RANCANGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR . TAHUN .
TENTANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL
Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan
bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa setiap bentuk kekerasan seksual merupakan kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan, bentuk diskriminasi gender dan
pelanggaran hak asasi manusia yang harus dihapus,;
c. bahwa korban kekerasan seksual, yang kebanyakan adalah
perempuan, anak dan kelompok rentan lainnya, harus mendapat
perlindungan dari negara agar tidak terjadi keberulangan dan
terbebas dari setiap bentuk kekerasan seksual;
d. bahwa kasus kekerasan seksual semakin meningkat dan
berkembang, bentuk maupun kuantitas, namun sistem hukum
Indonesia belum secara sistematis dan menyeluruh mampu
mencegah, melindungi, memberdayakan dan memulihkan korban,
merehabilitasi pelaku serta menumbuhkan pemahaman dan
kesadaran masyarakat untuk menghapuskan kekerasan seksual;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu dibentuk Undang-
Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (1), ayat
(2), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
MEMUTUSKAN:
1
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
2
15. Penderitaan fisik adalah rasa sakit, luka ringan, luka berat, cacat, dan/atau rusaknya
bagian tubuh dalam dan luar, dan/atau rusaknya alat reproduksi.
16. Penderitaan psikis adalah rasa tidak aman dan nyaman, tidak percaya diri, kehilangan
kepercayaan kepada orang lain, hilangnya kemampuan untuk mengambil keputusan dan
bertindak, tidak berdaya, terisolasi, direndahkan, kecemasan ketakutan, gangguan
psikologis yang lebih serius dan/atau trauma, yang terlihat atau tidak terlihat pada diri
korban.
17. Penderitaan ekonomi adalah kondisi kehilangan atau berkurangnya kesempatan
dan/atau sumber daya secara langsung atau tidak langsung, tidak berdaya secara
ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya atau tergantung kepada pihak lain.
18. Penderitaan seksual adalah terganggu atau rusaknya dan/atau tidak berfungsinya organ
seksual dan kehilangan atau berkurangnya kesempatan untuk menikmati hak atas
kedaulatan tubuh dan seksualitasnya.
19. Penderitaan politik adalah berkurang atau hilangnya akses, partisipasi, kontrol dan
manfaat dalam segala aspek politik dan pemerintahan.
20. Penderitaan sosial adalah berkurang atau hilangnya pengakuan atas kedirian korban
sebagai manusia yang bermartabat dalam kehidupan bermasyarakat dan akibat-akibat
lain yang merugikan bagi peran, kesejahteraan dan keterampilan sosial korban dalam
lingkungan /atau masayarakatnya.
21. Seksualitas adalah unsur utama manusia untuk keberlangsungan seluruh hidupnya
meliputi seks, identitas dan peran-peran gender, orientasi seksual, erotisme,
kesenangan, keintiman dan reproduksi, yang dialami dan diekspresikan dalam berbagai
pemikiran, fantasi, hasrat, kepercayaan, sikap, nilai, perilaku, praktek, peran, dan
hubungan antar individu, yang dipengaruhi oleh interaksi dari faktor-faktor biologis,
psikologis, sosial, ekonomi, politik, budaya, etika, hukum, sejarah, dan spiritualitas.
22. Pencegahan adalah segala upaya seawal mungkin sebelum terjadinya kekerasan seksual
yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Negara, Korporasi dan Lembaga Masyarakat.
23. Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada
saksi/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh Kepolisian dan/atau Lembaga Negara
lainnya
24. Perlindungan sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh Lembaga
Negara dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan.
25. Pemulihan Dalam Makna Luas yang selanjutnya disebut pemulihan adalah proses
mendukung korban terutama korban kekerasan seksual untuk menjadi berdaya dalam
mengambil keputusan dan mengupayakan kehidupan yang adil, bermartabat dan
sejahtera, melalui pendekatan yang berpusat pada korban, berbasis hak, multidimensi,
berbasis komunitas dan berkesinambungan, berkelanjutan bersifat partisipatif, yang
dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran keluarga dan komunitas
26. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian untuk korban yang dibebankan pada pelaku
berdasarkan putusan pengadilan atas kerugian materil dan/atau immaterial yang diderita
korban atau ahli warisnya.
27. Kompensasi adalah pembayaran ganti kerugian untuk korban yang dibebankan kepada
Negara berdasarkan putusan pengadilan atas kerugian materil dan/ atau immaterial
yang diderita oleh korban atau ahli warisnya yang dapat berupa uang dan/atau program.
28. Rehabilitasi Pelaku adalah upaya untuk memperbaiki perilaku pelaku melalui
penyediaan jasa pendidikan, kerohanian, hukum, medis, psikologis, psikiatris dan/atau
sosial oleh Negara.
29. Pusat pelayanan terpadu adalah penyelenggaraan layanan terpadu berbasis rumah sakit
atau lembaga lain untuk menangani perempuan dan anak korban kekerasan seksual
yang meliputi : Pelayanan Pengaduan, Medis, Medikolegal, Psikososial dan Bantuan
Hukum secara Lintas Fungsi dan Lintas Sektoral.
3
30. Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-kasus Kekerasan Terhadap
Perempuan disingkat SPPT-PKKTP adalah keterpaduan setiap proses peradilan dalam
menangani kasus kekerasan seksual dengan memperhatikan kebutuhan khusus
perempuan, anak dan kelompok rentan lainnya
31. Konseling adalah upaya membantu dan/atau mendukung korban dalam melakukan
interpretasi tentang fakta-fakta yang berhubungan dengan pilihan, rencana, atau
penyesuaian yang perlu dibuat dalam proses perkembangan psikologis korban yang
dilakukan oleh psikolog/psikiater.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Asas
Pasal 3
Tujuan
BAB III
RUANG LINGKUP
Pasal 4
(1) Penghapusan kekerasan seksual meliputi pencegahan, penanganan bagi korban, dan
penindakan, dan rehabilitasi pelaku tindak pidana kekerasan seksual.
(2) Pencegahan, penanganan bagi korban, penindakan, dan rebilitasi pelaku tindak
pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
tanggungjawab negara, korporasi dan lembaga masyarakat.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan dengan melibatkan
peran keluarga dan komunitas.
4
BAB IV
TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL
Pasal 5
(1) Setiap orang dilarang melakukan kekerasan seksual dalam segala bentuknya.
(2) Bentuk Kekerasan seksual sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pelecehan seksual
b. Kontrol seksual
c. Perkosaan
d. Eksploitasi seksual
e. Penyiksaan seksual
f. Perlakuan atau penghukuman lain tidak manusiawi yang menjadikan tubuh,
seksualitas dan/atau organ reproduksi sebagai sasaran
(3) Setiap tindakan persetujuan diam-diam atau pembiaran yang dilakukan oleh lembaga
negara, korporasi, dan lembaga masyarakat, yang berakibat terjadinya kekerasan
seksual sebagaimana dimaksud ayat (2) merupakan tindak pidana kelalaian.
Perlakuan atau penghukuman lain tidak manusiawi yang menjadikan tubuh dan seksualitas
atau organ reproduksi sebagai sasaran, dan/atau merendahkan martabat kemanusiaan
Pasal 6
(1) Tindak pidana pelecehan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) huruf
a adalah tindakan menghina dan/atau menyerang tubuh dan seksualitas seseorang.
(2) Bentuk-bentuk tindak pidana pelecehan seksual sebagaimana dimaksud pasal 5 ayat
(2) huruf a meliputi:
a. Pelecehan fisik;
b. Pelecehan lisan;
c. Pelecehan isyarat;
d. Pelecehan tertulis atau gambar; dan
e. Pelecehan psikologis atau emosional
Pasal 7
(1) Tindak pidana kontrol seksual sebagaimana pasal 5 ayat (2) huruf b adalah tindakan yang
dilakukan dengan paksaan, ancaman kekerasan, atau tanpa kesepakatan dengan tujuan
melakukan pembatasan, pengurangan, penghilangan dan atau pengambilalihan hak
mengambil keputusan yang terbaik atas diri, tubuh dan seksualitas seseorang agar
melakukan atau berbuat atau tidak berbuat.
