Anda di halaman 1dari 23

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan rahmat dan hidayah Nya kepada kita semua, karena atas
berkat rahmat Nya kami dapat menyelesaikan referat yang merupakan salah satu
tugas dalam blok Hematoimunologi. Kami mengucapkan terimakasih kepada
semua pihak yang membantu kami dalam penyusunan referat ini, terutama kepada
dr. Vidya Dewantari sebagai dosen pembimbing kami.
Referat ini berisikan pembahasan mengenai Shock Anafilaktik atau alergi
parah. Reaksi ini sering terjadi pada beberapa orang yang memang terlalu sensitif
terhadap antigen sehingga menyebabkan reaksi hipersensitivitas
Tujuan dalam pembuatan referat ini yaitu untuk memenuhi tugas dalam
blok HI dan sebagai media informasi bagi pembaca terutama bagi orang yang
belum atau kurang dalam pemahaman kesehatan yang dikhususkan shock
anafilaktik ini. Sehingga diharapkan refrat ini akan sangat bermanfaat bagi kami
khususunya dan bagi seluruh para pembaca pada umumnya. Referat ini disusun
berdasarkan referensi referensi yang ada.
Akhir kata kami selaku penyusun laporan yaitu kelompok 11
berterimakasih sebanyak banyaknya kepada seluruh pihak yang membantu dan
memohon maaf jika ada kekurangan dalam penyusunan laporan ini.

Purwokerto, 23 September 2012

Kelompok 11

1
HALAMAN PENGESAHAN

Referat Blok Hemato Imunologi yang berjudul Shock Anafilaktik ini telah
diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada tanggal 26 September 2012.

Mengetahui,
Pembimbing Referat

dr. Vidya Dewantari

2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.......................................................................................................1
Halaman Pengesahan.............................................................................................2
Daftar Isi................................................................................................................ 3
BAB I Pendahuluan............................................................................................... 4
Latar Belakang.......................................................................................................4
Tujuan.................................................................................................................... 5
BAB II Isi............................................................................................................. 6
Definisi.................................................................................................................. 6
Epidemiologi......................................................................................................... 6
Etiologi...................................................................................................................7
Faktor Risiko..........................................................................................................8
Patofisiologi...........................................................................................................8
Diagnosis Banding.................................................................................................10
Penegakkan Diagnosis...........................................................................................11
Penatalaksanaan dan Manajemen.......................................................................... 13
Terapi..................................................................................................................... 15
Pencegahan............................................................................................................ 20
Komplikasi dan Prognosis.....................................................................................20
BAB III Kesimpulan............................................................................................. 23
Daftar Pustaka....................................................................................................... 25

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tubuh memiliki berbagai cara dan mekanisme untuk mempertahankan
diri dari zat zat asing yang masuk ke dalam tubuh. Terdapat berbagai
komponen yang menangani sistem pertahanan tubuh manusia, mulai dari
seluler, humoral, fisik, dan lain sebagainya. Salah satu sistem pertahanan
tubuh yang juga cukup penting keberadaannya ialah reaksi alergi yang dikenal
secara medis dengan istilah hipersensitivitas.
Reaksi hipersensitivitas sendiri dibagi lagi ke dalam tipe dan subbagian
tertentu. Salah satu tipe hipersensitivitas ialah hipersensitivitas tipe 1 atau
yang juga dikenal dengan nama reaksi anafilaksis. Reaksi anafilaksis memiliki
banyak ragam reaksi dan shock anafilaktik merupakan salah satu contoh reaksi
hipersensitivitas tipe 1 ini.
Shock anafilaktik merupakan keadaan shock di mana terjadi vasodilatasi
secara drastis. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kesadaran dengan cepat,
bahkan dapat berakibat kepada kematian. Munculnya shock anafilaktik ini
dapat terjadi apabila terdapat zat yang dianggap antigen oleh tubuh seseorang,
masuk, dan menimbulkan reaksi alergi. Antigen tersebut akan merangsang
basofil dan sel mast untuk mengalami degranulasi sehingga terjadi
vasodilatasi secara besar besaran. Apabila tidak ditangani dengan segera,
pasien yang mengalami shock anafilaktik dapat kehilangan banyak plasma dan
dapat berujung kepada kematian. (Guyton, 2007)
Shock anafilaktik menjadi sebuah urgensi sehingga diangkat menjadi
topik referat kali ini dipandang dari dampak terburuk yang dapat terjadi
apabila shock anafilaktik tidak ditangani segera dengan tepat, yaitu kematian.
Di samping itu, shock anafilaktik juga menjadi kompetensi seorang dokter
dalam keprofesiannya untuk menangani kasus kasus tersebut dalam dunia
klinis.
Dalam dunia medis, shock anafilaktik diketahui merupakan salah satu
reaksi hipersensitivitas tipe I dengan interval waktu reaksi yang cepat dari
munculnya reaksi hingga ditemukan manifestasi klinis. Apabila tidak
ditangani dengan cepat, maka pasien yang mengalami shock anafilaktik dapat

