Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN

Traumatic Brain Injury merupakan salah satu penyebab kematian,


kesakitan dan kecacatan serta bertanggung jawab pada proporsi yang signifikan
terhadap kematian akibat trauma di Amerika Serikat. Data menunjukkan bahwa,
rata-rata sekitar 1.400.000 orang mengalami Traumatic Brain Injury setiap tahun
di Amerika Serikat, dimana 50.000 orang meninggal dan 235.000 orang dirawat di
rumah sakit. Penyebab utama dari Traumatic Brain Injury antara lain akibat jatuh
(28%), kecelakaan lalu lintas berupa tabrakan kendaraan bermotor (20%),
bertubrukan dengan benda yang bergerak maupun diam (19%), dan penyebab
lainnya.1,2
Kematian akibat trauma kepala tercatat sebanyak 11% berjumlah 448
kasus. Angka kejadian trauma kepala pada tahun 2004 dan 2005 di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo (RSCM), FKUI mencatat sebanyak 1426 kasus. Puncak
insidensi dari Traumatic Brain Injury yaitu antara umur 15 - 24 tahun dan orang
yang berumur > 64 tahun. Laki-laki memiliki kemungkinan mengalami Traumatic
Brain Injury dua kali lipat lebih besar daripada wanita. Pada populasi warga sipil,
alkohol terlibat pada lebih dari setengah kasus Traumatic Brain Injury. Menurut
penelitian, kecelakaan kendaraan bermotor terutama kecelakaan sepeda motor,
terhitung sebagai salah satu penyebab traumatic brain injury terbanyak pada
warga sipil.1,2
Salah satu akibat dari cedera kepala adalah epidural hematoma. Epidural
hematom adalah salah satu jenis perdarahan intrakranial yang paling sering terjadi
karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi oleh tulang tengkorak yang kaku
dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai pembungkus
yang disebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena,
dan membentuk periosteum tabula interna. Ketika seorang mendapat benturan
yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan dari
otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari pembuluh darah
yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh darah mengalami robekan

1
maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura dan tulang tengkorak,
keadaan inlah yang di kenal dengan sebutan epidural hematom.1,2
Epidural hematoma adalah akumulasi dari darah dan gumpalan darah antara
lapisan dura mater dan tulang tengkorak. Sumber perdarahan dari epidural
hematoma adalah arteri meningea (seringkali arteri meningea media) atau
terkadang sinus venosus dura. Perdarahan ini memiliki bentuk yang bikonveks
atau lentikuler. Pasien dengan epidural hematom akan mengalami kesadaran
menurun yang berlangsung singkat pada awalnya, diikuti dengan lucid interval.
Interval ini kemudian diikuti dengan kemunduran klinis yang cepat. Semua pasien
dengan perdarahan epidural membutuhkan intervensi yang cepat dari spesialis
bedah saraf. Epidural hematom akan menempati ruang dalam otak, olehnya itu,
perluasan yang cepat dari lesi ini, dapat menimbulkan penekanan pada otak.1,2

2
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Anatomi Kepala1,3,4

Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri atas lima lapis, tiga lapisan yang pertama saling
melekat dan bergerak sebagai sebuah unit. Untuk membantu mengingat nama
kelima kulit kepala tersebut, gunakan setiap huruf dari SCALP (= kulit kepala)
untuk menunjukkan lapisan kulit kepala.

