Anda di halaman 1dari 136

PUTUSAN

Nomor 14/PUU-XI/2013
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap
Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan
oleh:

[1.2] 1. Nama : Effendi Gazali, Ph.D., M.P.S.I.D, M.Si

Tempat/Tanggal Lahir : Padang, 5 Desember


1965 Pekerjaan : Seniman/aktivis
Alamat : Jalan Pinang Ranti II Nomor 3, RT
013/RW 001, Kelurahan Pinang
Ranti, Kecamatan Makasar, Jakarta
Timur

Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 9 Januari 2013
memberi kuasa kepada AH. Wakil Kamal, S.H., M.H. advokat pada Kantor
Hukum AWK & Partners yang beralamat di Menara Karya 28th Floor, Jalan H.R.
Rasuna Said Blok X-5 Kav. 1-2 Jakarta bertindak untuk dan atas nama pemberi
kuasa; Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------------
Pemohon;

[1.3] Membaca permohonan Pemohon;


Mendengar keterangan
Pemohon; Memeriksa bukti-bukti
Pemohon;
Mendengar dan membaca keterangan ahli dan pemberi keterangan

ad informandum Pemohon;
Mendengar dan membaca keterangan Presiden;
Mendengar dan membaca keterangan Dewan Perwakilan
Rakyat; Membaca kesimpulan Pemohon;
2

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan bertanggal 10


Januari 2013 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya
disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 10 Januari 2013 berdasarkan
Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 37/PAN.MK/2013 dan telah dicatat
dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 22 Januari 2013 dengan
Nomor 14/PUU-XI/2013, yang telah diperbaiki dengan perbaikan permohonan
terakhir bertanggal 20 Februari 2013 dan diterima di dalam persidangan tanggal
20 Februari 2013 yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut:
A. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
1. Bahwa PEMOHON memohon kepada Mahkamah untuk melakukan
pengujian Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14
ayat (2) dan Pasal 112 UU 42/2008 terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A
ayat (2), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) UUD1945;
2. Ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (UU MK), menyebutkan bahwa salah satu
kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian
undang- undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945);
3. Bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 9 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, menyatakan bahwa secara hierarkis kedudukan
UUD 1945 adalah lebih tinggi dari Undang-Undang, oleh karena itu setiap
ketentuan Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945
(constitutie is de hoogste wet). Dalam hal suatu Undang-Undang diduga
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi;
4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka PEMOHON berpendapat
bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang memeriksa dan memutus
permohonan pengujian undang-undang ini.
B. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
1. Bahwa dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD
1945, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima kedudukan hukum
(legal standing)-nya selaku PEMOHON di hadapan Mahkamah, maka
berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, menentukan bahwa PEMOHON
adalah pihak yang hak dan atau kewenangan konstitusionalnya, telah
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok
orang yang mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Negara Republik Indonesia yang diatur dalam undang-
undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
2. Bahwa sejak Putusan Mahkamah Nomor 006/PUU-III/2005 hingga saat
ini, telah menjadi pendirian Mahkamah bahwa untuk dapat dikatakan ada
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional PEMOHON yang
diberikan oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut, dianggap telah
dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus
bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial
yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan
maka kerugian konstitusional tersebut tidak akan atau tidak lagi
terjadi.
3. Bahwa berdasarkan ketentuan hukum tersebut di atas, kedudukan hukum
PEMOHON dalam perkara a quo, dikualifikasikan sebagai perorangan
warga negara Indonesia yang telah dirugikan hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dengan berlakunya ketentuan Pasal 3 ayat (5), Pasal 9,
Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU 42/2008;

4. Bahwa latar belakang pendidikan PEMOHON adalah sarjana (S-1) pada


Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial-Ilmu Politik Universitas
Indonesia tahun 1990, dengan fokus penelitian skripsi pada Budaya
Hubungan (Kehumasan) TVRI sebagai Televisi Publik. Melanjutkan studi
pada Program Master Ilmu Komunikasi di fakultas Ilmu Sosial-Ilmu Politik
Universitas Indonesia tahun 1996, dengan konsentrasi penelitian pada
Budaya Televisi Indonesia Ditinjau dari Teori Interaksionisme Simbolik.
Tahun 1998 mendapat Beasiswa Fulbright untuk studi dan riset di Cornell
University, Ithaca, New York, USA. Menyelesaikan Master for Profesional
Studies, International Development (2000), program yang memang
didisain untuk akademisi berbasis NGO atau aktivis. Riset Masternya
berjudul Improving Information Access in the Reform Era in Indonesia
through Community-based Communication Centers (CCC). Program
Ph.D. diselesaikan di Radboud University, Nijmegen, The Netherlands
(2004), dengan International Dissertation Commiittee bersama para guru
besar dari Cornell University, University van Amsterdam, dan Leuven
University. Riset disertasinya, yang kemudian diterbitkan menjadi buku
oleh penerbit universitas (Radboud University Press, 2004) berjudul
Communication of Politics and Politics of Communication in Indonesia: A
Study on Media Performance, Responsibility and Accountability. Esensi
pernyataan ini: PEMOHON telah demikian lama dan konsisten melakukan
penelitian ilmiah tentang Hak-Hak Publik/Warga Negara serta Interaksinya
dalam Komunitas dan dengan Konstitusi untuk menjamin Hak-Hak
Komunikasi Politik sekaligus Politik Komunikasi Warga Negara;

5. Bahwa sejak 2001, PEMOHON telah mengajar -utamanya- mata kuliah


Komunikasi Politik di Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Fakultas
Ilmu Sosial-Ilmu Politik, Universitas Indonesia, serta telah membimbing dan
menguji Skripsi, Tesis, dan Disertasi pada berbagai universitas di
Indonesia;

6. Bahwa pada Reformasi 1998, PEMOHON merupakan Ketua Aksi Forum


Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia, dan kemudian menjadi
Presidiumnya bersama tokoh-tokoh mahasiswa pada masa itu, di
antaranya: Laode Ida, Fadjroel Rachman, dan lain-lain. Di Era Reformasi,
PEMOHON aktif di dalam berbagai Koalisi Masyarakat Sipil, seperti
KOMPAK (Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi) bersama Lembaga
Swadaya Masyarakat seperti ICW, Kontras, Migran Care, ANBTI, Maarif
Institute, dan masih banyak lainnya; PEMOHON juga masih terus aktif
sebagai anggota Badan Pekerja Tokoh Lintas-Agama;

7. PEMOHON sangat konsisten menulis di berbagai jurnal ilmiah serta


publikasi wawancara atau tulisan lain, baik di dalam dan luar negeri, serta
menjadi pembicara atau berdiskusi di berbagai seminar, yang
menghendaki dihentikannya praktek pemilihan umum yang tidak
menjalankan amanat UUD 1945 khususnya Pasal 22E ayat (1) yang
berbunyi, Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali dan Pasal 22E ayat (2)
yang berbunyi, Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan
Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

8. Bahwa PEMOHON juga membuat berbagai acara televisi tentang


Penegakan Konstitusi tersebut, antara lain Tiga Serial Talkshow BBM
(Berusaha Bersama Mencari Solusi) di Indosiar dengan Topik Ayo
Kembali ke Pemilu Serentak, serta terakhir juga tulisan di Kompas, 31
Oktober 2012, dengan judul Menjajaki Pemilu Serentak;

9. Bahwa PEMOHON adalah warga negara Indonesia yang selalu aktif


melaksanakan Hak Pilih dalam Pemilihan Umum; selalu aktif dalam
kegiatan advokasi publik untuk perbaikan Sistem Komunikasi Politik,
perbaikan Sistem Politik, dan perbaikan Sistem Pemilihan Umum di
Indonesia; selalu aktif dalam kegiatan advokasi dan gerakan ANTI-
KORUPSI; selalu aktif untuk melakukan Penelitian tentang Hak-Hak
Warga Negara sesuai dengan JAMINAN KONSTITUSI; selalu aktif
berbicara
kepada publik mengenai semua kegiatan advokasi publik dan penelitian
yang dilakukan;
10.Bahwa dari hasil semua Advokasi Publik dan Penelitiannya (yang
menjadi ACTION-RESEARCH), PEMOHON akhirnya menyimpulkan
bahwa faktor-faktor yang secara signifikan menghambat kemajuan
negara Indonesia ANTARA LAIN adalah:
1) POLITIK TRANSAKSIONAL yang terjadi berlapis-lapis (bertingkat-
tingkat), umumnya antara Partai Politik dengan Individu yang
berniat menjadi Pejabat Publik, serta antara Partai Politik untuk
pengisian posisi Pejabat Publik tertentu. Dikaitkan dengan
Pemilihan Umum Anggota Legislatif dan Pemilihan Umum
Presiden & Wakil Presiden), POLITIK TRANSAKSIONAL BISA
TERJADI 4 SAMPAI 5 KALI, yakni: a) Pada saat mengajukan
Calon-calon Anggota Legislatif; b) Pada saat mengajukan Calon
Presiden & Calon Wakil Presiden karena ketentuan Presidential
Treshold; c) Setelah diketahuinya hasil Putaran Pertama
Pemilihan Umum Presiden (jika dibutuhkan Putaran Kedua); d)
Pada saat pembentukan kabinet; e) Pada saat membentuk
semacam koalisi di Dewan Perwakilan Rakyat yang kemudian
menjadi sejenis prototipe untuk koalisi di Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (tingkat I dan II), antara lain untuk alokasi jabatan
dan sebagainya;
2) BIAYA POLITIK yang amat tinggi, mubazir, tidak dilaksanakan
dengan transparan dan jujur oleh para pelaku dan donaturnya,
serta tidak dapat diawasi dengan efektif oleh institusi yang
berwenang melakukannya; Di dalamnya terdapat komponen biaya
promosi/publikasi dan kampanye yang amat berlebihan (Menteri
Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyebutkan bahwa untuk
kampanye Pemilihan Umum Kepala Daerah Jawa Timur telah
dihabiskan biaya sekitar 1 Trilyun Rupiah; dalam acara ILC HUT
TV One, 14 Februari 2013);
3) POLITIK UANG YANG MERUYAK. Akibat Politik Transaksional di
antara elit politik dan para calon pejabat publik disertai
PENGHAMBURAN BIAYA POLITIK yang amat berlebihan, akhirnya
berlanjut dengan strategi instan membeli suara publik dan hal
ini
-pada sisi lain- dilihat sebagai kesempatan oleh sebagian publik
untuk juga melibatkan diri dalam POLITIK UANG (MONEY
POLITICS), baik untuk ikut serta dalam aneka acara kampanye dan
pencitraan maupun untuk menawarkan PILIHANNYA dalam suatu
Pemilihan Umum;
4) KORUPSI POLITIK yang memperlihatkan fenomena (poros)
Pembiayaan Politik Partai dikaitkan dengan Komisi dari Anggaran
Proyek Kementerian dan Lembaga yang umumnya
dibahas/diputuskan di Badan Anggaran Dewan Perwakilan
Rakyat/Daerah. Sementara Pejabat Eksekutif menutupi biaya
tinggi untuk transaksi memperoleh tiket atau perahu
mengikuti Pemilihan Kepala Daerah, serta biaya pencitraan dan
kampanye yang tinggi, dengan mengalokasikan proyek-proyek di
daerahnya - khususnya terhadap sumber daya alam- dengan
nuansa praktik balas-budi terhadap donatur atau praktik koruptif
lainnya. Hal ini juga diperkuat dengan Pernyataan Tokoh-Lintas
Agama pada September 2012 yang menyebut dan mengaitkan
korupsi politik sebagai akibat sistem pemilihan umum yang
terjadi saat ini;
5) TIDAK DITEGAKKANNYA ATAU DIPERKUATNYA SISTEM
PRESIDENSIAL YANG SESUNGGUHNYA. Menurut Prof. Dr. Moh.
Mahfud M.D., S.H., (1993. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan
Indonesia. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Press, hal. 83) di
dalam sistem Pemerintahan Presidensial terdapat beberapa prinsip,
antara lain: 1) Kepala negara menjadi kepala pemerintahan (eksekutif);
2) Pemerintah tidak bertanggung jawab kepada Parlemen (DPR)
karena Parlemen dan pemerintah sejajar; 3) Menteri-menteri diangkat
dan bertanggung jawab kepada Presiden; 4) Eksekutif dan legislatif
sama- sama kuat. Sistem pemerintahan Republik Indonesia
berdasarkan UUD 1945 adalah Sistem Presidensial. Beberapa ciri
penting Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia antara lain:
Presiden memegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-
Undang Dasar (vide Pasal 4 ayat (1) UUD 1945), Presiden dan wakil
presiden dipilih oleh rakyat secara langsung (vide Pasal 6A ayat (1)
UUD 1945), Masa jabatannya tertentu (vide Pasal 7 UUD 1945),
Presiden
dan Wakil Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen
(melainkan langsung bertanggung jawab kepada rakyat), dalam
hubungannya dengan parlemen presiden tidak tunduk kepada
parlemen, dan tidak dikenal adanya pembedaan fungsi kepala negara
dan kepala pemerintahan;
Prinsip ke-4 (menurut Prof. Dr. Moh. Mahfud M.D., S.H. tersebut),
bahwa eksekutif dan legislatif sama-sama kuat, sering
disalahmaknakan menjadi suatu kebutuhan nyata bahwa Presiden
& Wakil Presiden dalam Sistem Presidensial bahkan sebelum dia
dipilih langsung oleh rakyat- sudah membutuhkan basis dukungan
dari Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka mewujudkan
efektivitas pemerintahan;
Padahal Penelitian berkelanjutan Ilmuwan Komunikasi Politik dan
Politik makin menemukan hal-hal sebagai berikut: a) Dalam Sistem
Presidensial, Presiden & Wakil Presiden terutama harus
mengutamakan kepentingan warga negara yang memilihnya
secara langsung; tentu akan sangat baik jika kepentingan
akumulasi anggota parlemen mendukung Program dan Tindakan
Presiden yang mengutamakan kepentingan warga negara. NAMUN
DALAM HAL akumulasi anggota parlemen tidak mendukung
Program dan Tindakan Presiden yang mengutamakan
kepentingan warga negara, maka Presiden harus tetap memilih
melakukan Program dan Tindakan yang mengutamakan
kepentingan warga negara, walaupun itu berarti harus
berhadapan dengan akumulasi anggota Parlemen. Keterikatan
warga negara dengan Pemimpinnya dewasa ini, jika dipahami
secara luas, terutama kepada KARAKTER-nya terhadap warga
negara, yang sampai kepada warga negara melalui NARASI
komunikasi politik (antara lain: Murphy dkk. 2011. Journal of
Communication 61, 407431. International Communication
Association);

b) Terdapat Teori (Presidential) Coattail Effect, yakni setelah


memilih calon presiden, pemilih cenderung memilih partai
politik atau koalisi partai politik yang mencalonkan presiden
yang dipilihnya. Didik Supriyanto (2012. Pemilu Serentak Yang
Mana?
http://www.rumahpemilu.org/read/541/Pemilu-Serentak-yang-Mana-
Oleh-Didik-Supriyanto; diunduh 18 Februari 2013) membahas
pernyataan Shugart (1996) tentang Coattail Effect, yang akan
diperoleh jika Pemilu dilaksanakan serentak. Sebagai contoh
Pemilu serentak mulai diterapkan di Brasil sejak awal 1994 dan
berhasil menstabilkan dan mengefektifkan pemerintahan,
sehingga dalam kurun 15 tahun kemudian, Brasil menjadi kekuatan
ekonomi dunia. Sukses Brasil kemudian diikuti oleh negara-negara
lain di kawasan itu, sehingga Pemilu Serentak berhasil
mematahkan tesis Scot Mainwaring (1993), bahwa sistem
pemerintahan presidensial tidak kompatibel dengan sistem
multipartai dengan pemilu
proporsionalnya. Penelitian Stoll (2011 & 2013. Presidential
Coattails: A Closer Look. Presentasi pada National Conference of
the Midwest Political Science Association &
Southern California Political Institutions Conference)
memperlihatkan hasil studi pada banyak negara dan menemukan
bahwa semakin serentak Pemilu Presiden dan Pemilu Anggota
Legislatif, semakin dapat dipetik manfaat konsolidasi baik untuk
Sistem Kepartaian di Parlemen maupun Sistem Kepartaian
Kepresidenan;

c) Melengkapi Teori (Presidential) Coattail Effect, Peneliti Komunikasi


Politik dan Politik juga dapat menekankan Political Efficacy
(Kecerdasan Berpolitik) dalam memperkuat Sistem Presidensial.
Clifford Bob (2012. Jurnal Political Communication, 29: 232-241,
resensi terhadap Manheim), dibaca dalam konteks yang lebih luas,
antara lain menyatakan bahwa analisis komunikasi politik juga
terarah pada bagaimana individu (warga negara) dapat
menyampaikan pesannya dengan struktur keyakinannya
sendiri dan bagaimana dapat memilih sebaliknya (mengubah-
ubahnya). Skowronek (2008 & 2011. Presidential Leadership in
Political Time: Reprise and Reapprisal. Kansas: University Press of
Kansas, hal. 8), menggambarkan bahwa kecerdasan berpolitik
tentang kepresidenan sering hanya tampak sebagai perbedaan
kecil saja dalam memandang di mana kekuasaan presiden
diletakkan pada sistem politik. Esensinya: pada sistem
Presidensial, sering terjadi
kesalahpahaman tentang bagaimana memandang kekuasaan
presiden, ketika warga negara tidak dapat memilih berdasarkan
struktur keyakinannya, atau bahkan ketika warga negara ingin
memilih sebaliknya. Ini berarti: HANYA PADA PEMILU
SERENTAK yang melaksanaan bersamaan Pemilihan Umum
Presiden & Wakil Presiden dengan Pemilu Anggota Legislatif (Pusat
dan Daerah), juga Dewan Perwakilan Daerah (serta selanjutnya
Pemilihan Umum Kepala Daerah) warga negara dapat membuat
SISTEM CHECKS & BALANCES menurut keyakinannya sendiri.
Syarat seperti ini dalam Komunikasi Politik menentukan kualitas
sebuah Pemilihan Umum dalam Sistem Presidensial. Mengenai
kualitas dari pemilihan umum, pastilah juga merupakan kepedulian
dari banyak elemen bangsa. Hakim Konstitusi Dr. Hamdan Zoelva,
S.H., M.H., sebagai Keynote Speaker pada Seminar Nasional
Menuju Pemilihan Umum Kepala Daerah yang Bersih dan
Demokratis di Universitas Muria Kudus (16/7/2011) yang
diselenggarakan oleh Program Magister Ilmu Hukum, antara lain
menyatakan bahwa pemerintah berkualitas adalah cerminan dari
pemilu berkualitas. Demikian pula sebaliknya, apabila pemerintah
dinilai tidak dapat menyejahterakan rakyat, maka hal tersebut
adalah muara dari proses pemilihan yang tidak sesuai amanat
konstitusi;

6. TIDAK DILAKSANAKANNYA PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH


(sementara ini berjumlah 529) DALAM PEMILIHAN UMUM YANG
JUGA SERENTAK. Misalnya dengan mengambil formula 0 2,5 5 .
Artinya: kurang lebih 265 Pemilihan Umum Kepala Daerah bisa
dilaksanakan serentak dengan Pemilihan Umum Presiden & Wakil
Presiden, Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Pusat,
Tingkat 1, dan Tingkat 2), dan Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Daerah; kurang lebih 264 Pemilihan Umum Kepala
Daerah lainnya bisa dilaksanakan 2,5 tahun kemudian (MID-TERM);
serta siklus 265 Pemilihan Umum Kepala Daerah yang sudah jatuh
tempo berikutnya dilaksanakan bersamaan dengan Pemilihan
Umum Presiden & Wakil Presiden, Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (Pusat, Tingkat 1, dan Tingkat 2), dan
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah 5 tahun
selanjutnya. Penggunaan PENYESUAIAN 2,5 tahun (mid-term) ini
akan bermanfaat untuk membuat tidak ada Kepala Daerah yang
merasa terlalu dirugikan karena jika pun harus dimajukan tidak akan
lebih dari 1,25 tahun, dan jika pun harus diundurkan tidak juga akan
lebih dari 1,25 tahun;
Bahwa penghematan yang dapat dilakukan jika Pemilihan Umum ini
dapat dilakukan serentak, antara lain dengan formula 0-2,5-5 tahunan
tersebut sudah diakui oleh banyak Pihak. Republika (online, 4/10/2012)
menulis, biaya resmi penyelenggaraan pemilu, misalnya diyakini bisa
menyusut drastis karena akan mengurangi honor penyelenggara
pemilu. Selama ini, honor penyelenggara pemilu merupakan komponen
terbesar biaya pemilu. Honor ini memakan hingga 65 persen dana
pemilu. Besarnya honor ini terkait jumlah tempat pemungutan suara
(TPS) di Indonesia sangat banyak, mencapai 500 ribu. Setiap TPS ini
ditunggui tujuh orang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan
Suara (KPPS). Dengan demikian, total jumlah anggota KPPS ini sekitar
3,5 juta orang. Jika honor setiap anggota KPPS dirata-ratakan Rp 300
ribu per orang, maka biaya yang dibutuhkan untuk satu pemilihan,
katakan presiden, adalah 1 triliun. Itu belum pula termasuk honor
anggota Panitia Pemilihan Pemungutan Suara (PPS). Ada tiga anggota
PPS untuk setiap dari 77.465 desa/kelurahan di Indonesia, sehingga
total anggota PPS adalah 232.395 orang. Kalau setiap anggota PPS ini
diberi honor Rp 500 ribu per orang, maka diperlukan dana sekitar Rp
116 miliar. Itu belum pula termasuk honor anggota Panitia Pemilihan
Kecamatan (PPK) di 6.694 kecamatan di mana setiap kecamatan ada
lima anggota PPL; honor anggota Panitia Pengawas Lapangan (PPL),
yang jumlahnya 1-5 orang per desa; honor Panwaslu Kecamatan, yang
jumlahnya tiga orang per kecamatan, dan biaya-biaya honor lainnya
untuk kesekretariatan dan sebagainya;
Hal ini tentu belum dikaitkan dengan berapa kali Pemilihan itu
berlangsung, serta harus menempuh berapa putaran. Riset
Pendahuluan PEMOHON memperlihatkan beberapa variasi data.
Komisioner Divisi Humas KPU, Dr. Ferry Kurnia Rizkiyansyah, S.I.P,
M.Si, menyatakan jika Pemilu anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil
Presiden, dan DPRD dilaksanakan serentak maka terjadi efisiensi dan
efektivitas, setidaknya dalam tujuh hal: pemutakhiran data pemilih,
sosialisasi, perlengkapan TPS, distribusi logistik, perjalanan dinas,
honorarium, dan uang lembur. Jumlah dana yang bisa dihemat dan
digunakan untuk pemenuhan Hak-Hak Konstitusional lain Warga
Negara berkisar 5 sampai 10 Trilyun Rupiah. Dan jika Pemilihan Umum
Kepala Daerah dapat dilaksanakan serentak maka penghematan bisa
meliputi 20 sampai 26 Trilyun Rupiah. Anggota DPR dari Fraksi PDI
Perjuangan, Arifin Wibowo, mengkalkulasi jika Pemilu digelar serentak
akan menghemat dana sekitar Rp 150 triliun, atau sepersepuluh APBN
dan APBD, dan sekitar Rp 120 triliun biaya yang dikeluarkan partai dan
pihak lain (Republika online, 4/10/2012). Angka yang paling ekstrem,
pernah disampaikan Jusuf Kalla. Jika Pemilu Kepala Daerah digelar
serentak saja, dia memperkirakan ada dana sebesar 50 miliar dolar
atau 450 triliun Rupiah yang bisa dihemat. ini mencakup yang berasal
dari APBN dan APBD -untuk kepentingan penyelenggaraan pilkada-
hingga uang yang digelontorkan para kandidat (Republika, 14/3/2012);
Pemilu Serentak juga akan mengurangi militansi pada hanya satu
calon kepala daerah, pengurangan biaya kampanye karena dapat
dilakukan bersama-sama, serta amat berkurangnya para donatur atau
cukong yang bermaksud menanam modal terlebih dahulu dan
selanjutnya akan mendapatkan aneka proyek dengan cara-cara yang
koruptif.
Memang Pemilihan Umum Kepala Daerah tidak dinyatakan harus
dilakukan secara serentak dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Namun
fakta empiriknya dalam hal: Politik Transaksional, Biaya Kampanye
yang amat tinggi, Politik Uang, Korupsi Politik yang cenderung
langsung mengikuti masa pemerintahan (sampai 21/11/2012, KOMPAS
mencatat pernyataan Humas Kementerian Dalam Negeri bahwa hanya
dari 19 provinsi saja, sudah 474 pejabat daerah berstatus tersangka,
terdakwa, terpidana, yang pada umumnya terkait dengan kasus
korupsi), serta Konflik dan Kekerasan antar-pendukung atau dengan
Penyelenggara Pemilihan Umum Kepala Daerah, membuat seluruh
elemen bangsa (termasuk Peneliti Komunikasi Politik dan Hakim
Konstitusi) harus
memberikan perhatian serius! Hakim Konstitusi Dr. H. Anwar Usman,
S.H., M.H. (dalam orasi ilmiah berjudul Menegakkan Konstitusi dan
Pembenahan Sistem Hukum untuk Mewujudkan Pembangunan
Indonesia yang Bermartabat pada Sidang Senat Terbuka Wisuda XIX
Program Sarjana Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sunan Giri, Malang,
Jawa Timur, 4/12/2011) menegaskan meski perubahan UUD 1945
sudah dilakukan guna mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil
dan makmur, namun hukum sebagai sarana untuk mewujudkan cita-
cita tersebut tidak dapat berlangsung serta merta seiring dengan
diubahnya konstitusi. Oleh sebab itu langkah selanjutnya adalah
dengan mewujudkan pembenahan sistem hukum. Ia berpendapat
setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan terkait itu yakni struktur
hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Sebagai tambahan,
menurut Hakim Konstitusi Dr. Harjono, S.H., MCL., tentu saja konstitusi
tidak boleh dilihat sebagai sebuah batu besar yang kaku dan sudah
menjadi pondasi sebuah bangunan. Jika demikian, maka ia akan
tertalu rigid bahkan mati. Padahal, konstitusi adalah nilai-nilai yang
menjiwai. Sebagai nilai, ia bisa terus tumbuh dan berkembang,
berdialog dengan perkembangan masa (Negara Hukum, Demokrasi,
dan Mahkamah Konstitusi, Kuliah Umum Untuk Mahasiswa Program
Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Jambi,
28/10/2009). Artinya, bangsa Indonesia sedang menunggu hal-hal apa
yang bisa disampaikan oleh para Hakim Konstitusi untuk mendorong
upaya-upaya konsolidasi menuju Pemilihan Kepala Daerah Serentak,
yang antara lain lahir sebagai hasil sertaan Pengujian Undang-Undang
ini;