(2) Kontrol Seksual sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. Pemaksaan menggunakan atau tidak menggunakan busana tertentu;
b. Pemaksaan kehamilan;
c. Pemaksaan aborsi;
d. Pemaksaan sterilisasi; dan
e. Pemaksaan perkawinan.
Pasal 8
(1) Tindak pidana perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c adalah
tindakan seksual dengan menggunakan alat kelamin atau anggota tubuh lainnya atau
benda ke arah dan/atau ke dalam organ tubuh yaitu pada vagina, anus, mulut, atau
anggota tubuh lain, dilakukan dengan cara paksa, atau kekerasan, atau ancaman
5
kekerasan, atau tekanan psikis, atau bujuk rayu, atau tipu muslihat, atau terhadap
seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya.
(2) Tindak pidana perkosaan meliputi perkosaan di dalam dan di luar hubungan
perkawinan.
Pasal 9
(1) Tindak pidana eksploitasi seksual adalah pemanfaatan tubuh dan/atau seksualitas
korban tanpa persetujuan korban yang meliputi pada pelacuran, kerja atau pelayanan
paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan untuk
mendapatkan keuntungan seksual, ekonomi, sosial dan/atau politik, baik secara
materil dan/atau immateril, dengan cara:
a. menggunakan kekuasaan, ancaman dan/atau penyalahgunaan kepercayaan untuk
menjadikan seseorang sebagai pekerja seks untuk orang lain, dengan maksud
menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain;
b. melakukan perbudakan seksual dengan menguasai kepemilikan atas tubuh korban
dan menghilangkan kemerdekaan korban;
c. merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan atau menerima
seseorang dengan ancaman kekerasan, dengan dan/atau penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atas
posisi rentan, penjeratan utang atau pemberian manfaat terhadap korban secara
langsung maupun orang lain yang menguasainya untuk tujuan eksploitasi seksual,
termasuk perbudakan dan/atau pelacuran, untuk memperoleh keuntungan materil
dan/atau immateriil bagi dirinya atau untuk orang ketiga, dengan maksud
menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain;
(2) Dianggap juga tindak pidana eksploitasi seksual, apabila pelaku melakukan hubungan
seksual terhadap korban dengan cara:
a. memberikan iming-iming, atau bujuk rayu, atau tipu muslihat dan/atau janji kawin
kepada korban;
b. mengkondisikan korban berada dalam posisi subordinat dari pelaku, sehingga
korban menjadi tergantung kepada pelaku untuk memperoleh pemenuhan
kebutuhan korban;
(3) Persetujuan korban eksploitasi seksual sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2) tidak
menghilangkan penuntutan tindak pidana eksploitasi seksual.
Pasal 10
Tindak pidana penyiksaan seksual sebagaimana yang dimaksud Pasal 5 ayat (2) huruf e
adalah tindakan yang sengaja dimaksudkan untuk menghina, merendahkan martabat, dan/atau
menyerang tubuh dan/atau seksualitas dengan sepengetahuan, persetujuan, persetujuan diam-
diam atau pembiaran oleh pejabat yang bertujuan untuk:
a. memperoleh pengakuan atau keterangan saksi dan/atau korban atau dari orang ketiga;
b. menghukum atas suatu perbuatan saksi dan/atau korban yang telah atau diduga telah
dilakukan olehnya ataupun oleh orang ketiga;
c. mengancam atau memaksa sanksi dan.atau korban atau orang ketiga; atau
d. suatu alasan yang didasarkan pada diskriminasi.
6
Pasal 11
Perlakuan atau penghukuman lain tidak manusiawi yang menjadikan tubuh, seksualitas
dan/atau organ reproduksi sebagai sasaran sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (2) huruf f
adalah tindakan menyakiti, membuat rasa takut, dan/atau membuat rasa malu terkait dengan
tubuh, organ reproduksi, dan/atau seksualitas.
BAB V
PENCEGAHAN KEKERASAN SEKSUAL
Bagian Kesatu
Tujuan
Pasal 12
Bagian Kedua
Penyelenggaraan Pencegahan
Pasal 13
(1) Lembaga Negara, Korporasi, dan Lembaga Masyarakat wajib melakukan upaya
pencegahan segala bentuk kekerasan seksual.
(2) Lembaga Negara, Korporasi, dan Lembaga Masyarakat wajib membuat kebijakan,
program, dan anggaran untuk melaksanakan pencegahan kekerasan seksual.
(3) Untuk mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah-langkah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Bentuk-bentuk Pencegahan
Pasal 14
7
BAB VI
PERLINDUNGAN DAN HAK SAKSI DAN/ATAU KORBAN
Bagian Pertama
Perlindungan dan Hak Saksi dan/atau Korban
Pasal 15
Pasal 16
Perlindungan saksi dan/atau korban bertujuan memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau
korban sebelum, selama dan setelah proses peradilan pidana kekerasan seksual.
Pasal 17
Hak saksi adalah hak yang dimiliki oleh saksi dalam proses peradilan pidana kekerasan
seksualsebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7.
Pasal 18
Pasal 19
Hak korban adalah seluruh kebutuhan korban untuk mengembalikan kondisi korban pada
kondisi yang lebih baik daripada kondisi sebelum terjadinya kekerasan.
Pasal 20
Hak korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 selain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku, juga meliputi:
a. mendapatkan informasi mengenai hak-haknya sebagai korban;
b. mendapatkan pendampingan dan bantuan hukum dari tahap penyidikan hingga
berakhirnya proses persidangan;
c. mendapatkan penanganan yang bebas dari stigma;
d. bebas dari pertanyaan menjerat, melecehkan, atau merendahkan martabat korban;
8
e. mendapatkan penerjemah di setiap proses di setiap proses dan tahapan penyidikan dan
pemeriksaan;
f. mendapatkan pemeriksaan medis secara menyeluruh termasuk Visum et Repertum, Visum
et Repertum Psikiatrikum, dan/atau tes DNA secara cuma-cuma;
g. mendapatkan salinan laporan hasil keterangan medis/Surat Keterangan Ahli/Surat
Keterangan Medis;
h. mendapatkan restitusi;
i. mendapatkan pelayanan kesehatan;
j. mengajukan ahli;
k. mendapatkan perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media;
l. mendapatkan pelayanan bimbingan rohani berdasarkan kehendak korban;
m. mendapatkan pemulihan;
n. mendapatkan pendampingan sesuai dengan standar yang berlaku dalam penanganan
perempuan dan anak korban kekerasan seksual; dan
o. penyediaan layanan pendampingan khusus, akomodasi dan pelayanan profesional bagi
korban berkebutuhan khusus.
Pasal 21
Hak sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 dan 20 diberikan juga kepada keluarga saksi
dan/atau korban sampai dengan derajat kedua.
Pasal 22
Hak saksi dan korban sebagaimana diatur dalam Pasal 18 dan Pasal 20 diberikan oleh
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau
Pemerintah melalui pusat pelayanan terpadu sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan
keterjangkauan korban.
Pasal 23
(1) Untuk melindungi saksi dan/atau korban pada setiap provinsi, kabupaten/kota,
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membentuk dan/atau mengoptimalkan pusat
pelayanan terpadu bagi perlindungan saksi dan/atau korban kekerasan seksual.
(2) Pusat pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud ayat (1) wajib menyediakan layanan
pengaduan, pemulihan kesehatan, pemulihan psikologis, pemulihan sosial, bantuan
hukum, pemulangan, dan reintegrasi sosial.
(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja
sama dengan lembaga masyarakat dan komunitas untuk membentuk pusat pelayanan
terpadu.
