Anda di halaman 1dari 8

PENGENDALIAN CEMARAN MIKROBA PADA

BAHAN
PANGAN ASAL TERNAK (DAGING SAPI)
MULAI
DARI PETERNAKAN SAMPAl DIHIDANGKAN

Tugas Review Jurnal

Penyehatan Makanan dan Minuman

Oleh

Ni Kadek Dwi Agustiani

12120701014
I. PENDAHULUAN

Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia. Kasus keracunan
atau penyakit karena mengonsumsi makanan yang tercemar mikroba telah banyak terjadi di
Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa keamanan pangan masih perlu mendapat perhatian
yang lebih serius. Penyakit yang disebabkan oleh mikroba yang sering menimbulkan
masalah antara lain adalah antraks, foodborne disease, dan waterborne disease, sedangkan
mikroba yang biasa mencemari bahan pangan asal ternak di antaranya adalah Salmonella
sp., Escherichia coli, Coliform, Staphylococcus sp., dan Pseudomonas. Kontaminasi
mikroba pada daging sapi dapat berasal dari peternakan dan rumah potong hewan yang
tidak higienis (Mukartiniet al. 1995), begitu juga sumber air dan lingkungan tempat
diolahnya daging tersebut sebelum sampai kepada konsumen. Kelompok mikroba
pembusuk akan mengubah makanan segar menjadi busukbahkan dapat menghasilkan toksin
(racun), oleh sebab itu sebelum manusia mengkonsumsi bahan pangan, perlu dilakukan
pengawasan melalui pengujian laboratorium untuk memastikan bahwa bahan pangan asal
ternak tersebut bebas dari mikroorganisme yang berbahaya (Setiowati dkk.2009).
Pencemaran E.coli perlu diwaspadai karena jenis bakteri ini dapat menyebabkan
gastroenteritis pada manusia (Hubbert and Hagstad, 1991). Oleh sebab itu perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui kemungkinan adanya cemaran mikroba E.coli pada daging.
II. MATERI DAN METODA PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan sampel daging sapi segar yang dibeli di setiap rantai
distribusinya Pasar Tradisional, dan kios - kios tempat penjualan daging sapi, masing-
masing sebanyak 100 gram. Sampel diambil 3 (tiga) kali pengambilan dengan rentang waktu
3 (tiga) hari, dimana pada setiap rantai distribusi, sampel yang diambil berasal dari daging
sapi yang sama.
1 Survey lapangan
Survey lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer dengan menggunakan
kuesioner. Tujuannya adalah untuk analisa deskriptif tentang penanganan ternak dan
daging yang dilakukan oleh pekerja pada simpul distribusi (RPH/TPH, pasar
tradisional, dan kios kios penjual daging), kelengkapan sarana prasarana, sumber air
yang dipakai, penerangan di RPH/TPH, alat angkutan daging, lingkungan sekitar, dan
pembuangan limbah yang diindikasikan dapat menjadi sumber kontaminasi pada
daging.
2 Pengambilan sampel :
Daging sapi diambil dari 3 (tiga) rantai distribusi daging sapi. mulai dari Rumah
Pemotongan Hewan (RPH), Pasar Tradisional dan kios penjual daging sapi. Masing
masing sampel pada satu rantai distribusi berasal dari daging sapi yang sama yang
diambil pada hari pemotongan dan diambil sendiri oleh pedagang daging sapi. Sampel
kemudian dibungkus dengan kantong plastik dan dibawa secepatnya dengan memakai
termos es ke Laboratorium.
3 Proses Uji Laboratorium
Uji laboratorium untuk mengetahui kontaminasi yang terjadi pada daging sapi yang
disebabkan oleh E. Coli berpedoman pada modifikasi Harley danPrescott (1993).
4 Analisa Data
Untuk melihat perbedaan tingkat cemaran E.Coli pada masing masing rantai distribusi
daging sapi di Kota Padang dilakukan Uji T dua sampel bebas (Menguji apakah rata-
rata dua pengambilan yang tidak berhubungan sama/berbeda), menurut Steel & Torrie
(1995).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Perbandingan Tingkat Kontaminasi Bakteri E. Coli pada Daging Sapi antar Rantai
Distribusi.

