Nabi saw. ber-itikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau
wafat. Kemudian istri-istri beliau ber-itikaf sepeninggal beliau (HR al-Bukhari,
Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dan Ahmad).
Bahkan saat Nabi saw. tidak bisa ber-itikaf karena melakukan safar selama
Ramadhan, beliau ber-itikafselama dua puluh hari pada Ramadhan
berikutnya. Ini menunjukkan bahwa itikaf merupakan taqarrub, yakni ibadah.
Ibadah itu bisa fardhu atau sunnah. Itikaf adalah ibadah sunnah. Abu Said al-
Khudzri menuturkan, Rasulullah saw. bersabda, Aku ber-itikaf sepuluh hari
pertama mencari malam ini (Lailatul Qadar). Lalu aku ber-itikaf sepuluh hari
pertengahan. Kemudian aku didatangi dan dikatakan kepadaku bahwa itu di
sepuluh hari terakhir. Karena itu, siapa di antara kalian yang suka (mau) ber-
itikaf hendaklah ia ber-itikaf. Abu Said berkata, Lalu orang-orang ber-
itikaf bersama beliau. (HR Muslim, al-Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai
dan Malik).
Rasul saw menyandarkan pelaksanaan itikaf itu kepada kesukaan (kemauan)
orang-orang. Ini menunjukkan bahwa itikaf hukumnya sunah. Sebab jika wajib,
niscaya tidak akan disandarkan pada kemauan orang.
Itikaf dilakukan di masjid. Dalam hal ini tidak ada perbedaan, di masjid manapun
seorang Muslim boleh ber-itikaf. (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 187)
Selain itu banyak hadis yang menyebutkan bahwa Nabi saw. ber-itikaf hanya di
masjid. Abu Said al-Khudzri menuturkan, Rasul saw. pernah bersabda, Aku
diperlihatkan Lailatul Qadar, tetapi aku dilupakan (waktu persisnya). Karena itu,
carilah di sepuluh hari terakhir pada malam ganjil. Aku diperlihatkan bahwa aku
sujud di atas air dan tanah. Maka dari itu, siapa saja yang telah ber-itikaf
bersama Rasulullah saw. hendaklah kembali (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad,
Malik, Ibn Hibban dan al-Baihaqi).
Jika itikaf itu tidak harus di masjid, niscaya Nabi saw. tidak menyuruh para
Sahabat untuk kembali ke masjid. Semua ini menunjukkan bahwa
tempat itikaf itu di masjid. Kata al-masjid atau al-masjid dalam hadis-hadis
tentang itikaf merupakan kata umum, dan tidak ada nas yang mengkhususkan
masjid tertentu saja. Karena itu, itikaf boleh dilakukan di masjid mana saja,
selama itu adalah masjid.
Waktu Itikaf
Tentang waktu untuk ber-itikaf, tidak ada nas yang membatasi waktunya. Waktu
untuk itikaf itu adalah sepanjang tahun, baik di bulan Ramadhan maupun di luar
Ramadhan. Aisyah ra. Meriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah ber-itikaf sepuluh
hari di bulan Syawal, yakni di akhir Syawal (riwayat al-Bukhari), atau awal Syawal
(riwayat Muslim). Umar ra. pernah bercerita kepada Nabi ra. bahwa ia pernah
ber-nadzarsemasa Jahiliah untuk ber-itikaf semalam di Masjid al-Haram. Nabi
saw. lalu bersabda, Penuhi nadzar-mu! (HR al-Bukhari). Di sini Nabi saw. tidak
membatasi waktunya, artinya itikaf boleh malam apa saja sepanjang
tahun. Memang, Nabi saw. mendawamkan ber-itikaf di sepuluh hari terakhir
Ramadhan. Itu sekadar menunjukkan keutamaannya. Itikaf sendiri sah dilakukan
kapan saja sepanjang tahun, hanya saja di bulan Ramadhan itu lebih utama, dan
yang paling utama adalah di sepuluh hari terakhir Ramadhan untuk mencari
Lailatul Qadar. Karena itu, hendaknya seorang Muslim bersungguh-sungguh
untuk bisa ber-itikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan, terutama untuk mencari
keutamaan Lailatul Qadar.
Nabi saw. pernah ber-itikaf di bulan Syawal, dan itu bukan bulam puasa. Nabi
saw. juga hanya menyuruh Umar ra. agar memenuhi nadzar itikaf-nya tanpa
menyebutkan harus berpuasa. Jadi, shaum bukan syaratitikaf.
Itikaf juga boleh dimulai kapan saja. Tidak ada nas yang menentukan waktu
untuk memulai itikaf. Memang ada penuturan Aisyah ra., Rasulullah saw., jika
ingin ber-itikaf, menunaikan shalat subuh, lalu masuk ke tempat itikaf beliau.
(HR Muslim, an-Nasai, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad). Hadis ini
hanya menjelaskan fakta itikaf yang dilakukan Nabi saw. Di dalamnya tidak ada
penentuan waktu; juga tidak ada larangan untuk memulai itikaf di waktu
lainnya.
Tentang berapa lama waktu itikaf, tidak ada nas yang menentukan batasan
jangka waktunya. Karena itu, lamanya ber-itikaf kembali pada kemutlakannya.
Untuk batas maksimalnya, para ulama sepakat bahwa tidak ada batas maksimal
jangka waktu itikaf. Sedangkan untuk batas minimal, maka batas minimalnya,
adalah jangka waktu yang bisa disebut al-labtsu (diam). Imam asy-Syafii, Ahmad
dan Ishaq ibn Rahuwaih mengatakan, bahwa minimal adalah apa yang
disebut al-labtsu (diam) dan tidak disyaratkan duduk. Abdurrazaq meriwayatkan,
Yala bin Umayyah ra.seorang Sahabatberkata, Mari pergi bersama kami ke
masjid lalu kita beritikaf di dalamnya sesaat.
Itikaf Wanita
Wanita sah ber-itikaf. Tempatnya adalah di masjid, terpisah dari laki-laki. Jika ia
bersuami, maka itikaf-nya harus atas izin suaminya. Ia boleh ber-itikaf bersama
suaminya ataupun tidak, asal itikaf-nya itu atas izin suaminya. Namun, ia tidak
boleh ber-itikaf, jika dia punya suami atau anak yang masih kecil yang tidak ada
yang merawat/melayani mereka, sebab hal itu adalah wajib bagi dirinya,
sementara itikafadalah sunnah. Jika keduanya berbenturan, yang wajib tentu
harus dikedepankan. WalLh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman].
Hukum-Hukum Seputar Ibadah Shaum
Siapa saja di antara kalian yang melihat hilal bulan Ramadhan, maka
berpuasalah. (QS al-Baqarah [2]: 185).
Dalil shaum juga didasarkan pada hadis penuturan Ibn Umar ra. yang
menyatakan:
:
:
Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda, Islam itu dibangun di atas lima
perkara: kesaksian bahwa tidak Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad
adalah utusan Allah; mendirikan shalat; menunaikan zakat; beribadah haji; dan
shaum Ramadhan. (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Shaum wajib Bagi yang Balig dan Berakal
Karena itu, secara pasti shaum merupakan kewajiban setiap Muslim yang telah
balig dan berakal. Dalam hal ini, anak-anak dan orang gila tidak wajib untuk
berpuasa. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw.:
:
Telah diangkat pena (taklif hukum) atas tiga orang: dari anak kecil hingga balig;
dari orang yang tidur hingga dia bangun; dan dari orang gila hingga ia
waras. (HR Abu Dawud).
Wanita Haid dan Nifas Tidak Wajib Puasa
Wanita haid dan nifas juga tidak wajib berpuasa, karena puasa bagi mereka
adalah tidak sah. Jika mereka telah suci dari haid maka mereka wajib meng-
qadha puasa yang ditinggalkannya. Ketentuan ini didasarkan pada hadis
penuturan Aisyah ra. yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
Karena haid, kami telah diperintahkan untuk meng-qadha shaum, tetapi kami
tidak diperintahkan untuk meng-qadha shalat. (HR Muslim, an-Nasai, Abu
Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
Siapa Yang Diwajibkan Mambayar Fidyah ?
Siapa saja yang tidak kuasa untuk berpuasa karena suatu kondisi tertentu,
seperti orang yang sudah sangat tua/lanjut usia, yang menjadikan shaum
baginya sangat berat, lalu orang yang sakit yang penyakitnya tidak mungkin
disembuhkan, maka mereka juga tidak wajib untuk berpuasa; tetapi mereka
wajib untuk membayarfidyah sebagai gantinya. Ketetapan ini didasarkan pada
firman Allah SWT:
Tidaklah Allah menjadikan di dalam agama ini suatu hal yang berat/kesempitan
bagi kalian. (QS al-Hajj [22]: 78).
Allah SWT juga berfirman:
Bagi orang-orang yang menanggung beban berat dalam berpuasa, mereka wajib
memberikan fidyah, yakni memberi makan orang miskin. (QS al-Baqarah [2]:
184).
Ada juga hadis penuturan Ibn Abbas bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
Siapa saja yang telah mencapai usia lanjut, lalu dia tidak kuasa untuk
melaksanakan puasa Ramadhan, maka ia wajib untuk mengeluarkan satu mud
gandum setiap hari. (HR al-Baihaqi dan ad-Daruquthni).
Ibn Umar ra. juga menuturkan hadis:
Jika seseorang lemah dalam melaksanakn shaum, hendaknya ia memberikan
makan kepada orang miskin satu mud setiap hari. (HR al-Baihaqi dan ad-
Daruquthni).
Dari Anas ra. juga dikatakan:
Ia tidak berdaya untuk melaksanakan shaum sepanjang tahun sebelum
wafatnya, lalu ia berbuka dan memberi makan makan orang miskin. (HR ath-
Thabrani dan al-Haitasmi).
Siapa Yang diwajibkan Qodho Puasa ?