4
meninggal dunia dalam waktu yang singkat dikarenakan vasodilatasi dan
kehilangan plasma dalam jumlah banyak secara sistemik.
Selain itu, antigen pada shock anafilaktik bisa saja tidak terduga. Obat
obatan yang umum digunakan pun dapat menimbulkan shock anafilaktik bagi
orang yang alergi terhadap obat tersebut. Interval waktu yang cepat dari
timbulnya reaksi hingga munculnya efek merupakan sesuatu yang patut
diwaspadai, terutama oleh para dokter yang hendak memberikan injeksi obat-
obatan kepada pasiennya. Ketidaktahuan terhadap substansi yang dapat
menjadi antigen pemicu shock anafilaktik pada tubuh seseorang dan risiko
terjadinya kematian dengan cepat pada shock anafilaktik menjadi alasan
mengapa shock anafilaktik diangkat menjadi topik referat.
Berdasarkan hal hal tersebut dan kesesuaiannya dengan blok yang
sedang ditempuh, maka shock anafilaktik menjadi salah satu bagian dari dunia
medis yang perlu dipelajari dan dibahas lebih lanjut pada referat kali ini.

B. Tujuan
Penulisan referat tentang shock anafilaktik ini memiliki tujuan sebagai
berikut:
1. Mengetahui definisi dari shock anafilaktik.
2. Mengetahui epidemiologi shock anafilaktik.
3. Memahami etiologi, patogenesis, dan penegakan diagnosis terhadap
shock anafilaktik.
4. Mengetahui penatalaksanaan, terapi lama, dan terapi baru pada kasus
shock anafilaktik.
5. Mengetahui komplikasi dan prognosis shock anafilaktik.

5
BAB II
ISI

A. DEFINISI
Syok anafilaktik merupakan manifestasi hipersensitivitas tipe cepat
ketika pajanan suatu antigen atau hapten spesifik terhadap seseorang yang
telah tersensitisasi menimbulkan distress pernapasan yang mengancam jiwa,
biasanya diikuti oleh kolaps vascular dan syok serta disertai dengan urtikaria,
pruritus, dan angiocdema (Dorland, 2012).
Syok anafilaktik merupakan sebuah sindrom yang menunjukkan adanya
reaksi alergi dari sistem sistemik. Syok anafilkaktik adalah hasil reaksi dari
sistem imun dengan substansi vasodiloatasi seperti histamin dan beredar
dalam pembuluh darah. Reaksi yang timbul seperti adanya edema pada bagian
laryng, sirkulasi darah kolaps, terjadi kontraksi pada sistem gastrointestinal
dan urtikaria (Porth, 2010).
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinik dari anafilaksis
yang ditandai dengan adanya hipotensi yang nyata dan kolaps sirkulasi darah.
Syok anafilaktik menyerang secara tiba tiba, tidak dapat diduga dan
potensial berbahaya (Rengganis, 2009).
Syok anafilaktik atau anafilaksis adalah bentuk syok yang terjadi drastis,
akut, dan cepat. Gejala sering terjadi dalam kisaran menit. Apabila tidak
ditangani secara cepat, syok yang ireversibel dapat berkembang dengan cepat
dan pada akhirnya dapat menyebabkan kematian dalam waktu satu jam. Syok
anafilaktik ini terbentuk dari reaksi antigen dan antibodi yang terjadi bila
antigen individu telah tersensitisasi sebelumnya (Tambayong, 2000).

B. EPIDEMIOLOGI
Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan
bahwa angka kejadian anafilaksis berat antara 1 3 kasus / 10.000 penduduk,
paling banyak akibat penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan
kematian terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat. Insiden anafilaksis
diperkirakan 1 3 / 10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar 1 3 / 1 juta
penduduk. Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari
kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus / 10.000 total pasien anafilaksis pada

6
tahun 2005 dan mengalami peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4
kasus / 10.000 total pasien anafilaksis (Anonim, 2008).
Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber
menyebutkan bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama
perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan
mempunyai risiko kira kira 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki
laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak anak dan dewasa
muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi (Anonim,
2008).
Selanjutnya penyebab reaksi anafilaktoid yang tersering adalah
pemakaian media kontras untuk pemeriksaan radiologik. Media kontras
menyebabkan reaksi yang mengancam nyawa pada 0,1% dan reaksi yang fatal
terjadi antara 1 : 10.000 dan 1 : 50.000 prosedur intravena. Kasus kematian
berkurang setelah dipakainya media kontras yang hipoosmolar (Rengganis,
2009).