1. Skin (Kulit)
Tebal dan berambut, dan mengandung banyak kelenjar sebasea.
2. Connective tissue
Jaringan ikat di bawah kulit, yang merupakan jaringan lemak fibrosa. Septa
fibrosa menghubungkan kulit dengan aponeurosis m.occipitofrontalis. Pada
lapisan ini terdapat banyak pembuluh darah arteri dan vena. Arteri merupakan
cabang-cabang dari a.carotis externa dan interna, dan terdapat anastomosis
yang luas di antara cabang-cabang ini.
3. Aponeurosis (epicranial)
Merupakan lembaran tendo yang tipis, yang menghubungkan venter occipitale
dan venter frontale m.occipitofrontalis. pinggir lateral aponeurosis melekat
pada fascia temporalis.
Spatium subaponeuroticum adalah ruang potencial di bawah aponeurosis
epicranial. Dibatasi di depan dan belakang oleh origo m.occipitofrontalis, dan
meluas ke lateral sampai ke tempat perlekatan aponeurosis pada fascia
temporalis.
4. Loose areolar tissue (jaringan ikat longgar)
Jaringan ikat longar yang mengisi spatium subaponeuroticum dan secara
(pericranium). Jaringan areolar ini mengandung beberapa arteri kecil, dan juga
beberapa vv.emissaria yang penting. Vv.emissaria tidak berkatup dan
menghubungkan vena-vena superficial kulit kepala dengan vv. Diploicae
tulang tengkorak dan dengan sinus venosus intracranialis.
5. Pericranium

3
Pericranium merupakan priosteum yang menutupi permukaan luar tulang
tengkorak.

Tulang-Tulang Kepala (Cranial Bone)

Tulang-tulang pada kepala dapat dibagi dalam dua bagian besar yaitu :
a. Tulang-tulang tengkorak (cranium bone)
b. Tulang-tulang muka (facial bone)
Tulang-tulang satu sama lain bergabung melalui sutura-sutura yang kuat
dan tidak dapat bergerak. Tulang-tulang pada kepala ini relatif lebih tipis
berkisar 5 mm dan terdiri dari tiga lapis yaitu :
a. Lapisan Luar (Tabula Externa)
b. Lapisan Dalam (Tabula Interna)
c. Lapisan Diantaranya (Diploe/ Spongi)

Anatomi Otak

Secara umum Otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu:


1. Cerebrum (Otak Besar)

Gambar 1.Anatomi Otak.

1. Cerebrum (Otak Besar)


Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut
dengan nama Cerebral Cortex, Forebrain atau Otak Depan. Cerebrum merupakan
bagian otak yang membedakan manusia dengan binatang. Cerebrum membuat

4
manusia memiliki kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran,
perencanaan, memori dan kemampuan visual. Kecerdasan intelektual atau IQ
Anda juga ditentukan oleh kualitas bagian ini.
Cerebrum secara terbagi menjadi 4 (empat) bagian yang disebut Lobus.
Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai
parit disebut sulcus. Keempat Lobus tersebut masing-masing adalah: Lobus
Frontal, Lobus Parietal, Lobus Occipital dan Lobus Temporal.
Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan dari
Otak Besar. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan,
kemampuan gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian masalah, memberi
penilaian, kreativitas, kontrol perasaan, kontrol perilaku seksual dan
kemampuan bahasa secara umum.
Lobus Parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor
perasaan seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit.
Lobus Temporal berada di bagian bawah berhubungan dengan
kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk
suara.
Lobus Occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan
rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan
interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata.

2. Cerebellum (Otak Kecil)


Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat
dengan ujung leher bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis
otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan,
koordinasi otot dan gerakan tubuh. Otak Kecil juga menyimpan dan
melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan
mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan
sebagainya.
Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan pada
sikap dan koordinasi gerak otot. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi, misalnya

5
orang tersebut tidak mampu memasukkan makanan ke dalam mulutnya atau tidak
mampu mengancingkan baju.

3. Brainstem (Batang Otak)


Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga
kepala bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum
tulang belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk
pernapasan, denyut jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan,
dan merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari)
saat datangnya bahaya.
Batang otak dijumpai juga pada hewan seperti kadal dan buaya. Oleh
karena itu, batang otak sering juga disebut dengan otak reptil. Otak reptil
mengatur perasaan teritorial sebagai insting primitif. Contohnya anda akan
merasa tidak nyaman atau terancam ketika orang yang tidak Anda kenal terlalu
dekat dengan anda.

