Anda di halaman 1dari 31

PRESENTASI KASUS POLI

ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


HERPES ZOSTER

Pembimbing:
dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK

Disusun oleh:
Nur Qisthiyah G4A015065

SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2017
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul :

HERPES ZOSTER
Pada tanggal, Januari 2017

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti


program profesi dokter di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun oleh:
Nur Qisthiyah G4A015065

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.
Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., karena atas
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas presentasi kasus ini.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW beserta para pengikut setianya.
Terimakasih penulis sampaikan kepada para pengajar, fasilitator, dan
narasumber SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, terutama dr. Ismiralda Oke
Putranti, Sp.KK, selaku pembimbing penulis. Penulis menyadari presentasi kasus
ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaannya.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga presentasi kasus ini
dapat bermanfaat khususnya bagi penulis yang sedang menempuh pendidikan dan
dapat dijadikan pelajaran bagi yang membacanya.

2
Purwokerto, Januari 2017

Penulis

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
DAFTAR ISI........................................................................................................iv
I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang...........................................................................................1
II. LAPORAN KASUS
A. Identitas pasien.........................................................................................2
B. Anamnesis................................................................................................2
C. Status generalis.........................................................................................3
D. Status dermatologi....................................................................................4
E. Diagnosis banding....................................................................................5
F. Diagnosis kerja......................................................................................... 5
G. Pemeriksaan penunjang............................................................................5
H. Resume..................................................................................................... 6
I. Penatalaksanaan........................................................................................ 6
J. Prognosis..................................................................................................7
III. TINJAUAN PUSTAKA

3
A. Definisi....................................................................................................8
B. Epidemiologi...........................................................................................8
C. Etiologi....................................................................................................9
D. Faktor Predisposisi..................................................................................10
E. Patofisiologi............................................................................................10
F. Penegakan Diagnosis...............................................................................12
G. Penatalaksanaan......................................................................................17
H. Prognosis.................................................................................................20
I. Komplikasi..............................................................................................21
IV. PEMBAHASAN............................................................................................24
V. KESIMPULAN....................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................26

4
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kulit merupakan lapisan paling luar yang akan berhadapan langsung
dengan dunia luar. Hal ini dapat memicu kemungkinan di mana kulit dapat
terinfeksi oleh berbagai macam bakteri, jamur, dan bahkan virus. Pada
kesempatan kali ini, saya akan membahas mengenai salah satu penyakit yang
terjadi pada kulit yang disebabkan oleh virus. Penyakit tersebut adalah
penyakit Herpes Zoster.
Herpes zoster ini merupakan penyakit yang terjadi akibat reaktivasi
virus Varisela zoster. Sehingga, penyakit ini akan timbul pada seseorang yang
pernah menderita varisela. Penyebaran penyakit ini cukup merata, baik di
negara maju maupun berkembang. Di negara maju seperti Amerika, penyakit
ini dilaporkan sekitar 6% setahun, di Inggris 0,34% setahun sedangkan di
Indonesia lebih kurang 1% setahun. Sebagian besar (92%) dari pasien
imunokompeten dan 60% adalah perempuan.
Herpes zoster ini merupakan penyakit yang akan membuat penderitanya
merasa sangat tidak nyaman. Pada penderita herpes zoster, akan terasa nyeri
yang begitu sakit, dan tentunya menimbulkan ketidaknyamanan. Selain itu,
penyakit ini lebih sering mengenai orang dewasa, yang merupakan usia
produktif manusia. Hal ini tentu akan mempengaruhi kehidupan manusia
tersebut. Terlebih, jika sudah mencapai komplikasi, penyakit ini dapat
mengenai sistem saraf, yang tentu saja dapat mengganggu aktivitas manusia
sehari-hari.

1
II. LAPORAN KASUS

A. Identitas pasien
Nama : Tn. T
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 46 tahun
Pekerjaan : buruh
Agama : Islam
Alamat : Desa Kasegeran, Cilongok

B. Anamnesis
Autoanamnesa dan alloanamnesa dilakukan pada tanggal 12 Januari 2017
di poli RSMS pada pukul 10.00 WIB :
1. Keluhan Utama :
Lepuh-lepuh bergerombol di lengan kiri bagian atas
2. Keluhan Tambahan :
Gatal di daerah lepuh, demam, nyeri kepala.
3. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSMS dengan keluhan
timbul lepuh-lepuh bergerombol di lengan kiri bagian atas sejak 4 hari yang
lalu. Lepuh berbentuk bulat dengan warna kemerahan dan berisi cairan
berwarna keruh dengan ukuran yang bervariasi. Pasien juga mengeluhkan
gatal, nyeri dan panas pada daerah tersebut. Keluhan lepuh berair disertai
nyeri dan gatal dirasakan terus menerus dan sangat hebat sehingga
mengganggu aktivitas pasien.
Sebelum muncul lepuh bergerombol, pasien mengaku mengalami
demam, nyeri kepala dan badan terasa pegal. Pasien tidak mengeluhkan
adanya keluhan kulit di bagian lain dan menyangkal adanya riwayat gigitan
binatang pada lesi atau kontak dengan benda tertentu.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat cacar air : diakui
Riwayat DM : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal

2
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien tinggal bersama dengan istri serta kedua anaknya.
Pasien adalah seorang buruh dengan penghasilan rata-rata per
bulan sekitar Rp 1.000.000,00. . Pembiayan kesehatan pasien
menggunakan BPJS-PBI. Kesan status ekonomi menengah kebawah.

