Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Definisi
Dermatitis kontak didefinisikan sebagai peradangan kulit sebagai akibat

dari paparan agen eksogen. Dermatitis kontak adalah dermatitis yang

disebabkan oleh bahan/substansi yang menempel pada kulit. Dermatitis

kontak dibagi menjadi dua jenis yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis

kontak alergi.1,2
Dermatitis kontak iritan merupakan reaksi peradangan kulit non-

imunologik, yaitu kerusakan kulit yang terjadi langsung tanpa didahului

proses pengenalan/sensitasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergi merupakan

peradangan kulit yang timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses

sensitasi. Reaksi alergi ini menyebabkan peradangan pada kulit ditandai

dengan berbagai kelainan kulit berupa eritema, edema, dan vesikel. 1,3,4
B. Epidemiologi
Dermatitis kontak iritan dapat dialami oleh semua orang dari berbagai

golongan umur, ras, dan jenis kelamin. Jumlah orang yang mengalami DKI

diperkirakan cukup banyak, terutama yang berhubungan pekerjaan (DKI

akibat kerja), namun angka secara tepat sulit diketahui. Hal ini disebabkan

antara lain karena banyak pasien dengan kelainan ringan tidak datang berobat,

atau bahkan tidak mengeluh.1


Bila dibandingkan DKI, jumlah pasien DKA lebih sedikit, karena hanya

menegnai orang dengan keadaan kulit sangat peka (hipersensitif).

Diperkirakan jumlah DKA maupun DKI makin bertambah seiring dengan

bertambahnya jumlah produk yang mengandung bahan kimia yang dipakai

oleh masyarakat. Namun, informasi mengenai prevalensi dan insidens DKA

1
dimasyarakat sangat sedikit, sehingga angka yang mendekati kebenaran belum

didapat. 1
Dahulu diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak 80% dan

DKA 20%, tetapi data baru dari Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan

bahwa dermatitis kontak alergi akibat kerja ternyata cukup tinggi yaitu

berkisar antara 50-60 persen. Sedangkan, dari satu penelitian ditemukan

frekuensi DKA bukan akibat kerja tiga kali lebih sering dibandingkan dengan

DKA akibat kerja. Dermatitis kontak alergi dapat mengenai semua usia. 1,3
C. Etiologi
Penyebab dermatitis kontak iritan ialah pajanan dengan bahan yang

bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam alkali,

dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran

molekul, daya larut, kosentrasi bahan tersebut dan vehikulum. Terdapat juga

pengaruh faktor lain, yaitu : lama kontak, kekerapan (terus menerus atau

berselang), oklusi yang menyebabkan kulit lebih permeable, demikian pula

gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban lingkungan juga turut

berperan. 1
Faktor individu juga turut berpengaruh pada DKI, misalnya perbedaan

ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas;

usia (anak di bawah 8 tahun dan usia lanjut lebih mudah teriritasi); ras (kulit

hitam lebih tahan di banding kulit putih); jenis kelamin (insiden DKI lebih

banyak pada perempuan); penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami

(ambang rangsang terhadap bahan iritan menurun), misalnya dermatitis

atopik. 1
Penyebab dermatitis kontak alergi adalah bahan kimia sederhana dengan

berat molekul umumnya rendah (<100 dalton), merupakan alergen yang

2
belum diproses, disebut hapten, bersifat hipofilik, sangat reaktif, dapat

menembus stratum korneum sehingga mencapai sel epidermis di bawahnya

(sel hidup). Berbagai faktor berpengaruh terhadap kejadian DKA, misalnya

potensi sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama

pajanan, suhu dan kelembaban lingkingan, vehukilum dan pH. Juga faktor

individu, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum

korneum, ketebalan epidermis), status imun (misalnya sedang mengalami

sakit, atau terpapar sinar matahari secara intens). Untuk mengetahui

penyebabnya harus dikonfirmasi dengan patch tes. 1,5


D. Patogenesis
1. Dermatitis Kontak Iritan1
Kelainan kulit oleh bahan iritan terjadi akibat kerusakan sel secara

kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi

keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat

kulit terhadap air. 1


Kebanyakan bahan iritan (toksin) merusak membrane lemak (lipid

membrane) keratinosit, namun sebagian dapat menembus membrane sel

dan merusak lisosom, mitokondria, atau komponen inti. Kerusakan

membrane mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam arakhidonat

(AA), diasilgliserida (DAG), platelet activating factor (PAF), dan inositida

(IP3). AA diubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan

LT menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskular

sehingga mempermudah transudasi pengeluaran komplemen dan kinin. PG

dan LT juga bertindak sebagai kemoatraktan kuat untuk limfosit dan

3
neutrifil, serta mengaktifasi sel mas untuk melepaskan histamin, LT dan

PG lain dan PAF, sehingga terjadi perubahan vaskular.