Batang Otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:


Mesencephalon atau Otak Tengah (disebut juga Mid Brain) adalah bagian
teratas dari batang otak yang menghubungkan Otak Besar dan Otak Kecil.
Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan
mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran.
Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah
kiri badan menuju bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla
mengontrol fungsi otomatis otak, seperti detak jantung, sirkulasi darah,
pernafasan, dan pencernaan.
Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke pusat otak
bersama dengan formasi reticular. Pons yang menentukan apakah kita
terjaga atau tertidur.

Menings

6
Gambar 1. Lapisan meningens otak

Ketiga lapisan meningens adalah dura mater, arakhnoid, dan pia mater.3
1. Dura mater cranialis, lapisan luar yang tebal dan kuat. Terdiri atas dua lapisan:
Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar dibentuk oleh periosteum yang
membungkus dalam calvaria
Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa yang kuat
yang berlanjut terus di foramen mgnum dengan dura mater spinalis yang
membungkus medulla spinalis
2. Arachnoidea mater cranialis, lapisan antara yang menyerupai sarang laba-laba
3. Pia mater cranialis, lapis terdalam yang halus yang mengandung banyak
pembuluh darah.

B. Definisi1,2

Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intrakranial yang


paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak dimana didapatkan suatu
akumulasi darah yang terletak diantara meningen (membran duramter) dan tulang
tengkorak yang terjadi akibat trauma. Duramater merupakan suatu jaringan
fibrosa atau membran yang melapisi otak dan medulla spinalis. Epidural
dimaksudkan untuk organ yang berada disisi luar duramater dan hematoma

7
dimaksudkan sebagai masa dari darah. Hematoma epidural adalah suatu
hematoma yang terjadi diantara duramater dan tulang. Hematoma ini timbul
karena terjadi sobekan pada A. Meningea media atau pada salah satu cabangnya.
(A. Meningea media berasal dari A. Carotis eksterna dan masuk ke dalam rongga
tengkorak melalui foramen spinosum).
Epidural hematom sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergency
dan biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang
lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematom
berhubungan dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan.
Arterial hematom terjadi pada middle meningeal artery yang terletak di bawah
tulang temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang epidural, bila terjadi
perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi.

C. Epidemiologi3,4

Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan


hematoma epidural dan sekitar 10% mengakibatkan koma. Secara Internasional
frekuensi kejadian hematoma epidural hampir sama dengan angka kejadian di
Amerika Serikat. Orang yang beresiko mengalami EDH adalah orang tua yang
memiliki masalah berjalan dan sering jatuh. Sebesar 60 % penderita hematoma
epidural adalah berusia dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi pada umur kurang
dari 2 tahun dan di atas 60 tahun. Angka kematian meningkat pada pasien yang
berusia kurang dari 5 tahun dan lebih dari 55 tahun. Lebih banyak terjadi pada
laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan 4:1. Frekuensi terjadinya
Epidural hematoma akut sebesar (58%), subakut hematoma (31%), kronik hemato
ma (11%) perdarahan dari vena.

D. Etiologi2,3,4
Hematoma Epidural dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa saja,
beberapa keadaan yang bisa menyebabkan epidural hematom adalah misalnya
benturan pada kepala pada kecelakaan motor. Hematoma epidural terjadi akibat
trauma kepala, yang biasanya berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan
laserasi pembuluh darah. Pada keadaan yang normal, sebenarnya tidak ada ruang

8
epidural pada kranium. Dura melekat pada kranium. Perdarahan biasanya terjadi
dengan fraktur tengkorak bagian temporal parietal yang mana terjadi laserasi pada
arteri atau vena meningea media. Pada kasus yang jarang, pembuluh darah ini
dapat robek tanpa adanya fraktur. Keadaan ini mengakibatkan terpisahnya
perlekatan antara dura dengan kranium dan menimbulkan ruang epidural.
Perdarahan yang berlanjut akan memaksa dura untuk terpisah lebih lanjut, dan
menyebabkan hematoma menjadi massa yang mengisi ruang.
Oleh karena arteri meningea media terlibat, terjadi perdarahan yang tidak
terkontrol, maka akan mengakibatkan terjadinya akumulasi yang cepat dari darah
pada ruang epidural, dengan peningkatan tekanan intra kranial (TIK) yang cepat,
herniasi dari unkus dan kompresi batang otak.

