Anda di halaman 1dari 20

Tugas Bed Site Teaching

MORBILI DENGAN DEMAM TIFOID PADA ANAK

Disusun Oleh :

Septriana Putri 1110313006

Preseptor:

dr. Rinang Mariko, Sp.A(K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

RSUD DR M DJAMIL

PADANG

2016
1. KELENJAR GETAH BENING LEHER
Ada sekitar 300 KGB di daerah kepala dan leher, gambaran lokasi terdapatnya KGB
pada daerah kepala dan leher adalah sebagai berikut:

Gambar : Lokasi kelenjar getah bening (KGB) di daerah kepala dan leher. 1

American Head and Neck Society membagi kelenjar limfe (getah bening) menjadi 6
regio, level I VI. 2,3
Level IA : Submental
Level IB : Submandibular
Level II : Upper Jugular
Terletak di sepanjang vena jugularis bagian atas, tepatnya dimulai dari dasar tengkorak
sampai inferior os hyoid
Level III : Middle Jugular
Terletak dari os hyoid sampai kartilago krikoid
Level IV : Lower Jugular
Terletak dari kartilago krikoid sampai batas atas klavikula
Level V : Posterior Triangel Group (spinal accessory and supraclavicular nodes)
Terletak di antara muskulus sternokleidomastoideus dan muskulus trapezius. Level VA
dan VB dipisahkan oleh perpanjangan garis kartilago krikoid.

2
Lever VI : Anterior Compartment Group(pretracheal, paratracheal, precricoid)
Dari os hyoid sampai ke regio suprasternal.

Gambar : Pembagian Level kelenjar getah bening leher5


PEMERIKSAAN KELENJAR GETAH BENING LEHER
Langkah- langkah dalam pemeriksaan kelenjar getah bening leher:4
1. Memperkenalkan diri dan inform consent terlebih dahulu kepada pasien
2. Cuci tangan dengan sabun dan bilas dengan air mengalir
3. Tanyakan kepada pasien bagian mana yang dianggap sakit oleh pasien dan
informasikan bahwa apabila pada pemeriksaan nanti ada rasa sakit yang dirasakan
pasien, maka pasien harus memberi tahu.
4. Posisikan pasien. Idealnya, pemeriksaan sebaiknya dilakukan dengan berdiri di
belakang pasien. Dan pasien diperiksa dalam posisi duduk.
5. Inspeksi
Kelenjar getah bening leher terletak di sepanjang bagian anterior dan posterior dari
leher tepat di bagian bawah dagu. Jika kelenjar getah bening cukup besar, dapat terlihat
adanya pembengkakan di bawah kulit dan lebih mudah lagi jika pembesarannya
asimetris (akan lebih mudah untuk melihat adanya pembesaran kelenjar getah bening
jika hanya satu bagian saja yang membesar).5

3
Hal-hal yang harus diperhatikan pada inspeksi:
Pembesaran kelenjar getah bening
Skar bekas operasi (cancer exision)
Massa yang jelas
6. Palpasi
Palpasi kelenjar getah bening harus menggunakan empat ujung-ujung jari karena
ujung jari adalah bagian yang paling sensitif. Palpasi dilakukan dengan
membandingkan antara bagian kiri dan kanan secara simultan, dari atas ke bawah dan
dengan sedikit tekanan.5 Palpasi kelenjar limfe submental dan submandibular yaitu
pemeriksa berada dibelakang penderita kemudian palpasi dilakukan dengan kepala penderita
condong ke depan sehingga ujung-ujung jari-jari meraba di bawah tepi mandibula. Kepala
dapat dimiringkan dari satu sisi ke sisi yang lain sehingga palpasi dapat dilakukan pada kelenjar
yang superficial maupun yang profunda. Juga dapat dilakukan dengan palpasi bimanual. 4

Gambar : Palpasi kelenjar limfe submental dan submandibular 4

Palpasi kelenjar jugularis dapat dimulai di superficial dengan melakukan penekanan


ringan dengan menggerakkan jari-jari sepanjang musculus sternokleidomastoideus. Pada
palpasi yang lebih dalam, ibu jari ditekan di bawah musculus Sternokleidomastoideus pada
kedua sisi sehingga dapat di palpasi kelenjar yang terdapat di sub atau retro dari muskulus ini.
Bila pemeriksaan ini negatif atau meragukan, maka pemeriksa harus berdiri di belakang
penderita kemudian ibu jari digunakan untuk menggeser musculus Sternokleidomastoideus
ke depan sementara jari yang lain meraba pada tepi anterior muskular tersebut. Perabaan
secara bilateral dan simultan selalu dianjurkan untuk menilai perabaan antara kedua sisi.