11. Bahwa ORIGINAL INTENT Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945, dapat
kita temukan ketika anggota MPR yang menyusun Perubahan UUD 1945
pada tahun 2001, dengan jelas menyatakan bahwa Pemilihan Umum
memang dimaksudkan untuk diselenggarakan lima tahun sekali (serentak)
untuk memilih (sekaligus) anggota DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan
Wakil Presiden. Dalam Risalah sidang-sidang Panitia Ad Hoc 1 dengan
jelas muncul kata-kata Pemilu bareng-bareng, Pemilu serentak serta
istilah yang lebih spesifik Pemilu lima kotak. Memang dalam sidang-
sidang Panitia Ad Hoc 1 tersebut serta berbagai tingkat sidang selanjutnya
terdapat juga perbedaan pendapat atau perdebatan, namun semua
sepakat untuk menyusun Kesimpulan seperti tertera pada Pasal 22E
ayat (1) yang berbunyi, Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali dan Pasal
22E ayat (2) yang berbunyi, Pemilihan umum diselenggarakan untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Adalah merupakan fakta empirik pula bahwa tidak ada satu Kesimpulan
atau Ayat Alternatif apa pun yang diminta oleh anggota Panitia Ad Hoc 1
ataupun peserta Sidang-Sidang selanjutnya untuk ditampilkan bersama
dengan rumusan yang sekarang dikenal sebagai Pasal 22E ayat (1) dan
ayat (2) UUD 1945 (untuk kemudian dilakukan pemilihan atau voting
terhadapnya);

Original Intent tersebut dapat kita lihat diantaranya dalam Risalah Rapat
Komisi A Sidang Tahunan MPR Tahun 2001 4-8 Nopember 2001, pada
Rapat Komisi A, Kedua (Lanjutan) tanggal 5 Nopember 2001, anggota
MPR dari F-KKI Tjetje Hidayat Patmadinata bertanya kepadda Ketua
Rapat Slamet Effendi Yusuf sebagai berikut .Kemudian Pasal 6A ayat
(3), ini mungkin pertanyaan dari saya. Saya agak kaget paket calon
Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima
puluh persen dari jumlah suara adalah tiba-tiba menyelonong Pemilihan
Umum. Karena saya menangkap pemilihan Presiden tidak ada kaitannya
dengan pemilu. Presidential election tidak ada kaitannya dengan general
election. Mengapa ada kalimat, bagi saya tiba-tiba nyelonong dalam
pemilihan umum. Ternyata di Bab VIIB dalam Pemilihan Umum, Bab VIIB
halam 11, ayat (2) itu Pasal 22E ayat (2) di sana pemilihan umum
diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, betul,
Dewan Perwakilan Daerah, betul, tiba-tiba nyelonong Presiden dan Wakil
Presiden. Ini saya tidak mengerti. Karena setahu saya dan seingat saya,
general election beda dengan kalau itu presidential election saja. Tidak
ada kaitan dengan pemilu pemilihan Presiden itu. Jadi mohon penjelasan
karena saya berpendapat, kalau pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
dimasukkan dalam pemilihan umum, bagi saya salah itu. Itu kurang lebih.
Jadi perlu penjelasan, minta penjelasan. Sekali lagi pertanyaan saya,
mengapa itu dikaitkan dengan
pemilu? Terima kasih. Kemudian Ketua Rapat Slamet Effendy Yusuf
menjelaskan Terima kasih Pak Tjeje. Saya enggak tahu siapa yang
harus menjelaskan tapi saya mencoba menjelaskan, karena saya ikut
dalam proses perumusannya. Jadi memang begini, memang pada
konsep ini, secara keseluruhan itu, Presiden nanti dalam pemilihan
yang disebut langsung itu diadakan di dalam pemilihan umum yang
diselenggarakan bareng-bareng ketika memilih DPR, DPD, DPRD,
kemudian juga paket Presiden dan Wakil Presiden sehingga nanti
digambarkan ada lima kotak. Jadi kotak untuk DPR RI, kotak untuk
DPD, kotak untuk DPRD propinsi, kotak untuk DPRD Kota atau
kabupaten, dan kotak untuk Presiden dan Wakil Presiden itu. Jadi
gambarannya memang itu dan memang konsep ini menyebut
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum. Itu
penjelasannya. Tapi Pak Tjeje bisa setuju atau tidak, tapi
penjelasannya adalah seperti itu;

12. Bahwa PEMOHON adalah perorangan warga negara Indonesia yang


disebut dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK yang telah
berusia 17 tahun dan/atau sudah kawin sehingga mempunyai hak untuk
memilih (the right to vote);
13. Bahwa di samping itu PEMOHON adalah warga negara Indonesia
pembayar pajak (terdaftar dengan NPWP 06.7900084-005000, sejak 4-1-
1992), maka adalah Hak Konstitusional PEMOHON sebagai warga negara
Indonesia untuk mendapat sebesar-besarnya manfaat dari jumlah pajak
yang dibayarkan oleh warga negara untuk pembangunan bangsa di
segala bidang, seperti pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik,
antara lain sejalan dengan UUD 1945 Pasal 28H dan Pasal 33 ayat (4);
Esensi pernyataan ini: Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji
selain melanggar Konstitusi juga telah memboroskan uang pajak warga
negara (termasuk PEMOHON) yang harusnya dipergunakan untuk
membangun infrastruktur dan pelayanan publik serta Sistem
Perekonomian berkeadilan dan berkelanjutan yang merupakan Hak
Konstitusional warga negara;

14. Bahwa PEMOHON telah akan mengalami kerugian konstitusionalnya


karena Pemilu dilaksanakan lebih dari satu kali dalam kurun 5 tahun
seperti yang dialami PEMOHON pada Pemilihan Umum 2004. Saat itu
PEMOHON
sedang menyelesaikan riset disertasinya dan harus bolak-balik antara
Belanda (utamanya Nijmegen) dan Indonesia. Sebagai Pemilih Aktif,
PEMOHON sudah berusaha sekeras mungkin menyesuaikan jadwal
risetnya sehingga dapat berada di Jakarta untuk melaksanakan Hak
Memilih pada Pemilu DPR, DPD, dan DPRD (5 April 2004) serta Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden (5 Juli 2004). Sejalan dengan tekanan riset
yang makin ekstensif menjelang penyelesaian disertasi, PEMOHON yang
sedang berada di Nijmegen Belanda tidak dapat pulang ke Indonesia
untuk menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu DPR, DPD, dan DPRD
pada 5 April 2004 karena alasan ekonomi untuk membeli tiket pesawat
pada waktu itu (yang makin mahal harganya jika jadwal keberangkatan
terus harus disesuaikan). Esensi pernyataan ini: Jika Pemilihan Umum
dilaksanakan sesuai amanat UUD 1945 khususnya Pasal 22E ayat (1)
yang berbunyi, Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali dan Pasal 22E ayat
(2) yang berbunyi, Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden
dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; maka
sesungguhnya Konstitusi sudah menjamin untuk mempermudah
Warga Negara, seperti PEMOHON, merencanakan hanya satu kali
atau satu jadwal setiap lima tahun untuk melaksanakan Hak untuk
Memilih;

Bahwa akhirnya PEMOHON mengeluarkan segala daya dan upaya (dana,


waktu, energi) untuk menempuh perjalanan Nijemegen-Den Haag agar
dapat menggunakan hak pilihnya di Kedutaan Besar Indonesia.
Sesampainya di sana, PEMOHON harus berupaya menjelaskan kondisi
yang dialami serta harus mengupayakan adanya fax Kartu Pemilih serta
Surat Undangan untuk Memilih dari Indonesia; Esensinya: PEMOHON
nyaris kehilangan Hak Pilihnya karena praktek Pemilihan Umum tidak
menjalankan amanat Konstitusi tentang Pemilihan Umum setiap lima
tahun sekali (serentak);

15. Bahwa seperti PEMOHON, amat banyak Warga Negara lain, dengan
aneka latar belakang kehidupan dan pekerjaan, pasti juga bisa memiliki
berbagai kegiatan dan perjalanan yang di sana-sini harus disesuaikan
(yang kadangkala relatif situasional atau mendadak). Karena itulah
Konstitusi
secara prinsipil dan cerdas telah memperhitungkannya dan menyatakan
Pemilihan Umum setiap lima tahun sekali (serentak). Dan pada tataran
praktik ketika Pemilihan Umum tidak dilaksanakan sesuai amanat
Konstitusi, terjadilah perbedaan yang amat signifikan antara jumlah
pemilih yang menggunakan Hak Pilihnya pada Pemilihan Umum DPR,
DPD, dan DPRD dengan jumlah pemilih yang menggunakan Hak Pilihnya
pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Fakta empirik tahun
2004 memperlihatkan, pada Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD,
jumlah Pemilih Terdaftar: 148.000.369. Yang menggunakan Hak Pilih:
124.449.038. Yang tidak menggunakan Hak Pilih: 23.551.331. Tahun
2004, pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Pertama, jumlah
Pemilih Terdaftar: 153.320.544. Yang menggunakan Hak Pilih:
122.293.844. Yang tidak menggunakan Hak Pilih: 31.026.700. Pada
Pemilu 2009, untuk Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD,
jumlah Pemilih Terdaftar: 171.265.442. Yang menggunakan Hak Pilih:
121.588.366. Yang tidak menggunakan Hak Pilih: 49.677.076. Tahun
2009, pada Pemilu Presiden dan wakil Presiden Putaran Pertama, jumlah
Pemilih Terdaftar: 176.411.434. Yang menggunakan Hak Pilih:
127.179.375. Yang tidak menggunakan Hak Pilih: 49.212.161. Esensinya:
walau masih terbuka beberapa alasan untuk tidak menggunakan Hak
Pilih, namun jika Pemilihan Umum dilaksanakan sesuai amanat Konstitusi
yaitu lima tahun sekali (serentak) untuk memilih (sekaligus) anggota DPR,
DPD, DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden, maka setidaknya setiap
Pemilihan Umum akan mendapatkan partisipasi pemilih yang paling
tinggi di antara Pemilu DPR, DPR, dan DPRD, dengan Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden. Angka selisihnya amat besar. Pada tahun
2004, selisihnya
2.155.194 Pemilih. Pada tahun 2009, selisihnya 5.591.009 Pemilih;

16. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas telah nyata beberapa Hak
Konstitusional PEMOHON yang telah dirugikan akibat tidak
diselenggarakannya Pemilihan Umum secara serentak sesuai Pasal 22E
ayat (1) dan (2) UUD 1945, yakni: a) Hak Konstitusional PEMOHON
sebagai warga negara untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum yang
adil sebagaimana dijamin ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; b) Hak
Konstitusional PEMOHON sebagai warga negara untuk memilih dan dipilih
yang telah dijamin tegas di dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 khususnya terkait dengan Political Efficacy
(Kecerdasan Berpolitik) dan Peluang Presidential Coattail yang
dapat mengefektifkan dan menstabilkan Pemerintahan Presidensial;
c) Hak Konstitusional PEMOHON sebagai warga negara dan bersama
seluruh warga negara lainnya untuk mendapatkan pembangunan
infrastruktur dan pelayanan publik serta Sistem Perekonomian berkeadilan
dan berkelanjutan yang merupakan Hak Konstitusional warga negara dari
(sebagai ganti) pemborosan APBN/APBD yang digelontorkan untuk
pelaksanaan Pemilihan Umum yang tidak serentak;
17. Bahwa uraian di atas membuktikan bahwa PEMOHON memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai PEMOHON
dalam permohonan pengujian undang-undang ini. Oleh karenanya,
PEMOHON memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi,
kiranya dalam putusannya nanti menyatakan bahwa PEMOHON memiliki
kedudukan hukum (legal standing) dalam memohon pengujian undang-
undang dalam perkara ini.

C. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN

1. Bahwa meskipun Pasal 3 ayat (5) dan Pasal 9 UU 42/2008 telah pernah
dimintakan pengujian di hadapan Mahkamah seperti sebagaimana dalam
Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dan dalam putusan-putusan
Mahkamah yang lain;

2. Namun demikian, berdasarkan ketentuan:

a. Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan:

1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam


undang- undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian
kembali.
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar
pengujian berbeda.
b. Berdasarkan ketentuan Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman
Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU
yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian
UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama
dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat
dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat
konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang
bersangkutan berbeda.
Atas dasar tersebut, PEMOHON bermaksud melakukan pengujian
kembali pasal tersebut dengan alasan konstitusional dan kerugian
konstitusional yang berbeda, sebagai berikut di bawah ini.
3. Alasan konstitusionalnya merupakan sesuatu yang baru yakni: a)
HAK WARGA NEGARA UNTUK MEMILIH yang terdapat di dalam hak-
hak warga negara yang dijamin Konsitusi berupa persamaan kedudukan
di dalam hukum dan pemerintahan [Pasal 27 ayat (1)], hak untuk
memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum [Pasal 28D ayat
(1)], hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan
[Pasal 28D ayat (3)]; semuanya itu merupakan bentuk dari perwujudan
kedaulatan rakyat [Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (1)]. Namun kini
seutuhnya harus disebut sebagai HAK WARGA NEGARA UNTUK
MEMILIH SECARA CERDAS DAN EFISIEN PADA PEMILIHAN UMUM
SERENTAK sebagaimana diamanatkan oleh UUD Negara Republik
Indonesia 1945 khususnya Pasal 22E ayat (1) yang berbunyi, Pemilihan
umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil setiap lima tahun sekali dan Pasal 22E ayat (2) yang berbunyi,
Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
b) HAK WARGA NEGARA UNTUK MEMILIH SECARA CERDAS PADA
PEMILIHAN UMUM SERENTAK ini terkait dengan Konsep Political
Efficacy di mana warga negara dapat membangun PETA CHECKS &
BALANCES dari Pemerintahan Presidensial dengan keyakinannya
sendiri. Untuk itu warga negara dapat menggunakan Konsep
Presidential Coattail, di mana warga negara memilih Anggota Legislatif
Pusat dan Daerah (bahkan juga di masa depan: Kepala Daerah) yang
berasal dari
Partai yang sama dengan Calon Presiden & Wakil Presiden. Kadangkala
juga disebut Straight Ticket. Atau warga negara dapat menggunakan
Political Efficacy-nya untuk memilih Calon Presiden & Wakil Presiden
yang tidak berasal dari partai yang sama dengan Anggota Legislatif Pusat
dan Daerah (bahkan juga di masa depan: Kepala Daerah). Pemilihan ini
semata-mata dalam ilmu komunikasi politik modern didasarkan pada
Karakter yang disampaikan melalui narasi komunikasi politik tentang
bagaimana Pemimpin tersebut membuat Rencana Program yang
mendahulukan Kepentingan Warga Negara;
4. Hak Konstitusional dan Kenyataan Empirik ini sebetulnya telah
diakui oleh Pemerintah yang diwakili oleh Denny Indrayana, SH., LL.M.,
Ph.D., Staf Khusus Presiden, yang memberikan keterangan secara lisan
dan tertulis (pada persidangan tanggal 13 Januari 2009 Perkara Nomor
56/PUU- VI/2008). Denny Indrayana antara lain mengatakan: Selanjutnya
persyaratan partai politik dan tidak membuka ruang calon perseorangan
sebenarnya konsisten dengan upaya membangun sistem presidential ke
depan yang lebih efektif dengan membuka jalur jembatan penghubung
antara legislatif dan eksekutif melalui pencalonan partai politik maka ada
kesempatan design kita dimana rakyat kemudian dapat melakukan
misalnya pilihan-pilihan straight ticket atau split ticket. Straight ticket dia
memilih Calon Presiden yang sama dengan partai politik yang
didukungnya yang memilih Capres yang bersangkutan. Di Amerika Serikat
tidak jarang ada split ticket, memang sengaja pemilih memilih partai
tertentu di kongres yang tidak sama dengan Calon Presidennya. Ini
pilihan-pilihan ke depan yang memungkinkan design pemerintahan kita
akan lebih efektif kalau dilaksanakan secara konsisten;
5. HAK WARGA NEGARA UNTUK MEMILIH SECARA EFISIEN PADA
PEMILIHAN UMUM SERENTAK terkait dengan penggunaan waktu,
energi, biaya warga negara untuk melaksanakan Hak Pilihnya yang lebih
terjamin dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum Serentak. Tentu hal
ini amat erat kaitannya dengan Partisipasi Politik Warga Negara untuk
memilih. Walau masih terbuka beberapa alasan untuk tidak menggunakan
Hak Pilih, namun jika Pemilihan Umum dilaksanakan sesuai amanat
Konstitusi yaitu lima tahun sekali (serentak) untuk memilih (sekaligus)
anggota DPR, DPD,
DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden, maka setidaknya setiap
Pemilihan Umum akan mendapatkan partisipasi pemilih yang paling
tinggi di antara Pemilu DPR, DPR, dan DPRD, dengan Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden. Angka selisihnya (yang bisa berarti warga
negara yang terhambat dalam penggunaan waktu, energi, dan biaya
untuk melaksanakan Hak Pilihnya) amat signifikan. Pada tahun 2004,
selisihnya
2.155.194 Pemilih. Pada tahun 2009, selisihnya 5.591.009 Pemilih;

6. Pada sisi EFISIENSI PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM,


berdasarkan riset pendahuluan PEMOHON, perhitungan Pemborosan
Penyelenggaraan Pemilu Tidak Serentak (berasal dari APBN & APBD, dan
juga pajak warga negara) bisa berkisar antara 5 hingga 10 Trilyun Rupiah
dalam hal Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dibuat terpisah dengan
Pemilu Anggota DPR/D dan DPD; atau sampai berkisar 20 hingga 26
Trilyun (karena Pemilu Kepala Daerah tidak dapat dilaksanakan secara
serentak pula). Sementara itu Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 berbunyi,
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan. Kemudian Pasal 33 ayat (4) UUD
1945, berbunyi, Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Pasal
28H ayat
(1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 adalah salah satu bukti bahwa Indonesia
menganut negara kesejahteraan (social service state). Dalam kerangka
berpikir negara kesejahteraan, negara bukan hanya berurusan dengan
masalah pemberian jaminan kepada individu supaya dapat melaksanakan
hak-hak politiknya, tetapi juga meliputi berbagai aspek sosial, budaya, dan
ekonomi yang bersifat sangat kompleks. Dengan demikian,
penyelenggaraan Pemilu yang dilakukan tidak serentak sehingga
tidak efisien melanggar atau mengganggu pemenuhan Hak
Konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin
serta untuk hidup dalam Sistem Perekonomian Nasional yang
diselenggarakan dengan prinsip kebersamaan, efisien berkeadilan dan
berkelanjutan [Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945];
7. Dengan keseluruhan alasan konstitusional untuk pengujian yang baru ini,
maka tidak dapat lagi dinyatakan kebenaran tunggal bahwa pemerintahan
Sistem Presidensial hanya akan stabil dan efektif jika mendapat basis
dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat, yang harus melalui Pemilihan
Umum Anggota DPR terlebih dahulu untuk menentukan dukungan
tersebut yang disimbolkan dengan Presidential Treshold. Lagipula,
sekalipun angka-angka Presidential Treshold ini merupakan Legal Policy
yang sah, ia mengandung kesalahan logika serius dalam Ilmu Komunikasi
Politik. Persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 % dari jumlah kursi
DPR tidak langsung berarti basis dukungan untuk Pemerintahan
Presidensial yang stabil dan efektif, mengingat di luar mereka bisa
terdapat 80 % yang tidak mendukung, terutama jika kebijakan dan
program Presiden tidak mengutamakan kepentingan warga negara.
Apalagi perolehan 25 % suara sah nasional, yang dapat saja berarti
gabungan dari suara partai- partai yang tidak berhasil duduk di DPR (tak
memenuhi Parliamentary Treshold), tentu bukan merupakan basis
dukungan DPR untuk Pemerintahan Presidensial yang stabil dan efektif.
Di atas itu semua, Pengalaman Empirik Presiden 2009-2014 yang
memiliki Sekretariat Gabungan di DPR (merupakan gabungan sekitar 75%
dari 560 kursi DPR) menunjukkan hal yang sangat berbeda. Presiden
sering mengeluh atas kinerja kabinetnya yang dibentuk dengan
pertimbangan koalisi di DPR (Sekretariat Gabungan tersebut); dan dalam
beberapa Ajuan Program Pemerintah/Presiden seperti Rencana Kenaikan
Harga Bahan Bakar Minyak, Sekretariat Gabungan di DPR ternyata tidak
merupakan basis dukungan untuk lolosnya Program tersebut.