C. ETIOLOGI
Syok Anafilaktik jarang terjadi sehingga penyebab pastinya masih belum
dapat diketahui dengan jelas, tetapi dilaporkan lebih dari 500 kematian terjadi
akibat syok anafilaktik yang disebabkan oleh pemberian antibiotic golongan
beta laktam, khusunya penisilin yang menyebabkan reaksi fatal pada 0,002%
pemakaian. Selain pemberian antibiotik, penyebab tersering lainnya adalah
pemakaian media kontras untuk pemeriksaan radiologic. Pemakaian media
kontras menyebabkan reaksi yang mengancam nyawa pada 0,1% dan reaksi
yang fatal terjadi antara 1 : 10.000. Pemeriksaan uji kulit dan imunoterapi juga
pernah menjadi pemicu terjadinya syok anafilaktik, enam kasus kematian
karena uji kulit dan 24 kasus pada imunoterapi (Rengganis, 2009).
Gigitan serangga juga dapat memicu terjadinya reaksi syok anafilaktik.
Di Amerika gigitan serangga seperti serangga hymenoptera merupakan kasus
terbanyak penyebab syok anafilaktik yaitu sekitar 40 60% (Haupt, et al,
2000).

D. FAKTOR RISIKO

7
Reaksi sistemik akut umumnya timbul setelah penyuntikan antigen yang
poten pada orang yang sangat peka. Belakangan ini, penyuntikan antibiotik
menjadi penyebab utama, sedangkan serum, insulin, dan obat obatan lain
menjadi penyebab yang lebih jarang. Penggunaan antibodi murine (tikus)
monoklonal meningkat pada transplantasi organ, yang akan menyebabkan
masalah masalah yang hampir sama. Reaksi reaksi yang sebanding juga
dapat timbul akibat sengatan atau gigitan serangga pada pasien yang sudah
disensitisasi sebelumnya (Price, 2006).
Beberapa faktor diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah
sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan
alergen. Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah
makanan, obat obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting,
kerang, kacang kacangan, ikan, biji bijian, buah beri, putih telur, dan susu
adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat
obatan yang bisa menyebablan anafilaksis seperti antibiotik khususnya
penisilin, obat anastesi intra vena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid,
vitamin B1, asam folat, dan lain lain. Media kontras intra vena, transfusi
darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis
(Longecker, 2008).

E. PATOFISIOLOGI
Reaksi anafilaktik dipengaruhi oleh Imunoglobulin Epsilon (IgE) yang
terikat pada reseptor di permukaan sel mast atau basofil. Bila sel yang telah
tersensitisasi ini terpapar ulang dengan antigen yang sama, maka antigen
tersebut akan diikat oleh IgE spesifik yang telah ada sebelumnya, dan
memunculkan efek degranulasi pada sel mast atau basofil tersebut, untuk
kemudian melepaskan berbagai macam mediator yang berasal dari granul
sitoplasmanya (seperti histamin), dan selanjutnya seringkali diikuti oleh
pelepasan mediator newly generated yang berasal dari membran fosfolipid dan
pada akhirnya akan menimbulkan reaksi anafilaktik (Bakta, 1999).
Efek histamine melalui reseptor H1 dan H2 yang terdapat pada
permukaan saluran sirkulasi dan respirasi. Stimulasi dari reseptor reseptor
tersebut akan menyebabkan permeabilitas pembuluh darah dan mucus dijalan
nafas meningkat. Aktivasi mastosit dan basofil menyebabkan juga respon

8
bifasik dari CAMP intraseluler. Kemudian terjadi penurunan dastis sejalan
dengan pelepasan mediator dan granula kedalam cairan ekstraseluler. Obat
obatan yang mencegah penurunan CAMP intraseluler ternyata dapat
menghilangkan gejala anafilaksis (Koury SI, 2000)

Gambar 2.1 Patofisiologi Syok Anafilaktik

Gambar 2.2 Patofisiologi Syok Anafilaktik


Ada 3 fase pada shock anafilaktik (Baratawidjaja, 2009):
1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE
sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fc R) pada permukaan
sel mast atau basofil.
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang
dengan antigen yang spesifik dan sel mast atau basofil melepas isinya
yang berisikan garanul yang menimbulkan reaksi.

9
3. Fase efektor yaitu waktu yang terjadi respons yang kompleks sebagai
efek mediator mediator yang dilepas sel mast atau basofil dengan
aktivitas farmakologi

F. DIAGNOSIS BANDING
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis
yang tidak spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit
dibedakan dengan penyakit lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini
terjadi karena anafilaksis mempengaruhi seluruh system organ pada tubuh
manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast dan
basofil, dimana masing masing mediator tersebut memiliki afinitas yang
berbeda pada setiap reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang
menyerupai reaksi anafilaksis dan syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal,
infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris, carsinoidsyndrome,
chinese restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis alergika (Longecker,
2008).
Reaksi vasovagal, sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan.
Pasien tampak pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan
reaksi anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi
sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan
biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik (Longecker, 2008).
Sementara infark miokard akut, gejala yang menonjol adalah nyeri dada,
dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi
tidak tampak tanda tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada
anafilaktik tidak ada nyeri dada (Longecker, 2008).
Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat anti diabetes atau
sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar.
Tekanan darah kadang kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda tanda
obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi
saluran napas (Longecker, 2008).
Sedangkan pada reaksi histeris, tidak dijumpai adanya tanda tanda
gagal napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang kadang pingsan
meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda tanda di atas dijumpai pada
reaksi anafilaksis (Longecker, 2008).