4
Palpasi kelenjar leher ini agak sulit pada orang gemuk, leher pendek dan leher yang berotot.
Terutama bila kelenjarnya masih kecil. 4

Gambar : Palpasi kelenjar limfe rantai kelenjar jugularis4

Palpasi kelenjar limfa asesorius dilakukan dengan menekan ibu jari pada tepi posterior

m. Trapezium ke depan dan jari-jari ditempatkan pada permukaan anterior muskulus ini. 4

Gambar : Palpasi kelenjar limfe asesorius4

Palpasi kelenjar limfa supraklavikular dapat dilakukan dengan duduk di depan atau
berdiri dibelakang penderita dimana jari-jari digunakan untuk palpasi fosa supraklavikular. 4

5
Gambar : Palpasi kelenjar limfe supraklavikular4

METASTASIS TUMOR SERVIKAL

Metastasis dari tumor ganas yang primernya berada di kepala dan leher lebih dari
90% primernya dapat ditentukan dengan pemeriksaan fisik. Insiden tertinggi metastasis dari
karsinoma sel skuamosa di rongga mulut, orofaring, hipofaring, laring, dan nasofaring adalah
ke rangkaian kelenjar limfa jugularis interna superior.

Adanya massa tumor yang berada di preaurikula umumya disebabkan oleh tumor
primer dari kelenjar parotis atau metastasis tumor ganas dari kulit muka, kepala, dan telinga
homolateral.Massa tumor pada kelenjar yang berada dibawah m. Sternokleidomastoideus
bagian atas dan atau pada kelenjar servikal superior posterior biasanya berasal dari tumor di
nasofaring, orofaring, dan bagian posterior sinus maksila.

Pada kelenjar submental dapat berasal dari tumor ganas dari kulit hidung atau bibir,
atau dasar mulut bagian anterior. Pada segitiga submandibula dapat disebabkan oleh tumor
primer pada kelenjar submandibula atau metastasis tumor dari kulit muka homolateral, bibir,
rongga mulut, atau sinus paranasal.

Pada daerah kelenjar jugularis interna superior, dapat berasal dari tumor primer di
rongga mulut, orofaring posterior, nasofaring, dasar lidah, atau laring. Tumor yang tunggal
pada daerah jugularis media biasanya berupa tumor primer pada laring, hipofaring, atau
tiroid.

Tumor pada kelenjar limfa suboksipital biasanya merupakan metastase tumor yang
berasal dari kulit kepala bagian posterior atau tumor primer di aurikula. Sedangkan massa
tumor di supraklavikula biasanya oleh karena tumor primer di infraklavikula, tumor esofagus
bagian servikal atau tumor tiroid.

6
2. UJI WIDAL DAN TUBEXSEBAGAI ALAT UJI DIAGNOSTIK DEMAM TIFOID
a) Uji Widal6
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman S.typhi denganantibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji
Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen
dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam
serum. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakanuntuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi
kuman ini. Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi
H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan
antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap
dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan 2
tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh
dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya
tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan
pengidap S.typhi. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 1/40 dengan memakai
uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit)
menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit
demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur
pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa 1/200 atau pada titer sepasang terjadi
kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan
dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada
deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukan bahwa uji serologi
widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang
terbukti biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yangberhubungan dengan
penderita dan faktor teknis.

7
Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksibukan demam
akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
Faktor teknik, yaitu
1. Akibat aglutinin silang.
2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
Negatif Palsu
Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya yang menghalangi respon antibodi.
Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B, C) memiliki
antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya, dan
bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive).

b) Uji TUBEX
TUBEX merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diperoduksi oleh IDL Biotech,
Sollentuna, Sweden.7 Tes ini sangat cepat 5-10min, simpel, dan akurat. Tes TUBEX ini
menggunakan sistem pemeriksaan yang unik dimana tes ini mendeteksi serum antibody
immunoglobulin M (Ig M) terhadap antigen O9 (LPS) yang sangat spesifik terhadap bakteri
salmonella typhi.8 Pada orang yang sehat normalnya tidak memiliki Ig M anti-O9 LPS. 9 Pada
bagian ini yang akan dijelaskan adalah pengunaan dari anti-O9 s.typhi.
Metode dari tes TUBEX ini adalah mendeteksi antibody melalui kemampuannya
untuk memblok ikatan antara reagent monoclonal anti-O9 s.typhi (antibody-coated indicator
particle) dengan reagent antigen O9 s.typhi (antigen-coated magnetic particle) sehingga
terjadi pengendapan dan pada akhirnya tidak terjadi perubahan warna.8,9,10