DAG dan second messengers lain menstimulasi ekspresi gen dan

sintesis protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte

macrophage colony stimulating factor (GMCSF). IL-1 mengaktifkan sel T-

helper mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2, yang

mengakibatkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut.


Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNF, suatu

sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan

granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin.


Rentetan kejadian tersebut mengakibatkan gejala peradangan klasik di

tempat terjadinya kontak dengan kelainan berupa eritema, edema, panas,

nyeri, bila iritan kuat. Bahkan iritan lemah akan mengakibatkan kelainan

kulit setelah kontak berulang kali, yang dimulai dengan kerusakan stratum

korneum oleh karena delipidasi menyebabkan desikasi sehingga kulit

kehilangan fungsi sawarnya. Hal tersebut akan mempermudah kerusakan

sel di lapisan kulit yang lebih dalam.


2. Dermatitis kontak alergi1,6
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi

adalah mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated

immune respons) atau reaksi imunologi tipe IV, suatu hipersensitivitas tipe

lambat. Reaksi ini terjadi melalui dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase

elistisasi. Hanya individu yang telah mengalami sensitisasi dapat

menderita dermatitis kontak alergi.


1. Fase sensitisasi
Hapten yang masuk kedalam epidermis melewati stratum korneum

akan ditangkap oleh sel Langerhans dengan cara pinositosis, dan

4
diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta

dokonjugasi pada molekul HLA-DR menjadi antigen lengkap. Pada

awalnya sel Langerhan dalam keadaan isitrahat, dan hanya berfungsi

sebagai makrofag dengan sedikit kemampuan menstimulasi sel T.

Tetapi, setelah keratinosit terpajan oleh hpten yang juga mempunyai

sifat iritan, akan melepaskan sitokin (IL-1) yang akan mengaktifkan sel

langerhans sehingga mampu menstimulasi sel T. Aktivasi rersebut akan

mengubah fenotip sel Langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin

tertentu (misalnya IL-1) serta ekspresi molekul permukaan sel termasuk

MHC klas I dan II, ICAM-1, LFA-3 dan B7. Sitokin proinflamasi lain

yang dilepaskan oleh keratinosit yaitu TNF, yang dapat mengaktifasi

sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi perubahan molekul adesi

sel dan pelepasan sitokin juga meningkatkan MHC kelas I dan II.
TNF menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel

Langerhans pada epidermis, juga menginduksi aktivasi gelatinosis

sehingga memperlancar sel Langerhans melewati membrane basalis

bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat melalui saluran limfe.

Didalam kelenjar limfe sel langerhans mempresentasikan kompleks

antigen HLA-DR kepada sel T penolong spesifik, yaitu sel T yang

mengekspresikan molekul CD4 yang dapat mengenali HLA-DR yang

dipresentasikan oleh sel langerhans, dan kompleks reseptor sel-T-CD3

yang mengenali antigen yang telah diproses. Keberadaan sel-T spesifik

ini ditentukan secara genetic.

5
Sel langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel-T untuk

mensekresi IL-2 dan mengekspresi reseptor-IL-2 (IL-2R). sitokin ini

akan menstimulasi proliferasi dan diferensiasi sel T spesifik, sehingga

menjadi lebih banyak dan berubah menjadi sel-T memori (sel T-

teraktivasi) yang akan meninggalkan kelenjar getah bening dan beredar

ke seluruh tubuh. Pada saat tersebut individu telah tersinsitisasi. Fase

ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu.


Menurut konsep danger signal, sinyal antigenik murni suatu

hapten cenderung menyebabkan toleransi, sedangkan sinyal iritan

menimbulkan sensitisasi. Dengan demikian terjadinya sensitisasi kontak

bergantung pada adanya sinyal iritan yang dapat berasal dari alergen

kontak sendiri, ambang rangsang yang rendah terhadap respon iritan,

bahan kimia inflamasi pada kulit yang meradang, atau kombinasi

ketiganya. Jadi danger signal yang menyebabkan sensitisasi tidak hanya

berasal dari sinyal antigenic sendiri, melainkan juga dari sifat iritasi

yang menyertainya. Suatu tindakan mengurangi iritasi akan

menurunkan potensi sensitisasi.