Bagian Kedua
Perintah Perlindungan
Pasal 24
(1) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau
menerima laporan kekerasan seksual, kepolisian wajib segera memberikan
perlindungan sementara pada korban.
(2) Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 30
(tiga puluh) hari sejak korban diterima atau ditangani.
9
(3) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian
perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
(4) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian
perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib mengajukan
permohonan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk
memberikan perlindungan
Pasal 25
Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga
kesehatan, psikolog, pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban.
Pasal 26
(1) Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh:
a. korban;
b. keluarga korban;
b. kepolisian;
c. pendamping; atau
d. pembimbing rohani
(2) Permohonan perintah perlindungan disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan.
(3) Dalam hal permohonan diajukan secara lisan, panitera pengadilan negeri setempat
wajib mencatat permohonan tersebut.
(4) Dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, kepolisian,
pendamping, atau pembimbing rohani maka korban harus memberikan persetujuannya.
(5) Dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban.
(6) Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 2 (dua) hari sejak diterimanya permohonan
wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban.
(7) Perintah perlindungan dapat berisi perintah kepada kepolisian atau Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban untuk memberikan perlindungan pada korban.
(8) Perintah perlindungan memuat:
a. pembatasan gerak pelaku;
b. larangan kepada pelaku memasuki tempat tinggal atau tempat kerja atau tempat
korban beraktivitas; dan/atau
c. larangan kepada pelaku membuntuti atau mengawasi korban.
Pasal 27
Pelaksanaan perintah perlindungan dari pengadilan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban dapat mengesampingkan ketentuan yang mengatur tentang tata cara pemberian
perlindungan.
Pasal 28
10
Pasal 29
(1) Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Perintah perlindungan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan.
(3) Permohonan perpanjangan Perintah Perlindungan diajukan 7 (tujuh) hari kerja sebelum
berakhir masa berlakunya.
Pasal 30
(1) Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap pelaku
berdasarkan dua alat bukti yang sah karena telah melanggar perintah perlindungan.
(2) Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilanjutkan dengan penahanan
yang disertai surat perintah penahanan dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat)
jam hari kerja.
(3) Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan sebagaimana dimaksud ayat
(1) dan ayat (2).
Pasal 31
(1) Korban, kepolisian atau pendamping dapat mengajukan laporan secara tertulis tentang
adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan.
(2) Dalam hal pengadilan mendapatkan laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat)
jam hari kerja guna dilakukan pemeriksaan.
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pengadilan di tempat
pelaku pernah tinggal bersama korban pada waktu pelanggaran diduga terjadi.
Pasal 32
(1) Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah perlindungan
dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka Pengadilan dapat
mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan
untuk mematuhi perintah perlindungan.
(2) Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30
hari kerja.
(3) Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan surat perintah
penahanan.
Pasal 33
Dalam hal korban warga negara Indonesia berada di luar negeri, Pemerintah Republik
Indonesia wajib memastikan pemenuhan hak-hak korban sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini.
11
BAB VII
PEMULIHAN DALAM MAKNA LUAS
Bagian Kesatu
Pemulihan Korban
Pasal 34
Pasal 35
(1) Pemulihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) diselenggarakan oleh Pusat
Pelayanan Terpadu dengan mengikutsertakan keluarga, pendamping dan/atau komunitas.
(2) Pusat pelayanan terpadu didirikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
(4) Perlindungan bagi saksi dan/atau korban dilakukan dengan cara berkoordinasi dengan
kepolisian dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Pasal 36
Pasal 37
Berdasarkan permohonan korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), pusat
pelayanan terpadu wajib meneruskan permohonan korban sebagai pelaporan terjadinya tindak
pidana kekerasan seksual kepada kepolisian.
12
Pasal 38
(1) Dalam penyelenggaraan pemulihan sebagaimana dimaksud pada Pasal 34 ayat (2), pusat
pelayanan terpadu:
a. Mendengarkan kebutuhan korban;
b. Memberikan layanan pemeriksaan kesehatan fisik dan mental termasuk pengujian
penularan penyakit menular seksual, kesehatan reproduksi, tes DNA, pemeriksaan
psikiatris dan/atau psikologis;
c. membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban berupa visum et
repertum, visum et psikiatrikum dan/atau visum et psikologikum atau surat keterangan
medis yang memiliki kekuatan hukum sebagai alat bukti;
d. Memberikan tindakan medis pencegahan kehamilan bagi korban dalam hal kekerasan
seksual yang dialami korban berpotensi mengakibatkan kehamilan;
e. Menyelenggarakan reintegrasi sosial dan budaya yang mencakup berbagai bentuk
pendampingan korban dan/atau saksi dalam konteks sosial, budaya dan politik
kemasyarakatan;
f. Menyelenggarakan pendampingan kepada korban dan/atau keluarga dan/atau saksi
lain;
g. Menyelenggarakan pendampingan kepada lingkungan/ masyarakat sekitar korban
dalam berbagai bentuk, misalnya edukasi, penyuluhan, kunjungan pada pemimpin
masyarakat;
h. Menyelenggarakan konseling keluarga dan komunitas untuk menggalang dukungan
bagi korban;
i. Menyelenggarakan terapi dan/atau pembentukan kelompok dukungan untuk
menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban;
j. Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan
dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
k. memberikan kesempatan bagi korban yang memerlukan untuk dapat tinggal dalam
rumah aman atau tempat tinggal alternatif;
l. melakukan koordinasi terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan
pihak kepolisian, pendamping dan lembaga sosial yang dibutuhkan korban;
m. Membangun kesadaran dan inisiatif masyarakat untuk pemulihan nama baik korban
dan dukungan aktif masyarakat terhadap korban;
n. Memberikan hak anak atas pendidikan dan perlindungan bersama lembaga
pendidikan;
o. memberikan biaya hidup selama masa pemulihan korban;
p. memberikan biaya hidup untuk jaminan masa depan korban; dan
q. menyelenggarakan berbagai bentuk pemberdayaan ekonomi secara individual ataupun
berkelompok.
(2) Ketentuan tentang penyelenggaraan pemulihan diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 39
Biaya pemulihan yang diselenggarakan oleh pusat pelayanan terpadu dibebankan pada APBN
atau APBD atau APBDes.
13
Bagian Kedua
Rehabilitasi Pelaku
Pasal 40
Pasal 41
(1) Pihak yang betanggung jawab pada rehabilitasi pelaku adalah balai pemasyarakatan dan
lembaga pemasyarakatan bekerja sama dengan pihak lain.
Pasal 42
Pasal 43
Hakim pengawas dan pengamat yang ditetapkan oleh Pengadilan wajib melakukan
pengawasan atas penyelenggaraan rehabilitasi pelaku.
Pasal 44
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme rehabilitasi pelaku diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
14
Bagian Ketiga
Pendidikan Masyarakat
Pasal 45
BAB VIII
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 46
(1) Ketentuan dalam Kitab Hukum Acara Pidana tetap berlaku, kecuali ditentukan lain oleh
Undang-Undang ini.
(2) Hukum acara peradilan kekerasan seksual meliputi pelaporan, penyidikan, penuntutan,
persidangan, dan pengawasan serta pengamatan hakim tindak pidana kekerasan seksual.
(3) Ketentuan penyidikan dan penuntutan dalam Undang-Undang ini berlaku juga untuk
penyidik dan penuntut umum dalam Peradilan Militer.
Pasal 47
(1) Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim wajib memperhatikan kepentingan korban.
(2) Advokat dan Pendamping atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan
kepentingan korban.
Pasal 48
15
Pasal 49
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 tidak menghilangkan hak saksi dan/atau
korban, termasuk melalui Pendamping atau pemberi bantuan hukum lainnya, untuk
mendapatkan informasi, berpartisipasi dalam penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di
sidang pengadilan dan melakukan hal-hal lain untuk pembelaan saksi dan/atau korban atas
dasar persetujuan saksi dan/atau korban.