Beberapa kalangan Peneliti Komunikasi Politik kadangkala mengaitkan


aneka Treshold ini dengan sebagian isi Kuliah Umum Hakim Konstitusi Dr.
H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum. (yang diselenggarakan oleh
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang,
1/12/2012), bahwa hukum dibentuk oleh negara sedangkan negara
ujungnya manusia sebagai pelaksananya, dimana manusia memiliki nafsu
dan tendensi maka karenanya mereka harus memiliki pengetahuan,
pemahaman dan kehendak yang kuat mengawal kehidupan bernegara
secara benar. Namun sejarah telah membuktikan banyak hukum yang
dibuat hanya untuk mempertahankan kekuasaan bisa jadi karena rasa
takut, dan lain-lain.

Sebagian Peneliti Komunikasi Politik lain dapat pula memperbandingkan


kebijakan Treshold ini dengan pembentukan berbagai Peraturan Daerah
yang merupakan kelanjutan dari pemekaran wilayah sebagai buah
reformasi; yang menekankan perlunya pelaksanaan otonomi daerah
dengan pembentukan Peraturan Daerah. Dalam konteks kajian
perempuan, menurut Hakim Konstitusi Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H.,
M.H., semula peraturan-peraturan ini mewacanakan perlindungan
terhadap perempuan dan anak dengan dalih moral dan akhlak. Namun,
dalam perumusannya justru menampilkan peraturan yang menyudutkan
dan mengekang aktivitas perempuan (Pidato Kunci berjudul Pengaturan
dan Penegakan Hukum Terhadap Perempuan pada Pengetahuan dari
Perempuan: Prosiding Konferensi Tentang Hukum dan Penghukuman,
28/10/2010, Kerjasama Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan dengan Program Studi Kajian Wanita Program Pascasarjana
Universitas Indonesia). Demikian pula Presidential Treshold ini semula
mungkin diwacanakan untuk menghasilkan Presiden & Wakil Presiden
dengan Pemerintahan yang berkualitas (stabil dan efektif), namun dalam
perumusannya justru dapat menampilkan peraturan yang menyudutkan
dan menghalangi kesempatan bagi tampilnya Calon Presiden yang
berkualitas;

8. Hanya alasan konstitusional yang baru ini yang sejalan dengan original
intent mereka yang terlibat dalam Perubahan Undang-Undang Dasar yang
jelas menyebut istilah Pemilu Serentak atau Pemilu Lima Kotak; serta
hanya Alasan Konstitusional yang baru ini yang sejalan dengan salah satu
kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945 yang disepakati oleh
seluruh fraksi pada Sidang Umum MPR 1999 yaitu: sepakat untuk
mempertahankan Sistem Presidensial (dalam pengertian sekaligus
menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum Sistem
Presidensial);
9. Tentu saja bisa terdapat argumen yang mengatakan: untuk membangun
demokrasi yang lebih baik tidak disangkal dibutuhkan biaya yang besar
serta proses yang panjang (antara lain dengan Pemilihan Umum yang
berkali-kali). Namun argumen yang lebih benar adalah: Pembangunan
demokrasi yang seperti itu tidak hanya boros (karenanya menghilangkan
pemenuhan Hak-Hak Konstitusional lainnya dari Warga Negara), tapi juga
tidak efisien sehingga dapat mengganggu Pelaksanaan Hak Pilih dan
Partisipasi Politik, serta sekaligus MENGINGKARI KESEPAKATAN
TENTANG ARAH PERUBAHAN UUD 1945 dan ORIGINAL INTENT
(PENYUSUN PERUBAHAN) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945; dan karenanya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2),
Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22E ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 27 ayat (1). Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal
28H
ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) UUD1945;

9. Adanya Pemilihan Umum yang dilaksanakan secara serentak akan


mendorong partai politik lebih cermat dalam menentukan arah
kaderisasinya, apakah ke arah anggota legislatif di tingkat mana, ataukah
ke arah Presiden dan Wakil Presiden, dan di masa depan ke arah calon
kepala daerah di tingkat mana (sehingga tidak terjadi seorang kader
mencoba mencari peruntungan politik di aneka tingkatan pada aneka
tahun pemilihan). Pemilihan Umum yang dilaksanakan secara serentak
juga sering dikaitkan dengan peluang memunculkan pemimpin-pemimpin
eksekutif alternatif. NAMUN manfaat-manfaat sertaan ini tidak boleh
diletakkan lebih tinggi dari Alasan Konstitusional (batu uji atau pintu masuk
pengujian): HAK WARGA NEGARA UNTUK MEMILIH SECARA CERDAS
DAN EFISIEN PADA PEMILIHAN UMUM SERENTAK. Mengaitkan antara
alasan konstitusional seperti ini dengan munculnya Calon Presiden
Alternatif barangkali dapat dianalogikan dengan suara-suara yang
menyatakan bahwa seorang Hakim Konstitusi tidak etis untuk
mengomentari soal Mafia Narkoba di Istana atau Bocornya Sprindik di
KPK. Padahal dalam Komunikasi Politik, terdapat konvensi yang
menyatakan justru- merupakan kewajiban etis bagi Ilmuwan Komunikasi
Politik dan Pejabat Publik untuk berdiri dan menyatakan sesuatu yang
diketahuinya dengan baik semata demi kepentingan publik. Esensinya:
pembicaraan tentang Calon Presiden & Calon Wakil Presiden Alternatif
adalah akibat logis sekaligus etis ketika dinyatakan bahwa HANYA
DENGAN PEMILIHAN UMUM SERENTAK WARGA NEGARA DAPAT
MELAKSANAKAN HAKNYA UNTUK MEMILIH SECARA CERDAS

(menggunakan Presidential Coattail & Political Efficacy) DAN EFISEN.


10. Adanya Pemilihan Umum yang dilaksanakan secara serentak juga sering
dikaitkan dengan Penghematan serta Pencegahan KORUPSI POLITIK,
bersamaan dengan Pencegahan POLITIK UANG yang bisa mencapai
ratusan Triliun. NAMUN manfaat-manfaat sertaan ini pun tidak boleh
diletakkan lebih tinggi dari Alasan Konstitusional (batu uji atau pintu masuk
pengujian): HAK WARGA NEGARA UNTUK MEMILIH SECARA CERDAS
DAN EFISIEN PADA PEMILIHAN UMUM SERENTAK. Ke masa depan,
setidaknya seorang pakar yang sudah diwawancarai dalam Riset
Pendahuluan oleh PEMOHON telah menyatakan bahwa jika negara
menyediakan Sistem Political Financing sekitar 5 Trilyun Rupiah disertai
dengan pembatasan-pembatasan pengeluaran partai politik, maka
Pencegahan Biaya Politik yang tinggi terkait dengan Korupsi Politik dapat
dilakukan secara signifikan;

Konteks yang kronis ini sebagai perbandingan- misalnya terdapat pula


dalam aneka konflik perkebunan yang meruyak di aneka daerah dan
diwarnai kontestasi bisnis dan hak asasi manusia. Hakim Konstitusi Prof.
Dr. Achmad Sodiki, S.H. dalam makalahnya (pada Diskusi dan Peluncuran
Buku dengan tema Konflik Perkebunan: Kontestasi Bisnis dan Hak Asasi
Manusia yang diselenggarakan oleh ELSAM, 28/6/2012) antara lain
menyatakan, negara seharusnya melakukan hal hal yang substantif
dengan cara menghindari dan mencegah dikeluarkannya keputusan-
keputusan serta tindakan yang menyebabkan kerugian baik bagi negara
maupun rakyat yang berhubungan dengan perkebunan. Selanjutnya
melakukan regulasi terhadap peraturan maupun keputusan yang
merugikan kepentingan rakyat. Esensinya: dalam Political Financing pun
dibutuhkan peranan negara menyangkut hal-hal yang substantif untuk
mencegah terjadinya kerugian rakyat lebih jauh; khususnya ketika korupsi
politik terus terjadi untuk pembiayaan politik, mengakibatkan
pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik masih jauh dari harapan
(di tengah kontestasi bisnis survei + konsultan politik dengan kecerdasan
berpolitik warga negara);
11. Bahwa Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menyatakan, Pemilihan umum
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
setiap lima tahun sekali. Berdasarkan norma konstitusi tersebut maka
konstitusi mengamanatkan hanya ada satu Pemilu dalam kurun waktu
lima tahun. Selanjutnya Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 langsung diikuti
oleh ayat
(2) dalam satu tarikan nafas- yang menyatakan, Pemilihan umum
diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Norma konstitusi tersebut mengandung arti
bahwa, Pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali itu diamanatkan
untuk sekaligus (serentak) memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 menyatakan
bahwa, Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur
dengan undang-undang. Norma konstitusi tersebut sejalan dan
memperkuat (satu tarikan nafas) Pasal 22 E ayat (1) dan (2) dengan
mengamanatkan agar Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E
ayat (2) diatur dalam satu undang-undang saja karena UUD 1945
menggunakan istilah diatur dengan undang-undang, bukan dalam
undang-undang, sehingga seharusnya diatur dengan satu undang-
undang yaitu undang-undang tentang pemilihan umum anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

12. Bahwa Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa Pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum. Norma konstitusi tersebut mengandung
arti bahwa pasangan calon Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan
umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum, sedangkan pemilihan
umum sesuai dimaksud Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945 tersebut di
atas;

13. Bahwa ketika melihat perdebatan yang terjadi saat pembahasan


ketentuan mengenai pemilu dalam proses perubahan UUD 1945, untuk
pemilu Presiden dan Wakil Presiden pendapat yang menguat adalah
dilaksanakan secara serentak dengan pemilu anggota DPR, DPD, dan
DPRD. Pendapat ini dikemukakan, baik dalam pembahasan Bab
mengenai Pemilu (Pasal
22E) maupun mengenai Pemilu Presiden (Pasal 6 dan Pasal 6A). Ada 3
argumentasi yang mendukung pendapat tersebut. Pertama dari sisi
anggaran pemilu serentak akan menghemat biaya pelaksanaan pemilu
sehingga tidak akan membebani rakyat. Kedua, dengan pemilu serentak
diharapkan presiden yang terpilih berasal dari partai pemenang pemilu,
sedangkan dalam memilih anggota DPR dan DPRD rakyat juga
mempertimbangkan Presiden dan Wakil Presiden yang diusung. Ketiga,
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara serentak dengan pemilu
legislatif akan memperkecil resiko dampak sosial dan politik. Kuatnya
pendapat pelaksanaan pemilu serentak juga tercermin dari adanya usulan
ayat khusus dalam Pasal 22E, yang menyatakan bahwa Pemilu
dilaksanakan secara serentak lima tahun sekali. Dalam rancangan Pasal
22E, kata serentak juga sempat masuk sebagai salah satu asas Pemilu
dalam ayat (1), bersama-sama asas langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil. Namun akhirnya kata serentak dihapuskan dengan
pertimbangan akan diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
Pertimbangan lainnya terkait dengan pelaksanaan pemilu kepala daerah
yang harus disesuaikan dengan akhir masa jabatan kepala daerah yang
berbeda-beda. Hal ini dengan sendirinya menunjukkan bahwa pemilu
kepala daerah memang tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan secara
serentak dengan pemilu nasional. Pembahasan pemilu presiden dan
pemilu legislatif secara serentak juga terjadi pada saat pembahasan
Pasal 6A. Pembahasan melahirkan rumusan Pasal 6A ayat (2) yang
menyatakan, Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum
sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Frasa sebelum pelaksanaan
pemilihan umum pada saat pembahasan merujuk pada waktu sebelum
pelaksanaan pemilu legislatif (Janedjri M.Gaffar. 2012. Politik Hukum
Pemilu. Jakarta: Konpress, hal. 72-73);

14. Namun ternyata, ketentuan-ketentuan konstitusional dan original intent


Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 tersebut diimplementasikan
secara menyimpang oleh pembentuk undang-undang dengan membuat
norma yang bertentangan dengan UUD 1945 melalui UU 42/2008
khususnya Pasal 3 ayat (5) yang berbunyi, Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan
umum anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dengan norma tersebut maka
pelaksanaan Pemilu dalam kurun waktu 5 tahun menjadi lebih dari satu
kali (tidak serentak) yakni Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, lalu
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;

15. Bahwa semua penjelasan di atas saling menunjang dan membuat makin
jernih untuk memahami berbagai pertimbangan yang bisa menjegal
Pemilihan Umum Serentak. Misal, karena menurut Pasal 3 ayat (2) UUD
1945, MPR yang melantik Presiden dan Wakil Presiden, maka logikanya
MPR yang anggotanya terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang
dipilih melalui Pemilu sudah harus terbentuk terlebih dahulu sehingga
Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD harus didahulukan dari Pemilu
Presiden. Ini kurang relevan dan terlalu menyederhanakan masalah,
karena penyelenggaraan Pemilu secara bersama-sama/serempak tidak
berarti bahwa anggota DPR dan anggota DPD yang juga otomatis
anggota MPR tidak dapat dilantik lebih dahulu (Pendapat Berbeda Hakim
Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan M. Akil Mochtar
pada Putusan 51- 52-59/PUU-VI/2008);

16. Bahwa begitu pula argumentasi yang mengatakan: penyelenggaraan


Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD lebih dahulu dari pada Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden sudah merupakan konvensi ketatanegaraan,
juga sulit untuk diterima, karena baru berlangsung dua kali (tahun 2004
dan 2009) yang belum bisa dikualifikasi sebagai konvensi ketatanegaraan.
Terlebih lagi, Indonesia masih berada dalam proses transisi menuju
demokrasi untuk pembentukan sistem (system building) dan format yang
tepat dalam kehidupan kenegaraan menurut UUD 1945 (Pendapat
Berbeda Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan
M. Akil Mochtar pada Putusan 51-52-59/PUU-VI/2008);

17. Bahwa oleh karena Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 telah nyata-nyata
bertentangan dengan UUD 1945, maka ketentuan:

a. Pasal 9 UU 42/2008 yang berbunyi Pasangan Calon diusulkan oleh


Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang
memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh
persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima
persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum
pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;

b. Pasal 12 ayat (1) dan (2) UU 42/2008 yang berbunyi:

(1) Partai Politik atau Gabungan Partai Politik dapat mengumumkan


bakal calon Presiden dan/atau bakal calon Wakil Presiden dalam
kampanye pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD;

(2) Bakal calon Presiden dan/atau bakal calon Wakil Presiden yang
diumumkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah mendapatkan
persetujuan tertulis dari bakal calon yang bersangkutan.

c. Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008 yang berbunyi Masa pendaftaran


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama 7 (tujuh) hari
terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR;

d. Pasal 112 UU Pilpres yang berbunyi, Pemungutan suara Pemilu


Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling lama 3 (tiga) bulan
setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Secara mutatis mutandis bertentangan dengan UUD 1945, karena


bertentangan dengan spirit pelaksanaan Pemilu Serentak sesuai
UUD 1945 dan harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
mengikat.

PERMOHONAN PEMERIKSAAN PRIORITAS

Mengingat Tahapan Pemilihan Umum 2014 telah berjalan dan beberapa


bulan lagi akan menjelang Tahap Pengusulan Nama-Nama Calon Legislatif,
dalam kerangka pelaksanaan Pemilihan Umum Tidak Serentak yang masih
melanjutkan praktek yang bertentangan dengan Konstitusi serta Original
Intent Penyusun Konstitusi/Perubahan Undang-Undang Dasar, maka
PEMOHON memohon agar kiranya Mahkamah Konstitusi memberikan
prioritas berkenan memeriksa, memutus dan mengadili perkara ini dalam
waktu yang tidak terlalu lama agar pelaksanaan Pemilu dimaksud segera
mendapat kepastian hukum; Bersamaan dengan itu, hasil riset awal yang
dilakukan PEMOHON, di antaranya wawancara dengan beberapa
Komisaris
Komisi Pemilihan Umum, memperlihatkan bahwa KPU siap melaksanakan
Pemilu lima tahun sekali atau Serentak atau Pemilu Lima Kotak sesuai
dengan Konstitusi, di tahun 2014.

D. PETITUM
Bahwa berdasarkan alasan-alasan hukum yang telah diuraikan tersebut di
atas, maka PEMOHON meminta agar Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia dapat mengabulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Mengabulkan permohonan yang dimohonkan PEMOHON untuk


seluruhnya;

2. Menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14
ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4924) bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

3. Menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14
ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4924) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat;

4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik


Indonesia sebagaimana mestinya.

Demikian permohonan pengujian (judicial review) ini, apabila Mahkamah


Konstitusi berpendapat lain mohon putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono).

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon telah


mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan
bukti P-7, sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Effendi Gazali,
Ph.D., MPS ID (Pemohon);
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
Bukti P-4 : Fotokopi NPWP 06.790.008.4-005.000, atas nama Effendi
Gazali, Ph.D., MPS ID (Pemohon);
Bukti P-5 : Fotokopi artikel Pemilu Serentak yang Mana? oleh Didik
Supriyanto (http;//www.rumahpemilu/read/541/Pemilu-
Serentak-yang-Mana-Oleh-Didik-Supriyanto;
Bukti P-6 : Fotokopi Pernyataan Tokoh Lintas-Agama, Jakarta, 24
September 2012;
Bukti P-7 : Fotokopi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun
2012 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 07 Tahun 2012 tentang Tahapan,
Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Anggota
DPR, DPD, DPRD Tahun 2014 sebagaimana diubah terakhir
dengan Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2012;
Selain itu, Pemohon mengajukan keterangan 3 (tiga) orang ahli atas nama
Irman Putra Sidin, Hamdi Muluk, Didik Supriyanto, dan keterangan ad
informandum Slamet Effendy Yusuf yang telah dibaca dan didengarkan dalam
persidangan tanggal 14 Maret 2013, serta keterangan tertulis ahli Saldi Isra,
yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
1. Irman Putra Sidin
Pertanyaaan awal yang rumit untuk dijawab dari perkara ini adalah
apakah pemilu yang dilaksanakan selama ini pemisahan pemilu legislatif dan
pemilu presiden adalah pemilu yang inkonstitusional? Apakah kemudian
hasilnya itu melahirkan legislatif dan Presiden yang juga inkonstitusional?
Jawabannya, tentu tidak dengan mudah dijawab dengan teori sebab
akibat, karena sesungguhnya konstitusi itu sendiri punya daur hidupnya. Hari ini
konsep konstitusionalnya adalah pemilu tak serentak maka bisa jadi besok
muncul konsep baru yaitu pemilu serentak dan memaksa sebuah negara untuk
meninggalkan konsep lama. Hal ini bisa jadi diakibatkan, proses pilihan
model pemilu itu ternyata lahir dengan desain kebutuhan konstitusional yang
tak jelas atau kemudian ternyata tak terbukti setelah melewati masa atau
kurun waktu terentu guna layak uji.
Pada prinsipnya prinsip konstitusional open legal policy bukanlah kertas
kosong yang bisa ditulis apa saja pembentuk undang undang. Harus ada
dasarnya, motifnya, tujuan atau terdapat kebutuhan konstitusional untuk
menentukan pilihan- pilihan itu. Inilah yang disebut konsep akuntabilitas
konstitusi bagi para pembentuk undang undang di hadapan konstitusi.
Jikalau ternyata tidak ada kebutuhan konstitusional atau ternyata dasar,
motif, atau tujuan hukum dibalik pilihan model tersebut ternyata tidak
terbukti, atau kebutuhan konstitusional ketika pilihan itu dibuat pada masa
tertentu ternyata sudah tak dibutuhkan lagi maka tentunya pilihan tersebut
sesungguhnya bisa menjadi inkonstitusional pada masa depan. Kondisi seperti
ini bisa saja tergolong pada masanya sebagai hal yang kemudian secara nyata-
nyata telah bertentangan dengan konstitusi. Tentunya konsep pemikiran ini
disepakati jikalau kita sepakat bahwa konstitusi sebagai pusat gravitasi
dalam mendesain proses demokrasi bahkan mendesain proses bernegara.
Dalam putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, setidaknya pilihan
bahwa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah
pelaksanaan Pemilu DPR, DPRD dan DPD dibenarkan karena sebuah teori
kebiasaan atau konvensi ketatanegaraan. Pertanyaannya apakah kemudian
konstitusi harus terus bertahan dengan konstruksi karena sudah kebiasaan
selanjutnya di kemudian hari bahwa kebiasaan ketatanegaraan itu secara nyata
mulai dirasakan merugikan hak konstitusional warga atau perlahan
mendestruksi konstitusi, maka kebiasaan tersebut terus saja dianggap
kebiasaaan yang tetap konstitusional?
Tentunya apa yang diceritakan oleh pemohon dalam pengalaman
empirisnya adalah bisa jadi cermin yang bisa mewakili, bahwa sebuah pilihan
kebijakan, yang dulu konstitusional karena dinilai sebagai kebiasaan atau
konvensi, kini perlahan mulai menampakkan gejala secara nyata merugikan hak
konstitusional warga negara (the living Constitution)
Dalam dua periode pemilu, sudah cukup masanya untuk menilai bahwa
apakah pilihan model pemilu seperti yang kita lakukan selama ini sudah
berdaya guna dan berhasil guna sebagai jawaban atas motif, tujuan, dasar
atau kebutuhan konstitusional di balik munculnya piihan tersebut.
Hal inilah kemudian akan coba diurai bahwa setidaknya ada beberapa
motif, alasan, tujuan kebutuhan yang melatarbelakangi pembentuk undang-
undang guna menentukan model pilihan pelaksaaan pemilu tak serentak. Motif
atau dasar inilah yang kemudian mendapatkan basis pembenaran
konstitusional sebagai kebiasaan dalam Putusan MK 51-52-59/PUU-VI/2008
yang lalu diantaranya.

1. Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden sulit dilaksanakan


bersamaan dengan pemilihan umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
karena untuk dapat terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara pemilih
dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari
setengah provinsi di Indonesia sulit di penuhi dengan satu kali putaran,
apabila terdapat lebih dari dua Pasangan Calon Presiden dan Wakil
Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta Pemilu tahun 2009;
2. Pemilu serentak berpengaruh terhadap penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan di daerah;
3. Pemilu tak serentak karena lebih didasarkan pada pertimbangan
persoalan- persoalan teknis penyelenggaraan Pemilu yang kalau
pelaksanaannya dilakukan secara simultan akan menimbulkan kerepotan
dan kesulitan pelaksanaan teknis penyelenggaraan Pemilu;
4. Pengaturan terhadap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam Undang-
Undang ini juga dimaksudkan untuk menegaskan sistem presidensial yang
kuat dan efektif, dimana presiden dan wakil presiden terpilih tidak
hanya memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyat, namun dalam rangka
mewujudkan efektivitas pemerintahan juga diperlukan basis dukungan
dari Dewan Perwakilan Rakyat;
Setidaknya 4 alasan inilah yang menjadi motif atau dasar atau kebutuhan
konstitusional pembentuk undang undang dibalik pilihan pemilu tak serentak
tersebut. Pertanyaannya, apakah motif ini masih relevan di tengah dua
periode pemilu 2004 dan 2009 kemarin? Jikalau ternyata motif diatas sudah
tidak relevan lagi, maka tidak ada alasan guna mengonservasi kebiasaaan
ini guna tetap masih menjadi produk konstitusional. Perlahan diyakini bahwa
kebiasaan ini perlahan namun pasti mendestruksi hak-hak konstitusional rakyat
seperti yang digambarkan pemohon, yang kemudian ternyata juga diyakini
bahwa destruksi konstitusi tersebut cenderung bergerak masif akibat
menimbulkan lebih banyak kerugian daripada manfaat.
Bahwa motif pertama mengenai kemungkinan lebih dari dua pasangan
calon presiden jikalau pemilu dilakukan serentak, nampaknya sudah tak relevan.
Selama ini Pemilu legislatif didahulukan juga menghasilkan lebih dari dua
pasangan calon, bahwa kemudian pasangan SBY Budiono terpilih dalam satu
putaran, bukan karena pemilu dilaksanakan tak serentak tapi karena popularitas
dan elektabilitas pasangan ini memang mendominasi ketika pemilu 2009
kemarin.
Bahwa alasan pemilu serentak menggangu pemerintahan juga
merupakan alasan paranoid, karena pemerintahan itu terganggu dari berbagai
macam aspek, bukan karena pemilu. Begitu pula bahwa pemilu serentak bisa
menyulitkan penyelenggara pemilu, seandainya ternyata alasan ini terbantahkan
bahwa pemilu serentak atau 5 kotak justru semakin mempermudah
penyelenggaraan pemilu maka motif hukum ini pun sudah kehilangan basisnya,
untuk tetap mempertahankan pilihan model pelaksanaan pemilu seperti saat ini
sebagai konstruksi kebiasaan ketatanegarann yang harus tetap konstitusional.
Alasan yang mungkin klenik adalah bahwa selain legitimasi rakyat,
Presiden juga harus mendapatkan dukungan DPR. Seperti diketahui bahwa
Presiden terpilih 2009 mendapatkan dukungan DPR melalui kontrak politik
yang kemudian diberikan nama dengan Sekretariat Gabungan, yang melebihi
50% bahkan nyaris kurang lebih 2/3 kekuatan politik di DPR. Kontrak politik ini
diperolehnya setelah yang bersangkutan terpilih menjadi pasangan Presiden.
Artinya, kalau berbicara dukungan DPR, maka hal tersebut bisa dibangun
setelah seluruh pelaksaaan Pemilu rampung, atau setelah Presiden terpilih dan
parlemen terbentuk dalam sebuah pemilu yang dilakukan serentak.
Di lain pihak, diketahui bahwa dukungan DPR yang begitu besar bagi
Presiden saat ini, melalui Sekretariat Gabungan bahkan diperkuat dengan
instrumen kontrak politik koalisi, ternyata tidak memberikan jaminan
pemerintahan presidensial akan menjadi tenang. Relasi politik yang hingar
bingar antara kekuatan politik dari parpol dan parlemen tetap terjadi. Hal ini
salah satu konsekuensi demokrasi yang menimbulkan ketegangan pada dimensi
politik namun tidak pada dimensi konstitusi misalnya buntunya relasi antar
lembaga Presiden dan DPR.
Bagaimanapun, harus disadari bahwa kekuatan partai politik, tak bisa
mengingkari hak konstitusional anggota DPR yang dimilikinya secara
personal dan dijamin oleh UUD 1945. Selain hak yang diatur dalam pasal- pasal
lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat
mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat
serta hak imunitas Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan
usul rancangan undang-undang (Pasal 20A dan 21 UUD 1945).
Hak inilah sesungguhnya menjadi hambatan besar kontrak koalisi politik
seperti yang di lakukan Presiden saat ini dengan kekuatan parpol di DPR,
sehingga apapun bunyi kontrak itu, hak konstitusional anggota DPR tak mampu
terderogasi oleh kontrak tersebut. Hal ini disebabkan karena Parpol tidak
memiliki hak konstitusional dalam lingkup DPR. Bahkan, seperti yang kita lihat
dalam fenomena terakhir saat ini, presidensial kita mengalami sedikit galau
ternyata bukan karena kekuatan oposisi di DPR tapi karena kisruh internal
parpolnya sendiri, yang akhirnya memberikan kesan presidensial kita menjadi
lemah akibat, mendua, antar urus negara dan urus parpol.
Bahwa sesungguhnya sistem kita bukanlah parlementer, yang bisa
membuat jatuh bangunnya kekuasaaan pemerintahan begitu cepat akibat
minimnya dukungan DPR. Ambil contoh, bahwa meski 100% anggota DPR
atau seluruh kekuatan fraksi di DPR, saat ini ingin menjatuhkan
Presiden/Wakil Presiden misalnya Kasus Century, maka tidaklah otomatis
kekuasaan itu akan jatuh. Inilah perbedaaan ketika UUD 45 yang lama, bahwa
Presiden bisa jatuh hanya karena sudah tak mendapatkan dukungan
politik di parlemen seperti era Soekarno, atau Abdurrahman Wahid.
Namun, setelah perubahan UUD 45 maka ada variabel antara yang
sangat kuat antara relasi DPR dan Presiden dalam konstruksi pemakzulan.
Variabel antara ini yang harus mengverfikasi hal tersebut, bahwa DPR bisa
mengusulkan pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden jikalau terbukti
melakukan korupsi, penyuapan, pengkhianatan terhadap negara perbuatan
tercela atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden / W akil Presiden.
Proses pembuktian tersebut juga mengggunakan pisau bedah yang paling
tinggi yaitu UUD 45 oleh Mahkamah Konstitusi.
Jadi bisa dibayangkan, seorang Presiden/Wapres yang terpilih tanpa
dukungan DPR sekalipun, sangat sulit dijatuhkan di tengah jalan. Paling yang
muncul diawal pemerintahan adalah kegaduhan politik, namun kemudian
secara alamiah karena kedua lembaga ini saling membutuhkan perlahan akan
menemukan irisan-irisan kepentingan dan harapannya irisan kepentingan itu
bukan kepentingan pragmatis politik sekedar takut dijatuhkan di tengah jalan
namun adalah kepentingan kenegaraaan seperti kepentingan ideologis di
bidang ekonomi, sosial, budaya guna mensejahterakan rakyat .
Hal inilah bukti bahwa alasan atau motif hukum yang dipakai guna
menentukan pilihan pemilu tak serentak tersebut sesungguhnya tidak bisa lagi
dipertahankan. Oleh karenanya basis kebiasaan atau konvensi ketatanegaraan
yang menjadi pembenaran konstitusional selama ini akan pemilu tak serentak
sesungguhnya sudah kehilangan basis konstitusionalnya.
Oleh karenanya salah satu cara mengakhiri kebiasaan ini adalah
melakukan purifikasi konstitusi. Bahwa Pasal 22E UUD 1945 menyebutkan
bahwa Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilihan umum diselenggarakan untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Artinya bahwa ruang lingkup konstitusional pemilu yang imperatif adalah
menyelenggarakan pemilu baik dalam lingkup legislatif maupun eksekutif. Dari
konsep ini UUD 45 seunggguhnya menegaskan bahwa pelaksaaan dari ruang
lingkup konstitusional pemilu itu adalah setiap 5 tahun sekali. Salah satu yang
prinsipil bahwa sebuah kehidupan bernegara bukan sekedar pemilu, yang
setiap tahun bisa dilaksanakan dalam kurun waktu 5 tahun itu, guna melakukan
pengisian 5 kelembagaan negara.
Prinsip utama bernegara adalah bagaimana negara bisa memberikan
pengurusan dan pelayanan yang maksimal kepada warganya. Jadi, pemilu
bukanlah keutamaaan dalam konstitusi sebuah negara, sehingga harus
dilakukan berkali-kali, apalagi jikalau logika, bisa pemilu 3 kali maka bisa 5 kali,
karena menyangkut pengisan kelembagaan yang berbeda-beda.
Oleh karenanya dengan purifikasi konseptual pemilu menurut konstitusi
dan pelaksanaanya menjadi sekali dalam 5 tahun, atau pemilu menjadi
serentak, justru akan semakin menguatkan posisi partai-partai politik
sebagai pemilik tiket eksklusif untuk menjadi peserta dan pengusul bakal
pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Partai politik yang terdaftar menjadi peserta pemilu, kembali merasakan
kesitimewaan tersebut, dengan model purifkasi konstitusi ini. Purifikasi ini
mengembalikan hak konstitusional parpol guna mengajukan pasangan calon
presiden sebelum pelaksanaaan pemilu [pasal 6A ayat (2) UUD 1945]. Dengan
keitimewaan ini, parpol dapat meminimalisir fenomena kawin paksa guna
mengusulkan pasangan calon, yang bisa membuat rumah tanggga presidensial
terpilih tidak harmonis.
Oleh karenanya sebuah pemilu yang dilakukan 5 kotak adalah bentuk
purifikasi konstitusi sebagai jawaban atas tidak terbuktinya motif dasar
kebutuhan dibalik pilhan pemilu tak serentak selama ini. Purifikasi
konstitusi model seperti ini, tidaklah serta merta diartikan bahwa pemilu yang
sudah berlangsung adalah inkonstitusional, dan hasilnya juga
inkonstitusional, tapi saat ini ternyata ada kebutuhan konstitusional guna
mendesain kembali atau memurnikan kembali pemilu tersebut dengan
melakukan purifikasi. Salah satu alasannya bahwa motif dibalik pilihan model
pemilu terpisah selama ini ternyata bisa jadi hanyalah mimpi buruk pembentuk
undang-undang yang tak terbukti secara nyata, dan harapannya Mahkamah
inilah menjadi garda konstitusi yang melakukan purifikasi itu.
2. Hamdi Muluk

Psikologi politik secara umum dapat didefinisikan sebagai limu yang


mempelajari tingkah laku manusia, terutama tingkah laku yang berkaitan dengan
politik seperti; pengambilan keputusan, pertimbangan politik, perilaku memilih,
partisipasi politik, baik yang dilakukan oleh elit politik ataupun massa atau
masyarakat kebanyakan. Salah satu studi yang sangat menarik perhatian ahli
psikologi politik adalah perilaku memilih (voting behavior).
Perilaku memilih dalam sudut pandang psikologi lebih banyak ditelaah dari
segi kognisi, afeksi (perasaan), dan motivasi dari invididu. Namun kognisi, afeksi
dan motivasi pemilih tidak bisa dilepaskan dari sistem politik yang melingkupi para
pemilih tersebut Studi Donaiterd Granberg dan Soren Holmberg (2010) dalam
bukunya; The Political System Matters: Social Psychology and Voting Behavior in
Sweden and the United States (European Monographs in Social Psychology,
memperlihatkan bahwa disain sistem sangat mempengaruhi para pemilih. Pada
intinya dalam bukunya tersebut mereka memperlihatkan bahwa pemilih harus
dipermudah oleh disain sistem untuk memberikan suara. Salah satu faktor yang
penting juga adalah soal memperjelas kedekatan antara posisi ideologis partai
dan kandidat dengan pemilih. Disain sistem pemilihan yang terlalu banyak
dengan polarisasi partai, isu dan waktu yang tercerai-berai akan
membingungkan pemilih dana menentukan pilihan, yang nanti pada ujungnya
akan mengakibatkan
rendahnya motivasi orang untuk datang ke bilik suara (tercermin dari tingkat
voter turnout yang rendah).
Belakangan hipotesis tentang perlunya mempersempit jarak ini dikemukan
oleh Heather Stoll (2011] dalam tesis tentang jarak waktu pemilihan (temporal
proximity). Dalam studinya ini Soil (2011) berhasil membuat perhitungan bahwa
jarak antar pemilu ke pemilu paling efektif kalau diiakukan mendekati format
keserentakan (concurrent) daripada pemilu yang berjarak panjang (misal:
berjarak tahun, bulan atau minggu). Dalam konteks pemilihan presiden
(presidential election) dan pemilihan angggota legislatif {legislative election) yang
serentak ternyata coattail effect (pemilih memilih presiden dan legislator dari partai
yang sama) kadang terjadi, kadang juga tidak terjadi. Maka isu penyerentakan
pemilu tidak lagi didasarkan untuk mengurangi efek kibaran jas, namun lebih
didasarkan argumen efisiensi waktu, biaya dan beban kognitif para pemilih dan
usaha memperkuat sistem checks and balances dari dua institusi ini (presiden
dan parlemen).
Sistem presidensial pada hakikatnya mempunyai filosofi yang berbeda dari
sistem parlementer. Dalam sistem presidensial, penekanan diletakkan pada
presiden sebagai lembaga eksekutif dengan parlemen (lembaga legislatif)
sebagai pengontrol. Dua lembaga ini langsung mendapat mandat dari rakyat
lewat pemilihan langsung. Jadi daiam sistem presidensial, pemilihan presiden
lebih diutamakan (major election), baru kemudian diikuti oleh pemilihan anggota
legislatif.
Untuk kasus Indonesia, memang agak anomali. Sistem politik kita
sebenarnya tidak terlalu jelas apakah lebih bersifat Parlementer ataukah bersifat
Presidensial. Sebelum Amandemen UUD 1945, presiden tidak dipilih langsung
tetapi dipilih oleh anggota MPR (anggota DPR terpilih dan utusan golongan)
yang bersidang untuk memilih presiden. Setelah Amandemen UUD 1945
khususnya pasal 22E ayat (1) yang berbunyi "Pemilihan umum dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali"
dan Pasal 22E ayat
(2) yang berbunyi, "Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah"., terasa jelas bahwa Original
Intent dari UUD adalah pemilihan yang bersifat serentak. Karena sebenarnya kita
sudah mau meninggalkan sistem pemilihan umum yang hanya memilih anggota
legislatif. Kita sudah berketetapan untuk memperkuat lembaga kepresidenan,
dimana pada UUD dijelaskan bahwa presiden tidak bisa membubarkan
parlemen dan parlemen juga tidak bisa membubarkan presiden tanpa ada bukti
melanggar konstitusi.
Hanya saja dalam praktiknya saat ini di Indonesia, dengan sistem
pemilihan presiden yang term pemilihan nya harus menunggu dulu hasil
pemilihan anggota legislatif, dan bahkan syarat pengusungan presiden diberi
ambang batas (presidential threshold) oleh partai atau gabungan partai politik,
maka sebenarnya presiden yang maju sudah tersandera oleh koalisi partai
pengusungnya. Dalam konteks sistem multi-partai di Indonesia, maka koalisi
pengusung presiden sudah sejak awal sangat ditentukan oleh politik "dagang
sapi" (transaksional) yang membuat biaya pengusungan presiden menjadi
sangat mahal, dan harga ini harus dibayar oleh presiden ketika dia terpilih
dengan tidak mengutamakan kepentingan rakyat (mendukung kepentingan
koalisi partai pendukung beserta "cukong" nya). jika pemilihan presiden
didahulukan, baru setelah itu pemilihan anggota legislatif, maka presiden tidak
tersandera oleh koalisi politik. Atau yang terbaik diserentakkan saja, maka
banyak keuntungan yang akan didapat dari disain yang seperti ini, terutama dari
segi psikologi politik.
Pertama. dengan cara ini partai politik akan sungguh-sungguh
mempersiapkan paket yang menarik antara presiden dan susunan anggota
legislatif dalam satu paket pemilihan. Kondisi ini jauh lebih ideal bagi partai-partai
untuk secara sungguh-sungguh mengedepankan ideologi dan platform partai,
serta menghilangkan peluang kompromi (politik dagang sapi) ideologi politik demi
sebuah koalisi mengusung presiden. Kondisi straigth ticket akan didapat kalau
memang partai politik serius mendekatkan presiden dan platform partai, beserta
susunan anggota legislatif dalam suatu paket dan waktu yang bersamaan.
Kedua. pemilihan serentak, apalagi digabungkan juga dengan pemilihan
kepala daerah akan mengurangi keleiahan psikologis (psychologicalfatigue) para
pemilih, yang terus menerus dalam waktu beberapa bulan harus kembali ke bilik
suara. Pemilihan yang terlalu sering akan membuat rakyat bingung, capek, dan
menurun motivasinya untuk ikut pemilihan umum. Pemilu serentak dalam
beberapa studi (misal lihat Csaba Nikolenyi, Political Studies, Volume 58, Issues
1, Februari 2010) berhasil menaikkan partisipasi politik (voter turn-out).
Sudah
selayaknya Indonesia memulai usaha penyerentakan pemilu dimulai tahun-tahun
terdekat ini.
Paling tidak beberapa alasan diatas inilah yang bisa kita pakai untuk
memperkuat argumen urgensi diadakannya pemilu serentak.

