Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Cacing merupakan salah satu parasit yang menghinggapi manusia. Penyakit infeksi
yang disebabkan oleh cacing masih tetap ada dan masih tinggi prevalensinya, terutama di
daerah yang beriklim tropis seperti Indonesia. Hal ini merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang masih perlu ditangani. Penyakit infeksi yang disebabkan cacing itu
dapat di karenakan di daerah tropis khususnya Indonesia berada dalam posisi geografis
dengan temperatur serta kelembaban yang cocok untuk berkembangnya cacing dengan
baik (Kadarsan,2005).
Sebagian besar infeksi dengan parasit berlangsung tanpa gejala atau menimbulkan
gejala ringan. Oleh sebab itu pemeriksaan laboratorium sangat dibutuhkan karena
diagnosis yang hanya berdasarkan pada gejalaklinik kurang dapat dipastikan. Misalnya,
infeksi yang disebabkan oleh cacing gelang (Ascaris lumbricoides). Dalam identifikasi
infeksinya perlu adanya pemeriksaan, baik dalam keadaan cacing yang masih hidup
ataupun yang telah dipulas. Cacing yang akan diperiksa tergantung dari jenis parasitnya.
Untuk cacing atau protozoa usus akan dilakukan pemeriksaan melalui feses atau tinja
(Kadarsan,2005).
1.3 Manfaat
Adapun manfaat dari praktikum kali ini antara lain :
1. Mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaan telur cacing dengan metode natif dan
apung
2. Mahasiswa mengidentifikasi telur cacing berdasarkan hasil yang didapat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Metode natif (Direct slide)
Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi
berat, tetapi untuk infeksi yang ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Cara pemeriksaan
ini menggunakan larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin 2%. Penggunaa eosin 2%
dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan telur-telur cacing dengan kotoran
disekitarnya. Eosin memberikan latar belakang merah terhadap telur yang berwarna
kekuning-kuningan dan untuk lebih jelas memisahkan feces dengan kotoran yang ada.
Kekurangan dari metode ini adalah hanya dilakukan untuk infeksi berat, infeksi ringan
sulit terditeksi. Kelebihann meotde ini adalah mudah dan cepat dalam pemeriksaan telur
cacing semua spesies, biaya yang di perlukan sedikit, peralatan yang di gunakan sedikit
(Soejoto dan Soebari, 1996).
Sentrifugasi
1) 100 ml NaCl jenuh (33%) dimasukan kedalam beker glass.
2) 10 gram feses sampel pertama diambil menggunakan lidi dan dimasukan kedalam
larutan NaCl jenuh (33%) kemudian di aduk sehingga larut.
3) Bila terdapat serat-serat selulosa di saring menggunakan penyaring teh.
4) Hasil saringan dituangkan ke dalam tabung reaksi sampai pada permukaan tabung
reaksi.
5) Di sentrifugasi selama 10 menit.
6) Permukaan sampel pada tabung reaksi di ambil dengan menggunakan jarum ose
secara swab dan di oleskan pada objek glass, kemudian di tutup dengan
menggunakan cover glass.
7) Di amati di bawah mikroskop.
Tanpa Sentrifugasi
1) 100 ml NaCl jenuh (33%) dimasukan kedalam beker glass.
2) 10 gram feses sampel kedua diambil menggunakan lidi dan dimasukan kedalam
larutan NaCl jenuh (33%) kemudian di aduk sehingga larut.
3) Bila terdapat serat-serat selulosa di saring menggunakan penyaring teh.
4) Hasil saringan dituangkan ke dalam tabung reaksi sampai cembung pada
permukaan tabung reaksi.
5) Didiamkan selama 5-10 menit dan ditutup dengan cover glass dan segera angkat.
6) Di letakkan di atas objek glass preparat dengan cairan berada di antara objek glass
dan cover glass, kemudian di periksa di bawah mikroskop. Selanjutnya cara kerja
tersebut di ulang pada sampel feses ketiga. (Soejoto dan Soebari, 1996).
BAB III
METODOLOGI
3.2 Materi
3.2.1 Alat
Mikroskop
Objek glass
Cover glass
Beker glass
Tabung reaksi
Rak tabung reaksi
Lidi
Penyaring teh
Jarum ose
3.2.2.1 Bahan
10 gram tinja / feses sapi
200 ml larutan NaCl jenuh (33%)
Larutan gula
Air
3.3 Metodelogi
1. Mengambil 10 gram tinja di campur dengan air kemudian di aduk sehingga larut.
Bila terdapat serat-serat selulosa di saring menggunakan penyaring teh.
2. Air hasil saringan dimasukan kedalam tabung rekasi dan dicampur dengan larutan
gula jenuh
4. Setelah itu ambil cover glass dan letakan ke atas tabung reaksi yang berbentuk
cembung tersebut dan tunggu 10 20 menit.
5. Setelah itu angkat cover glass diletakan keatas objek glass lalu amati dibawah
mikroskop dengan perbesaran 10 100 X.