Pasal 50
Pasal 51
Pasal 52
Korban berhak mendapatkan informasi dari pejabat di setiap tingkat pemeriksaan tentang
perkembangan pemeriksaan perkara.
Bagian Kedua
Pelaporan
Pasal 53
(1) Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat, melihat, dan/atau menyaksikan
peristiwa yang merupakan tindak pidana kekerasan seksual wajib melaporkan kepada
pusat pelayanan terpadu.
(2) Setiap pejabat yang dalam rangka melaksanakan tugas atau profesinya mengetahui
terjadinya tindak pidana kekerasan seksual wajib melaporkan kepada pusat pelayanan
terpadu.
(3) Dalam hal tenaga kesehatan, psikiater dan/atau psikolog menemukan tanda permulaan
terjadinya kekerasan seksual pada korban, tenaga kesehatan, psikiater dan/atau psikolog
wajib menyampaikan laporan kepada pusat pelayanan terpadu.
(4) Dalam penerimaan pelaporan sebagaimana dimaksud ayat (1), (2) dan (3), pusat
pelayanan terpadu wajib menyelenggarakan konseling bagi korban.
16
Pasal 54
(1) Pusat pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dapat berbasis
pada:
a. Rumah Sakit;
b. Kepolisian; atau
c. Lembaga Pengada Layanan.
(2) Kewenangan pusat pelayanan terpadu meliputi:
a. Menerima pelaporan kekerasan seksual;
b. memberikan perlindungan dan pemulihan psikologis dan/atau medis korban;
dan
c. menyediakan pendampingan selama proses peradilan pidana.
(2) Ketentuan mengenai Pusat Pelayanan Terpadu dan Lembaga Pengada Layanan diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 55
(1) Syarat tenaga kesehatan, psikiater dan/atau psikolog di Pusat Pelayanan Terpadu,
meliputi:
a. telah berpengalaman; dan
b. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan pidana kekerasan seksual.
(2) Dalam hal belum terdapat tenaga kesehatan, psikiater dan/atau psikolog yang
memenuhi persyaratan, tugas dilaksanakan oleh tenaga kesehatan, psikiater dan/atau
psikolog lainnya.
(3) Tenaga kesehatan, psikiater dan/atau psikolog sebagaimana dimaksud ayat (1)
diutamakan berjenis kelamin perempuan.
Pasal 56
(1) Pusat pelayanan terpadu wajib melakukan konseling terhadap korban atau merujuk
kepada lembaga penyedia layanan konseling.
(2) Konseling sebagaimana dimaksud ayat (1) ditujukan untuk memulihkan dan
menyiapkan korban dalam menghadapi proses peradilan pidana.
Pasal 57
(1) Laporan kekerasan seksual yang diterima Lembaga Pengada Layanan atau Rumah Sakit
wajib disampaikan kepada Kepolisian sebagai dasar dilakukannya penyelidikan dan
penyidikan.
(2) Rekam psikologis hasil konseling diperlakukan sebagai bagian dari Berita Acara
Pemeriksaan (BAP).
(3) Pemeriksaan oleh Penyidik dilakukan di ruang pelayanan khusus, Lembaga Pengada
Layanan, Rumah Sakit, atau tempat lain yang nyaman dan aman bagi korban atau
sesuai kebutuhannya.
Pasal 58
(1) Dalam hal korban menyampaikan laporan melalui kepolisian, kepolisian wajib
menerima pelaporan di ruang pelayanan khusus dalam unit yang melaksanakan
pelayanan bagi perempuan dan anak.
(2) Penerimaan laporan korban diutamakan dilakukan oleh polisi wanita atau petugas
perempuan yang terlatih untuk menerima pelaporan kekerasan seksual.
17
(3) Dalam hal korban belum mendapatkan konseling, polisi atau petugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) melakukan konseling dengan menyediakan konselor atau
merujuk ke lembaga penyedia layanan konseling.
(4) Dalam hal korban menyampaikan laporan tanpa didampingi oleh pendamping,
paralegal, advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, Kepolisian wajib
menyediakan atau merujuk kepada advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya segera
setelah korban menyampaikan laporannya.
(5) Ketentuan lebih lanjut tentang ruang pelayanan khusus dan tata cara penerimaan
pelaporan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 59
(1) Penyidik menyerahkan berkas perkara penyidikan kepada Penuntut Umum dalam
waktu 10 (sepuluh) hari kerja, terhitung sejak Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan (SPDP).
(2) Apabila dalam waktu 10 (sepuluh hari) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyidik
belum menyampaikan hasil penyidikan, Penuntut Umum meminta perkembangan hasil
penyidikan kepada penyidik;
(3) Apabila berdasarkan hasil penelitian Penuntut Umum ditemukan adanya kekurangan,
maka dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya berkas perkara, Penuntut Umum
memberitahukan hal tersebut kepada penyidik, dan dalam waktu 14 (empat belas) hari
sejak diterimanya penyerahan tahap pertama, Penuntut Umum mengembalikan berkas
perkara tersebut disertai petunjuk yang harus dilengkapi;
(4) Penelitian Penuntut Umum terhadap berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dapat dilakukan paling banyak 2 (dua) kali;
(5) Dalam hal telah dilakukan penelitian berkas perkara sebanyak 2 (dua) kali sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), dan Penyidik tidak juga melengkapi berkas perkara, maka
Penuntut Umum mengambil alih penyidikan.
Pasal 60
Apabila proses penyidikan atau penuntutan mengalami penundaan berlarut, maka korban,
pendamping, advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya dapat mengajukan keberatan
secara administratif atau hukum.
Bagian Kedua
Penyidikan
Pasal 61
Penyidik yang mengetahui, atau menerima laporan tindak pidana kekerasan seksual wajib
segera melakukan penyidikan yang diperlukan.
Pasal 62
(4) Penyidikan terhadap perkara kekerasan seksual dilakukan oleh Penyidik yang
ditetapkan berdasarkan keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(5) Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban dilakukan oleh Penyidik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(6) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
c. telah berpengalaman;
18
d. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah kekerasan seksual;
dan
e. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan pidana kekerasan seksual.
(7) Dalam hal belum terdapat Penyidik yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) tugas penyidikan dilaksanakan oleh penyidik tindak pidana umum
lainnya.
(8) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan berjenis kelamin
perempuan.
Pasal 63
Pasal 64
Sebelum melakukan pemeriksaan korban, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran
dari psikolog dan/atau pendamping tentang kesiapan korban.
Pasal 65
(1) Penyidik dalam melakukan pemeriksaan saksi dan/atau korban dapat menggunakan
perekaman elektronik dengan dihadiri oleh pendamping, advokat atau pemberi bantuan
hukum lainnya.
(2) Perekaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk mengurangi trauma
saksi dan/atau korban.
(3) Perekaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat bukti yang sah.
Pasal 66
Penyidik dilarang membebankan pencarian alat bukti dan/atau saksi kepada korban.
Pasal 67
Pasal 68
(1) Setiap bulan penyidik wajib memberikan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil
Penyidikan (SP2HP) kepada korban.
(2) Dalam hal penyidik tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Korban atau Pendamping dapat menyampaikan keberatannya kepada atasan penyidik;
(3) Atasan langsung penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memberikan sanksi
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
19
Pasal 69
(1) Penyidik berwenang menyadap telepon atau alat komunikasi seseorang yang diduga
digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana
eksploitasi seksual;
(2) Penyadapan dilakukan berdasarkan dua alat bukti permulaan;
(3) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan atas izin tertulis
ketua pengadilan untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan.
(4) Untuk kepentingan penyidikan lebih lanjut, tindakan penyadapan dapat diperpanjang
kembali atas penetapan Ketua Pengadilan.
Pasal 70
(1) Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang untuk melakukan pemblokiran atau
pembekuan, rekening dan/atau harta kekayaan setiap orang, kelompok dan/atau
korporasi yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana kekerasan seksual.