3. Didik Supriyanto
Problem Akut dan Solusl Komprehensif: Penyelenggaraan Pemilu Legislatif yang
disusul Pemilu Presiden, lalu Pemilu Kepala Daerah yang berserakan waktunya,
menimbulkan permasalahan akut bagi pemllih, partai politik dan penyelenggara.
Penyelenggaraan pemilu serentak merupakan solusi komprehenslf untuk mengatasi
masalah kompleksitas proses pemilu, rendahnya efektivitas pemerintahan basil pemilu,
dan jatuhnya kepercayaan masyarakat kepada partai politik.
Pemilu Serentak dan Sistem Presldensial: Secara akademis, konsep pemilu
serentak hanya berfaku dalam sistem pemerintahan presldensial. Inti konsep itu adalah
menggabungkan pelaksanaan Pemilu Legislatlf dan Pemilu Eksekutif dalam satu hari H
pemilihan. Tujuannya untuk menciptakan pemerintahan hasll pemilu yang kongruen.
Maksudnya, terpilihnya pejabat eksekutif yang mendapatkan dukungan legislatlf
sehingga pemerintahan stabll dan efektlf. Dalam sistem pemerintahan parlementer,
tidak perlu pemiiu serentak, karena sekali pemilu, sudah memilih anggota legislatlf
sekaligus pejabat eksekutif. Sebab, partai politik atau koalisi partai politik yang menang
pemilu atau menguasai mayoritas kursi parlemen, berhak menunjuk perdana menteri
beserta pejabat eksekutif lainnya.
Stabilitas dan Efektivitas Pemerintahan Demokratis: Meskipun sistem
pemerintahan presldensial menerapkan periode kekuasaan pasti (fix system), dan sistem
pemerintahan parlementar sewaktu-waktu blsa bubar akibat eksekutif tidak lagi
mendapat dukungan parlemen, namun survei terakhir menunjukkan justru sistem
pemerintahan parlementer lebih stabil dan efektif daripada sistem pemerintahan
presidensial. Sebabnya jelas, eksekutif mendapat dukungan legislatif.
KERANGKA KONSEPTUAL
Sistem Pemerintahan dan Sistem Pemilu. Dalam sistem parlementer, pemilu
legislatif dengan sendirinya menghasilkan pemerintahan efektif karena partai atau koalisi
partai yang menguasai mayoritas parlemen berhak membentuk pemerintahan. Dalam
sistem presidensial terdapat pemilu legislatlf sebagai basis legitimasi anggota legislatif,
dan pemilu eksekutif sebagai basis legitimasl pejabat eksekutif. Karena terdapat dua
jenis pemilu, dalam sistem presidensial sering terjadl divided government, karena partai
atau koalisi partai yang menguasai eksekutif berbeda dengan partai atau koalisi partai
yang menguasai legislatif.
Sistem Pemilu dan Divided Government. Divided government bukan disebabkan
kombinasl sistem multipartai dan sistem pemilu proporsional dengan sistem presldensial
(karena kombinasi sistem dwipartai dan sistem pemilu mayoritarian/distrik dengan
sistem presldensial pun juga menyebabkan divided government), tetapi lebih
karena penempatan pemPu legislatif sebagai pemilu mayor dan pemilu eksekutif
sebagai pemilu minor.
Coattail Effect dalam Pemilu Serentak. Apablla penyelenggaraan pemilu
eksekutif dibarengkan atau diserentakkan waktunya dengan pemilu leglslatif akan
menimbulkan coattail effect, yaitu (hasil) pemilihan pejabat eksekutif akan
mempengaruhi (hasll) pemilihan anggota legislatif, sehingga kemenangan
pejabat eksekutif tertentu dalam pemilu eksekutif akan diikuti oleh kemenangan
partai atau koalisi partai pendukung pejabat ekekutif tersebut dalam pemilu
legislatif. Dengan demlkian kemungkinan terjadinya divided government dapat
dihindari sehingga pemerintahan hasil pemilu akan efektif bekerja.
KOMPLEKSITAS PROSES PENYELENGGARAAN PEMILU
Pemilih Tidak Rasional. Bagi pemilih, pemilu legislatif yang memilih 4 wakil
lembaga perwakilan (DPD, DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota), tidak
memungkinkan mereka menjadi pemilih raslonal. Pada Pemilu 2009 misalnya,
untuk memilih 4 wakil mereka harus menghadapi 44 partai politik yang
menawarkan 500 sampai 2.000 calon. Sementara bagi pemilih, pemilu presiden
dan pemilu kepala daerah menimbulkan kebingungan dan merusak akal sehat.
Sebab, persaingan ketat antarpartai pada pemilu leglslatif, tlbah-tiba berubah
menjadi koalisi untuk merebut kursi preslden dalam pemilu preslden. Jarak waktu
pemilu legislatif dan pemilu kepala daerah memang lama, tetapi koalisi pencalonan
pemilu kepala sudah mengganggu hubungan emosional mereka dengan partai
atau elit partai. Inilah yang menimbulkan benih-benih ketidakpercayaan rakyat
kepada partai politik karena mereka merasa partai memain-mainkan hati nurani
rakyat.
Partai Politik Konflik Berkelanjutan. Bagi partai politik peserta pemiiu, pemilu
legislatif merupakan pekerjaan besar yang menimbulkan kekisruhan karena
partai harus mengajukan puluhan bahkan ratusan ribu calon anggota legislatif
dalam waktu pendek. Akibatnya partai tidak blsa selektif dan cenderung asal-
asalan dalam mengajukan calon. Bagi kader partai politik sendlri, pemilu legislatif
tidak cukup memberikan latihan berkompetisi secara intensif karena pemilu
terjadi setiap lima tahun sekali. Sementara bagi partai politik, pemilu presiden
merupakan sumber
konflik akibat perebutan pengajuan pasangan calon antarfaksi. Setelah konflik
elit nasional reda, partai politik menghadapl konflik partai di daerah yang
berkelanjutan, karena pengajuan pasangan calon kepala daerah berlangsung
hampir setiap hari sepanjang tiga tahun setelah pemilu presiden. Akibatnya partai
politik lebih sibuk mengurusi konflik internal daripada anggota atau
konstituennya.
Penyelenggara Menanggung Beban Tak Selmbang. Bagi penyelenggara
pemilu, pemilu legislatif merupakan pekerjaan yang unmanageable. Untuk
mengurusi 170 juta pemilih yang tersebar di seluruh penjuru tanah air --dengan
kondisi geografis yang berbeda-beda-- penyelenggara pemilu harus
menyediakan lebih dari 700 juta lembar surat suara dengan 2.145 varian sesuai
dengan jumlah daerah pemilihan. Oleh karena itu masalah data pemilih tidak
akurat, perlengkapan belum tersedia pada hari H di TPS, serta surat suara rusak
dan tertukar, akan seialu terjadi. Prosedur penghitungan suara yang rumit dengan
volume besar, juga menjadi sumber kesalahan penghitungan atau kelambatan
penghitungan. Sementara itu bagi penyelenggara pemilu, pemilu presiden dan
pemilukada merupakan pekerjaan ringan, namun menelan biaya beriipat akibat
adanya putaran kedua.
Pemborosan Dana Negara. Format penyelenggaraan pemilu dari pemilu
leglslatif dilanjutkan pemilu presiden, lalu pemilu kepala yang berserakan waktunya,
memboroskan dana negara luar biasa. Komponen blaya terbesar pemilu adalah
honor petugas, yang mencapal 65% dari total anggaran setiap pemilu. Oleh karena
itu semakin banyak pemilu diselengarakan semakin besar jumlah dana yang
dibebankan kepada keuangan negara. Format penyelenggaraan pemilu saat ini
sepertinya hanya ada tiga pemilu, yaitu pemilu legislatif, pemilu presiden dan
pemilukada. Padahal undang-undang memungkinkan terjadinya tujuh pemilu,
yaitu: pemilu legislatif, pemilu presiden putaran pertama, pemilu presiden
putaran kedua, pemilu gubernur putaran pertama, pemilu gubernur putaran
kedua, pemilu bupati/walikota putaran pertama dan pemilu bupati/walikota
putaran kedua.
EFEKTlVITAS PEMERINTAHAN DAN KINERJA PARTAI POLITIK
Koalisi Pendukung Pemerintah Rapuh. Pasangan SBY-Kalla yang
memenangkan Pemilu Presiden 2004 dan pasangan SBY-Boediono yang
memanangkan Pemilu Presiden 2009, sama-sama tidak efektif dalam menjalankan
roda pemerintahan. Waktu dan tenaga mereka habls untuk mengurusi manuver
partai politik di DPR. Meskipun SBY-Kalla maupun SBY-Boediono sama-sama
didukung oleh koalisi partai yang menguasai mayoritas kursi DPR, namun tetap
dukungan itu tidak solid. Selalu saja terdapat partai atau beberapa partai koalisi
yang menentang rencana kebijakan yang diajukan pemerintah. Mengapa koalisi
partai pendukung pemerintah rapuh? Pertama, koalisi dibangun bukan
berdasarkan ideologi atau platform politik, tetapi lebih karena hasrat untuk
menguasai jabatan- jabatan pemerintahan. Kedua, partai-partai politik tidak
memlliki waktu yang cukup untuk membangun koalisi dan merumuskan platform
politik, karena partai-partai baru menjajaki koalisi setelah hasil pemilu legislatif
diketahui, yang jarak waktunya hanya 1,5 bulan dengan pencalonan presiden.
Ketiga, kehadiran anggota koalisi baru setelah pemilu presiden putaran pertama,
atau setelah pemilu presiden berakhlr, justru menambah kerumitan bangunan
koalisi. Keempat, karena partai- partai politik yang berhak mengajukan pasangan
calon, maka mereka cenderung hendak mendikte pasangan calon terpllih. Ini
konsekuensi logis atas penempatan pemilu legislatif sebagai mayor dan pemilu
presiden sebgai pemilu minor dalam sistem presldensial.
Politik Transaksional Merajalela. Pada tingkat lokal penempatan pemilu
legislatif sebagai pemilu mayor dan pemilu kada sebagai pemilu minor, membuat
kepala daerah terpllih lepas kendali dari DPRD. Tidak ada hubungan politik
antara kepala daerah dengan partai-partai politik di DPRD. Hubungan (calon)
kepala daerah dengan partai politik berhenti pada saat berkas pencalonan
disahkan oleh penyelenggara. Di satu pihak, karena merasa sudah "beli putus"
berkas pencalonan, kepala daerah tidak merasa harus terikat dengan partai
politik dalam membuat kebijakan; di lain pihak, kader-kader partai di DPR lebih
memperhatikan prosedur pengesahan kebijakan daripada subtansi kebijakan
karena sebagian besar kepala daerah bukan kader partai. Dampak dari situasi
tersebut adalah merajalelanya politik transaksional dalam pengambilan kebijakan,
sebab jika kepala daerah tidak melakukan "bagi-bagi proyek, "bagi-bagi jabatan
birokrasi, dan bagi-bagi dana sosial", maka DPRD akan menolak semua rencan
kebijakan kepala daerah. Politik transaksional juga dilatari oleh usaha
mengembalikan modal karena pada pemilu kepala daerah, kepala daerah terpllih
mengeluarkan dana banyak untuk membeli berkas pencalonan dan suara;
sementara dalam pemilu legislatif, anggota DPRD terpllih banyak mengeluarkan
dana untuk membeli daftar calon dan suara.
Kontrol Pemilih Rendah. Format pemilu saat ini menempatkan periode
pemilu legislatlf setiap lima tahun sekali. Jarak waktu lima tahun dari satu pemilu
ke pemilu berikutnya, menghilangkan daya kritls pemilih untuk mengontrol kinerja
partai politik
melalul pemilu. Asumsinya, pemilih akan menghukum partai politik yang
kinerjanya buruk (mulai dari tidak menepati janji kampanye sampai dengan tertibat
skandal korupsi) pada pemilu berikutnya. Kinerja buruk partai politik paling
banyak diketahui dan dirasakan pemilih terjadi pada tahun kedua atau ketiga masa
kerja. Namun pada masa itu, pemilih tidak bisa menghukum partai politik secara
efektif, karena pada waktu itu tidak ada pemilu. Akan tetapi ketika pemilu datang
kembali pada tahun kelima, catatan buruk kinerja partai politik sudah
menghilang, baik karena pemilih sudah lupa, kinerja partai politik secara
keseluruh memburuk, maupun pemilih silau oleh kampanye. Akibatnya pemilih
tidak efektif menjatuhkan "palu godam" kepada partai politik, sehingga partai
politik tidak terdorong untuk meningkatkan kinerjanya.
Urusan Lokal Terbaikan. Pemilu legislatif yang diselenggarakan untuk
memilih anggota DPR, DPD serta DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota,
menyebabkan isu-isu lokal terpinggirkan oleh kampanye pemilu nasional,
sehingga pemilih menggunakan "pertimbangan nasional" untuk memilih anggota
parlemen lokal. Akibatnya banyak calon yang tidak menguasai masalah lokal dan
tidak miliki kompetensi menduduki kursi DPRD. Kondisi demikian menambah
kepala daerah semakin berani metepaskan dlri dari kontrol DPRD, jika pun ada
hambatan dan tantangan DPRD, hal itu akan segera selesai dengan politik
transaksional.
KESIMPULAN
Solusi Taktis. Penyelenggaraan pemilu serentak, atau pemilu serentak
nasional (memilih anggota DPR, DPD serta presiden dan wakil presiden) dan
pemilu serentak daerah (memilih DPRD serta kepala daerah dan wakil kepala
daerah), dapat mengatasi kompleksitas penyelenggaraan pemilu. Pemilih
menghadapl lebih sedikit peserta pemilu dan calon sehingga memungkinkan
mereka bersikap raslonal. Partai politik lebih mudah menyiapkan calon anggota
leglslatif, juga lebih mudah mengendalikan konflik internal yang dlakibatkan
pengajuan pasangan calon presiden dan pasangan calon kepala daerah. Kader-
kader partai juga mempunyat waktu kompetisi lebih Intesif karena terdapat dua
kali pemilu dalam kurun lima tahun. Penyelenggara pemilu lebih mudah
mengelola penyelenggaraan pemilu karena beban pekerjaan pemilu menjadi
lebih ringan pada satu momen pemilu, dan lebl seimbang antarpemilu dalam
periode limatahunan. Dari sisi anggaran terjadi penghematan dana negara yang
luar biasa, karena pembayaran honor petugas pemilu hanya dua kali saja.
Solusi Strategis. Penyelenggaraan pemilu serentak, atau pemilu serentak
nasional (memilih anggota DPR, DPD serta presiden dan wakil preslden) dan
pemilu serentak daerah (memilih DPRD serta kepala daerah dan wakil kepala
daerah), dapat mengatasi dampak politik pascapemilu. Pertama, pemilu serentak
akan menciptakan coattail effect sehingga calon pejabat eksekutif terpllih akan
mendapat dukungan mayoritas parlemen. Partai atau koalisi partai pendukung
pemerintah akan solid karena mereka bersama-sama berjuang untuk
memenangkan pemilu. Selaln itu, partai-partai politik mempunyai waktu cukup
lama untuk membangun koalisi, mereka bisa merumuskan platform politik yang
menjadi panduan bekuasa, dan membagi- bagi kursi kekuasaan secara lebih sehat.
Hal yang sama juga terjadi dalam dalam pemilu kepala daerah. Jlkapun terjadi
politik transaksional antara pejabat eksekutif dengan anggota legislatif, lokasinya
bisa dipersempit pada partai-partai koalisi pendukung pemerintah. Namun bukan
berarti mereka bisa berbuat apa saja, sebab partai-partai yang calonnya kalah,
secara otomatls akan menjadi oposisi. Partai- partai oposisi dipaksa bekerja keras
untuk mengkritisi kebijakan pemerintah dan memberikan altematif, sebab jika
tidak mereka tetap akan kalah dalam pemilu berikutnya. Kedua, pemilu serentak
nasional yang disusul pemilu serentak daerah dua atau tiga tahun beriktunya,
membuat pemilih bisa secara efektif menjatuhkan sanksi kepada partai politik
yang kinerjanya buruk. Sebab jika pemenang pemilu serentak nasional kinerjanya
buruk, maka pemilih akan cenderung menghukum mereka pada saat pemilu
serentak daerah, atau sebaliknya. Pemisahan pemilu serentak nasional dengan
pemilu serentak daerah memudahkan pemilih untuk beslkap raslonal dalam
memeberikan suara, karena pada saat pemilu serentak daerah mereka tidak
dipengaruhl oleh kampanye pemilu serentak nasional, demlkian juga sebaliknya.
Partai politik dan kader-kader partai politik juga terdorong untuk bekerja keras,
karena mereka mempunyai kesempatan dua kali dalam kurun lima tahun untuk
berkompetisi dalam pemilu.
Tidak Melanggar Konstitusi. Memperhatikan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945,
bahwa Pasangan caion Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan
pemilihan umum, bukan berarti bahwa pemilu legislatif harus berjalan lebih
dahulu baru kemudian pemilu presiden. Karena pengertian "peserta pemilihan
umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum," berarti pemilu sebelumnya,
bukan terbatas pada pemilu legislatif sebelumnya. Dengan demlkian menyatukan
pemilu
DPR, DPD dan pemilu presiden, tidak melanggar konstitusl karena pasangan
calon presiden bisa diajukan oleh peserta pemilu lima tahun sebelumnya.
Konstitusl juga tidak melarang penyatuan pemilu DPRD dengan pemiiu kepala
daerah. Konstitusl hanya menegaskan bahwa anggota DPRD dipilih melalul pemilu
yang diselenggarakan setiap lima tahun, sedang terhadap kepala daerah
dikatakan bahwa mereka dipilih secara demokratis.
4. Ad Informandum Slamet Effendy Yusuf
Hal-hal yang berkaitan dengan Pasal 6A UUD 1945 maupun Pasal 22E
UUD 1945 hampir seluruhnya disahkan pada sidang tahunan 2001, kecuali yang
berkaitan dengan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945. Pembahasan khusus tentang
pemilihan presiden dan wakil presiden khususnya yang berkaitan dengan cara
dipilih dilaksanakan pada tanggal 12 September 2001 oleh Panitia Ad Hoc I
Badan Pekerja MPR. Pada rapat itu, Badan Pekerja MPR mencoba untuk
melihat dan memperdebatkan gagasan tentang presiden dan wakil presiden
dipilih langsung oleh rakyat. Ketika sudah disepakati, maka kemudian
dipertanyakan, dipilih di mana? Apakah di dalam suatu pemilihan presiden
khusus atau di dalam suatu rezim pemilu yang lengkap?
Dalam perdebatan, saya pernah mencoba menyelesaikan persoalan
dengan mengambarkan pemilihan umum dan saya gambarkan ada lima kotak.
Kotak 1 adalah kotak DPR, kotak 2 adalah kotak DPD, kotak 3 adalah presiden
dan wakil presiden, dan kotak 4 adalah DPRD provinsi, kotak 5 adalah DPRD
kabupaten/kota.
Panitia Ad Hoc I kemudian menghasilkan rumusan, yaitu:
1. Pemilihan umum dilaksanakan 5 tahun sekali secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil;
2. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota dewan perwakilan
rakyat, dewan perwakilan daerah, presiden dan wakil presiden, serta dewan
perwakilan rakyat daerah. Di sini tidak disebut daerah provinsi maupun daerah
kabupaten/kota, tapi dalam praktik akan terjadi begitu karena itu akan menjadi
perlu 5 kotak.
3. Pemilihan umum untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat, anggota
dewan perwakilan rakyat daerah diikuti oleh partai politik.
4. Pemilihan umum untuk memilih anggota dewan perwakilan daerah diikuti oleh
calon partai politik dan calon perseorangan.
5. Pemilihan umum diselenggarakan oleh komisi pemilihan yang bersifat
nasional, tetap, dan mandiri. Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum
diatur dengan undang-undang, sedangkan terhadap pemilihan presiden dan
wakil presiden diatur dalam undang-undang.
Sesudah hasil tersebut disahkan oleh panitia ad hoc, disahkan menjadi
hasil badan pekerja, maka akan dibawa ke dalam sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat tahun sidang 2001. Ketika hasil tersebut disampaikan
kepada anggota sidang, Cece Hidayat mengatakan, Di dalam Bab 2B dalam
pemilihan umum, Bab 7B dalam halaman 11 ayat (2), Pasal 22 ayat (2), di sana
pemilihan umum dilaksanakan untuk memilih dewan perwakilan rakyat, betul.
Dewan perwakilan daerah, betul. Tiba-tiba nyelonong presiden dan wakil
presiden. Ini saya tidak mengerti karena setahu saya dan seingat saya, general
election beda dengan presidential election, tidak ada kaitan dengan pemilihan
presiden. Jadi mohon penjelasan. Pada waktu itu saya merupakan Ketua
Sidang dan mengatakan, Terima kasih, Pak Cece. Saya enggak tahu yang
harus menjelaskan tapi saya mencoba menjelaskan karena saya ikut di dalam
proses perumusannya. Jadi memang begini, memang pada konsep ini secara
keseluruhan itu presiden nanti dalam pemilihan yang disebut langsung itu
diadakan dalam pemilihan umum yang diselenggarakan bareng-bareng ketika
memilih DPR, DPD, kemudian DPRD, kemudian juga paket presiden dan wakil
presiden. Sehingga digambarkan nanti ada 5 kotak. Jadi kotak itu untuk DPR-RI,
kotak untuk DPD, kotak untuk DPRD provinsi, kotak untuk DPRD kota atau
kabupaten, dan kotak untuk presiden/wakil presiden. Jadi gambarnya memang
itu dan memang konsep ini menyebut pemilihan presiden dan wakil presiden
dalam pemilihan umum.
5. Saldi Isra
Sesuai ketentuan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, pemilihan umum di
Indonesia dilaksanakan sekali dalam lima tahun untuk memilih anggota DPR,
DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dan Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden. Namun demikian, merujuk pengalaman Pemilu 2004 dan 2009,
pemilu anggota DPR, DPD, DPRD dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
dilaksanakan secara terpisah. Dalam hal ini, pemilu presiden/wakil presiden
diselenggarakan setelah pelaksanaan pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD.
Keinginan mengembalikan penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu
presiden/wakil presiden dalam waktu yang bersamaan memiliki basis
konstitusional yang kuat dan mendasar terutama memulihkan amanat Pasal 22E
ayat (1) UUD 1945 yang eksplisit menyatakan pemilihan umum dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.
Dengan adanya frasa setiap lima tahun sekali, penyelenggaraan pemilu
legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden secara terpisah mengandung
masalah konstitusional serius.
Apabila dirujuk perdebatan yang terjadi ketika perubahan UUD 1945,
terkait dengan jadwal penyelenggaraan pemilu, misalnya, Fraksi Kebangkitan
Bangsa (F-KB) menyampaikan sebagai berikut: ... pemilu yang dilaksanakan
pada tingkat nasional dilakukan dalam rangka memilih Presiden dan Wakil
Presiden, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD I atau DPRD II. Ini
dilaksanakan secara nasional dan serentak dalam jangka waktu lima tahun
sekali. [Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD
1945, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan,
1999-2002, Buku V Pemilihan Umum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008, hlm. 410].
Sekalipun terdapat berbagai pandangan mengenai jadwal pemilu ketika
melakukan perubahan UUD 1945, pandangan tersebut dapat dikatakan sebagai
cara untuk memberikan pemaknaan yang tepat bagaimana sesungguhnya kaitan
antara pemilu legislatif dengn pemilu presiden/wakil presiden. Jamak dipahami,
bahwa dalam sistem pemerintahan presidensial, mandat rakyat melalui pemilu
disalurkan dengan cara langsung kepada pemegang kekuasaan legislatif dan
pemegang kekuasaan eksekutif.
Sebagai salah satu kesepakatan saat mengubah UUD 1945 untuk tetap
mempertahankan sistem pemerintahan presidensial dan merujuk ketentuan
Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, segala peraturan perundang-undangan yang lebih
harus sesuai dengan UUD 1945. Artinya, dengan alasan apapun para
pembentuk undang-undang (DPR dan pemerintah) tak boleh menyimpangi
ketentuan yang diatur dalam UUD 1945. Bahkan, legal policy pembentuk
undang-undang pun tidak dapat dijadikan alasan untuk mereduksi pengaturan
dalam UUD 1945.
Sebetulnya, pemisahan jadwal pelaksanaan antara pemilihan legislatif
dengan pemilihan eksekutif (presiden/wakil presiden) tidak akan merupakan
perdebatan konstitusional serius sepanjang hasil yang lain tidak menegasikan
proses yang lain. Namun yang terjadi dengan model dipraktikkan saat ini, hasil
pemilu legslatif menjadi dasar untuk membatasi hak pilih warga negara dalam
pemilu presiden/wakil presiden dengan menggunakan ambang batas tertentu
(presidential threshold).
Karena argumentasi memilih dan mempertahankan sistem presidensial,
pilihan menjadikan persentase hasil pemilu legislatif sebagai basis menghitung
ambang batas mengajukan calon presiden tidak dapat dibenarkan sama sekali.
Dalam sistem presidensial, lembaga legislatif dan pimpinan eksekutif tertinggi
(baca: presiden) sama-sama mendapat mandat langsung rakyat. Dengan cara
mandat seperti itu, pilihan rakyat untuk satu lembaga tidak pada tempatnya
digunakan dalam proses pengisian lembaga lain.
Salah satu bukti bahwa mandat (pilihan) rakyat tidak selalu sama antara
yang ditujukan kepada salah satu lembaga dapat dilihat dari perbedaan hasil
pemilihan anggota DPR dengan hasil pemilihan presiden. Misalnya, pada Pemilu
2004, pemilih memberikan dukungan lebih besar kepada Partai Golkar. Namun
pada pemilihan presiden, calon Partai Golkar gagal meraih dukungan terbesar.
Bahkan, dalam Pemilu 2009, suara Partai Demokrat lebih kecil dibanding suara
yang diraih Susilo Bambang Yudhyono. Dengan kecilnya suara Partai Demokrat,
dapat dimaknai bahwa pemilih tidak menghendaki partai ini menjadi kekuatan
mayoritas di DPR.
Dengan merujuk pengalaman itu, memisahkan waktu penyelenggaraan
pemilu legislatif dengan pemilu presiden/wakil presiden untuk membenarkan
presidential threshold adalah bentuk pengingkaran terhadap kesempatan bagi
semua partai politik peserta pemilihan umum sebagaimana termaktub dalam
Pasal 6A ayat (1) UUD 1945. Dalam pengertian ini, kekhawatiran munculnya
calon presiden/wakil presiden dalam jumlah yang lebih banyak (sesuai dengan
jumlah partai politik peserta pemilu) adalah kekhwatiran yang tidak paham
dengan konsekwensi pemilihan langusng. Bahkan, kalaupun calon hadir dalam
jumlah yang banyak, Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 telah mengantisipasi dengan
membuka kemungkinan adanya putaran kedua (second round).
Oleh karena itu, basis argumentasi menggunakan hasil pemilu legislatif
sebagai dasar perhitungan ambang batas untuk mengajukan pasangan calon
presiden dengan cara memisahkan waktu penyelenggaran pemilu legislatif dan
pemilu presiden/wakil presiden jelas merusak logika sistem presidensial. Tidak
hanya itu, pemisahan jadwal tersebut untuk membenarkan hadirnya ambang
batas jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945
alias pilihan yang inkonstitusional.
Melacak sikap dari beberapa partai politik besar di DPR dan sekaligus
keinginan mereka untuk mempertahankan jadwal penyelenggaran pemilu yang
terpisah, sulit berharap para pembentuk undang-undang untuk mengembalikan
makna hakiki Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, agar proses pemilu
semakin hari tidak makin menjauh dari semangat konstitusi, jalan satu-satunya
Mahkamah Konstitusi harus menyatakan pemisahan jadwal penyelenggaraan
pemilu legisatif dengan pemilu presiden/wakil presiden inkonstitusional alias
tidak memiliki kekuatan mengikat. Jika ini dilakukan Mahkamah Konstitusi, kita
tidak perlu lagi berhabis hari berdebat soal presidential threshold.