2. Fase elisitasi

Fase kedua (elisitasi) hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada

pajanan ulang alergen (hapten). Seperti pada fase sinsitisasi, hapten

akan ditangkap oleh sel Langerhans dan diproses secara kimiawi

menjadi antigen, diikat oleh HLA-DR kemudian diekspresikan di

permukaan sel. Selanjutnya kompleks HLA-DR antigen akan

mempresentasikan di permukaan sel. Selanjutnya kompleks HLA-DR

6
antigen akan dipresentasikan kepada sel T yang telah tersensitisasi (sel

T memori) baik di kulit maupun di kelenjar limfe sehingga terjadi

proses aktivasi. Di kulit proses aktivasi lebih kompleks dengan

hadirnya sel-sel lain. Sel langerhans mensekresi interleukin 1 yang

menstimulasi sel T untuk memproduksi IL 2 dan mengekspresi IL-2R,

yang populasi sel T di kulit.sel T teraktivasi juga mengeluarjan INF-

yang akan mengaktifkan keratinosit mengekspresi molekul LFA-1.

Sedangkan HLA-DR memungkinkan keratinosit untuk berinteraksi

langsung dengan sel T CD4+, dan juga memungkinkan presentasi

antigen kepada sel tersebut. HLA-DR juga dapat merupakan target sel T

sitotoksik pada keratinosit. Keratinosit juga menghasilkan sejumlah

sitokin antara lain IL-1, IL-6, TNF dan GMCSF, semuanya dapat

mengaktivasi sel T. IL-1 dapat menstimulasi keratinosit menghasilkan

eikosanoid. Sitokin dan eikosanoid ini akan mengaktifkan sel mast dan

makrofag. Sel mast yang berada didekat pembuluh darah dermis akan

melepaskan antara lain histamin, berbagai jenis faktor kemotaktik,

PGE2 dan PGD2, dan leukotrien B4 (LTB4). Eikosanoid baik yang

berasal dari sel mast (prostaglandin) maupun dari keratinosit atau

leukosit menyebabkan dilatasi vaskulat dan meningkatkan

permeabilitas sehingga molekul larut seperti komplemen dan kinin

mudah berdifusi kedalam dermis dan epidermis. Selain itu faktor

kemotaktik dan eikosanoid akan menarik neutrofil, monosit dan sel

darah lain dari dalam pembuluh darah masuk kedalam dermis. Rentetan

7
kejadian tersebut akan menimbulkan respon klinik dermatitis kontak

alergi. Fase elitisasi umumnya berlangsung antara 24-48 jam.

E. Gejala klinis
1. Dermatitis kontak iritan1,2
Kelainan kulit yang terjadi sangat beragam, bergantung pada sifat iritan.

Iritan kuat memberi gejala akut, sedang iritan lemah memberi gejala kronis.

Selain itu, juga banyak faktor yang mempengaruhi sebagaimana yang telah

disebutkan, yaitu faktor individu (misalnya, ras, usia, lokasi, atopi, penyakit

kulit lain), faktor lingkungan (misalnya, suhu dan kelembaban udara,

oklusi).
Berdasarkan penyebab dan pengaruh berbagai faktor tersebut, ada yang

mengklasifikasikan DKI manjadi sepulih jenis, yaitu : DKI akut, lambat

akut (acute delayed irritancy), reaksi iritan, kronik kumulatif, reaksi

traumatic, exsiccation eczematid, reaksi pustular dan akneformis, iritasi

non-eritematosa, dermatitis karena friksi dan iritasi subyektif.2


DKI akut
Penyebab DKI akut adalah iritan kuat, misalnya larutan asam sulfat dan

asam hidroklorid atau basa kuat, misalnya natrium dan kalium hidroksida.

Biasanya terjadi karena kecelakaan di tempat kerja, dan reaksi segera

timbul. Intensitas reaksi sebanding dengan kosentrasi dan lama kontak,

serta reaksi terbatas hanya pada tempat kontak. Kulit terasa pedih, panas,

rasa terbakar, kelainan yang terlihat berupa eritema edema, bula, mungkin

juga nekrosis. Tepi kelainan berbatas tegas, dan pada umumnya asimetris.

Luka bakar oleh bahan kimia juga termasuk dermatitis kontak iritan akut.
DKI akut Lambat

8
Gambaran klinis dan gejala sama dengan DKi akut, tetapi baru terjadi 8

sampai 24 jam setelah berkontak. Bahan iritan yang dapat menyebabkan

DKI akut lambat, misalnya podofilin, antralin, tretinoin, etilen oksida,

benzalkonium klorida, asam hidrofluorat. Sebagai contoh ialah dermatitis

yang disebabkan oleh bulu serangga (dermatitis venenata); keluhan

dirasakan pedih keesokan harinya, sebagai gejala awal terlihat eritema

kemudian terjadi vesikel atau bahkan nekrosis.