E. Patofisiologi3,4,5
Cedera kepala yang berat dapat merusak saraf, pembuluh darah dan
jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan pada jalur saraf,
perdarahan atau pembengkakan hebat. Perdarahan, pembengkakan dan
penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang ditimbulkan oleh
pertumbuhan massa di dalam tengkorak. Ketika kepala terbanting atau terbentur
mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu
beberapa jam, penderita akan merasakan nyeri kepala yang progresif memberat,
kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran
ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut interval lucid.
Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada epidural
hematom. Epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid
interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami
fase sadar.
Sumber perdarahan:
Artery meningea ( lucid interval : 23 jam )
Sinus duramatis
Diploe (lubang yang mengisi kalvaria kranii) yang berisi a. diploica dan vena
diploica

9
Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka peningkatan tekanan
bisa merusak atau menghancurkan jaringan otak. Karena posisinya di dalam
tengkorak, maka tekanan cenderung mendorong otak ke bawah, otak sebelah atas
bisa terdorong ke dalam lubang yang menghubungkan otak dengan batang otak,
keadaan ini disebut dengan herniasi. Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak
kecil dan batang otak melalui lubang di dasar tengkorak (foramen magnum)
kedalam medulla spinalis. Herniasi ini bisa berakibat fatal karena batang otak
mengendalikan fungsi vital (denyut jantung dan pernafasan).3,4

Pada epidural hematom, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan


durameter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu
cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur
tulang tengkorak didaerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah
frontal atau oksipital. Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak
melalui foramen spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan
dan os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural,
desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang
kepala sehingga hematom bertambah besar.3

Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada


lobus temporalis otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian
medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim
medis. Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus formatio
retikularis di medula oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini
terdapat nuklei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata.4,5
Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini,
menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau
sangat cepat, dan tanda babinski positif. Dengan makin membesarnya hematoma,
maka seluruh isi otak akan terdorong ke arah yang berlawanan, menyebabkan
tekanan intrakranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan
intrakranial antara lain kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan

10
fungsi pernafasan.3 Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan
terpompa terus keluar hingga makin lama makin besar.

Gambar 2. Gambaran perdarahan pada epidural hematoma

F. Gambaran Klinis4,5,7

11
Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif.
Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di
belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau
telinga. Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti. Setiap orang memiliki
kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala
yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala.
Gejala dan tanda EDH :
Hilangnya kesadaran posttraumatik / posttraumatic loss of consciousness
(LOC) secara singkat.
Keadaan mental yang kaku (obtundation), hemiparesis kontralateral,
dilatasi pupil ipsilateral.
Saat awal kejadian, pada sekitar 20% pasien, tidak timbul gejala apa apa.
Tetapi kemudian pasien tersebut dapat berlanjut menjadi pingsan dan
bangun dalam kondisi kebingungan. Terjadi lucid interval untuk
beberapa jam.
Beberapa penderita epidural hematom mengeluh sakit kepala.
Muntah muntah
Kejang kejang
Pasien dengan epidural hematom yang mengenai fossa posterior akan
menyebabkan keterlambatan atau kemunduran aktivitas yang drastis.
Penderita akan merasa kebingungan dan berbicara kacau, lalu beberapa
saat kemudian menjadi apneu, koma, kemudian meninggal.
Respon chusing yang menetap dapat timbul sejalan dengan adanya
peningkatan tekanan intara kranial, dimana gejalanya dapat berupa :
Hipertensi, Bradikardi, bradipneu.
Kontusio, laserasi atau tulang yang retak, dapat diobservasi di area trauma.
Dilatasi pupil, lebam, pupil yang terfixasi, bilateral atau ipsilateral kearah
lesi, adanya gejala gejala peningkatan tekanan intrakranial, atau herniasi.

Adanya tiga gejala klasik sebagai indikasi dari adanya herniasi yang
menetap, yaitu: Coma, Fixasi dan dilatasi pupil, Deserebrasi.
Adanya hemiplegi kontralateral lesi dengan gejala herniasi harus dicurigai
adanya epidural hematom.