Jika seseorang tidak kuasa untuk berpuasa karena sakit dan ia khawatir sakitnya
bertambah parah, ia juga tidak wajib untuk berpuasa, karena di dalamnya ada
rasa berat sehingga dia boleh berbuka. Kemudian, jika dia sembuh maka dia
wajib untuk meng-qadha-nya. Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah SWT:
Siapa saja di antara kalian yang sakit, atau dalam perjalanan, maka hendaknya
ia mengganti puasanya pada hari yang lain sejumlah yang ditinggalkannya. (QS
al-Baqarah [2]: 184).
Jika seseorang sedang berpuasa, lalu ia jatuh sakit, ia boleh berbuka, karena
keadaan sakit memang membolehkan seseorang yang berpuasa untuk berbuka.
Bagaimana Shaum Bagi yang Safar (melakukan Perjalanan ) ?
Sementara itu, berkaitan dengan seorang musafir, jika safar yang dilakukannya
tidak mencapai empat baridatau 80 kilometer, ia wajib tetap berpuasa; ia tidak
boleh berbuka. Alasannya, karena safar/perjalanan yang menghasilkan
adanya rukhshah (keringanan) untuk berbuka adalah safar syari (bukan semata-
mata safar,peny.), yakni empat barid, yang setara dengan 80 km. Jika seorang
musafir melakukan safar sejauh 80 km atau lebih maka ia boleh untuk tetap
berpuasa dan boleh juga berbuka. Ketentuan ini didasarkan pada hadis
penuturan Aisyah ra.:
`
:
:
Sesungguhnya Hamzah bin Amr al-Islami pernah bertanya kepada Rasulullah
saw., Wahai Rasulullah, Perlukah aku berpuasa di dalam perjalanan? Lalu
Rasulullah saw. bersabda, Jika engkau mau, berpuasalah. Jika engkau mau,
berbukalah. (HR al-Bukhari, Muslim, dan Ashab as-Sunan).
Berpuasa Bagi Yang Safar Lebih Utama ?
Bagi musafir yang puasanya tidak menjadikan dirinya merasa berat/sempit maka
tetap berpuasa adalah lebih utama. Sebab, Allah SWT telah berfirman:
Berpuasa itu adalah lebih baik bagi kalian. (QS al-Baqarah [2]: 184).
Sebaliknya, jika puasanya ternyata telah membebani dirinya, maka dia lebih
utama untuk berbuka. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Jabir ra. sebagai
berikut:
:
:
.
:
Dalam sebuah perjalanan Rasulullah saw. pernah melewati seorang laki-laki
yang sedang berteduh di bawah pohon sambil menyiramkan air ke tubuhnya.
Beliau lalu bertanya, Mengapa orang ini? Para Sahabat menjawab, Dia sedang
berpuasa. Mendengar itu, Beliau kemudian bersabda, Tidak baik berpuasa
dalam perjalanan. (HR an-Nasai).
Bagaimana Qodho Wanita Hamil ?
Adapun wanita hamil dan menyusui, mereka boleh untuk berbuka, lalu meng-
qadha-nya di luar bulan Ramadhan, baik karena ia khawatir atas dirinya,
khawatir atas dirinya dan bayinya, atau semata-mata khawatir atas bayinya;
atau bahkan ia tidak memiliki kekhawatiran apapun. Pasalnya, kebolehan wanita
hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa semata-mata didasarkan pada
statusnya sebagai wanita hamil dan menyusui, tanpa memandang apakah yang
bersangkutan memiliki kekhawatiran ataukah tidak (akan kondisi dirinya dan
bayinya, peny.). Ketentuan ini didasarkan pada apa yang telah dikukuhkan oleh
hadis Nabi saw. dalam Ash-Shahihayn, sebagaimana dituturkan oleh Anas bin
Malik al-Kabi. Ia mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan keringanan bagi musafir dalam
shaum dan sebagian shalatnya, sementara keringanan bagi wanita hamil dan
menyusui adalah dalam shaumnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Hadis di atas tidak memberikan batasan tertentu terkait dengan kebolehan
seseorang untuk tidak berpuasa. Hadis tersebut bahkan menyebutkan kebolehan
itu secara mutlak bagi wanita hamil dan menyusui, semata-mata karena
statusnya sebagai wanita hamil dan menyusui.
Lalu terkait dengan kewajiban wanita hamil dan menyusui untuk meng-
qadha shaum yang ditinggalkannya, hal itu didasarkan pada alasan bahwa
mereka memang wajib untuk berpuasa. Ketika mereka memutuskan untuk tidak
berpuasa, maka puasa menjadi utang bagi mereka, yang tentu wajib dibayar
dengan cara di-qadha. Ketetapan ini didasarkan pada hadis penuturan Ibn
Abbas ra. yang menyatakan:
:
:
: . :
Seorang wanita pernah berkata kepada Rasulullah saw., Wahai Rasulullah saw.,
ibuku telah meninggal, sementara ia masih memiliki kewajiban berpuasa nadzar.
Perlukah aku berpuasa untuk membayarkannya? Rasul menjawab, Bagaimana
pendapatmu seandainya ibumu memiliki utang, lalu engkau membayarnya,
apakah hal itu dapat melunasi utangnya? Wanita itu menjawab, Tentu saja.
Rasul lalu bersabda, Karena itu, berpuasalah engkau untuk membayar utang
puasa ibumu.(HR Muslim).
Kemudian, tidak adanya kewajiban atas wanita hamil dan menyusui untuk
membayar fidyah, hal itu karena dalam hal ini memang tidak ada nash yang
menunjukkannya.
Bagaimana Keharusan merukyat hilal bulan Ramadhan.?
Shaum Ramadhan hanya diwajibkan atas kaum Muslim saat sudah terlihat hilal
(bulan sabit tanggal 1) bulan Ramadhan. Jika pada saatnya hilal Ramadhan
terhalang dari pandangan manusia, maka kaum Muslim wajib menggenapkan
bilangan bulan Syaban (menjadi 30 hari), lalu besoknya mereka harus sudah
mulai berpuasa.Ketentuan ini didasarkan pada hadis penuturan Ibn Abbas ra.
bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
:
Berpuasalah kalian karena merukyat hilal dan berbukalah kalian (mengakhiri
puasa Ramadhan, peny.) juga karena melihat hilal (bulan sabit tanggal 1 Syawal,
peny.). Jika hilal terhalang dari pandangan kalian maka genapkanlah bilangan
bulan Syaban. Janganlah kalian kalian menyambut bulan itu (dengan
berpuasa, peny.). (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ahmad,
dan ad-Darimi).
Haruskah Shaum didahului niat ?.
Shaum Ramadhan, sebagaimana juga shaum-shaum lainnya, hanya dipandang
absah jika didahului dengan niat. Dasarnya adalah sabda Nabi saw.:
Sesungguhnya amal ibadah itu bergantung pada niatnya. (HR Muslim).
Niat wajib dilakukan setiap hari selama bulan Ramadhan. Pasalnya, shaum pada
masing-masing hari merupakan ibadah yang berdiri sendiri, yang waktunya
dimulai dari terbit fajar dan diakhiri saat matahari terbenam. Shaum pada hari ini
tidak bisa ikut-ikutan rusak oleh rusaknya puasa pada hari-hari sebelumnya
maupun hari-hari sesudahnya. Karena itulah, tidak cukup satu niat untuk
berpuasa sebulan penuh. Akan tetapi, niat harus dilakukan setiap hari.
Kapan Niat Dilakukan
Sahum Ramadhan ataupun shaum-shaum wajib lainnya tidak sah dilakukan jika
niatnya baru dilakukan siang hari. Niat shaum wajib dilakukan pada malam hari.
Ketentuan ini didasarkan pada hadis penuturan Hafshah:
:
Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah bersabda, Siapa saja yang tidak berniat
puasa pada malam hari maka tidak ada puasa baginya. (HR an-Nasai dan
ad-Darimi).
Niat boleh dilakukan pada bagian malam manapun sejak terbenamnya matahari
hingga terbitnya fajar karena seluruhnya termasuk bagian dari malam hari.
Bagaimana Dengan Niat Shaum Sunnah ?
Adapun niat shaum sunnah boleh dilakukan setelah terbit fajar sebelum matahari
tergelincir. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Aisyah ra.:
:
:
.
:
Sesungguhnya Nabi saw. pernah bertanya, Apakah pagi ini ada sesuatu
(makanan) untuk kalian makan? Aisyah menjawab, Tidak ada. Nabi saw.
kemudian berkata, Kalau begitu, aku akan berpuasa saja. (HR Ahmad).
Niat shaum Ramadhan juga harus ditentukan. Artinya, seseorang yang hendak
berpuasa harus menyatakan diri bahwa ia memang berniat untuk shaum
Ramadhan pada hari itu, karena ia merupakan bentuk taqarrubkepada Allah
yang terkait dengan waktu pelaksanaannya. Hanya saja, niat tidak mesti
dinyatakan secara verbal, tetapi cukup dengan adanya maksud di dalam kalbu.
Niat juga hanya dianggap sah jika secara pasti dimaksudkan untuk
melaksanakan shaum Ramadhan pada hari tertentu karena menentukan niat
pada masing-masing hari adalah wajib.
Kapan Waktu pelaksanaan shaum?.
Waktu pelaksanaan shaum dimulai sejak terbit fajar, yakni fajar shdiq (waktu
subuh) dan diakhiri dengan terbenamnya matahari (saat magrib). Hal ini
didasarkan pada hadis penuturan Umar ra:
:
Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda, Jika malam telah datang dari sini,
siang telah berakhir dari sini, dan matahari pun sudah tenggelam, maka orang-
orang yang berpuasa berbuka saat itu. (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi,
Abu Dawud dan Ahmad).
Allah SWT juga berfirman:
(
Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian putih-hitamnya sang fajar,
lalu sempurnakanlah shaum hingga tiba waktu malam. (QS al-Baqarah [2]:
187).
Jika seseorang yang sedang berpuasa makan dan minum, sementara dia ingat
bahwa dia sedang berpuasa, dan dia pun tahu bahwa makan-minum itu haram
saat puasa, maka batallah puasanya, karena ia melakukan perkara yang dilarang
dalam puasa tanpa ada uzur.
Bagaimana Meneteskan Obat Ke Dalam Hidung ?