DKI kronik Kumulatif


Merupakan jenis dermatitis kontak yang paling sering terjadi, sebagai

penyebab ialah kontak berulang dengan iritan lemah (misalnya deterjen,

sabun, pelarut, tanah, bahkan juga air). Dki kumulatif mungkion terjadi

karena kerjasama berbagai faktor. Dapat disebabkan suatu bahan secara

tunggal tidak cukup kuat menyebabkan dermatitis iritan, tetapi mampu

sebagai penyebab bila bergabung dengan faktor lain. Kelainan baru terlihat

nyata setelah kontak berlangsung beberapa minggu atau bulan, bahkan bisa

bertahun-tahun kemudian.
Gejala klasik berupa kulit kering, disertai eritema, skuama, yang lambat

laun kulit menjadi tebal (hyperkeratosis) dengan likenifikasi, yang difus.

Bila kontak terus berlangsung akhirnya kulit dapat retak seperti luka iris

(fisura), misalnya pada kulit tumit seorang pencuci yang mengalami kontak

secara terus menerus dengan deterjen. Keluhan pasien umumnya rasa gatal

atau neri karena kulit retak (fisura).


DKI kumulatif sering berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu lebih

banyak ditemukan di tangan dibandingkan dengan bagian lain tubuh,

9
contoh pekerjaan yang berisiko tinggi untuk DKI kumultif yaitu: pencuci,

kuli bangunan, montir di bengkel, juru masak, tukang kebun, piata rambut.
Reaksi iritan
Reaksi iritan merupakan dermatitis kontak iritasi subklinis pada seseorang

yang terpajan dengan pekerjaan basah dalam beberapa bulan pertama,

misalnya piata rambut dan pekerja logam. Kelainan kulit berupa

monomorf dapat dapat berupa skuama, eritema, vesikel, pustul, dan erosi.

Umumnya dapat sembuh sendiri, atau berlanjut menimbulkan penebalan

kulit (skin hardening), dan menjadi DKI kumulatif.


DKI traumatik
Kelainan kulit berkembang lambat setelah trauma panas dan laserasi.

Gejala klinis menyerupai dermatitis numularis, penyembuhan berlangsung

lambat, paling cepat 6 minggu. Lokasi tersering di tangan.


DKI non-eritematosa
DKI non-eritematosa merupakan bentuk subklinis DKI, yang ditandai

dengan perubahan fungsi sawar (stratum korneum) tanpa disertai kelainan

klinis.
DKI subyektif
Juga disebut DKI sensori; karena kelainan kulit tidak terlihat, namun pasien

merasa seperti tersengat (pedih) atau terbakar (panas) setelah berkontak

dengan bahan kimia tertentu, misalnya asam laktat.

2. Dermatitis kontak alergi

Pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada

keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan

bercak eritamotosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema,

papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah

menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Dermatitis kontak alergi akut di

10
tempat tertentu, misalnya kelopak mata, penis, skrotum, eritema dan edema

lebih dominan daripada vesikel. Pada dermatitis kontak alergi yang kronis

terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikesi, dan mungkin juga

fisura, batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis

kontak iritan kronis, mungkin penyebabnya juga campuran. 1

Dermatitis kontak alergi dapat meluas ke tempat lain, misalnya dengan

cara autosensitisasi. Skalp, telapak tangan dan kaki relatif resisten terhadap

dermatitis kontak alergi. 1

Berbagai lokalisasi terjadinya dermatitis kontak1 :


1. Tangan. Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergik paling

sering di tangan, mungkin karena tangan merupakan organ tubuh yang

paling sering digunakan untuk melakukan pekerjaan sehari-hari.

Demikian pula kebanyakan dermatitis kontak akibat kerja ditemukan di

tangan. Bahan penyebabnya misalnya deterjen, antiseptik, getah

sayuran/tanaman, semen, dan pestisida.

Gambar 1. DKA pada Tangan, Subakut7

2. Lengan. Alergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh


jam tangan (nikel), sarung tangan karet, debu semen, dan tanaman. Di

11
aksila dapat dapat disebabkan oleh deodorant, antiperspirant,
formaldehid yang ada dipakaian.

Gambar 2. DKA pada ketiak karena pemakaian deodoran5

3. Wajah. Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan oleh bahan


kosmetik, spons (karet), obat topikal, alergen yang di udara (aero-
alergen), nekel (tangkai kaca mata), semua alergen yang kontak dengan
tangan dapat mengenai muka, kelopak mata, dan leher pada waktu
menyeka keringat. Bila di bibir atau sekitarnya mungkin disebabkan oleh
lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan. Dermatitis di kelopak mata dapat
disebabkan oleh cat kuku, cat rambut, mascara, eyeshadows, dan obat
mata, dan salep mata.

Gambar 3. DKA pada Wajah


4. Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis
kontak pada telinga. Penyebab lain, misalnya obat topikal, tangkai kaca
mata, cat rambut, hearing-aids, gagang telpon.

Gambar 4: DKA pada telinga karena anting-anting nikel6

5. Leher. Penyebanya kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal dari ujung
jari), parfum, alergen di udara, zat warna pakaian.