Protokol kerja dari tes TUBEX adalah sebagai berikut (gambar 2) :

8
1. Masukkan 45l antigen-coated magnetic particle (Brown reagent) pada reaction
container yang disediakan (satu set yang terdiri dari enam tabung berbentuk V)
2. Masukan 45l serum sampel (serum harus jernih), lalu campurkan keduanya
dengan menggunakan pipette tip
3. Inkubasi dalam 2 menit
4. Tambahkan 90l antibody-coated indicator particle (Blue reagent)
5. Tutup tempat reaksi tersebut dengan menggunakan strip, lalu ubah posisi tabung
dari vertikal menjadi horisontal dengan sudut 90. Setelah itu goyang-
goyangkan tabung kedepan dan kebelakang seperti pada gambar 2 selama 2
menit. Perlakuan ini bertujuan utuk memperluas bidang reaksi.
6. Pada akhir proses reaksi ini tabung berbentuk V ini diletakkan diatas magnet
stand,lalu diamkan selama 5 menit untuk membiarkan terjadi proses pemisahan
(pengendapan). Pembacaan skor hasil dari reaksi ini dilakukan dengan cara
mencocokkan warna yang terbentuk pada akhir reaksi dengan skor yang tertera
pada color scale.9

9
Gambar 2. Skema dari protokol kerja tes TUBEX (IDL Biotech 2005)

Prinsip kerja dari tes TUBEX adalah sebagai berikut yaitu ketika partikel magnet
yang diselimuti oleh antigen (s.typhi LPS) dicampurkan dengan blue latexantibody-coated
indicator particle yang diselimuti oleh anti-s typhi LPS (O9) antibody, maka kedua jenis
partikel ini akan berikatan satu dengan yang lain. Ketika pada akhir eksperimen tabung
berbentuk V tempat terjadinya proses reaksi diatas diletakan diatas magnet stand,maka
antigen-coated magnetic particle akan tersedimentasi dibawa tabung. Begitu juga blue latek
particle yang telah berikatan dengan antigen-coated magnetic particleakan ikut
tersedimentasi pada bagian bawah tabung. Sehingga terjadi perubahan warna dari biru
menjadi merah. Hal ini menunjukan tidak adanya anti-s typhi O9 antibody pada serum milik
pasien dan hasil reaksi dikatakan negative (pasien tidak terindikasi menderita demam tifoid),
lihat gambar 3 sebelah kiri.7,11
Hasil tes TUBEX akan bernilai positif (pasien terindikasi menderita penyakit demam
tifoid) apabila tidak terjadi perubahan warna (tetap berwarna biru). Hal ini menunjukan
terdapatnya anti-s typhi O9 antibody yang mampu menghambat ikatan antara antigen-coated
magnetic particledengan blue latexantibody-coated indicator particle(lihat gambar 3, sebelah
kanan). Sehingga pada akhir reaksi blue latex particle tidak ikut tersedimentasi pada dasar
tabung, sehingga warna tabung tetap berwarna biru.7

Gambar 3. Prinsip dari tes TUBEX. Sebelah kiri, negative result; sebelah
kanan, positive result ( Lim, et al, 1998)

10
Tes TUBEX merupakan tes yang subjektif dan semiquantitative dengan cara membandingkan
warna yang terbentuk pada reaksi dengan TUBEX color scale yang tersedia. Range dari color
scale adalah dari nilai 0 (warna paling merah) hingga nilai 10 (warna paling biru) lihat
gambar 2.7 Adapun cara membaca tes TUBEX adalah sebagai berikut menurut IDL Biotech
2008:
1. Nilai <2 menunjukan nilai negative (tidak ada indikasi demam tifoid)
2. Nilai 3 inconclusive score dan memerlukan pemeriksaan ulang.
3. Nilai 4 menunjukan positif lemah
4. Nilai >5 menunjukan nilai positif (indikasi kuat terjadi demam tifoid)
Nilai TUBEX yang menunjukan nilai positive ditambah dengan symptom dan sign
yang sesuai dengan gejala demam tifoid, merupakan indikasi yang sangat kuat terjadinya
demam tifoid.9,10
Perbandingan tes TUBEX dengan uji Widal
Uji Widal pertama kali diperkenalkan oleh Georges Fermand Isidore Widal (1862-
1929), ia merupakan seorang dokter dan bacteriologist di Prancis.12