Jika orang yang sedang berpuasa meneteskan obat ke dalam hidung atau
memasukkan air ke lubang telinganya hingga sampai ke otaknya, batallah
puasanya. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Luqaith bin Shabrah ra. yang
menyatakan:
:
.
:
Aku berkata, Wahai Rasulullah saw., beritahulah aku tentang cara berwudhu.
Beliau bersabda, Sempurnakanlah wudhu, renggangkalah jari-jemari,
optimalkanlah menghirup air lewat hidung (ber-istinsyq), kecuali jika engkau
sedang berpuasa. (HR at-Tirmidzi, an-Nasai, Abu Dawud, Ibn Majah dan
Ahmad).
Berkaitan dengan hadis di atas, pemahaman kebalikan (mafhm mukhlafah)-
nya adalah larangan untuk tidak secara optimal (banyak-banyak) ber-
istinsyq saat berpuasa hingga tidak ada sedikit pun air yang sampai ke otak. Ini
berarti, adanya air yang sampai ke otak adalah haram bagi orang yang berpuasa
dan membatalkan puasanya. Makan, minum, menghirup sesuatu melalui hidung,
dan meneteskan air ke dalam lubang telinga pengertiannya meliputi
memasukkan apa saja; baik yang biasa dimakan dan diminum seperti nasi, air,
tembakau, dan sejenisnya; ataupun yang biasa diteteskan melalui hidung,
telinga, dan sejenisnya. Semua ini membatalkan puasa.
Bagaimana Hubungan Suami Istri Saat Shaum ?
Orang yang sedang berpuasa juga dilarang melakukan hubungan suami-istri. Hal
ini didasarkan pada firman Allah SWT:
Sekarang, campurilah mereka. (QS al-Baqarah [2]: 187).
Ayat ini menunjukkan, bahwa mencampuri istri tidak dibolehkan sebelum
sekarang ini, yakni pada siang hari bulan Ramadhan. Apabila yang dicampuri itu
kemaluan maka batallah puasa. Jika yang dicampurinya selain kemaluan, atau
sekadar mencium tetapi sampai membuat keluar air mani (sperma), maka batal
pula puasa seseorang; tetapi jika tidak sampai membuat keluar sperma maka
puasanya tidak batal. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Jabir ra. sebagai
berikut:
: .
:
Aku pernah mencium (istriku) saat sedang berpuasa. Aku lalu menjumpai Nabi
saw., kemudian bertanya, Aku telah mencium (istriku), sementara aku sedang
berpuasa. Rasul saw. lalu bersabda, Bagaimana pendapatmu jika engkau
berkumur pada waktu engkau berpuasa? (HR Ahmad).
Dalam hadis ini. Nabi saw. telah menyerupakan
aktivitas mencium dengan berkumur; jika air sampai tertelan, batallah puasa
seseorang; sedangkan jika tidak maka puasanya tidak menjadi batal. Demikian
pula halnya dengan mencampuri istri pada selain kemaluan atau sekadar
menciumnya.
Batalkah Orang Yang Sengaja Muntah ?
Jika seorang yang sedang berpuasa dengan sengaja membuat dirinya muntah
maka batallah puasanya. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Hurairah
ra.:
:
Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda, Siapa saja yang telah memancing
dirinya agar muntah dengan sengaja, ia wajib meng-qadha puasanya. Siapa saja
yang muntah (tanpa disengaja), ia tidak wajib mengqadha puasanya.' (HR at-
Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
Bagaimana Kalau Lupa ?
Semua hal di atas jika dilakukan/terjadi dengan catatan, yakni jika orang yang
berpuasa melakukannya dengan sengaja. Adapun jika ia melakukakannya karena
lupa maka puasanya tidak menjadi batal. Hal ini didasarkan pada hadis
penuturan Abu Hurairah ra. yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah
bersabda:
Siapa saja yang berbuka pada bulan Ramadhan karena lupa, ia tidak wajib
meng-qadha dan tidak wajib pula membayar kafarah. (HR at-Tirmidzi).
Ketentuan di atas juga dirdasarkan pada hadis riwayat al-Bukhari dari Nabi saw.
yang pernah bersabda:
Jika seseorang yang sedang berpuasa lupa sehingga dia makan atau minum
maka sempurnakanlah (lanjutkanlah) puasanya. Sebab, itu hanyalah kehendak
Allah yang (dengan sengaja) telah memberinya makan dan minum. (HR al-
Bukhari Muslim, Ibn Majah dan Ahmad).
Bagaimana Melakukan Hubungan Suami Istri Padahal Sudah Terbit Fajar
?
Jika seseorang makan atau melakukan hubungan suami-istri dengan alasan
karena dia menduga bahwa fajar belum terbit, padahal ternyata fajar telah
terbit, atau ia mengira bahwa matahari telah terbenam, padahal matahari belum
terbenam, maka batallah puasanya dan ia wajib meng-qadha-nya. Ketetapan ini
didasarkan pada hadis penuturan Hanzhalah ra. yang mengatakan:
.
Saat kami berada di Madinah pada bulan Ramadhan, ketika langit dalam
keadaan berawan, kami mengira matahari telah terbenam. Lalu sebagian orang
berbuka. Karena itu, Umar ra. menyuruh agar orang yang terlanjur berbuka
untuk berpuasa pada hari lain sebagai penggantinya. (HR al-Baihaqi dan al-
Haitsami).
Ketetapan ini juga didasarkan pada hadis penuturan Hisyam bin Urwah dari
Fathimah, istrinya, dari Asma yang mengatakan:
: .
: .
Pada masa Rasulullah saw. kami pernah berbuka saat langit dalam keadaan
mendung, kemudian matahari masih tampakt. Kepada Hisyam dikatakan,
Mereka disuruh meng-qadha puasa. Dia lalu berkata, Tentu saja harus meng-
qadha puasa. (HR al-Bukhari, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
Bagaimana Orang yang Berbuka Tanpa Uzur ?
Siapa saja yang berbuka pada siang hari bulan Ramadhan tanpa uzur, ia wajib
meng-qadha puasanya. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi saw.:
Siapa saja yang memancing dirinya agar muntah, ia wajib meng-qadha-
nya. (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
Nabi saw. juga pernah bersabda:
Utang kepada Allah lebih layak untuk dibayar. (HR Muslim).
Bagaimana yang melakukan hubungan suami istri tanpa uzur ?
Adapun orang yang berbuka karena melakukan hubungan suami-istri tanpa uzur,
maka di samping wajib meng-qadha puasanya, ia juga wajib membayar kafarah.
Pasalnya, Nabi saw. sendiri telah menyuruh orang yang menyetubuhi istrinya
pada siang hari bulan Ramadhan agar meng-qadha puasanya. Hal ini didasarkan
pada hadis penuturan Abu Hurairah ra.:
: : . :
: . : : .
. :
:
.
:
: . :
: ,
Seorang laki-laki pernah menjumpai Nabi saw. Ia lalu berkata, Celakalah aku,
wahai Rasulullah! Rasul kemudian bertanya, Apa yang telah mencelakaknmu?
Dia menjawab, Aku telah bersetubuh dengan istriku saat siang hari pada bulan
Ramadhan. Beliau bertanya lagi, Apakah engkau memiliki harta yang dapat
memerdekakan hamba sahaya? Dia menjawab, Tidak. Beliau bertanya lagi,
Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut? Dia menjawab,
Tidak. Beliau bertanya lagi, Apakah engkau memiliki harta yang bisa memberi
makan kepada enam puluh orang miskin? Dia menjawab, Tidak juga.
Kemudian dia duduk, sementara Nabi saw. datang dengan membawa bakul besar
yang penuh dengan kurma. Setelah itu, Nabi saw. bersabda, Bersedekalah
engkau dengan kurma ini! Namun, orang itu berkata, Apakah kepada orang
yang paling fakir di antara kami? Sungguh, tidak ada di daerah kami penduduk
yang lebih membutuhkan kurma ini daripada kami sekeluarga. Mendengar itu,
Nabi saw. tertawa hingga gigi taringnya tampak. Beliau kemudian bersabda,
Kalau begitu, pulanglah. Lalu beri makanlah keluargamu dengan kurma
ini! (HR Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
Inilah kafarah wajib yang harus ditunaikan oleh orang yang berbuka pada siang
hari bulan Ramadhan dengan menggauli istrinya secara sengaja.
Bagaimana Hukum Makan Sahur ?
Orang yang berpuasa disunnahkan untuk makan sahur. Hal ini didasarkan pada
hadis penuturan Anas ra.:
:
Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda, Makan sahurlah kalian karena dalam
sahur itu terkandung berkah. (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-
Nasai, Ibn Majah, Ahmad dan ad-Darimi).
Apa Sunnah Berbuka ?
Orang yang berpuasa juga disunnahkan berbuka dengan makan kurma. Jika
kurma tidak ada, ia disunnahkan berbuka dengan minum air. Hal ini didasarkan
pada hadis penuturan Salman bin Amir yang mengatakan:
:
Rasulullah saw. pernah bersabda, Jika seseorang di antara kalian berbuka,
berbukalah dengan kurma; jika ia tidak mendapatkannya, berbukalah dengan air
karena air itu suci. (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad dan
ad-Darimi).
Bagaimana Sunnah Doa Berbuka ?
Selanjutnya, saat berbuka puasa seseorang disunnahkan untuk membaca doa
berikut:
Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan berkat rezeki-Mu aku berbuka.
Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Hurairah ra. yang mengatakan:
:
Rasulullah saw. itu, jika berpuasa, lalu berbuka, Beliau biasa mengucapkan, Ya
Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dan berkat rezeki-Mu aku berbuka. (HR Abu
Dawud).
Orang yang berpuasa Ramadhan juga disunnahkan untuk menyambung
puasanya dengan puasa enam hari pada bulan Syawal. Hal ini didasarkan pada
hadis penuturan Abu Ayyub ra. berikut:
:
Rasulullah saw. pernah bersabda, Siapa saja yang berpuasa pada bulan
Ramadhan, kemudian menyambungnya dengan berpuasa enam hari pada bulan
Syawal, maka ia seperti telah berpuasa sepanjang tahun. (HR Muslim).