BAB IV
HASIL & PEMBAHASAN
4.1. HASIL
Pada praktikum kali ini adapun hasil yang didapat antara lain :
a. Pemeriksaan Natif : Negatif (-)
b. Pemeriksaan Apung : Positif (+)
Gambar 1. Telur cacing Strongylides Stercolaris pada feses sapi
4.2. PEMBAHASAN
b Morfologi
Cacing dewasa yang diketahui hanya betina, panjangnya kira-kira 2mm, diduga
cacing ini berkembangbiak secara patogenesis, bentuknya halus. (Rosdiana Safar,
2010). Telur berbentuk lonjong, berukuran 50-58 mikron x 30-34 mikron (umumnya
sedikit lebih kecil dari telur cacing tambang), dinding telur tipis dan bila menetas
menjadi larva rabditiform kemudian keluar bersama tinja. (Garcia L.S dan Brunkner
D.A, 1996).
c Siklus Hidup
Telur menetas di dalam usus, sehingga dalam tinja ditemukan larva rhabditiform
dan ditanah tumbuh menjadi larva filariform, yaitu bentuk infektif. (Rosdiana Safar,
2010). Parasit ini mempunyai 3 macam daur hidup. Pertama secara langsung, larva
filariform menembus kulit, larva tumbuh masuk ke dalam peredaran darah vena,
kemudian melelui jantung kanan sampai ke paru. Menjadi dewasa dan menembus
alveolus, masuk kedalam trakea dan laring, dan masuk kedalam usus halus bagian atas
dan berubah menjadi dewasa. Ke dua tidak langsung, larva rhabditiform menjadi
filariform yang infektif dan masuk kedalam hospes baru, atau larva tersebut
mengulangi fase hidup bebas. Ke tiga autoinfeksi, larva filariform di usus atau di
daerah sekitar anus (perianal). Larva menembus mukosa usus atau kulit perianal,
maka terjadi perkembangan di dalam hospes. (Rosdiana Safar, 2010).
Gambar 3. Siklus hidup Strongyloides stercoralis
BAB V
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pada praktikum kali ini telah dilakukan pemeriksaan telur cacing pada feses sapi
dengan menggunakan metode natif dan metode apung. Metode natif (Direct slide)
dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat, tetapi untuk
infeksi yang ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Cara pemeriksaan ini menggunakan
larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin 2%. Penggunaa eosin 2% dimaksudkan untuk
lebih jelas membedakan telur-telur cacing dengan kotoran disekitarnya.
Metode Apung (Flotation method). Metode ini digunakan larutan NaCl jenuh atau
larutan gula atau larutan gula jenuh yang didasarkan atas BD (Berat Jenis) telur sehingga
telur akan mengapung dan mudah diamati. Metode ini digunakan untuk pemeriksaan
feses yang mengandung sedikit telur. Cara kerjanya didasarkan atas berat jenis larutan
yang digunakan, sehingga telur-telur terapung dipermukaan dan juga untuk memisahkan
partikel-partikel yang besar yang terdapat dalam tinja. Pemeriksaan dengan metode ini
memberikan hasil positif yaitu teridentifikasi adanya telur cacing S. Stercoralis.
Cacing dewasa strongyloid yang diketahui hanya betina, panjangnya kira-kira 2mm,
diduga cacing ini berkembangbiak secara patogenesis, bentuknya halus. (Rosdiana Safar,
2010). Telur berbentuk lonjong, berukuran 50-58 mikron x 30-34 mikron (umumnya
sedikit lebih kecil dari telur cacing tambang), dinding telur tipis dan bila menetas
menjadi larva rabditiform kemudian keluar bersama tinja. (Garcia L.S dan Brunkner
D.A, 1996).
DAFTAR PUSTAKA
Arum. L Ima, dkk. 2006. Uji diagnostik plasmodium malaria menggunakan metode
Imunokromatografi diperbandingkan dengan pemeriksaan Mikroskop. UNRAM.
NTB
Barh M. And Bell D.R,1991. Mansons Tropical diseases, 9th Edition. London : Bailliere
Tindal
Beaver, P.C., Yung. R.C., Cupp. E. W. 1984. Clinical Parasitology. 9 Edition. Philadelpia:
Lea & Febiger
Gandahusada, S.W. Pribadi dan D.I. Herry. 2000. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Fakultas
Kedokteran UI.
Kadarsan,S. 2005. Binatang Parasit. Bogor: Lembaga Biologi Nasional-LIPI.
Maharani, Anggitha Putri, Liena Sofiana. 2011. Validitas Metode Apung Pemeriksaan
Kecacingan pada Anak Sekolah Dasar. Journal.
Natadisastra D, dkk 1996, Penuntun Praktikum ilmu parasit (protozologi) untuk Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran. FK. Unpad: Bagian Parasitologi
Neva F. A and Brown H. W. 1994. Basic Clinical Parasitology, 6th Edition. Connecticur.
Appleton and Lange
Onggowaluyo, Jangkung Samidjo. 2002. Parasitologi Medik I Helmintologi Pendekatan
Aspek Identifikasi, Diagnosis, dan Klinik. Jakarta: Penerbit Buku EGC.
Rusmanto, Dwi, J Mukono. 2012. Hubungan Personal Higyene Siswa Sekolah Dasar dengan
Kejadian Kecacingan. The Indonesian Journal of Publick Health. Vol. 8: 105-111.
Sehgal, Rakesh. 2003. Practicals and Viva in Medical Parasitology. New Delhi: Elsevier.
Shahid, SB, Wazib A, Chowdhury A, Shamsuzzaman SM, Mamun KZ. 2010. Identification
of Hookworm Species in Stool By Harada Mori Culture. Bangladesh Jurnal
Medica Microbiologists. Vol. 4: 3-4.