10
Carsinoid syndrome, dijumpai gejala gejala seperti muka kemerahan,
nyeri kepala, diare, serangan sesak napas seperti asma (Longecker, 2008).
Chinese restaurant syndrome, dapat dijumpai beberapa keadaan seperti
mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG
lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5gr bisa menyebabkan asma. Namun
tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata
dengan mereka yang diberi makanan tanpa MSG (Longecker, 2008).
Asma bronkiale, gejala gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk
berdahak, dan suara napas mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena
faktor pencetus seperti debu, aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering
terjadi pada pagi hari (Longecker, 2008).
Rhinitisalergika, penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin,
buntu hidung, gatal hidung yang hilang timbul, mata berair yang disebabkan
karena faktor pencetus seperti debu, terutama di udara dingin (Longecker,
2008).

G. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Diagnosis syok anafilaktik ditegakkan jika berdasarkan gejala klinik yang
menunjukkan tanda tanda anafilaksis dan ditujukan kepada pasien yang
memiliki riwayat terpapar alergen (Khodorkovshy, 2005).
Gejala yang timbul dapat merupakan gejala ringan seperti urtikaria sampai
gejala berat seperti gagal nafas atau syok anafilaktik yang mematikan.
Terkadang gejala anafilaksis langsung muncul tanpa tanda tanda awal.
Gejala gejala tersebut adalah (Rengganis, 2009):
a. Gejala umum
1) Lesu
2) Lemah
3) Rasa tak enak di dada dan perut
4) Rasa gatal di hidung dan palatum
b. Pernapasan
1) Hidung gatal, bersin, dan tersumbat
2) Laring
a) Rasa tercekik
b) Suara serak
c) Sesak napas
d) Stridor
e) Edema
f) Spasme
3) Lidah edema
4) Bronkus

11
a) Batuk
b) Sesak
c) Mengi
d) Spasme
c. Kardiovaskular
1) Pingsan
2) Sinkop
3) Palpitasi
4) Takikardi
5) Hipotensi hingga syok
6) Aritmia
7) Kelainan EKG: gelombang T datar, terbalik, atau tanda tanda
infark miokard
d. Gastro Intestinal
1) Disfagia
2) Mual dan muntah
3) Kolik
4) Diare yang terkadang disertai darah
5) Peristaltik usus meninggi
e. Kulit
1) Urtikaria
2) Angioedema di bibir, muka, atau ekstremitas
f. Mata
1) Gatal
2) Lakrimasi
g. Susunan Saraf Pusat
1) Gelisah
2) Kejang
Gejala gejala di atas dapat muncul pada beberapa organ secara
bersamaan atau hampir bersamaan, tetapi dapat juga muncul hanya pada satu
organ saja (Rengganis, 2009).
Kombinasi gejala yang paling sering muncul adalah urtikaria atau
angiodema yang disertai dengan gangguan pernapasan. Terkadang juga
ditemui kombinasi antara urtikaria dengan gangguan kardiovaskular sampai
terjadi penurunan kesadaran. Setiap manifestasi dari sistem pernapasan,
kardiovaskular, atau kulit dapat disertai dengan gejala mual, muntak, kolik,
usus, diare yang berdarah, kejang uterus, atau perdarahan vagina (Rengganis,
2009).