Pada hari Arafah, selain jamaah haji disunnahkan berpuasa. Hal ini didasarkan
pada hadis penuturan Abu Qatadah ra.:
:
Rasulullah saw. pernah bersabda, Puasa Asyura adalah kafarah (dari dosa) satu
tahun. Puasa Arafah adalah kafarah (dari dosa) dua tahun; satu tahun
sebelumnya dan satu tahun berikutnya. (HR Ahmad).
Puasa Asyura disunnahkan berdasarkan hadis Abu Qatadah di atas. Disunnahkan
pula puasa pada hari sebelum Asyura, yakni tanggal sembilan Muharram. Hal ini
didasarkan pada hadis penuturan Ibnu Abbas ra.:
:
Rasulullah saw. pernah bersabda, Andai aku masih hidup sampai tahun depan,
niscaya aku akan berpuasa pada tanggal sembilan (bulan Muharram). (HR Ibn
Majah dan Ahmad).
Dalam hadis riwayat Muslim, hadis di atas ditambah dengan kalimat berikut:
Tahun depan belum juga tiba, Rasulullah saw. telah terlebih dulu wafat. (HR
Muslim).
Hari Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram dan hari Tasua adalah
hari kesembilan dari bulan tersebut.
Disunnahkan pula untuk berpuasa pada hari-hari putih (al-baydh), yakni puasa
tiga hari pada tiap-tiap bulan. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu
Hurairah ra. sebagai berikut:
Kekasihku (Rasulullah) saw. pernah berwasiat kepadaku agar berpuasa tiga hari
pada setiap bulan.(HR Muslim, an-Nasai, Abu Dawud dan Ahmad).
Puasa tiga hari ini boleh dilakukan pada hari apa saja tanpa harus ditentukan.
Hanya saja, yang dianggap utama adalah pada tanggal 13, 14 dan 15. Hal ini
didasarkan pada hadis penuturan Abu Dzarr ra.:
:
Rasulullah saw pernah bersabda, Jika engkau berpuasa tiga hari dalam sebulan,
berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15. (HR at-Tirmidzi dan Ahmad).
Ketetapan di atas juga didasarkan pada hadis penuturan Jarir bin Abdillah dari
Nabi saw. yang pernah bersabda:
Puasa tiga hari pada setiap bulan adalah puasa sepanjang tahun, yakni puasa
hari-hari putih, adalah: tanggal 13, 14, dan 15. (HR Muslim, an-Nasai, Ahmad
dan ad-Darimi).
Disunnahkan pula untuk berpuasa pada hari Senin dan Kamis. Hal ini didasarkan
pada hadis penuturan Aisyah ra. yang mengatakan:
Sesungguhnya Nabi saw. telah memilih waktu untuk berpuasa pada hari Senin
dan Kamis. (HR at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ahmad).
Tiga orang yang tidak akan ditolak doanya: Imam yang adil, orng yang
berpuasa hingga ia berbuka dan dan orag orang yang didzalimi. Doanya
diangkat ke awan dan dibukakan baginya pintu langit dan Tuhan azza wa jalla
berfirman: demi kemuliaanku saya pasti menolong engkau setelah ini. (H.R.
Ahmad. Menurut al-Arnauth shahih, ibnu Hibban, al-Baihaqy)
5. Puasa merupakan metode yang efektif untuk meredam gejolak syahwat.
Dari Alqamah ia berkata: ketika saya berjalan bersama Abdullah r.a. ia berkata:
Kami bersama Rasulullah saw lalu beliau bersabda: Barangsiapa diantara kalian
yang sanggup maka menikahlah karena ia dapat menundukkan pandangan dan
menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu maka hendaknya ia
berpuasa karena ia merupakan wij. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, an-Nasai
dan at-Tirmidzy). Wijartinya mengekang testis atau mengekang pembuluh
darahnya sehingga menahan syahwat.
Keutamaan Bulan Ramadlan
Berikut sejumlah riwayat yang menggambarkan keutamaan khusus dari bulan
Ramadlan dan pelaksanaan ibadah puasa di dalamnya.
.
Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Apabila masuk bulan
Ramadlan pintu rahmat dibuka, pintu neraka ditutup dan setan-setan
dibelenggu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Nawawy mengatakan: Menurut Qadhy Iyyad rahimahullah hadits ini
bermakna lahir dan hakikat. Makna hakekatnya adalah pintu surga dibuka, pintu
neraka ditutup dan setan dibelenggu merupakan tanda masuknya bulan
Ramdlan dan besarnya penghormatan atas bulan tersebut. Belenggu atas setan
adalah mereka tercegah untuk menyakiti dan memperngaruhi orang-orang
beriman. Makna Majaz hadits tersebut adalah isyarat atas banyaknya pahala dan
pengampunan dan setan memiliki sedikit peluang untuk menggoda dan
menghinakan kaum mumin. dengan demkian mereka seperti terbelenggu dan
belenggu mereka adalah sesuatu yang lain dan manusia. Pendapat ini dikuatkan
oleh hadits di atas bahwa pintu rahmat dibuka dan dalam riwayat yang lain
dikatakan kedurhakaan mereka dibelenggu. Al Qadli berkata: maksud pintu
neraka dibuka adalah Allah membukakan bagi hamba-Nya berbagai ketaatan di
bulan ini yang tidak terjadi dibulan lain secara umum seperti puasa, shalat
malan dan berbagai kebaikan lainnya serta mencegah dari berbagai
pelanggaran. Dan hal tersebut menjadi sebab masuknya seseorang ke dalam
surga dan pintunya demikian pula penutupan pintu neraka dan belenggu atas
setan merupakan ungkapan atas tercegahnya seseorang dari berbagai
pelanggaran.[v]
- -
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: Shalat lima waktu dan
jumat ke Jumat berikutnya, Ramadlan ke Ramadlan berikutnya menghapus
dosa (seseorang) di antara waktu tersebut selama ia menjauhi dosa-dosa
besar. (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Amat hinalah orang
disebut namaku di sisinya namun ia tidak bershalawat atasku. Hina pula orang
yang memasuki bulan Ramadlan lalu keluar namun (dosanya) belum diampuni
dan hina pula orang yang mendapati orang tuanya dalam keadaan tua namun
tidak menjadikannya masuk ke dalam surga. (HR. at-Tirmidzy, Ahmad, Ibnu
Khuzaimah dan al-Hakim. Menurut at-Trmidzy hadits ini hasan gharib).
:
.
Abu Hurairah berkata kepada mereka: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa
yang berpuasa dengan keimanan dan mengharap pahala dari Allah maka
(dosanya) yang lalu akan diampuni dan barangsiapa yang menunaikan shalat
malam pada malam lailatul qadar dengan keimanan dan mengharap pahala dari
Allahmaka diampuni dosanya yang telah lalu. (HR. Muslim)
Makna imnan pada hadits tersebut menurut an-Nawawy adalah pembenaran
bahwa ia benar-benar bermaksud memperoleh kemuliaannya.
Sementara ihtisban berarti ia hanya menginginkan Allah semata dan bukan
dimaksudkan untuk riya kepada manusia dan hal-hal lain yang bertentangan
dengan sifat-sifat ikhlas. Maksud dari qiyamu ramadhan adalah melaksanakan
shalat tarawih yang telah disepakati oleh para ulama tentang kesunnahannya.
[vi] Hal senada dinyatakan oleh Ibnu Hajar bahwa al-imn pada hadits tersebut
bermakna keyakinan terhadap kebenaran wajibnya puasa dan al-
ihtisb bermakna mengharap pahala dari Allah swt.[vii]
Selain itu pelaksanaan ibadah umrah di bulan Ramadlan pahalanya setara
dengan pelaksanaan ibadah haji.
:
:
,
Dari Maqil bin Maqil r.a. bahwa ibunya mendatangi Rasulullah saw dan berkata:
Saya adalah perempuan yang sakit dan sudah tua. Saya takut tidak akan
mendapati pelaksanaan ibadah haji hingga saya meninggal dunia. Apakah ada
sesuatu yang dapat menggantikan pahala haji untuk saya? Beliau bersabda: Iya.
Umrah di bulan Ramadlan setara dengan haji maka umrahlah di bulan
Ramadlan. (HR. Ibnu Abi Khuzaimah dan diriwtkan pula oleh ashab as-
sunan yang empat secara ringkas. Al-Hakim mengatakan hadits ini shahih).
(muis)
Hukum-Hukum Seputar Puasa (II)
24 Aug 2009 in Tsaqofah Comments Of
Penentuan Awal dan Akhir Ramadlan*
Jumhur ulama berpendapat bahwa kesaksian melihat hilal bulan Ramadlan yakni
permulaan bulan Ramadlan cukup satu orang. Jika disaksikan oleh seorang
muslim yang adil bahwa ia telah melihat hilal Ramadlan maka seluruh kaum
muslim wajib untuk berpuasa. Dari Ibnu Abbas r.a.
:
:
:
:
Seorang orab datang kepada Rasulullah saw dan berkata: saya telah melihat
hilal malam ini. Maka Rasul berkata kepadanya: Apakah engkau berasaksi
bahwa tiada tuhan selaian Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-
Nya? Ia menjawab: iya. Rasul kemudian bersabda: Berdirilah wahai Fulan
dan serukan kepada manusia agar mereka berpuasa besok. (HR. Ibnu
Khuzaimah. Al-Adzamy menshahihkannya)
:
Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata: orang-orang melihat hilal lalu saya
menginformasikan hal tersebut kepada Rasulullah saw bahwa saya telah
melihatnya maka ia berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk
berpuasa. (HR. Al-Hakim, Ibnu Hibban dan mereka menshahihkannya)
Dengan demikian kesaksian seorang muslim yang adil bahwa ia telah melihat
hilal telah cukup untuk menjadi dasar bagi seluruh kaum muslim untuk berpuasa.
Hal yang sama juga berlaku dalam mengakhiri puasa.
