Anda di halaman 1dari 3

[OPINI] Satryo Soemantri Brodjonegoro

Kompas, 10 Mei 2016

Revitalisasi Pendidikan Kejuruan

Pemerintah saat ini sedang menyiapkan Instruksi Presiden tentang Revitalisasi Sekolah Menengah
Kejuruan dalam peningkatan kualitas dan daya saing sumber daya manusia Indonesia dengan
melibatkan sejumlah kementerian dan pemerintah daerah.

Rupanya kebutuhan akan tenaga terampil tingkat menengah oleh industri dan proyek
pembangunan sektoral sangat tinggi. Pendidikan kejuruan saat ini masih jauh dari ideal bahkan
cenderung makin jauh dari harapan masyarakat. Revitalisasi ini diharapkan dapat mengatasi
permasalahan di atas.

Pendidikan kejuruan memerlukan investasi yang sangat mahal karena memerlukan guru atau
instruktur yang mempunyai keahlian tinggi dan memerlukan peralatan yang selalu mutakhir sesuai
dengan perkembangan industri. Untuk menghindari pemborosan investasi, perlu ditemukenali
penyebab masih rendahnya mutu dan relevansi pendidikan kejuruan di Indonesia. Penambahan
fasilitas praktik berupa penambahan peralatan dan penambahan jumlah guru belum tentu mampu
meningkatkan mutu dan relevansi karena faktor utama justru terletak pada kemampuan murid
sekolah menengah kejuruan (SMK).

Lulusan SMA lebih disukai

Hasil survei penulis pada 2015 terhadap 460 perusahaan tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan,
dan Sulawesi, dengan beragam bidang usaha dan beragam ukuran, menunjukkan bahwa pada
umumnya perusahaan cukup puas dengan lulusan SMK yang telah mereka rekrut meski tingkat
keahliannya belum sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Pendidikan kejuruan bertujuan
menyiapkan generasi muda yang siap latih untuk memasuki dunia kerja formal sesuai bidang
keahlian yang dipelajarinya.

Hasil survei juga menunjukkan bahwa separuh populasi lulusan SMK tidak memperoleh pekerjaan
formal, artinya terjadi ketidaksesuaian antara keahlian yang dipelajari di SMK dan harapan dan
kebutuhan perusahaan. Hal ini perlu jadi perhatian pembuat kebijakan agar program revitalisasi

1|Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia


[OPINI] Satryo Soemantri Brodjonegoro
Kompas, 10 Mei 2016

efektif dan tidak justru menjadi suatu pemborosan investasi. Hal lain yang mengemuka dari hasil
survei adalah bahwa perusahaan lebih memilih lulusan sekolah menengah atas (SMA) daripada
lulusan SMK. Perusahaan lebih memilih mereka yang siap latih karena dinamika pekerjaan yang
demikian cepat dalam era persaingan global sehingga diperlukan calon pekerja yang adaptif
mampu mengikuti perkembangan.

Dengan kondisi faktual seperti itu, keberadaan atau peran SMK perlu ditinjau kembali supaya cita-
cita SMK dapat terwujud. Reformasi total pendidikan kejuruan perlu dilakukan agar eksistensi SMK
tetap terjaga melalui upaya bagaimana menjadikan SMK sebagai pilihan oleh masyarakat (orangtua
dan murid) karena SMK menjanjikan suatu prospek masa depan generasi muda dengan keahlian
tertentu.

Selama ini SMK hampir selalu jadi pilihan kedua setelah SMA. Artinya, orangtua dan murid pada
umumnya ingin masuk SMA, tetapi karena daya tampung SMA terbatas, mereka yang nilainya lebih
rendah terpaksa harus masuk SMK daripada tidak bersekolah. Tentu saja tak sedikit mereka yang
menjadikan SMK sebagai pilihan pertama karena berbagai pertimbangan dan mereka umumnya
adalah outlayer (kelompok di atas rata rata).

SMK harus unik

Adanya dikotomi antara pendidikan umum dengan pendidikan kejuruan juga memicu orangtua
dan murid lebih memilih SMA karena prospek masa depannya yang lebih terbuka. Pendidikan
kejuruan memberikan kemampuan khusus bagi murid sehingga prospek masa depannya memang
lebih terbatas. Di samping itu pendefinisian pendidikan kejuruan oleh pemerintah terkesan
melemahkan SMK di mana keterampilan lebih diutamakan ketimbang pengetahuan, padahal
untuk mempunyai keterampilan yang tinggi dibutuhkan pengetahuan yang tinggi.

Tantangan global saat ini sudah tak lagi terlalu membedakan antara pengetahuan dan
keterampilan, bahkan sudah terjadi komplemen antara keduanya. Dengan demikian, antara
pendidikan umum dan pendidikan kejuruan sudah tidak perlu dipisahkan atau dibedakan,
keduanya dapat dilaksanakan dalam satu lembaga di mana peserta didik dapat memilih bidang
keahlian yang diminatinya setelah memenuhi kecukupan pengetahuan, minimal pengetahuan
dasar.

1|Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia


[OPINI] Satryo Soemantri Brodjonegoro
Kompas, 10 Mei 2016

Idealnya di SMA ada peminatan bagi murid sesuai dengan bakat dan kapasitasnya, penjurusan di
SMA sebaiknya ditiadakan karena pada usia semuda itu para murid belum dapat menentukan masa
depannya, terlalu dini mereka membuat keputusan. Dengan demikian, tak ada lagi SMK dan tak
akan ada perbedaan antara lulusan SMA dan SMK.

Seandainya SMK tetap dipertahankan keberadaannya, harus ada reformasi total di mana SMK harus
betul-betul spesifik dan unik dan menjanjikan keahlian khusus yang dibutuhkan masyarakat. Karena
keunikannya, SMK yang demikian sangat sedikit jumlahnya dan tiap SMK itu punya keluwesan
mengikuti perkembangan yang ada di masyarakat.

Di Jepang hanya ada lima technical college (semacam SMK) dan seluruhnya terintegrasi dengan
industri besar, seperti Toyota dan lainnya. Kita di Indonesia dapat membuat SMK yang menarik
karena keunikannya, misalnya, SMK untuk fashion design, SMK untuk menyiapkan master chef, dan
lainnya. SMK seperti itu kalau ditangani tenaga profesional dan ditangani secara profesional, bukan
birokrasi, pasti akan menjadi unggulan dan diminati para orangtua dan murid dari kalangan
mampu.

Tantangan ke depan dalam revitalisasi pendidikan kejuruan adalah bagaimana agar SMK diminati
kalangan mampu, bukan sekadar tempat bersekolah demi status sosial dan bukan sekadar upaya
untuk peningkatan angka partisipasi kasar pendidikan menengah.

Satryo Soemantri Brodjonegoro


Guru Besar ITB; Dirjen Dikti (1999-2007) Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)

1|Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Anda mungkin juga menyukai