H. PENATALAKSANAAN DAN MANAJEMEN


1. Penatalaksanaan

12
Penatalaksanaan untuk pasien dengan shock anafilaktik yaitu (Rehata,
2000):
a. Baringkan penderita dalam posisi shock yakni tidur terlentang
dengan tungkai lebih tinggi dari kepala pada alas yang keras.
b. Bebaskan jalan nafas.
c. Tentukan penyebab dan lokasi masuknya bahan allergen.
d. Bila masuk melalui ekstremitas pasang torniquette.
e. Berikan Adrenalin 1 : 1000 sebanyak 0,25 ml sub cutane.
f. Monitor pernafasan dan hemodinamika.
g. Berikan suplemen oksigen.
h. Untuk kasus yang sedang berikan Adrenalin 1 : 1000 sebanyak
0,25 ml intra muskuler.
i. Bila berat berikan Adrenalin 1 : 100 sebanyak 2,5 5 ml intra
vena.
j. Bila vena colaps berikan Adrenalin sub lingual atau trans tracheal.
k. Berikan Aminophillin 5 6 mg / kg BB Iv bolus diikuti 0,4 0,9
mg / kg BB / menit per drip ini untuk broncho spasme yang
persisten.
l. Berikan cairan infuse dengan berpedoman pada kadar hematokrit.
m. Monitor hemodinamika dan pernafasan.
n. Bila tidak membaik rujuk ke intitusi yang lebih tinggi.
2. Manajemen
Manajemen untuk shock anafilaktik adalah (Rehata, 2000):
a. Hentikan obat atau identifikasi obat yang diduga menyebabkan
reaksi anafilaksis.
b. Torniquet, pasang torniquet di bagian proksimal daerah masuknya
obat atau sengatan hewan. Longgarkan 1 2 menit tiap 10 menit.
c. Posisi, tidurkan dengan posisi Trandelenberg, kaki lebih tinggi dari
kepala (posisi shock) dengan alas keras.
d. Bebaskan airway, bila obstruksi intubasi cricotyrotomi
tracheostommi.
e. Berikan oksigen, melalui hidung atau mulut 5 10 liter / menit.
Bila tidak bisa persiapkan dari mulut ke mulut.
f. Pasang cathether intra vena (infus) dengan cairan elektrolit
seimbang atau NaCl fisiologis, 0,5 1 liter dalam 30 menit (dosis
dewasa) monitoring dengan tensi dan produksi urine.
g. Pertahankan tekanan darah systole > 100 mmHg diberikan 2 3 l /
m2 luas tubuh / 24 jam. Bila 100 mmHg 500 cc / 1 jam.
h. Bila perlu pasang CVP.
Medikamentosa I

13
Adrenalin 1 : 1000, 0,3 0,5 ml SC atau IM lengan atas, paha,
sekitar lesi pada venom. Dapat diulang 2 3 kali dengan selang waktu
15 30 menit. Pemberian IV pada stadium terminal atau pemberian
dengan dosis 1 ml gagal, 1 : 1000 dilarutkan dalam 9 ml garam faali
diberikan 1 2 ml selama 5 20 menit (anak 0,1 cc / kg BB) (Rehata,
2000).
Medikamentosa II
Diphenhidramin IV pelan (+ 20 detik), IM atau PO (1 2 mg / kg
BB) sampai 50 mg dosis tunggal, PO dapat dilanjutkan tiap 6 jam
selama 48 jam, bila tetap sesak dan hipotensi segera rujuk (anak: 1 2
mg / kg BB / IV) maksimal 200 mg IV (Rehata, 2000).
Medikamentosa III
Aminophilin, bila ada spasme bronchus beri 4 6 mg / kg BB
dilarutkan dalam 10 ml garam faali atau D5, IV selama 20 menit
dilanjutkan 0,2 1,2 mg / kg / jam IV. Corticosteroid 5 20 mg / kg
BB dilanjutkan 2 5 mg / kg selama 4 6 jam, pemberian selama 72
jam. Hidrocortison IV, beri cimetidin 300 mg setelah 3 5 menit
(Rehata, 2000).
Monitoring (Rehata, 2000):
a. Observasi ketat selama 24 jam, 6 jam berturut turut tiap 2 jam
sampai keadaan fungsi membaik.
b. Klinis: keadaan umum, kesadaran, vital sign, produksi urine dan
keluhan.
c. Darah: gas darah.

I. TERAPI
Apabila diagnosis sudah ditegakkan pemberian epinefrin tidak boleh
ditunda tunda. Hal ini karena cepatnya mula penyakit dan lamanya
gejala anafilaksis berhubungan erat dengan kematian. Epinefrin 1 : 1000
yang diberikan adala 0,01 ml / kg BB sampai mencapai maksimal 0,3 ml
subkutan (SC) dan dapat diberikan setiap 15 20 menit sampai 3 4 kali
seandainya gejala penyakit bertambah buruk atau dari awal kondisi
penyakitnya sudah berat, suntikan dapat diberikan secara intramuskuler
(IM) dan bahkan kadang kadang dosis epinefrin dapat dinaikkan sampai
0,5 ml sepanjang pasien tidak mengidap penyakit jantung (Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007).