:
Dari seorang sahabat Nabi saw ia berkata: Bahwa Nabi saw di suatu pagi
berpuasa untuk menyempurnakan 30 hari Ramadlan. Lalu datang dua orang
Arab yang bersaksi bahwa bahwa tiada tuhan selain Allah dan keduanya telah
melihat hilal kemarin maka Rasul memerintahkan orang-orang untuk
berbuka. (HR. ad-Daruqthny dan ia menshahihkannya)
-
Muhammad bin Ziyad berkata saya mendengar Abu Hurairah berkata:
Rasulullah saw bersabda: berpuasalah karena melihatnya dan berbukalah
karena melihatnya dan jika bulan tertutup awal awan maka sempurnakanlah 30
hari. (HR. Muslim)
Pada hadits di atas Rasul menegaskan bahwa mengawali dan mengakhiri puasa
ditentukan dari terlihatnya hilal. Sementara lafadz melihat pada hadits
berbentuk umum karena terdiri dari isim yang didhafahkan, sehingga mencakup
penglihatan satu orang atau lebih. Adapun adanya dua orang Arab yang
menyaksikan bahwa telah terlihat hilal Syawal maka hal tersebut merupakan
gambaran terhadap realitas dan tidak menunjukkan bahwa jika dilihat oleh satu
orang maka tidak diterima.
Penggunaan Metode Hisab Falak
Jumhur ulama berpendapat bahwa hisab falak tidak dapat dijadikan sebagai
landasan untuk menetapkan awal akhir Ramadlan. Alasannya jika manusia
dibebankan untuk menggunakan hal tersebut maka akan membuat mereka
kesulitan karena ilmu tidak diketahui kecuali oleh sekelompok orang sementara
syara memerintahkan seseuatu yang diketahui oleh mayoritas dari mereka. Ibnu
Surraij dikatakan sebagai salah satu ulama yang membolehkan menggunakan
metode tersebut bagi orang-orang yang memiliki ilmu tersebut. Sabda
Rasulullah( ) merupakan seruan kepada orang yang menguasai ilmu
tersebut sementara hadits () merupakan seruan untuk seluruh ummat
Islam. Pernyataan tersebut juga dinisbahkan kepada Ibnu Abdillah dan Ibnu
Qutaibah.
Namun demikian kalimat ( ) tidaklah berarti sebagaimana yang dinyatakan
oleh Ibnu Surraij. Pertama:perintah berpuasa dan berbuka dengan melihat hilal
adalah perintah yang bersifat umum.
:
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda: bulan itu 29 hari. Jangalah
kalian berpuasa hingga melihatnya dan janganlah kalian berbuka hingga kalian
melihatnya dan jika kalian terhalang melihatnya maka perkirakanlah. (HR.
Bukhari Muslim)
Hadits tersebut diserukan kepada seluruh ummat Islam baik melihat hilal,
berpuasa, berbuka dan memperkirakannya. Jadi tidak ada pengkhususan untuk
melakukan perkiraan yang khusus bagi orang yang memiliki ilmu falak saja.
Kedua, sebagaimana diketahui bahwa hadits saling menafsirkan antara satu
dengan yang lain. Terdapat sejumlah hadits yang menjelasakan bahwa (
) tidaklah sebagaimana yang difahami oleh Ibnu Surraij antara lain:
: :
Dari Abu Hurairah ia berkata Rasulullah saw atau Abu Qasim bersabda:
berpuasalah karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya dan jika
kalian terhalangi melihatnya maka sempurnakanlah perhitungan bulan Syaban
30 hari. (HR. Bukhari, Muslim, Nasai, Ibnu Hibban)
:
Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Jika kalian meliat
hilal maka berpuasalah dan jika kalian melihatnya maka berbukalah dan jika
kalian terhalangi melihatnya maka berpuasalah 30 hari. (HR. Muslim)
Dengan demikian jelas bahwa maksud ( ) adalah hitung dan sempurnakan
menjadi 30 hari.[1] Hal ini tentu dapat dilakukan oleh semua orang tanpa
membutuhkan adanya keahlian khusus. Bahkan terdapat sebuah hadits yang
dengan jelas menyatakan:
Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal dan janganlah kalian
berbuka karena melihatnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits tersebut menyatakan bahwa perintah berpuasa tidak hanya terlebih
dahulu melihat hilal namun juga berisi larangan untuk tidak berpuasa hingga
melihatnya. Oleh karena itu penentuan puasa hanya berdasarkan hisab falak
jelas bertentangan dengan hadits tersebut.
Namun demikian perlu ditegaskan bahwa bukan berarti pemanfaatan ilmu falak
tidak boleh dan tidak dibutuhkan. Penjelasan di atas hanya ingin menyatakan
bahwa hisab falak bukan penentu untuk memulai awal dan akhir Ramadlan
karena syara telah menegaskan bahwa memulai dan mengakhiri puasa
Ramadlan harus dengan melihat hilal.
Peran hisab falak saat ini sangat penting dalam memberikan petunjuk kapan
waktu yang tepat untuk melihat hilal sehingga memudahkan bagi orang yang
bermaksud menyaksikannya. Demikian pula keberadaan alat-alat yang dapat
membantu memperbesar dan memperdekat jarak objek ketika mengintai
munculnya hilal adalah hal yang mubah untuk digunakan.
Memang metode hisab falak sangat akurat dalam menentukan awal dan akhir
bulan hingga hitungan menit dan detik bahkan yang terjadi beberapa tahun yang
akan datang sehingg peluang kesalahan dalam penetapan puasa sangat kecil.
Meski demikian perlu difahami bahwa Allah swt tidak memerintahkan untuk
beribadah kepada-Nya dengan tingkat kebenaran yang pasti. Jika demikian maka
tentu akan menyulitkan kaum muslim. Ia hanya memerintahkan kita untuk
menyembahnya berdasarkan pendapat yang dianggap paling benar. Jika
pendapat tersebut benar secara pasti maka demikianlah, namun jika salah maka
ia tetap diterima dan mendapatkan pahala serta telah bebas dari hisab. Ibadah
dalam Islam tidaklah dilakukan dengan dengan pendekatan hisab dan keilmuan.
Ia adalah hukum syara yang diperintahkan kepada kaum muslim untuk diikuti
bersarkan pemahaman dan ijtihad mereka. Dengan cara tersebut Allah swt
menerima apa yang mereka lakukan baik yang mendapatkan benar ataupun
salah.
Syara telah menetapkan tata cara pelaksanaan ibadah puasa beserta metode
untuk memulai dan mengakhirinya yakni dengan melihat hilal Ramadlan dan
hilal Syawal dengan pandangan mata. Jika memang hisab merupakan metode
maka tentu telah digunakan oleh Rasulullah dan para Sahabat namun yang
terjadi justru sebaliknya metode tersebut diabaikan oleh beliau. Diriwayatkan
dari Abdullah bin Umar dari Nabi saw bersabda:
:
.
.
Dari Ibnu Umar r.a. ia mencerikatan dari Nabi saw berkata: Kami adalah ummat
yang ummi, tidak dapat menulis dan memperkirakan bulan. Bulan itu begini,
begini dan beginibeliau menekuk telunjuknya yang ketigadan bulan itu
begini, begini dan begini yakni disempurnakan 30 hari. (HR. Muslim)
Padahal Islam adalah agama yang sempurna sehingga ia tidak memerlukan ilmu
baru atau kesimpulan-kesimpulan yang bersumber dari akal dalam
mensyariatkan hukum berserta metodenya. Meski demikian hal tersebut boleh
digunakan hanya sebagai sarana, uslub dan alat selama ia tidak menggantikan
peranan hukum syara dan metodenya serta tidak mengubah hukum dan
metodenya sedikitpun.
Lalu mengapa dalam masalah puasa kita tidak dapat menggunakan hisab namun
boleh igunakan untuk menetapkan waktu shalat? Jawabannya adalah karena
metode penetapan pelaksanaan puasa dan haji telah ditetapkan oleh syara.
Untuk puasa sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya sementara untuk haji
didasarkan pada hadits berikut:
Dari Abu Malik al-Asyjaiy, Husain bin Harits al-Jadaly dari Jadilah Qais
menceritakan kami bahwa amir Makkah berkhutbah kemudian berkata.
Rasulullah saw telah menetapkan atas kami agar kami melaksanakan ibadah haji
berdasarkan ruyat. Namun jika kami tidak melihatnya namun disaksikan oleh
seorang saksi yang adil maka kami melaksanakan ibadah haji berdasarkan
kesaksian tersebut. (HR. Ad-Daruqthny dan ia menshahihkannya).
Sementara itu syara tidak menetapkan metode penetapan waktu pelaksanaan
shalat. Syara hanya menjelaskan tanda-tanda yang menunjukkan masuknya
waktu masing-masing shalat sehingga kita menggunakan tanda-tanda tersebut
untuk menetapkan kapan waktu-waktu tersebut. Metode penetapan waktu puasa
dan haji tidak dapat diqiyaskan dengan metode penetapan shalat karena dalam
masalah ibadah qiyas tidak dapat diberlakukan kecuali memang terdapat dalil
yang mengandung illat dalam masalah tersebut.
Dengan demikian penggunaan hisab falak tidak dapat dijadikan sebagai metode
untuk menggantikan metode yang telah ditetapkan oleh syara yakni melihat
dengan mata. Allah menghisab kita terhadap apa yang kita ketahui dan bukan
yang tersembunya atas kita. Kita berpuasa dan berbuka dengan pandangan
mata baik kita benar ataupun salah karena syara telah memerintahkan kita
dengan cara tersebut. Namun sekali lagi ditekankan bahwa hisab falak tetap
boleh digunakan sebagai alat bantu untuk mempermudah pelaksanaan rukyat.