12
Gambar 5. DKA pada Leher
6. Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat
warna, kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, detergen, bahan
pelembut atau pewangi pakaian.

Gambar 6. Dermatitis kontak alergi karna nikel8


7. Genitalia. Penyebabnya dapat antiseptik, obat topikal, nilon, kondom,
pembalut wanita, alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi,
detergen. Bila mengenai daerah anal kemungkinan disebabkan oleh obat
antihemoroid.

8. Paha dan tungkai bawah. Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan

oleh tekstil, dompet, kunci (nikel) di saku, kaos kaki nilon, obat topikal,

semen, sepatu/sandal.pada kaki dapat disebabkan oleh detergen, bahan

pembersih lantai.

F. Diagnosis
1. Dermatitis kontak iritan
Diagnosis DKI didasarkan atas anamnesis yang cermat dan

pengamatan gambaran klinis. DKI akut lebih mudah diketahui karena

terjadi lebih cepat sehingga pasien pada umunya masih ingat apa yang

13
menjadi penyebabnya. Sebaliknya, DKI kronis terjadi lebih lambat serta

mempunyai variasi gambaran klinis yang luas, sehingga adakalanya sulit

dibedakan dengan dermatitis kontak alergik. Untuk ini deperluhan uji

tempel dengan bahan yang dicurigai.


2. Dermatitis kontak alergi
Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan

pemeriksaan klinis yang teliti.


Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan

kulit yang ditemukan, misalnya, ada kelainan kulit berukuran nummular di

sekitas umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan

erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana

atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang

berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal

yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang

diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, riwayat

atopi, baik dari yang bersangkutan maupun keluarganya. 1


Pemeriksaan fisis sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan

pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya.

Misalnya, di ketiak oleh deodoran, di pergelangan tangan oleh jam tangan,

dan di kedua kaki oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya dilakukan pada

seluruh permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain

karena sebab-sebab endogen.1


G. Pemeriksaan Penunjang
1. Uji tempel1
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk

melakukan uji tempel diperlukan antigen, biasanya antigen standar buatan

pabrik, misalnya Finn Chamber System Kit dan T.R.U.E.

14
Berbagai hal berikut yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan uji

tempel :

1. Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam keadaan akut

atau berat dapat terjadi reaksi angry back atau excited skin, reaksi

positif palsu, dapat juga menyebabkan penyakit yang sedang dideritanya

makin memburuk.
2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian

kortikosteroid sistemik dihentikan (walaupun dikatakan bahwa ujitempel

dapat dilakukan pada pemakaian prednisone kurang dari 20 mg/hari atau

dosis ekuivalen kortikosteroid lain), sebab dapat menghasilkan reaksi

negative palsu. Pemberian kortikosteroid topical di punggung dihentikan

sekurang-kurangnya satu minggu sebelum tes dilaksanakan. Luka bakar

sinar matahari (sun burn) yang terjadi setelah 1-2 minggu sebelum tes

dilakukan juga dapat member hasil negative palsu. Sedangkan

antihistamin sistemik tidak mempengaruhi hasil tes, kecuali diduga

karena urtikaria kontak.


3. Uji temple dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca; pembacaan kedua

dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah aplikasi.


4. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel

menjadi longgar (tidak menempel dengan baik), karena memberikan

hasil negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi sekurang-kurangnya

dalam 48 jam, dan menjaga agar punggung selalu kering setelah dibuka

uji tempelnya sampai pembacaan terakhir selesai.


5. Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap penderita

yang mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan (immediate uticarial

15
type), karena dapat menimbulkan urtikaria generalisata bahkan reaksi

anafilaktisis. Pada penderita semacam ini dilakukan tes dengan prosedur

khusus.

Setelah dibiarkan menempel selamam 48 jam, uji tempel dilepas.

Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek

tekanan yang diuji telah menghilang atau minimal. Hasilnya dicatat seperti

beriku :
1 = reaksi lemah (nonvesikuler) : eritema, infiltrate, papul (+)
2 = reaksi kuat : adema atau vesikel (++)
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan : hanya macula eritematosa (?)
5 = iritasi : seperti terbakar, pustule, atau purpura (IR)
6 = reaksi negative (-)
7 = excited skin
8 = tidak dites (NT=non tested)

