Nomor 14/PUU-XI/2013
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap
Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan
oleh:
Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 9 Januari 2013
memberi kuasa kepada AH. Wakil Kamal, S.H., M.H. advokat pada Kantor
Hukum AWK & Partners yang beralamat di Menara Karya 28th Floor, Jalan H.R.
Rasuna Said Blok X-5 Kav. 1-2 Jakarta bertindak untuk dan atas nama pemberi
kuasa; Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------------
Pemohon;
ad informandum Pemohon;
Mendengar dan membaca keterangan Presiden;
Mendengar dan membaca keterangan Dewan Perwakilan
Rakyat; Membaca kesimpulan Pemohon;
2
2. DUDUK PERKARA
11. Bahwa ORIGINAL INTENT Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945, dapat
kita temukan ketika anggota MPR yang menyusun Perubahan UUD 1945
pada tahun 2001, dengan jelas menyatakan bahwa Pemilihan Umum
memang dimaksudkan untuk diselenggarakan lima tahun sekali (serentak)
untuk memilih (sekaligus) anggota DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan
Wakil Presiden. Dalam Risalah sidang-sidang Panitia Ad Hoc 1 dengan
jelas muncul kata-kata Pemilu bareng-bareng, Pemilu serentak serta
istilah yang lebih spesifik Pemilu lima kotak. Memang dalam sidang-
sidang Panitia Ad Hoc 1 tersebut serta berbagai tingkat sidang selanjutnya
terdapat juga perbedaan pendapat atau perdebatan, namun semua
sepakat untuk menyusun Kesimpulan seperti tertera pada Pasal 22E
ayat (1) yang berbunyi, Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali dan Pasal
22E ayat (2) yang berbunyi, Pemilihan umum diselenggarakan untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Adalah merupakan fakta empirik pula bahwa tidak ada satu Kesimpulan
atau Ayat Alternatif apa pun yang diminta oleh anggota Panitia Ad Hoc 1
ataupun peserta Sidang-Sidang selanjutnya untuk ditampilkan bersama
dengan rumusan yang sekarang dikenal sebagai Pasal 22E ayat (1) dan
ayat (2) UUD 1945 (untuk kemudian dilakukan pemilihan atau voting
terhadapnya);
Original Intent tersebut dapat kita lihat diantaranya dalam Risalah Rapat
Komisi A Sidang Tahunan MPR Tahun 2001 4-8 Nopember 2001, pada
Rapat Komisi A, Kedua (Lanjutan) tanggal 5 Nopember 2001, anggota
MPR dari F-KKI Tjetje Hidayat Patmadinata bertanya kepadda Ketua
Rapat Slamet Effendi Yusuf sebagai berikut .Kemudian Pasal 6A ayat
(3), ini mungkin pertanyaan dari saya. Saya agak kaget paket calon
Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima
puluh persen dari jumlah suara adalah tiba-tiba menyelonong Pemilihan
Umum. Karena saya menangkap pemilihan Presiden tidak ada kaitannya
dengan pemilu. Presidential election tidak ada kaitannya dengan general
election. Mengapa ada kalimat, bagi saya tiba-tiba nyelonong dalam
pemilihan umum. Ternyata di Bab VIIB dalam Pemilihan Umum, Bab VIIB
halam 11, ayat (2) itu Pasal 22E ayat (2) di sana pemilihan umum
diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, betul,
Dewan Perwakilan Daerah, betul, tiba-tiba nyelonong Presiden dan Wakil
Presiden. Ini saya tidak mengerti. Karena setahu saya dan seingat saya,
general election beda dengan kalau itu presidential election saja. Tidak
ada kaitan dengan pemilu pemilihan Presiden itu. Jadi mohon penjelasan
karena saya berpendapat, kalau pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
dimasukkan dalam pemilihan umum, bagi saya salah itu. Itu kurang lebih.
Jadi perlu penjelasan, minta penjelasan. Sekali lagi pertanyaan saya,
mengapa itu dikaitkan dengan
pemilu? Terima kasih. Kemudian Ketua Rapat Slamet Effendy Yusuf
menjelaskan Terima kasih Pak Tjeje. Saya enggak tahu siapa yang
harus menjelaskan tapi saya mencoba menjelaskan, karena saya ikut
dalam proses perumusannya. Jadi memang begini, memang pada
konsep ini, secara keseluruhan itu, Presiden nanti dalam pemilihan
yang disebut langsung itu diadakan di dalam pemilihan umum yang
diselenggarakan bareng-bareng ketika memilih DPR, DPD, DPRD,
kemudian juga paket Presiden dan Wakil Presiden sehingga nanti
digambarkan ada lima kotak. Jadi kotak untuk DPR RI, kotak untuk
DPD, kotak untuk DPRD propinsi, kotak untuk DPRD Kota atau
kabupaten, dan kotak untuk Presiden dan Wakil Presiden itu. Jadi
gambarannya memang itu dan memang konsep ini menyebut
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum. Itu
penjelasannya. Tapi Pak Tjeje bisa setuju atau tidak, tapi
penjelasannya adalah seperti itu;
15. Bahwa seperti PEMOHON, amat banyak Warga Negara lain, dengan
aneka latar belakang kehidupan dan pekerjaan, pasti juga bisa memiliki
berbagai kegiatan dan perjalanan yang di sana-sini harus disesuaikan
(yang kadangkala relatif situasional atau mendadak). Karena itulah
Konstitusi
secara prinsipil dan cerdas telah memperhitungkannya dan menyatakan
Pemilihan Umum setiap lima tahun sekali (serentak). Dan pada tataran
praktik ketika Pemilihan Umum tidak dilaksanakan sesuai amanat
Konstitusi, terjadilah perbedaan yang amat signifikan antara jumlah
pemilih yang menggunakan Hak Pilihnya pada Pemilihan Umum DPR,
DPD, dan DPRD dengan jumlah pemilih yang menggunakan Hak Pilihnya
pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Fakta empirik tahun
2004 memperlihatkan, pada Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD,
jumlah Pemilih Terdaftar: 148.000.369. Yang menggunakan Hak Pilih:
124.449.038. Yang tidak menggunakan Hak Pilih: 23.551.331. Tahun
2004, pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Pertama, jumlah
Pemilih Terdaftar: 153.320.544. Yang menggunakan Hak Pilih:
122.293.844. Yang tidak menggunakan Hak Pilih: 31.026.700. Pada
Pemilu 2009, untuk Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD,
jumlah Pemilih Terdaftar: 171.265.442. Yang menggunakan Hak Pilih:
121.588.366. Yang tidak menggunakan Hak Pilih: 49.677.076. Tahun
2009, pada Pemilu Presiden dan wakil Presiden Putaran Pertama, jumlah
Pemilih Terdaftar: 176.411.434. Yang menggunakan Hak Pilih:
127.179.375. Yang tidak menggunakan Hak Pilih: 49.212.161. Esensinya:
walau masih terbuka beberapa alasan untuk tidak menggunakan Hak
Pilih, namun jika Pemilihan Umum dilaksanakan sesuai amanat Konstitusi
yaitu lima tahun sekali (serentak) untuk memilih (sekaligus) anggota DPR,
DPD, DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden, maka setidaknya setiap
Pemilihan Umum akan mendapatkan partisipasi pemilih yang paling
tinggi di antara Pemilu DPR, DPR, dan DPRD, dengan Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden. Angka selisihnya amat besar. Pada tahun
2004, selisihnya
2.155.194 Pemilih. Pada tahun 2009, selisihnya 5.591.009 Pemilih;
16. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas telah nyata beberapa Hak
Konstitusional PEMOHON yang telah dirugikan akibat tidak
diselenggarakannya Pemilihan Umum secara serentak sesuai Pasal 22E
ayat (1) dan (2) UUD 1945, yakni: a) Hak Konstitusional PEMOHON
sebagai warga negara untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum yang
adil sebagaimana dijamin ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; b) Hak
Konstitusional PEMOHON sebagai warga negara untuk memilih dan dipilih
yang telah dijamin tegas di dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 khususnya terkait dengan Political Efficacy
(Kecerdasan Berpolitik) dan Peluang Presidential Coattail yang
dapat mengefektifkan dan menstabilkan Pemerintahan Presidensial;
c) Hak Konstitusional PEMOHON sebagai warga negara dan bersama
seluruh warga negara lainnya untuk mendapatkan pembangunan
infrastruktur dan pelayanan publik serta Sistem Perekonomian berkeadilan
dan berkelanjutan yang merupakan Hak Konstitusional warga negara dari
(sebagai ganti) pemborosan APBN/APBD yang digelontorkan untuk
pelaksanaan Pemilihan Umum yang tidak serentak;
17. Bahwa uraian di atas membuktikan bahwa PEMOHON memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai PEMOHON
dalam permohonan pengujian undang-undang ini. Oleh karenanya,
PEMOHON memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi,
kiranya dalam putusannya nanti menyatakan bahwa PEMOHON memiliki
kedudukan hukum (legal standing) dalam memohon pengujian undang-
undang dalam perkara ini.
C. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN
1. Bahwa meskipun Pasal 3 ayat (5) dan Pasal 9 UU 42/2008 telah pernah
dimintakan pengujian di hadapan Mahkamah seperti sebagaimana dalam
Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dan dalam putusan-putusan
Mahkamah yang lain;
a. Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan:
8. Hanya alasan konstitusional yang baru ini yang sejalan dengan original
intent mereka yang terlibat dalam Perubahan Undang-Undang Dasar yang
jelas menyebut istilah Pemilu Serentak atau Pemilu Lima Kotak; serta
hanya Alasan Konstitusional yang baru ini yang sejalan dengan salah satu
kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945 yang disepakati oleh
seluruh fraksi pada Sidang Umum MPR 1999 yaitu: sepakat untuk
mempertahankan Sistem Presidensial (dalam pengertian sekaligus
menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum Sistem
Presidensial);
9. Tentu saja bisa terdapat argumen yang mengatakan: untuk membangun
demokrasi yang lebih baik tidak disangkal dibutuhkan biaya yang besar
serta proses yang panjang (antara lain dengan Pemilihan Umum yang
berkali-kali). Namun argumen yang lebih benar adalah: Pembangunan
demokrasi yang seperti itu tidak hanya boros (karenanya menghilangkan
pemenuhan Hak-Hak Konstitusional lainnya dari Warga Negara), tapi juga
tidak efisien sehingga dapat mengganggu Pelaksanaan Hak Pilih dan
Partisipasi Politik, serta sekaligus MENGINGKARI KESEPAKATAN
TENTANG ARAH PERUBAHAN UUD 1945 dan ORIGINAL INTENT
(PENYUSUN PERUBAHAN) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945; dan karenanya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2),
Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22E ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 27 ayat (1). Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal
28H
ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) UUD1945;
12. Bahwa Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa Pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum. Norma konstitusi tersebut mengandung
arti bahwa pasangan calon Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan
umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum, sedangkan pemilihan
umum sesuai dimaksud Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945 tersebut di
atas;
15. Bahwa semua penjelasan di atas saling menunjang dan membuat makin
jernih untuk memahami berbagai pertimbangan yang bisa menjegal
Pemilihan Umum Serentak. Misal, karena menurut Pasal 3 ayat (2) UUD
1945, MPR yang melantik Presiden dan Wakil Presiden, maka logikanya
MPR yang anggotanya terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang
dipilih melalui Pemilu sudah harus terbentuk terlebih dahulu sehingga
Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD harus didahulukan dari Pemilu
Presiden. Ini kurang relevan dan terlalu menyederhanakan masalah,
karena penyelenggaraan Pemilu secara bersama-sama/serempak tidak
berarti bahwa anggota DPR dan anggota DPD yang juga otomatis
anggota MPR tidak dapat dilantik lebih dahulu (Pendapat Berbeda Hakim
Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan M. Akil Mochtar
pada Putusan 51- 52-59/PUU-VI/2008);
17. Bahwa oleh karena Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 telah nyata-nyata
bertentangan dengan UUD 1945, maka ketentuan:
(2) Bakal calon Presiden dan/atau bakal calon Wakil Presiden yang
diumumkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah mendapatkan
persetujuan tertulis dari bakal calon yang bersangkutan.
D. PETITUM
Bahwa berdasarkan alasan-alasan hukum yang telah diuraikan tersebut di
atas, maka PEMOHON meminta agar Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia dapat mengabulkan hal-hal sebagai berikut:
2. Menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14
ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4924) bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14
ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4924) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat;
3. Didik Supriyanto
Problem Akut dan Solusl Komprehensif: Penyelenggaraan Pemilu Legislatif yang
disusul Pemilu Presiden, lalu Pemilu Kepala Daerah yang berserakan waktunya,
menimbulkan permasalahan akut bagi pemllih, partai politik dan penyelenggara.
Penyelenggaraan pemilu serentak merupakan solusi komprehenslf untuk mengatasi
masalah kompleksitas proses pemilu, rendahnya efektivitas pemerintahan basil pemilu,
dan jatuhnya kepercayaan masyarakat kepada partai politik.
Pemilu Serentak dan Sistem Presldensial: Secara akademis, konsep pemilu
serentak hanya berfaku dalam sistem pemerintahan presldensial. Inti konsep itu adalah
menggabungkan pelaksanaan Pemilu Legislatlf dan Pemilu Eksekutif dalam satu hari H
pemilihan. Tujuannya untuk menciptakan pemerintahan hasll pemilu yang kongruen.
Maksudnya, terpilihnya pejabat eksekutif yang mendapatkan dukungan legislatlf
sehingga pemerintahan stabll dan efektlf. Dalam sistem pemerintahan parlementer,
tidak perlu pemiiu serentak, karena sekali pemilu, sudah memilih anggota legislatlf
sekaligus pejabat eksekutif. Sebab, partai politik atau koalisi partai politik yang menang
pemilu atau menguasai mayoritas kursi parlemen, berhak menunjuk perdana menteri
beserta pejabat eksekutif lainnya.
Stabilitas dan Efektivitas Pemerintahan Demokratis: Meskipun sistem
pemerintahan presldensial menerapkan periode kekuasaan pasti (fix system), dan sistem
pemerintahan parlementar sewaktu-waktu blsa bubar akibat eksekutif tidak lagi
mendapat dukungan parlemen, namun survei terakhir menunjukkan justru sistem
pemerintahan parlementer lebih stabil dan efektif daripada sistem pemerintahan
presidensial. Sebabnya jelas, eksekutif mendapat dukungan legislatif.
