Anda di halaman 1dari 23

BAB 2

TINJAUAN KEBIJAKAN

2.1 Perundang-undangan

2.1.1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem


Perencanaan Pembangunan Nasional
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional pada Pasal 1 ayat (1) dijelaskan Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan
pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam
jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur
penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah.
Pada pasal 2 ayat (1) dijelaskan Pembangunan Nasional diselenggarakan
berdasarkan demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan Nasional. Selanjutnya pada ayat (4)
dijelaskan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan untuk:
a. mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan;
b. menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi
baik antarDaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi
pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;
c. menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan;
d. mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan
e. menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara
efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Pada pasal 3 ayat (1) dijelaskan Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup
penyelenggaraan perencanaan makro semua fungsi pemerintahan yang
meliputi semua bidang kehidupan secara terpadu dalam Wilayah Negara
Republik Indonesia. Dan pada ayat (3) Perencanaan Pembangunan Nasional
Sebagaimana dimaksud
a. Rencana pembangunan jangka panjang;
b. Rencana pembangunan jangka menengah; dan
c. Rencana pembangunan tahunan.
2.1.3 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan


Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dalam pasal 1 ayat (1) Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan,
pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat
dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Ayat (14) dijelaska Rencana Zonasi adalah rencana
yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan
disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada Kawasan perencanaan
yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta
kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin. Dan pada ayat
(17) Rencana Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam 1 (satu) Zona
berdasarkan arahan pengelolaan di dalam Rencana Zonasi yang dapat disusun
oleh Pemerintah Daerah dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan
teknologi yang dapat diterapkan serta ketersediaan sarana yang pada gilirannya
menunjukkan jenis dan jumlah surat izin yang dapat diterbitkan oleh Pemerintah
Daerah
Pada pasal 4 dijelaskan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
dilaksanakan dengan tujuan

a. melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya


Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara
berkelanjutan;
b. menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah
Daerah dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
c. memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta
mendorong inisiatif Masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan
keberkelanjutan;dan
d. meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat melalui peran
serta Masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil.

Pada bagian ketiga tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil pada pasal 9 ayat (1) RZWP-3-K merupakan arahan pemanfaatan
sumber daya di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pemerintah provinsi
dan/atau pemerintah kabupaten/kota. Ayat (2) RZWP-3-K diserasikan,
diselaraskan, dan diseimbangkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota.
Pada ayat (3) Perencanaan RZWP-3-K dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan daya dukung ekosistem,
fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu,
dimensi teknologi dan social budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan;
b. keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika
lingkungan, dan kualitas lahan pesisir; dan
c. kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses Masyarakat dalam
pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai fungsi
social dan ekonomi.
Pada pasal 7 ayat (5) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menyusun
Rencana Zonasi rinci di setiap Zona Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
tertentu dalam wilayahnya.

2.1.4 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran


Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran pada
pasal 1 ayat (1) Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atau
angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta
perlindungan lingkungan maritim. Pada ayat (2) Perairan Indonesia adalah laut
teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya. Dan
pada ayat (14) Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau
perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan
dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar,
naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang,berupa terminal dan
tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan
keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat
perpindahan intra-dan antarmoda transportasi.

2.1.5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan


Dalam Undang-Undnag Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
pada pasal 8 ayat (1) dijelaskan pembangunan kepariwisataan dilakukan
berdasarkan rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, rencana
induk pembangunan kepariwisataan provinsi, dan rencana induk pembangunan
kepariwisataan kabupaten/kota. Selanjutnya pada ayat (2) dijelaskan bahwa
pembangunan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
bagian integral dari rencana pembangunan jangka panjang nasional.
Pada pasal 13 ayat (2) disebutkan bahwa kawasan strategis pariwisata
merupakan bagian integral dari rencana tata ruang wilayah nasional, rencana
tata ruang wilayah provinsi, dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
Pada ayat (3) disebutkan bahwa kawasan strategis pariwisata nasional
ditetapkan oleh pemerintah, kawasan strategis pariwisata provinsi ditetapkan
oleh pemerintah daerah Provinsi, dan kawasan strategis pariwisata
kabupaten/kota ditetapkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota. Ayat (4)
menyebutkan bahwa kawasan pariwisata khusus ditetapkan dengan undang-
undang.