14
Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi,
penisilin, atau sengatan serangga, segera diberikan suntikan infiltrasi
epinefrin 1 : 1000 0,1 0,3 ml di bekas tempat suntikan untuk mengurangi
absorpsi alergen tadi. Bila mungkin pasang torniket proksimal dari tempat
suntikan dan kendurkan setiap 10 menit. Torniket dapat dilepas bila
keadaan sudah terkendali (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia, 2007).
Epinefrin mempunyai efek pada adrenergik dan
adrenergik yang mengakibatkan vasokonstriksi, relaksasi otot polos
bronkus, dan mengurangi peningkatan permeabilitas venula. Ketika
epinefrin gagal dalam mengontrol reaksi anafilaksis, harus dipikirkan
hipoksia karena obstruksi pernapasan atau dihubungkan dengan aritmia
jantung, atau keduanya (Fauci,2008).
Dua hal penting yang harus segera diperhatikan dalam memberikan
terapi pada pasien anafilaksis yaitu mengusahakan: 1). Sistem pernapasan
yang lancar, sehingga oksigenasi berjalan baik; 2). Sistem kardiovaskular
juga harus berfungsi dengan baik sehingga perfusi jaringan memadai
(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007).
a. Sistem Pernafasan
1) Memelihara saluran napas yang memadai. Penyebab tersering
kematian pada anafilaksis adalah tersumbatnya saluran napas
baik karena edema laring atau spasme bronkus. Pada
kebanyakan kasus, suntikan epineprin sudah memadai untuk
mengatasi keadaan tersebut. Tapi pada edema laring kadang
kadang diperlukan tindakan trakeostomi. Tindakan entubasi
trakea pada pasien edema laring tidak saja sulit tapi juga sering
menambah obstruksi karena pipa endotrakeal akan mengiritasi
dinding laring. Bila saluran napas tertutup sama sekali hanya
tersedia waktu 3 menit untuk bertindak. Karena trakeostomi
hanya dikerjakan oleh dokter ahli atau yang berpengalaman,
maka tindakan yang dapat dilakukan dengan segera adalah
melakukan punksi membran krikotiroid dengan jarum besar.
Kemudian pasien segera dirujuk ke rumah sakit.

15
2) Pemberian oksigen 4 6 kali per menit sangat baik pada
gangguan pernapasan maupun kardiovaskuler.
3) Bronkodilator diperlukan bila terjadi obstruksi saluran napas
bagian bawah seperti pada gejala asma atau status asmatikus.
Dalam hal ini dapat diberikan larutan salbutamol atau agonis
beta 2 lainnya 0,25cc 0,5cc dalam 2 4 ml NaCl 0,9%
diberikan melalui nebulisasi atau aminofilin 5 6 mg / kgBB
yang diencerkan dalam 20cc dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% dan
diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit.
b. Sistem Kardiovaskular
1) Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan
pemberian epineprin menandakan bahwa telah terjadi
kekurangan cairan intravaskuler. Pasien ini membutuhkan
cairan intravena secara cepat baik dengan cairan kristaloid
(NaCl 0,9%) atau koloid (plasma, dextran). Dianjurkan untuk
memberikan cairan koloid 0,5 L dan sisanya dalam bentuk
cairan kristaloid. Cairan kristaloid ini tidak saja mengganti
cairan intravaskuler yang merembes ke luar pembuluh darah
atau yang terkumpul di jaringan splangnikus, tetapi juga dapat
menarik cairan ektravaskuler untuk kembail ke intravaskuler.
2) Oksigen mutlak hrus diberikan di samping pemantauan sistem
kardiovaskuler dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi
asidosis metabolic.
3) Kadang kadang diperlukan CPV (Central Venous Pressure).
Pemasangan CVP ini selain untuk memantau kebutuhan cairan
dan menghindari kelebihan pemberian cairan, juga dapat
dipakai untuk pemberian obat yang bila bocor dapat
merangsang jaringan sekitarnya.
4) Bila tekanan masih belum teratasi dengan pemberian cairan,
para ahli sependapat untuk memberikan vasopresor melaui
cairan infus intravena. Dengan cara melarukan 1ml epineprin 1
: 1000 dalam 250 dektrosa (konsentrasi 4 mg / ml) diberikan
dengan infus 1 4 mg / menit atau 15 60 mikrodip / menit

16
(dengan infus mikrodip), bila diperlukan dosis dapat dinaikkan
sampai maksimum 10 mg / ml.
Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada keadaan anafilaktsis
yang berat, American Heart Association menganjurkan pemberian
epinefrin secara endotrakeal, kemudian diikuti pernapasan hiperventilasi
untuk menjamin absorpsi obat yang cepat. Pernah dilaporkan selain usaha
usaha yang dilaporkan tadi terdapat beberapahal yang perlu diperhatikan:
a. Pasien yang mendapatkan obat atau dalam pengobatan obat
penyakit reseptor beta (beta blocker) gejalanya sering sukar diatasi
dengan epinefrin atau bahkan menjadi lebih buruk karena stimulant
reseptor adrenergik alfa tidak terhambat. Dalam keadaan demikian
inhalasi agonis beta 2 atau sulfas atropin akan memberikan
manfaat disamping pemberian aminofilin dan kortikosteroid
intravena.
b. Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH1 dengan AH2 bekerja
secara sinergistik teradap reseptor yang ada di pembuluh darah.
Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien yang mengalami
gangguan napas maupun gangguan kardiovaskular. (Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007).
Steroid sering diberikan sebagai usaha perlindungan untuk melawan
late reaction yang dapat terjadi beberapa jam setelah reaksi alergi. Pada
beberapa pasien, terutama pasien dengan asma, late reaction ini dapat
terjadi lebih berat daripada initial reaction (American Academy of Allergy,
Asthma & Immunology, 2012).
Desensitisasi
Desensitisasi atau imunoterapi ialah terapi yang dilakukan dengan
cara memberikan ekstrak alergen sedikit demi sedikit untuk
membangkitkan pembentukan IgG yang disebut blocking antibody. IgG
tersebut akan mengikat alergen yang masuk tubuh sehingga tidak ada lagi
alergen yang dapat diikat oleh IgE. Desensitisasi memerlukan waktu yang
lama, mahal, mempunyai resiko terjadinya syok anafilaksis, dan hanya
dilakukan pada indikasi kuat. Pengobatan ini memberi hasil baik pada
alergi serangga dan rinitis musiman. Desensitisasi pada asma bronkial
masih merupakan kontroversi (Baratawidjaja, 1993).