KERANGKA KONSEPTUAL
Sistem Pemerintahan dan Sistem Pemilu. Dalam sistem parlementer, pemilu
legislatif dengan sendirinya menghasilkan pemerintahan efektif karena partai atau koalisi
partai yang menguasai mayoritas parlemen berhak membentuk pemerintahan. Dalam
sistem presidensial terdapat pemilu legislatlf sebagai basis legitimasi anggota legislatif,
dan pemilu eksekutif sebagai basis legitimasl pejabat eksekutif. Karena terdapat dua
jenis pemilu, dalam sistem presidensial sering terjadl divided government, karena partai
atau koalisi partai yang menguasai eksekutif berbeda dengan partai atau koalisi partai
yang menguasai legislatif.
Sistem Pemilu dan Divided Government. Divided government bukan disebabkan
kombinasl sistem multipartai dan sistem pemilu proporsional dengan sistem presldensial
(karena kombinasi sistem dwipartai dan sistem pemilu mayoritarian/distrik dengan
sistem presldensial pun juga menyebabkan divided government), tetapi lebih
karena penempatan pemPu legislatif sebagai pemilu mayor dan pemilu eksekutif
sebagai pemilu minor.
Coattail Effect dalam Pemilu Serentak. Apablla penyelenggaraan pemilu
eksekutif dibarengkan atau diserentakkan waktunya dengan pemilu leglslatif akan
menimbulkan coattail effect, yaitu (hasil) pemilihan pejabat eksekutif akan
mempengaruhi (hasll) pemilihan anggota legislatif, sehingga kemenangan
pejabat eksekutif tertentu dalam pemilu eksekutif akan diikuti oleh kemenangan
partai atau koalisi partai pendukung pejabat ekekutif tersebut dalam pemilu
legislatif. Dengan demlkian kemungkinan terjadinya divided government dapat
dihindari sehingga pemerintahan hasil pemilu akan efektif bekerja.
KOMPLEKSITAS PROSES PENYELENGGARAAN PEMILU
Pemilih Tidak Rasional. Bagi pemilih, pemilu legislatif yang memilih 4 wakil
lembaga perwakilan (DPD, DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota), tidak
memungkinkan mereka menjadi pemilih raslonal. Pada Pemilu 2009 misalnya,
untuk memilih 4 wakil mereka harus menghadapi 44 partai politik yang
menawarkan 500 sampai 2.000 calon. Sementara bagi pemilih, pemilu presiden
dan pemilu kepala daerah menimbulkan kebingungan dan merusak akal sehat.
Sebab, persaingan ketat antarpartai pada pemilu leglslatif, tlbah-tiba berubah
menjadi koalisi untuk merebut kursi preslden dalam pemilu preslden. Jarak waktu
pemilu legislatif dan pemilu kepala daerah memang lama, tetapi koalisi pencalonan
pemilu kepala sudah mengganggu hubungan emosional mereka dengan partai
atau elit partai. Inilah yang menimbulkan benih-benih ketidakpercayaan rakyat
kepada partai politik karena mereka merasa partai memain-mainkan hati nurani
rakyat.
Partai Politik Konflik Berkelanjutan. Bagi partai politik peserta pemiiu, pemilu
legislatif merupakan pekerjaan besar yang menimbulkan kekisruhan karena
partai harus mengajukan puluhan bahkan ratusan ribu calon anggota legislatif
dalam waktu pendek. Akibatnya partai tidak blsa selektif dan cenderung asal-
asalan dalam mengajukan calon. Bagi kader partai politik sendlri, pemilu legislatif
tidak cukup memberikan latihan berkompetisi secara intensif karena pemilu
terjadi setiap lima tahun sekali. Sementara bagi partai politik, pemilu presiden
merupakan sumber
konflik akibat perebutan pengajuan pasangan calon antarfaksi. Setelah konflik
elit nasional reda, partai politik menghadapl konflik partai di daerah yang
berkelanjutan, karena pengajuan pasangan calon kepala daerah berlangsung
hampir setiap hari sepanjang tiga tahun setelah pemilu presiden. Akibatnya partai
politik lebih sibuk mengurusi konflik internal daripada anggota atau
konstituennya.
Penyelenggara Menanggung Beban Tak Selmbang. Bagi penyelenggara
pemilu, pemilu legislatif merupakan pekerjaan yang unmanageable. Untuk
mengurusi 170 juta pemilih yang tersebar di seluruh penjuru tanah air --dengan
kondisi geografis yang berbeda-beda-- penyelenggara pemilu harus
menyediakan lebih dari 700 juta lembar surat suara dengan 2.145 varian sesuai
dengan jumlah daerah pemilihan. Oleh karena itu masalah data pemilih tidak
akurat, perlengkapan belum tersedia pada hari H di TPS, serta surat suara rusak
dan tertukar, akan seialu terjadi. Prosedur penghitungan suara yang rumit dengan
volume besar, juga menjadi sumber kesalahan penghitungan atau kelambatan
penghitungan. Sementara itu bagi penyelenggara pemilu, pemilu presiden dan
pemilukada merupakan pekerjaan ringan, namun menelan biaya beriipat akibat
adanya putaran kedua.
Pemborosan Dana Negara. Format penyelenggaraan pemilu dari pemilu
leglslatif dilanjutkan pemilu presiden, lalu pemilu kepala yang berserakan waktunya,
memboroskan dana negara luar biasa. Komponen blaya terbesar pemilu adalah
honor petugas, yang mencapal 65% dari total anggaran setiap pemilu. Oleh karena
itu semakin banyak pemilu diselengarakan semakin besar jumlah dana yang
dibebankan kepada keuangan negara. Format penyelenggaraan pemilu saat ini
sepertinya hanya ada tiga pemilu, yaitu pemilu legislatif, pemilu presiden dan
pemilukada. Padahal undang-undang memungkinkan terjadinya tujuh pemilu,
yaitu: pemilu legislatif, pemilu presiden putaran pertama, pemilu presiden
putaran kedua, pemilu gubernur putaran pertama, pemilu gubernur putaran
kedua, pemilu bupati/walikota putaran pertama dan pemilu bupati/walikota
putaran kedua.
EFEKTlVITAS PEMERINTAHAN DAN KINERJA PARTAI POLITIK
Koalisi Pendukung Pemerintah Rapuh. Pasangan SBY-Kalla yang
memenangkan Pemilu Presiden 2004 dan pasangan SBY-Boediono yang
memanangkan Pemilu Presiden 2009, sama-sama tidak efektif dalam menjalankan
roda pemerintahan. Waktu dan tenaga mereka habls untuk mengurusi manuver
partai politik di DPR. Meskipun SBY-Kalla maupun SBY-Boediono sama-sama
didukung oleh koalisi partai yang menguasai mayoritas kursi DPR, namun tetap
dukungan itu tidak solid. Selalu saja terdapat partai atau beberapa partai koalisi
yang menentang rencana kebijakan yang diajukan pemerintah. Mengapa koalisi
partai pendukung pemerintah rapuh? Pertama, koalisi dibangun bukan
berdasarkan ideologi atau platform politik, tetapi lebih karena hasrat untuk
menguasai jabatan- jabatan pemerintahan. Kedua, partai-partai politik tidak
memlliki waktu yang cukup untuk membangun koalisi dan merumuskan platform
politik, karena partai-partai baru menjajaki koalisi setelah hasil pemilu legislatif
diketahui, yang jarak waktunya hanya 1,5 bulan dengan pencalonan presiden.