[2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden telah


menyampaikan keterangan dalam persidangan tanggal 14 Maret 2013 dan
menyampaikan keterangan tertulis Bulan April 2013 yang diterima di
Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 Mei 2013, yang pada pokoknya
sebagai berikut:

I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON

1. Bahwa menurut Pemohon berdasarkan ketentuan Pasal 22E ayat (1), (2)
dan (6) UUD 1945 mengamanatkan bahwa Pemilihan Umum diatur
dengan Undang-undang bukan dalam Undang-Undang, dengan
demikian maka Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD dan
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden seharusnya diatur dengan
satu Undang- Undang.
2. Bahwa Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD serta Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan secara tidak bersamaan,
oleh Pemohon dinilai berpotensi merugikan Hak Konstitusional Warga
Negara, yaitu kemudahan dalam pelaksanaan pemilihan Umum dan
pemborosan dana yang dikeluarkan dalam pelaksanaan Pemilihan Umum.
3. Singkatnya Pemohon berpendapat bahwa ketentuan Pasal 3 ayat (5),
Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112
Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) dan
Pasal 22E ayat
(1) dan (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON

Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun


2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, menyatakan bahwa Pemohon adalah
pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud
dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu
harus menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal
51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud
yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji;
c. Kerugian hak dan/atau kewengan konstitusional Pemohon sebagai akibat
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi RI telah memberikan pengertian dan
batasan kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(vide putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya),
harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;
b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon
telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Atas hal-hal tersebut di atas, kiranya perlu dipertanyakan kepentingan Para
Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan Pasal 3
ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden.

Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis


hakim konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah Para
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak,
sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan-
putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (vide putusan Nomor 006/PUU-
III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007).

III. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG


DIMOHONKAN UNTUK DI UJI

Terhadap permohonan Pemohon yang pada pokoknya menginginkan agar


Pemilihan Umum DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan
Perwakilan Daerah dilaksanakan secara bersamaan, Pemerintah dapat
memberikan penjelasan sebagai berikut:

1. Bahwa Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Salah satu
wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan Pemilihan Umum
untuk memilih Anggota DPR, DPD dan DPRD dan Pemilihan Umum untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara demokratis dan
beradab
melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

2. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik
atau Gabungan Partai Politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan Pemilihan Umum. Selanjutnya Pasal 6A ayat (5) yang
menyatakan bahwa tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang. Berdasarkan pasal
tersebut, Pemerintah dan DPR kemudian menjabarkan tata cara pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden ke dalam Undang-Undang.

Untuk menjamin pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang


berkualitas, memenuhi derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan
dapat dipertanggungjawabkan maka dibentuklah Undang-undang tentang
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang sesuai dengan perkembangan
demokrasi dan dinamika masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia

3. Bahwa hal-hal yang terkait dengan sistem pemilu dan tata cara pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden adalah merupakan materi muatan yang
harus diatur dalam sebuah Undang-Undang, oleh karena dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak secara rinci
dan konkrit mengatur materi muatan tersebut. Karena itu untuk
pengaturan tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan
untuk diatur lebih lanjut dalam sebuah Undang-Undang;

4. Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden diusung oleh partai politik atau
gabungan partai politik. Prasyarat ini mengkondisikan adanya partai politik
atau gabungan partai politik mana yang berhak mengajukan calon. Hal
tersebut dapat dilakukan jika Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dilaksanakan
terlebih dahulu sebelum Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dengan
demikian, tidak memungkinkan untuk menyatukan Undang-Undang
Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dengan Undang-Undang Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden.
5. Kodifikasi antara Undang-Undang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dengan
Undang-Undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sulit untuk dilakukan
mengingat kedua pemilu tersebut mempunyai momen dan teknis pemilu
yang berbeda. Hal ini juga terjadi dengan Undang-Undang Pemilukada
yang dipisahkan dalam undang-undang tersendiri karena secara sistem
juga berbeda.

Untuk menjamin pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang


berkualitas, memenuhi derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan
dapat dipertanggungjawabkan maka dibentuklah Undang-undang tentang
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang sesuai dengan perkembangan
demokrasi dan dinamika masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang memuat
pasal-pasal di antaranya yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon
yaitu Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2)
dan Pasal 112. Pasal-pasal tersebut menggunakan frasa Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah Pemilu DPR DPD dan
DPRD dan partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusulkan
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai turunan langsung
dari bunyi UUD 1945.

6. Bahwa ketentuan Pasal 3 ayat (5) UU Pilpres menyatakan bahwa Pemilu


Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilu
anggota DPR, DPD dan DPRD. Bahwa pengaturan yang demikian
merupakan delegasi kewenangan terbuka (legal policy) oleh pembentuk
Undang-Undang, hal ini dimungkinkan karena Undang-Undang Dasar
tidak mengatur secara eksplisit dari sisi waktu pelaksanaan dan
menyerahkan pengaturan lebih lanjut dalam undang-undang

7. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilihan Umum
dilaksanakan setiap lima tahun sekali untuk memilih anggota DPR, DPD,
Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD. Dari ketentuan tersebut
Pembentuk Undang-Undang berpendapat bahwa pelaksanaan pemilihan
umum yang dimaksud dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) tersebut di
atas akan dilakukan setiap lima tahun sekali dengan terlebih dahulu Pemilu
Legislatif dan kemudian Pemilu Presiden.

8. Terdapat beberapa pertimbangan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden


tidak dibarengkan, antara lain:

a. Bahwa frasa partai politik atau gabungan partai politik, dalam Pasal
6A ayat (2) UUD 1945 secara tegas bermakna bahwa hanya partai
politik atau gabungan partai politiklah yang dapat mengusulkan
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan
umum Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, frasa
dimaksud tidak memberi peluang adanya interpretasi lain, seperti
menafsirkannya dengan kata- kata diusulkan oleh perseorangan
(independen) apalagi pada saat pembicaraannya di MPR telah muncul
wacana adanya Calon Presiden secara independen atau calon yang
tidak diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, tetapi
tidak disetujui oleh MPR. Kehendak awal (original intent) dalam Pasal
6A ayat (2) UUD 1945 jelas menggambarkan bahwa hanya partai
politik atau gabungan partai politik sajalah yang dapat mengusulkan
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum
Presiden dan Wakil Presiden (vide Naskah Komprehensif Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Buku
IV Kekuasaan Pemerintahan Negara Jilid 1, halaman 165 360);.

b. Dalam ketentuan Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945, Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden sulit dilaksanakan bersamaan
dengan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD karena
untuk dapat terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara pemilih
dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih
dari setengah provinsi di Indonesia sulit dipenuhi dengan satu kali
putaran, apabila terdapat lebih dari dua Pasangan Calon Presiden dan
Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik peserta Pemilu tahun 2009;

c. Pertimbangan teknis penyelenggaraan Pemilu, sulitnya pelaksanaan


teknis penyelenggaraan Pemilu yang dilakukan oleh KPU, KPU
provinsi, dan KPU kabupaten/kota apabila Pemilu dilaksanakan secara
simultan bersamaan antara Pemilu legislatif dan Pilpres

9. Bahwa ketentuan mengenai calon Pasangan Calon Presiden dan Wakil


Presiden perseorangan atau independen di luar usulan partai politik
pernah diajukan uji materi dan di putus oleh Mahkamah Konstitusi dalam
Putusan Nomor 007/PUU-II/2004 tanggal 23 Juli 2004, Putusan Nomor
054/PUU- II/2004 tanggal 6 Oktober 2004, Putusan Nomor 057/PUU-
II/2004 tanggal 6 Oktober 2004 dan Nomor 56/PUU-VI/2008 tanggal 17
Februari 2009 yang pada pokoknya menyatakan menolak permohonan
Pemohon.

Dalam pertimbangan putusan-putusan tersebut Mahkamah Konstitusi


(pada pokoknya) telah mengemukakan, bahwa untuk menjadi Presiden
atau Wakil Presiden adalah hak setiap warga negara yang dijamin oleh
konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat
(3) UUD 1945 sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur
dalam Pasal 6 dan Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan
dalam melaksanakan hak termaksud Pasal 6A ayat (2) UUD 1945
menentukan tata caranya yaitu harus diajukan oleh partai politik atau
gabungan partai politik. Diberikannya hak konstitusional untuk
mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden kepada partai
politik oleh UUD 1945 bukanlah berarti hilangnya hak konstitusional warga
negara, in casu para Pemohon, untuk menjadi Calon Presiden atau Calon
Wakil Presiden karena hal itu dijamin oleh UUD 1945, sebagaimana
ditegaskan oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945
apabila warga negara yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan
yang ditentukan oleh Pasal 6 dan dilakukan menurut tata cara
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 6A ayat
(1) UUD 1945, persyaratan mana merupakan prosedur atau mekanisme yang
mengikat terhadap setiap orang yang berkeinginan menjadi Calon
Presiden Republik Indonesia perseorangan atau calon independen di luar
Pasangan Calon yang diusulkan Parpol atau gabungan Parpol.

10. Terkait ketentuan Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 menyatakan bahwa


Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik
peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit
20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25%
(dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota
DPR,
sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Hal tersebut
merupakan suatu cermin adanya dukungan awal yang kuat dari DPR, di
mana DPR merupakan simbol keterwakilan rakyat terhadap pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusung oleh partai politik atau
gabungan partai politik. Dengan demikian, persyaratan pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam Pasal 9 UU No. 42 Tahun
2008 terkait dengan dukungan partai politik telah sejalan dengan amanat
konstitusi yang menggambarkan kedaulatan rakyat, serta terwujudnya
pembangunan yang berkesinambungan melalui sistem pemerintahan
presidensiil yang lebih efektif dan lebih stabil. Ketentuan tersebut
dimaksudkan sebagai persyaratan atau seleksi awal yang menunjukkan
akseptabilitas (tingkat kepercayaan) terhadap calon Presiden dan Wakil
Presiden yang tercermin dari dukungan rakyat pemilih.

11. Kebijakan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden terkait
Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 merupakan kebijakan terkait pemilu
Presiden dan Wakil Presiden yang oleh Pasal 6 dan Pasal 6A UUD 1945
didelegasikan kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya
dengan undang-undang. Dengan demikian, pengaturan kebijakan ambang
batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden tidak bertentangan
dengan konstitusi karena ketentuan a quo tidak mengandung unsur-unsur
yang diskriminatif mengingat bahwa kebijakan threshold untuk persyaratan
calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut berlaku untuk semua partai
politik peserta pemilu. Hal tersebut berlaku secara obyektif bagi seluruh
parpol peserta pemilu tanpa kecuali juga tidak ada faktor-faktor pembeda
ras, agama, jenis kelamin, status sosial dan lain-lain.

12. Pemerintah berpendapat bahwa Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 calon


Presiden dan Wakil Presiden telah mewujudkan manifestasi kedaulatan
rakyat sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi
sumber dari segala sumber hukum. Di samping itu, pasal tersebut
merupakan norma hukum yang tidak diskriminatif dan tidak bertentangan
dengan hak-hak konstitusional. Terkait dengan gugatan judicial review
Pasal 1 angka 2, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (2) UU No.
42 Tahun 2008 ke MK, Pemerintah berpendapat bahwa pasal-pasal
tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 secara keseluruhan.
13. Bahwa dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden menguraikan mengenai alasan perlunya dibentuk Undang-
Undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang menjadi pertimbangan
pengaturan pelaksanaan Pemilu Presiden setelah Pemilu legislatif yaitu;
Untuk menjamin pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang
berkualitas, memenuhi derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan
dapat dipertanggungjawabkan perlu dibentuk Undang-Undang Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden yang sesuai dengan perkembangan
demokrasi dan dinamika masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara;

Bahwa dijelaskan lebih lanjut; Dalam undang-undang ini


penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan
dengan tujuan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang
memperoleh dukungan kuat dari rakyat sehingga mampu menjalankan
fungsi kekuasaan pemerintahan negara dalam rangka tercapainya tujuan
nasional sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945. Di
samping itu pengaturan terhadap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
dalam Undang-Undang ini juga dimaksudkan untuk menegaskan sistem
presidensial yang kuat dan efektif, dimana presiden dan wakil presiden
terpilih tidak hanya memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyat, namun
dalam rangka mewujudkan efektivitas pemerintahan juga diperlukan basis
dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat;

14. Mahkamah Konstitusi dalam salah satu pertimbangannya dalam


Putusannya Nomor 56/PUU-VI/2008 tanggal 17 Februari 2009,
menyatakan bahwa untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden adalah
hak setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi sesuai dengan
ketentuan Pasal 27 ayat
(1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 sepanjang memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 6A UUD 1945. Diberikannya
hak konstitusional untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden kepada partai politik oleh UUD 1945 bukanlah berarti hilangnya
hak konstitusional warga negara. Hal ini dikarenakan kondisi tersebut
berada dalam konstruksi sistem kepartaian, di mana partai politik memiliki
fungsi rekruitmen politik untuk menempatkan kader-kader terbaiknya
menduduki jabatan politik, di antaranya adalah Presiden dan Wakil
Presiden. Sehingga dengan demikian, Pasal 10 ayat (1) UU No. 42 Tahun
2008 sudah sesuai dengan semangat konstitusi. Untuk menjadi calon
Presiden dan Wakil Presiden sendiri telah dijamin dalam Pasal 27 ayat (1)
dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, yaitu apabila warga negara yang
bersangkutan telah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 6
dan dilakukan menurut tata cara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 6A
ayat (2) UUD 1945.

15. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi dalam putusan 51-52-59/PUU-VI/2008


telah memberikan pendapatnya terkait ketentuan Pasal 3 ayat (5) UU
Pilpres yang menyatakan Bahwa terhadap Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008
Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut merupakan cara atau
persoalan prosedural yang dalam pelaksanaannya acapkali
menitikberatkan pada tata urut yang tidak logis atas dasar pengalaman
yang lazim dilakukan. Apa yang disebut dengan hukum tidak selalu sama
dan sebangun dengan pengertian menurut logika hukum apalagi logika
umum. Oleh sebab itu, pengalaman dan kebiasaan juga bisa menjadi
hukum. Misalnya, Pasal 3 ayat (5) berbunyi, Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan Pemilu DPR, DPRD dan
DPD. Pengalaman yang telah berjalan ialah Pemilu Presiden
dilaksanakan setelah Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, karena Presiden
dan/atau Wakil Presiden dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
[Pasal 3 ayat (2) UUD 1945], sehingga Pemilu DPR dan DPD didahulukan
untuk dapat dibentuk MPR. Lembaga inilah yang kemudian melantik
Presiden dan Wakil Presiden, oleh karenanya harus dibentuk lebih
dahulu. Sesungguhnya telah terjadi apa yang disebut desuetudo atau
kebiasaan (konvensi ketatanegaraan) telah menggantikan ketentuan
hukum, yaitu suatu hal yang seringkali terjadi baik praktik di Indonesia
maupun di negara lain. Hal ini merupakan kebenaran bahwa the life of
law has not been logic it has been experience. Oleh karena kebiasaan
demikian telah diterima dan dilaksanakan, sehingga dianggap tidak
bertentangan dengan hukum. Dengan demikian maka kedudukan Pasal 3
ayat (5) UU 42/2008 adalah konstitusional (vide Putusan Mahkamah
Konstitusi 51-52-59/PUU-VI/2008 hlm 186);

16. Dalam ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai
politik peserta Pemilihan Umum sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum.
Hal ini
dapat diartikan bahwa mekanisme Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden harus dilaksanakan setelah Pemilihan Pemilu DPR, DPD dan
DPRD, karena secara logis calon Presiden dan Wakil Presiden
merupakan usulan dari Parpol Peserta Pemilu.

17. Pemerintah sangat menghargai usaha-usaha yang dilakukan oleh


masyarakat dalam ikut memberikan sumbangan dan partisipasi pemikiran
dalam membangun pemahaman atas makna pelaksanaan Pemilihan
Umum baik Pemilu DPR, DPD dan DPRD serta Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden. Demokrasi di Indonesia memang masih sangat
membutuhkan pemikiran-pemikiran tersebut untuk perbaikan
penyelenggaraan demokrasi dan pemilu. Di masa depan pemikiran-
pemikiran masyarakat tersebut akan menjadi sebuah rujukan yang sangat
berharga bagi Pembentuk Undang- Undang untuk membangun kehidupan
demokrasi untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.

18. Mengingat Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden
serta memilih anggota legislative tahun 2014 akan dilaksanakan dalam
jangka waktu 1 tahun lagi, Pemerintah menghargai sepenuhnya
keputusan yang akan diambil oleh Mahkamah Konstitusi guna
memperkuat landasan konstitusional UU No. 42 Tahun 2008 yang sejalan
dengan UUD 1945 dan mengharapkan Mahkamah Konstitusi dapat
memberikan keputusan yang bijaksana dan seadil-adilnya.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang


Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang
memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian Undang-undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
terhadap UUD 1945 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945, untuk dapat
memberikan putusan yang seadil-adilnya serta sesuai dengan konstitusi yang
berlaku.

[2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan


Rakyat (DPR) telah menyampaikan keterangan dalam persidangan tanggal 14
Maret 2013 dan menyampaikan keterangan tertulis Bulan Maret 2013 yang
diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 20 Maret 2013, yang pada
pokoknya sebagai berikut:
A. KETENTUAN UU PILPRES YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN
TERHADAP UUD TAHUN 1945
Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas Pasal 3
ayat (5), Pasal 9. Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal
112 UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dianggapnya
bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 22 E ayat
(1) dan ayat
(2) UUD Tahun 1945.

B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP


PEMOHON TELAH DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA UU PEMILU
PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
Pemohon adalah Perseorangan warga negara Indonesia yang merasa
bahwa hak-hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 3 ayat
(5), Pasal 9. Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112
UU PILPRES dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut :
1. Dalam permohonannya, pemohon menyatakan dirinya adalah
Perorangan warga negara Indonesia yang merasa dirugikan atau
berpotensi dirugikan dengan berlakunya Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal
12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU PILPRES,
karena tidak dapat menggunakan hak pilihnya selama berada di luar
negeri.
2. Bahwa menurut Pemohon ketentuan Pasal-Pasal a quo UU Pilpres yang
pada intinya mengatur penyelenggaraan Pemilu menjadi dua kali
pelaksanaan Pemilu (tidak serentak) yakni Pemilu anggota DPR, DPD,
dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden bertentangan
dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945;
3. Bahwa Pelaksanaan Pemilu yang lebih dari satu kali tersebut telah
menimbulkan banyak akibat yang merugikan hak konstitusional warga
negara. Pertama, kemudahan bagi warga negara untuk melaksanakan
Hak Pilihnya secara efisien terancam. Kedua, dana untuk
menyelenggarakan Pemilu yang tidak serentak menjadi amat boros dan
seharusnya digunakan untuk memenuhi hak-hak konstitusional lain
warga negara;
4. Bahwa menurut pendapat Pemohon karena Pasal 3 ayat (5) UU
PILPRES bertentangan dengan UUD Tahun 1945, maka ketentuan Pasal
9, Pasal 12
ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU PILPRES secara
mutatis muntandis bertentangan dengan UUD Tahun 1945, karena
bertentangan dengan spirit pelaksanaan Pemilu serentak sesuai dengan
UUD Tahun 1945.
C. KETERANGAN DPR RI
Terhadap dalil para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Permohonan
a quo, DPR dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan
mengenai kedudukan hukum (legal standing) dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon
Mengenai kedudukan hukum Pemohon a quo, DPR berpandangan
bahwa Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar
Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan
untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian
terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak
dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji.
Terhadap kedudukan hukum (legal standing) tersebut, DPR
menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
yang mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon
memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak sebagaimana yang
diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah
Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor
006/PUU- III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007.
2. Pengujian UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Terhadap permohonan pengujian atas Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12

ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut:
1. Bahwa Pasal 6A UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa Presiden dan
Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh
Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilihan umum
sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum. Tata cara pemilihan umum
presiden dan wakil presiden lebih lanjut diatur dalam Undang-
Undang.
2. Bahwa landasan konstitusional pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden tersebut dapat dilihat dalam Pasal 6A ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 6A ayat (5) yang menyebutkan
bahwa tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang;
3. Bahwa UUD Tahun 1945 tidak mengatur secara rinci mengatur
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tata cara pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu pengaturan lebih lanjut
diamanatkan diatur dalam sebuah undang-undang. Berdasarkan Pasal
6A ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Pemerintah bersama-sama dengan DPR diberi kewenangan
konstitusional untuk mengatur lebih lanjut tentang tata cara
pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam sebuah
Undang-Undang, yaitu dengan pembentukan Undang-Undang Nomor
42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
4. Bahwa dalam Penjelasan Umum UU Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden menguraikan mengenai alasan perlunya dibentuk UU a quo
yakni; Untuk menjamin pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden yang berkualitas, memenuhi derajat kompetisi yang sehat,
partisipatif, dan dapat dipertanggungjawabkan perlu dibentuk Undang-
Undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang sesuai dengan
perkembangan demokrasi dan dinamika masyarakat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara;
5. Bahwa dijelaskan lebih lanjut; Dalam undang-undang ini
penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan
dengan tujuan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang
memperoleh dukungan kuat dari rakyat sehingga mampu menjalankan
fungsi kekuasaan pemerintahan negara dalam rangka tercapainya
tujuan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945.
Di samping itu pengaturan terhadap Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden dalam Undang-Undang ini juga dimaksudkan untuk
menegaskan sistem presidensial yang kuat dan efektif, dimana
presiden dan wakil presiden terpilih tidak hanya memperoleh legitimasi
yang kuat dari rakyat, namun
dalam rangka mewujudkan efektivitas pemerintahan juga diperlukan
basis dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat;
6. Bahwa mengenai pelaksanaan Pemilihan Umum Serentak dalam
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilihan Umum
MPR, DPR, DPD, dan DPRD,sebagaimana dikehendaki oleh Pemohon
dalam permohonan a quo, menurut pendapat DPR dalam konstitusi
tidak ada norma yang mengatur secara tegas mengenai waktunya
harus bersamaan, hanya kurun waktunya yang disebutkan yaitu
lima tahunan.
7. Bahwa terhadap konstitusionalitas ketentuan Pasal 3 ayat (5) UU
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi
dalam Putusan Perkara Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 halaman 186
187 telah berpendapat bahwa:
hal tersebut merupakan cara atau persoalan prosedural yang dalam
pelaksanaannya acapkali menitikberatkan pada tata urut yang tidak
logis atas dasar pengalaman yang lazim dilakukan. Apa yang disebut
dengan hukum tidak selalu sama dan sebangun dengan pengertian
menurut logika hukum apalagi logika umum. Oleh sebab itu,
pengalaman dan kebiasaan juga bisa menjadi hukum. Misalnya, Pasal
3 ayat (5) berbunyi, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan
setelah pelaksanaan Pemilu DPR, DPD dan DPRD. Pengalaman
yang telah berjalan ialah Pemilu Presiden dilaksanakan setelah
Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, karena Presiden dan/atau Wakil
Presiden dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat [Pasal 3
ayat (2) UUD 1945], sehingga Pemilu DPR dan DPD didahulukan
untuk dapat dibentuk MPR. Lembaga inilah yang kemudian
melantik Presiden dan Wakil Presiden, oleh karenanya harus
dibentuk lebih dahulu. Sesungguhnya telah terjadi apa yang disebut
desuetudo atau kebiasaan (konvensi ketatanegaraan) telah
menggantikan ketentuan hukum, yaitu suatu hal yang seringkali terjadi
baik praktik di Indonesia maupun di negara lain. Hal ini merupakan
kebenaran bahwa the life of law has not been logic it has been
experience. Oleh karena kebiasaan demikian telah diterima dan
dilaksanakan, sehingga dianggap tidak
bertentangan dengan hukum. Dengan demikian maka kedudukan
Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 adalah konstitusional;
8. Bahwa dengan demikian ketentuan Pasal 3 ayat (5) sama sekali tidak
bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Oleh karenanya ketentuan
Pasal 9 Pasal 12 ayat (1), ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU
Pemliu Presiden dan Wakil Presiden yang merupakan ketentuan
lanjutan dari Pasal 3 ayat (5) secara mutatis mutandis juga tidak
bertentangan UUD Tahun 1945.
Bahwa berdasarkan pada dalil-dalil tersebut di atas, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia memohon kiranya Majelis Hakim
Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
1) menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya
permohonan a quo tidak diterima;
2) menerima Keterangan DPR RI secara keseluruhan;
3) menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 9. Pasal 12 ayat (1), ayat (2),
Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
4) menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 9. Pasal 12 ayat (1), ayat (2),
Pasal
14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tetap
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
[2.5] Menimbang bahwa Pemohon menyampaikan kesimpulan bertanggal 19
Maret 2013 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 19 Maret
2013, yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya;

[2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,


segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara
persidangan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
putusan ini;
3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah


pengujian konstitusionalitas Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4924), (selanjutnya disebut UU 42/2008), yakni:

Pasal 3 ayat (5)


Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan
pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Pasal 9
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik
peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20%
(dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima
persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum
pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;

Pasal 12 ayat (1) dan (2)


(1) Partai Politik atau Gabungan Partai Politik dapat mengumumkan bakal
calon Presiden dan/atau bakal calon Wakil Presiden dalam kampanye
pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD;
(2) Bakal calon Presiden dan/atau bakal calon Wakil Presiden yang
diumumkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus sudah mendapatkan persetujuan tertulis
dari bakal calon yang bersangkutan;

Pasal 14 ayat (2)


Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama 7
(tujuh) hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota
DPR;

Pasal 112
Pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling
lama 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota;

terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2), Pasal
22E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat
(3), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), yakni:
Pasal 1 ayat (2)
Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar.