2.1.6 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 pasal 15 ayat (1) dijelaskan
bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS (Kajain
Lingkungan Hidup Strategis) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan
berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu
wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Ayat (2) pemerintah dan
pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ke dalam penyusunan atau evaluasi :
a. Rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya, rencana
pembangunan jangkan panjang (RPJP), dan rencana pembangunan jangka
menengah (RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan
b. Kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi meumbulkan dampak
dan/atau risiko lingkungan hidup.
Ayat (3) KLHS dilaksanakan dengan mekanisme :
a. Pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap
kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah;
b. Perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/atau
program; dan
c. Rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan kebijakan, rencana,
dan.atau program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan
berkelanjutan.
Pasal 17 ayat (1) dijelaskan juga bahwa hasil KLHS sebagaimana dimaksud
dalam pasal 15 ayat (3) menjadi dasar bagi kebijakan, rencana, dan/atau
program pembangunan dalam suatu wilayah. Pada pasal 29 ayat (1) dijelaskan
untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan
masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada KLHS.
Ayat (2) perencanaan tata ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup.
Pasal 22 ayat (1) setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting
terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal. Ayat (2) dampak penting
ditentukan berdasarkan kriteria :
a. Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau
kegiatan;
b. Luasnya wilayah penyebaran dampak;
c. Intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak;
e. Sifat kumulatif dampak;
f. Berbalik atau tidak berbaliknya dampak;
g. Kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Pada UU No 32 Tahun 2009 juga mengatur instrumen ekonomi lingkungan
hidup pada pasal 42 ayat (1) dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan
hidup, pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan
menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup. Ayat (2) Instrumen ekonomi
lingkungan hidup sebagimana dimaksud ayat (1) meliputi :
a. Perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi;
b. Pendanaan lingkungan hidup; dan
c. Insentif dan/atau disinsentif
2.1.7 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 menjelaskan tentang perubahan
atas UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Berikut adalah perubahan pasal-
pasal yang tercantum pada UU No 45 Tahun 2009.
Pasal 85 menjelaskan Setiap orang yang dengan sengaja memiliki,
menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan
dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak
keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 91 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 93 menjelaskan Setiap orang yang memiliki dan/atau
mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan
penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPI, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 9 ayat (1) Setiap orang dilarang memiliki,menguasi, membawa,
dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu
penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber
daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan
Negara Republik Indonesia. Ayat (2) ketentuan mengenai alat penangkap
dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak
keberlanjutan sumber daya ikan sebagaiman dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan peraturan menteri.
Pasal 42 ayat (3) setiap kapal perikanan yang akan berlayar melakukan
penangkapan ikan dan/atau pengangkutan ikan dari pelabuhan perikanan
wajib memiliki surat persetujuan berlayar yang dikeluarkan oleh
syahbandar di pelabuhan perikanan.
Pasal 8 ayat (1) Setiap orang dilarang melakukan penangkapan ikan
dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan
biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang
dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan
dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia. Ayat (2) Nahkoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli
penangkapan ikan, dan anak buah kapal yang melakukan penangkapan
ikan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak,
alat dan/atau cara, dan/atau bangunana yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Ayat (3) Pemilik kapal
perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan
perikanan, dan/atau operator kapal perikanan dilarang menggunakan
bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau
bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian
sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia. Ayat (4) Pemilik perusahaan
pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan,
dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang
melakukan usaha pembudidayaan ikan dilarang menggunakan bahan
kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau
bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian
sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia. Ayat (5) Penggunaan bahan kimia, bahan
biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan untuk
penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diperbolehkan hanya untuk penelitian.
2.1.8 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 yang dimaksud dengan
Rencana Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam 1(satu) Zona berdasarkan
arahan pengelolaan di dalam Rencana Zonasi dengan memperhatikan daya
dukung lingkungan dan teknologi yang diterapkan serta ketersediaan sarana
yang pada gilirannya menunjukkan jenis dan jumlah surat izin yang diterbitkan
oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Pasal 16 ayat (1) Seiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari
sebagian perairan pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara
menetap wajib memiliki izin lokasi. Ayat (2) Izin lokasi sebagaimana dimaksud
ayat (1) menjadi dasar pemberian izin pengelolaan. Pasal 17 ayat (1) izin lokasi
sebagimana dimaksud dalam pasal i6 ayat (1) diberikan berdasarkan rencana
zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Ayat (2) Pemberian izin lokasi
sebagaimana dimaksud ayat (1) wajib mempertimbangkan kelestarian ekosistem
pesisir dan pulau-pulau kecil, masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan
nasional, dan hak lintas damai bagi kapal asing.

2.2 Peraturan Pemerintah

2.2.1 Peraturan Pemerintan Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian


Urusan Pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan Daerah,
Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kab/ Kota
Dalam peraturan ini yang dimaksud Urusan pemerintahan adalah fungsi-
fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau
susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut
yang menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani,
memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.Urusan pemerintahan yang
dimaksud adalah bidang urusan pemerintahan yang meliputi:
- Penataan Ruang
- Lingkungan Hidup
- Kebudayaan dan pariwisata
- Kelautan dan perikanan
- Perdagangan
Urusan pemerintah yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah daerah provinsi
dan pemerintahan daerah kabupaten/kota berkaitan dengan pelayanan dasar
yang meliputi:
- Pendidikan
- Kesehatan
- Lingkungan Hidup
- Pekerjaan Umum
- Penataan Ruang
- Perencanaan Pembangunan
- Perumahan
- Penanaman modal
- Ketenagakerjaan
- Ketahanan pangan
- Perhubungan
- Pemberdayaan masyarakat dan desa
- Sosial dan Budaya
Penyelenggaraan urusan wajib pemerintah harus berpedoman kepada
standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh pemerintah dan dilaksanakan
secara bertahap. Selain urusan wajib, pemerintah juga memiliki urusan pilihan
yaitu urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan
potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Urusan pilihan tersebut meliputi:
- Kelautan dan perikanan
- Pariwisata dan
- Perdagangan
Untuk penentuan urusan pilihan sesuai dengan skala prioritas yang telah
ditetapkan oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah tetap harus memberikan
pelayanan publik yang dibutuhkan oleh masyarakat meskipun pelayanan
tersebut bukan berasal dari urusan pilihan yang diprioritaskan Khusus untuk
Pemerintahan Daerah Provinsi DKI Jakarta rincian urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan kabupaten/kota dalam peraturan pemerintah ini menjadi
kewenangan provinsi.