C. Status Generalis
Keadaaan umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Status gizi : BB 55 kg; TB 167 cm; status gizi baik
Vital Sign : Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 96 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 37 C
Kepala : mesocephal, rambut hitam, distribusi merata
Mata : conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Telinga : bentuk daun telinga normal, discharge (-)
Hidung : napas cuping hidung (-), sekret (-)
Mulut : mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-)
Tenggorokkan : T1-T1, faring tidak hiperemis

Thorax
Paru
Inspeksi : Bentuk dada simetris, pergerakan dada simetris (tidak ada
gerakan nafas yang tertinggal), tidak ada retraksi spatium
intercostalis.
Palpasi : Gerakan dada simetris, vokal fremitus kanan sama dengan
kiri

3
Perkusi :Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar nafas vesikuler, RBK -/- RBH -/- wheezing -/-
Jantung
Inspeksi :Tidak tampak pulsasi ictus cordis pada dinding dada
sebelah kiri atas.
Palpasi : Teraba ictus cordis, tidak kuat angkat di SIC V, 2 jari
medial LMC sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan atas SIC II LPSD
Batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD
Batas jantung kiri atas SIC II LPSS
Batas jantung kiri bawah SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-) gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), massa (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Kelenjar getah bening : tidak teraba besar
Ekstremitas atas : akral hangat (+/+), edema (-/-), sianosis (-/-)
Ekstremitas bawah : akral hangat (+/+), edema (-/-), sianosis (-/-)

D. Status Dermatologis
1. Lokasi :
Regio brakhialis sinistra

2. Effloresensi :
Vesikel berkelompok di atas kulit yang eritem, distribusi unilateral sesuai
dermatom C6

4
Gambar 2.1 Status dermatologis pasien

G. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan

F. Diagnosis Banding
Herpes simpleks

H. Diagnosis Kerja
Herpes zoster

I. Resume
Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSMS dengan keluhan
timbul lepuh-lepuh bergerombol di lengan kiri bagian atas sejak 4 hari yang
lalu. Lepuh berbentuk bulat dengan warna kemerahan dan berisi cairan
berwarna keruh dengan ukuran yang bervariasi. Pasien juga mengeluhkan
gatal, nyeri dan panas pada daerah tersebut. Keluhan lepuh berair disertai nyeri

5
dan gatal dirasakan terus menerus dan sangat hebat sehingga mengganggu
aktivitas pasien.
Sebelum muncul lepuh bergerombol, pasien mengaku mengalami
demam, nyeri kepala dan badan terasa pegal. Pasien tidak mengeluhkan adanya
keluhan kulit di bagian lain dan menyangkal adanya riwayat gigitan binatang
pada lesi atau kontak dengan benda tertentu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan vesikel berkelompok di atas kulit
yang eritem, distribusi unilateral sesuai dermatom T4 pada regio brakhialis
sinistra.

J. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa :
Sistemik
a. Antiviral : Asiklovir tablet 5x800 mg (7 hari)
b. Analgetik: Parasetamol tablet 3x500 mg
c. Vitamin: roborontia saraf B1, B6, B12, mecobalamin
Topikal :
a. Untuk mencegah agar vesikel tidak mudah pecah diberikan bedak salisil
2% pada vesikel yang masih utuh.
b. Untuk vesikel yang sudah pecah, kompres NaCl terlebih dahulu selama
20 menit kemudian bisa diberikan salep antibiotik untuk mencegah
infeksi sekunder
2. Nonmedikamentosa :
a. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyebab, faktor risiko, gejala,
komplikasi dan prognosis penyakit
b. Istirahat yang cukup makan makanan yang bergizi agar meningkatkan
imunitas.
c. Mengusahakan supaya vesikel tidak pecah untuk menghindari infeksi
sekunder
d. Menghindari stress fisik dan psikologis.
e. Menjaga kebersihan kulit dengan mandi.
f. Menghindari kontak dengan orang lain, terutama orang dengan imunitas
rendah (mencegah penularan).

K. Prognosis
1. Quo ad vitam : ad bonam
2. Quo ad functionam : ad bonam

6
3. Quo ad sanationam : ad bonam
4. Quo ad komestikum : dubia ad bonam

7
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus
varisela-zoster yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan
reaktivitas virus yang terjadi setelah infeksi primer. Varisela (chicken pox)
merupakan infeksi primer yang terjadi pertama kali pada individu yang
berkontak dengan virus Varisela-zoster. Reaktivasi virus dihubungkan keadaan
cell-mediated immune yang menurun, yang dapat disebabkan oleh
bertambahnya usia, proses keganasan, perawatan keganasan (kemoterapi atau
radioterapi), pemakaian obat-obat imunosupresan dan infeksi HIV. Herpes
zoster juga sering disebut dengan dampa, shingles atau cacar ular (Djuanda,
2010; Hasibuan, 2006).

B. Epidemiologi
Herpes zoster dapat muncul disepanjang tahun karena tidak dipengaruhi
oleh musim dan tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada perbedaan angka
kesakitan antara laki-laki dan perempuan, angka kesakitan meningkat dengan
peningkatan usia. Herpes zoster terjadi pada orang yang pernah menderita
varisela sebelumnya karena varisela dan herpes zoster disebabkan oleh virus
yang sama yaitu virus varisela zoster. Setelah sembuh dari varisela, virus yang
ada di ganglion sensoris tetap hidup dalam keadaan tidak aktif dan aktif
kembali jika daya tahan tubuh menurun. Lebih dari 2/3 usia di atas 50 tahun
dan kurang dari 10% usia di bawah 20 tahun . Di negara maju seperti Amerika,
penyakit ini dilaporkan sekitar 6% setahun, di Inggris 0,34% setahun
sedangkan di Indonesia lebih kurang 1% setahun (Hasibuan, 2006).
Lebih dari 90% dari dewasa di Amerika Serikat mempunyai bukti
serologik mengenai infeksi virus Varisela-zoster dan merupakan resiko untuk
Herpes zoster (HZ). Laporan tahunan insidens HZ bervariasi daripada 1.5 3.4
kasus per1000 orang. Faktor resiko untuk perkembangan HZ ini ialah
kekebalan imun sistem yang rendah berasosiasi juga dengan proses penuaan
yang normal. Bagaimanapun, insidens ini terjadi pada individu berusia di atas

8
75 tahun rata ratanya yaitu 10 kasus per 1000 orang (Richard, 2009).
Departemen penelitian pusat kesehatan Omsteld melakukan penelitian
dengan metode menggunakan data dari 1 Januari 1996-15 Oktober 2005,
dilakukan studi pada populasi penduduk dewasa ( 22 tahun) dari Olmsted
County, MN, untuk menentukan (dengan peninjauan rekam medis) kejadian
herpes zoster dan tingkat komplikasi herpes zoster. Tingkat insiden ditentukan
oleh usia dan jenis kelamin dan disesuaikan dengan populasi Amerika Serikat.
Hasilnya adalah Sebanyak 1.669 penduduk dewasa dengan diagnosis
dikonfirmasi herpes zoster diidentifikasi antara 1 Januari 1996 dan 31
Desember 2001. Sebagian besar (92%) dari pasien imunokompeten dan 60%
adalah perempuan. Ketika disesuaikan dengan populasi orang dewasa Amerika
Serikat, kejadian herpes zoster adalah 3,6 per 1000 orang-tahun (95%
confidence interval, 3.4-3,7), dengan peningkatan temporal 3,2-4, 1 per 1000
orang-tahun dari 1996 sampai 2001. Insiden herpes zoster dan tingkat
komplikasi herpes zoster meningkat dengan usia, dengan 68% kasus terjadi
pada orang berusia 50 tahun ke atas. Neuralgia terjadi pada 18% pasien dewasa
dengan herpes zoster dan di 33% dari senior 10 (Richard, 2009).