Cemaran mikroba dapat terjadi saat ternak masih hidup dan


selanjutnya mikroba masuk dalam rantai pangan. Titik awal rantai penyediaan
pangan asal ternak adalah kandang. Tata laksana peternakan sangat
menentukan kualitas produk ternak. Cemaran pestisida pada air, tanah, dan
tanaman pakan yang diberikan kepada ternak dapat masuk ke dalam tubuh
ternak dan residunya akan ditemukan dalam produk ternak (Soejitno dalam
Murdiati 2006). Pencemaran daging oleh mikroba dapat terjadi sebelum dan
setelah hewan dipotong. Sesaat setelah dipotong, darah masih bersirkulasi ke
seluruh anggota tubuh hewan sehingga penggunaan pisau yang tidak bersih
dapat menyebabkan mikroorganisme masuk ke dalam darah
Contoh saja ada Rantai Distribusi daging Sapi A, B, C. Berdasarkan
hasil uji T tes dua sampel bebas, perbandingan tingkat cemaran bakteri E. Coli
yang terdapat pada sampel daging sapi yang berasal dari rantai distribusi A
dengan cemaran yang terdapat pada sampel daging sapi yang berasal dari
rantai distribusi B didapat hasil, bahwa tingkat cemaran pada kedua rantai
distribusi tersebut menunjukkan perbedaan tidak nyata (P > 0.05). Begitu juga
perbandingan tingkat cemaran bakteri E.Coli pada sampel daging sapi yang
dijual disepanjang rantai distribusi A dengan sampel daging yang berasal dari
rantai distribusi C, juga menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P > 0.05).
Jika dilihat tingkat perbandingan cemaran bakteri E. Coli pada jalur TPH B
dengan C juga menunjukkan adanya perbedaan tidak nyata (P > 0.05).

2. Perbandingan Tingkat Kontaminasi Bakteri E. Coli pada Sampel Daging


Sapi antar RPH/TPH, Pasar Tradisional, dan antar Kios daging.

Pencemaran daging oleh mikroba dapat terjadi sebelum dan setelah hewan
dipotong. Sesaat setelah dipotong, darah masih bersirkulasi ke seluruh anggota tubuh
hewan sehingga penggunaan pisau yang tidak bersih dapat menyebabkan
mikroorganisme masuk ke dalam darah. Pencemaran daging dapat dicegah jika
proses pemotongan dilakukan secara higienis. Pencemaran mikroba terjadi sejak di
peternakan sampai ke meja makan. Sumber pencemaran tersebut antara lain adalah :
1) hewan (kulit, kuku, isi jeroan)
2) pekerja/manusia yang mencemari produk ternak melalui pakaian, rambut,
hidung, mulut, tangan, jari, kuku, alas kaki,
3) peralatan (pisau, alat potong/talenan, pisau, boks)
4) bangunan (lantai)
5) lingkungan (udara, air, tanah)
6) kemasan.
Berdasarkan hasil uji statistik (Uji T dua sampel bebas), perbandingan
kontaminasi cemaran bakteri E. Coli pada sampel daging sapi antar RPH/TPH
menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P > 0.05). Perbandingan kontaminasi
cemaran bakteri E. Coli pada sampel daging sapi antar pasar tradisional menunjukkan
perbedaan tidak nyata (P > 0.05). Begitu juga perbandingan kontaminasi cemaran
bakteri E. Coli pada sampel daging sapi antar kios daging juga menunjukkan
perbedaan tidak nyata (P > 0.05).