(2) Pemblokiran atau pembekuan rekening dan/atau harta kekayaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi: harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana kekerasan
seksual, kekayaan yang digunakan atau dimaksudkan untuk digunakan melakukan
kejahatan.
(3) Pemblokiran atau pembekuan rekening dan/atau harta kekayaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sebagai jaminan restitusi.
Bagian Kedua
Penuntutan
Pasal 71
Penuntut Umum bertindak mewakili negara untuk memberikan keadilan bagi korban.
Pasal 72
Dalam melaksanakan pra penuntutan dan penuntutan perkara kekerasan seksual, Penuntut
Umum wajib berdasarkan pada kepentingan dan kebutuhan korban atas keadilan.
Pasal 73
(1) Penuntutan terhadap perkara kekerasan seksual dilakukan oleh Penuntut Umum
berdasarkan keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung.
(2) Untuk kepentingan korban Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
melakukan pemeriksaan tambahan terhadap saksi dan/atau korban.
(3) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. telah berpengalaman sebagai penuntut umum sekurang-kurangnya 3 tahun;
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah kekerasan seksual;
dan
c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan pidana kekerasan seksual.
(4) Dalam hal belum terdapat Penuntut Umum yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), tugas penuntutan dilaksanakan oleh penuntut umum yang
melakukan tugas penuntutan tindak pidana lainnya.
20
Pasal 74
(1) Penuntut Umum wajib berkoordinasi dengan penyidik, korban, pendamping sejak
diterimanya pemberitahuan dimulainya penyidikan dan dalam menyusun
dakwaan.
(2) Dalam menyusun dakwaan, Penuntut Umum wajib meminta pertimbangan atau saran
dari Psikolog, Psikiater, dan/atau tenaga ahli lainnya.
(3) Penuntut Umum wajib memasukkan restitusi dalam surat tuntutan.
Bagian Ketiga
Hakim Peradilan Pidana Kekerasan Seksual
Paragraf 1
Hakim Tingkat Pertama
Pasal 75
(1) Pemeriksaan sidang pengadilan perkara kekerasan seksual dilakukan oleh Hakim
berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul ketua pengadilan negeri yang
bersangkutan melalui ketua pengadilan tinggi.
(2) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan peradilan umum
sekurang-kurangnya 5 tahun;
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah kekerasan
seksual; dan
c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan pidana kekerasan seksual.
(3) Dalam hal belum terdapat Hakim yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), tugas pemeriksaan sidang pengadilan dilaksanakan oleh hakim yang
melakukan tugas pemeriksaan tindak pidana lainnya.
Pasal 76
Hakim memeriksa dan memutus perkara kekerasan seksual dalam tingkat pertama dengan
hakim majelis.
Paragraf 2
Hakim Banding
Pasal 77
(1) Pemeriksaan sidang pengadilan tinggi perkara kekerasan seksual dilakukan oleh Hakim
berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul ketua pengadilan tinggi.
(2) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan pidana kekerasan seksual; dan
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah kekerasan seksual.
(3) Dalam hal belum terdapat Hakim yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), tugas pemeriksaan sidang pengadilan tinggi dilaksanakan oleh hakim
yang melakukan tugas pemeriksaan tindak pidana lainnya.
21
Pasal 78
Pemeriksaan perkara kekerasan seksual di tingkat banding dilakukan oleh majelis hakim
Paragraf 3
Hakim Kasasi
Pasal 79
Pasal 80
Hakim Kasasi memeriksa dan memutus perkara kekerasan seksual dalam tingkat Kasasi.
Bagian Keempat
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Tingkat Pertama
Pasal 81
Ketua pengadilan wajib menetapkan majelis hakim untuk menangani perkara kekerasan
seksual paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara dari Penuntut Umum.
Pasal 82
(1) Selama menunggu proses pemeriksaan, saksi dan/atau korban wajib ditempatkan dalam
ruang tunggu yang terpisah dari tersangka atau terdakwa.
(2) Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban di sidang pengadilan hanya dilakukan
dalam ruang pemeriksaan yang terpisah dari tersangka atau terdakwa.
(3) Saksi dan/atau korban tetap dapat mengikuti proses pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) melalui sarana audiovisual yang disediakan oleh Pengadilan.
(4) Ketentuan mengenai pengaturan ruang tunggu, ruang pemeriksaan khusus dan sarana
audiovisual diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.
Pasal 83
Pasal 84
Pasal 85
22
(2) menggunakan pengalaman atau latar belakang seksualitas saksi dan/atau korban sebagai
alasan untuk mengabaikan keterangan saksi dan/atau korban.
Pasal 86
Dalam hal saksi dan/atau korban tidak dapat dihadirkan di persidangan, Hakim dapat
memerintahkan saksi dan/atau korban didengar keterangannya:
a. melalui perekaman elektronik yang dilakukan dalam proses penyidikan;
b. melalui perekaman elektronik di luar persidangan yang dilakukan oleh Penuntut
Umum di daerah hukum setempat dengan dihadiri oleh Pendamping, Advokat atau
pemberi bantuan hukum lainnya; atau
c. melalui pemeriksaan langsung jarak jauh dengan alat komunikasi audiovisual di
pengadilan setempat atau konsulat RI setelah disumpah dengan didampingi oleh
Pendamping, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya;
Pasal 87
Pasal 88
Pengadilan wajib memberikan kutipan amar putusan kepada korban atau Pendamping atau
Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Penuntut Umum paling lama 5 (lima) hari
kerja sejak putusan diucapkan.
Bagian Kelima
Pembuktian
Pasal 89
Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan
Undang-Undang ini adalah:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan; dan
b. alat bukti lain berupa: hasil pemeriksaan rekening bank; surat keterangan psikolog
dan/atau psikiater; hasil pemeriksaan forensik; hasil audit hukum; hasil komunikasi
elektronik; data, rekaman, atau informasi; atau rekaman pemeriksaan dalam proses
penyidikan.
Pasal 90
(1) Keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan kesalahan
terdakwa sepanjang disertai dengan satu alat bukti lainnya.
(2) Keterangan saksi dari keluarga sedarah, semenda sampai dengan derajat ketiga dari
korban dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah menurut Undang-Undang ini.
(3) Keterangan seorang saksi/korban penyandang disabilitas mempunyai kekuatan hukum
yang sama dengan saksi/korban non disabilitas.
(4) Saksi/korban penyandang diabilitas dapat memberikan keterangan sesuai dengan ragam
disabilitasnya
(5) Pengadilan berkewajiban menyediakan fasilitas yng diperlukan untuk membantu
penyandang dissabilitas memberikan kesaksiannya
23
Bagian Kelima
Restitusi
Pasal 91
(1) Permohonan restitusi diajukan oleh korban atau orangtua atau keluarga atau
suami/isteri/pasangan atau wali atau pengampu kepada Majelis Hakim melalui Jaksa
Penuntut Umum.
(2) Permohonan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :
a. kerugian fisik, seperti cacat, meninggal dunia, terkena Infeksi Menular Seksual
(IMS);
b. kerugian psikis, seperti rasa malu, depresi, stres, trauma, mengalami gangguan
kenikmatan seksual;
c. kerugian akses ekonomi, seperti kehilangan pekerjaan;
d. kerugian sosial, seperti stigma, terkucilkan dari masyarakat.
e. biaya untuk tindakan perawatan medis; dan/atau
f. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat kekerasan seksual.
(3) Permohonan restitusi diajukan dalam surat penuntutan dan dibacakan pada waktu
penuntutan.
(4) Dalam hal terdakwa dinilai tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi putusan
pengadilan atas tuntutan restitusi korban, dapat digunakan sebagai dasar pemberatan
pidana.