Tes ini merupakan alat diagnostik demam tifoid yang paing sering digunakan di negara
berkembang.13 Salmonella typhi memiliki tiga jenis antigen yaitu: antigen O (somatic);

Gambar 4. Struktur antigen S.typhi (Bingnan, Yin. 2006)

antigen H (flagellar); dan antigen Vi (surface), lihat gambar 4, maka tubuh akan membentuk
mekanisme pertahanan tubuh berupa antibody sepesifik terhadap antigen tersebut. Prinsip
dasar dari uji Widal yaitu mendeteksi munculnya agglutinin (antibody) O dan H pada serum
milik pasien dengan menggunakan suspensi O dan H.Terdapat dua jenis pemeriksaan uji
Widal yaitu tube Widal test dan slide Widal test. Slide Widal test lah yang paling popular
digunakan karena memberikan hasil yang lebih cepat.13
Uji Widal memberikan hasil tes yang bersifat qualitative, untuk menghitung hasil titer

11
untuk setiap antigen pada uji Widal menggunakan slide, serum milik pasien harus diencerkan
terlebih dahulu. Sempel serum diencerkan dalam beberapa tingkatan yaitu 80l, 40l, 2l,
10l, 5l, pada setiap seri sempel serum diberikan satu tetes antigen sepesifik dan dilihat
apakah terjadi agglutinasi atau tidak. Setiap seri serum spesimen memiliki nila yang berbeda
yaitu; 80l berkorespondensi dengan 1 dalam 20 titer (1/20), 40l dengan 1/40, 20l dengan
1/80, 10l dengan 1/160, dan 5l dengan 1/320. Nilai-nilai tersebut menunjukan hasil
positive yang menunjukan terjadi proses aglutinasi, dengan semakin tinggi titer semakin
tinggi pula kemungkinan pasien tersebut menderita demam tifoid.12,13
Jika dibandingkan antara tes TUBEX dengan uji Widal akan ditemukan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Antigen yang digunakan pada tes TUBEX adalah anti-O9 s.typhi yang mampu
membedakan organisme ini dari >99% serotype bakteri salmonella lainnya,
sedangkan uji Widal menggunakan antigen yang tidak begitu spesifik terhadap
s.typhi sehingga dapat terjadi cross-reaction dengan kuman salmonella lainnya
misalnya pada pasien yang pernah menderita enteric fever lainnya. Reaksi ini
dinamakan anamnestic response dan dapat menimbulkan tingginya nilai false
positive.Hal ini menjawab alasan dari kurang spesifiknya uji Widal.7,12
2. Dilihat dari metode yang digunkan oleh kedua tes, dimana TUBEX
menggunakan kemampuan inhibitor activities dari antibody dan uji Widal
menggunakan reaksi agglutinasi. Inhibitor activities memiliki keuntungan
karena lebih mudah dideteksi walaupun dengan kadar antibody yang rendah.
Hal ini memberikan alasan mengapa TUBEX lebih sensitive daripada uji
Widal.7
3. Single test pada uji Widal tidak begitu bermakna. Idealnya uji widal dilakukan
dua kali yaitu pada fase akut dan 7-10 hari setelahnya. Hal ini dikarenakan
agglutinin O dan H meningkat dengan tajam 8 hari setelah onset panas
pertama. Jika terjadi empat kali peningkatan titer agglutinin baru dapat
dikatakan hasilnya positive secara signifikan. Sayangnya hal ini jarang
ditemukan karena penggunaan antibiotik pada awal penyakit bisa mencegah
meningkatnya titer agglutinin.12,13 Hal ini berbeda dengan tes TUBEX yang
fokus mendeteksi Ig M yang secara teoritis muncul lebih awal daripada Ig G.
Bahkan penelitian terbaru mengatakan bahwa tes TUBEX yang dimodifikasi
mampu mendeteksi bukan hanya antibody melainkan antigen s.typhi , sehingga