C. Etiologi
Varicella zoster virus atau sering disingkat VZV merupakan virus
herpes yang berasal dari family human alpha. Ciri khas dari virus ini adalah
terdiri dari genome DNA double strand, yang tertutup inti dan mengandung
protein dan dibungkus oleh glikoprotein. Penyakit yang disebabkan oleh VZV
ini ada dua macam penyakit yaitu varicella (chickenpox) pada infeksi primer
dan juga herpes zoster (shingles) pada infeksi sekunder (Lubis, 2008).
Infeksi VZV adalah sebuah virus yang dapat menyebabkan varisela atau
cacar air. Setelah penyakit varicella sembuh, virus akan tetap menetap laten
pada ganglia radiks dorsalis yang dapat mengalami reaktivasi menjadi herpes
zoster (HZ), atau yang lebih dikenal dengan nama shingles atau dampa
(Sumaryo, 2011).

D. Faktor Predisposisi
Faktor yang dapat mendukung terjadinya penyakit herpes zoster adalah

9
penyakit varicella. Dikarenakan awal mula seorang pasien dengan herpes
zoster ini adalah infeksi dari virus varicella zoster yang akibatnya akan terkena
penyakit varicella dan kemudian akan berlanjut menjadi herpes zoster
dikarenakan virus ini menetap radiks ganglia dorsalis, yang selanjutnya akan
mengalami reaktivasi menjadi herpes zoster (Sumaryo, 2011).
Beberapa pasien dengan faktor risiko tinggi untuk menderita herpes
zoster dengan komplikasi berat adalah (Whitley, 2005):
1. host yang mengalami imunokompromisasi
2. pasien dengan limfoma Hodgkin maupun non Hodgkin
3. pasien dengan diseminasi kutaneus
4. pasien yang menerima transplantasi sumsum tulang.

E. Patofisiologi
Transmisi virus Varicella-Zoster virus (VZV) paling mudah melalui
traktus respiratorius, dimana replikasi virus terjadi umumnya pada nasofaring.
Hal ini akan memicu proses migrasi sistem retikuloendotelial menuju tempat
tersebut hingga akhirnya terjadi suatu keadaan yang disebut viremia. Pada
mulanya, viremia ini akan bermanifestasi sebagai chicken pox (cacar air),
dimana terdapat lesi kulit yang difus dan dapat diverifikasi dengan kultur darah
maupun polymerase chain reaction (PCR). Vesikel yang timbul pada pasien
terkait dengan lapisan dermis pasien dengan adanya perubahan degeneratif
yang dicirikan dengan adanya vesikel, munculnya multinucleated giant cell,
dan inklusi eosinofilik intranuklear. Infeksi VZV juga dapat melibatkan
pembuluh darah yang memberikan vaskularisasi pada kulit lokal, yang
berakibat pada munculnya nekrosis dan hemoragik epidermis (Whitley, 2005;
Dworkin, 2008).

10
Gambar 3.1 Perjalanan virus VZV sejak muncul varicella hingga muncul
herpes zoster (akibat reaktivasi virus VZV)
Seiring dengan perjalanan penyakit, cairan vesikular menjadi keruh
karena adanya rekrutmen leukosit polimorfonuklear (PMN) dan adanya fibrin
serta sel-sel yang telah berdegenerasi. Akhirnya vesikel ini akan pecah dan
menyebarkan cairan berisi virus yang dapat direabsorpsi secara gradual
maupun ditularkan (Dworkin, 2008; Daili, 2002).
Saat reaktivasi VZV dibutuhkan pergerakan virion dari akson menuju
kulit dimana virus akan menginvasi respon imun innate maupun adaptif,
namun akhirnya tetap terjadi persebaran virus antar sel dan membentuk lesi
yang mempenetrasi epidermis. Reaktivasi VZV ini merusak neuron dan sel
satelit, salah satu neuroglia di jaringan saraf (Dworkin, 2008; Arvin, 2005).
Virus VZV tidak hanya bereplikasi di kulit namun juga di organ
lainnya, seperti paru-paru dan otak. Hal ini akan mengakibatkan pneumonitis
interstisial, pembentukan multinucleated giant cell, inklusi intranuklear, dan
hemoragik pulmoner. Pasien dengan infeksi SSP dapat memiliki pleositisis
liquor cerebrospinal (LCS) dan peningkatan protein LCS. Meningoencephalitis
akhirnya dapat muncul dengan gejala nyeri kepala, demam, Pasien dengan
infeksi SSP dapat memiliki pleositisis liquor cerebrospinal (LCS) dan
peningkatan protein LCS. Meningoencephalitis akhirnya dapat muncul dengan
gejala nyeri kepala, demam fotofobia, meningitis, dan vomitus. Manifestasi
SSP lain yang cukup jarang adalah angiitis granulomatosa dengan hemiplegia
kontralateral serta myelitis transversal (dengan atau tanpa paralisis) (Whitley,
2005; Dworkin, 2008).
Sesuai dengan tempat infeksi virus VZV, akan muncul erupsi vaskular

11
unilateral dengan dermatom yang berkaitan, disertai rasa nyeri yang berat.
Nyeri ini dapat mendahului munculnya lesi, yaitu sekitar 48 hingga 72 jam.
Makulopapular eritema akan muncul dan akhirnya secara cepat berkembang
menjadi lesi vesikuler (Arvin, 2005). Lesi ini hanya akan muncul 3-5 hari,
dengan total durasi penyakit berkisar 7-10 hari. Namun, butuh sekitar 2-4
minggu untuk mengembalikan kulit ke keadaan normal (Whitley, 2005).
Dermatom T3 hingga L3 merupakan dermatom yang sering terlibat. Apabila
infeksi melibatkan nervus trigeminal cabang ophtalmicus, akan muncul zoster
ophtalmicus (Arvin, 2005). Apabila pasien zoster ophtalmicus tidak
mendapatkan terapi antiviral yang adekuat dapat berujung pada kebutaan
(Dworkin, 2008). Jika infeksi melibatkan cabang trigeminal yang lain, lesi
dapat muncul pada mulut, lidah, dan lain-lain (Whitley, 2005).
Pada pasien herpes zoster dapat pula muncul sindroma Ramsay Hunt,
yaitu nyeri dan vesikel yang didapatkan pada canalis auditiva externus, disertai
kehilangan kemampuan mengecap pada dua pertiga lidah (Arvin, 2005). Hal
ini terkait dengan infeksi nervus facialis (Dworkin, 2008). Neuralgia
postherpetic, hypoesthesia, maupun hyperesthesia juga bisa ditemukan pada
pasien (Whitley, 2005).

F. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Penegakan diagnosis dapat dimulai dari tahap anamnesis. Pasien
akan mengeluhkan gejala-gelaja prodromal. Gejala prodromal pada herpes
zoster hanya dapat didiagnosis secara akurat setelah ruam muncul, gejala
prodromal ini tidak jarang salah didiagnosis sebagai kondisi lain yang
ditandai oleh nyeri pada dermatom yang terkena imbasnya (misalnya
angina, herpes simplex, radiculopathy lumbal). Setelah ruam muncul,
diagnosis menjadi jelas dan gejala prodromal yang kemudian dapat dinilai
secara retrospektif dengan menanyakan pada pasien tentang ada tidaknya
rasa nyeri pada daerah ruam sebelum ruam muncul, durasi nyeri prodromal
yaitu sudah berapa hari nyeri muncul sebelum adanya ruam, kualitas
spesifik rasa sakit prodromal, dan lain sebagainya. Gejala prodromal pada
pasien antara lain (Dworkin, 2008):

12
a Keluhan biasanya diawali dengan gejala prodomal yang berlangsung
selama 1 4 hari.
b Gejala yang mempengaruhi tubuh yaitu demam, sakit kepala, fatigue,
malaise, nausea, rash, kemerahan, sensitivitas, sore skin (penekanan
kulit), nyeri (rasa terbakar atau tertusuk), gatal, dan kesemutan.
c Dysesthesias (sensasi abnormal yang tidak menyenangkan, misalnya mati
rasa). Ini dapat secara retrospektif dinilai sehubungan dengan
keberadaan, durasi, dan kualitas.
d Nyeri bersifat segmental dan dapat berlangsung terus menerus atau
hilang timbul. Nyeri juga bisa terjadi selama erupsi kulit.
e Gejala yang mempengaruhi mata antara lain adanya kemerahan, sensitif
terhadap cahaya, pembengkakan kelopak mata, kekeringan mata,
pandangan kabur, penurunan sensasi penglihatan dan sebagainya.
2. Pemeriksaan Fisik
Gejala klinis dari penyakit ini dibagi menjadi 2 stadium, yaitu
stadium prodromal dan stadium erupsi (Daili, 2002). Setelah gejala
prodromal dapat diidentifikasi melalui anamnesis, dapat ditegakkan
diagnosis stadium erupsi melalui pemeriksaan fisik dengan beberapa poin
berikut :
a. Temuan fisik utama adalah ruam dalam distribusi dermatomal sepihak.
Ruam mungkin eritematosa, makulopapular, vesikular, berjerawat, atau
krusta, tergantung pada stadium penyakit. Pada regio frontalis dan
palpebra sinistra terdapat vesikel dan bula multiple berkelompok,
beberapa pecah menjadi erosi dan krusta kekuningan. Diduga adanya lesi
pada ujung hidung menunjukkan keterlibatan saraf nasociliary (Smeltzer
et al., 2006).

Hari 1 Hari 2 Hari 5 Hari 6

13
Gambar 3.2 Ujud kelainan kulit pada penderita herpes zoster.
b. Dapat terjadi inisiasi ke bagian oftalmikus dan mungkin bisa menyerang
ganglion syaraf trigeminus yang bisa menyebabkan ulkus pada kornea
mata (Brooker, 2008).
c. Herpes zoster mungkin saja tidak menunjukkan adanya ruam atau
vesikel, namun hanya rasa sakit yang ditemukan dalam distribusi
dermatomal (Smeltzer et al., 2006).
d. Erupsi kulit hampir selalu unilateral dan biasanya terbatas pada daerah
yangdipersarafi oleh satu ganglion sensorik. Erupsi dapat terjadi di
seluruh bagian tubuh, yang tersering di daerah ganglion torakalis
(Smeltzer et al., 2006).
e. Lokasi yang sering dijumpai yaitu pada dermatom T3 hingga L2 dan
nervus ke V dan VII (Daili, 2002).
f. Lesi dimulai dengan makula eritroskuamosa, kemudian terbentuk papul
papul dan dalam waktu 1224 jam lesi berkembang menjadi vesikel.
Pada hari ketiga vesikel berubah menjadi pustul yang akan mengering
dan menjadi krusta dalam 7 10 hari. Krusta dapat bertahan sampai 2 3
minggu kemudian mengelupas. Pada saat ini nyeri segmental juga
menghilang (Smeltzer et al., 2006).
g. Lesi baru dapat terus muncul sampai hari ke 4 dan kadang kadang
sampai hari ke 7. Erupsi kulit yang berat dapat meninggalkan makula
hiperpigmentasi dan jaringan parut (pitted scar). Pada lansia biasanya
mengalami lesi yang lebih parah dan mereka lebih sensitif terhadap nyeri
yang dialami (Smeltzer et al., 2006).
h. Lesi berkelompok terutama dibagian sentral. Perlu diperhatikan bahwa
akan terdapat semua tingkat lesi kulit dalam waktu bersamaan pada
daerah yang sama. Juga dapat dijumpai lesi mukosa mulut (Smeltzer et
al., 2006).
i. Kadang terjadi limfadenopati regional (Smeltzer et al., 2006).