(5) Dalam hal terpidana tidak melaksanakan pembayaran restitusi atas dasar itikad tidak
baik, Jaksa dapat mengajukan permohonan penetapan hakim tentang penjatuhan uang
paksa.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 92
Ketentuan yang diatur dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tetap berlaku,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 93
24
c. pencabutan hak tertentu;
d. perampasan barang dan/atau tagihan;
e. pengumuman putusan hakim;
f. restitusi; dan/atau
g. pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang
hidup di dalam masyarakat.
(1) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pasal 81 huruf b, c, huruf d, huruf e, huruf f,
dan huruf g dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak
pidana.
(2) Dalam hal adanya surat keterangan medis yang merekomendasikan dilakukannya
tindakan terapi dan/atau medis tertentu terhadap pelaku, pidana tambahan tindakan
terapi dan/atau medis tertentu dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam
perumusan tindak pidana.
Pasal 95
(1) Sanksi adat yang telah dijatuhkan oleh masyarakat tidak menghilangkan ketentuan
pidana terhadap tindak pidana kekerasan seksual menurut undang-undang ini.
(2) Pemenuhan kewajiban sanksi adat atau kewajiban menurut hukum yang hidup di
dalam masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) tidak boleh berupa
tindak penyiksaan, penghukuman yang keji, tidak manusiawi dan merendahkan
martabat serta harus memperhatikan jaminan dan perlindungan hak asasi manusia
korban.
Bagian Kedua
Pidana Pelecehan Seksual
Pasal 96
Setiap orang yang melakukan pelecehan seksual sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (1) dan
(2) diancam pidana penjara paling lama 2 tahun dan rehabilitasi pelaku paling lama 2 tahun.
Pasal 97
Ancaman pidana sebagaimana dimaksud Pasal 83 ditambah 1/3 (sepertiga) apabila tindak
pidana pelecehan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2) dilakukan:
a. dengan tujuan menimbulkan suatu keadaan bagi korban untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu; dan
b. mengakibatkan penderitaan psikis, ekonomi dan/atau sosial pada korban.
Pasal 98
(1) Dipidana karena melakukan tindak pidana pelecehan seksual, dengan pidana penjara
paling lama 6 tahun dan rehabilitasi pelaku paling lama 6 tahun, setiap orang yang
melakukan pelecehan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2):
a. terhadap anak atau anak kandung;
b. terhadap penyandang disabilitas; atau
25
c. terhadap lebih dari satu orang.
(2) Ancaman pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83, apabila tindak pidana pelecehan seksual
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2) dilakukan oleh:
a. pejabat publik;
b. atasan terhadap bawahannya;
c. orang yang dipercayakan atau diserahkan tanggung jawab untuk menjaga; atau
d. dokter, guru, pegawai, pengurus, atau petugas pada lembaga pemasyarakatan,
lembaga negara tempat latihan karya, rumah pendidikan, rumah yatim dan/atau
piatu, rumah sakit jiwa, atau panti sosial terhadap orang yang dimasukkan ke
lembaga, rumah, atau panti tersebut.
Bagian Ketiga
Pidana Kontrol Seksual
Pasal 99
(1) Setiap orang yang melakukan tindak pidana kontrol seksual sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a dan b diancam dengan pidana penjara paling singkat 1
tahun dan paling lama 5 tahun, dan rehabilitasi pelaku paling lama 5 tahun.
(2) Dalam hal tindak pidana kontrol seksual dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2) huruf c, d dan e diancam dengan ancaman pidana penjara paling singkat 4
tahun dan paling lama 8 tahun dan rehabilitasi pelaku paling lama 8 tahun.
(3) Dalam hal tindak pidana kontrol seksual dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2) huruf f diancam dengan ancaman pidana paling singkat 5 tahun dan paling
lama 15 tahun dan rehabilitasi pelaku paling lama 15 tahun.
Pasal 100
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun, apabila
tindak pidana kontrol seksual sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (2) huruf a dilakukan
oleh:
a. tokoh agama/negeri/adat;
b. pejabat publik;
c. atasan;
d. guru; atau
e. orangtua/wali/pengampu.
(2) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 tahun dan paling lama 20 tahun,
apabila tindak pidana kontrol seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
huruf b, c, d, dan e dilakukan:
a. terhadap orang yang berada di bawah perlindungannya; atau
b. terhadap penyandang disabilitas.
(3) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 15 tahun dan paling lama 30 tahun apabila
tindak pidana kontrol seksual yang dilakukan terhadap orang yang berada di bawah
perlindungannya atau terhadap penyandang disabilitas dilakukan oleh:
a. tokoh agama/negeri/adat;
b. pejabat publik;
c. atasan;
26
d. guru; atau
e. orangtua/wali/pengampu.
Pasal 101
(1) Apabila tindak pidana kontrol seksual sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (2) huruf b,
c, d, dan e mengakibatkan luka berat, cacat tetap atau korban meninggal dunia maka
ancaman pidana ditambah 1/3 sepertiga dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud
Pasal 100 ayat (1) dan ayat (2) ayat (3).
Bagian Keempat
Pidana Perkosaan
Pasal 102
Setiap orang yang melakukan tindak pidana perkosaan sebagaimana dimaksud Pasal 8
diancam pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun, dan rehabilitasi
pelaku paling lama 15 tahun.
Pasal 103
Ancaman pidana sebagaimana dimaksud Pasal 89 ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman
pidana, apabila tindak pidana perkosaan dilakukan:
a. terhadap penyandang disabilitas; atau
b. terhadap lebih dari satu orang; atau
c. oleh pejabat publik; atau
d. oleh atasan terhadap bawahannya atau dengan orang yang dipercayakan atau diserahkan
padanya untuk dijaga; atau
e. oleh Dokter, guru, pegawai, pengurus, atau petugas pada lembaga pemasyarakatan,
lembaga negara tempat latihan karya, rumah pendidikan, rumah yatim dan/atau piatu,
rumah sakit jiwa, atau panti sosial yang melakukan perkosaan terhadap orang yang
dimasukkan ke lembaga, rumah, atau panti tersebut.
Pasal 104
(1) Dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan, dengan pidana penjara paling
singkat 15 tahun dan paling lama seumur hidup dan rehabilitasi pelaku paling lama
seumur hidup, setiap orang yang melakukan perkosaan sebagaimana dimaksud Pasal 8
ayat (1):
a. secara berencana; atau
b. mengambil kesempatan dari lingkungan yang penuh paksaan; atau
c. secara berulang; atau
d. dalam situasi khusus.
(2) Dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud ayat (1), setiap orang yang
melakukan perkosaan dengan tujuan:
a. mendapatkan kekuatan; atau
b. mendapatkan penyembuhan; atau
c. menimbulkan suasana ketakutan di dalam masyarakat.
27
Pasal 105
(1) Setiap orang yang melakukan perkosaan dengan seseorang yang diketahuinya bahwa
orang tersebut anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau ke samping sampai
derajat ketiga, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) tahun dan
paling lama 30 tahun.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap seseorang
yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, maka pelaku tindak pidana dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 18 (delapan belas) tahun dan paling lama 40
(empat puluh) tahun.
Pasal 106
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan rehabilitasi pelaku paling lama 20 (dua puluh) tahun, setiap orang yang:
a. melakukan tindak pidana perkosaan dengan seseorang yang pingsan atau tidak berdaya
atau sudah meninggal;
b. melakukan tindak pidana perkosaan dengan seseorang yang diketahui atau patut diduga
belum berumur 18 (delapan belas) tahun;
c. melakukan tindak pidana perkosaan dengan seseorang yang sedang hamil; atau
c. membujuk seseorang yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 (delapan belas)
tahun, untuk dilakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya tindak pidana perkosaan
dengan orang lain.
Pasal 107
(1) Setiap orang yang menghubungkan atau melakukan percobaan atau memudahkan orang
lain melakukan perkosaan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu )
tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan rehabilitasi pelaku paling lama 5 tahun.