17
Terapi Cairan
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur
intravena untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang
ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik.
Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung
serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan
kristaloid dan koloid tetap merupakan mengingat terjadinya peningkatan
permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan
larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3 4 kali dari perkiraan
kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20 40% dari volume plasma.
Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah
yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma (Mangku, 2002).
Perlu diperhatikan bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran
juga bias melepaskan histamin. Cairan intravena seperti larutan isotonik
kristaloid merupakan pilihan pertama dalam melakukan resusitasi cairan
untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial, dan intra
sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan
tekanan onkotik intravaskuler (Mangku, 2002).
J. PENCEGAHAN
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan syok
anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat obatan. Melakukan
anamnesis riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu
menentukan etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai
riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap
banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya
syok anafilaktik (Suryana, 2003).
Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian
bahwa tes kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi
pemberian obat obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan
mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai
riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1 3%
dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif
(Suryana, 2003).

18
Dalam pemberian obat juga harus berhati hati, encerkan obat bila
pemberian dengan jalur subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun
intravena dan observasi selama pemberian. Pemberian obat harus benar
benar atas indikasi yang kuat dan tepat. Hindari obat obat yang sering
menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang
menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita supaya menghindari makanan
atau obat yang menyebabkan alergi. Hal yang paling utama adalah harus
selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi reaksi anfilaksis serta
adanya alat alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi alergen spesifik
adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang (Suryana, 2003).

K. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS


1. Komplikasi
Komplikasi atau penyulit yang biasanya menyertai pada shock
anafilaktik adalah (Suryana, 2003):
a. Kematian karena gagal nafas, syok dan cardiac arrest.
b. Kerusakan otak permanen yang diakibatkan oleh syok dan
gangguan cardiovaskuler.
c. Bronkospasme persisten, yakni penyempitan tiba tiba otot otot
di dinding bronkiolus. Hal ini disebabkan oleh pelepasan
(degranulasi) zat dari sel mast atau basofil di bawah pengaruh
anaphylatoxins. Hal ini menyebabkan kesulitan bernapas yang bisa
sangat ringan sampai berat.
d. Oedema Larynx, yakni pembengkakan yang cepat dari dermis,
jaringan subkutan, mukosa dan submukosa jaringan laring. Edema
laring dapat menyebabkan kematian.
e. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan,
Myocard infark, aborsi dan gagal ginjal juga pernah dilaporkan.
2. Prognosis
Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan kaedah
kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian.
Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali akibat paparan
antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi
setelah terjadinya serangan anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan
sistem organ yang lebih luas lagi (Ewan, 1998).

19
Prognosis pada penderita reaksi anafilaktik akut biasanya baik bila
telah mendapat pengobatan yang adekuat, kecuali pada penderita usia
lanjut, penderita dengan penyakit kardiovaskuler atau infark miokard akut,
dan penderita dengan kerusakan pada sistem saraf pusat (Ferreiro, 1986).
Reaksi anafilaktik yang fatal dapat menyebabkan terjadinya acute
respiratory distress atau circulatory collapse. Obstruksi pada saluran
pernapasan bagian atas dapat disebabkan oleh edema laring dan pharing.
Pada saluran pernapasan bagian bawah disebabkan oleh bronkospasma
dengan kontraksi dari otot-otot pernapasan, vasodilatasi, dan peningkatan
permeabilitas kapiler. Henti jantung mungkin disebabkan karena
terhentinya pernapasan, efek langsung oleh mediator kimia pada syok
anafilaktik disebabkan oleh hilangnya cairan intravaskular oleh edema dan
vasodilatasi (Dimaio, 2001).
Syok anafilaktik dapat menyebabkan kematian. Kematian pada syok
anafilaktik kebanyakan disebabkan oleh kolapsnya jantung dan edema
laring oleh obat obatan, makanan dan gigitan serangga. Gejala yang
timbul pada serangan anafilaktik antara lain pusing, gatal pada kulit,
urtikaria, sesak nafas, wheezing, kesulitan dan kegagalan pernapasan. Pada
kematian karena anafilaktik, munculnya gejala biasanya berlangsung pada
15 20 menit pertama (Dimaio, 2001).
Selain itu, kematian pada reaksi anafilaktik seringkali terjadi sebelum
penderitanya mendapat pertolongan kesehatan yang adekuat di rumah
sakit, atau bila telah mendapat pengobatan biasanya kematian terjadi pada
30 menit pertama (Bakta, 1999).
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi
anafilaksis yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut,
yaitu umur, tipe alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru
obstruktif kronis,asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat
obatan yang dikonsumsi seperti blocker dan ACE Inhibitor, serta
interval waktu dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi
anafilaksis dengan injeksi adrenalin (Rengganis & Sundaru, 2009).