14
3. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis penyakit herpes zoster adalah :
a. Tzanck Smear
Hapusan ini berguna untuk mengidentifikasi virus herpes, tetapi ia
tidak dapat membedakan herpes zoster dan herpes simplex. Hapusan
Tzanck atau Tzanck smear merupakan salah satu metode laboratorium
yang paling murah dan paling sederhana untuk mendiagnosa VZV dan
virus herpes lainnya. Tzanck smear dilakukan dengan mendapatkan
scrapping dari dasar lesi vesikular yang masih segar, kemudian dibentuk
hapusan dalam slide kaca, dan dilakukan pewarnaan dengan Giemsa
(Djuanda, 2010).
Kemudian dilakukan pemeriksaan materi melalui mikroskop
untuk mengetahui adanya karakteristik sel raksasa berinti banyak
(multinucleated giant cell). Perlu diketahui bahwa tes ini memiliki
sensitivitas yang terbatas dibandingkan dengan metode diagnostik lain
seperti polymerase chain reaction (PCR). Oleh karena itu, hasil negatif
tidak menyingkirkan infeksi virus herpes (Djuanda, 2010).
b. Direct Immunofluorescence dan Polymerase Chain Reaction
Tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang jauh lebih
besar daripada pap Tzanck dan memungkinkan diferensiasi antara virus
herpes simpleks (HSV) dan infeksi VZV. Sel dari ruam atau lesi diambil
dengan menggunakan scapel (semacam pisau) atau jarum kemudian
dioleskan pada kaca dan diwarnai dengan antibodi monoklonal yang
terkonjugasi dengan pewarna fluoresens. Uji ini akan mendeteksi
glikoproten virus. PCR sendiri digunakan untuk mendeteksi DNA virus
varicella-zoster di dalam cairan tubuh, contohnya cairan serebrospinal
(LCS) (Djuanda, 2010).
Metode virologi dengan mendeteksi DNA virus ataupun protein
virus digunakan sebagai salah satu metode diagnosis infeksi VZV.
Spesimen sebaiknya disimpan di dalam es atau pendingin dengan suhu

15
-700C apabila penyimpanan dilakukan untuk waktu yang lebih lama
(Kurniawan, 2009).
c. Kultur VZV
Kultur VZV dapat dibiakkan dengan baik, tetapi ia membutuhkan
waktu yang lama untuk pertumbuhan virus sehingga tidak dapat
digunakan pada kasus klinis akut. Cairan dari lesi yang baru pecah dapat
diambil dan dimasukkan ke dalam media virus untuk segera dianalisa di
laboratorium virologi. Apabila waktu pengiriman cukup lama, sampel
dapat diletakkan pada es cair. Pertumbuhan virus varicella-zoster akan
memakan waktu 3-14 hari dan uji ini memiliki tingkat sensitivitas 30-
70% dengan spesifitas mencapai 100% (Djuanda, 2010).
d. Monoclonal Antibody Tests dan Blood Mononuclear Cell Testing
Pemeriksaan lainnya mungkin termasuk tes antibodi monoklonal
dan pengujian darah sel mononuklear untuk DNA virus, namun tes ini
masih banyak dilakukan dalam lingkup penelitian (Djuanda, 2010).
e. Biopsi
Pemeriksaan biopsi dapat membantu menegakkan diagnosis
dalam kasus lesi atipikal (Djuanda, 2010).
f. Uji serologi
Uji serologi yang sering digunakan untuk mendeteksi herpes
zoster adalah ELISA. Salah satu metode serologik yang digunakan untuk
mendiagnosis infeksi VZV di dasarkan pada pemeriksaan serum akut dan
konvalesens yaitu IgM dan IgG. Pemeriksaan VZV IgM memiliki
sensitifitas dan spesifisitas yang rendah. Reaktivasi VZV memacu IgM
yang terkadang sulit dibedakan dengan kehadiran IgM pada infeksi
primer. Salah satu kepentingan pemeriksaan antibodi IgG adalah untuk
mengetahui status imun seseorang, dimana riwayat penyakit varicelanya
tidak jelas (Kurniawan, 2009).
Pemeriksaan IgG mempunyai kepentingan klinis, guna
mengetahui antibodi pasif atau pernah mendapat vaksin aktif terhadap
varicela. Keberadaan IgG, pada dasarnya merupakan petanda dari infeksi
laten terkecuali pasien telah menerima antibodi pasif dari

16
immunoglobulin. Teknik lain adalah dengan menggunakan fluorescent-
antibodi membrane antigen assay, pemeriksaan ini dapat mendeteksi
antibodi yang terikat pada sel yang terinfeksi oleh VZV. Tes ini sangat
sensitifdan spesifik, hampir serupa dengan pemeriksaan enzyme
immunoassay atau imunoblotting. Pemeriksaan serologik lain yang
mendukung adalah lateks aglutinasi,untuk mengetahui status imunitas
terhadap VZV (Kurniawan, 2009).

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit herpes zoster ditunjukan untuk mempercepat
penyembuhan dan mengurangi nyeri akut yang dialami penderita. Selain itu,
pengobatan ini dilakukan untuk mengurangi terjadinya jaringan parut pada
tubuh pasien. Lebih penting lagi pengobataan dilakukan untuk mencegah
terjadinya komplikasi herpes zoster (Toruan, 2006).
1. Nonmedikamentosa
Pengobatan nonfarmakologi menurut Fleckenstein (2009) adalah
sebagai berikut :
a. Istirahat cukup
b. Jaga luka agar tetap bersih dan kering
c. Dianjurkan memakai pakaian yang longgar dari bahan yang menyerap
keringat
d. Edukasi mengenai penyakit herpes zoster
e. Menjaga badan tetap bersih
f. Menjaga imun tubuh dengan makanan bergizi.
2. Medikamentosa
Pengobatan terhadap herpes zoster terdiri dari tiga hal utama yaitu
pengobatan infeksi virus akut, pengobatan rasa sakit akut yang berkaitan
dengan penyakit tersebut, dan pencegahan terhadap neuralgia pascaherpes.
Beberapa terapi medikamentosa yang dapat diberikan pada pasien adalah
sebagai berikut :
a. Antivirus