Reaksi excited skin atau angry back, merupakan reaksi positif palsu,

suatu fenomena regional disebabkan oleh satu atau beberapa reaksi positif

kuat, yang dipicu oleh hipersensitivitas kulit, pinggir uji tempel yang lain

menjadi reaktif.
Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu setelah

aplikasi, biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini

penting untuk membantu membedakan antara respon alergik atau iritasi,

dan juga mengidentifikasi lebih banyak lagi respons positif alergen. Hasil

positif dapat bertambah setelah 96 jam aplikasi, oleh karena itu perlu

dipesan kepada pasien untuk melapor, bila hal itu terjadi sampai 1 minggu

setelah aplikasi.
Untuk menginterpretasikan hasil uji tempel tidak mudah. Interpretasi

dilakukan setelah pembacaan kedua. Respons alergik biasanya menjadi

16
lebih jelas antara pembacaan kesatu dan kedua., berawal dari +/- ke + atau

++ bahkan ke +++ (reaksi tipe crescendo), sedangkan respons iritan

cenderung menurun (reaksi tipe decrescendo). Bila ditemukan respon

positif terhadap suatu alergen, perlu ditentukan relevansinya dengan

keadaan klinik, riwayat penyakit, dan sumber antigen di lingkungan

penderita. Mungkin respon positif tersebut berhubungan dengan penyakit

yang sekarang atau penyakit masa lalu yang pernah dialami, atau mungkin

tidak ada hubungannya (tidak diketahui). Reaksi positif klasik terdiri atas

eritema, edem, dan vesikel-vesikel kecil yang letaknya berdekatan.


Reaksi positif palsu dapat terjadi antara lain bila konsentrasi terlalu

tinggi, atau bahan tersebut bersifat iritan bila dalam keadaan tertutup

(oklusi), efek pinggir uji tempel, umumnya karena iritasi, bagian tepi

menunjukkan reaksi lebih kuat, sedang dibagian tengahnya reaksi ringan

atau sama sekali tidak ada. Ini disebabkan karena meningkatnya

konsentrasi iritasi cairan di bagian pinggir. Sebab lain oleh karena efek

tekan, terjadi bila menggunakan bahan padat.


Reaksi negative palsu dapat terjadi misalnya konsentrasi terlalu

rendah, vehikulum tidak tepat, bahan uji tempel tidak melekat dengan baik,

atau longgar akibat pergerakan, kurang cukup waktu penghentian

pemakaian kortikosteroid sistemik atau topikal poten yang lama dipakai

pada area uji tempel dilakukan.


H. Diagnosis Banding
1. Dermatitis atopik4

Dermatitis atopik merupakan keadaan peradangan kulit kronis dan

residif, disertai gatal, yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan

17
anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum

dan riwayat atopi dalam keluarga atau penderita (DA, rhinitis alergik, dan

atau asma brinkial). Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian

mengalami ekskoriasi dan likenifikasi.

Gambar 7 : Dermatitis Kontak Iritan

2. Dermatitis Numular9
Dermatitis nummular adalah peradangan kulit yang bersifat kronis,

ditandai dengan adanya lesi berbentuk mata uang (koin) atau agak lonjong,

berbatas tegas, dengan efloresensi berupa papulovesikel yang biasanya

mudah pecah sehingga membasah.

18
Gambar 8 : Dermatitis numularis
I. Pengobatan
1. Dermatitis kontak iritan
Upaya pengobatan yang terpenting pada DKI adalah menghindari

pajanan bahan iritan yang menjadi penyebab, baik yang bersifat mekanik,

fisis maupun kimiawi, serta menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila

hal ini dapat dilaksanakan dengan sempurna, dan tidak terjadi komplikasi,

maka DKI tersebut akan sembuh tanpa pengobatan topikal, mungkin cukup

dengan pemberian pelembab untuk memperbaiki sawar kulit.


Apabila diperlukan, untuk mengatasi peradangan dapat diberikan

kortikosteroid topikal, misalnya hidrokortison, atau untuk kelainan yang

kronis dapat diawali dengan kortikosteroid dengan potensi kuat. Pemakaian

alat pelindung diri yang adekuat diperlukan bagi yang bekerja dengan

bahan iritan, sebagai salah satu upaya pencegahan.


2. Dermatitis kontak alergi
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah

upaya pencegahan pajanan ulang dengan alergen penyebab. Umumnya

kelaina kulit akan mereda dalam beberapa hari.


Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi

peradangan pada dermatitis kontak alergi akut yang ditandai dengan

eritema, edema, vesikel atau bula, serta eksudatif (madidans), misalnya

prednisone 30 mg/hari. Untuk topikal cukup dikompres dengan larutan

garam fisiologis atau larutan asam salisilat 1 : 1000, atau pemberian

kortikosteroid atau makrolaktam (pimecrolimus atau tacrolimus) secara

topikal.1,10

J. Prognosis
1. Dermatitis kontak iritan

19
Bila bahan iritan yang menjadi penyebab dermatitis tersebut tidak

dapat disingkirkan dengan sempurna, maka prognosisnya kurang baik.

