Anda di halaman 1dari 17

Good Corporate Goverance

SOAL KUIS Good Corporate Governance Sebelum UTS

1. Mengapa perusahaan perlu mengimplementasikan GCG?

2. Menurut anda, mana yang lebih menjadi prioritas area penegakan


governance di Indonesia saat ini?

a. Corporate governance
b. Public governance
c. University/Higher Education Governance
d. Political Party Governance

3. Apa yang dimaksud good corporate governance?


4. Sebutkan dan jelaskan Prinsip Utama GCG !
5. Jelaskan mengenai Teori Agensi !
6. Masalah apa yang ada dalam teori agensi?
7. Jelaskan hubungan Teori Agensi dan GCG !

Jawab :

1. Implementasi GCG, dapat ditinjau dari aspek :

1. Kepemilikan manajerial
2. Kepemilikan Institusional
3. Komposisi dewan komisaris
4. Komposisi dewan direksi

Jadi mengapa perusahan perlu mengimplementasikan gcg dalam perusahaanna


karena untuk menambah dan memaksimalkan nilai perusahaan guna memenangkan
kompetisi Global. Serta :

1. Untuk menghindari fraud dan KKN.


2. Untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan dan konsisten
dengan peraturan perundang-undangan yang berlandaskan pada beberapa prinsip
dasar good corporate governance yaitu :

Transparency (keterbukaan informasi) : Yaitu keterbukaan dalam melaksanakan


proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi
materiil dan relevan mengenai perusahaan.
Accountability (akuntabilitas) : Yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan
pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan
terlaksana secara efektif.
Responsibility (pertanggungjawaban) : Yaitu kesesuaian (kepatuhan) di dalam
pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan
perundangan yang berlaku.
Fairness (kesetaraan dan kewajaran) : Yaitu perlakuan yang adil dan setara di
dalam memenuhi hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta
peraturan perundangan yang berlaku. Esensi dari corporate governance adalah
peningkatan kinerja perusahaan melalui supervisi atau pemantauan kinerja
manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen terhadap pemangku kepentingan
lainnya, berdasarkan kerangka aturan dan peraturan yang berlaku.

2. Menurut saya Corporate Governance karena ada beberapa keuntungan yang bisa
dipetik oleh perusahaan dengan diterapkannya Good Corporate Governance, yaitu :

Meminimalkan cost of capital Perusahaan yang dikelola dengan baik dan


sehat akan menciptakan suatu referensi positif bagi kreditor. Kondisi ini
sangat berperan dalam meminimalkan biaya modal yang harus ditanggung
bila perusahaan mengajukan pinjaman.

Meningkatkan citra perusahaan Citra sebuah perusahaan sangat untuk untuk


kelangsungan perusahaan tersebut. tidak bisa kita pungkiri bahwa
perusahaan yang memiliki citra yang baik otomatis banyak investor yang
berniat menanamkan modalnya di perusahaan tersebut serta dapat
meningkatkan daya jual produk karena kepercayaan konsumen akibat dari
citra yang baik tersebut.

Meningkatkan nilai saham perusahaan Sebuah perusahaan yang dikelola


dengan baik akan menarik minat investor untuk menanamkan modalnya.
Sebuah survey yang dilakukan oleh Russell Reynolds Associaties (1997)
mengungkapkan bahwa kualitas komisaris adalah salah satu faktor utama
yang dinilai oleh investor institusional sebelum mereka memutuskan untuk
membeli saham. Hal ini akan terlihat terutama ketika seorang investor
bermaksud melakukan investasi untuk jangka waktu yang lama.Meskipun
area lain juga menerapkannya tapi menurut saya yang menjadi prioritas area
penegakan governance di Indonesia saat ini yaitu Corporate Governance

3. Good Corporate Governance (GCG) adalah prinsip yang mengarahkan dan


mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta
kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggung jawabannya kepada
parashareholder khususnya, dan stakeholders pada umumnya. Tentu saja hal ini
dimaksudkan untuk mengatur kewenangan Direktur, manajer, pemegang saham dan
pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan
tertentu

4. Terdapat 5 (lima) prinsip dasar GCG, yaitu:

Transparency (Keterbukaan Informasi) : Transparansi diartikan sebagai


keterbukaan informasi, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun
dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan.
Dalam mewujudkan transparansi itu sendiri, perusahaan harus menyediakan
informasi yang lengkap, akurat dan tepat waktu kepada para pemangku
kepentingan (Stakeholder). Bank wajib menyampaikan kepada Bank
Indonesia selaku otoritas pengawas perbankan di Indonesia dan
mempublikasikan informasi keuangan serta informasi lainnya yang material
dan berdampak signifikan pada kinerja perusahaan secara akurat dan tepat
waktu. Disamping itu, para investor harus dapat mengakses informasi penting
perusahaan secara mudah pada saat diperlukan. Dengan keterbukaan
informasi tersebut maka para stakeholder dapat menilai kinerja berikut
mengetahui risiko yang mungkin terjadi dalam melakukan transaksi dengan
perusahaan. Adanya informasi kinerja perusahaan yang diungkap secara
akurat, tepat waktu, jelas, konsisten, dan dapat diperbandingkan, dapat
menghasilkan terjadinya efisiensi atau disiplin pasar. Selanjutnya, jika prinsip
transparansi dilaksanakan dengan baik dan tepat, akan dapat mencegah
terjadinya benturan kepentingan (conflict of interest) berbagai pihak dalam
perusahaan.

