Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebutuhan atau konsumsi minyak solar nasional di indonesia adalah 25 milyar


liter pada tahun 2014. Sekitar 15,67 milyar liter dari kebutuhan tersebut dipenuhi oleh
kilang dalam negeri dan sisanya dipenuhi melalui impor (Sugiyono dkk, 2014). Kebutuhan
minyak solar diprediksikan akan meningkat setiap tahunnya dikarenakan berkurangnya
produksi minyak solar pada kilang minyak indonesia tiap harinya dan sulitnya menemukan
sumber minyak yang baru, sehingga perlu dilakukan impor minyak solar untuk mencukupi
kebutuhan tersebut. Di masa mendatang, kebutuhan akan minyak solar dipastikan terus
meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan volume kegiatan ekonomi
(Kementrian SDM, 2012). Untuk mengatasinya diperlukan energy alternatif lain yang
dapat memenuhi kebutuhan minyak solar selain dari impor, salah satunya yaitu biodiesel.

Biodiesel adalah senyawa metil ester yang digunakan sebagai salah satu bahan
bakar alternatif pengganti solar yang dibuat dari sumber yang dapat diperbaharui seperti
minyak nabati dan lemak hewani. Dibandingkan bahan bakar fosil, bahan bakar biodiesel
mempunyai kelebihan diantaranya bersifat biodegrable, non-toxic, mempunyai angka
emisi dan gas sulfur yang rendah, serta sangat ramah terhadap lingkungan (Marchetti dan
Errazu, 2008).

Biodiesel memiliki kelebihan antara lain tidak diperlukan modifikasi mesin,


memiliki angka setana tinggi, ramah lingkungan, memiliki daya pelumas yang tinggi, aman
dan tidak beracun. Biodiesel termasuk bahan bakar yang ramah lingkungan karena dapat
mengurangi emisi gas karbon monoksida (CO) sekitar 50%, gas karbon dioksida sekitar
78,45% dan bebas kandungan sulfur (Sufriyani, 2006).

Salah satu bahan alami yang dapat digunakan sebagai material dalam pembuatan
biodiesel adalah biji nyamplung. Biji nyamplung mengandung 40-70% minyak, sehingga
sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk biodiesel (Hambali, 2007). Minyak
dari buah nyamplung tergolong minyak non-pangan (non-edibel oil), sehingga bila
digunakan sebagai bahan baku alternatif pengganti solar tidak akan mempengaruhi
pasokan minyak pangan di indonesia (Christina dkk, 2011).
Keberadaan bahan baku yang cukup melimpah merupakan kesempatan besar
untuk bisa dikembangkan menjadi pilihan energi alternatif yang dapat dikembangkan
secara komersial. Tanaman nyamplung dapat tumbuh baik di daerah tropis dan sub tropis,
sehingga jika digunakan sebagai bahan baku biodiesel sangat memungkinkan (Heryati dkk,
2007). Di pulau jawa terdapat beberapa lokasi perkebunan nyamplung salah satunya di
kabupaten purworejo. Perkebunan nyamplung di purworejo memiliki lahan sejumlah 1000
hektar dengan 50000 batang tanaman nyamplung dan dapat memproduksi 20 ton/ha/tahun
buah nyamplung (Departemen Kehutanan, 2008). Tanaman nyamplung selama ini hanya
digunakan sebagai tanaman penghijauan, pencegah erosi dan buahnya dimanfaatkan
sebagai kerajinan tangan. Hal ini lah yang mendasari buah nyamplung sebagai bahan baku
biodiesel yang tepat untuk mengatasi krisis energi dimasa mendatang.

Biodiesel dari minyak nyamplung dapat dibuat dengan melalui beberapa proses
yaitu proses esterifikasi dan transesterifikasi di bantu dengan katalis basa. Katalis basa
yang digunakan dapat berupa katalis cair maupun katalis padat. Umumnya pembuatan
biodiesel menggunakan katalis padat seperti CaO karna katalis tersebut dapat di pisahkan
kembali dari proses transesterfikasi, sehingga dapat digunakan kembali untuk proses
transesterfikasi berikutnya (Zuhra, 2015). Namun, proses pembuatan biodiesel
menggunakan katalis basa padat cenderung mahal, sehingga perlu alternatif lain untuk
mendapatkan katalis basa padat tersebut.

Salah satu bahan yang dapat digunakan untuk membuat katalis basa padat tersebut
adalah cangkang telur ayam. Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa katalis CaO dapat
dibuat dari cangkang telur ayam dengan menggunakan proses kalsinasi suhu tinggi dan
kadar katalis CaO dari cangkang telur ayam yang didapatkan sebesar 98,124% dari berat
total cangkang telur (Buasri dkk, 2013). Selain itu, cangkang telur ayam merupakan limbah
pangan yang cukup melimpah karena biasanya hanya dibuang begitu saja sehingga sangat
cocok sebagai bahan baku pembuatan katalis CaO padat.