Keadaan ini sering terjadi pada DKI kronis dengan penyebab multi faktor

dan juga pada pasien atopik. 1


2. Dermatitis kontak alergi
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan

kontaknya dapat dihindari. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila

terjadi bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endokgen (dermatitis atopi,

dermatitis numalis, atau psoriasis), atau terpajan oleh alergen yang tidak

mungkin dihindari, misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau

yang terdapat di lingkungan penderita. 1

20
BAB II

STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
Nama : ny. S
Umur : 40 tahun
Alamat : BTN Rajawali
Pekerjaan : IRT
Status : Menikah
Agama : Islam
Tanggal masuk RS : 26 Agustus 2016
No. Rekam Medis : 130130
B. Anamnesis
Keluhan utama :
Gatal
Anamnesis terpimpin :
Pasien datang ke poliklinik kulit dan kelamin dengan keluhan gatal pada

telapak tangan dan punggung tangan, gatal dirasakan sejak 2 hari yang lalu.

Gatal dirasakan hilang timbul sejak 2 bulan lalu dan gatal dirasakan semakin

memberat bila tangan basah terutama setelah mencuci. Awalnya terasa gatal

setelah terkena detergen, kemudian muncul bintik-bintik merah. Gatal

dirasakan menjalar ke lengan bawah. Keluhan ini dirasakan setelah mencuci,

pasien mencuci menggunakan detergen (rinso). Pasien tidak memiliki alergi.


Riwayat pengobatan :
Pasien sudah pernah berobat sebelumnnya dengan obat oral dan salep
Riwayat penyakit dahulu :
Ada riwayat penyakit yang sama sebelumnya.
Riwayat penyakit dalam keluarga :
Tidak ada riwayat yang sama dalam keluarga, tidak ada riwayat atopi
C. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
Kesadaran : komposmentis
Keadaan Umum : sakit ringan
Tanda vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : TDP
Pernapasan : TDP
Suhu : TDP
2. Status dermatologikus

21
Lokasi : lokalisasi (punggung tangan dan telapak tangan, lengan

bawah)
Distribusi : terlokalisir dan tidak simetris
Bentuk : plakat
Batas : berbatas tegas
Effloresensi : eritema, vesikel, ekskoriasi.

D. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan
E. Anjuran Pemeriksaan
Uji tempel
F. Resume
Pasien perempuan 40 tahun, datang dengan keluhan gatal pada telapak

tangan dan punggung tangan, gatal dirasakan sejak 2 hari yang lalu. Gatal

dirasakan hilang timbul sejak 2 bulan lalu dan gatal dirasakan semakin

memberat bila tangan basah terutama setelah mencuci. Awalnya terasa gatal

setelah terkena detergen, kemudian muncul bintik-bintik merah. Gatal

dirasakan menjalar ke lengan bawah. Keluhan ini dirasakan setelah mencuci,

pasien mencuci menggunakan detergen (rinso). Riwayat alergi disangkal.

Pasien sudah pernah berobat sebelumnnya.Ada riwayat penyakit yang sama

sebelumnya. Ibu pasien memiliki riwayat alergi.


Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan keadaan umum dengan tingkat

kesadaran komposmentis. Ditemukan adanya eritema, vesikel, eskoriasi pada

daerah tangan.
G. Diferensial Diagnosa
1. Dermatitis atopi
2. Dermatitis numular

22
H. Diagnosis kerja
Dermatitis kontak ec detergen
I. Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa
Edukasi :
a. Jangan digaruk
b. Menghentikan kontak terhadap alergen atau menggunakan pelindung

(sarung tangan)
2. Medikamentosa
Sistemik : Methilprednison 3x8mg

Cetirizine 1x10mg

Topical: Salysil acid 4 %


Clobetasol 10
Vaselin 2

23
BAB III

PEMBAHASAN

Pasien perempuan, usia 40 tahun datang ke poliklinik kulit dan kelamin

dengan keluhan gatal pada telapak tangan dan punggung tangan, sesuai

dengan teori menyatakan bahwa dermatitis kontak dapat terkena pada semua

usia dan lebih banyak pada perempuan daripada laki-laki.

Keluhan gatal pada telapak tangan dan punggung tangan gatal dirasakan

hilang timbul sejak 2 bulan lalu dan gatal dirasakan semakin memberat bila

tangan basah terutama setelah mencuci. Pada teori yang ada di katakan bahwa

Pada umumnya pasien mengeluh gatal. Kelainan kulit yang dialami tergantung

pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya.

Awalnya terasa gatal setelah terkena detergen, kemudian muncul bintik-

bintik merah. Gatal dirasakan menjalar ke lengan bawah. Pada teorinya, Pada

dermatitis kontak yang akut dimulai dengan bercak eritamotasa yang berbatas

jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau

bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Dermatitis kontak

akut di tempat tertentu, misalnya kelopak mata, penis, skrotum, eritema dan

edema lebih dominan daripada vesikel. Pada dermatitis kontak alergi yang

kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikesi, dan mungkin juga

fisur, batasnya tidak jelas. Dermatitis kontak dapat meluas ke tempat lain,

misalnya dengan cara autosensitisasi. Skalp, telapak tangan dan kaki relatif

resisten terhadap dermatitis kontak alergi.