Ketiga, kehadiran anggota koalisi baru setelah pemilu presiden putaran pertama,
atau setelah pemilu presiden berakhlr, justru menambah kerumitan bangunan
koalisi. Keempat, karena partai- partai politik yang berhak mengajukan pasangan
calon, maka mereka cenderung hendak mendikte pasangan calon terpllih. Ini
konsekuensi logis atas penempatan pemilu legislatif sebagai mayor dan pemilu
presiden sebgai pemilu minor dalam sistem presldensial.
Politik Transaksional Merajalela. Pada tingkat lokal penempatan pemilu
legislatif sebagai pemilu mayor dan pemilu kada sebagai pemilu minor, membuat
kepala daerah terpllih lepas kendali dari DPRD. Tidak ada hubungan politik
antara kepala daerah dengan partai-partai politik di DPRD. Hubungan (calon)
kepala daerah dengan partai politik berhenti pada saat berkas pencalonan
disahkan oleh penyelenggara. Di satu pihak, karena merasa sudah "beli putus"
berkas pencalonan, kepala daerah tidak merasa harus terikat dengan partai
politik dalam membuat kebijakan; di lain pihak, kader-kader partai di DPR lebih
memperhatikan prosedur pengesahan kebijakan daripada subtansi kebijakan
karena sebagian besar kepala daerah bukan kader partai. Dampak dari situasi
tersebut adalah merajalelanya politik transaksional dalam pengambilan kebijakan,
sebab jika kepala daerah tidak melakukan "bagi-bagi proyek, "bagi-bagi jabatan
birokrasi, dan bagi-bagi dana sosial", maka DPRD akan menolak semua rencan
kebijakan kepala daerah. Politik transaksional juga dilatari oleh usaha
mengembalikan modal karena pada pemilu kepala daerah, kepala daerah terpllih
mengeluarkan dana banyak untuk membeli berkas pencalonan dan suara;
sementara dalam pemilu legislatif, anggota DPRD terpllih banyak mengeluarkan
dana untuk membeli daftar calon dan suara.
Kontrol Pemilih Rendah. Format pemilu saat ini menempatkan periode
pemilu legislatlf setiap lima tahun sekali. Jarak waktu lima tahun dari satu pemilu
ke pemilu berikutnya, menghilangkan daya kritls pemilih untuk mengontrol kinerja
partai politik
melalul pemilu. Asumsinya, pemilih akan menghukum partai politik yang
kinerjanya buruk (mulai dari tidak menepati janji kampanye sampai dengan tertibat
skandal korupsi) pada pemilu berikutnya. Kinerja buruk partai politik paling
banyak diketahui dan dirasakan pemilih terjadi pada tahun kedua atau ketiga masa
kerja. Namun pada masa itu, pemilih tidak bisa menghukum partai politik secara
efektif, karena pada waktu itu tidak ada pemilu. Akan tetapi ketika pemilu datang
kembali pada tahun kelima, catatan buruk kinerja partai politik sudah
menghilang, baik karena pemilih sudah lupa, kinerja partai politik secara
keseluruh memburuk, maupun pemilih silau oleh kampanye. Akibatnya pemilih
tidak efektif menjatuhkan "palu godam" kepada partai politik, sehingga partai
politik tidak terdorong untuk meningkatkan kinerjanya.
Urusan Lokal Terbaikan. Pemilu legislatif yang diselenggarakan untuk
memilih anggota DPR, DPD serta DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota,
menyebabkan isu-isu lokal terpinggirkan oleh kampanye pemilu nasional,
sehingga pemilih menggunakan "pertimbangan nasional" untuk memilih anggota
parlemen lokal. Akibatnya banyak calon yang tidak menguasai masalah lokal dan
tidak miliki kompetensi menduduki kursi DPRD. Kondisi demikian menambah
kepala daerah semakin berani metepaskan dlri dari kontrol DPRD, jika pun ada
hambatan dan tantangan DPRD, hal itu akan segera selesai dengan politik
transaksional.
KESIMPULAN
Solusi Taktis. Penyelenggaraan pemilu serentak, atau pemilu serentak
nasional (memilih anggota DPR, DPD serta presiden dan wakil presiden) dan
pemilu serentak daerah (memilih DPRD serta kepala daerah dan wakil kepala
daerah), dapat mengatasi kompleksitas penyelenggaraan pemilu. Pemilih
menghadapl lebih sedikit peserta pemilu dan calon sehingga memungkinkan
mereka bersikap raslonal. Partai politik lebih mudah menyiapkan calon anggota
leglslatif, juga lebih mudah mengendalikan konflik internal yang dlakibatkan
pengajuan pasangan calon presiden dan pasangan calon kepala daerah. Kader-
kader partai juga mempunyat waktu kompetisi lebih Intesif karena terdapat dua
kali pemilu dalam kurun lima tahun. Penyelenggara pemilu lebih mudah
mengelola penyelenggaraan pemilu karena beban pekerjaan pemilu menjadi
lebih ringan pada satu momen pemilu, dan lebl seimbang antarpemilu dalam
periode limatahunan. Dari sisi anggaran terjadi penghematan dana negara yang
luar biasa, karena pembayaran honor petugas pemilu hanya dua kali saja.
Solusi Strategis. Penyelenggaraan pemilu serentak, atau pemilu serentak
nasional (memilih anggota DPR, DPD serta presiden dan wakil preslden) dan
pemilu serentak daerah (memilih DPRD serta kepala daerah dan wakil kepala
daerah), dapat mengatasi dampak politik pascapemilu. Pertama, pemilu serentak
akan menciptakan coattail effect sehingga calon pejabat eksekutif terpllih akan
mendapat dukungan mayoritas parlemen. Partai atau koalisi partai pendukung
pemerintah akan solid karena mereka bersama-sama berjuang untuk
memenangkan pemilu. Selaln itu, partai-partai politik mempunyai waktu cukup
lama untuk membangun koalisi, mereka bisa merumuskan platform politik yang
menjadi panduan bekuasa, dan membagi- bagi kursi kekuasaan secara lebih sehat.
Hal yang sama juga terjadi dalam dalam pemilu kepala daerah. Jlkapun terjadi
politik transaksional antara pejabat eksekutif dengan anggota legislatif, lokasinya
bisa dipersempit pada partai-partai koalisi pendukung pemerintah. Namun bukan
berarti mereka bisa berbuat apa saja, sebab partai-partai yang calonnya kalah,
secara otomatls akan menjadi oposisi. Partai- partai oposisi dipaksa bekerja keras
untuk mengkritisi kebijakan pemerintah dan memberikan altematif, sebab jika
tidak mereka tetap akan kalah dalam pemilu berikutnya. Kedua, pemilu serentak
nasional yang disusul pemilu serentak daerah dua atau tiga tahun beriktunya,
membuat pemilih bisa secara efektif menjatuhkan sanksi kepada partai politik
yang kinerjanya buruk. Sebab jika pemenang pemilu serentak nasional kinerjanya
buruk, maka pemilih akan cenderung menghukum mereka pada saat pemilu
serentak daerah, atau sebaliknya. Pemisahan pemilu serentak nasional dengan
pemilu serentak daerah memudahkan pemilih untuk beslkap raslonal dalam
memeberikan suara, karena pada saat pemilu serentak daerah mereka tidak
dipengaruhl oleh kampanye pemilu serentak nasional, demlkian juga sebaliknya.