3. Perbandingan Tingkat Kontaminasi Bakteri E. Coli pada Daging Sapi antar


Simpul Distribusi Daging Sapi (RPH/TPH, Pasar Tradisional, dan antar
Kios daging)
Daging merupakan bahan pangan yang sangat baik untuk pertumbuhan
mikroba karena :
1) memiliki kadar air yang tinggi (68,75%)
2) kaya akan zat yang mengandung nitrogen
3) kaya akan mineral untuk pertumbuhan mikroba
4) mengandung mikroba yang menguntungkan bagi mikroba lain (Betty
dan Yendri 2007).
Perlakuan ternak sebelum pemotongan akan berpengaruh terhadap jumlah mikroba
yang terdapat dalam daging. Ternak yang baru diangkut dari tempat lain sebaiknya
tidak dipotong sebelum cukup istirahat, karena akan meningkatkan jumlah bakteri
dalam daging dibandingkan dengan ternak yang masa istirahatnya cukup.
Berdasarkan hasil uji T dua sampel bebas, perbandingan tingkat cemaran
bakteri E. Coli yang terdapat pada sampel daging sapi antar simpul Distribusi yakni
antar RPH/TPH dengan Pasar Tradisional menunjukkan perbedaan tidaknyata (P >
0.05). Begitu juga perbandingan tingkat cemaran bakteri E.Coli pada sampel daging
sapi antara RPH/TPH dengan Kios daging sapi menunjukkan perbedaan yang tidak
nyata (P > 0.05). Demikian juga jika dilihat tingkat perbandingan cemaran bakteri E.
Coli antar simpul Pasar Tradisional dengan Kios daging menunjukkan ya perbedaan
yang tidak nyata (P > 0.05).

4. PENYAKIT AKIBAT CEMARAN MIKROBA DALAM BAHAN PANGAN

Sebagian besar penyakit pada manusia disebabkan oleh makanan yang


tercemar bakteri patogen, seperti penyakit tipus, disentri, botulisme, dan
hepatitis A (Winarno 1997). Penyakit lain yang disebabkan oleh bakteri dan
sering menimbulkan masalah serta memiliki dampak yang cukup berbahaya
terhadap kesehatan manusia antara lain adalah antraks, salmonellosis,
brucellosis, tuberkulosis, klostridiosis, E. coli, kolibasilosis, dan S. aureus
(Supar 2005). Foodborne disease adalah suatu penyakit yang merupakan hasil
dari pencernaan dan penyerapan makanan yang mengandung mikroba oleh
tubuh manusia. Mikroba yang menimbulkan penyakit dapat berasal dari
makanan produk ternak yang terinfeksi atau tanaman yang terkontaminasi
(Bahri 2001). Makanan yang terkontaminasi selama pengolahan dapat menjadi
media penularan penyakit. Penularan penyakit ini bersifat infeksi, yaitu suatu
penyakit yang disebabkan oleh mikroba yang hidup dan berkembang biak
pada tempat terjadinya peradangan. Mikroba masuk ke dalam saluran
pencernaran manusia melalui makanan, yang kemudian dicerna dan diserap
oleh tubuh. Dalam kondisi yang sesuai, mikroba patogen akan berkembang
biak di dalam saluran pencernaan sehingga menyebabkan gejala penyakit.
Foodborne disease yang disebabkan oleh salmonelladapat menyebabkan
kematian pada manusia, media pencemarannya dapat berasal dari air pencuci
yang telah terkontaminasi. Mikroorganisme lainnya yang dapat menyebabkan
foodborne disease antara lain Compylobacter, E. coli, dan Listeria (Tabel 1).
Gejala umum foodborne disease adalah perut mual diikuti muntah-muntah,
diare, demam, kejang-kejang, dan gejala lainnya. Memperbaiki sanitasi
terutama lingkungan, merupakan salah satu solusi terbaik dalam
mengantisipasi cemaran mikroba. Sanitasi yang buruk yang menyebabkan air
tercemar tinja yang mengandung kuman penyakit, menyebabkan terjadinya
waterborne disease.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Pengendalian cemaran mikroba pada bahan pangan asal ternak dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
1. Pengolahan untuk menekan atau menghambat pertumbuhan bakteri, walaupun
cara ini belum selalu dapat menghilangkan bakteri yang mencemari produk
ternak saat berada di peternakan atau pada saat panen.
2. Pengendalian residu dan cemaran mikroba pada produk pangan asal ternak
dengan menekankan batas maksimum residu antibiotik.
3. Penerapan sistem keamanan pangan pada setiap proses produksi melalui good
farming practices (GFP), good handling practices (GHP), dan good
manufacture practices (GMP)
4. Meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan kepedulian masyarakat terhadap
penyakit yang disebabkan oleh cemaran mikroba sehingga dapat
mengeliminasi dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran mikroba pada
bahan pangan.
Berdasarkan hasil uji laboratorium terhadap sampel daging sapi yang diambil
disepanjang rantai distribusi di Kota Padang, 100 % terkontaminasi bakteri E.Coli
melebihi Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) yang ditetapkan oleh Badan
Standarisasi Nasional Indonesia tahun 2008 yang menetapkan BMCM bakteri E. Coli
sebesar 1 x 101 CFU/gr. Tingkat kontaminasi bakteri pada daging sapi dari RPH/TPH
di Kota Padang memiliki nilai rataan total koloni E. Coli sebesar 5.1 x 104 CFU/gr.
Tingkat kontaminasi bakteri E.coli pada sampel daging sapi dari pasar tradisional
adalah sebesar 2.7 x 104 CFU/gr. Sementara cemaran Escherichia Coli pada sampel
daging sapi dari kios penjual daging terdeteksi sebesar 4.9 x 104 CFU/gr .