2.2.2 Peraturan Pemerintan Nomor No 60 Tahun 2007 tentang


Konservasi Sumber Daya Ikan
Konservasi sumber daya ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian dan
pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis dan genetik untuk
menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya
ikan. Konservasi sumber daya ikan dilakukan berdasarkan asas manfaat,
keadilan, kemitraan, pemetaraan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan
kelestarian dan kelestarian yang berkelanjutan. Konservasi sumber daya ikan
dilakukan berdasarkan prinsip:
1. Pendekatan kehati-hatian;
2. Pertimbangan bukti ilmiah
3. Pertimbangan Kearifan Lokal
4. Pengelolaan Berbasis Masyarakat
5. Keterpaduan Pengembangan Wilayah Pesisir
6. Pencegahan tangkap lebih
7. Pengembangan alat penangkapan ikan, cara penangkapan ikan, dan
pembudidayaan ikan yang ramah lingkungan
8. Pertimbangan kondisi sosial ekonomi masyarakat
9. Pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan
10.Perlindungan struktur dan fungsi alami ekosistem perairan yang dinamis
11.Perlindungan jenis dan kualitas genetik ikan
12.Pengelolaan adaptif
Konservasi sumber daya ikan menjadi tanggung jawab bagi pemerintah,
pemerintah daerah dan masyarakat. Konservasi sumber daya ikan meliputi
konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetik ikan. Tipe
ekosistem sumber daya ikan adalah:
- Laut
- Padang Lamun
- Terumbu Karang
- Mangrove
- Estuari
- Pantai
- Rawa
- Sungai
- Danau
- Waduk
- Embung; dan
- Ekosistem perairan buatan
Konservasi ekosistem dilakukan melalui kegiatan:
- Perlindungan habitat dan populasi ikan
- Rehabilitasi habitat dan populasi ikan
- Penelitian dan pengembangan
- Pemanfaatan sumber daya ikan dan jasa lingkungan
- Pengembangan sosial ekonomi masyarakat
- Pengawasan dan pengendalian; dan/atau
- Monitoring dan Evaluasi
Apabila kondisi habitat sumber daya ikan dan perlindungan siklus
pengembangbiakan jenis ikan dalam rangka pemulihan, Menteri menetapkan
pembukaan dan penutupan perairan tertentu untuk kegiatan penangkapan ikan.
Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan:
- tingkat kerusakan habitat ikan
- musim berkembang biak ikan: dan/atau
- tingkat pemanfaatan yang berlebih
Penetapan kawasan konservasi perairan dilakukan berdasarkan kriteria:
1. Ekologi, meliputi keanekaragaman hayati, kealamiahan, keterkaitan
ekologis, keterwakilan, keunikan, produktivitas, daerah ruaya, habitat ikan
langka, daerah pemijahan ikan, dan daerah pengasuhan
2. Sosial dan budaya, meliputi tingkat dukungan masyarakat, potenski konflik
kepentingan, potensi ancaman, kearifan lokal serta adat istiadat; dan
3. Ekonomi, meliputi nilai penting perikanan, potensi rekreasi dan pariwisata,
estetika, dan kemudahan mencapai kawasan.
Kawasan konservasi perairan yang memiliki potensi biofisik dan sosial budaya
yang sangat penting secara global dapat diusulkan oleh Pemerintah kepada
lembaga internasional yang berwenang sebagai kawasan warisan alam dunia
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penetapan kawasan konservasi
perairan dilakukan melalui tahapan:

1. Usulan inisiatif
2. Identifikasi dan inventarisasi
3. Pencadangan kawasan konservasi perairan, dan
4. Penetapan
Pengelolaan kawasan konservasi perairan yang dilakukan oleh pemerintah
kabupaten/kota meliputi:
- Perairan laut 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan pengelolaan
provinsi dan
- Perairan payau dan/atau perairan tawar yang berada dalam wilayah
kewenangannya.
Rencana pengelolaan kawasan konservasi perairan harus memuat zonasi
kawasan konservasi perairan yang terdiri atas: zona inti, zona perikanan
berkelanjutan, zona pemanfaatan, dan zona lainnya.
Konservasi jenis ikan dilakukan dengan tujuan untuk melindungi jenis ikan
yang terancam punah, mempertahankan keanekaragaman jenis ikan,
memelihara keseimbangan dan kemantapapan ekosistem, dan memanfaatkan
sumber daya ikan secara berkelanjutan. Konservasi jenis ikan ini dilakukan
melalui penggolongan jenis ikan (yang dilindungi dan tidak dilindungi),
penetapan status perlindungan jenis ikan, pemeliharaan, pengembangbiakan,
dan penelitian dan pengembangan. Konservasi Genetik ikan dilakukan melalui
upaya pemeliharaan, pengembangbiakan, penelitian, dan pelestarian gamet.
Pelestarian gamet dilakukan dalam kondisi beku.