Perbedaan Matla
Para ulama berbeda pendapat apakah terlihatnya hilal di satu negeri juga
berlaku bagi negeri lain. Ikrimah, Qasim bin Muhammad, Salim bin Abdullah bin
Abdullah bin Umar dan Ishak bin Rahuwaih berpendapat bahwa penduduk satu
negeri tidak wajib berpuasa karena telah terlihatnya hilal di negari yang lain
sebagaimana yang dituturkan oleh at-Tirmidzy. Hal yang sama juga dinukil oleh
al-Mawardy dari madzhab as-Syafii.[2]
Abu Hanifah, Malik, Laits bin Saad berpendapat bahwa jika hilal telah terlihat di
satu negeri maka ia berlaku untuk seluruh negeri untuk berpuasa. Ibn Mundzir
telah menukil hal tersebut dari banyak ulama termasuk dari sebagian ulama
Syafii. Ibnu Qudamah menyatakan: Jika hilal telah terlihat di satu negeri maka
ia berlaku untuk negeri yang lain.[3] Al-Qurthuby dalam kitab al-Istidzkar
menyatakan: para ulama berbeda mengenai hukum terlihatnya hilal Ramadlan
atau Syawal oleh suatu negeri sementara tidak bagi yang lain. Malik
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Qasim, orang-orang Mesir
berpendapat jika telah ditetapkan bahwa penduduk suatu negeri telah melihat
hilal maka penduduk yang lain wajib mengqadla puasa dihari mereka tidak
berpuasa pada hari lain. Pendapat ini merupakan pendapat al-Laits, as-Syafii,
penduduk Kufah dan Ahmad.[4]
Sementara itu ulama syafii sendiri yang berpendapat bahwa terlihatnya hilal di
satu negeri tidak berlaku di negeri lain, berbeda pendapat tentang detail
masalah tersebut. Diantara mereka ada yang berpendapat: jika kedua negeri
tersebut berdekatan maka maka dihukumi satu negeri namun jika jarak
keduanya jauh maka-yang paling kuat menurut Syekh Abu Hamid, Syekh Abu
Ishak, Al Ghazaly dan kebanyakan dari merekatidak wajib berpuasa atas
penduduk negeri lain yang tidak melihatnya. Pendapat yang lain menyatakan: ia
wajib berpuasa sebagaimana yang dinyatakan oleh Abu Thayyib, ar-Rawyani.
Ibnu Mundzir berkata: Ia adalah madzhab yang dhahir dan dipilih oleh seluruh
sahabat kami dan al-Baghawy juga mengutip hal tersebut dari imam as-Syafii
sendiri.
Mereka juga berbeda pendapat dalam masalah batasan dekat dan jauh. Ada
yang berpendapat jarak yang berjauhan itu adalah adanya perbedaan matla
seperti Hijaz, Irak dan Khurasan. Dan yang saling berdekatan seperti Baghdad,
Kufah, dan Ray. Ada pula yang berpendapat: ditentukan berdasarkan persamaan
dan perbedaan daerahnya sementara yang lain tidak perlu ditentukan dengan
hal tersebut.
Mereka yang berpendapat tentang perbedaan matla yakni orang yang telah
melihat hilal di satu negeri tidak berlaku bagi negeri lain mendasarkan pendapat
mereka pada hadits yang diriwayatkan oleh Kuraib.[5]
.
.
.
-
Dari Kuraib bahwa Ummu Fadhli binti al-Harits telah mengutusnya kepada
Muawiyah di Syam ia berkata: Saya tiba di Syam lalu menuniakan hajatnya dan
di malam hari nampak pada saya hilal Ramadlan sementara saat itu saya masih
di Syam. Saya melihat hilal malam Jumat kemudian saya tiba di Madinah di akhir
bulan lalu Ibnu Abbas bertanya kepada saya kemudian ia menyebut hilal dan
berkata kapan engkau melihat hilal? Saya menjawab: Kami melihatnya malam
Jumat. Ia bertanya lagi: Engkau melihatnya? Saya menjawab: Betul dan
orang-orang juga melihatnya lalu mereka berpuasa sebagaimana halnya
Muawiyah. Ia berkata: Akan tetapi kami melihatnya malam Sabtu lalu kami
berpuasa hingga menyempurnakannya 30 hari atau kami melihatnya. Saya
bertanya: Apakah tidak cukup dengan penglihatan Muawiyah dan puasanya? Ia
berkata: Tidak, demikianlah Rasulullah saw memerintahkan kami. (HR. Muslim,
Abu Daud, Tirmidzy dan Ahmad).
Menurut penganut pendapat pertama riwayat di atas menujukkan bahwa sikap
Ibnu Abbas r.a. yang tidak menjadikan penglihatan penduduk Syam merupakan
ketetapan yang berasal dari Nabi saw. Dengan kata lain pendapat Ibnu Abbas
yang menolak pernyataan apakah kita tidak mencukupkan penglihatan
Muawiyah dan puasanya? dengan ucapan: tidak demikianlah yang
diperintahkan Rasulullah saw kepada kita, menunjukkan bahwa Rasulullah saw
telah memerintahkan kaum muslim untuk tidak mengambil penglihatan orang-
orang yang berada di negeri lain.
Pemahaman tersebut perlu didiskusikan. Pertama, perlu dibedakan antara
perintah Nabi saw. dengan pemahaman Ibnu Abbas terhadap perintah Nabi saw.
Jika memang terdapat perintah dari Nabi saw maka itu adalah dalil syara yang
wajib dijadikan sandaran. Namun hal tersebut merupakan hasil pemahaman
seorang sahabat maka statusnya adalah ijtihad sebagaimana halnya hasil
mujtahid lain yang merupakan hukum syara yang dapat diikuti atau
ditinggalkan.
( )
Kedua, Ibnu Abbas telah mendengar sabda Rasulullah saw (
) dan memahami bahwa setiap masyarakat dari kaum muslim harus melihat
hilal agar dapat berpuasa dan melihatnya lagi sehingga mereka berbuka.
Sementara penglihatan selain masyarakat tersebut tidak cukup lalu ucapan
beliau mengatakan demikianlah yang diperintahkan Rasul kepada
kita. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa ia merupakan hasil pemahaman
Ibnu Abbas terhadap perintah Nabi saw di atas. Oleh karena itu yang harus
dijadikan landasan adalah hadits yang berkaitan dengan ruyatul hilal yang salah
satunya diriwayatkan oleh beliau bukan pemahaman beliau terhadap hadits
tersebut.[6]
Adapun ulama yang menyatakan bahwa jika satu negeri telah melihat hilal maka
ia berlaku untuk negeri yang lain untuk berpuasa, didasarkan pada sejumlah
hadits yang memerintahkan untuk berpuasa dan berbuka karena melihat hilal.
Mereka berpendapat bahwa terlihatnya hilal merupakan sebab terlaksananya
puasa dan sebab terlaksananya berbuka. Jika terdapat sebab maka terdapat pula
musabab yaitu puasa dan berbuka. Perkataan Rasulullah ( ) adalah isim jenis
yang diidhafahkan sehingga ia termasuk lafadz umum. Demikian pula sabda
beliau hingga kalian melihatnya ( ) , jika kalian melihatnya ( ) kata
gantinya (dhamir) adalah isim jama. Isim jama merupakan lafadz umum
sehingga berlaku umum bagi kaum muslim. Sehingga siapapun dari mereka
yang telah melihatnya maka berlaku bagi seluruh kaum muslim yang lain
sehingga mereka wajib berpuasa pada hari tersebut. Inilah pendapat yang benar
terhadap hadits yang berkenaan dengan ruyatul hilal. Dengan demikian
pendapat Ibnu Abbas yang dijadikan landasan pendapat pihak yang mengadopsi
rukyat berdasarkan wilayah adalah pendapat yang marjuh.[7]
Pada tahun 1966 Majma al-Buhuts al-Islamiyyah di Kairo juga telah
mengeluarkan keputusan bahwa ruyatul hilal berdasarkan perbedaan matla
meski negeri-negeri namun masih berada padaa malam yang sama tidak tepat.
Oleh karena itu ketika hilal telah terlihat di salah satu negeri Arab maka hal
tersebut juga berlalu bagi negeri-negeri lainnya.
Hal yang sama juga ditetapkan oleh Majlis al-Fatwa al-Ala di Palestina yang
menguatkan pendapat bahwa penglihatan di satu tempat berlaku bagi tempat
yang lain.
Negara Bangsa
Sayangnya pendapat para ulama di atas yang menyatakan bahwa rukyat hilal di
satu negeri berlaku untuk negeri lain diabaikan oleh para penguasa mereka. Hal
itu terjadi karena beberapa hal:
1. Seluruh negeri-negeri Islam saat ini telah mengadopsi faham sekularisme
yang memisahkan urusan politik dengan agama. Akibatnya persoalan
penetapan awal akhir Ramadlan tidak lagi didasarkan pada pendapat yang
paling kuat dalilnya namun lebih didasarkan pada kemaslahatan mereka.
Parahnya lagi mereka malah memintah kepada pada ulama untuk
mendatangkan nash-nash yang mendukung pendapat mereka. Bukannya
mereka menjadikan nash syara sebagai dasar keputusan mereka. Dengan
demikian penguasalah yang membuat syariat sementara para ulama
hanya menyetujui. Jika bertetangan maka yang dilaksanakan adalah
pandangan penguasa.
2. Di samping itu umat Islam saat ini telah dibagi-bagi oleh negara-negara
penjajah ke dalam puluhan negara bangsa yang terpisah antara satu
dengan yang lain. Akibatnya masing-masing umat Islam di suatu negara
menganggap dirinya bukan bagian dari ummat Islam yang secara syari
harus bersatu. Akibatnya masing-masing negara menetapkan keputusan
politik mereka termasuk dalam masalah keagamaan tanpa
memperhatikan kaum muslim lainnya. Oleh karena itu dalam penentuan
awal dan akhir Ramdlan masing-masing negara menetapkan sendiri
keputusan mereka tanpa mempertimbangkan negeri-negeri yang lain
apakah ada diantara mereka yang telah melihat hilal terlebih dahulu. Jika
Malaysia telah melihat hilal namun Indonesia tidak melihatnya maka
penduduk Malaysia berpuasa sementara penduduk Indonesia belum
berpuasa termasuk mereka yang berada di daerah perbatasan meski
jaraknya hanya sejengkal dan memiliki kesamaan matla berbeda dalam
memulai dan mengakhiri puasa. Hal inilah yang sering dijumpai di negeri-
negeri Islam. Jadi perbedaan tersebut bukan diakibatkan oleh perbedaan
matla dimana para fuqaha berbeda pendapat namun lebih karena
perbedaan batas negara, batas imaginer buatan penjajah yang telah
mengkotak-kotakkan ummat Islam.