Accountability (Akuntabilitas) : Akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, struktur,


sistem dan pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan
perusahaan terlaksana secara efektif.Masalah yang sering ditemukan di
perusahaan-perusahaan Indonesia adalah kurang efektifnya fungsi
pengawasan Dewan Komisaris. Atau bahkan sebaliknya, Komisaris
mengambil alih peran berikut wewenang yang seharusnya dijalankan Direksi.
Oleh karena itu diperlukan kejelasan mengenai tugas serta fungsi organ
perusahaan agar tercipta suatu mekanisme checks and
balances kewenangan dan peran dalam mengelola perusahaan.Beberapa
bentuk implementasi lain dari prinsip akuntabilitas ini antara lain:Praktek
Audit Internal yang efektif, sertaKejelasan fungsi, hak, kewajiban, wewenang
dan tanggung jawab dalam anggaran dasar perusahaan, kebijakan, dan
prosedur di bank.

Responsibility (Pertanggungjawaban) : Pertanggungjawaban perusahaan


adalah kesesuaian (kepatuhan) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap
prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku.
Penerapan prinsip ini diharapkan membuat perusahaan menyadari bahwa
dalam kegiatan operasionalnya seringkali ia menghasilkan eksternalitas
(dampak luar kegiatan perusahaan) negatif yang harus ditanggung oleh
masyarakat. Di luar hal itu, lewat prinsip responsibilitas ini juga diharapkan
membantu peran pemerintah dalam mengurangi kesenjangan pendapatan
dan kesempatan kerja pada segmen masyarakat yang belum mendapatkan
manfaat dari mekanisme pasar.

Independency (Kemandirian): Independensi merupakan prinsip penting dalam


penerapan GCG di Indonesia. Independensi atau kemandirian adalah suatu
keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan
kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip
korporasi yang sehat.Independensi sangat penting dalam proses
pengambilan keputusan. Hilangnya independensi dalam proses pengambilan
keputusan akan menghilangkan objektivitas dalam pengambilan keputusan
tersebut. Kejadian ini akan sangat fatal bila ternyata harus mengorbankan
kepentingan perusahaan yang seharusnya mendapat prioritas utama.Untuk
meningkatkan independensi dalam pengambilan keputusan bisnis,
perusahaan hendaknya mengembangkan beberapa aturan, pedoman, dan
praktek di tingkat pengurus bank, terutama di tingkat Dewan Komisaris dan
Direksi yang oleh Undang-undang diberi amanat untuk mengurus perusahaan
dengan sebaik-baiknya.

Fairness (Kesetaraan dan Kewajaran) : Secara sederhana kesetaraan dan


kewajaran (fairness) bisa didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan
setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan
perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku.Fairness juga
mencakup adanya kejelasan hak-hak stakeholder berdasarkan sistem hukum
dan penegakan peraturan untuk melindungi hak-hak investor khususnya
pemegang saham minoritas dari berbagai bentuk kecurangan. Bentuk
kecurangan ini bisa berupa insider trading(transaksi yang melibatkan
informasi orang dalam), fraud (penipuan), dilusi saham (nilai perusahaan
berkurang), korupsi-kolusi-nepotisme (KKN), atau keputusan-keputusan yang
dapat merugikan seperti pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan,
penerbitan saham baru, merger, akuisisi, atau pengambil-alihan perusahaan
lain.

5. Teori keagenan merupakan basis teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan
yang dipakai selama ini. Teori tersebut berakar dari sinergi teori ekonomi, teori
keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip utama teori ini menyatakan
adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang yaitu investor
dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu manajer. Pemisahan pemilik
dan manajemen di dalam literatur akuntansi disebut dengan Agency Theory (teori
keagenan). Teori ini merupakan salah satu teori yang muncul dalam perkembangan
riset akuntansi yang merupakan modifikasi dari perkembangan model akuntansi
keuangan dengan menambahkan aspek perilaku manusia dalam model ekonomi.
Teori agensi mendasarkan hubungan kontrak antara pemegang saham/pemilik dan
manajemen/manajer. Menurut teori ini hubungan antara pemilik dan manajer pada
hakekatnya sukar tercipta karena adanya kepentingan yang saling bertentangan.
Dalam teori keagenan (agency theory), hubungan agensi muncul ketika satu orang
atau lebih (principal) memperkerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu
jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada
agent tersebut. Hubungan antara principal dan agent dapat mengarah pada kondisi
ketidakseimbangan informasi (asymmetrical information) karena agent berada pada
posisi yang memiliki informasi yang lebih banyak tentang perusahaan dibandingkan
dengan principal. Dengan asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk
memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan informasi asimetri yang
dimilikinya akan mendorong agent untuk menyembunyikan beberapa informasi yang
tidak diketahui principal. Dalam kondisi yang asimetri tersebut, agent dapat
mempengaruhi angka-angka akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan
dengan cara melakukan manajemen laba. Salah satu cara yang di gunakan untuk
memonitor masalah kontrak dan membatasi perilaku opportunistic manajemen
adalah corporate governance. Prinsip-prinsip pokok corporate governance yang
perlu diperhatikan untuk terselenggaranya praktik good corporate governance
adalah transparansi , akuntabilitas , keadilan, dan responsibilitas. Corporate
governance diarahkan untuk mengurangi asimetri informasi antara principal dan
agent yang pada akhirnya diharapkan dapat meminimalkan tindakan manajemen
laba.