12
tes ini sangat berguna pada fase akut. Hal ini menyebabkan tingginya angka
sensitivitas tes TUBEX.11
4. Meningkatnya penggunaan vaksin typhoid menyebabkan meningkatnya angka
false positive pada uji Widal. Hal ini terjadi karena meningkatnya agglutinin
level secara persisten pada H agglutinin dan transient pada O agglutinin, yang
terjadi baik pada non-infected population maupun pada febrile non-typhoid
patients karena anamnestic response.13 Hal ini belum pernah dilaporkan pada
pemeriksaan dengan menggunakan tes TUBEX.Tentu saja ini sangat
berpengaruh pada penggunaan antibiotik yang tidak tepat dan meningkatkan
angka resistensi obat.Untungnya hal ini dapat diatasi dengan mengulangi tes
Widal pada mingguberikutnya, karena tidak akan terjadi peninggkatan lagi pada
hasil tes ulangan tersebut.11
5. Sensitivitas dan spesifistas yang cukup berbeda, pada suatu penelitain oleh
Olsen, Sonja et al, 2004 menyebutkan perbedaan antara tes TUBEX dan uji
Widal yaitu; sensitivitas (78/64); spesifisitas (94/76); positive predictive value
(98/88); dan negative predictive value (59/43). 9 beberapa penelitian lain
menunjukan sensitivitas dan spesifisitas TUBEX yang lebih tinggi lagi yaitu
94,7% dan 80,4%-93%.7
6. Harga TUBEX 4 U.S dollar dan Widal 0,5 U.S dollar, harga ini dilihat dari
penelitian di Vietnam, akan tetapi harga ini belum termasuk biaya transportasi.7
7. Persamaan yang dimiliki oleh kedua tes ini dan sangatlah penting adalah proses
pengerjaan yang relatif mudah; simpel (one-step); tidak membutuhkan alat-alat
canggih dan mahal, sehingga kedua tes ini dapat diterapkan pada daerah edemik
yang cenderung merupakan negara berkembang.7
Masih banyak lagi kelemahan uji widal seperti nilai dari uji ini yang sangat dipengaruhi
oleh operator yang bekerja dll.Beberapa hal diatas menunjukan bahwa tes TUBEX
dapat menutupi kelemahan dari uji Widal dan memiliki keunggulan dari tes Widal.9
3. Bercak Koplik

Bercak koplik yang merupakan tanda patognomonik untuk campak muncul pada hari
ke-101 infeksi. Bercak koplik adalah suatu bintik putih keabuan sebesar butiran pasir
dengan areola tipis berwarna kemerahan dan biasanya bersifat hemoragik. Tersering
ditemukan pada mukosa bukal di depan gigi geraham bawah tetapi dapat juga ditemukan
pada bagian lain dari rongga mulut seperti palatum, juga di bagian tengah bibir bawah dan

13
karunkula lakrimalis. Muncul 1-2 hari sebelum timbulnya ruam dan menghilang dengan
cepat yaitu sekitar 12-18 jam kemudian.14

Sumber: Google Search


4. DIAGNOSIS BANDING MORBILI

1. Rubella14
Rubella (German measles) merupakan suatu penyakit virus yang umumnya pada anak
dan dewasa muda, yang ditandai oleh suatu masa prodromal yang pendek, pembesaran
kelenjar getah bening servikal, suboksipital dan postaurikular, disertai erupsi yang
berlangsung 2-3 hari. Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa dapat disertai kelainan
sendi dan purpura. Rubella pada kehamilan trimester awal dapat mengakibatkan abortus, bayi
lahir mati, dan menimbulkan kelainan kongenital yang berat pada janin
Penularan terjadi melalui oral droplet, dari nasofaring, atau rute pernafasan.
Selanjutnya virus rubella memasuki aliran darah. Namun terjadinya erupsi di kulit belum
diketahui patogenesisnya. Viremia mencapai puncaknya tepat sebelum timbul erupsi di kulit.
Di nasofaring virus tetap ada sampai 6 hari setelah timbulnya erupsi dan kadang-kadang lebih
lama. Selain dari secret nasofaring, virus rubella telah diisolasi dari kelenjar getah bening,
urin, cairan serebrospinal, ASI, cairan synovial, dan paru.
Penularan dapat terjadi biasanya sejak 7 hari sebelum hingga 5 hari sesudah
timbulnya erupsi. Daya tular tertinggi terjadi pada akhir masa inkubasi, kemudian menurun
dengan cepat, dan berlangsung hingga menghilangnya erupsi.
Manifestasi klinis:
Masa inkubasi: Masa inkubasi berkisar antara 14-21 hari. Dalam beberapa laporan
lain waktu inkubasi minimum 12 hari dan maksimum 17 sampai 21 hari.
Masa prodromal: Pada anak biasanya erupsi timbul tanpa keluhan sebelumnya, jarang
disertai gejala dan tanda pada masa prodromal. Namun pada remaja dan dewasa muda
masa prodromal berlangsung 1-5 hari dan terdiri dari demam ringan, sakit kepala,

