pasien, bantal kepala juga membantu agar tulang belakang lebih stabil.
Pasien membungkuk secara maksimal sehingga prosessus spinosus mudah
teraba
b. Tempat tusukan ditandai, yaitu pada L4-L5
c. Dilakukan tindakan antiseptik pada daerah penyuntikan.
d. Dilakukan pemberian anastetik lokal pada daerah suntikan dengan
menggunakan lidocain 1% sebanyak 3 ml.
e. Tusukan dilakukan dengan menggunakan jarum spinal ukuran 22, setelah
resistensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, spuit
yang berisi obat anastesi lokal, bupivakain sebanyak 10 mg dimasukkan
pelan-pelan diselingi dengan aspirasi sedikit.
f. O2 di hidupkan untuk maintanence anestesi selama operasi berlangsung. Lalu
dipantau vital sign penderita pada monitor mesin anestesi.

Operasi dilakukan mulai pukul 12.35 WIB. Operator operasi adalah dr. Ferry I,
Sp.OG. Selama operasi diberikan injeksi midazolam 2 mg pada pukul 12.55 sebagai
sedative sehingga dapat menurunkan denyut jantung yang mulai meningkat. Pada

32
pukul 13.00 fentanil 50 g disuntikkan untuk mengurangi rasa nyeri intraoperatif, dan
pada pukul 13.40 ketorolac diberikan bolus sebanyak 30 mg untuk mengurangi efek
nyeri selama proses penjahitan.
Cairan yang diberikan antara lain RL 500 cc, RL 500 cc + Pitogin 2 amp, untuk
membantu mempertahankan kontraksi uterus setelah bayi dilahirkan.
Selama operasi tekanan darah, denyut jantung dan saturasi oksigen relatif stabil.
Hanya pada pukul 13.40 denyut jantung mencapai angka 118 x/m, peningkatan terjadi
kemungkinan karena rangsang nyeri saat dilakukan penjahitan, oleh karena itu
ketorolac dimasukkan pada jam yang sama untuk mengurangi rasa nyeri sekaligus
memberi efek pada denyut jantung agar dapat stabil kembali. Bayi lahir pukul 13.05
perempuan BB=2500 gr PB=47cm A/S= 7/9.
Operasi berakhir pada pukul 15.00 WIB dengan catatan pembedahan didapatkan
darah 500 cc dan urin sebanyak 150 cc.

3. Tindakan Pasca anestesi

Setelah anestesi selesai penderita masih dalam keadaan sadar penuh dengan
GCS 15. Nadi penderita terukur 90 x/menit, laju pernapasan 28 x/menit, tekanan
darah 110/58 mmHg, suhu badan 35C. Penderita diberikan oksigen kanul 2
L/menit. Sebagai analgetik diberikan Pronalges 200 mg suppositoria serta Ketorolac
30 mg dan Tramadol 200 mg yang didrip pada Ringer Laktat 500 cc. Penderita
diberikan selimut kemudian dibawa ke kamar pulih dan diberikan penghangat badan
untuk mencegah hipotermi sambil menuggu pemulihkan keadaan untuk dipindahkan
ke ruang perawatan biasa. apabila Aldrette score 9 maka penderita sudah dapat
dipindahkan ke ruang perawatan biasa.

DAFTAR PUSTAKA

33
1. Lukito Husodo. Pembedahan dengan laparotomi. Di dalam : Wiknjosastro H,
editor. Ilmu Kebidanan, edisi ketiga. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2002 . 863 875
2. Caesarean section (editorial). Didapat dari : URL: http://www.wikipedia.org.
1 Maret 2006 (diakses tanggal 12 Oktober 2010)
3. Owen P. Caesarean section. Didapat dari : URL:http://www.netdoctor.co.uk.
2005 (diakses tanggal 12 Oktober 2010)
4. Latief SA, Kartini A, Daclan MR. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi
Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2009.p.104-
95.
5. Spencer S.R. Local Anesthetics. In: Barash PG, ed. Clincal Anesthesia, 5th
Edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2006.
6. Morgan. G. Edward. Clinical Anesthesiology, 4th Edition. McGrawHill; 2007.
7. Miller, Ronald. Millers Anesthesia, 6th Edition. United State of America:
Elsevier; 2006.
8. Ezekiel MR. Handbook of anesthesiology. 2004-2005 Edition. (online),
(http://www.scribd.com).

34

Anda mungkin juga menyukai