2.2.3 Peraturan Pemerintan Nomor No 15 Tahun 2010 tentang


Penyelenggaraan Penataan Ruang
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 15 Tahun 2010
tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang , pengatuan penataan ruang
diselenggarakan untuk:
1. Mewujudkan ketertiban dalam penyelenggaraan penataan ruang
2. Memberikan kepastian hokum bagi seluuh pemangku kepentingan dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawab serta hak dan kewajibannya
dalam penyelenggaraan penataann ruang; dan
3. Mewujudkan keadilan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam seluruh
aspek penyelenggaraan penataan ruang.
Pengaturan penyusunan dan penetapan penataan rencana tata ruang
pulau/kepulauan dan rencana ruang kawasan strategis nasional ditetapkan oleh
peraturan presiden. Bentuk dan tata cara pembinaan penataan ruang:
1. Koordinasi penyelenggaraan penataan ruang
2. Sosialisasi peraturan perundang-undangan dan pedoman bidang penataan
ruang
3. Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan penataan
ruang
4. Pendidikan dan pelatihan
5. Penelitian dan pengembangan
6. Pengembangan sistem informasi penataan ruang kepada masyarakat; dan
7. Pengembangan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat.
Pelaksanaan perencanaan tata ruang diselenggarakan untuk:
1. Menyusun rencana tata ruang sesuai prosedur
2. Menentukan rencana struktur ruang dan pola ruang yang dan berkualitas;
dan
3. Menyediakan landasan spasial bagi pelaksanaan pembangunan sektoral
dan kewilayahan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Penyusunan dan penetapan Rencana Rinci Tata Ruang yang meliputi penyusunan
dan penetapan rencana tata ruang pulau/kepulauan. Prosedur Penyusunan dan
penetapan Rencana Tata Ruang Pulau/Kepulauan adalah:
1. Proses penyusunan rencana tata ruang pulau/kepulauan
2. Perlibatan peran masyarakat secara regional pulau/kepulaun dalam
penyusunan rencana tata ruang pulau/kepulauan; dan
3. Pembahasan rancangan rencana tata ruang pulau/kepulauan oleh
pemangku kepentingan di tingkat regional pulau/kepulauan

2.2.4 Peraturan Pemerintan Nomor No 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi


Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Dalam peraturan pemerintah ini yang dimaksud dengan pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah suatu proses perencanaan,
pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-
pulau kecil antarsektor, antara Pemerintah dan pemerintah daerah, antara
ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Lingkup Peraturan Pemerintah ini
meliputi:
1. Jenis, tingkat risiko, dan wilayah bencana
2. Kegiatan mitigasi bencana
3. Mitigasi bencana dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil
4. Mitigasi terhadap kegiatan yang berpotensi mengakibatkan kerusakan
wilayah pesisi dan pulau-pulau kecil
5. Tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
6. Monitoring dan evaluasi
7. Pembiayaan
Bencana yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat
diakibatkan karena peristiwa alam atau perbuatan orang. Bencana yang
diakibatkan karena peristiwa alam adalah gempa bumi, tsunami, gelombang
ekstrim, gelombang laut berbahaya, letusan gunung api, banjir, kenaikan parah
muka air laut, tanah longsor, erosi pantai, angin putting beliung, dan jenis
bencana lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan bencana yang diakibatkan oleh perbuatan manusia adalah banjir,
kenaikan paras muka air laut, tanah longsor, dan erosi pantai. Tingkat risiko
bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dikelompokkan menjadi risiko
tinggi, sedang, dan risiko rendah yang ditentukan berdasarkan hasil analisis
tingkat bahaya dan kerentanannya. Wilayah bencana merupakan luasan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil yang diprediksi terkena dampak bencana dalam
rentang waktu tertentu ditentukan berdasarkan hasil identifikasi jenis bencana,
pengkajian ancaman bencana, dan analisis mengenai daerah yang diprediksi
terkena dampak bencana. Untuk menanggulangi bencana, mitigasi merupakan
bagian terpenting. Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil meliputi RSWP3K, RZWP3K, RPWP3K dan RAPWP3K. Rencana mitigasi
bencana yang dimaksud paling sedikit meliputi pilihan tindakan penanggulangan
bencana yang bersifat struktur/fisik dan/atau non-struktur/non-fisik dan pelaku
kegiatan penanggulangan bencana. Penyelenggaraan mitigasi bencana mengacu
pada perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Setiap orang yang melakukan pemamfaatan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil yang berpotensi mengakibatkan kerusakan dan dampak penting
wajib melakukan mitigasi yang dilakukan dengan mengacu pada dokumen
analisis mengenai dampak lingkungan. Dalam hal ini wajib memperhatikan aspek
:
1. Sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat
2. Kelestarian Lingkungan Hidup
3. Kemanfaatan dan efektivitas
4. Lingkup luas wilayah
Mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan melalui
kegiatan struktur/fisik dan/atau nonstruktur/nonfisilk.
Stakeholders harus bertanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat. Adapun peran stakeholders dalam kegiatan mitigasi bencana di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah:
1. pemerintah menyelenggarakan mitigasi bencana di wilayah pesisi dan
pulau-pulau lintas provinsi dan Kawasan Strategis Nasional Tertentu
2. Pemerintah provinsi menyelenggarakan mitigasi bencana di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil dalam kewenangan dan lintas
kabupaten/kota
3. Pemerintah kabupaten/kota menyelenggarakan mitigasi bencana di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam kewenangan dan lintas
kabupaten/kota
4. Masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga lingkungan, memelihara
keseimbangan, keseasian, keselarasan, dan kelestarian fungsi lingkungan
hidup, melakukan kegiatan mitigasi bencana bagi aktifitasnya dan
pemanfaatan lainnya, dan memberikan informasi mengenasi bahaya
dan/atau perusakan lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