6. Masalah keagenan yang timbul ketika, Keinginan/tujuan dari prinsipal dan agen
berlawanan, hal yang sulit/mahal bagi prinsipal untuk melakukan verifikasi tentang
yang telah benar-benar dilakukan dan masalah pembagian resiko yang timbul pada
saat memiliki sikap yang berbeda terhadap resiko. Lalu masalah Keagenan
Pemegang saham dan Manajer yaitu adanya asimetri informasi antara pemilik dan
manajer dan konflik kepentingan antar agen dengan principal. masalah keagenan
juga akan timbul jika pihak manajemen atau agen perusahaan tidak atau kurang
memiliki saham biasa perusahaan tersebut. Karena dengan keadaan ini menjadikan
pihak manajemen tidak lagi berupaya untuk memaksimumkan keuntungan
perusahaan dan mereka berusaha untuk mengambil keuntungan dari beban yang
ditanggung oleh pemegang saham. Cara yang dilakukan pihak manajemen adalah
dalam bentuk peningkatan kekayaan dan juga dalam bentuk kesenangan dan
fasilitas perusahaan.

7. Persepektif hubungan keagenan merupakan dasar yang digunakan untuk


memahami corporate governance. Konsep corporate governance sebagai upaya
untuk pengendalian atau mengatasi perilaku manajemen yang mementingkan diri
sendiri terutama berkaitan dengan hak pengendali residual
Good Corporate Governance, Suatu Bentuk Implementasi Etika dalam Bisnis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sekarang ini, dunia usaha semakin berkembang dan membutuhkan pengelolaan yang
semakin baik dan sehat. Etika bisnis tidak disangkal lagi memiliki peran yang sangat besar
dalam hal tersebut. Menerapkan etika bisnis secara konsisten sehingga dapat mewujudkan
iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan merupakan salah satu sumbangsih besar yang
dapat diberikan oleh dunia usaha untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan
dan mampu memberikan manfaat yang besar bagi seluruh stakeholder-nya. Saat ini seringkali
muncul pertanyaan apakah etika bisnis merupakan suatu hal yang penting bagi perusahaan
dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. Etika bisnis dianggap sebagai suatu hal yang
merepotkan yang seandainya tidak diindahkan pun suatu bisnis tetap dapat berjalan dengan
baik dan memberikan keuntungan.
Berangkat dari hal itu, peran etika sangat besar dalam melakukan kegiatan bisnis, maka
sudah selayaknya perusahaan menerapkan suatu prinsip Good Corporate Governance yang
dapat digunakan sebagai salah satu alatnya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang menjadi permasalahan etika dalam bisnis ?
2. Apa yang dimaksud dengan Etika Bisnis ?
3. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Good Corporate Governance ?
4. Apa saja yang menjadi prinsip-prinsip dari Good Corporate Governance ?
5. Bagaimana peranan etika bisnis dalam penerapan Good Corporate Governance ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Menjelaskan tentang permasalahan etika dalam bisnis.

2. Mendeskripsikan tentang Etika Bisnis.

3. Mendeskripsikan pengertian dari Good Corporate Governance.


4. Memahami apa yang menjadi prinsip-prinsip dari Good Corporate Governance.

5. Memahami peranan etika bisnis dalam penerapan Good Corporate Governance.

1.4 Manfaat Penulisan

1. Untuk memberikan pengetahuan tentang bagaimana agar perusahaan dapat


menciptakan keberhasilan usaha.

2. Untuk dapat memperbaiki etika dan moral setiap karyawan perusahaan dalam
berbisnis.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Permasalahan Etika dalam Bisnis