Pasal 4 ayat (1)


Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar.

Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2)


(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat.
(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan
pemilihan umum.

Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2)


(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil setiap lima tahun sekali.
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 27 ayat (1)


Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya.

Pasal 28D ayat (1)


Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Pasal 28D ayat (3)


Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.

Pasal 28H ayat (1)


Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.
Pasal 33 ayat (4)
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,


Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan
mempertimbangkan:
a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo;
b. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk mengajukan permohonan
a quo;

Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai

berikut:

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal
10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya
disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu
kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar;

[3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah pengujian


konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu Pasal 3 ayat (5), Pasal 9,
Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU 42/2008
terhadap
Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22E ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal
28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Dengan demikian, Mahkamah
berwenang untuk mengadili permohonan a quo;

Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta


Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh
berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat;
d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap


UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK;
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD
1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;

[3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah


Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007,
serta putusan-putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU
MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual
atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi;

[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada


paragraf [3.5] dan paragraf [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon
dalam permohonan a quo yang mendalilkan hal-hal sebagai berikut:

[3.7.1] Bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia yang selalu aktif
menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum; selalu aktif dalam kegiatan
advokasi publik untuk perbaikan sistem komunikasi politik, perbaikan sistem
politik, dan perbaikan sistem pemilihan umum di Indonesia; selalu aktif dalam
kegiatan advokasi dan gerakan anti korupsi; selalu aktif untuk melakukan
penelitian tentang hak-hak warga negara sesuai dengan jaminan konstitusi; dan
selalu aktif berbicara kepada publik mengenai semua kegiatan advokasi publik
dan penelitian yang telah dilakukan (vide bukti P-1);

[3.7.2] Bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia pembayar pajak


(terdaftar dengan NPWP 06.7900084-005000, sejak 4-1-1992), maka adalah hak
konstitusional Pemohon sebagai warga negara Indonesia untuk mendapat
sebesar-besarnya manfaat dari jumlah pajak yang dibayarkan oleh warga negara
untuk pembangunan bangsa di segala bidang, seperti pembangunan
infrastruktur dan pelayanan publik, antara lain, sejalan dengan Pasal 28H dan
Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Menurut Pemohon, Undang-Undang yang
dimohonkan untuk diuji selain melanggar konstitusi juga telah memboroskan
uang pajak warga negara (termasuk Pemohon) yang seharusnya dipergunakan
untuk membangun infrastruktur dan pelayanan publik lainnya, serta sistem
perekonomian berkeadilan dan berkelanjutan yang merupakan hak konstitusional
warga negara;
[3.7.3] Bahwa Pemohon mendalilkan, hak konstitusional Pemohon telah
dirugikan akibat tidak diselenggarakannya pemilihan umum secara serentak
sesuai Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, yakni: a) hak konstitusional
Pemohon
sebagai warga negara untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum yang adil
sebagaimana dijamin ketentuan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; b) hak
konstitusional Pemohon sebagai warga negara untuk memilih dan dipilih yang
telah dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
khususnya terkait dengan kecerdasan berpolitik (political efficacy) dan peluang
presidential coattail yang dapat mengefektifkan dan menstabilkan pemerintahan
presidensial; c) hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara dan bersama
seluruh warga negara lainnya untuk mendapatkan pembangunan infrastruktur
dan pelayanan publik serta sistem perekonomian berkeadilan dan berkelanjutan
yang merupakan hak konstitusional warga negara dari (sebagai ganti)
pemborosan Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah yang dibelanjakan untuk pelaksanaan pemilihan umum yang
tidak serentak;

[3.8] Menimbang bahwa dengan mendasarkan pada Pasal 51 ayat (1) UU


MK, dikaitkan dengan putusan-putusan Mahkamah sebelumnya mengenai
kedudukan hukum (legal standing), serta dalil-dalil kerugian hak konstitusional
yang dialami oleh Pemohon sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah,
Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia dan pembayar pajak
(vide bukti P-1 dan bukti P-4) memiliki hak konstitusional yang dijamin oleh UUD
1945. Kerugian konstitusional tersebut bersifat aktual atau setidaknya bersifat
potensial, spesifik, dan terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara
kerugian dimaksud dan berlakunya norma Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian. Dengan demikian, Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan a quo;

[3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili


permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan permohonan a quo, selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan pokok permohonan;

Pokok Permohonan

[3.10] Menimbang bahwa meskipun Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, dan Pasal 14
ayat (2) UU 42/2008 pernah dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya di
hadapan Mahkamah sebagaimana diputuskan dalam Putusan Mahkamah Nomor
56/PUU-VI/2008, bertanggal 17 Februari 2009, Putusan Mahkamah Nomor 51-
52-
59/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009, Putusan Mahkamah Nomor
26/PUU-VII/2009 bertanggal 14 September 2009, dan Putusan Mahkamah
Nomor 4/PUU-XI/2013, bertanggal 26 Maret 2013, namun demikian, ketentuan
Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) UU MK menyatakan: (1) Terhadap materi muatan
ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat
dimohonkan pengujian kembali. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Demikian juga Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian
Undang-Undang menyatakan: (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau
bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian UU terhadap
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah
diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-
syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan
berbeda. Menurut Mahkamah, permohonan yang telah diputus pada Putusan
Mahkamah Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009, pada
pokoknya menggunakan dasar konstitusional Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E
ayat (1), serta ayat (2) UUD 1945, sedangkan permohonan a quo mengunakan
dasar pengujian Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal
28D ayat (3), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, dengan
argumentasi berbeda yang akan dipertimbangkan selanjutnya, serta Putusan
Mahkamah Nomor 56/PUU-VI/2008, bertanggal 17 Februari 2009, Putusan
Mahkamah Nomor 26/PUU-VII/2009 bertanggal 14 September 2009, dan
Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-XI/2013, bertanggal 26 Maret 2013 memiliki
isu hukum yang berbeda dengan permohonan a quo, yaitu mengenai pasangan
calon presiden dan wakil presiden dari perseorangan dan isu lainnya. Dengan
demikian menurut Mahkamah, berdasarkan Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) UU
MK dan Pasal
42 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005
tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang,
Mahkamah dapat mengadili permohonan a quo.
[3.11] Menimbang bahwa pokok permohonan Pemohon adalah sebagaimana
diuraikan dalam paragraf [3.1] yang pada pokoknya mendalilkan sebagai berikut:

1) Berdasarkan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, Pemilihan
umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
setiap lima tahun sekali maka konstitusi mengamanatkan hanya ada satu
pemilihan umum dalam kurun waktu lima tahun. Selanjutnya Pasal 22E ayat
(1) UUD 1945 langsung diikuti oleh ayat (2) dalam satu tarikan nafas yang
menyatakan, Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Norma konstitusi tersebut
mengandung arti bahwa pemilihan umum yang dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali itu
diamanatkan untuk sekaligus (serentak) memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Kemudian Pasal 22E ayat (6) UUD 1945
menyatakan, Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan
undang- undang. Norma konstitusi tersebut sejalan dan memperkuat Pasal
22E ayat (1) dan ayat (2) dengan mengamanatkan agar pemilihan umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (2) diatur dalam satu undang-
undang saja karena UUD 1945 menggunakan istilah diatur dengan undang-
undang, bukan diatur dalam undang-undang, sehingga seharusnya diatur
dengan satu Undang-Undang, yaitu Undang-Undang tentang pemilihan
umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah;

2) Bahwa Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menegaskan, Pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Norma
konstitusi tersebut mengandung arti bahwa pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum, sedangkan
pemilihan umum sesuai dengan ketentuan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2)
UUD 1945;
3) Namun ternyata, ketentuan-ketentuan konstitusional dan original intent Pasal
22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 tersebut diimplementasikan secara
menyimpang oleh pembentuk Undang-Undang dengan membuat norma yang
bertentangan dengan UUD 1945 melalui UU 42/2008 khususnya Pasal 3 ayat
(5) yang berbunyi, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah
pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dengan
norma tersebut maka pelaksanaan pemilihan umum dalam kurun waktu 5
tahun menjadi lebih dari satu kali (tidak serentak) yakni pemilihan umum
anggota DPR, DPD, dan DPRD, lalu pemilihan umum Presiden dan Wakil
Presiden;

4) Oleh karena Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 telah nyata-nyata bertentangan


dengan UUD 1945, maka Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14
ayat (2), Pasal 112 UU 42/2008 secara mutatis mutandis bertentangan
dengan UUD 1945, karena bertentangan dengan spirit pelaksanaan
pemilihan umum serentak sesuai UUD 1945 dan harus dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan mengikat.

5) Hak warga negara untuk memilih secara cerdas pada pemilihan umum
serentak ini terkait dengan konsep political efficacy di mana warga negara
dapat membangun peta checks and balances dari pemerintahan presidensial
dengan keyakinannya sendiri. Untuk itu warga negara dapat menggunakan
konsep presidential coattail, dimana warga negara memilih anggota legislatif
pusat dan daerah (bahkan juga di masa depan: Kepala Daerah) yang berasal
dari partai yang sama dengan calon presiden dan wakil presiden. Hanya
dengan pemilihan umum serentak warga negara dapat melaksanakan haknya
untuk memilih secara cerdas (menggunakan presidential coattail & political
efficacy) dan efisen. Di samping itu, pemilihan umum yang tidak serentak
adalah pemborosan anggaran yang sangat besar dan tidak efisien. Oleh
karena itu, menurut Pemohon, Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga
Perwakilan yang tidak serentak tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat
(1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33
ayat (4) UUD 1945;

[3.12] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon


mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan
bukti P-7 dan keterangan lisan/tertulis ahli Irman Putra Sidin, Hamdi Muluk, Didik
Supriyanto, dan Saldi Isra, dan keterangan ad informandum Slamet Effendy
Yusuf, selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara, serta kesimpulan
bertanggal
19 Maret 2013 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 19 Maret
2013 yang pada pokoknya menerangkan tetap pada pendiriannya;

[3.13] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden


melalui kuasanya telah menyampaikan keterangan lisan dalam persidangan
tanggal 14 Maret 2013 dan menyampaikan keterangan tertulis, bulan April 2013,
yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 Mei 2013 dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyampaikan keterangan lisan dalam
persidangan tanggal 14 Maret 2013 dan menyampaikan keterangan tertulis,
bulan Maret 2013, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 20
Maret 2013, yang pada pokoknya baik Presiden dan DPR menyatakan,
ketentuan Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14
ayat (2), dan Pasal
112 UU 42/2008 tidaklah bertentangan dengan UUD 1945, keterangan
selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara;

Pendapat Mahkamah

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil permohonan Pemohon, bukti-


bukti surat/tulisan yang diajukan, keterangan ahli dan keterangan ad
informandum Pemohon, keterangan Presiden, keterangan DPR, kesimpulan
Pemohon, serta fakta yang terungkap dalam persidangan, menurut Mahkamah,
pengujian konstitusionalitas dalam permohonan a quo dikelompokkan atas 2
(dua) isu, yaitu:

1. Norma yang menetapkan penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan


Wakil Presiden (Pilpres) dilakukan setelah penyelenggaraan Pemilihan Umum
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan), yaitu
Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008; dan

2. Norma yang berkaitan dengan tata cara dan persyaratan pengajuan


pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, yaitu Pasal 9, Pasal 12 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU 42/2008.

Bahwa berkaitan dengan pengelompokan norma ini, permasalahan utama


yang perlu dipertimbangkan oleh Mahkamah terlebih dahulu adalah apakah
penyelenggaraan Pilpres yang dilakukan setelah penyelenggaraan Pemilu
Anggota Lembaga Perwakilan bertentangan dengan konstitusi?;
[3.15] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan pokok
persoalan yang diajukan Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu mengemukakan
bahwa masalah konstitusional yang diajukan oleh Pemohon, yaitu permohonan
pengujian konstitusionalitas Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008, pernah diperiksa dan
diputuskan oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008,
bertanggal 18 Februari 2009. Dalam putusan tersebut Mahkamah, antara lain,
mempertimbangkan:
Bahwa terhadap Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 Mahkamah berpendapat
bahwa hal tersebut merupakan cara atau persoalan prosedural yang
dalam pelaksanaannya acapkali menitikberatkan pada tata urut yang
tidak logis atas dasar pengalaman yang lazim dilakukan. Apa yang
disebut dengan hukum tidak selalu sama dan sebangun dengan
pengertian menurut logika hukum apalagi logika umum. Oleh sebab itu,
pengalaman dan kebiasaan juga bisa menjadi hukum. Misalnya, Pasal 3
ayat (5) berbunyi, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan
setelah pelaksanaan Pemilu DPR, DPRD dan DPD. Pengalaman yang
telah berjalan ialah Pemilu Presiden dilaksanakan setelah Pemilu DPR,
DPD, dan DPRD, karena Presiden dan/atau Wakil Presiden dilantik oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat [Pasal 3 ayat (2) UUD 1945], sehingga
Pemilu DPR dan DPD didahulukan untuk dapat dibentuk MPR. Lembaga
inilah yang kemudian melantik Presiden dan Wakil Presiden, oleh
karenanya harus dibentuk lebih dahulu. Sesungguhnya telah terjadi apa
yang disebut desuetudo atau kebiasaan (konvensi ketatanegaraan) telah
menggantikan ketentuan hukum, yaitu suatu hal yang seringkali terjadi
baik praktik di Indonesia maupun di negara lain. Hal ini merupakan
kebenaran bahwa the life of law has not been logic it has been
experience. Oleh karena kebiasaan demikian telah diterima dan
dilaksanakan, sehingga dianggap tidak bertentangan dengan hukum.
Dengan demikian maka kedudukan Pasal
3 ayat (5) UU 42/2008 adalah konstitusional.

[3.16] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, Putusan Nomor 51-52-59/PUU-


VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009 tersebut, yang merujuk pada praktik
ketatanegaraan sebelumnya yang dalam putusan tersebut disebut sebagai
desuetudo atau konvensi ketatanegaraan. Hal demikian bukanlah berarti bahwa
praktik ketatanegaraan tersebut adalah dipersamakan dengan atau merupakan
ketentuan konstitusi sebagai dasar putusan untuk menentukan konstitusionalitas
penyelenggaraan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan. Putusan
tersebut harus dimaknai sebagai pilihan penafsiran Mahkamah atas ketentuan
konstitusi yang sesuai dengan konteks pada saat putusan tersebut dijatuhkan.
Praktik ketatanegaraan, apalagi merujuk pada praktik ketatanegaraan yang
terjadi hanya sekali, tidaklah memiliki kekuatan mengikat seperti halnya
ketentuan konstitusi itu sendiri. Apabila teks konstitusi baik yang secara tegas
(expresis verbis) maupun yang secara implisit sangat jelas, maka praktik
ketatanegaraan tidak dapat menjadi norma konstitusional untuk menentukan
konstitusionalitas norma dalam pengujian Undang-Undang. Kekuatan mengikat
dari praktik ketatanegaraan tidak lebih dari keterikatan secara moral, karena itu
praktik ketatanegaraan biasa dikenal juga sebagai ketentuan moralitas konstitusi
(rules of constitutional morality), yaitu kekuatan moralitas konstitusional yang
membentuk kekuasaan dan membebani kewajiban yang secara legal tidak dapat
dipaksakan tetapi dihormati dan dianggap mengikat (rules of constitutional
morality, create powers and imposed obligations which are not legally
enforceable, but which are regarded as binding). Dalam hal ini, penyimpangan
dalam praktik ketatanegaraan, secara konstitusional adalah tidak patut, tetapi
bukan berarti inkonstitusional. Bahkan pada praktik di berbagai negara common
law, praktik ketatanegaraan cenderung diletakkan di bawah rule of law dan
common law (hukum yang bersumber dari putusan pengadilan), serta tidak
mengikat pengadilan karena dianggap bukan hukum.
Dengan demikian, menurut Mahkamah, praktik ketatanegaraan yang
menjadi pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 51-52-59/PUU-
VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009 tersebut, bukanlah berarti bahwa
penyelenggaraan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan
merupakan permasalahan konstitusionalitas, melainkan merupakan pilihan
penafsiran konstitusional yang terkait dengan konteks pada saat putusan itu
dibuat. Mengenai pelantikan atau pengucapan sumpah Presiden dan Wakil
Presiden, berdasarkan ketentuan Pasal
9 ayat (1) UUD 1945, sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil
Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di
hadapan MPR atau DPR. Menurut Mahkamah, secara rasional berdasarkan
penalaran yang wajar dan praktik ketetanegaraan maka pengucapan sumpah
anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah pada periode tersebut lebih dahulu
dilaksanakan, sesudahnya Presiden dan Wakil Presiden periode baru
bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan
MPR. Jadi penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan
baik secara serentak maupun tidak serentak tidaklah mengubah agenda
pengucapan sumpah Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dilaksanakan
selama ini;