12
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi :
1. Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma
2. Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24 jam 7 hari
3. Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7
Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese
atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah
tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan
bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil
kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak
menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala
respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi
rostrocaudal batang otak. Jika epidural hematom di sertai dengan cedera otak
seperti memar otak, interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda
lainnya menjadi kabur.

Gejala dan Tanda Klinis Epidural Hematoma di Fossa Posterior :


1. Lucid interval tidak jelas
2. Fraktir kranii oksipital
3. Kehilangan kesadaran cepat
4. Gangguan serebellum, batang otak, dan pernafasan
5. Pupil isokor

13
Gambar 3. Perjalanan klinik EDH pada pasien trauma kepala

G. Diagnosis6,8
Adanya gejala neurologist merupakan langkah pertama untuk mengetahui
tingkat keparahan dari trauma kapitis. Kemampuan pasien dalam berbicara,
membuka mata dan respon otot harus dievaluasi disertai dengan ada tidaknya
disorientasi (apabila pasien sadar) tempat, waktu dan kemampuan pasien untuk
membuka mata yang biasanya sering ditanyakan. Apabila pasiennya dalam
keadaan tidak sadar, pemeriksaan reflek cahaya pupil sangat penting dilakukan.
Pada epidural hematom dan jenis lainnya dapat mengakibatkan
peningkatan tekanan intra kranial yang akan segera mempengaruhi nervus
kranialis ketiga yang mengandung beberapa serabut saraf yang mengendalikan
konstriksi pupil. Tekanan yang menghambat nervus ini menyebabkan dilatasi dari
pupil yang permanen pada satu atau kedua mata. Hal tersebut merupakan indikasi
yang kuat untuk mengetahui apakah pasien telah mengalami hematoma
intrakranial atau tidak.

14
Untuk membedakan antara epidural, subdural dan intracranial hematom
dapat dilakukan dengan CT Scan atau MRI. Dari hasil tersebut, maka seorang
dokter ahli bedah dapat menentukan apakah pembengkakannya terjadi pada satu
sisi otak yang akan mengakibatkan terjadinya pergeseran garis tengah atau mid
line shif dari otak. Apabila pergeserannya lebih dari 5 mm, maka tindakan
kraniotomi darurat mesti dilakukan.

Gambaran Radiologi6,8,9,10
Dengan CT-Scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala
lebih mudah dikenali.
Foto Polos Kepala
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai
epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi
yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang
memotong sulcus arteria meningea media.

Computed Tomography (CT-Scan)


Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang
tidak selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada
tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral (tanda space occupying
lesion). Batas dengan corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila
meragukan dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga
tampak lebih jelas.

Gambar 4. CT-Scan kepala menunjukkan epidural


hematoma, dimana tampak lesi hiperdens berbentuk
cembung pada bagian frontal

15
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan
potensi cedera intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja
(single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks,
paling sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen
(hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula
garis fraktur pada area epidural hematoma, densitas yang tinggi pada stage yang
akut (60 90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah.

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser
posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat
menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis
pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.

Gambar 5. MRI Pasien dengan Epidural Hematom

Pada pasien dengan epidural spinal hematom, onset gejalanya dapat timbul
dengan segera, yaitu berupa nyeri punggung atau leher sesuai dengan lokasi
perdarahan yang terjadi. Batuk atau gerakan-gerakan lainnya yang dapat
meningkatkan tekanan pada batang tubuh atau vertebra dapat memperberat rasa
nyeri. Pada anak, perdarahan lebih sering terjadi pada daerah servikal (leher) dari
pada daerah toraks. Pada saat membuat diagnosa pada spinal epidural hematom,
seorang dokter harus memutuskan apakah gejala kompresi spinal tersebut
disebabkan oleh hematom atau tumor. CT- Scan atau MRI sangat baik untuk
membedakan antara kompresi pada medulla spinalis yang disebabkan oleh tumor
atau suatu hematom.