14
nyeri tenggorok, kemerahan pada konjungtiva, rhinitis, batuk, dan limfadenopati.
Gejala ini segera menghilang pada waktu erupsi timbul. Gejala dan tanda prodromal
biasanya mendahului erupsi di kulit 1-5 hari sebelumnya. Pada beberapa penderita
dewasa gejala dan tanda tersebut dapat menetap lebih lama dan bersifat lebih berat.
Pada 20% penderita selama masa prodromal atau hari pertama erupsi, timbul
eritemaForscheimer spot, yaitu macula atau petekia pada palatum molle, bisa saling
merengkuh sampai seluruh permukaan faucia. Pembesaran kelenjar limfe bias timbul
5-7 hari sebelum timbul eksantema, khas mengenai kelenjar suboksipital,
postaurikular dan servikal, dan disertai nyeri tekan.
Masa eksantema. Seperti pada campak, eksantema mulai retroaurikular atau pada
muka dan dengan cepat meluas secara kraniokaudal ke bagian lain dari tubuh, mula-
mula berupa macula yang berbatas tegas dan kadang-kadang dengan cepat meluas dan
menyatu, memberikan bentuk campakform. Pada hari kedua eksantema di muka
menghilang, diikuti hari ke-3 di tubuh dan hari ke-4 di anggota gerak. Pada 40%
kasus infeksi rubella terjadi tanpa eksantema. Meskipun sangat jarang, dapat terjadi
deskuamasi posteksantematik.14

Selain eksantema, limfadenopati merupakan suatu gejala klinis yang penting pada
rubella. Biasanya pembengkakan kelenjar getah bening itu berlangsung selama 5-8 hari.
Pada penyakit rubella yang tidak mengalami penyulit sebagian besar penderita sudah
dapat bekerja seperti biasa pada hari ke-3. Sebagian kecil penderita masih terganggu dengan
nyeri kepala, sakit mata, rasa gatal selama 7-10 hari.14
2. Eksantema subitum
Eksantema subitum adalah penyakit virus pada bayi dan anak kecil yang bersifat akut,
biasanya terjadi secara sporadic dan dapat menimbulkan epidemic. Hal yang unik dari
eksantema subitum adalah ruam dan perbaikan klinis yang terjadi hampir simultan.
Eksantema subitum sudah lama dikenal sebagai penyakit eksantematus yang sering terjadi
pada anak. Beberapa nama lain dari penyakit ini adalah roseola infantum, sixth disease, the
rose rash of infants, dan pseudorubella.
Eksantema subitum merupakan infeksi primer HHV-6B. Eksantema subitum
merupakan penyakit yang umum, disertai panas yang akut pada anak. Meskipun manifestasi
klinik dari bayi atau anak yang menderita eksantema subitum bervariasi, tetapi memiliki
karakteristik khas yang timbul 3-6 hari. Pada periode demam ini berhubungan dengan