17
Tujuan dari terapi antiviral adalah untuk mengurangi rasa sakit,
menghambat replikasi virus dan mencurahkan, membantu penyembuhan
penyakit kulit, dan mencegah atau mengurangi keparahan neuralgia
postherpetic. Meta-analisis dan uji coba terkontrol secara acak
menunjukkan bahwa agen antivirus oral asiklovir, famsiklovir, dan
valacyclovir, dimulai dalam waktu 72 jam setelah onset ruam,
mengurangi keparahan dan durasi nyeri akut, serta kejadian postherpetic
neuralgia (Madkan et al., 2007).
1) Acyclovir (Zovirax)
Acyclovir memiliki efek dapat mengurangi kejadian postherpetic
neuralgia Acyclovir merupakan turunan guanin yang mencegah
varicella-zoster virus (VZV) replikasi melalui penghambatan
polimerase DNA virus. Ini mengurangi durasi lesi simtomatik
(Madkan et al., 2007). Dosis yang dapat diberikan adalah 5x 800 mg
sehari, yang diberikan selama 7 hari (Toruan, 2006).
2) Famsiklovir (Famvir)
Obat ini memiliki efek yang sama dengan asiklovir. Namun, dosis
yang dapat diberikan lebih nyaman dibandingkan asiklovir.
Mekanisme obat ini adalah setelah tertelan, famsiklovir dengan cepat
biotransformasi ke dalam senyawa aktif penciclovir dan terfosforilasi
oleh kinase timidin virus. Dengan persaingan dengan triphosphate
deoxyguanosine, penciclovir trifosfat menghambat polimerase virus.
Pasien dengan insufisiensi ginjal atau penyakit hati, dosis yang
diberikan harus disesuaikan mg per hari (Madkan et al., 2007). Dosis
yang dapat diberikan untuk obat famsiklovir adalah 3 x 500 mg sehari
(Toruan, 2006).
3) Valacyclovir (Valtrex)
Valacyclovir adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi
asiklovir sebelum mengerahkan aktivitas antivirusnya. Valacyclovir
HCl, yang merupakan L-valyl ester dari acyclovir merupakan anti-
virus yang mampu mempercepat penyembuhan ruam herpes zoster
berikut kejadian nyeri yang menyertai dan menurunkan durasi

18
terjadinya neuralgia postherpetik. Hasil studi menunjukkan bahwa
dosis dua kali sehari memiliki keamanan dan efektivitas yang sama
dengan dosis tiga kali sehari terapi antivirus dalam penurunan ZAP
(zoster-associated pain) dan ZAAS (zoster-associated abnormal
sensations) (Madkan et al., 2007). Dosis yang dapat diberikan untuk
obat valasiklovir adalah 3 x 1000 mg sehari (Toruan, 2006).
b. Kortikosteroid
Agen ini memiliki sifat anti-inflamasi dan menyebabkan efek
metabolik yang mendalam dan bervariasi. Kortikosteroid memodifikasi
respon kekebalan tubuh terhadap rangsangan beragam. Penggunaan
kortikosteroid oral atau epidural dalam hubungannya dengan terapi
antivirus telah ditemukan untuk menjadi bermanfaat dalam mengobati
sedang sampai zoster akut parah, tetapi tidak berpengaruh terhadap
perkembangan atau durasi neuralgia postherpetik (Madkan et al., 2007).
c. Analgesik sistemik
Mengontrol rasa sakit sangat penting untuk kualitas perawatan
pasien. Analgesik memastikan kenyamanan pasien, mempromosikan
toilet paru, dan memungkinkan regimen terapi fisik. Analgesik narkotika
yang paling lisan telah penenang sifat yang bermanfaat bagi pasien yang
memiliki lesi kulit. Analgesik topikal yang mengandung capsaicin telah
terbukti efektif untuk nyeri neuropatik yang berhubungan dengan
neuralgia postherpetic (Madkan et al., 2007).
1) Oxycodone (OxyContin, Roxicodone)
Oksikodon adalah analgesik narkotika yang diindikasikan untuk
menghilangkan nyeri sedang sampai berat. Pasien dengan herpes
zoster biasanya mengalami nyeri. Terapi antivirus dan steroid
memberikan bantuan relatif kecil rasa sakit, dan analgesik narkotik
sering dibutuhkan (Madkan et al., 2007).
2) Acetaminophen (Tylenol, Aspirin Bebas Anacin)
Ini adalah obat pilihan untuk pengobatan nyeri pada pasien yang :
a) telah mendokumentasikan hipersensitivitas terhadap aspirin atau
NSAID

19
b) memiliki penyakit GI
c) mengambil antikoagulan oral
Acetaminophen mengurangi demam dengan aksi langsung terhadap
hipotalamus panas pengatur pusat, yang meningkatkan disipasi panas
tubuh melalui vasodilatasi dan berkeringat (Madkan et al., 2007).
3) Ibuprofen (Motrin, Advil)
Ibuprofen merupakan obat pilihan untuk pengobatan nyeri ringan
sampai cukup parah, jika tidak ada kontraindikasi ada. Menghambat
reaksi inflamasi dan nyeri, mungkin dengan mengurangi aktivitas
siklooksigenase enzim, yang, pada gilirannya, menghambat sintesis
prostaglandin. Ibuprofen merupakan salah satu NSAID beberapa yang
diindikasikan untuk mengurangi demam (Madkan et al., 2007).
4) Naproxen (Naprosyn, Naprelan, Anaprox)
Naproxen umumnya digunakan untuk menghilangkan nyeri ringan
sampai sedang. Menghambat reaksi inflamasi dan rasa sakit dengan
mengurangi aktivitas siklooksigenase, yang menghasilkan penurunan
sintesis prostaglandin (Madkan et al., 2007).
d. Vaksin
Agen ini memperoleh imunisasi aktif untuk meningkatkan
resistensi terhadap infeksi. Vaksin terdiri dari mikroorganisme yang
dilemahkan atau komponen seluler, yang bertindak sebagai antigen.
Administrasi merangsang produksi antibodi dengan sifat pelindung
khusus. Vaksin yang dapat diberikan adalah Varicella zoster vaksin
(Zostavax) (Madkan et al., 2007).

H. Prognosis
Lesi yang terbentuk hanya akan bertahan sekitar 10-15 hari. Prognosis
pada pasien yang masih muda dan sehat dengan sistem imun yang adekuat
adalah bonam. Sedangkan orang dengan usia lebih lanjut maupun pasien
dengan imunokompromisasi memiliki prognosis lebih buruk dan memiliki
risiko lebih besar untuk mengalami komplikasi seperti neuralgia postherpetik,
infeksi bakteri, dan scarring (Harpaz et al., 2008).