H. Differential Diagnosis.9,10,11

16
1. Subdural Hematoma
Perdarahan yang terjadi diantara duramater dan arachnoid, akibat robeknya
vena jembatan. Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan
dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang
menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater
atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan
cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir,
berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena
halus pada tempat di mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar
akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan
tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun
mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala
seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat.
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena
jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil
sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan
pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena
yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum
gejala klinis muncul.
Gejala klinisnya adalah :
- Sakit kepala
- Kesadaran menurun + / -
Pada pemeriksaan CT scan otak didapati gambaran hiperdens (perdarahan)
diantara duramater dan arakhnoid, umumnya robekan dari bridging vein dan
tampak seperti bulan sabit.

2. Subarakhnoid hematoma

17
Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh darah
didalamnya. Subarachnoid hemorrhage adalah pendarahan ke dalam ruang (ruang
subarachnoid) diantara lapisan dalam (pia mater) dan lapisan tengah (arachnoid
mater) Penyebab yang paling umum adalah pecahnya tonjolan pada pembuluh
(aneurysm).
Subarachnoid hemorrhage adalah gangguan yang mengancam nyawa yang bisa
cepat menghasilkan cacat permanen yang serius. Hal ini adalah satu-satunya jenis
stroke yang lebih umum diantara wanita. Subarachnoid hemorrhage biasanya
dihasilkan dari luka kepala. Meskipun begitu, pendarahan mengakibatkan luka
kepala yang menyebabkan gejala yang berbeda dan tidak dipertimbangankan
sebagaistroke.
Gejala klinisnya yaitu :
- Kaku kuduk
- Nyeri kepala
- Bisa didapati gangguan kesadaran
Pada pemeriksaan CT scan otak didapati perdarahan (hiperdens) di ruang
subarakhnoid.

I.
Penatalaksanaan8,9,10
Perawatan di bagian Emergensi

18
1. Pasang oksigen (O2), monitor dan berikan cairan kristaloid untuk
mempertahankan tekanan sistolik diatas 90 mmHg.
2. Pemasangan intubasi yang digunakan sebagai fasilitas untuk oksigenasi,
proteksi jalan nafas dan hiperventilasi bila diperlukan.
3. Elevasikan kepala sekitar 30O setelah spinal dinyatakan aman atau
gunakan posis trendelenburg untuk mengurangi tekanan intra kranial
dan untuk menambah drainase vena.
4. Berikan manitol 0,25 1 gr/ kg iv. Bila tekanan darah sistolik turun
sampai 90 mmHg dengan gejala klinis yang berkelanjutan akibat
adanya peningkatan tekanan intra kranial.
5. Hiperventilasi untuk tekanan parsial CO 2 (PCO2) sekitar 30 mmHg
apabila sudah ada herniasi atau adanya tanda tanda peningkatan
tekanan intrakranial (ICP).
6. Berikan phenitoin untuk kejang kejang pada awal post trauma, karena
phenitoin tidak akan bermanfaat lagi apabila diberikan pada kejang
dengan onset lama atau keadaan kejang yang berkembang dari kelainan
kejang sebelumnya.
Terapi obat obatan
1. Gunakan Etonamid sebagai sedasi untuk induksi cepat, untuk
mempertahankan tekanan darah sistolik, dan menurunkan tekanan
intrakranial dan metabolisme otak. Pemakaian tiophental tidak
dianjurkan, karena dapat menurunkan tekanan darah sistolik. Manitol
dapat digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial dan
memperbaiki sirkulasi darah. Phenitoin digunakan sebagai obat
propilaksis untuk kejang kejang pada awal post trauma. Pada
beberapa pasien diperlukan terapi cairan yang cukup adekuat yaitu pada
keadaan tekanan vena sentral (CVP) > 6 cmH 2O, dapat digunakan
norephinephrin untuk mempertahankan tekanan darah sistoliknya diatas
90 mmHg.