Partai politik dan kader-kader partai politik juga terdorong untuk bekerja keras,
karena mereka mempunyai kesempatan dua kali dalam kurun lima tahun untuk
berkompetisi dalam pemilu.
Tidak Melanggar Konstitusi. Memperhatikan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945,
bahwa Pasangan caion Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan
pemilihan umum, bukan berarti bahwa pemilu legislatif harus berjalan lebih
dahulu baru kemudian pemilu presiden. Karena pengertian "peserta pemilihan
umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum," berarti pemilu sebelumnya,
bukan terbatas pada pemilu legislatif sebelumnya. Dengan demlkian menyatukan
pemilu
DPR, DPD dan pemilu presiden, tidak melanggar konstitusl karena pasangan
calon presiden bisa diajukan oleh peserta pemilu lima tahun sebelumnya.
Konstitusl juga tidak melarang penyatuan pemilu DPRD dengan pemiiu kepala
daerah. Konstitusl hanya menegaskan bahwa anggota DPRD dipilih melalul pemilu
yang diselenggarakan setiap lima tahun, sedang terhadap kepala daerah
dikatakan bahwa mereka dipilih secara demokratis.
4. Ad Informandum Slamet Effendy Yusuf
Hal-hal yang berkaitan dengan Pasal 6A UUD 1945 maupun Pasal 22E
UUD 1945 hampir seluruhnya disahkan pada sidang tahunan 2001, kecuali yang
berkaitan dengan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945. Pembahasan khusus tentang
pemilihan presiden dan wakil presiden khususnya yang berkaitan dengan cara
dipilih dilaksanakan pada tanggal 12 September 2001 oleh Panitia Ad Hoc I
Badan Pekerja MPR. Pada rapat itu, Badan Pekerja MPR mencoba untuk
melihat dan memperdebatkan gagasan tentang presiden dan wakil presiden
dipilih langsung oleh rakyat. Ketika sudah disepakati, maka kemudian
dipertanyakan, dipilih di mana? Apakah di dalam suatu pemilihan presiden
khusus atau di dalam suatu rezim pemilu yang lengkap?
Dalam perdebatan, saya pernah mencoba menyelesaikan persoalan
dengan mengambarkan pemilihan umum dan saya gambarkan ada lima kotak.
Kotak 1 adalah kotak DPR, kotak 2 adalah kotak DPD, kotak 3 adalah presiden
dan wakil presiden, dan kotak 4 adalah DPRD provinsi, kotak 5 adalah DPRD
kabupaten/kota.
Panitia Ad Hoc I kemudian menghasilkan rumusan, yaitu:
1. Pemilihan umum dilaksanakan 5 tahun sekali secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil;
2. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota dewan perwakilan
rakyat, dewan perwakilan daerah, presiden dan wakil presiden, serta dewan
perwakilan rakyat daerah. Di sini tidak disebut daerah provinsi maupun daerah
kabupaten/kota, tapi dalam praktik akan terjadi begitu karena itu akan menjadi
perlu 5 kotak.
3. Pemilihan umum untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat, anggota
dewan perwakilan rakyat daerah diikuti oleh partai politik.
4. Pemilihan umum untuk memilih anggota dewan perwakilan daerah diikuti oleh
calon partai politik dan calon perseorangan.
5. Pemilihan umum diselenggarakan oleh komisi pemilihan yang bersifat
nasional, tetap, dan mandiri. Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum
diatur dengan undang-undang, sedangkan terhadap pemilihan presiden dan
wakil presiden diatur dalam undang-undang.
Sesudah hasil tersebut disahkan oleh panitia ad hoc, disahkan menjadi
hasil badan pekerja, maka akan dibawa ke dalam sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat tahun sidang 2001. Ketika hasil tersebut disampaikan
kepada anggota sidang, Cece Hidayat mengatakan, Di dalam Bab 2B dalam
pemilihan umum, Bab 7B dalam halaman 11 ayat (2), Pasal 22 ayat (2), di sana
pemilihan umum dilaksanakan untuk memilih dewan perwakilan rakyat, betul.
Dewan perwakilan daerah, betul. Tiba-tiba nyelonong presiden dan wakil
presiden. Ini saya tidak mengerti karena setahu saya dan seingat saya, general
election beda dengan presidential election, tidak ada kaitan dengan pemilihan
presiden. Jadi mohon penjelasan. Pada waktu itu saya merupakan Ketua
Sidang dan mengatakan, Terima kasih, Pak Cece. Saya enggak tahu yang
harus menjelaskan tapi saya mencoba menjelaskan karena saya ikut di dalam
proses perumusannya. Jadi memang begini, memang pada konsep ini secara
keseluruhan itu presiden nanti dalam pemilihan yang disebut langsung itu
diadakan dalam pemilihan umum yang diselenggarakan bareng-bareng ketika
memilih DPR, DPD, kemudian DPRD, kemudian juga paket presiden dan wakil
presiden. Sehingga digambarkan nanti ada 5 kotak. Jadi kotak itu untuk DPR-RI,
kotak untuk DPD, kotak untuk DPRD provinsi, kotak untuk DPRD kota atau
kabupaten, dan kotak untuk presiden/wakil presiden. Jadi gambarnya memang
itu dan memang konsep ini menyebut pemilihan presiden dan wakil presiden
dalam pemilihan umum.
5. Saldi Isra
Sesuai ketentuan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, pemilihan umum di
Indonesia dilaksanakan sekali dalam lima tahun untuk memilih anggota DPR,
DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dan Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden. Namun demikian, merujuk pengalaman Pemilu 2004 dan 2009,
pemilu anggota DPR, DPD, DPRD dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
dilaksanakan secara terpisah. Dalam hal ini, pemilu presiden/wakil presiden
diselenggarakan setelah pelaksanaan pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD.
Keinginan mengembalikan penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu
presiden/wakil presiden dalam waktu yang bersamaan memiliki basis
konstitusional yang kuat dan mendasar terutama memulihkan amanat Pasal 22E
ayat (1) UUD 1945 yang eksplisit menyatakan pemilihan umum dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.
Dengan adanya frasa setiap lima tahun sekali, penyelenggaraan pemilu
legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden secara terpisah mengandung
masalah konstitusional serius.
Apabila dirujuk perdebatan yang terjadi ketika perubahan UUD 1945,
terkait dengan jadwal penyelenggaraan pemilu, misalnya, Fraksi Kebangkitan
Bangsa (F-KB) menyampaikan sebagai berikut: ... pemilu yang dilaksanakan
pada tingkat nasional dilakukan dalam rangka memilih Presiden dan Wakil
Presiden, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD I atau DPRD II. Ini
dilaksanakan secara nasional dan serentak dalam jangka waktu lima tahun
sekali. [Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD
1945, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan,
1999-2002, Buku V Pemilihan Umum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008, hlm. 410].
