Anda di halaman 1dari 5

Kendala-kendala Penegakan HAM

Bagaimana penggunaan hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara? Apakah HAM akan melemahkan atau memperkuat kehidupan berbangsa dan
bernegara khususnya di dalam menghadapi masyarakat yang majemuk seperti Indonesia?
Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, terlebih dahulu kita harus memahami sedikit
tentang sejarah mengenai HAM yang saat ini sudah diratifikasi dan telah menjadi dasar
dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999.
Sejarah HAM dimulai pada saat berakhirnya Perang Dunia II. Dan, negara-negara penjajah
berusaha menghapuskan segi-segi kebobrokan daripada penjajahan, sehingga pemikir-
pemikir Barat mencetuskan konsep "Declaration of Human Rights" (DUHAM) pada tahun
1948. Semula Konsep HAM ini secara sukarela dijual ke semua negara yang sedang
berkembang atau negara bekas jajahan namun tidak banyak mendapat respon. Banyak negara
tidak bersedia menandatangani "Declaration of Human Rights".
Sekitar tahun 1970 para investor asing menekankan bahwa "pinjaman luar negeri" tidak akan
diberikan kepada negara-negara yang tidak menerima dan tidak mengakui hak-hak asasi
manusia. Kondisi ini mengakibatkan hak asasi dicap dan dijuluki sebagai komoditi dagang
"trade community". Bersamaan dengan itu negara-negara sedang berkembang mulai
merasakan bahwa "hubungan dagang" antara negara berkembang dan negara maju terasa
sangat tidak seimbang. Dengan kata lain "hubungan dagang" itu hanya menguntungkan dan
sangat menguntungkan negara maju dan merugikan negara sedang berkembang.
Melihat kondisi itu, lahirlah konsep yang diajukan oleh negara sedang berkembang yang
dikenal dengan istilah The New International Economic Order (NIEO). Konsep ini
melahirkan beberapa instrumen hukum yang bertujuan mengoreksi secara total hubungan
dagang antara negara maju dan negara berkembang (North-South Dialogue). Namun, dalam
perkembangannya, konsep NIEO dipandang tidak mempunyai nilai hukum (No legal value).
Ada kurang lebih 117 negara sedang berkembang di dunia yang tersebar di Asia, Afrika,
Amerika Latin, dan Timur Tengah dan hingga saat ini belum ada satu pun dari mereka yang
memiliki tingkat perkembangan ekonomi yang memadai.
Dalam keadaan frustrasi di bidang hubungan dagang internasional ditambah dengan
meningkatnya tekanan internasional negara sedang berkembang akhirnya harus meratifikasi
"Declaration of Human Rights" (DUHAM). Bahkan posisi HAM ini dipropagandakan
sebagai juru selamat peradaban dunia. Sekarang negara berkembang dihadapkan lagi kepada
issu globalisasi.
Penegakan HAM di Indonesia masih bersifat: reaktif, didorong oleh unjuk rasa, demonstratif,
pertentangan kelompok, di bawah tekanan negara maju dan didanai oleh beberapa lembaga
internasional, belum build-in di dalam strategi nasional dan belum mewartai Pembangunan
Nasional. Hal ini terjadi karena ada beberapa kelemahan pokok, yaitu:
a. Masih kurang pemahaman tentang HAM.
Banyak orang menangkap pemahaman HAM dari segi pemikiran formal belaka. HAM hanya
dilihat sebagaimana yang tertulis dalam "Declaration of Human Rights" atau apa yang tertulis
dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Namun,
hakikat pemahaman HAM harus dilihat sebagai suatu konsep yang bersifat multidimensi.
Sebab, dalam pemahaman HAM tertanam di dalamnya konsep dasar "Politik, Hukum,
sosiologi, filosofi, ekonomi dan realitas masyarakat masa kini, agenda internasional,
yurisprudensi analitis, yurisprudensi normatif, etika dan estetika". Jika makna seperti ini
dapat ditangkap melalui suatu proses pembelajaran, pemahaman, penghayatan dan akhirnya
diyakini, barulah kita dapat menuju kepada suatu proses untuk menjadi HAM ini sebagai
bagian dari Wawasan Nasional. Bagian dari kebijakan nasional, menjadikan HAM sebagai
strategi nasional, program nasional dan konsistensi. Tetapi, jangan lupa bahwa HAM yang
formal ini adalah barang import.
b. Masih kurang pengalaman
Disadari atau tidak kita harus akui bahwa HAM sebagai suatu konsep formal masih terasa
baru di masyarakat kita. Kondisi ini mendorong kita harus membina kerjasama dengan
beberapa negara dalam mencari gagasan, menciptakan kondisi yang kondusif, dan
memberikan proteksi perlindungan HAM, persepsi dan pemahaman bersama seperti ini perlu
didorong dan ditegakkan. Namun, kita harus hati-hati, khususnya dalam menjalin kerjasama
dengan negara lain. Sebab, forum kerjasama, forum konsultasi, dan berbagai kebijakan selalu
diboncengi kepentingan tertentu yang sering tidak terasa bahwa tujuan yang hendak dicapai
menjadi melenceng jauh dari tujuan yang semula diharapkan.
c. Kemiskinan
Kemiskinan adalah sumber kebodohan, oleh sebab itu harus diperangi dan diberantas. Tema
memberantas kemiskinan telah banyak dipersoalkan di forum-forum nasional, regional dan
internasional, tetapi hingga saat ini belum ada solusinya. Bahkan, ide memberantas
kemiskinan hanya mampu memobilisasi masyarakat miskin tanpa menambah sepeser pun
uang ke kantong-kantong orang miskin. Dari segi HAM seolah-olah konvensi hak-hak sosial
dan ekonomi yang belum diratifikasi oleh Indonesia perlu diwujudkan.
d. Keterbelakangan;
Keterbelakangan ini adalah suatu penyakit yang bersifat kultural dan struktural. Kultural
karena sering sekelompok orang yang terikat dalam satu budaya yang sama memiliki adat-
istiadat yang sama dan ara berpikir yang sama pula. Untuk mengatasi diperlukan proses
pendidikan dan kebiasaan menggunakan logika berpikir.
e. Masih dipertanyakan bagaimana bentuk pelatihan HAM dalam masyarakat
f. Pemahaman HAM masih terbatas dalam pemahaman gerakan.
Untuk membangun HAM dalam masyarakat untuk menjaga kerukunan berbangsa dan
bernegara diperlukan: 1) adanya personil pemerintahan yang berkualitas, 2) aparat
pemerintah yang bermodal dan bertanggung jawab; 3) terbangunnya publik opini yang sehat
atau tersedia sumber informasi yang jelas, 4) terbangunnya suatu kelompok pers yang berani
dan bebas dalam koridor menjaga keutuhan bangsa dan negara, 5) adanya sanksi terhadap
aparat yang melanggar HAM, 6) tersedianya "bantuan hukum" (legal-aid) di mana-mana, 7)
terbentuknya jaringan aparat pemerintahan yang bersih, berwibawa sehingga bersinergi.
Jika semua unsur dapat dilaksanakan, maka dengan sendirinya akan terbentuk pemerintahan
yang disebut "Good Corporate Governance". Pemerintahan seperti ini ditandai adanya 4
(empat) hal, transparancy, accountability, partisipasi dan demokrasi. Hanya memang harus
diakui apakah kita mampu memasuki suatu pemerintahan yang dicita-citakan itu. Ujian dan
godaannya cukup berat sebab setiap konsep, pemikiran, gagasan, ide selalu mengandung
tujuan yang baik tetapi tindak lanjut dari suatu konsep sering melenceng jauh dari tujuan
yang dicita-citakan.