(2) Setiap orang yang menghubungkan atau melakukan percobaan atau memudahkan orang
lain melakukan tindak pidana perkosaan dengan orang yang diketahui atau patut diduga
belum berumur 18 (delapan belas) tahun, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan rehabilitasi pelaku paling
lama 15 tahun.
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilakukan sebagai
pekerjaan atau kebiasaan, maka pelaku tindak pidana dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 20 (dua puluh) tahun dan paling lama seumur hidup dan rehabilitasi
pelaku paling lama seumur hidup.
Pasal 108
(1) Apabila tindak pidana perkosaan sebagaimana dimaksud Pasal 102, 103, 104, 105, 106,
107 mengakibatkan korban kehilangan fungsi tubuh sementara, maka ancaman pidana
ditambah 1/3 sepertiga dari ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut.
(2) Apabila tindak pidana perkosaan sebagaimana dimaksud Pasal 102, 103, 104, 105, 106,
107 mengakibatkan korban terpapar HIV/AIDS atau penyakit seksual menular lainnya,
maka ancaman pidana ditambah (seperdua) dari ancaman pidana dalam pasal-pasal
tersebut.
(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pasal 102, 103, 104, 105, 106, 107
mengakibatkan luka berat atau cacat tetap maka ancaman pidana ditambah 2/3 (dua
pertiga) dari ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut.
28
(4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pasal 102, 103, 104, 105, 106, 107
mengakibatkan korban meninggal dunia maka ancaman pidana menjadi 2 kali lipat
hingga seumur hidup.
Bagian Kelima
Pidana Eksploitasi Seksual
Pasal 109
(1) Setiap orang yang melakukan eksploitasi seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf a dan b, dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun
dan rehabilitasi pelaku paling lama 20 tahun.
(2) Setiap orang yang melakukan eksploitasi seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf c, dipidana sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Setiap orang yang melakukan eksploitasi seksual sebagaimana sebagaimana diatur dalam
Pasal 9 ayat (2) huruf a dan b, dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama
seumur hidup dan rehabilitasi pelaku paling lama seumur hidup.
Pasal 110
(1) Apabila tindak pidana eksploitasi seksual menimbulkan harta kekayaan, maka kekayaan
yang berasal dari eksploitasi seksual yang dikuasai pelaku maupun berada di tangan
orang lain, disita oleh Negara melalui Jaksa Penuntut Umum.
(2) Dalam hal penyitaan oleh Negara sebagaimana dimaksud ayat (1), Negara wajib
memberikan seluruh harta tersebut yang menjadi hak korban kepada korban.
Pasal 111
(1) Setiap orang yang menghubungkan atau melakukan eksploitasi seksual kepada anak
belum berumur 18 (delapan belas) tahun, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun dan rehabilitasi pelaku paling lama 25 tahun.
(2) Setiap orang yang menghubungkan atau melakukan eksploitasi seksual kepada anak
kandung, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 tahun dan paling lama
seumur hidup dan rehabilitasi pelaku paling lama seumur hidup.
(3) Jika tindak pidana eksploitasi seksual sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan sebagai pekerjaan atau kebiasaan, maka pelaku tindak pidana dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 15 tahun dan paling lama seumur hidup dan
rehabilitasi pelaku paling lama seumur hidup.
Pasal 112
(1) Apabila tindak pidana eksploitasi seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 atau
pasal 111 mengakibatkan korban kehilangan fungsi tubuh sementara, maka ancaman
pidana ditambah sepertiga dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud Pasal tersebut.
(2) Apabila tindak pidana eksploitasi seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 atau
pasal 111 mengakibatkan korban terpapar HIV/AIDS atau penyakit seksual menular
lainnya, maka ancaman pidana ditambah (seperdua) dari ancaman pidana
sebagaimana dimaksud Pasal tersebut.
(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 atau 111 mengakibatkan
luka berat maka ancaman pidana ditambah 2/3 (dua pertiga) dari ancaman pidana
sebagaimana dimaksud Pasal tersebut.
29
(4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 atau pasal 111
mengakibatkan korban meninggal dunia maka ancaman pidana menjadi 2 kali atau
seumur hidup.
Bagian Keenam
Pidana Penyiksaan Seksual
Pasal 113
Setiap orang yang melakukan penyiksaan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10,
dipidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 30 tahun
dan rehabilitasi pelaku paling lama seumur hidup.
Pasal 114
Dipidana karena melakukan tindak pidana penyiksaan seksual, dengan pidana penjara paling
singkat 12 tahun dan paling lama 35 tahun dan rehabilitasi pelaku paling lama 35 tahun,
setiap orang yang melakukan penyiksaan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10:
a. terhadap anak belum berumur 18 (delapan belas) tahun; atau
b. terhadap penyandang disabilitas.
Pasal 115
(1) Apabila penyiksaan seksual sebagaimana dimaksud Pasal 10 dan 115 mengakibatkan
tidak dapat bekerja atau menjalankan pencariannya, maka ancaman pidana ditambah
1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud Pasal 114 dan 115.
(2) Apabila tindak pidana penyiksaan seksual sebagaimana dimaksud Pasal 10 dan 115
mengakibatkan korban kehilangan fungsi tubuh sementara, maka ancaman pidana
ditambah sepertiga dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud Pasal 114 dan 115.
(3) Apabila tindak pidana penyiksaan sebagaimana dimaksud Pasal 10 mengakibatkan
korban terpapar HIV/AIDS atau penyakit seksual menular lainnya, maka ancaman
pidana ditambah (seperdua) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud Pasal 114
dan 115.
(4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 10 dan 115 mengakibatkan luka
berat, maka ancaman pidana ditambah 2/3 (dua pertiga) dari ancaman pidana
sebagaimana dimaksud Pasal 114 dan 115.
(5) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 10 dan 115 mengakibatkan korban
meninggal dunia maka ancaman pidana menjadi 2 kali atau seumur hidup.
Bagian Ketujuh
Pasal 116
Setiap orang yang melakukan perlakuan lain atau penghukuman tidak manusiawi yang
menjadikan seksualitas sebagai sasaran dan/atau yang merendahkan martabat kemanusiaan
sebagaimana dimaksud Pasal 11, dipidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5
tahun dan paling lama 20 tahun, dan kewajiban rehabilitasi pelaku paling lama 20 tahun.
30
Pasal 117
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 7 tahun dan paling lama 20 tahun dan
rehabilitasi pelaku paling lama 20 tahun, setiap orang yang melakukan perlakuan lain
atau penghukuman tidak manusiawi yang menjadikan seksualitas sebagai sasaran
dan/atau yang merendahkan martabat kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11:
a. terhadap anak belum berumur 18 (delapan belas) tahun; atau
b. terhadap penyandang disabilitas.
(2) Dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pejabat publik
yang melakukan perlakuan lain atau penghukuman tidak manusiawi yang menjadikan
seksualitas sebagai sasaran dan/atau yang merendahkan martabat kemanusiaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11:
Bagian Kedelapan
Pidana Kekerasan Seksual Oleh Anak
Pasal 118
(1) Dalam hal tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (2)
hurud a, b, c, d, e dan/atau f dilakukan oleh Anak berusia 16 (empat belas) tahun
sampai sebelum 18 (delapan belas) tahun, maka ancaman pidana dan Tindakan yang
dijatuhkan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan
ditambah kewajiban rehabilitasi pelaku paling sedikit 9 bulan dan paling lama 3 tahun.
(2) Dalam hal tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (2)
hurud a, b, c, d, e dan/atau f dilakukan oleh Anak yang belum berusia 16 (dua belas)
tahun, maka tindakan yang dijatuhkan mengikuti ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dikurangi 1/3, dengan ditambah kewajiban rehabilitasi pelaku
paling sedikit 3 bulan dan paling lama 1 tahun.
(3) Dalam hal tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (2)
hurud a, b, c, d, e dan/atau f dilakukan oleh Anak yang belum berusia 12 (empat
belas) tahun, maka Tindakan yang dijatuhkan mengikuti ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dikurangi 2/3, dengan ditambah kewajiban
rehabilitasi pelaku paling sedikit 6 bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.