Inilah yang menjadi sebab bertahannya perbedaaan di negeri-negeri Islam
khususnya yang berkenaan dengan awal dan akhir Ramadlan. Jika sekiranya
neger-negeri tersebut menganggap diri mereka sebagai bagian dari ummat Islam
yang lain maka akan dijumpai penyatuan sikap terhadap berbagai masalah
termasuk dalam penetapan awal dan akhir Ramadlan. Di sinilah relevensi
pentingnya eksistensi seorang khalifah yang menyatukan kaum muslim
termasuk dalam penetapan awal dan akhir Ramadlan.
Oleh karena itu setiap muslim di tempat manapun ia berada wajib untuk
berpuasa jika telah mendengar pengumuman dari negeri muslim manapun
selama masih dalam malam yang sama. Demikian pula dengan mengakhiri
Ramadlan kecuali dari negeri yang menjadikan hisab falak sebagai sandaran
keputusan mereka. Ini karena metode tersebut sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas adalah metode yang keliru. Wallahu alam bis shawab (muis
Dari Aisyah r.a. ia berkata: Hamzah bin Amr al-Aslamy bertanya kepada
Rasulullah tentang puasa dalam perjalanan maka belia bersabda: Jika engkau
mau berpuasalah dan jika engkau mau berbukalah. (HR. Muslim)
Para ulama berbeda pendapat tentang manakah yang lebih utama apakah
berpuasa atau berbuka di dalam perjalanan. Namun menurut Ali Raghib jika ia
tidak merasa berat berpuasa dalam perjalanan maka lebih utama baginya untuk
berpuasa. Allah swt berfirman:
Maka barangsiapa diantara kalian yang sakit atau dalam perjalanan maka
hendaklah ia menggantinya di hari lain dan orang-orang yang merasa berat
maka hendaklah mereka membayar fidyah dengan memberi makan orang
miskin dan barangsiapa yang melebihkan kebaikan maka itu adalah kebaikana
baginya dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. (QS. al-
Baqarah: 184)
Namun jika dengan berpuasa membuat dirinya kesulitan maka lebih utama
baginya berbuka.
Dari Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah saw melihat orang-orang berkumpul
pada seseorang. Beliau lalu bertanya, maka orang-orang menjawab bahwa
orang tersebut merasa berat dengan puasanya maka Rasulullah saw bersabda:
bukanlah bagian dari kebaikan berpuasa dalam perjalanan. (HR. an-Nasai dan
al-Albany mensahihkannya)
b. Orang Sakit
Bagi orang yang sakit yang masih diharapkan untuk sembuh maka ia
diperkenankan untuk tidak berpuasa dan menggantinya di hari lain. Adapun jika
sakitnya diperkirakan sulit untuk sembuh maka ia diberi keringanan untuk tidak
berpuasa dan menggantinya dengan fidyah. Allah swt berfirman:
Dan Allah tidak menjadikan bagi kalian kesulitan dalam agama ini. (QS. Al-Haj:
78)
Dan orang-orang yang tidak mampu melakukannya maka mereka harus
mengeluarkan fidyah dengan memberi makan orang-orang miskin.
c. Orang Tua
Orang yang lanjut usia yang merasa berat untuk berpuasa juga diberi keringanan
untuk tidak berpuasa dan menggantinya dengan membayar fidyah. Dalilnya
firman Allah swt:
Dan orang-orang yang tidak mampu melakukannya maka mereka harus
mengeluarkan fidyah dengan memberi makan orang-orang miskin. (al-Baqarah:
184).
Ibnu Abbas berkata tentang ayat ( ) yakni fidyah dimana mereka
yang tidak mampu berpuasa yakni orang tua dan orang yang lemah yang tua
dan tidak mampu berpuasa maka atas mereka membayar fidyah dengan
memberi makan orang miskin [ii]
d. Orang hamil dan menyusui
Bagi wanita hamil dan menyusui maka mereka mendapatkan rukhsah untuk
tidak berpuasa sebagaimana halnya seorang musafir namun mereka wajib
mengqadla puasa yang mereka tinggalkan di hari lain.
: -
- -
: .! : . :
- - :
: . !
.
Dari Anas bin Malik bahwa seseorang dari Abdullah bin Kaab saudara Bani
Qusyair berkata: kami mencari kuda Rasulullah saw lalu saya pergi menemui
Rasulullah saw sementara beliau sedang makan. Beliau bersabda kepadaku:
duduklah dan makan makanan kami. Saya berkata: saya sedang berpuasa.
Duduklah saya akan memberitahukan engkau tentang shalat dan puasa.
Sesungguhnya Allah telah meletakkan separuh shalat dan puasa orang yang
dalam perjalanan, orang menyusui dan orang hamil. Demi Allah Ia telah
mengatakan semuanya atau salah satunya. Ia berkata: maka saya menyesal
tidak memakan makanan Rasulullah saw. (HR. Tirmidzy dan menurutnya hadits
ini hasan, sementara Ibnu Khuzaimah menshahihkannya)
Dari hadits tersebut Rasulullah saw menjelasakan bahwa musafir, orang hamil
dan orang yang menyusui dapat meninggalkan puasa. Adapun pendapat yang
mengatakan bahwa rukhsah bagi orang yang hamil dan menyusui hanya berlaku
jika dikhawatirkan membahayakan ibu dan atau anaknya mendasarkan pendapat
mereka pada hadits:
Namun demikian hadits ini menurut al-Albany dhaif. Hadits ini diriwayatkan oleh
Rabi bin Badar yang didhaifkan oleh Ibnu Hibban. Dengan demikian hadits ini
tidak dapat digunakan untuk mentakhsis keumuman hadits pertama.
Oleh karena itu wanita hamil dan menyusui baik ia khawatir atas diri dan
anaknya, atau anaknya saja atau tidak khawatir maka ia boleh tidak berpuasa
secara mutlak. Adapun kewajiban untuk mengganti puasa dihari lain maka
dalilnya adalah karena puasa merupakan kewajiban yang harus ditunaikan.
Namun karena mereka diperbolehkan berbuka karena ada udzur maka menjadi
utang yang harus ditunaikan dihari lain. Sabda Rasulullah saw:
- -
:
:
.
.
Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: seorang wanita datang kepada Rasulullah saw
dan berkata: Wahai Rasulullah ibu saya telah meninggal sementara dia memiliki
kewajiban untuk berpuasa nadzar, maka apakah saya harus berpuasa untuknya.
Rasul bertanya: apakah jika ibumu memiliki utang lalu engkau membayarnya
apakah itu dapat menebusnya? Wanita itu menjawab: iya. Lalu Rasul bersabda:
maka berpuasalah untuk ibumu. (HR. Bukhari Muslim)
Orang yang hamil dan menyusui juga tidak diwajibkan membayar fidyah karena
tidak ada dalil yang memerintahkan keduanya untuk melakukan hal tersebut.[iii]
e. Haid dan Nifas
Keluarnya haid dan nifas merupakan salah satu yang membatalkan puasa. Oleh
karena itu wanita yang mengalami haid dan nifas tidak diwajibkan untuk
berpuasa di bulan Ramadlan namun wajib mengganti di hari lain ketika ia telah
suci. Berbeda halnya dengan shalat, maka wanita yang haid tidak diperintahkan
untuk mengqada shalat mereka.
:
:
Bukankah jika wanita itu haid ia tidak shalat dan tidak puasa? Mereka
menjawab betul. Beliau bersabda: demikianlah bentuk kekurangan agama
mereka. (HR. Bukhari)
.
.
Dari Muadzah ia bertaka: saya bertanya kepada Rasulullah saw: mengapa orang
yang haid wajib mengqadla puasanya sementara ia tidak wajib mengqadha
shalatnya. Ia balik bertanya: apakah engkau seorang Haruriyyah? Saya
menjawab: bukan namun saya bertanya. Ia berkata: kami telah mendapati haidh
lalu kami diperintahkan untuk mengqadla puasa namun tidak diperintahkan
untuk mengqadla shalat. (HR. Muslim)
Wanita yang haid dan nifas tidak melaksanakan puasa hingga darah berhenti
mengalir dari diri mereka. Jika darahnya berhenti maka ia tidak lagi
dikategorikan sebagai orang yang haid dan nifas sehingga wajib menunaikan
puasa pada saat itu. Oleh karena itu jika seorang wanita berhenti haid atau nifas
sebelum fajar namun ia belum sempat mandi maka ia wajib berpuasa. Hal ini
karena syarat wajib berpuasa adalah suci dari haid dan nifas bukan bersuci dari
keduanya. Namun demikian ia tetap wajib untuk mandi setelah masa haid dan
nifas tersebut.
Puasa Orang Junub
Hal yang sama juga berlaku bagi orang yang junub. Jika ia junub karena telah
melakukan hubungan seks, mimpi atau sebab lain dan masuk waktu fajar
sementara ia belum bersuci maka maka ia wajib untuk berpuasa dan tidak boleh
mengqadha puasanya.
.
Dari Abu Bakar bahwa ia telah diutus oleh Marwan menemui Ummu Salamah r.a.
untuk bertanya tentang pria yang masuk waktu subuh dalam keadaaan junub
apakah ia berpuasa. Ia menjawab: Rasulullah saw masuk diwaktu Subuh dalam
keadaan junub karena jima bukan karena mimpu dan beliau tidak berbuka atau
mengqadla puasanya. (HR. Muslim)
: ,
,
Dari Aisyah dan Ummu Salamah istri Nabi saw r.a. berkata: Rasulullah saw
berada di waktu subuh dalam keadaan junub di bulan Ramadlan karena jima
bukan karena mimpu kemudian beliau berpuasa. (HR. Ibnu Hibban. Menurut al-
Arnauth sanadnya sahih berdasarkan syarat Bukhari-Muslim)
Berbuka tanpa udzur
Ibadah puasa merupakan satu satu rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh
mereka yang telah akil balilg dan tidak ada udzur syari yang meringankin dirinya
untuk tidak berpuasa seperti dalam dalam perjalanan, sakit atau lanjut usia. Jika
seseorang meninggalkan puasa secara sengaja maka ia akan mendapatkan azab
yang pedih di akhirat kelak.