Isu Demokrasi
Membangun demokrasi di dunia Ke-3 (tiga) seperti Indonesia pada prinsipnya akan
dihadapkan dengan persoalan: Good Corporate Governance, Desentralisasi, Demiliterisme,
Civil Society, dan Pasar Bebas. Keenam isu ini saling kait mengait antara yang satu dengan
yang lainnya (interwoven) dan juga merupakan persoalan pokok dan tujuan yang hendak
diwujudkan oleh HAM. Jadi, dengan demikian antara demokrasi dan Hak Asasi Manusia
boleh dikatakan "identik".
Memahami setiap isu yang dikemukakan di atas dan mendorong pelaksanaannya memerlukan
suatu "kerja keras". Sebagai contoh ringan dapat dikemukakan suatu pertanyaan: Bagaimana
cara membangun suatu "civil society" (masyarakat sipil) dalam masyarakat? Perwujudan
masyarakat sipil hanya bisa terwujud jika terpenuhi beberapa kondisi sosial politik dan
ekonomi, antara lain: adanya situasi yang mampu memberi ruang kepada setiap individu
untuk berkarya tanpa tekanan, interaksi yang terjadi dalam masyarakat relatif independen,
ada jaminan bahwa kediktatoran tidak akan terjadi, dan kekuasaan menyebar tidak berada
dalam satu tangan dan tidak dimonopoli oleh suatu golongan atau kekuatan tertentu.
Jika Konsep "Masyarakat Sipil" dilihat dari kacamata HAM seperti apa yang tercantum
dalam Bab I Ketentuan Umum dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun
1999 tentang HAM pada ayat 6 dikatakan: Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan
seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja ataupun tidak
disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi,
dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang,
dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum
yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Ancaman dis-Integrasi Bangsa