15
terdapatnya virus dalam darah. Saat periode demam selama 3-6 hari, anak menjadi rewel,
tetapi bila demam sudah menurun, anak menjadi tampak normal. Umumnya terjadi
limfadenopati servikal, tetapi karakteristik yang paling utama adalah timbulnya limfadenopati
di oksipital posterior pada 3 hari pertama infeksi, disertai eksantema (Nagayanas spots) pada
palatum molle dan uvula.
Setelah panas turun, kemudian timbul ruam pada tubuh, menyebar kearah leher,
wajah, dan ekstremitas. Lesi yang timbul berbentuk campakform atau rubella-like dengan
macular, lesi berwarna merah muda, ukuran dengan diameter 1-3 mm. dapat ditemukan juga
ubun-ubun besar yang menonjol namun akan sembuh secara spontan. Infeksi primer ini dapat
asimtomatik, tetapi juga dapat menimbulkan manifestasi klinik yang lain dari eksantema
subitum yang klasik. Pada beberapa kasus, eksantema subitum dapat juga disertai gejala-
gejala yang lain seperti otitis media sampai infeksi saluran pernapasan atas dan
gastroenteritis.14
3. Scarletfever
Scarlet fever atau demam skarlatina adalah penyakit infeksi saluran napas atas yang
disebabkan infeksi Grup A Streptokokus (GAS) yang memproduksi eksotoksin pyrogenic
(erythrogenic toxin) di faring. Pada scarlet fever dapat ditemukan ruam yang karateristik, di
mana ruam ini diakibatkan infeksi Grup A Streptokokkus. Saat ini scarlet fever lebih sulit
ditemui dan virulensi-nya telah menurun dibanding masa lampau, tetapi siklus insidensi
masih ada, tergantung pada prevalensi strain bakteri yang memproduksi toxin dan status
imunitas populasi.
Metode transmisi penyebaran GAS pada faring terjadi melalui udara (droplet nuclei,
debu) dan lingkungan yang tercemar (baju, tempat tidur) merupakan sebagian kecil dari poses
penyebaran streptokokus. Kontak erat dengan individu terinfeksi dibutuhkan untuk
transmisiStreptokokus faring langsung secara droplet atau transfer fisik dari secret respirasi
yang berisi bakteri infeksi. Penyebaran di dalam keluarga dan sekolah sering terjadi. Pasien
infeksi aktif maupun infeksi subklinis mungkin bisa menyebarkan infeksi. Pada umumnya
penyebaran kedua (oleh penderita karier) terjadi 2 minggu pertama setelah bebas saki, karier
karena infeksi Streptokokus pada saluran nafas dan sering menimbulkan penularan
organisme. Makanan atau susu yang terkontaminasi mungkin bias menimbulkan infeksi
Streptokokus pada faring.
Ruam timbul pada 24-48 jam setelah onset simptom. Ruam sering dimulai dari area
sekitar leher dan menyebar ke perut dan dada serta ekstremitas. Ruam yang timbul difus,
makulopapular berbatas tegas, dan erupsi eritme menghasilkan warna merah pucat pada kulit

16
yang menghilang dengan penekanan. Ruam sering ditemukan pada lipatan siku, axilla, dan
selangkangan. Saat diraba kulit terasa kasar dan teraba adanya bintik-bintik seperti pada kulit
angsa. Pada pipi sering terlihat kemerahan dengan mulut yang terlihat pucat. Setelah 3-4 hari
ruam mulai menghilang, diikuti dengan deskuamasi yang dimulai dari wajah kemudian
meluas ke bawah sehingga kulit terlihat seperti terbakar matahari ringan. Terkadang,
deskuamasi juga dapat terlihat pada ujung jari, telapak tangan, dan tumit. Selain itu, lidah
terlihat seperti terlapis dengan papilla yang membesar. Setelah deskuamasi, pada pasien
scarlet fever dapat ditemukan strawberry tongue.15
4. Erupsi Obat Alergi
Erupsi obat alergi adalah reaksi alergi pada kulit atau mukokutan yang terjadi sebagai
akibat pemberian obat dengan cara sistemik. Ada dua macam mekanisme pathogenesis erupsi
obat alergi. Pertama adalah reaksi mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme non-
imunologis. Umumnya erupsi obat alergi timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan
reaksi imunologis. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non-imunologis yang
disebabkan oleh toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat, dan perubahan dalam
metabolisme.
Dasar diagnosis erupsi obat alergi adalah anamnesis yang teliti mengenai obat-
oabatan yang dipakai, kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga beberapa hari sesudah
masuknya obat, dan rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebris.
Selain itu, dilihat juga kelainan kulit yang ditemukan baik distribusi yang menyerluruh dan
simetris serta bentuk kelainan yang timbul.
Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari jenis lesi
dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya. Data mengenai semua
jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data kronologis mengenai cara pemberian
obat serta jangka waktu antara pemakaian obat dengan onset timbulnya erupsi harus ikut
dikumpulkan. Akan tetapi ada kalanya hal ini sulit untuk dievaluasi terutama pada penderita
yang mengkonsumsi obat yang mempunyai waktu paruh yang lama atau mengalami erupsi
obat alergi yang bersifat persisten.16
Pemeriksaan diagnostik untuk kasus erupsi obat alergi adalah denganmengkonfirmasi
marker biokemikal atau marker imunologi yang menyatakanaktivasi jalur imunopatologi
reaksi obat. Pemilihan pemeriksaan penunjangdidasarkan atas mekanisme imunologis yang
mendasari erupsi obat. Pemeriksaanpenunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan
penyebab erupsi obat alergi adalah:

17
Biopsi kulit
Pemeriksaan histopatologi dan imunofloresensi direk dapatmembantu menegakkan
diagnosis erupsi obat alergi. Hal ini dapatdilihat dari adanya eosinofil dan edema jaringan.
Akan tetapipemeriksaan ini tidak dapat menentukan obat penyebab erupsi.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengevaluasi danmenegakkan diagnosis
serta melihat kemungkinan etiologipenyebab erupsi. Pemeriksaan ini mencakup perhitungan
darahlengkap (atypical lymphocytosis, neutrophilia, eosinophilia, danlain-lain) serta fungsi
kerja hati dan ginjal. Peningkatan jumlaheosinofil dapat menunjukkan erupsi obat alergi
dimana bilaperhitungan eosinofil lebih dari 1000 sel/mm 3 menunjukkan erupsiobat alergi
yang serius. Level obat dapat terdeteksi apabilaterdapat overdosis dari obat tersebut.
Pemeriksaan uji tempel dan uji provokasi
Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih belum dapatdipercaya. Uji
provokasi (exposure test) dengan melakukanpemaparan kembali obat yang dicurigai adalah
yang palingmembantu untuk saat ini, tetapi risiko dari timbulnya reaksi yanglebih berat
membuat cara ini harus dilakukan dengan cara hati-hatidan harus sesuai dengan etika maupun
alasan mediko legalnya.16

Pada erupsi obat alergi, dapat timbul erupsi makulopapular atau morbiliformis. Erupsi
makulopapular atau morbiliformis disebut juga erupsi eksantematosa dapat diinduksi oleh
hampir semua obat. Seringkali terdapat erupsi generalisata dan simetris yang terdiri atas
eritema dan selalu ada gejala pruritus. Kadang-kadang ada demam, malaise, dan nyeri sendi.
Lesi biasanya timbul dalam 1-2 minggu setelah dimulainya terapi. Erupsi jenis ini sering
disebabkan oleh ampisilin, OAINS, sulfonamid, dan tetrasiklin.16

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Cancer Research UK. The Lymphatic System. [online]2011 [cited 2012 December 3]
Available from: http://www.cancerresearchuk.org/cancer-help/about-cancer/what-is-
cancer/body/the-lymphatic-system
2. Lore, John M. An Atlas of Head and Neck Surgery. Fourth Edition. Philadelphia.
Elsevier Ink : 2005. P.787
3. Cummings, Charles W. Otolaryngology Head and Neck Surgery. Volume
One.Phyladelphia. Mosby Inc: 2005. Chapter 1 P.5-8
4. Kuhuwael F. Penuntun Pembelajaran Keterampilan Palpasi Kelenjar Limfe Leher
dalam Buku Panduan Kerja Keterampilan Klinik Pemeriksaan Palpasi Kelenjar limfe.
Makassar: Fakultas Kedokteran UH; 2006.
5. Goldberg, Charlie. Head and Neck Exam. University of California, San Diego. [online]
2008 [Diakses tanggal 13 Oktober 2016] Available
from:http://meded.ucsd.edu/clinicalmed/joints.html
6. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada anak.
Surabaya : FK UNAIR ; 2010. hal. 1-10.
7. Afifi, Salma, et al. Hospital-Based Surveillance for Acute Febrile Illness in Egypt: A
Focus on Community-Acquired Bloodstream Infections. Am. J. Trop. Med. Hyg.
2005:73(2):392-399.
8. Rao, Sridhar. 2009. A Review article ofWidal Test. See: www.microrao.com. (Diakses
tanggal 13 Oktober 2016).
9. IDL Botech, 2005. A review article ofRapid Detection of Typhoid fever. See:
www.idl.se. (Diakses tanggal 13 Oktober 2016).
10. IDL Botech, 2008. A review article ofRapid Detection of Typhoid fever. See:
www.idl.se. (Diakses tanggal 13 Oktober 2016).
11. Tam, Frankie, et al. Modification of the TUBEX Typhoid Test to Detect Antibodies
Directly from Haemolytic Serum and Whole Blood. Journal of Clinical Microbiology.
2008:57:316-323.
12. Rao, Sridhar. 2009. A Review article ofWidal Test. See: www.microrao.com. (Diakses
tanggal 13 Oktober 2016).
13. Thelma, E, et al. A Review of Clinical Applicatuon of the Widal Test. Phill J Microbiol

19
Infect Dis. 1991:20(1):23-23.
14. Soedarmo, SSP. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Edisi Kedua. 2012.h.109-18.
15. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Nelson ilmu kesehatan anak.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012.
16. Nababan KA. Profil erupsi obat di satuan medis fungsional ilmu kesehatan kulit dan
kelamin RSUP Haji Adam Malik tahun 2010 2013 [disertasi]. Medan: Universitas
Sumatera Utara; 2014.

20

Anda mungkin juga menyukai