: -
: :
:
:
:
:
: .
Dari Abu Umamah al-Bahily ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw
bersabda: Ketika saya tidur tiba-tiba saya didatangi oleh dua orang lalu menarik
lengan saya dan membawa saya ke gunung yang berbenjol-benjol dan berkata
kepada saya: Naiklah. Maka saya berkata: Saya tidak mampu lalu mereka
berkata lag:iKami akan memudahkan engkau. lalu saya pun naik hingga saya
berada di puncak gunung tersebut. Tiba-tiba saya mendengar suara yang keras
maka saya bertanya: Suara apakah itu? Mereka mnjawab: Itu jeritan penduduk
neraka. Saya kemudian dibawa satu kaum yang digantung dengan urat di atas
tumit belakang mereka sementara rahang mereka disobek-sobek sehingga
mengeluarkan darah. Saya lalu bertanya:Siapakah mereka? Salah satu dari
keduanya menjawab: Mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum
sempurna puasa mereka. (HR. an-Nasai, Ibnu Hibban, al-Baihaqy. Alhakim
mensahihkan hadits ini dan disetujui oleh ad-Dzahaby)
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di
bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu (QS al-Baqarah [2]:185)
Jadi rukyat adalah hukum.
Sedangkan dalam masalah shalat, nas-nas syara telah mengaitkan shalat
dengan waktu.
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir ( QS al-Isra [17]: 78)
Jika matahari telah tergelincir maka shalatlah kalian
Jadi shalat disandarkan pada waktu. Maka dengan wasilah apapun Anda bisa
menetakan waktu itu, Anda boleh menunaikan shalat. Jika Anda melihat matahari
untuk mengetahui waktu tergelincirnya atau Anda melihat bayangan untuk
mengetahui bayangan sesuatu itu sama atau lebih panjang sebagaimana yang
dinyatakan didalam hadis-hadis tentang waktu-waktu shalat. Jika Anda
melakukan itu dan Anda bisa menetapkan waktu shalat, maka shalat Anda sah.
Jika Anda tidak melakukannya tetapi Anda menggunakan hisab astronomis
sehingga Anda mengetahui waktu tergelincir matahari adalah jam sekian lalu
Anda melihat arloji Anda tanpa keluar melihat matahari atau bayangan benda,
maka shalat Anda juga sah. Artinya, waktu itu bisa dicapai (ditetapkan)
menggunakan wasilah apapun. Kenapa? Karena Allah SWT menuntut Anda agar
menunaikan shalat karena masuknya waktu dan menyerahkan kepada Anda
untuk menetapkan masuknya waktu itu tanpa ditentukan tatacara
penetapannya. Sedangkan puasa, Anda dituntut untuk berpuasa dengan rukyat
dan untuk Anda telah ditentukan sebab, bahkan lebih dari itu nas berkata
kepada Anda Jika rukyat tertutup mendung sehingga Anda tidak bisa melihat
hilal, maka jangan berpuasa hingga meskipun Hilal itu ada di balik mendung dan
Anda merasa yakin eksistensi hilal itu menggunakan hisab astronomis.
Sesungguhnya Allah SWT adalah pencipta alam semesta ini. Dia lah yang
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui manusia. Pengetahuan
tentang pergerakan benda-benda langit dan detil-detilnya adalah karunia Allah
SWT kepada manusia. Akan tetapi Allah SWT tidak menuntut kita agar bersandar
kepada hisab astronomis untuk berpuasa, akan tetapi justru menuntut agar kita
bersandar kepada rukyat. Maka kita beribadah menyembah Allah SWT
sebagaimana yang dituntut dan kita tidak menyembah Allah SWT dengan
apapun yang tidak dituntut dari kita.
Demikianlah, hanya rukyat sajalah hukum dalam masalah puasa dan berbuka,
bukan hisab astronomis. Berdasarkan hal itu, kami katakan ketidakbolehan hisab
astronomis dijadikan sandaran dalam masalah puasa dan berbuka. Akan tetapi
masalah puasa dan berbuka itu hanya berdasarkan rukyat saja karena rukyat
itulah yang dinyatakan di dalam nas-nas yang ada dalam masalah tersebut.
2 Syawal 1424 H
25 November 2003 M
(sumber : al maktab al Ilami li Hizb at Tahrir)
Mempersiapkan Diri Menyambut Ramadhan
BULETIN AL-ISLAM EDISI 369
Saat ini kita telah berada di tengah-tengah bulan Syaban. Sebulan lagi kita akan
memasuki bulan Ramadhan. Ramadhan merupakan tamu agung yang senantiasa
kita harapkan kedatangannya. Karena itu, tentu kita jauh-jauh hari mesti
mempersiapkan diri guna menyambutnya.
Sudah kita ketahui bersama, bahwa manusia tidak akan melaksanakan sesuatu
dengan baik kecuali jika ia mempersiapkan diri dengan baik pula. Begitupun agar
kita mampu melaksanakan semua amalan di bulan Ramadhan; sangat penting
kita mempersiapkan diri untuk itu. Keberhasilan kita pada bulan Ramadhan akan
dipengaruhi sejauh mana kita mempersiapkan diri untuk menyambutnya.
Rasul saw. dan para Sahabat sangat bersemangat menyambut datangnya bulan
Ramadhan. Mereka sangat serius mempersiapkan diri agar bisa memasuki bulan
Ramadhan dan melakukan segala amalan di dalamnya dengan penuh keimanan,
keikhlasan, semangat, giat dan tidak merasakannya sebagai beban.
Berbagai persiapan dilakukan untuk menyambut Ramadhan, tamu yang istimewa
ini. Persiapan penting yang harus kita lakukan adalah persiapan mental dan ilmu.
Mempersiapkan diri secara mental tidak lain adalah mempersiapkan ruhiah kita
serta membangkitkan suasana keimanan dan memupuk spirit ketakwaan kita.
Cara paling manjur adalah dengan memperbanyak amal ibadah. Dalam hal ini,
Rasulullah saw. telah memberikan contoh kepada kita semua. Nabi saw.
memperbanyak puasa pada bulan Syaban. Ummul Mukminin Aisyah ra.
menuturkan:
Aku tidak melihat Rasulullah berpuasa sebulan penuh kecuali Ramadhan dan
aku tidak melihat Beliau lebih banyak berpuasa dibandingkan dengan pada
bulan Syaban (HR al-Bukhari dan Muslim).
Bahkan Rasulullah saw. menyambung puasa pada bulan Syaban itu dengan
puasa Ramadhan. Ummul Mukminin Aisyah ra. menuturkan:
Bulan yang paling Rasul saw. sukai untuk berpuasa di dalamnya adalah Syaban,
kemudian Beliau menyambungnya dengan (puasa) Ramadhan. (HR Abu
Dawud, an-Nasai dan Ahmad).
Beberapa hadis di atas menjelaskan bahwa Rasulullah saw. banyak berpuasa
pada bulan Syaban. Puasa pada bulan Syaban itu demikian penting dan
memiliki keutamaan yang besar daripada puasa pada bulan lainnya, tentu selain
bulan Ramadhan. Sedemikian penting dan utamanya sampai Imran bin Hushain
menuturkan, bahwa Rasul saw. pernah bertanya kepada seorang Sahabat:
Apakah engkau berpuasa pada akhir bulan ini (yakni Syaban)? Laki-laki itu
menjawab, Tidak. Lalu Rasulullah saw. bersabda kepadanya, Jika engkau
telah selesai menunaikan puasa Ramadhan, maka berpuasalah dua hari sebagai
gantinya. (HR Muslim).
Hadis di atas menunjukkan dengan jelas keutamaan puasa sunnah pada bulan
Syaban. Lalu apa hikmah dari puasa pada bulan Syaban itu?
Usamah bin Zaid pernah bertanya kepada Rasulullah saw.:
:
Ya Rasulullah, aku tidak melihat engkau berpuasa pada bulan-bulan lain seperti
engkau berpuasa pada bulan Syaban. Rasul menjawab, Bulan itu (Syaban)
adalah bulan yang dilupakan oleh manusia, yaitu bulan di antara bulan Rajab
dan Ramadhan. Bulan itu adalah bulan diangkatnya amal-amal manusia kepada
Tuhan semesta alam. Aku suka amal-amalku diangkat, sementara aku sedang
berpuasa. (HR Abu Dawud dan an-Nasai; disahihkan oleh Ibn
Khuzaimah).
Rasul saw. juga memposisikan puasa pada bulan Syaban itu sebagai persiapan
untuk menjalani Ramadhan. Anas ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah
ditanya:
Puasa manakah yang paling afdhal setelah puasa Ramadhan? Rasul
menjawab, Puasa Syaban untuk mengagungkan Ramadhan. (HR at-
Tirmidzi).
Walhasil, puasa Syaban, di samping akan mendapatkan pahala yang besar dan
keutamaan di sisi Allah, juga merupakan sarana latihan guna menyongsong
datangnya Ramadhan. Al-Hafizh Ibn Rajab mengatakan, Dikatakan tentang
puasa pada bulan Syaban, bahwa puasa seseorang pada bulan itu merupakan
latihan untuk menjalani puasa Ramadhan. Hal itu agar ia memasuki puasa
Ramadhan tidak dengan berat dan beban. Sebaliknya, dengan puasa Syaban, ia
telah terlatih dan terbiasa melakukan puasa. Dengan puasa Syaban
sebelumnya, ia telah menemukan lezat dan nikmatnya berpuasa. Dengan begitu,
ia akan memasuki puasa Ramadhan dengan kuat, giat dan semangat.
Para ulama salaf dulu sangat memperhatikan pelaksanaan semua amalan-
amalan kebaikan pada bulan Syaban. Mereka, sejak memasuki bulan Syaban,
telah memperbanyak membaca al-Quran, menelaah dan memahami isinya dan
men-tadabbur-i kandungannya. Bahkan Habib ibn Abi Tsabit, Salamah bin Kahil
dan yang lain menyebut bulan Syaban ini sebagai Syahr al-Qur.