Menumbuhkan pemahaman tentang perubahan yang sangat fundamental dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara terasa bukan hanya sangat penting tetapi semakin mendesak
sehingga hukumnya menjadi wajib bagi setiap warga negara Indonesia. Sebab, tantangan
yang paling berat dalam memasuki masa transisi dari alam sentralistis ke alam yang lebih
desentralistis ialah kesiapan diri sendiri menangkap makna dan memahami perobahan serta
menerima segala akibat yang bakal terjadi.
Apakah kita sudah paham benar tentang semua hal yang saat ini kita perjuangkan dan
akibatnya? Apakah kita sudah paham bahwa perubahan paradigma pembangunan dimotori
oleh instrumen hukum, politik, ekonomi dan sosial yang mengarah pada perubahan kultur
kita sendiri yang selama ini menunjang stabilitas pembangunan? Bagaimana cara kita
seharusnya memahami dan menyikapi berbagai konflik yang terjadi di masyarakat kita?
Bagaimana cara membangun ketahanan nasional yang tangguh untuk menangkal berbagai
dampak negatif dari masa transisi ini?
Pertanyaan-pertanyaan di atas perlu didiskusikan secara luas sehingga dapat membentuk
suatu opini. Dialog seperti apa yang dilakukan dalam "Kemah Bina Kesatuan Bangsa" ini
sangat penting untuk menumbuhkan dan menyebar luaskan pemahaman bersama. Untuk
memahami sesuatu memerlukan beberapa persyaratan, antara lain:
a. Perlu dibangun suatu observasi dengan cara mengumpulkan data dan informasi yang
relevan dengan suatu gagasan yang ditawarkan.
b. Usahakan menangkap setiap gagasan dengan cara mengerti betul "isi" kandungan gagasan
atau konsep itu.
c. Teliti seoptimal mungkin sifat-sifat atau karakter setiap ide dan pelaksanaannya di
lapangan.
d. Pelajari dengan sungguh-sungguh "struktur" setiap pemikiran, konsep atau rencana yang
ditawarkan.
e. Amati dan perhatikan setiap perkembangan dan gerakan di
lapangan dalam pelaksanaan suatu konsep atau ide.
f. Ketahui dan pahami betul sumber-sumber termasuk alamnya,
lingkungannya dan habitatnya dari suatu konsep, gagasan,
pemikiran yang ditawarkan.

Selain dari apa yang dikemukakan di atas perlu juga diketahui bahwa "krisis kepercayaan
masyarakat" yang ada sekarang, amntara lain disebabkan oleh kehidupan partai-partai politik
dalam negeri belum stabil, perkembangan perekonomian yang belum sehat, pertumbuhan
industri dalam negeri yang masih semrawut, konflik rasial dan agama yang sedang terjadi di
beberapa daerah, terjadinya anarki cultural di beberapa tempat, kehidupan generasi muda
yang sering terlibat tawuran dan ketegangan dalam negeri yang masih berlanjut.
Setiap pembicaraan tentang HAM tanpa menyentuh "kebutuhan riil" manusia hanya akan
berakhir pada simbol-simbol normatif belaka. Ia hanya mampu mengeluarkan artikulasi yang
bersifat semboyan, kritikan, hujatan, dan cacian belaka yang pada gilirannya akan
mempertajam konflik yang sudah ada dalam masyarakat. Padahal, hakikat pembelaan HAM
terletak pada soal "bagaimana agar kebutuhan riil manusia itu terpenuhi".
Dunia Barat sendiri sesungguhnya mempunyai problem untuk mengaktualisasikan HAM.
Amerika sendiri sebagai pendekar Hak Asasi dan Demokrasi masih sering melakukan
"double standard". Mereka tidak berdaya mengendalikan implikasi dari kemajuan
kapitalisme, penindasan sistemik yang impersonal sehingga menimbulkan problem alienasi
dan sebagainya. Selain dari itu, Dunia Barat sendiri kemudian tidak mampu menciptakan
gagasan itu keluar dari dunia mereka karena kesombongan eksklusivisme, nasionalisme dan
kapitalisme. Kesombongan kapitalisme memperoleh dukungan scientific supremacy yang
menyatu dalam diri mereka.
Sedangkan kita sekarang di Indonesia masih disibukkan dalam pembangunan "State building,
demokratisasi dan Clean Government". Kondisi ini membuat pembangunan HAM seperti hak
untuk sekolah, hak untuk bekerja masih dihadang oleh berbagai kendala ekonomi.
Kemiskinan, keterbelakangan, kemalasan dan berbagai penyakit sosial lainnya masih
menghinggapi sebagian besar bangsa kita. Jelas, ini adalah hambatan dalam penegakan
HAM. Namun, kita tidak berhenti sampai di sini saja, sebab jalan selalu terbuka bagi setiap
usaha yang didorong oleh kemauan keras, komitment dan visi ke depan yang jelas.

Anda mungkin juga menyukai