Beberapa hari terakhir ada dua berita yang mempertanyakan apakah etika dan bisnis
berasal dari dua dunia berlainan. Pertama, melubernya lumpur dan gas
panas di Kabupaten Sidoarjo yang disebabkan eksploitasi gas PT Lapindo Brantas. Kedua,
obat antinyamuk HIT yang diketahui memakai bahan pestisida berbahaya yang dilarang
penggunaannya sejak tahun 2004. Dalam kasus Lapindo, bencana memaksa penduduk harus
ke rumah sakit. Perusahaan pun terkesan lebih
mengutamakan penyelamatan aset-asetnya daripada mengatasi soal lingkungan dan sosial
yang ditimbulkan. Pada kasus HIT, meski perusahaan pembuat sudah meminta maaf dan
berjanji akan menarik produknya, ada kesan permintaan maaf itu klise. Penarikan produk
yang kandungannya bisa menyebabkan kanker itu terkesan tidak sungguh-sungguh dilakukan.
Produk berbahaya itu masih beredar di pasaran. Atas kasus-kasus itu, kedua perusahaan
terkesan melarikan diri dari tanggung jawab. Sebelumnya, kita semua dikejutkan dengan
pemakaian formalin pada pembuatan tahu dan pengawetan ikan laut serta pembuatan terasi
dengan bahan yang sudah berbelatung. Dari kasus-kasus yang disebutkan sebelumnya,
bagaimana perusahaan bersedia melakukan apa saja demi laba. Wajar bila ada kesimpulan,
dalam bisnis, satu-satunya etika yang diperlukan hanya sikap baik dan sopan kepada
pemegang saham. Harus diakui, kepentingan utama bisnis adalah menghasilkan keuntungan
maksimal bagi shareholders. Fokus itu membuat perusahaan yang berpikiran pendek dengan
segala cara berupaya melakukan hal-hal yang bisa meningkatkan keuntungan. Kompetisi
semakin ketat dan konsumen yang kian rewel sering menjadi faktor pemicu perusahaan
mengabaikan etika dalam berbisnis. Namun, belakangan beberapa akademisi dan praktisi
bisnis melihat adanya hubungan sinergis antara etika dan laba. Menurut mereka, justru di
era kompetisi yang ketat ini, reputasi baik merupakan sebuah competitive advantage yang
sulit ditiru.
Salah satu kasus yang sering dijadikan acuan adalah bagaimana Johnson & Johnson
(J&J) menangani kasus keracunan Tylenol tahun 1982. Pada kasus itu, tujuh orang
dinyatakan mati secara misterius setelah mengonsumsi Tylenol di Chicago. Setelah diselidiki,
ternyata Tylenol itu mengandung racun sianida. Meski penyelidikan masih dilakukan guna
mengetahui pihak yang bertanggung jawab, J&J segera menarik 31 juta botol Tylenol di
pasaran dan mengumumkan agar konsumen berhenti mengonsumsi produk itu hingga
pengumuman lebih lanjut. J&J bekerja sama dengan polisi, FBI, dan FDA (BPOMnya
Amerika Serikat) menyelidiki kasus itu. Hasilnya membuktikan, keracunan itu disebabkan
oleh pihak lain yang memasukkan sianida ke botol-botol Tylenol. Biaya yang dikeluarkan
J&J dalam kasus itu lebih dari 100 juta dollar AS. Namun, karena kesigapan dan tanggung
jawab yang mereka tunjukkan, perusahaan itu berhasil membangun reputasi bagus yang
masih dipercaya hingga kini. Begitu kasus itu diselesaikan, Tylenol dilempar kembali ke
pasaran dengan penutup lebih aman dan produk itu segera kembali menjadi pemimpin pasar
(market leader) di Amerika Serikat. Secara jangka panjang, filosofi J&J yang meletakkan
keselamatan konsumen di atas kepentingan perusahaan berbuah keuntungan lebih besar
kepada perusahaan. Doug Lennick dan Fred Kiel, 2005 (dalam Itpin, 2006) penulis buku
Moral Intelligence, berargumen bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki pemimpin
yang menerapkan standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih sukses dalam jangka
panjang. Hal sama juga dikemukakan miliuner Jon M Huntsman, 2005 (dalam Itpin, 2006)
dalam buku Winners Never Cheat. Dikatakan, kunci utama kesuksesan adalah reputasinya
sebagai pengusaha yang memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak lain. Berkaca
pada beberapa contoh kasus itu, sudah saatnya kita merenungkan kembali cara pandang lama
yang melihat etika dan bisnis sebagai dua hal berbeda. Memang beretika dalam bisnis tidak
akan memberi keuntungan segera. Karena itu, para pengusaha dan praktisi bisnis harus
belajar untuk berpikir jangka panjang. Peran masyarakat, terutama melalui pemerintah,
badan-badan pengawasan, LSM, media, dan konsumen yang kritis amat dibutuhkan untuk
membantu meningkatkan etika bisnis berbagai perusahaan di Indonesia.

2.2 Pengertian Etika Bisnis


Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk
melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu,
perusahaan, industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita
menjalankan bisnis secara adil , sesuai dengan hukum yang berlaku tidak tergantung pada
kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat.