24
Keluhan ini dirasakan setelah mencuci, pasien mencuci menggunakan

detergen (rinso). Pada teori yang ada menjelaskan bahwa Penyebab dermatitis

kontak adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul umumnya rendah

(<100 dalton), merupakan alergen yang belum diproses, disebut hapten,

bersifat hipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum sehingga

mencapai sel epidermis di bawahnya (sel hidup). Alergen biasanya berupa

bahan logam berat, kosmetik (lipstick, deodorant, cat rambut), bahan

perhiasan (kacamata, jam tangan, anting-anting), obat-obatan (obat kumur,

sulfa, penisilin), karet (sepatu, BH), dan lain-lain.

Pasien tidak mempunyai riwayat alergi. Pasien tidak memiliki riwayat

atopi. Pada teorinya pasien dengan dermatitis kontak alergi mengenai orang

yang keadaan kulitnya sangat peka (hipersensitif).

Pengobatan pada dermatitis kontak adalah upaya pencegahan terulangnya

kontak kembali dengan elergen penyebab, dan menekan kalainan kulit yang

timbul. Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi

peradangan pada dermatitis kontak akut yang ditandai dengan eritema, edema,

vesikel atau bula, serta eksudatif (madidans), misalnya prednisone 30 mg/hari.

Umumnya kelainan kulit akan mereda setelah beberapa hari. Sedangkan

kelainan kulitnya cukup dikompres dengan larutan garam fisiologis atau

larutan air salisil 1 : 1000.

Untuk dermatitis kontak alergi akut yang telah mereda (setelah mendapat

pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup diberikan kortikosteroid atau

25
makrolaktan (pimecrolimus atau tacrolimus) secara topikal. Pada kasus, pasien

diberikan terapi medikamentosa dan non medikamentosa. Untuk terapi non

medikamentosa, pasien diberikan edukasi yaitu: pasien dilarang menggaruk,

mengentikan kontak terhadap alergen atau menggunakan pelindung (sarung

tangan). Pada terapi medikamentosa diberikan secara sistemik serta topikal.

Secara sistemik, diberikan methilprednison yang merupakan obat golongan

kortikosteroid untuk mengatasi peradangan pada pasien yang ditandai dengan

eritema, edema, dan vesikel, serta pemberian cetirizine untuk mengatasi

keluhan simptomatik berupa rasa gatal. Cetirizine merupakan obat golongan

antihistamin generasi kedua yang bekerja memblokade reseptor H1 terhadap

histamin. Secara topikal, diberikan salep Salysil acid 4% yang berfungsi

sebagai keratolitik yang memiliki efek mengurangi proliferasi epitel dan

meormalisasi keratinisasi yang terganggu. Clobetasol merupakan

kortikosteroid topikal golongan I yang paling kuat daya antiinflamasi yang

berfungsi untuk mengatasi peradangan kulit pada pasien dan vaselin untuk

melembabkan kulit.

Prognosis dermatitis kontak umumnya baik, sejauh bahan kontaknya

dapat dihindari. Prognosis kurang baik bila terpajan oleh alergen/iritan yang

tidak mungkin dihindari, misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu

atau yang terdapat di lingkungan penderita.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A, dkk. 2010. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Edisi 7. Jakarta : FKUI.
2. Chew AL and Maibach HI. 2006. Irritant Dermatitis. New York : Spinger-
Verlag Berlin Heidelberg.
3. Siregar RS. 2004. Atlas berwarna saripati penyakit kulit edisi 2. Jakarta :
EGC.
4. Hogan DJ, dkk. 2014. Irritant Contact Dermatitis. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/1049353-overview.
5. Nickoloff BJ, Nestle FO. 2008. Dermatologic Immunity volume 10. London :
Karger.
6. Richard P, Marcela R. 2010. Diagnosis and Management of Contact
Dermatitis. Available from : www.americanfamilyphysician.com
7. Wolf K, Johnson RA. 2009. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology, Sixth Edition. New York : The McGraw-Hill.
8. Hunter J, Savin J and Dahl M. 2008. Clinical Dermatology. Third edition.
USA : Blackwell publishing.
9. Suginto TL, dkk. 2011. Paduan Pelayanan Medis Dolter Spesialis Kulit dan
Kelamin. Jakarta :FKUI.
10. Logan DJI, dkk. 2014. Irritant Dermatitis Treatment and Management.
Available from : http://emedicine.medscape.com/article/1049353-treatment

27

Anda mungkin juga menyukai