20
BAB III
KESIMPULAN
1. Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh
IgE yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun
hebat.
2. Syok anafilaktik memang jarang dijumpai, tetapi mempunyai angka mortalitas
yang sangat tinggi.
3. Beberapa golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu
makanan, obat obatan, dan bisa atau racun serangga.
4. Faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis, yaitu
sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan
alergen.
5. Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I, terdiri dari fase
sensitisasi dan aktivasi yang berujung pada vasodilatasi pembuluh darah yang
mendadak, keaadaan ini disebut syok anafilaktik.
6. Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala dapat dimulai dengan
gejala prodormal kemudian menjadi berat, tetapi kadang kadang langsung
berat yang dapat terjadi pada satu atau lebih organ target.
7. Pemeriksaan laboratorium diperlukan dan sangat membantu menentukan
diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan
untuk memonitor hasil pengobatan dan mendeteksi komplikasi lanjut.
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang baik akan membantu
seorang dokter dalam mendiagnosis suatu syok anafilaktik.
8. Penatalaksanaan syok anfilaktik harus cepat dan tepat mulai dari hentikan
allergen yang menyebabkan reaksi anafilaksis; baringkan penderita dengan
kaki diangkat lebih tinggi dari kepala; penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi
jantung paru; pemberian adrenalin dan obat obat yang lain sesuai dosis;
monitoring keadaan hemodinamik penderita bila perlu berikan terapi cairan
secara intravena, observasi keadaan penderita bila perlu rujuk ke rumah sakit.
9. Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan
syok anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat obatan. Apabila
ditangani secara cepat dan tepat sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan,
reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian.

21
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Severe Allergic Reaction, Anaphylactic Shock. Dapat diakses pada:
www.emedicine.com. Diakses Minggu, 23 September 2012 pukul 15.47.

Bakta, I Made. 1999. Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam: Kedaruratan


Dalam Bidang Onkologi. Jakarta: EGC.

Baratawidjaja, K. 1993. Penyakit Alergi. Jakarta: Yayasan Penerbit IDI.

Baratawidjaja, Karnen Garna, Rengganis, Iris. 2009. Imunologi Dasar Edisi ke-8.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Dimaio, VJ., Dimaio D. 2001. Forensic Pathology Ed. 2. Florida: CRC.

Ewan, PW. 1998. Anaphylaxis. ABC of Allergies; BMJ. Vol 316. Hal 1442-1445.

Ferreiro JE. 1986. Immunologic Emergencies In: Gardner LB, ed. Textbook of
Acute Internal Medicine. New York: Medical Exam.

Guyton, Arthur C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed. 11 (Alih Bahasa:
Irawati). Jakarta: EGC.

Haupt, MT, Fujii TK, et al. 2000. Anaphylactic Reactions in: Text Book of Critical
Care Eds: Ake Grenvvik, Stephen M. Ayres, Peter R, William C. Shoemaker
4th ed WB. Tokyo: Saunders Company Philadelpia.

K, Suryana. 2003. Diktat Kuliah Clinical Allergy Immunology. Denpasar: Divisi


Alergi Imunologi Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS
Sanglah.

Khodorkovshy, Boris. 2005. Greenbergs Text Atlas of Emergency Medicine.


Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Koury, SI, Herfel LU. 2000. Anaphylaxis and Acute Allergic Reactions in:
International Edition Emergency Medicine Eds: Tintinalli, Kellen,
Stapczynski 5th ed McGrraw. Toronto: Hill New York.

22
Longecker, DE. 2008. Anaphylactic Reaction and Anesthesia dalam
Anesthesiology Chapter 88: 1948 1963.

Mangku, G. 2002. Diktat Kuliah Anestesiologi dan Reanimasi: 50 55. Denpasar:


Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UNUD.

Price S, Wilson L. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Proses Penyakit.


Jakarta: EGC.

Rehata, NM. 2000. Syok Anafilaktik Patofisiologi dan Penanganan dalam Update
on Shock, Pertemuan Ilmiah Terpadu I: 69 75. Surabaya: FKUA
Surabaya.

Rengganis I, Sundaru H. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Renjatan


Anafilaktik. Jakarta: Interna Publishing.

Suryana K. 2003. Diktat Kuliah: Clinical Allergy Immunology. Denpasar: Divisi


Alergi Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS
Sanglah.

23

Anda mungkin juga menyukai