Etika bisnis merupakan salah satu bagian dari prinsip etika yang diterapkan dalam
dunia bisnis (Lozano, 1996). Istilah etika bisnis mengan-dung pengertian bahwa etika bisnis
merupakan sebuah rentang aplikasi etika yang khusus mempelajari tindakan yang diambil
oleh bisnis dan pelaku bisnis. Epstein (1989) menyatakan etika bisnis sebagai sebuah
perspektif analisis etika di dalam bisnis yang menghasilkan sebuah proses dan sebuah
kerangka kerja untuk membatasi dan mengevaluasi tindakan-tindakan individu,
organisasi, dan terkadang seluruh masyarakat sosial. Menurut David (1998), etika bisnis
adalah aturan main prinsip dalam organisasi yang menjadi pedoman membuat keputusan dan
tingkah laku. Etika bisnis adalah etika pelaku bisnis. Pelaku bisnis tersebut bisa saja manajer,
karyawan, konsumen, dan masyarakat.
Etika bisnis merupakan produk pendidikan etika masa kecil, namun tetap dipengaruhi
oleh lingkungan sekitarnya. Sebagian besar pakar psikologi berkeyakinan bahwa penanaman
awal nilai-nilai kedisiplinan, moral, etika yang dilakukan pada masa balita akan sangat
berpengaruh terhadap pembentukan persepsi hati nurani seseorang tatkala ia mulai
beranjak dewasa (Faisal Afiff, 2003). Lingkungan bisnis dapat merontokkan etika individu
dan sebaliknya etika individu dapat mempengaruhi lingkungan bisnis tergantung mana
yang kuat. Terjadinya krisis multi dimensional beberapa tahun terakhir menjadikan etika
bisnis sebagai sorotan dan perhatian dari masyarakat dan para pengamat. Tuntutan
masyarakat akan etika dan tolok ukur etika meningkat, hal ini disebabkan pula oleh peng-
ungkapan dan publikasi, kepedulian publik, regulasi pemerintah, kesadaran CEO akan etika
dan profesionalisme bisnis meningkat (Hoesada, 1997). Etika bisnis adalah bisnis setiap
orang di setiap hari, sehingga etika bisnis termasuk semua manajer dan hubungan bisnis
mereka serta tindakan-tindakan mereka. Etika bisnis adalah tuntutan harkat etis manusia dan
tidak bisa ditunda sementara untuk membenarkan tindakan dan sikap tidak adil, tidak jujur
dan tidak bermoral.
Sebagai cabang dari filsafat etika, maka etika dalam aktivitas bisnis tidak lain
merupakan penerapan prinsip-prinsip etika dengan pendekatan filsafat dalam kegiatan dan
program bisnis. Karenanya semua teori tentang etika dapat dimanfaatkan untuk membahas
tentang etika dalam aktivitas bisnis. Aspek yang dominan dari semua kata etika dalam
aktivitas bisnis bermuara pada perilaku bermoral.
Etika dalam arti sebenarnya dianggap sebagai acuan yang menyatakan apakah tindakan,
aktivitas atau perilaku individu bisa dianggap baik atau tidak. Karenanya etika bisnis sudah
tentu mengacu dan akan berbicara mengenai masalah baik atau tidak baiknya suatu aktivitas
bisnis. Dalam etika bisnis akan diuji peranperan dan prinsip etika dalam konteks
komersial/bisnis. Moral selalu berkaitan dengan tindakan manusia yang baik dan yang buruk
sesuai dengan ukuran-ukuran yang diterima umum dalam suatu lingkungan sosial tertentu.
Dalam hal ini ukuran baik dan buruk manusia adalah manusia bukan sebagai pelaku peran
tertentu, dengan menggunakan norma moral, bukan sopan santun atau norma hukum.
Moral (Moralitas) adalah khas manusia dan karenanya moralitas merupakan dimensi
nyata dalam hidup manusia, baik perorangan maupun sosial (masyarakat).Tanpa moralitas
dalam menjalan usaha bisnis maka kehidupan bisnis menjadi chaos, tiada keteraturan dan
ketenteraman dan pada gilirannya dunia bisnis menjadi sadis dan saling mematikan.
Mengacu kepada batasan etika dari berbagai pandangan ahli yang telah dikemukakan,
maka peran etika adalah membahas dan menunjuk alternatif pemecahan masalah bisnis yang
berlandaskan nilai-nilai moralitas dalam suatu kegiatan bisnis. Landasan yang digunakan
dalam hal ini adalah prinsip-prinsip, nilai dan norma-moral yang terwujud dalam sikap dan
perangai (akhlak) para pelaku bisnis dalam penyelenggaraan usaha bisnisnya dengan
menjunjung tinggi partisipan bisnisnya.
Pada dasarnya etika bisnis menyoroti moral perilaku manusia yang mempunyai profesi
di bidang bisnis dan dimiliki secara global oleh perusahaan secara umum, sedangkan
perwujudan dari etika bisnis yang ada pada masing-masing perusahaan akan terbentuk dan
terwujud sesuai dengan kebudayaan perusahaan yang bersangkutan. Etika bisnis ini akan
muncul ketika masing-masing perusahaan berhubungan dan berinteraksi satu sama lain
sebagai sebuah satuan stakeholder. Tujuan etika bisnis disini adalah menggugah kesadaran
moral para pelaku bisnis untuk menjalankan bisnis dengan "baik dan bersih".

2.3 Pengertian Good Corporate Governance (GCG)


Berdasarkan Pasal 1 Surat Keputusan Menteri BUMN No. 117/M-MBU/2002 tanggal
31 Juli 2002 tentang penerapan GCG pada BUMN, disebutkan bahwa Corporate Governance
adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan
keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham
dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya,
berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika. Berdasarkan pengertian diatas,
secara singkat GCG dapat diartikan sebagai seperangkat sistem yang mengatur dan
mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value added) bagi stakeholder.
Malaysian Finance Committe on Corporate Govesrnance memberikan definisi yang
lebih luas mengenai konsep Good Corporate Governance. Good Corporate Governance
merupakan suatu proses dan struktur yang digunakan untuk mengarahkan dan mengelola
bisnis serta akuntabilitas korporasi dengan tujuan untuk meningkatkan nilai saham dalam
jangka panjang serta memperhatikan kepentingan pihak-pihak lain yang terkait dengan
perusahaan (stakeholder). Good Corporate Governance sering disebut sebagai sebuah pola
hubungan, sistem dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan guna memberikan nilai
tambah secara berkesinambungan dalam jangka panjang bagi pemegang saham dengan tetap
memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan
norma yang berlaku (Tjager, 2005).
Good Corporate Governance merupakan tata kelola perusahaan yang memiliki agenda
yang lebih luas lagi dimasa yang akan datang. Fokus dari akuntabilitas perusahaan yang
semula masih terkonsentrasi atau berorientasi pada
para pemegang saham (stockholder), sekarang menjadi lebih luas dan untuk tata kelola
perusahaan juga harus memperhatikan kepentingan stakeholder. Akibat yang muncul dari
pergeseran paradigma ini, tata kelola perusahaan harus mempertimbangkan masalah
corporate social responsibility (CSR).