I. Komplikasi

20
Komplikasi pada penyakit herpes zoster sangat dipengaruhi oleh keadaan
imunitas dari penderita. Penderita yang tidak disertai defisiensi imunitas
biasanya tidak ada komplikasi. Defisiensi imunitas, infeksi HIV, keganasan,
dan faktor usia lanjut dapat menjadi faktor pemicu terjadinya komplikasi pada
herpes zoster (Djuanda, 2010).
Berbagai komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit ini adalah
sebagai berikut:
1 Neuralgia pascaherpetik
Neuralgia pascaherpetik (NPH) terjadi setelah penderita sudah
mengalami penyembuhan. Gejalanya yaitu berupa rasa nyeri yang timbul
pada daerah bekas penyembuhan lebih dari sebulan setelah penyakitnya
sembuh. Nyeri ini berlangsung sampai beberapa bulan, bahkan bertahun-
tahun (Djuanda, 2010). Gangguan saraf yang terjadi adalah berupa
gangguan keseimbangan sensorik melalui perubahan molekuler, sehingga
aktivasi sistem saraf aferen menjadi abnormal. Hal ini selanjutnya akan
mengakibatkan gangguan sensitisasi sentral (Delaney, 2012).
Terjadinya NPH disebabkan oleh reaktivasi dari varicella zoster
virus (VZV) yang hidup secara dorman di ganglion. Saat terjadi reaktivasi,
virus berjalan di sepanjang akson menuju ke kulit, kemudian
menyebabkan peradangan pada kulit yang ditandai dengan pembengkakan,
vakuolisasi, dan lisis sel. Hasil dari proses ini adalah vesikel yang disebut
Lipschutz Inclusion Body (Kurniawan et al., 2009).
2 Ramsay Hunt Syndrome
Ramsay Hunt Syndrome (RHS) diakibatkan oleh gangguan nervus
VII (facialis) dan VIII (vestibulocochlearis), dapat juga menyerang
nervus-nervus yang lain (bersifat multiple) tetapi jarang. Gejala yang dapat
timbul adalah paralisis otot muka secara unilateral yang disebut dengan
paralisis Bell (Shim et al., 2011). Gejala lain yang mungkin terjadi adalah
kelainan kulit sesuai dermatom, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran,
nistagmus, dan nausea (Djuanda, 2010). Salah satu tanda yang utama
adalah terbentuknya vesikel ulserasi pada telinga bagian luar (Jan et al.,
2006).
Paralisis otot muka pada RHS terjadi akibat inflamasi neural,
tekanan, dan destruksi dari nervus VII yang terjadi setelah reaktivasi dari
VZV yang hidup secara dorman di ganglion. Virus ini kemudian

21
bereplikasi dan menelusuri sepanjang akson nervus VII. Hal ini
menyebabkan cedera pada saraf. Cedera ringan menyebabkan neuropaksia
yang memperlambat konduksi impuls. Cedera berat akan menyebabkan
neurotmesisdi, di mana terjadi misregenerasi akson (Jan et al., 2006).
Untuk sindrom ramsay hunt diberikan obat kortikosteroid, biasanya
di gunakan prednisone 3 x 20 mg sehari. Setelah sembuh dosis diturunkan
secara bertahap (Toruan, 2006).
3 Kelainan pada mata
Komplikasi herpes zoster pada mata relatif tinggi terutama bila
mengenai nervus V (trigeminus). Apabila yang terserang adalah nervus
trigeminus cabang oftalmikus, dapat menyebabkan herpes zoster
oftalmikus (HZO) (Vittarina et al., 2002). Komplikasi HZO meliputi
kojungtivitis, keratitis, skleritis, uveitis, ptosis paralitik, korioretinitis, dan
neuritis optik (Djuanda, 2010).
Keratitis merupakan peradangan pada kornea yang ditandai dengan
mata memerah, berair, fotofobia, nyeri pada mata, dan jika akut dapat
timbul perasaan seperti tergores pada mata (Davey, 2002). Konjungtivitis
merupakan komplikasi yang paling sering pada HZO. Beberapa tandanya
adalah timbul edema, keluaran jerning, dan perdarahan pada konjungtiva.
Konjungtivitis dapat mempengaruhi reaksi pada pseudomembran,
membran, atau folikuler yang dapat menimbulkan adanya jaringan parut
(Wiggs et al., 2004).
Infeksi lain yang merupakan komplikasi HZO diantaranya adalah
skleritis. Skleritis adalah peradangan pada sklera (lapisan luar bola mata).
Gejala spesifiknya adalah merah, berair, perih, terlihat hiperemi
konjungtiva bulba (Suardi et al., 2007).
4 Paralisis motorik
Paralisis motorik merupakan hilangnya kontrol volunteer terhadap
kontraksi otot. Komplikasi ini terdapat pada 1-5% kasus herpes zoster.
Etiologinya adalah akibat penjalaran virus secara per kontinuitatum dari
ganglion sensorik ke sistem saraf yang berdekatan. Paralisis biasanya timbul
2 minggu setelah awal munculnya lesi. Paralisis dapat terjadi di muka,
diafragma, batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria, dan anus (Djuanda,
2010).

22
23
IV. PEMBAHASAN

Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSMS dengan keluhan


timbul lepuh-lepuh bergerombol di lengan kiri bagian atas sejak 4 hari yang
lalu. Lepuh berbentuk bulat dengan warna kemerahan dan berisi cairan
berwarna keruh dengan ukuran yang bervariasi. Pasien juga mengeluhkan
gatal, nyeri dan panas pada daerah tersebut. Keluhan lepuh berair disertai nyeri
dan gatal dirasakan terus menerus dan sangat hebat sehingga mengganggu
aktivitas pasien.
Sebelum muncul lepuh bergerombol, pasien mengaku mengalami
demam, nyeri kepala dan badan terasa pegal. Pasien tidak mengeluhkan adanya
keluhan kulit di bagian lain dan menyangkal adanya riwayat gigitan binatang
pada lesi atau kontak dengan benda tertentu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan vesikel berkelompok di atas kulit yang
eritem, distribusi unilateral sesuai dermatom T4 pada regio brakhialis sinistra.
Penegakan diagnosis dapat dimulai dari tahap anamnesis. Pasien akan
mengeluhkan gejala-gelaja prodromal. Gejala prodromal pada herpes zoster hanya
dapat didiagnosis secara akurat setelah ruam muncul, gejala prodromal ini tidak
jarang salah didiagnosis sebagai kondisi lain yang ditandai oleh nyeri pada
dermatom yang terkena imbasnya (misalnya angina, herpes simplex,
radiculopathy lumbal). Setelah ruam muncul, diagnosis menjadi jelas dan gejala
prodromal yang kemudian dapat dinilai secara retrospektif dengan menanyakan
pada pasien tentang ada tidaknya rasa nyeri pada daerah ruam sebelum ruam
muncul, durasi nyeri prodromal yaitu sudah berapa hari nyeri muncul sebelum
adanya ruam, kualitas spesifik rasa sakit prodromal, dan lain sebagainya.
Temuan pemeriksaan fisik utama adalah ruam dalam distribusi dermatomal
sepihak. Ruam mungkin eritematosa, makulopapular, vesikular, berjerawat, atau
krusta, tergantung pada stadium penyakit.