2.3 Peraturan Presiden


2.3.1 Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka
meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan
sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.
Reklamasi Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil dalam Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2012 antara lain:
1. Pemerintah, pemerintah daerah, dan setiap orang yang akan
melaksanakan reklamasi wajib membuat perencanaan reklamasi.
2. Perencanaan reklamasi dilakukan melalui kegiatan:
a. Penentuan Lokasi;
b. Penyusunan Rencana Induk;
c. Studi Kelayakan; Dan
d. Penyusunan Rancangan Detail.
Penentuan lokasi yang dimaksudkan diatas yakni dilakukan berdasarkan
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) Provinsi,
Kabupaten/Kota dan/atau Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, Provinsi,
Kabupaten/Kota.

2.4 Peraturan Menteri

2.4.1 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.PER.17/MEN/2008


tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil
Pada pasal 1, ada dua hal yang menjadi pokok pembahasan, yakni:
Konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah upaya
perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan,
dan kesinambungan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan
tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragamannya.
Kawasan konservasi adalah bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
yang mempunyai ciri khas tertentu sebagai satu kesatuan ekosistem yang
dilindungi, dilestarikan dan/atau dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk
mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara
berkelanjutan.
2.4.2 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.PER.30/MEN/2010
Tahun 2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan
Konservasi Perairan
Konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah upaya
perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau -pulau
kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan
kesinambungan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Kawasan
konservasi adalah bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai
ciri khas tertentu sebagai satu kesatuan ekosistem yang dilindungi, dilestarikan
dan/atau dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk mewujudkan pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.
Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan dalam Peraturan
Menteri Nomor Per.30/Men/2010 Pasal 3 antara lain:
1. Pengelolaan kawasan konservasi perairan dilakukan berdasarkan rencana
pengelolaan kawasan konservasi perairan.
2. Setiap rencana pengelolaan kawasan konservasi perairan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memuat zonasi kawasan konservasi
perairan.
3. Rencana pengelolaan kawasan konservasi perairan disusun oleh satuan
unit organisasi pengelola.
Rencana pengelolaan kawasan konservasi perairan yang dimaksud terdiri
atas rencana jangka panjang, rencana jangka menengah dan rencana kerja
tahunan. Rencana jangka panjang pengelolaan kawasan konservasi perairan
berlaku selama 20 tahun sejak tanggal ditetapkan dan dapat ditinjau sekurang-
kurangnya 5 tahun sekali dan memuat kebijakan pengelolaan kawasan
konservasi perairan yang meliputi visi dan misi; tujuan dan sasaran pengelolaan;
dan strategi pengelolaan. Strategi pengelolaan kawasan konservasi yang
tercantum dalam Peraturan Menteri Nomor Per.30/Men/2010 Pasal 6, antara lain
penguatan kelembagaan; penguatan pengelolaan sumberdaya kawasan;
dan/atau penguatan sosial, ekonomi dan budaya.
Untuk rencana jangka menengah pengelolaan kawasan konservasi perairan
berlaku selama 5 tahun yang merupakan penjabaran dari visi, misi, tujuan,
sasaran pengelolaan, dan strategi pengelolaan kawasan konservasi perairan.
Strategi yang dilakukan dalam penguatan kelembagaan melalui:
1. Peningkatan sumberdaya manusia
2. Penatakelolaan kelembagaan
3. Peningkatan kapasitas infrastruktur
4. Penyusunan peraturan pengelolaan kawasan
5. Pengembangan organisasi/kelembagaan masyarakat
6. Pengembangan kemitraan
7. Pembentukan jejaring kawasan konservasi perairan
8. Pengembangan sistem pendanaan berkelanjutan
9. Monitoring dan evaluasi
Strategi pengelolaan kawasan konservasi perairan yang dilakukan untuk
penguatan pengelolaan sumberdaya kawasan, melalui program:
a. Perlindungan habitat dan populasi ikan
b. Rehabilitasi habitat dan populasi ikan
c. Penelitian dan pengembangan
d. Pemanfaatan sumberdaya ikan
e. Pariwisata alam dan jasa lingkungan
f. Pengawasan dan pengendalian
g. Monitoring dan evaluasi
Sedangkan strategi pengelolaan kawasan konservasi perairan yang dilakukan
untuk penguatan sosial, ekonomi, dan budaya, melalui program:
a. Pengembangan sosial ekonomi masyarakat
b. Pemberdayaan masyarakat
c. Pelestarian adat dan budaya
d. Monitoring dan evaluasi
Rencana kerja tahunan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Nomor
Per.30/Men/2010 disusun berdasarkan rencana jangka menengah dalam bentuk
kegiatan dan anggaran yang disusun satu tahun sekali yang memuat uraian
kegiatan, penanggungjawab, waktu pelaksanaan, alokasi anggaran dan sumber
pendanaan. Rencana kerja tahunan tersebut ditetapkan oleh Kepala Satuan
Organisasi Pengelola.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
Per.30/Men/2010 pada Bab IV Zonasi Kawasan Konservasi Perairan Bagian Kesatu
Penataan Pasal 9 adalah:
1. Zonasi dalam kawasan konservasi perairan terdiri dari:
a. Zona Inti;
b. Zona Perikanan Berkelanjutan;
c. Zona Pemanfaatan; dan/atau
d. Zona Lainnya.
2. Zona kawasan konservasi perairan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan penataan berdasarkan fungsi dengan
mempertimbangkan potensi sumber daya, daya dukung, dan proses-
proses ekologis.
3. Zona Inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dimiliki
setiap kawasan konservasi perairan dengan luasan paling sedikit 2%
dari luas kawasan.
Setiap kawasan konservasi perairan dapat memiliki satu atau lebih zona sesuai
dengan luasan karakter fisik, bio-ekologis, kondisi sosial, ekonomi, dan budaya.