Daftar Pustaka
Andriani. 2005. Escherichia coli 0157 H:7 sebagai penyebab penyakit zoonosis. Prosiding
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis.Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Bogor
Acheson, L.W.K._ 2000. How Does E.sf'iiei'i.chitr coii 01571-17 Testing in Meat
Compare with What We Are Seeing Clinically `.. J. Food Protection.
631.61' I 815-J-SQ.
Badan Standardisasi Nasional. 1999. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999,
Tentang Rumah Pemotongan Hewan, Jakarta: BSN. Badan Ketahanan Pangan. 2011.
Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Bahri, S. 2008. Beberapa aspek keamanan pangan asal ternak di Indonesia.
Pengembangan Inovasi Pertanian 1(3): 225242.
Bahri, S. 2001. Mewaspadai cemaran mikrobapada bahan pangan, pakan, dan produk
peternakan di Indonesia. Jurnal Penelitian
dan Pengembangan Pertanian 20(2): 5564.
Betty dan Yendri. 2007. Cemaran mikroba terhadap telur dan daging ayam. Dinas Peternakan
Provinsi Sumatera Barat, Padang.
Departemen Pertanian. 1996. Kumpulan Peraturan Perundangan Di Bidang kesehatan
Masyarakat Veteriner. Departemen Pertanian. 2010. Peraturan Menteri Pertanian No.
13/ Permentan/OT.140/1/2010 tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia
dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting Plan). Jakarta.
Dewan Perwakilan Rakyat RI. 2000. Undang-Undang RI No.78 tahun 1996 tentang Pangan,
Sinar Grafika, Jakarta.
Dewan Perwakilan Rakyat RI. 2001. Undang-Undang RI No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta.
Dharmaputra, O.S. 2006. Aflatoksin pada bahan pangan dan produk olahannya di
Indonesia. Makalah disampaikan dalam Pertemuan Forum Aflatoksin Indonesia,
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 24 Februari
2006.
Dirjen Peternakan. 1997. Manual Kesmavet. Pedoman Pembinaan Kesmavet. No. 47.
Hal. 40. Departemen Pertanian. Jakarta.
Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2003. Buku Statitik Peternakan Tahun
2003. Dep. Pertanian. Jakarta.
Dirjen Peternakan. 2010. Blue Print Program Swasembada Daging 2014. Kementrian
Pertanian, Jakarta.
Murdiati, T.B., A. Priadi., S. Rachmawati, dan Yuningsih. 2004. Susu pasteurisasi dan
penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point). Jurnal IImu Ternak dan
Veteriner 9(3): 172180.
Murdiati, T.B. 2006. Jaminan keamanan pangan asal ternak: Dari kandang hingga piring
konsumen. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 25(1): 2230.
Pusat Standarisasi dan Akreditasi. 2004. Info Mutu. Berita Standarisasi Mutu dan Keamanan

Anda mungkin juga menyukai