2.4 Prinsip-prinsip Good Corporate Governance


Sebagai sebuah sistem, proses, struktur dan aturan yang memberikan suatu nilai tambah
bagi perusahaan, Good Corporate Governance memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Keadilan (Fairness)
Keadilan adalah kesetaran perlakuan dari perusahaan terhadap pihak-pihak yang
berkepentingan sesuai dengan kriteria dan proporsi yang seharusnya. Dalam hal ini yang
ditekankan agar pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan terlindungi dari
kecurangan serta penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh orang dalam. Prinsip ini
diwujudkan antara lain dengan membuat peraturan korporasi terhadap konflik kepentingan
minoritas, membuat pedoman perilaku perusahaan dan kebijakan-kebijakan yang melindungi
korporasi terhadap konflik kepentingan, menetapkan peran dan tanggungjawab dewan
komisaris, direksi dan komite termasuk sistem remunerasi, menyajikan informasi secara
wajar.
2. Transparansi/Keterbukaan (Transparency)
Tranparansi adalah keterbukaan dalam melaksanakan suatu proses kegiatan perusahaan.
Pengungkapan informasi kinerja baik ketepatan waktu maupun akurasinya (keterbukaan
dalam proses, pengambilan keputusan, pengawasan, keadilan, kualitas, standarisasi, efisiensi
waktu dan biaya). Dengan transparansi, pihak-pihak yang terkait akan dapat melihat dan
memahami bagaimana suatu perusahaan dikelola. Namun hal tersebut tidak berarti masalah-
masalah yang strategis harus dipublikasikan, sehingga akan mengurangi keunggulan
kompetitif perusahaan. Hak-hak para pemegang saham, yang harus diberi informasi dengan
benar dan tepat pada waktunya mengenai perusahaan, dapat ikut berperan serta dalam
pengambilan keputusan mengenai perubahan-perubahan yang mendasar atas perusahaan dan
turut memperoleh bagian dari keuntungan perusahaan. (Forum for Corporate Governance in
Indonesia, 2002), transparansi menunjukkan proses keterbukaan dari para pengelola
manajemen, utamanya manajemen publik untuk membangun akses dalam proses
pengelolaannya sehingga arus informasi keluar dan masuk secara berimbang. Jadi dalam
proses transparansi informasi masyarakat dapat melihat mengenai apa yang sedang dilakukan
dengan menyebarluaskan rencana anggaran, rencana hasil, undang-undang dan peraturan.
(Ackerman, 2006) adapun indikator-indikator transparansi yang telah ditetapkan oleh
Kementrian BUMN, dibedakan menjadi dua yaitu indikator untuk BUMN yang statusnya
telah menjadi PT Terbuka (Tbk.) dan indikator untuk BUMN yang statusnya masih PT biasa.
3. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban atas pelaksanaan fungsi dan tugas-tugas sesuai
dengan wewenang yang dimiliki oleh seluruh organ perusahaan termasuk pemegang saham.
Akuntabilitas ini berkaitan erat dengan perencanaan yang telah disepakati bersama, dimana
pelaksanaan dari kegiatan perusahaan harus sesuai dengan perencanaan dan tujuan
perusahaan.
Prinsip ini diwujudkan antara lain dengan menyiapkan laporan keuangan pada waktu
yang tepat dan dengan cara yang tepat, mengembangkan komite audit dan resiko untuk
mendukung fungsi pengawasan oleh dewan komisaris, mengembangkan dan merumuskan
kembali peran dan fungsi internal audit sebagai mitra bisnis strategik berdasarkan best
practice bukan sekedar audit.