2.4.3 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.PER.2/MEN/2011


tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat
Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah
Pengeloaan Perikanan Negara Republik Indonesia
Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan
Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengeloaan Perikanan Negara
Republik Indonesia dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
No.PER.2/MEN/2011 yakni menerangkan bahwa alat bantu penangkapan ikan
yang sesuai dengan ketentuan antara lain:
1. API pukat cincin pelagis kecil dengan satu kapal
2. API pukat cincin pelagis besar dengan satu kapal
3. API pukat cincin grup pelagis kecil
4. API pukat cincin grup pelagis besar
5. API jaring lingkar tanpa tali kerut (without purse lines/Lampara)
6. API pukat tarik pantai (beach seines)
7. API dogol (dainess seines)
8. API scottish seines
9. API pair seines
10.API payang
11.API cantrang
12.API lampara dasar
13.API set net
14.API bubu (pots)
15.API bubu bersayap (fyke nets)
16.API pukat labuh (long bag set net)
17.API Togo
18.API Ambai
19.API Jermal
20.API Pengerih
21.API Sero
22.API Perangkap Ikan Peloncat
23.API Muro Ami
24.API Seser
Spesifikasi alat bantu penangkapan ikan di atas didasarkan pada
ketentuan dan kriteria yang ada di pasal-pasal pada Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan No.PER.2/MEN/2011.

2.4.4 Peraturan Menteri Perhubungan No.PM 68 Tahun 2011 tentang


Alur Pelayaran di Laut;
Pemendaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut :

a. penempatannya di sisi terluar alur-pelayaran;