Bagian Kesembilan
Pengabaian Kewajiban
Pasal 119
Penyidik yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal .. dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.
Pasal 120
Penuntut Umum yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal .. dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.
31
Pasal 121
Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal .. dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.
Bagian Kesepuluh
Sanksi Administratif
Pasal 122
Pasal 123
Dalam hal Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Advokat atau Pendamping tidak menjalankan
ketentuan Pasal .. dalam Undang-Undang ini, maka Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim
dikenakan sanksi administratif. telusuri ???
Pasal 124
Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Advokat atau Pendamping yang memberitakan kasus
kekerasan seksual tanpa persetujuan korban, dikenai sanksi admisnistratif.
Pasal 125
Selain pidana, pejabat publik yang melakukan tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a, b, c, d, e dan/atau f juga dikenai sanksi
administratif.
Pasal 126
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada Pasal 107, 108, 109, dan 110 dapat
berupa:
a. Teguran tertulis;
b. Pembebasan dari jabatan;
c. Penurunan gaji;
d. Penurunan pangkat;
e. Pembekuan misi dan/atau ijin yang diterbitkan oleh instansi pemerintah;
f. penangguhan sementara kenaikan pangkat pejabat yang bersangkutan;
g. kewajiban membayar uang paksa (dwangsoom);
h. teguran meliputi teguran lisan dan teguran tertulis dari pejabat yang
berwenang;
i. pemberhentian dengan tidak hormat sebagai Pejabat atau Pegawai Negeri
Sipil (PNS);
j. pencabutan izin;
k. pembubaran;
32
l. pengawasan;
m. pemberhentian sementara;
n. denda administratif; atau
o. daya paksa polisional.
(2) Pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada pasal 107, 108, 109, dan
110 diselenggarakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
BAB X
KEWAJIBAN NEGARA
Bagian Kesatu
Kerja Sama Internasional
Pasal 127
Pasal 128
Untuk tujuan penghapusan kekerasan seksual, Pemerintah wajib membuka akses seluas-
luasnya bagi peran serta masyarakat, baik nasional maupun internasional sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, hukum, dan kebiasaan internasional.
Bagian Kedua
Pendidikan dan Pelatihan
Pasal 129
(1) Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak
hukum dan pihak terkait secara terpadu.
(2) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling
singkat 120 (seratus dua puluh) jam.
(3) Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikoordinasikan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
33
Bagian Ketiga
Pendanaan
Pasal 130
Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan penghapusan kekerasan seksual dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Bagian Keempat
Mekanisme Khusus
Pasal 131
(1) Untuk memastikan kebijakan, program, anggaran dan tindakan Lembaga Negara,
Korporasi dan Lembaga Masyarakat menjamin terwujudnya penghapusan kekerasan
seksual, Pemerintah membentuk mekanisme khusus pemantauan pelaksanaan Undang-
Undang ini.
(2) Mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Komisi
Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dan Balai Pemasyarakatan.
Pasal 132
Mekanisme khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (2) diselenggarakan
berdasarkan tugas dan kewenangan Institusi dan/atau lembaga yang ditentukan dalam
Undang-Undang ini tanpa mengurangi tugas dan kewenangan yang ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan lainnya.
Paragraf 1
Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
Pasal 133
(1) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dalam pelaksanaan Mekanisme
khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (2) bertugas:
a. melakukan koordinasi dengan Lembaga Negara, Korporasi dan Lembaga
Masyarakat tentang penghapusan kekerasan seksual;
b. menyelenggarakan supervisi terhadap Lembaga Negara, Korporasi dan
Lembaga Masyarakat yang menyelenggarakan penghapusan kekerasan
seksual; dan
c. melaksanakan pemantauan terhadap penyelenggaraan penghapusan
kekerasan seksual.
(2) Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan berwenang:
a. mengkoordinasikan upaya penghapusan kekerasan seksual;
b. meminta informasi tentang kegiatan penghapusan kekerasan seksual kepada
Lembaga Negara, Korporasi dan Lembaga Masyarakat;
c. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan Lembaga Negara,
Korporasi dan Lembaga Masyarakat;
d. memberikan arahan, saran dan pertimbangan kepada Lembaga Negara,
Korporasi dan Lembaga Masyarakat dalam penyelenggaraan penghapusan
kekerasan seksual; dan
34
e. meminta laporan dari Lembaga Negara, Korporasi dan Lembaga Masyarakat
mengenai penghapusan kekerasan seksual.
(3) Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan berwenang:
a. melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang
menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan penanganan
kasus kekerasan seksual;
b. memberikan rekomendasi kepada Kepolisian dan Kejaksaan terkait dengan
penanganan kasus kekerasan seksual;
c. memberikan rekomendasi kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah terkait
dengan penyelenggaraan pemulihan korban;
d. memberikan rekomendasi kepada Korporasi dan Lembaga Masyarakat terkait
dengan partisipasinya dalam pencegahan kekerasan seksual dan pemulihan
korban.
(4) Dalam melaksanakan tugas pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan berwenang:
a. memantau pencegahan kekerasan seksual yang diselenggarakan oleh Lembaga
Negara, Korporasi dan Lembaga Masyarakat;
b. memantau penanganan kasus kekerasan seksual yang diselenggarakan oleh
Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan;
c. memantau rehabilitasi pelaku yang diselenggarakan oleh Balai
Pemasyarakatan;
d. memantau perlindungan dan pemulihan korban yang diselenggarakan oleh
Lembaga Negara, Korporasi dan Lembaga Masyarakat; dan
e. melaporkan hasil pemantauan kepada Lembaga Negara, Korporasi, Lembaga
Masyarakat dan kepada masyarakat luas.
Pasal 134
Ketentuan lebih lanjut mengenai rekrutmen anggota, tugas, fungsi, dan susunan organisasi
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan selanjutnya diatur dalam Peraturan
Presiden.
Paragraf 2
Balai Pemasyarakatan
Pasal 135
35
f. membuat laporan perkembangan proses rehabilitasi pelaku;
g. menyampaikan laporan perkembangan rehabilitasi pelaku kepada Pengadilan.
(3) Dalam melaksanakan tugas pembimbingan dan pengawasan pelaku selama masa
rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Balai Pemasyarakatan
berwenang untuk:
a. membuat penelitian kemasyarakatan; dan
b. memberikan sanksi kepada pelaku dalam hal pelaku tidak menjalankan
kewajiban rehabilitasi pelaku yang telah ditentukan;
BAB XI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 136
Pasal 137
Pasal 138
Dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 masyarakat tidak
dapat dikenai ancaman pidana maupun gugatan perbuatan melawan hukum
Pasal 139
36
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 140
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, perkara tindak pidana kekerasan seksual yang masih
dalam proses penyelesaian di tingkat penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang
pengadilan, tetap diperiksa berdasarkan undang-undang yang mengaturnya.
Pasal 141
Setiap lembaga pemasyarakatan wajib membangun sistem rehabilitasi pelaku sesuai dengan
Undang-Undang ini dalam waktu 3 (tiga) tahun setelah diundangkannya Undang-Undang ini.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 142
Pasal 143
Dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah diundangkannya Undang-Undang ini:
a. Setiap kantor kepolisian wajib memiliki Penyidik Khusus;
b. Setiap kejaksaan wajib memiliki Penuntut Umum Khusus;
c. Setiap pengadilan wajib memiliki Hakim Khusus;
d. Setiap Pemerintah Daerah wajib memiliki pusat pelayanan terpadu.
Pasal 144
Ketentuan terkait kekerasan seksual yang diatur dalam Undang-Undang lain dinyatakan tidak
berlaku, kecuali yang tidak diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 145
Undang-Undang ini mulai berlaku dua tahun sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
DISAHKAN DI JAKARTA
Pada .....
37