V. KESIMPULAN

24
1. Herpes zoster merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus
varicella-zoster.
2. Infeksi primer virus varicella-zoster bermanifestasi sebagai varisela (chicken
pox) yang umumnya menyerang anak-anak, sedangkan reaktivasi dari infeksi
laten menyebabkan herpes zoster (shingles).
3. Gejala klinis berupa gejala prodormal diikuti timbulnya ruam dalam distribusi
dermatomal sepihak. Ruam mungkin eritematosa, makulopapular, vesikular,
berjerawat, atau krusta, tergantung pada stadium penyakit
4. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah Tes Tzanck, Direct
Fluorescent Assay (DFA), kultur VZV,uji serologi, dan biopsi kulit.
5. Pengobatan terhadap herpes zoster terdiri dari tiga hal utama yaitu pengobatan
infeksi virus akut, pengobatan rasa sakit akut yang berkaitan dengan penyakit
tersebut, dan pencegahan terhadap neuralgia pascaherpes.

25
DAFTAR PUSTAKA

Arvin, A. 2005. Aging, immunity, and the varicella-zoster virus. N Engl J Med,
352:2266-2267.

Brooker, C. 2008. Ensiklopedia Keperawatan (Alih Bahasa : Andry Hartono).


Jakarta: EGC.

Daili S.F.; B. W. Indriatmi. 2002. Infeksi Virus Herpes. Jakarta : Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Davey, P. 2002. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.

Delaney A, Colvin LA, Fallon MT, et al. Postherpetic neuralgia: from preclinical
models to the clinic. Neurotherapeutics. Oct 2009;6(4):630-7.

Djuanda, A. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin: Edisi VI. Jakarta : Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Dworkin, R. H.; W. John; L. Anne; N. Srinivasa; E. Kenneth; J. Richard. 2008.


Diagnosis and Assessment of Pain Associated With Herpes Zoster and
Postherpetic Neuralgia. The Journal of Pain Vol 9, No 1 (January),
Supplement 1, 2008: pp S37-S44.

Fleckenstein J., Kramer S., Hoffroge P., Thoma S., Lang P. M., Lehmeyer L.,
Schober G. M., Pfab F., Ring J., Wiesenseel P., Schotten K. J., Mansmann
U., Irnich D. 2009. Acupuncture in acute herpes zoster pain therapy
(ACUZoster) design and protocol of a randomized controlled trial. BMC
Complementary and Alternative Medicine, 9 : 31

Harpaz R.; I.R. Ortega-Sanchez; J.F. Seward; 2008. Prevention of herpes zoster:
recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices
(ACIP). MMWR Recomm Rep. Jun 6 2008;57:1-30; quiz CE2-4.

Hasibuan, S. Penatalaksanaan Klinis Herpes Zoster Yang Melibatkan Mukosa


Mulut. Dentika Dental Journal, Vol 11, No. 2, 2006: 166-170.

Jan, A.M., Taylor P.M., Cameron M.L.C., dan George K.B. Unilateral Facial
Swelling Caused by Ramsay Hunt Syndrome Resembles Odontogenic
Infection. Journal Can Dent Assac, vol. 72(9): 829-831.

Kurniawan, M., Norberta D., dan Matheus T. 2009. Varicela Zoster pada Anak.
Medicinus, vol. 3(1): 23-28.

Lubis, R.D. 2008. Varicella dan Herpes Zoster. Medan: Departemen Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.

26
Madkan VK, Arora A, Babb-Tarbox M, Aboutlabeti S, Tyring S. 2007.
Valacyclovir 1,5 g Dua Kali Sehari untuk Terapi Herpes Zoster Tanpa
Komplikasi pada Pasien Imunokompeten Berusia 18 Tahun ke Atas. J
Cutan Med Surg 11(3):89-98.

Richard, T.; A. Banni; W.Yuwono et al. 2009. Penyakit Infeksi Dan


Lingkungannya. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.

Shim, H.J., Hoon J., Dong C.P., Jong H.L., dan Seung G.Y. 2011. Ramsay Hunt
Syndrome with Multicranial Nerve Involvement. Acta oto-laryngologica,
vol. 131(2): 210-215.

Smeltzer, S.C.; B.G. Bare; J.L. Hinkle; and K.H. Cheever. 2009. Brunner and
Suddarth's Textbook of Medical Surgical Nursing. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.

Suardi, M., Erjon, dan Khodijah. 2007. Kerasionalan Penggunaan Asiklovir pada
Salah Satu Poliklinik Kulit dan Kelamin di Sumatera Selatan. Jurnal
Farmasi Indonesia, vol. 3(4): 196-199.

Sumaryo, S. 2011. Prevention and Treatment of Post Herpetic Neuralgia to be


Travelling. Semarang: Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Toruan, R. L. 2006. Manajemen Hidup Sehat. Jakarta: PT. ELEX Media


Komputindo.

Vittarina, P., Alan R.T., dan Harjono A. 2002. Herpes Zoster Oftalmikus Sinistra
Diseminata dengan Infeksi Sekunder pada Anak. Sari Pediatri, vol. 4(3):
125-128.

Whitley, R. J. 2005. Varicella-Zoster Virus Infections. In D. Kasper et al., eds.


Harrison's Principles of Internal Medicine. 16th ed. New York: McGraw
and Hill Company.

Wiggs, J.L. et al. 2004. Myron Yanoff & Jay S. Duker Ophtalmology 3rd Edition.
China: Elsevier.

27

Anda mungkin juga menyukai