Penanganan darurat :
Dekompresi dengan trepanasi sederhana
Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom

19
Terapi medikamentosa9,10
Elevasi kepala 30 dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada cedera
spinal atau gunakan posisi trendelenburg terbalik untuk mengurangi tekanan
intracranial dan meningkakan drainase vena. Pengobatan yang lazim diberikan
pada cedera kepala adalah golongan dexametason (dengan dosis awal 10 mg
kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam), mannitol 20% (dosis1-3 mg/kgBB/hari)
yang bertujuan untuk mengatasi edema cerebri yang terjadi akan tetapi hal ini
masih kontroversi dalam memilih mana yang terbaik. Dianjurkan untuk
memberikan terapi profilaksis dengan fenitoin sedini mungkin (24 jam pertama)
untuk mencegah timbulnya focus epileptogenic dan untuk penggunaan jangka
panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin.
Tri-hidroksimetil-amino-metana (THAM) merupakan suatu buffer yang
dapat masuk ke susunan saraf pusat dan secara teoritis lebih superior dari natrium
bikarbonat, dalam hal ini untuk mengurangi tekanan intracranial. Barbiturat dapat
dipakai unuk mengatasi tekanan inrakranial yang meninggi dan mempunyai efek
protektif terhadap otak dari anoksia dan iskemik dosis yang biasa diterapkan
adalah diawali dengan 10 mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian dilanjutkan
dengan 5 mg/ kgBB setiap 3 jam serta drip 1 mg/kgBB/jam unuk mencapai kadar
serum 3-4mg%.

Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat:
Volume hamatom > 30 ml
Keadaan pasien memburuk
Pendorongan garis tengah > 3 mm
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk
fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi
operasi emergensi. Biasanya keadaan emergensi ini di sebabkan oleh lesi desak
ruang.10 Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
> 25 cc = desak ruang supra tentorial
> 10 cc = desak ruang infratentorial
> 5 cc = desak ruang thalamus

20
Sedangakan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :
Penurunan klinis
Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.
Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.

J. Prognosis10,11
Prognosis tergantung pada
Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
Besarnya (luas perdarahan)
Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik,
karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar
antara 7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada
pasien yang mengalami koma sebelum operasi. Prognosa biasanya baik, kematian
tidak akan terjadi untuk pasien pasien yang belum koma sebelum operasi.
Kematian terjadi sekitar 9% pada pasien epidural hematom dengan kesadaran
yang menurun.

DAFTAR PUSTAKA

1. Allan H. Ropper, Robert H. Brown, Adams and Victor Principles of


Neurology, Eight Edition, Cambridge, 2011, 757 758.

21
2. Mc.Donald D., Epidural Hematoma, www.emedicine.com
3. Anonymous. 2009. Epidural Hematom. Diakses tanggal 20 April 2013 dari
http://dokmud.wordpress.com/2009/10/23/epidural-hematom/.
4. Gunawan. 2008. Ilustrasi Otak. Diakses tanggal 20 April dari
http://www.ahliwasir.com/page.php?Ilustrasi_otak.
5. Catherine H., Clinical Neuropathology, Text and Colour Atlas, 2010, 261
268
6. Sotirios A. Tsementtzis, M.D., Ph.D, Differential diagnosis in Neurology
and Neurosurgery, Thieme Stuttgart, New York, 2000, 220 221
7. RAC Hughes, Neurological Emergency, Forth Edition, London, UK, 2010,
34 62
8. Basil F Matta MB, Textbook of Neuroanaesthasia and Critical Care,
Cambridge UK, 2011, 285 295
9. Weisberg L.A, Garcia C., Strub R., Essentials of Clinical Neurology,
Chapter 12. Anonymous. 2010.Head Trauma 1 8. Available from : Http :
www.psychneuro.tulane.edu/neulect/
10. Stacey L. Chamberlin, Brigham Narins, The Gale Encyclopedia of
Neurological Disorders, Thomson Gale, 2005, 346 347
11. Jeremy C. G. M.A.,Ph.D., The Lucid Interval Associated With Epidural
Bleeding : Evolving Understanding, Volume 118, United Kingdom, April
2013, 739 745.

22

Anda mungkin juga menyukai