Sekalipun terdapat berbagai pandangan mengenai jadwal pemilu ketika
melakukan perubahan UUD 1945, pandangan tersebut dapat dikatakan sebagai
cara untuk memberikan pemaknaan yang tepat bagaimana sesungguhnya kaitan
antara pemilu legislatif dengn pemilu presiden/wakil presiden. Jamak dipahami,
bahwa dalam sistem pemerintahan presidensial, mandat rakyat melalui pemilu
disalurkan dengan cara langsung kepada pemegang kekuasaan legislatif dan
pemegang kekuasaan eksekutif.
Sebagai salah satu kesepakatan saat mengubah UUD 1945 untuk tetap
mempertahankan sistem pemerintahan presidensial dan merujuk ketentuan
Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, segala peraturan perundang-undangan yang lebih
harus sesuai dengan UUD 1945. Artinya, dengan alasan apapun para
pembentuk undang-undang (DPR dan pemerintah) tak boleh menyimpangi
ketentuan yang diatur dalam UUD 1945. Bahkan, legal policy pembentuk
undang-undang pun tidak dapat dijadikan alasan untuk mereduksi pengaturan
dalam UUD 1945.
Sebetulnya, pemisahan jadwal pelaksanaan antara pemilihan legislatif
dengan pemilihan eksekutif (presiden/wakil presiden) tidak akan merupakan
perdebatan konstitusional serius sepanjang hasil yang lain tidak menegasikan
proses yang lain. Namun yang terjadi dengan model dipraktikkan saat ini, hasil
pemilu legslatif menjadi dasar untuk membatasi hak pilih warga negara dalam
pemilu presiden/wakil presiden dengan menggunakan ambang batas tertentu
(presidential threshold).
Karena argumentasi memilih dan mempertahankan sistem presidensial,
pilihan menjadikan persentase hasil pemilu legislatif sebagai basis menghitung
ambang batas mengajukan calon presiden tidak dapat dibenarkan sama sekali.
Dalam sistem presidensial, lembaga legislatif dan pimpinan eksekutif tertinggi
(baca: presiden) sama-sama mendapat mandat langsung rakyat. Dengan cara
mandat seperti itu, pilihan rakyat untuk satu lembaga tidak pada tempatnya
digunakan dalam proses pengisian lembaga lain.
Salah satu bukti bahwa mandat (pilihan) rakyat tidak selalu sama antara
yang ditujukan kepada salah satu lembaga dapat dilihat dari perbedaan hasil
pemilihan anggota DPR dengan hasil pemilihan presiden. Misalnya, pada Pemilu
2004, pemilih memberikan dukungan lebih besar kepada Partai Golkar. Namun
pada pemilihan presiden, calon Partai Golkar gagal meraih dukungan terbesar.
Bahkan, dalam Pemilu 2009, suara Partai Demokrat lebih kecil dibanding suara
yang diraih Susilo Bambang Yudhyono. Dengan kecilnya suara Partai Demokrat,
dapat dimaknai bahwa pemilih tidak menghendaki partai ini menjadi kekuatan
mayoritas di DPR.
Dengan merujuk pengalaman itu, memisahkan waktu penyelenggaraan
pemilu legislatif dengan pemilu presiden/wakil presiden untuk membenarkan
presidential threshold adalah bentuk pengingkaran terhadap kesempatan bagi
semua partai politik peserta pemilihan umum sebagaimana termaktub dalam
Pasal 6A ayat (1) UUD 1945. Dalam pengertian ini, kekhawatiran munculnya
calon presiden/wakil presiden dalam jumlah yang lebih banyak (sesuai dengan
jumlah partai politik peserta pemilu) adalah kekhwatiran yang tidak paham
dengan konsekwensi pemilihan langusng. Bahkan, kalaupun calon hadir dalam
jumlah yang banyak, Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 telah mengantisipasi dengan
membuka kemungkinan adanya putaran kedua (second round).
Oleh karena itu, basis argumentasi menggunakan hasil pemilu legislatif
sebagai dasar perhitungan ambang batas untuk mengajukan pasangan calon
presiden dengan cara memisahkan waktu penyelenggaran pemilu legislatif dan
pemilu presiden/wakil presiden jelas merusak logika sistem presidensial. Tidak
hanya itu, pemisahan jadwal tersebut untuk membenarkan hadirnya ambang
batas jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945
alias pilihan yang inkonstitusional.
Melacak sikap dari beberapa partai politik besar di DPR dan sekaligus
keinginan mereka untuk mempertahankan jadwal penyelenggaran pemilu yang
terpisah, sulit berharap para pembentuk undang-undang untuk mengembalikan
makna hakiki Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, agar proses pemilu
semakin hari tidak makin menjauh dari semangat konstitusi, jalan satu-satunya
Mahkamah Konstitusi harus menyatakan pemisahan jadwal penyelenggaraan
pemilu legisatif dengan pemilu presiden/wakil presiden inkonstitusional alias
tidak memiliki kekuatan mengikat. Jika ini dilakukan Mahkamah Konstitusi, kita
tidak perlu lagi berhabis hari berdebat soal presidential threshold.
1. Bahwa menurut Pemohon berdasarkan ketentuan Pasal 22E ayat (1), (2)
dan (6) UUD 1945 mengamanatkan bahwa Pemilihan Umum diatur
dengan Undang-undang bukan dalam Undang-Undang, dengan
demikian maka Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD dan
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden seharusnya diatur dengan
satu Undang- Undang.
2. Bahwa Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD serta Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan secara tidak bersamaan,
oleh Pemohon dinilai berpotensi merugikan Hak Konstitusional Warga
Negara, yaitu kemudahan dalam pelaksanaan pemilihan Umum dan
pemborosan dana yang dikeluarkan dalam pelaksanaan Pemilihan Umum.
3. Singkatnya Pemohon berpendapat bahwa ketentuan Pasal 3 ayat (5),
Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112
Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) dan
Pasal 22E ayat
(1) dan (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON
2. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik
atau Gabungan Partai Politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan Pemilihan Umum. Selanjutnya Pasal 6A ayat (5) yang
menyatakan bahwa tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang. Berdasarkan pasal
tersebut, Pemerintah dan DPR kemudian menjabarkan tata cara pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden ke dalam Undang-Undang.
3. Bahwa hal-hal yang terkait dengan sistem pemilu dan tata cara pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden adalah merupakan materi muatan yang
harus diatur dalam sebuah Undang-Undang, oleh karena dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak secara rinci
dan konkrit mengatur materi muatan tersebut. Karena itu untuk
pengaturan tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan
untuk diatur lebih lanjut dalam sebuah Undang-Undang;
4. Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden diusung oleh partai politik atau
gabungan partai politik. Prasyarat ini mengkondisikan adanya partai politik
atau gabungan partai politik mana yang berhak mengajukan calon. Hal
tersebut dapat dilakukan jika Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dilaksanakan
terlebih dahulu sebelum Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dengan
demikian, tidak memungkinkan untuk menyatukan Undang-Undang
Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dengan Undang-Undang Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden.
5. Kodifikasi antara Undang-Undang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dengan
Undang-Undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sulit untuk dilakukan
mengingat kedua pemilu tersebut mempunyai momen dan teknis pemilu
yang berbeda. Hal ini juga terjadi dengan Undang-Undang Pemilukada
yang dipisahkan dalam undang-undang tersendiri karena secara sistem
juga berbeda.
7. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilihan Umum
dilaksanakan setiap lima tahun sekali untuk memilih anggota DPR, DPD,
Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD. Dari ketentuan tersebut
Pembentuk Undang-Undang berpendapat bahwa pelaksanaan pemilihan
umum yang dimaksud dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) tersebut di
atas akan dilakukan setiap lima tahun sekali dengan terlebih dahulu Pemilu
Legislatif dan kemudian Pemilu Presiden.
a. Bahwa frasa partai politik atau gabungan partai politik, dalam Pasal
6A ayat (2) UUD 1945 secara tegas bermakna bahwa hanya partai
politik atau gabungan partai politiklah yang dapat mengusulkan
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan
umum Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, frasa
dimaksud tidak memberi peluang adanya interpretasi lain, seperti
menafsirkannya dengan kata- kata diusulkan oleh perseorangan
(independen) apalagi pada saat pembicaraannya di MPR telah muncul
wacana adanya Calon Presiden secara independen atau calon yang
tidak diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, tetapi
tidak disetujui oleh MPR. Kehendak awal (original intent) dalam Pasal
6A ayat (2) UUD 1945 jelas menggambarkan bahwa hanya partai
politik atau gabungan partai politik sajalah yang dapat mengusulkan
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum
Presiden dan Wakil Presiden (vide Naskah Komprehensif Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Buku
IV Kekuasaan Pemerintahan Negara Jilid 1, halaman 165 360);.
b. Dalam ketentuan Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945, Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden sulit dilaksanakan bersamaan
dengan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD karena
untuk dapat terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara pemilih
dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih
dari setengah provinsi di Indonesia sulit dipenuhi dengan satu kali
putaran, apabila terdapat lebih dari dua Pasangan Calon Presiden dan
Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik peserta Pemilu tahun 2009;
11. Kebijakan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden terkait
Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 merupakan kebijakan terkait pemilu
Presiden dan Wakil Presiden yang oleh Pasal 6 dan Pasal 6A UUD 1945
didelegasikan kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya
dengan undang-undang. Dengan demikian, pengaturan kebijakan ambang
batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden tidak bertentangan
dengan konstitusi karena ketentuan a quo tidak mengandung unsur-unsur
yang diskriminatif mengingat bahwa kebijakan threshold untuk persyaratan
calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut berlaku untuk semua partai
politik peserta pemilu. Hal tersebut berlaku secara obyektif bagi seluruh
parpol peserta pemilu tanpa kecuali juga tidak ada faktor-faktor pembeda
ras, agama, jenis kelamin, status sosial dan lain-lain.
16. Dalam ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai
politik peserta Pemilihan Umum sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum.
Hal ini
dapat diartikan bahwa mekanisme Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden harus dilaksanakan setelah Pemilihan Pemilu DPR, DPD dan
DPRD, karena secara logis calon Presiden dan Wakil Presiden
merupakan usulan dari Parpol Peserta Pemilu.
18. Mengingat Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden
serta memilih anggota legislative tahun 2014 akan dilaksanakan dalam
jangka waktu 1 tahun lagi, Pemerintah menghargai sepenuhnya
keputusan yang akan diambil oleh Mahkamah Konstitusi guna
memperkuat landasan konstitusional UU No. 42 Tahun 2008 yang sejalan
dengan UUD 1945 dan mengharapkan Mahkamah Konstitusi dapat
memberikan keputusan yang bijaksana dan seadil-adilnya.
IV. KESIMPULAN
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut:
1. Bahwa Pasal 6A UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa Presiden dan
Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh
Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilihan umum
sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum. Tata cara pemilihan umum
presiden dan wakil presiden lebih lanjut diatur dalam Undang-
Undang.
2. Bahwa landasan konstitusional pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden tersebut dapat dilihat dalam Pasal 6A ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 6A ayat (5) yang menyebutkan
bahwa tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang;
3. Bahwa UUD Tahun 1945 tidak mengatur secara rinci mengatur
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tata cara pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu pengaturan lebih lanjut
diamanatkan diatur dalam sebuah undang-undang. Berdasarkan Pasal
6A ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Pemerintah bersama-sama dengan DPR diberi kewenangan
konstitusional untuk mengatur lebih lanjut tentang tata cara
pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam sebuah
Undang-Undang, yaitu dengan pembentukan Undang-Undang Nomor
42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
4. Bahwa dalam Penjelasan Umum UU Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden menguraikan mengenai alasan perlunya dibentuk UU a quo
yakni; Untuk menjamin pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden yang berkualitas, memenuhi derajat kompetisi yang sehat,
partisipatif, dan dapat dipertanggungjawabkan perlu dibentuk Undang-
Undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang sesuai dengan
perkembangan demokrasi dan dinamika masyarakat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara;
5. Bahwa dijelaskan lebih lanjut; Dalam undang-undang ini
penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan
dengan tujuan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang
memperoleh dukungan kuat dari rakyat sehingga mampu menjalankan
fungsi kekuasaan pemerintahan negara dalam rangka tercapainya
tujuan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945.
Di samping itu pengaturan terhadap Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden dalam Undang-Undang ini juga dimaksudkan untuk
menegaskan sistem presidensial yang kuat dan efektif, dimana
presiden dan wakil presiden terpilih tidak hanya memperoleh legitimasi
yang kuat dari rakyat, namun
dalam rangka mewujudkan efektivitas pemerintahan juga diperlukan
basis dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat;
6. Bahwa mengenai pelaksanaan Pemilihan Umum Serentak dalam
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilihan Umum
MPR, DPR, DPD, dan DPRD,sebagaimana dikehendaki oleh Pemohon
dalam permohonan a quo, menurut pendapat DPR dalam konstitusi
tidak ada norma yang mengatur secara tegas mengenai waktunya
harus bersamaan, hanya kurun waktunya yang disebutkan yaitu
lima tahunan.
7. Bahwa terhadap konstitusionalitas ketentuan Pasal 3 ayat (5) UU
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi
dalam Putusan Perkara Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 halaman 186
187 telah berpendapat bahwa:
hal tersebut merupakan cara atau persoalan prosedural yang dalam
pelaksanaannya acapkali menitikberatkan pada tata urut yang tidak
logis atas dasar pengalaman yang lazim dilakukan. Apa yang disebut
dengan hukum tidak selalu sama dan sebangun dengan pengertian
menurut logika hukum apalagi logika umum. Oleh sebab itu,
pengalaman dan kebiasaan juga bisa menjadi hukum. Misalnya, Pasal
3 ayat (5) berbunyi, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan
setelah pelaksanaan Pemilu DPR, DPD dan DPRD. Pengalaman
yang telah berjalan ialah Pemilu Presiden dilaksanakan setelah
Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, karena Presiden dan/atau Wakil
Presiden dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat [Pasal 3
ayat (2) UUD 1945], sehingga Pemilu DPR dan DPD didahulukan
untuk dapat dibentuk MPR. Lembaga inilah yang kemudian
melantik Presiden dan Wakil Presiden, oleh karenanya harus
dibentuk lebih dahulu. Sesungguhnya telah terjadi apa yang disebut
desuetudo atau kebiasaan (konvensi ketatanegaraan) telah
menggantikan ketentuan hukum, yaitu suatu hal yang seringkali terjadi
baik praktik di Indonesia maupun di negara lain. Hal ini merupakan
kebenaran bahwa the life of law has not been logic it has been
experience. Oleh karena kebiasaan demikian telah diterima dan
dilaksanakan, sehingga dianggap tidak
bertentangan dengan hukum. Dengan demikian maka kedudukan
Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 adalah konstitusional;
8. Bahwa dengan demikian ketentuan Pasal 3 ayat (5) sama sekali tidak
bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Oleh karenanya ketentuan
Pasal 9 Pasal 12 ayat (1), ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU
Pemliu Presiden dan Wakil Presiden yang merupakan ketentuan
lanjutan dari Pasal 3 ayat (5) secara mutatis mutandis juga tidak
bertentangan UUD Tahun 1945.