[3.17] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, untuk menentukan


konstitusionalitas penyelenggaraan Pilpres apakah setelah atau bersamaan
dengan penyelenggaraan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan, paling tidak
harus memperhatikan tiga pertimbangan pokok, yaitu kaitan antara sistem
pemilihan dan pilihan sistem pemerintahan presidensial, original intent dari
pembentuk UUD 1945, efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilihan
umum, serta hak warga negara untuk memilih secara cerdas. Selanjutnya
Mahkamah akan menguraikan ketiga dasar pertimbangan tersebut, sebagai
berikut:
Pertama, menurut Mahkamah penyelenggaraan Pilpres haruslah dikaitkan
dengan rancang bangun sistem pemerintahan menurut UUD 1945, yaitu sistem
pemerintahan presidensial. Salah satu di antara kesepakatan Badan Pekerja
Majelis Permusyawaratan Rakyat saat melakukan pembahasan Perubahan UUD
1945 (1999-2002) adalah memperkuat sistem presidensial. Dalam sistem
pemerintahan presidensial menurut UUD 1945, Presiden memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Presiden sebagai kepala negara
dan lambang pemersatu bangsa. Presiden tidak hanya ditentukan oleh mayoritas
suara pemilih, akan tetapi juga syarat dukungan minimal sekurang-kurangnya
lima puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah
jumlah provinsi di Indonesia dapat langsung diambil sumpahnya sebagai
Presiden. Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara.
Presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa jabatan lima tahun dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu
kali masa jabatan. Presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) hanya dengan alasan-alasan tertentu yang secara limitatif
ditentukan dalam UUD 1945, yaitu apabila terbukti menurut putusan pengadilan
dalam hal ini Mahkamah Konstitusi, telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela
dan/atau apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Dengan
sistem pemerintahan yang demikian, UUD 1945 menempatkan Presiden dalam
posisi yang kuat sehingga dalam masa jabatannya tidak dapat dijatuhkan oleh
DPR selain karena alasan dan proses yang secara limitatif telah ditentukan
dalam UUD 1945. Posisi Presiden dalam hubungannya dengan DPR adalah
sejajar dengan prinsip hubungan yang saling mengawasi dan mengimbangi
(checks and balances). Menurut UUD 1945, dalam hal tertentu kebijakan
Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR seperti pengangkatan duta
dan penerimaan duta dari negara lain. Presiden dalam menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta perjanjian
internasional yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan
rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan
perubahan atau pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan DPR.
Pada sisi lain, DPR dalam menjalankan kekuasaan membentuk Undang-Undang
harus dilakukan bersama- sama serta disetujui bersama dengan Presiden.
Mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Presiden
mengajukan rancangan APBN untuk dibahas bersama untuk mendapat
persetujuan DPR dan apabila rancangan APBN tidak mendapatkan persetujuan
DPR, Presiden menjalankan APBN tahun sebelumnya. Berdasarkan sistem
pemerintahan yang demikian, posisi Presiden secara umum tidak tergantung
pada ada atau tidak adanya dukungan DPR sebagaimana lazimnya yang berlaku
dalam sistem pemerintahan parlementer. Hanya untuk tindakan dan beberapa
kebijakan tertentu saja tindakan Presiden harus dengan pertimbangan atau
persetujuan DPR. Walaupun dukungan DPR sangat penting untuk efektivitas
jalannya pemerintahan yang dilakukan Presiden tetapi dukungan tersebut
tidaklah mutlak.
Menurut UUD 1945, seluruh anggota DPR dipilih melalui mekanisme
pemilihan umum yang pesertanya diikuti oleh partai politik, sehingga anggota
DPR pasti anggota partai politik. Oleh karena konfigurasi kekuatan DPR,
berkaitan dengan konfigurasi kekuatan partai politik yang memiliki anggota di
DPR, maka posisi partai politik yang memiliki kursi di DPR dalam sistem
pemerintahan Indonesia adalah penting dan dapat mempengaruhi efektivitas
pelaksanaan kebijakan pemerintahan oleh Presiden. Walaupun demikian,
Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan tidak tergantung
sepenuhnya pada ada atau tidak adanya dukungan partai politik, karena
Presiden dipilih langsung oleh
rakyat, maka dukungan dan legitimasi rakyat itulah yang seharusnya
menentukan efektivitas kebijakan pemerintahan yang dilakukan oleh Presiden.
Dari ketentuan UUD 1945 tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada satu sisi,
sistem pemerintahan Indonesia menempatkan partai politik dalam posisi penting
dan strategis, yaitu Presiden memerlukan dukungan partai politik yang memiliki
anggota di DPR untuk efektivitas penyelenggaraan pemerintahannya dan pada
sisi lain menempatkan rakyat dalam posisi yang menentukan legitimasi seorang
Presiden. Di samping itu, pada satu sisi calon Presiden/Wakil Presiden hanya
dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik dan pada sisi lain
menempatkan rakyat dalam posisi yang menentukan karena siapa yang menjadi
Presiden sangat tergantung pada pilihan rakyat. Hak eksklusif partai politik dalam
pencalonan Presiden sangat terkait dengan hubungan antara DPR dan Presiden
dan rancang bangun sistem pemerintahan yang diuraikan di atas, karena
anggota DPR seluruhnya berasal dari partai politik, akan tetapi hak eksklusif
partai politik ini diimbangi oleh hak rakyat dalam menentukan siapa yang terpilih
menjadi Presiden dan legitimasi rakyat kepada seorang Presiden. Dengan
demikian, idealnya menurut desain UUD 1945, efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan oleh Presiden sangat berkaitan dengan dua dukungan, yaitu
dukungan rakyat pada satu sisi dan dukungan partai politik pada sisi yang lain.
Hal yang sangat mungkin terjadi adalah pada satu sisi Presiden mengalami
kekurangan (defisit) dukungan partai politik yang memiliki anggota DPR, tetapi
pada sisi lain mendapat banyak dukungan dan legitimasi kuat dari rakyat. Dalam
kondisi yang demikian, terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi, yaitu
pertama, sepanjang tidak ada pelanggaran yang ditentukan oleh UUD 1945 oleh
Presiden yang dapat digunakan sebagai alasan pemakzulan, Presiden tetap
dapat menjalankan pemerintahan tanpa dapat dijatuhkan oleh DPR walaupun
tidak dapat melaksanakan pemerintahannya secara efektif. Kemungkinan kedua,
adalah DPR akan mengikuti kemauan Presiden, karena jika tidak, partai-partai
politik akan kehilangan dukungan rakyat dalam pemilihan umum. Berdasarkan
kerangka sistem yang demikian, menurut Mahkamah, mekanisme pemilihan
Presiden dalam desain UUD 1945 harus dikaitkan dengan sistem pemerintahan
yang dianut UUD 1945.
Dalam penyelenggaraan Pilpres tahun 2004 dan tahun 2009 yang
dilakukan setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan ditemukan fakta politik
bahwa untuk mendapat dukungan demi keterpilihan sebagai Presiden dan
dukungan DPR
dalam penyelenggaraan pemerintahan, jika terpilih, calon Presiden terpaksa
harus melakukan negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik terlebih
dahulu dengan partai politik yang berakibat sangat mempengaruhi jalannya roda
pemerintahan di kemudian hari. Negosiasi dan tawar-menawar tersebut pada
kenyataannya lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategis
dan jangka panjang, misalnya karena persamaan garis perjuangan partai politik
jangka panjang. Oleh karena itu, Presiden pada faktanya menjadi sangat
tergantung pada partai-partai politik yang menurut Mahkamah dapat mereduksi
posisi Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem
pemerintahan presidensial. Dengan demikian, menurut Mahkamah,
penyelenggaraan Pilpres harus menghindari terjadinya negosiasi dan tawar-
menawar (bargaining) politik yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat,
sehingga tercipta negosiasi dan koalisi strategis partai politik untuk kepentingan
jangka panjang. Hal demikian akan lebih memungkinkan bagi penggabungan
partai politik secara alamiah dan strategis sehingga dalam jangka panjang akan
lebih menjamin penyederhanaan partai politik. Dalam kerangka itulah ketentuan
Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 harus dimaknai.
Menurut Mahkamah, praktik ketatanegaraan hingga saat ini, dengan
pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan ternyata
dalam perkembangannya tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan
sosial ke arah yang dikehendaki. Hasil dari pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu
Anggota Lembaga Perwakilan tidak juga memperkuat sistem presidensial yang
hendak dibangun berdasarkan konstitusi. Mekanisme saling mengawasi dan
mengimbangi (checks and balances), terutama antara DPR dan Presiden tidak
berjalan dengan baik. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden kerap
menciptakan koalisi taktis yang bersifat sesaat dengan partai-partai politik
sehingga tidak melahirkan koalisi jangka panjang yang dapat melahirkan
penyederhanaan partai politik secara alamiah. Dalam praktiknya, model koalisi
yang dibangun antara partai politik dan/atau dengan pasangan calon
Presiden/Wakil Presiden justru tidak memperkuat sistem pemerintahan
presidensial. Pengusulan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh
gabungan partai politik tidak lantas membentuk koalisi permanen dari partai
politik atau gabungan partai politik yang kemudian akan menyederhanakan
sistem kepartaian. Berdasarkan pengalaman praktik ketatanegaraan tersebut,
pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga
Perwakilan tidak memberi penguatan atas sistem pemerintahan yang
dikehendaki oleh konstitusi. Oleh karena itu, norma pelaksanaan Pilpres yang
dilakukan setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan telah nyata tidak sesuai
dengan semangat yang dikandung oleh UUD 1945 dan tidak sesuai dengan
makna pemilihan umum yang dimaksud oleh UUD 1945, khususnya dalam Pasal
22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, Pemilihan umum dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali
dan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, Pemilihan umum
diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, serta Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Kedua, dari sisi original intent dan penafsiran sistematik. Apabila diteliti
lebih lanjut makna asli yang dikehendaki oleh para perumus perubahan UUD
1945, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan Pilpres adalah dilakukan
serentak dengan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan. Hal itu secara tegas
dikemukakan oleh Slamet Effendy Yusuf sebagai salah satu anggota Panitia Ad
Hoc I Badan Pekerja MPR RI yang mempersiapkan draft perubahan UUD 1945
yang mengemukakan bahwa para anggota MPR yang bertugas membahas
perubahan UUD 1945 ketika membicarakan mengenai permasalahan ini telah
mencapai satu kesepakatan bahwa ...yang dimaksud pemilu itu adalah pemilu
untuk DPR, pemilu untuk DPD, pemilu untuk presiden dan wakil presiden, dan
DPRD. Jadi, diletakkan dalam satu rezim pemilu. Diterangkan lebih lanjut secara
teknis bahwa gambaran pelaksanaan Pemilu nantinya akan terdapat 5 (lima)
kotak, yaitu ... Kotak 1 adalah kotak DPR, kotak 2 adalah kotak DPD, kotak 3
adalah presiden dan wakil presiden, dan kotak 4 adalah DPRD provinsi, kotak 5
adalah DPRD kabupaten/kota. (vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses,
dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku V Pemilihan Umum (2010), halaman
602 yang mengutip Risalah Komisi A ke-2 Sidang Majelis pada Sidang Tahunan
MPR 2001, tanggal 5 November 2001). Dengan demikian, dari sudut pandang
original intent dari penyusun perubahan UUD 1945 telah terdapat gambaran
visioner mengenai mekanisme penyelenggaraan Pilpres, bahwa Pilpres
diselenggarakan secara bersamaan dengan Pemilu Anggota Lembaga
Perwakilan. Hal demikian sejalan
dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang menentukan bahwa yang dimaksud
dengan pemilihan umum berada dalam satu tarikan nafas, yakni, Pemilihan
umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. Berdasarkan pemahaman yang demikian, UUD 1945 memang
tidak memisahkan penyelenggaraan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan dan
Pilpres. Terkait dengan hal tersebut, pemilihan umum yang dimaksud frasa
sebelum pelaksanaan pemilihan umum dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945
yang selengkapnya menyatakan, Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum
sebelum pelaksanaan pemilihan umum adalah pemilihan umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945. Maksud penyusun perubahan
UUD 1945 dalam rumusan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 pada kenyataannya
adalah agar pelaksanaan pemilihan umum diselenggarakan secara bersamaan
antara Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Pemilu Anggota
Lembaga Perwakilan) dan Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden
(Pilpres). Selain itu, dengan mempergunakan penafsiran sistematis atas
ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, Pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum,
dikaitkan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, Pemilihan
umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, adalah tidak mungkin yang dimaksud sebelum
pemilihan umum dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 adalah sebelum Pilpres,
karena jika frasa sebelum pemilihan umum dimaknai sebelum Pilpres, maka
frasa sebelum pemilihan umum tersebut menjadi tidak diperlukan, karena calon
Presiden dengan sendirinya memang harus diajukan sebelum pemilihan
Presiden. Dengan demikian menurut Mahkamah, baik dari sisi metode
penafsiran original intent maupun penafsiran sistematis dan penafsiran
gramatikal secara komprehensif, Pilpres dilaksanakan bersamaan dengan
pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan. Menurut
Mahkamah, dalam memaknai ketentuan UUD mengenai struktur ketatanegaraan
dan sistem pemerintahan harus mempergunakan metode penafsiran yang
komprehensif untuk memahami norma UUD 1945 untuk menghindari penafsiran
yang terlalu luas, karena menyangkut desain sistem pemerintahan dan
ketatanegaraan yang dikehendaki dalam keseluruhan norma UUD 1945 sebagai
konstitusi yang tertulis;
Ketiga, sejalan dengan pemikiran di atas, penyelenggaraan Pilpres dan
Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak memang akan lebih
efisien, sehingga pembiayaan penyelenggaraan lebih menghemat uang negara
yang berasal dari pembayar pajak dan hasil eksploitasi sumber daya alam serta
sumber daya ekonomi lainnya. Hal itu akan meningkatkan kemampuan negara
untuk mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan
UUD 1945 yang antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum dan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Selain itu, Pilpres yang diselenggarakan secara
serentak dengan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan juga akan mengurangi
pemborosan waktu dan mengurangi konflik atau gesekan horizontal di
masyarakat;
Bahwa selain itu, hak warga negara untuk memilih secara cerdas pada
pemilihan umum serentak ini terkait dengan hak warga negara untuk
membangun peta checks and balances dari pemerintahan presidensial dengan
keyakinannya sendiri. Untuk itu warga negara dapat mempertimbangkan sendiri
mengenai penggunaan pilihan untuk memilih anggota DPR dan DPRD yang
berasal dari partai yang sama dengan calon presiden dan wakil presiden. Hanya
dengan pemilihan umum serentak warga negara dapat menggunakan haknya
untuk memilih secara cerdas dan efisien. Dengan demikian pelaksanaan Pilpres
dan Pemilihan Anggota Lembaga Perwakilan yang tidak serentak tidak sejalan
dengan prinsip konstitusi yang menghendaki adanya efisiensi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan hak warga negara untuk memilih secara
cerdas;

[3.18] Menimbang bahwa terhadap isu konstitusionalitas yang kedua yaitu


Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU 42/2008,
menurut Mahkamah karena pasal-pasal tersebut merupakan prosedur lanjutan
dari Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 maka seluruh pertimbangan mengenai Pasal 3
ayat
(5) UU 42/2008 mutatis mutandis menjadi pertimbangan pula terhadap pasal-
pasal tersebut, sehingga permohonan Pemohon beralasan menurut hukum.
Adapun mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 9 UU 42/2008,
Mahkamah mempertimbangkan bahwa dengan penyelenggaraan Pilpres dan
Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan dalam pemilihan umum secara serentak
maka ketentuan pasal persyaratan perolehan suara partai politik sebagai syarat
untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan
kewenangan pembentuk Undang-Undang dengan tetap mendasarkan pada
ketentuan UUD 1945;

[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan


Pemohon mengenai penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga
Perwakilan secara serentak adalah beralasan menurut hukum;

[3.20] Menimbang bahwa meskipun permohonan Pemohon beralasan menurut


hukum, Mahkamah harus mempertimbangkan pemberlakuan penyelenggaraan
Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak, sebagaimana
dipertimbangkan berikut ini:

a. Bahwa tahapan penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2014 telah dan


sedang berjalan mendekati waktu pelaksanaan. Seluruh ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan pemilihan umum, baik
Pilpres maupun Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan, telah dibuat dan
diimplementasikan sedemikian rupa. Demikian juga persiapan-persiapan
teknis yang dilakukan oleh penyelenggara termasuk persiapan peserta
pemilihan umum dan seluruh masyarakat Indonesia telah sampai pada tahap
akhir, sehingga apabila Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 dan ketentuan-ketentuan
lain yang berkaitan dengan tata cara dan persyaratan pelaksanaan Pilpres
yang akan diputuskan dalam perkara ini harus diberlakukan segera setelah
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum maka tahapan pemilihan umum
tahun 2014 yang saat ini telah dan sedang berjalan menjadi terganggu atau
terhambat, terutama karena kehilangan dasar hukum. Hal demikian dapat
menyebabkan pelaksanaan pemilihan umum pada tahun 2014 mengalami
kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru tidak
dikehendaki karena bertentangan dengan UUD 1945;
b. Selain itu, dengan diputuskannya Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 dan
ketentuan- ketentuan lain yang berkaitan dengan tata cara dan persyaratan
pelaksanaan Pilpres maka diperlukan aturan baru sebagai dasar hukum
untuk melaksanakan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan
secara
serentak. Berdasarkan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945, ketentuan lebih lanjut
tentang pemilihan umum haruslah diatur dengan Undang-Undang. Jika aturan
baru tersebut dipaksakan untuk dibuat dan diselesaikan demi
menyelenggarakan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara
serentak pada tahun 2014, maka menurut penalaran yang wajar, jangka
waktu yang tersisa tidak memungkinkan atau sekurang-kurangnya tidak
cukup memadai untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik
dan komprehensif;
c. Langkah membatasi akibat hukum yang timbul dari pernyataan
inkonstitusionalitas atau bertentangan dengan UUD 1945 suatu Undang-
Undang pernah dilakukan Mahkamah dalam Putusan Nomor 012-016-
019/PUU-IV/2006, bertanggal 19 Desember 2006. Menurut putusan
Mahkamah tersebut, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) harus
dibentuk dengan Undang-Undang tersendiri, paling lambat tiga tahun sejak
dikeluarkannya putusan MK tersebut; dan juga dalam Putusan Nomor
026/PUU-III/2005, bertanggal 22 Maret 2006 mengenai Pengujian Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2005 tentang Anggaran Pendapatan Belanja
Negara Tahun Anggaran 2006, yang hanya membatasi akibat hukum yang
timbul dari putusan Mahkamah sepanjang menyangkut batas tertinggi
Anggaran Pendidikan;
d. Merujuk pada Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 dan Putusan
Nomor 026/PUU-III/2005 tersebut, maka dalam perkara ini pembatasan
akibat hukum hanya dapat dilakukan dengan menangguhkan pelaksanaan
putusan a quo sedemikian rupa sampai telah terlaksananya Pilpres dan
Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tahun 2014. Selanjutnya,
penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan harus
mendasarkan pada putusan Mahkamah a quo dan tidak dapat lagi
diselenggarakan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara
terpisah. Selain itu, Mahkamah berpendapat memang diperlukan waktu untuk
menyiapkan budaya hukum dan kesadaran politik yang baik bagi warga
masyarakat, maupun bagi partai politik untuk mempersiapkan diri dan
melaksanakan agenda penting ketatanegaraan;
e. Meskipun Mahkamah menjatuhkan putusan mengenai Pasal 3 ayat (5), Pasal
12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU 42/2008,
namun menurut Mahkamah penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota
Lembaga
Perwakilan tahun 2009 dan 2014 yang diselenggarakan secara tidak serentak
dengan segala akibat hukumnya harus tetap dinyatakan sah dan konstitusional.

[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di


atas, dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian;

4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di
atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;

[4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk


mengajukan permohonan a quo;
[4.3] Dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian;

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan
Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

5. AMAR PUTUSAN

Mengadili,

Menyatakan:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;

1.1. Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan
Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4924) bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2. Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan
Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4924) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat;

2. Amar putusan dalam angka 1 tersebut di atas berlaku untuk penyelenggaraan


pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya;

3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;

4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik


Indonesia sebagaimana mestinya.

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri


oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu, Moh. Mahfud MD, selaku Ketua
merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Hamdan Zoelva,
Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Harjono, dan Anwar
Usman, masing- masing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal dua puluh
enam, bulan Maret, tahun dua ribu tiga belas, dan diucapkan dalam Sidang
Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal dua
puluh tiga, bulan Januari, tahun dua ribu empat belas, selesai diucapkan
pukul 14.53 WIB, oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva selaku
Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida
Indrati, Harjono, Muhammad Alim, Anwar Usman, dan Patrialis Akbar, masing-
masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Luthfi Widagdo Eddyono
sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon/kuasanya, Pemerintah atau
yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. Terhadap
putusan Mahkamah ini, satu hakim konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Maria
Farida Indrati memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion);

KETUA,

ttd

Hamdan Zoelva
ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd
ttd
Ahmad Fadlil Sumadi
Arief

Hidayat

ttd ttd

Harjono
Maria Farida
Indrati

ttd ttd

Muhammad Anwar Usman

Alim

ttd

Patrialis Akbar

6. PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION)

[6.1] Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Hakim Konstitusi Maria


Farida Indrati
Tepat hampir lima tahun yang lalu, Mahkamah pernah memutus
permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008. Dalam
Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009,
Mahkamah telah menyatakan, ...kedudukan Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 adalah
konstitusional. Hal demikian didasari bahwa Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 yang
selengkapnya berbunyi, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan
setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD dianggap
merupakan cara atau persoalan prosedural yang dalam pelaksanaannya
acapkali menitikberatkan pada tata urut yang tidak logis atas dasar pengalaman
yang lazim dilakukan. Pengalaman yang telah berjalan adalah Pilpres
dilaksanakan setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan, karena Presiden
dan/atau Wakil Presiden dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat [Pasal 3
ayat (2) UUD 1945], sehingga Pemilu DPR dan DPD didahulukan untuk dapat
dibentuk MPR. Lembaga inilah yang kemudian melantik Presiden dan Wakil
Presiden, oleh karenanya harus dibentuk lebih dahulu;
Putusan demikian dihasilkan meski telah diketahui bahwa original intent
Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 memang menentukan agar pemilihan umum
diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah bersama-sama atau serentak. Mahkamah kala itu menyadari, metode
penafsiran original intent bukanlah segala-galanya. Metode tersebut memang
berupaya mencari tahu makna historis dalam perumusan norma peraturan
perundang-undangan. Akan tetapi, selain metode tersebut masih banyak lagi
metode yang dapat digunakan untuk memaknai suatu peraturan perundang-
undangan terutama dalam usaha menemukan hukum (rechtsvinding);
Menurut saya, original intent merupakan gagasan awal yang
mengedepankan atau mencerminkan politik hukum para pembentuk peraturan
(dalam hal ini Perubahan UUD 1945). Akan tetapi gagasan awal tersebut
seringkali berubah total setelah dirumuskan dalam normanya, sehingga menurut
saya original intent tidak selalu tepat digunakan dalam penafsiran norma
Undang- Undang terhadap UUD 1945;
Apabila metode penafsiran original intent digunakan terhadap Pasal 22E
ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, Pemilihan umum diselenggarakan untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maka
Mahkamah harus juga konsisten untuk tetap mendasarkan rezim pemilihan
umum hanya pada pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Dengan demikian, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
tidaklah dapat dimasukkan ke dalam rezim pemilihan umum, sehingga
Mahkamah tidak berwenang untuk mengadilinya karena original intent-nya tidak
demikian. Konsekuensi tersebut harus dipahami agar konsistensi Mahkamah
terhadap putusannya tetap terjaga;
Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyatakan, Pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Kemudian Pasal 6A
ayat
(5) UUD 1945 menentukan, Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang. Aturan-aturan tersebut
dirumuskan pada Perubahan Ketiga UUD 1945 yang juga menghasilkan norma
Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, Pemilihan umum diselenggarakan
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
dilanjutkan dengan ketentuan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945, Ketentuan lebih
lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang;
Berdasarkan ketentuan tersebut, menurut saya, secara delegatif UUD
1945 telah menyerahkan kewenangan kepada pembentuk Undang-Undang
(DPR dan Presiden) untuk mengatur tata cara pelaksanaan Pilpres, serta
ketentuan lebih lanjut mengenai pemilihan umum, sehingga menjadi kebijakan
hukum terbuka (opened legal policy) pembentuk Undang-Undang untuk
merumuskan mekanisme terbaik tata cara pemilihan umum, termasuk dalam
penentuan waktu antarsatu pemilihan dengan pemilihan yang lain. Selain itu,
aturan presidential threshold sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 UU
42/2008 yang berbunyi, Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau
Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan
kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau
memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu
anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden juga
merupakan kebijakan hukum terbuka yang pada prinsipnya tidak terkait dengan
pengaturan serentak atau tidaknya pemilihan umum, baik Pemilu Anggota
Lembaga Perwakilan atau Pilpres. Bila pembentuk Undang-Undang
menginginkan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan atau Pilpres dilaksanakan
serentak, maka presidential threshold tetap dapat diterapkan. Sebaliknya
threshold tersebut juga dapat dihilangkan bila Presiden dan DPR sebagai
lembaga politik representasi kedaulatan rakyat menghendakinya. Pelimpahan
kewenangan secara delegatif (delegatie van wetgevingsbevoegheid) kepada
pembentuk Undang-Undang untuk mengatur tata cara pelaksanaan Pilpres, serta
ketentuan lebih lanjut mengenai pemilihan umum memang perlu dilaksanakan
karena terdapat hal-hal yang tidak dapat dirumuskan secara langsung oleh UUD
1945 karena sifatnya yang mudah untuk berubah atau bersifat terlalu teknis.
Selain itu, merupakan suatu kebiasaan bahwa ketentuan dalam suatu UUD
adalah sebagai aturan dasar yang masih bersifat umum sehingga pengaturan
yang bersifat prosedural dan teknis dilaksanakan dengan pembentukan Undang-
Undang;
Terkait dengan hal tersebut, saya konsisten dengan pendapat
Mahkamah dalam Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal 18
Februari 2009 yang menyatakan, Mahkamah dalam fungsinya sebagai
pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau
sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan
terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-
Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, seperti
halnya ketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal Pemilu dalam
perkara a quo, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai
buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy
tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang
intolerable. Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang
menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui
kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan
kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka
pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah.
Terlepas dari kemungkinan timbulnya berbagai kesulitan yang akan
dihadapi dalam penyelenggaraan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan dan
Pilpres secara terpisah seperti yang dilaksanakan saat ini atau yang
dilaksanakan secara bersamaan (serentak) seperti yang dimohonkan Pemohon,
hal itu bukanlah masalah konstitusionalitas norma, tetapi merupakan pilihan
kebijakan hukum pembentuk Undang-Undang. Berdasarkan hal-hal tersebut di
atas, saya berpendapat, permohonan Pemohon haruslah ditolak untuk
seluruhnya.

PANITERA PENGGANTI,

ttd

Luthfi Widagdo Eddyono

Anda mungkin juga menyukai