Perbedaan Perusahaan Publik dan Non Publik


Perusahaan
No. Aspek
Publik Non Publik
1. Informasi Keuangan Harus Terbuka Tidak Terbuka
2. Pemakai Informasi Masyarakat Luas Kalangan Terbatas
3. Perlindungan Investor Mutlak dan diwajibkan Tidak Mutlak
Pemerintah
4. Jasa Akuntan Publik Mutlak diperlukan Tidak Mutlak
5. Pemegang saham Menyebar dan turn over Terbatas dan turn over
tinggi rendah
6. Pemisahan Manajemen Penting Tidak terlalu Penting
dan Pemilik
Sumber: kementrian BUMN RI Program Pembinaan BUMN: Privatisasi BUMN, GCG,
Pembinaan Usaha Kecil Kementrian Negara BUMN RI, Jakarta, 2004.
4. Pertanggungjawaban (Responsibility)
Pertanggungjawaban adalah kesesuaian didalam pengelolaan perusahaan terhadap
peraturan perundangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Prinsip ini
diwujudkan dengan kesadaran bahwa tanggungjawab merupakan konsekuensi logis dari
adanya wewenang, menyadari akan adanya tanggungjawab sosial, menyadari
penyalahgunaan kekuasaan, menjadi profesional dan menjunjung citra, dan memelihara
lingkungan bisnis yang sehat.
5. Keterbukaan dalam Informasi (Disclosure)
Disclosure adalah keterbukaan dalam mengungkapkan informasi yang bersifat material
dan relevan mengenai perusahaan harus dapat memberikan informasi atau laporan yang
akurat dan tepat waktu mengenai kinerja perusahaan. Hal tersebut terutama untuk perusahaan
yang sudah go public, dimana pemegang saham sangat berkepentingan dengan informasi
kinerja perusahaan tersebut berada.
6. Kemandirian (Independency)
Kemandirian adalah suatu keadaan dimana perusahaan bebas dari pengaruh atau tekanan
pihak lain yang tidak sesuai dengan mekanisme korporasi. (Siregar, 2004)
Untuk membuat Good Corporate Governance dapat terlaksana sebagaimana mestinya,
menurut Keasey dan Wright (dalam Siregar,2004) dibutuhkan lima elemen yang saling
berpadu, yaitu:
1. Tersedianya landasan hukum atau jaminan hukum,
2. Ditegakannya akuntabilitas,
3. Adanya fungsi pengawasan atas kinerja kompensasi dan sistem pengangkatan Direksi,
4. Adanya Direksi sebagai eksekutif atau penyelenggara perusahaan,
5. Adanya manajemen sebagai pelaksana kegiatan operasional perusahaan.
Kebijakan GCG
Kebijakan Good Corporate Governance ("Kebijakan ") ini disusun dengan tujuan agar
Kebijakan ini menjadi acuan bagi pelaksanaan good corporate governance di Perusahaan.
Sesuai dengan tujuan tersebut, pada hakikatnya Kebijakan ini dimaksudkan berlaku bagi
semua jenis perusahaan yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan Republik
Indonesia. Meskipun pada awalnya hanya Perseroan Terbuka, Badan Usaha Milik Negara dan
perusahaan yang menggunakan atau mengelola dana publik saja yang harus mempelopori
penerapan Kebijakan ini, namun semua perusahaan yang didirikan berdasarkan peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia juga diharapkan dapat menerapkan Kebijakan ini
dengan secepat mungkin. Kebijakan ini disusun dengan metode yang memungkinkan
terjadinya peningkatan dan penyesuaian standar good corporate governance yang lebih
konstruktif dan fleksibel bagi perusahaan, bukan dengan pendekatan yang preskriptif melalui
pemberlakuan peraturan perundang-undangan. Disadari bahwa terdapat aspek good
corporate governance yang perlu diberlakukan dengan peraturan perundang-undangan,
namun terdapat pula aspek lain yang sebaiknya diterapkan sesuai dengan perkembangan
pasar dan dengan memperhatikan sifat khusus Perseroan. Karenanya, perlu diperhatikan
bahwa Pedoman ini dimaksudkan agar bersifat dinamis, sehingga dari waktu ke waktu dapat
disesuaikan dengan laju perkembangan pasar dan struktur masyarakat yang dinamis. Apabila
terjadi perubahan yang bersifat eksternal, maka prinsip good corporate governance yang
terkait dapat mengikutinya. Oleh sebab itu, Kebijakan ini pada hakikatnya dapat selalu
berubah (evolutionary in nature) dan harus dibaca serta dikaji dalam hubungannya dengan
perubahan yang dapat diantisipasi baik di tingkat nasional maupun internasional.

2.5 Peranan Etika Bisnis dalam Penerapan Good Corporate Governance (GCG)
1. Code of Corporate and Business Conduct
Kode Etik dalam tingkah laku berbisnis di perusahaan (Code of Corporate and
Business Conduct) merupakan implementasi salah satu prinsip Good Corporate Governance
(GCG). Kode etik tersebut menuntut karyawan & pimpinan perusahaan untuk melakukan
praktek-praktek etik bisnis yang terbaik di dalam semua hal yang dilaksanakan atas nama
perusahaan. Apabila prinsip tersebut telah mengakar di dalam budaya perusahaan (corporate
culture), maka seluruh karyawan & pimpinan perusahaan akan berusaha memahami dan
berusaha mematuhi mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan dalam
aktivitas bisnis perusahaan. Pelanggaran atas Kode Etik merupakan hal yang serius, bahkan
dapat termasuk kategori pelanggaran hukum.

2. Nilai Etika Perusahaan


Kepatuhan pada Kode Etik ini merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan dan memajukan reputasi perusahaan sebagai karyawan & pimpinan
perusahaan yang bertanggung jawab, dimana pada akhirnya akan memaksimalkan nilai
pemegang saham (shareholder value). Beberapa nilai-nilai etika perusahaan yang sesuai
dengan prinsip-prinsip GCG, yaitu kejujuran, tanggung jawab, saling percaya, keterbukaan
dan kerjasama. Kode Etik yang efektif seharusnya bukan sekedar buku atau dokumen yang
tersimpan saja. Namun Kode Etik tersebut hendaknya dapat dimengerti oleh seluruh
karyawan & pimpinan perusahaan dan akhirnya dapat dilaksanakan dalam bentuk tindakan
(action). Beberapa contoh pelaksanaan kode etik yang harus dipatuhi oleh seluruh karyawan
& pimpinan perusahaan, antara lain masalah informasi rahasia, benturan kepentingan
(conflict of interest) dan sanksi.