Bahwa berdasarkan pada dalil-dalil tersebut di atas, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia memohon kiranya Majelis Hakim
Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
1) menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya
permohonan a quo tidak diterima;
2) menerima Keterangan DPR RI secara keseluruhan;
3) menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 9. Pasal 12 ayat (1), ayat (2),
Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
4) menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 9. Pasal 12 ayat (1), ayat (2),
Pasal
14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tetap
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
[2.5] Menimbang bahwa Pemohon menyampaikan kesimpulan bertanggal 19
Maret 2013 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 19 Maret
2013, yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya;
Pasal 9
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik
peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20%
(dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima
persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum
pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
Pasal 112
Pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling
lama 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota;
terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2), Pasal
22E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat
(3), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), yakni:
Pasal 1 ayat (2)
Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar.
berikut:
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal
10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya
disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu
kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar;
[3.7.1] Bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia yang selalu aktif
menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum; selalu aktif dalam kegiatan
advokasi publik untuk perbaikan sistem komunikasi politik, perbaikan sistem
politik, dan perbaikan sistem pemilihan umum di Indonesia; selalu aktif dalam
kegiatan advokasi dan gerakan anti korupsi; selalu aktif untuk melakukan
penelitian tentang hak-hak warga negara sesuai dengan jaminan konstitusi; dan
selalu aktif berbicara kepada publik mengenai semua kegiatan advokasi publik
dan penelitian yang telah dilakukan (vide bukti P-1);
Pokok Permohonan
[3.10] Menimbang bahwa meskipun Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, dan Pasal 14
ayat (2) UU 42/2008 pernah dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya di
hadapan Mahkamah sebagaimana diputuskan dalam Putusan Mahkamah Nomor
56/PUU-VI/2008, bertanggal 17 Februari 2009, Putusan Mahkamah Nomor 51-
52-
59/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009, Putusan Mahkamah Nomor
26/PUU-VII/2009 bertanggal 14 September 2009, dan Putusan Mahkamah
Nomor 4/PUU-XI/2013, bertanggal 26 Maret 2013, namun demikian, ketentuan
Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) UU MK menyatakan: (1) Terhadap materi muatan
ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat
dimohonkan pengujian kembali. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Demikian juga Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian
Undang-Undang menyatakan: (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau
bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian UU terhadap
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah
diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-
syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan
berbeda. Menurut Mahkamah, permohonan yang telah diputus pada Putusan
Mahkamah Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009, pada
pokoknya menggunakan dasar konstitusional Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E
ayat (1), serta ayat (2) UUD 1945, sedangkan permohonan a quo mengunakan
dasar pengujian Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal
28D ayat (3), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, dengan
argumentasi berbeda yang akan dipertimbangkan selanjutnya, serta Putusan
Mahkamah Nomor 56/PUU-VI/2008, bertanggal 17 Februari 2009, Putusan
Mahkamah Nomor 26/PUU-VII/2009 bertanggal 14 September 2009, dan
Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-XI/2013, bertanggal 26 Maret 2013 memiliki
isu hukum yang berbeda dengan permohonan a quo, yaitu mengenai pasangan
calon presiden dan wakil presiden dari perseorangan dan isu lainnya. Dengan
demikian menurut Mahkamah, berdasarkan Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) UU
MK dan Pasal
42 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005
tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang,
Mahkamah dapat mengadili permohonan a quo.
[3.11] Menimbang bahwa pokok permohonan Pemohon adalah sebagaimana
diuraikan dalam paragraf [3.1] yang pada pokoknya mendalilkan sebagai berikut:
1) Berdasarkan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, Pemilihan
umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
setiap lima tahun sekali maka konstitusi mengamanatkan hanya ada satu
pemilihan umum dalam kurun waktu lima tahun. Selanjutnya Pasal 22E ayat
(1) UUD 1945 langsung diikuti oleh ayat (2) dalam satu tarikan nafas yang
menyatakan, Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Norma konstitusi tersebut
mengandung arti bahwa pemilihan umum yang dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali itu
diamanatkan untuk sekaligus (serentak) memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Kemudian Pasal 22E ayat (6) UUD 1945
menyatakan, Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan
undang- undang. Norma konstitusi tersebut sejalan dan memperkuat Pasal
22E ayat (1) dan ayat (2) dengan mengamanatkan agar pemilihan umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (2) diatur dalam satu undang-
undang saja karena UUD 1945 menggunakan istilah diatur dengan undang-
undang, bukan diatur dalam undang-undang, sehingga seharusnya diatur
dengan satu Undang-Undang, yaitu Undang-Undang tentang pemilihan
umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah;
2) Bahwa Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menegaskan, Pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Norma
konstitusi tersebut mengandung arti bahwa pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum, sedangkan
pemilihan umum sesuai dengan ketentuan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2)
UUD 1945;
3) Namun ternyata, ketentuan-ketentuan konstitusional dan original intent Pasal
22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 tersebut diimplementasikan secara
menyimpang oleh pembentuk Undang-Undang dengan membuat norma yang
bertentangan dengan UUD 1945 melalui UU 42/2008 khususnya Pasal 3 ayat
(5) yang berbunyi, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah
pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dengan
norma tersebut maka pelaksanaan pemilihan umum dalam kurun waktu 5
tahun menjadi lebih dari satu kali (tidak serentak) yakni pemilihan umum
anggota DPR, DPD, dan DPRD, lalu pemilihan umum Presiden dan Wakil
Presiden;
5) Hak warga negara untuk memilih secara cerdas pada pemilihan umum
serentak ini terkait dengan konsep political efficacy di mana warga negara
dapat membangun peta checks and balances dari pemerintahan presidensial
dengan keyakinannya sendiri. Untuk itu warga negara dapat menggunakan
konsep presidential coattail, dimana warga negara memilih anggota legislatif
pusat dan daerah (bahkan juga di masa depan: Kepala Daerah) yang berasal
dari partai yang sama dengan calon presiden dan wakil presiden. Hanya
dengan pemilihan umum serentak warga negara dapat melaksanakan haknya
untuk memilih secara cerdas (menggunakan presidential coattail & political
efficacy) dan efisen. Di samping itu, pemilihan umum yang tidak serentak
adalah pemborosan anggaran yang sangat besar dan tidak efisien. Oleh
karena itu, menurut Pemohon, Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga
Perwakilan yang tidak serentak tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat
(1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33
ayat (4) UUD 1945;
Pendapat Mahkamah
4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di
atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.1. Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan
Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4924) bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2. Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan
Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4924) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat;
KETUA,
ttd
Hamdan Zoelva
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd
ttd
Ahmad Fadlil Sumadi
Arief
Hidayat
ttd ttd
Harjono
Maria Farida
Indrati
ttd ttd
Alim
ttd
Patrialis Akbar
PANITERA PENGGANTI,
ttd