b. alur-pe1ayaran dengan kedalaman laut kurang dari 20 (dua puluh)
meter kabel laut dan pipa bawah laut harus dipendam 4 (empat)
meter di bawah permukaan dasar laut (natural seabed);
c. alur-pelayaran dengan kedalaman 20 (dua puluh) meter sampai 40
(empat puluh) meter kabel laut dan pipa bawah laut harus dipendam 2
(dua) meter di bawah permukaan dasar laut (natural seabed); atau
d. alur-pelayaran dengan kedalaman lebih dari 40 (empat puluh) meter,
kabel laut, dan pipa bawah laut harus dipendam 1 (satu) meter di
bawah permukaan dasar laut (natural seabed);
e. pada lokasi tertentu untuk mengantisipasi pengembangan pelabuhan
dan kepadatan lalu lintas pelayaran perlu dilakukan penilaian resiko
(risk assesment) antara lain me1alui kegiatan penjatuhan jangkar
kapal terbesar (anchor drop test); dan pemendaman harus duduk
stabil pada posisinya.
2.4.5 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No PER.08/MEN/2012
tentang Kepelabuhanan Perikanan
Dalam pasal 4 bagian ketiga tentang fasilitas kepelabuhanan perikanan
menjelaskan :
1. Dalam rangka menunjang fungsi pelabuhan perikanan, setiap
pelabuhan perikanan memiliki fasilitas yang terdiri dari:
a. fasilitas pokok;
b. fasilitas fungsional; dan
c. fasilitas penunjang.
2. Fasilitas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat
terdiri atas:
a. penahan gelombang (breakwater), turap (revetment), dan groin;
b. dermaga;
c. jetty;
d. kolam pelabuhan;
e. alur pelayaran;
f. jalan komplek dan drainase; dan
g. lahan.
3. Fasilitas fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
dapat terdiri atas:
a. Tempat Pemasaran Ikan (TPI);
b. navigasi pelayaran dan komunikasi seperti telepon, internet, radio
komunikasi, rambu-rambu, lampu suar, dan menara pengawas;
c. air bersih, instalasi Bahan Bakar Minyak (BBM), es, dan instalasi
listrik;
d. tempat pemeliharaan kapal dan alat penangkapan ikan seperti
dock/slipway, bengkel dan tempat perbaikan jaring;
e. tempat penanganan dan pengolahan hasil perikanan seperti transit
sheed dan laboratorium pembinaan mutu;
f. perkantoran seperti kantor administrasi pelabuhan, pos pelayanan
terpadu, dan perbankan;
g. transportasi seperti alat-alat angkut ikan;
h. kebersihan dan pengolahan limbah seperti Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL), Tempat Pembuangan Sementara (TPS); dan
i. pengamanan kawasan seperti pagar kawasan.
4. Fasilitas penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
dapat terdiri atas:
a. balai pertemuan nelayan;
b. mess operator;
c. wisma nelayan;
d. fasilitas sosial dan umum seperti tempat peribadatan dan Mandi
Cuci Kakus (MCK);
e. pertokoan; dan
f. pos jaga.
5. Fasilitas yang harus ada pada pelabuhan perikanan meliputi:
a. fasilitas pokok terdiri dari lahan, dermaga, kolam pelabuhan, jalan
komplek dan drainase;
b. fasilitas fungsional terdiri dari kantor administrasi pelabuhan, TPI,
suplai air bersih, dan instalasi listrik;
c. fasilitas penunjang terdiri dari pos jaga dan MCK.
Dalam pasal 5 bagian 4 menjelaskan klasifikasi pelabuhan perikanan dibagi
menjadi 4 (empat) kelas, yaitu :
a. Pelabuhan Perikanan kelas A, yang selanjutnya disebut Pelabuhan
Perikanan Samudera (PPS);
b. Pelabuhan Perikanan kelas B, yang selanjutnya disebut Pelabuhan
Perikanan Nusantara (PPN);
c. Pelabuhan Perikanan kelas C, yang selanjutnya disebut Pelabuhan
Perikanan Pantai (PPP); dan
Pelabuhan Perikanan kelas D, yang selanjutnya disebut Pangkalan Pendaratan
Ikan (PPI)
2.4.6 Peraturan Menteri Dalam Negeri No.76 Tahun 2012 tentang
Pedoman Penegasan Batas Daerah
Dalam pasal 11 bagian kedua tentang batas daerah laut menjelaskan
penegasan batas daerah di laut sebagaimana dimaksud dalam pasal 4
merupakan penentuan titik-titik batas kewenangan pengelolaan sumber daya di
laut utuk daerah provinsi dan kabupaten/kota sesuai dengan perundang
undangan.
Dalam pasal 15 bagian kedua tentang batas daerah laut menjelaskan
pengukuran dan penentuan batas daerah dilaut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan cara :
a. Batas antara dua daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota
yang berdampingan, diukur mulai dari titik batas sekutu pada garis
pantai antara kedua daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah
kota ke arah laut lepas atau perairan kepulauan yang ditetapkan
berdasarkan prinsip sama jarak;
b. Batas antara dua daerah provinsi yang saling berhadapan dengan
jarak kurang dari 24 mil laut diukur berdasarkan prinsip garis tengah
dan kabupaten/kota yang saling berhadapan mendapat 1/3 bagian dari
garis pantai ke arah garis tengah;
c. Batas antara dua daerah kabupaten dan daerah kota dalam satu
daerah provinsi yang saling berhadapan dengan jarak kurang dari 12
(dua belas) mil laut, diukur berdasarkan prinsip garis tengah dan
kabupaten/kota yang berhadapkan mendapat 1/3 bagian dari garis
pantai ke arah garis tengah;
d. Batas daerah di laut untuk pulau yang berada dalam satu daerah
provinsi dan jaraknya lebih dari dua kali 12 mil laut, diukur secara
melingkar dengan lebar 12 mil laut.