1) Informasi rahasia
Dalam informasi rahasia, seluruh karyawan harus dapat menjaga informasi rahasia
mengenai perusahaan dan dilarang untuk menyebarkan informasi rahasia kepada pihak lain
yang tidak berhak. Informasi rahasia dapat dilindungi oleh hukum apabila informasi tersebut
berharga untuk pihak lain dan pemiliknya melakukan tindakan yang diperlukan untuk
melindunginya. Beberapa kode etik yang perlu dilakukan oleh karyawan yaitu harus selalu
melindungi informasi rahasia perusahaan dan termasuk Hak Atas Kekayaan Intelektual
(HAKI) serta harus memberi respek terhadap hak yang sama dari pihak lain. Selain itu
karyawan juga harus melakukan perlindungan dengan seksama atas kerahasiaan informasi
rahasia yang diterima dari pihak lain. Adanya kode etik tersebut diharapkan dapat terjaga
hubungan yang baik dengan pemegang saham (share holder), atas dasar integritas (kejujuran)
dan transparansi (keterbukaan), dan menjauhkan diri dari memaparkan informasi rahasia.
Selain itu dapat terjaga keseimbangan dari kepentingan perusahaan dan pemegang sahamnya
dengan kepentingan yang layak dari karyawan, pelanggan, pemasok maupun pemerintah dan
masyarakat pada umumnya.

2) Benturan Kepentingan (Conflict of interest)


Seluruh karyawan & pimpinan perusahaan harus dapat menjaga kondisi yang bebas dari
suatu benturan kepentingan (conflict of interest) dengan perusahaan. Suatu benturan
kepentingan dapat timbul bila karyawan & pimpinan perusahaan memiliki, secara langsung
maupun tidak langsung kepentingan pribadi didalam mengambil suatu keputusan, dimana
keputusan tersebut seharusnya diambil secara obyektif, bebas dari keragu-raguan dan demi
kepentingan terbaik dari perusahaan. Beberapa kode etik yang perlu dipatuhi oleh seluruh
karyawan & pimpinan perusahaan, antara lain menghindarkan diri dari situasi (kondisi) yang
dapat mengakibatkan suatu benturan kepentingan. Selain itu setiap karyawan & pimpinan
perusahaan yang merasa bahwa dirinya mungkin terlibat dalam benturan kepentingan harus
segera melaporkan semua hal yang bersangkutan secara detail kepada pimpinannya
(atasannya) yang lebih tinggi. Terdapat 8 (delapan) hal yang termasuk kategori situasi
benturan kepentingan (conflict of interest) tertentu, sebagai berikut :

a. Segala konsultasi atau hubungan lain yang signifikan dengan, atau berkeinginan
mengambil andil di dalam aktivitas pemasok, pelanggan atau pesaing (competitor).

b. Segala kepentingan pribadi yang berhubungan dengan kepentingan perusahaan.

c. Segala hubungan bisnis atas nama perusahaan dengan personal yang masih ada
hubungan keluarga (family), atau dengan perusahaan yang dikontrol oleh personal tersebut.

d. Segala posisi dimana karyawan & pimpinan perusahaan mempunyai pengaruh atau
kontrol terhadap evaluasi hasil pekerjaan atau kompensasi dari personal yang masih ada
hubungan keluarga .

e. Segala penggunaan pribadi maupun berbagi atas informasi rahasia perusahaan demi
suatu keuntungan pribadi, seperti anjuran untuk membeli atau menjual barang milik
perusahaan atau produk, yang didasarkan atas informasi rahasia tersebut.

f. Segala penjualan pada atau pembelian dari perusahaan yang menguntungkan pribadi.

g. Segala penerimaan dari keuntungan, dari seseorang / organisasi / pihak ketiga yang
berhubungan dengan perusahaan.
h. Segala aktivitas yang terkait dengan insider trading atas perusahaan yang telah go
public, yang merugikan pihak lain.

3) Sanksi
Setiap karyawan & pimpinan perusahaan yang melanggar ketentuan dalam Kode Etik
tersebut perlu dikenakan sanksi yang tegas sesuai dengan ketentuan/peraturan yang berlaku di
perusahaan, misalnya tindakan disipliner termasuk sanksi pemecatan (Pemutusan Hubungan
Kerja). Beberapa tindakan karyawan & pimpinan perusahaan yang termasuk kategori
pelanggaran terhadap kode etik, antara lain mendapatkan, memakai atau menyalahgunakan
aset milik perusahaan untuk kepentingan / keuntungan pribadi, secara fisik mengubah atau
merusak asset milik perusahaan tanpa izin yang sesuai dan menghilangkan asset milik
perusahaan. Untuk melakukan pengujian atas Kepatuhan terhadap Kode Etik tersebut perlu
dilakukan semacam audit kepatuhan (compliance audit) oleh pihak yang independent,
misalnya Internal Auditor, sehingga dapat diketahui adanya pelanggaran berikut sanksi yang
akan dikenakan terhadap karyawan & pimpinan perusahaan yang melanggar kode etik.
Akhirnya diharpkan para karyawan maupun pimpinan perusahaan mematuhi Code of
Corporate & Business Conduct yang telah ditetapkan oleh perusahaan sebagai penerapan
GCG.

Anda mungkin juga menyukai