2.4.7 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 34 Tahun 2014


tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil
Dalam pasal 29 dijelaskan tentang rencana zonasi rinci (RZR) yaitu :
(1) Rencana zonasi rinci (RZR) disusun oleh pemerintah kabupaten/kota di
zona kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil tertentu.
(2) RZR merupakan perincian lebih lanjut dari zona kawasan pesisir dan
pulau-pulau kecil tertentu dalam RZWP-3-K yang memuat daya dukung
dan daya tampung, serta peraturan pemanfaatan ruang.
(3) Penyusunan RZR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sesuai dengan prioritas kebutuhan zona dalam kawasan di
a. Kawasan Pemanfaatan umum; dan/atau
b. Kawasan Strategis Nasional tertentu.
(4) RZR dituangkan dalam peta dengan tingkat ketelitian peta skala
minimal 1:10.000
Selanjutnya dalam pasal 30 berisikan
(1) Peraturan pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud dala pasal 29
ayat (2) Berisi ketentuan persyaratan pemanfaatan ruang dan
ketentuan pengendaliannya yang disusun untuk setiap zona
peruntukan.
(2) Peraturan pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun
dengan memperhatikan :
a. Wilayah penangkapan ikan masyarakat tradisional di perairan
pesisir dan pulau-pulau kecil; dan
b. Wilayah masyarakat hukum adat ddi perairan pesisir dan pulau-
pulau kecil
Khusus untuk Provinsi DKI Jakarta dijekaskan secara khusus pada pasal 31
sebagai berikut
(1) Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta menyusun RZR untuk zona
kawasan pesisir dan Pulau-pulau Kecil Tertentu
(2) Penyusunan RZR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29.
Adapun tahap penyusunan RZR dijelaskan pada pasal 32
a. Pengumpulan data;
b. Survei lapangan;
c. Analisa data;
d. Penyusunan dokumen awal;
e. Konsultasi Publik;
f. Perumusan dokumen final; dan
g. Penyiapa bahan penyusunan rancangan peraturan daerah.
Pasal 33
(1) Penyusunan dokumen RZR dilakukan oleh lembaga yang
mengoordinasikan penataan ruang di daerah.
(2) Keanggotaan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai tugas:
a. mengumpulkan data sesuai dengan prioritas kebutuhannya;
b. melakukan survei lapangan untuk melengkapi data sesuai dengan
kebutuhan;
c. melakukan analisis daya dukung dan daya tampung zona;
d. menentukan blok-blok peruntukan ruang; dan
e. menyusun peraturan pemanfaatan ruang.
(4) Hasil pelaksanaan tugas lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), dituangkan ke dalam Dokumen Awal RZR.
(5) Dokumen Awal RZR sebagaimana dimaksud pada ayat (4) selanjutnya
wajib dilakukan konsultasi publik untuk mendapatkan masukan,
tanggapan atau saran perbaikan dari Pemerintah, SKPD/instansi
terkait, LSM, ORMAS, masyarakat, dunia usaha dan/atau pemangku
kepentingan utama guna menghasilkan Dokumen Final RZR.
Pasal 34
(1) Dokumen final RZR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (5)
sekurang-kurangnya memuat:
a. pendahuluan yang memuat dasar hukum penyusunan RZWP-3-K
profil wilayah, isu-isu strategis, dan peta wilayah perencanaan;
b. tujuan, kebijakan, dan strategi;
c. pernyataan pemanfaatan kawasan/zona/sub-zona;
d. lampiran dokumen RZR dalam bentuk peta.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan RZR ditetapkan dengan
Peraturan Direktur Jenderal.
Pasal 35
(1) Dokumen Final RZR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 oleh
lembaga yang mengoordinasikan penataan ruang di daerah dilaporkan
kepada bupati/walikota sebagai bahan untuk penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah tentang RZR.
(2) Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
Pada pasal 37 ayat (1) dijelaskan bahwa RZR berlaku selama 20 tahun
terhitung mulai sejak ditetapkan dan dapat ditinjau kembali setiap 5 tahun
sekali. Sedangkan pada ayat (2) dijelaskan bahwa RZR dapat ditinjau kembali
kurang dari 5 tahun, apabila terjadi perubahan lingkungan strategis berupa :
a. Bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan;
b. Perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan undang-
undang; dan/atau
c. Perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan dengan undang-
undang.

Tahapan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37


meliputi:
a. penetapan pelaksanaan peninjauan kembali RZWP-3-K provinsi,
kabupaten/kota, atau RZR;
b. pelaksanaan peninjauan kembali RZWP-3-K provinsi, kabupaten/kota,
atau RZR; dan
c. perumusan rekomendasi tindak lanjut hasil pelaksanaan peninjauan
kembali RZWP-3-K provinsi, kabupaten/kota, atau RZR.
Penetapan pelaksanaan peninjauan kembali dilakukan dengan cara
a. Keputusan Gubernur untuk peninjauan kembali RZWP-3-K provinsi; dan
b. Keputusan Bupati/Wali Kota untuk peninjauan kembali RZWP-3-K
Kabupaten/Kota dan RZR.
Peninjauan kembali dilaksanakan oleh tim yang dibentuk oleh gubernur,
atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan yang terdiri dari unsur
pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan lembaga penelitian. Proses
pelaksanaan peninjauan kembali meliputi kegiatan pengkajian, evaluasi, serta
penilaian terhadap RZWP-3-K provinsi, kabupaten/kota, atau RZR dan
penerapannya. Rekomendasi tindak lanjut hasil pelaksanaan peninjauan kembali
berupa :
a. rekomendasi tidak perlu dilakukan revisi terhadap RZWP-3-K
provinsi,kabupaten/kota, atau RZR; atau
b. rekomendasi perlunya dilakukan revisi terhadap RZWP-3-K provinsi,
kabupaten/kota, atau RZR.
Revisi terhadap RZWP-3-K provinsi, kabupaten/kota atau RZR yang materi
perubahannya tidak lebih dari 20% (dua puluh persen), penetapannya dapat
dilakukan melalui perubahan Peraturan Daerah tentang RZWP-3-K provinsi,
kabupaten/kota, atau RZR. Jangka waktu RZWP-3-K provinsi, kabupaten/kota atau
RZR hasil revisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir sampai dengan
berakhirnya jangka waktu RZWP-3-K provinsi, kabupaten/kota atau RZR yang
direvisi tersebut. Revisi terhadap RZWP-3-K provinsi, kabupaten/kota atau RZR
dilakukan bukan untuk pemutihan terhadap penyimpangan pelaksanaan
pemanfaatan ruang.

Anda mungkin juga menyukai