1.2 Perumusan Masalah

Biodiesel dapat dibuat dari minyak nabati yang terdapat pada tumbuhan melalui
proses esterifikasi dan transesterifikasi. Namun, sebagian besar minyak nabati berasal dari
tanaman yang biasa digunakan sebagai tanaman pangan, yang nantinya dikhawatirkan akan
terjadi kelangkaan pangan karena banyak yang digunakan sebagai bahan baku biodiesel.
Selain itu pembuatan biodiesel termasuk katalis relatif mahal untuk dapat bersaing dengan
produk minyak bumi. Oleh karenanya Minyak nyamplung dan cangkang telur ayam dapat
digunakan untuk bahan baku pembuatan biodiesel dan katalis basa padat, karena
merupakan jenis minyak non-edible (minyak non-pangan) dan merupakan limbah yang tak
termanfaatkan.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Memanfaatkan limbah cangkang telur ayam menjadi katalis basa heterogen padat untuk
pembuatan biodiesel dengan menggunakan proses kalsinasi suhu tinggi.
2. Membuat biodiesel dari minyak nyamplung dengan proses esterifikasi dan
transesterifikasi serta menganalisis proses transesterifikasi.
3. Karakterisasi biodiesel yang dihasilkan dan membandingkannya dengan kualitas
biodiesel menurut SNI.

1.4 Manfaat Penelitian

Meningkatkan nilai guna dan nilai ekonomi tanaman nyamplung untuk


menghasilkan bahan bakar alternatif masa depan yang berkualitas, ramah lingkungan dan
dapat diperbaharui serta mengurangi biaya pembuatan biodiesel dengan memanfaatkan
limbah cangkang telur ayam sebagai katalis basa (CaO) pada proses transesterifikasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biodiesel

Biodiesel merupakan bahan bakar alternative untuk mesin diesel yang


diproduksi dengan reaksi transesterifikasi dan esterifikasi minyak tumbuhan atau lemak
hewan dengan alkohol rantai pendek seperti methanol. Reaksinya membutuhkan katalis
sehingga akan memproduksi senyawa kimia baru yang disebut metal ester. (Gerpen, 2005).

Biodiesel merupakan bahan bakar yang terdiri dari campuran mono-alkyl


ester dari rantai panjang asam lemak, yang dipakai sebagai alternatif bagi bahan bakar
dari mesin diesel dan terbuat dari sumber terbaharui seperti minyak sayur atau lemak

hewan. Biodiesel dibuat melalui suatu proses kimia yang disebut transesterifikasi,
esterifikasi ataupun trans- esterifikasi. Pada dasarnya, biodiesel dipilih karena memiliki
sifat yang biodegradable, non- toxic dan rendah emisi.

Berdasarkan kandungan FFA dalam minyak nabati maka proses pembuatan


biodiesel secara komersial dibedakan menjadi 2 yaitu : Transesterifikasi dengan katalis
basa untuk bahan baku refined oil atau minyak nabati dengan kandungan FFA rendah.
Esterifikasi dengan katalis asam untuk minyak nabati dengan kandungan FFA tinggi
dilanjutkan dengan transesterifikasi dengan katalis basa.

Biodiesel mempunyai rantai karbon berkisar antara 12 hingga 20 serta


mengandung oksigen. Hal itulah yang membedakannya dengan petroleum diesel yang
komponen utamanya adalah hidrokarbon. Dengan adanya oksigen, akan mempengaruhi
flash point-nya yang menjadi lebih tinggi, sehingga tidak mudah terbakar. Standar yang
ditetapkan oleh SNI 04-7182-2006 mengenai karakteristik dari biodiesel disajikan pada
tabel berikut :

Tabel 2.1 Standar Biodisel Menurut SNI 04-7182-2006


No. Parameter Nilai
1. Massa jenis 850-890 kg/m3
2. Viskositas kinematik 2,3-6 mm2/s
3. Bilangan setana Min. 51
4. Titik nyala Min. 100 C
5 Bilangan Asam Maks. 0,8

6. Kadar ester alkil mg96,5%


Min.
5. Bilangan asam
7. Bilangan iodium Maks. 115
Sumber : Christina dkk, 2011 KOH/g

Dari tabel tersebut,dapat diketahui karakteristik dari biodiesel yang ditetapkan,


sehingga dalam pembuatan biodiesel dengan bahan baku minyak nabati, standar yang
ditetapkan oleh SNI harus dipenuhi. Analisis karakteristik yang dilakukan meliputi:
densitas, viskositas kinematik, bilangan setana, titik nyala, dan kadar ester alkil.

2.2 Katalis dalam Pembuatan Biodiesel

Dalam reaksi pembuatan biodiesel diperlukan katalis karena reaksi cenderung


berjalan lambat. Katalis berfungsi menurunkan energi aktifasi reaksi sehingga reaksi dapat
berlangsung lebih cepat. Katalis yang digunakan dalam pembuatan biodiesel dapat
berupa katalis basa maupun katalis asam. Dengan katalis basa reaksi berlangsung pada
suhu kamar sedangkan dengan katalis asam reaksi baru berjalan baik pada suhu sekitar
100C. Bila tanpa katalis, reaksi membutuhkan suhu minimal 250C (Kirk & Othmer,
1980).

2.2.1 Katalis Basa

Terdapat dua jenis katalis basa yang dapat digunakan dalam pembuatan
biodiesel, yaitu katalis basa homogen dan katalis basa heterogen. Katalis basa
homogen seperti NaOH (natrium hidroksida) dan KOH (kalium hidroksida)
merupakan katalis yang paling umum digunakan dalam proses pembuatan biodiesel
karena dapat digunakan pada temperatur dan tekanan operasi yang relatif rendah serta
memiliki kemampuan katalisator yang tinggi. Akan tetapi, katalis basa homogen
sangat sulit dipisahkan dari campuran reaksi sehingga tidak dapat digunakan kembali
dan pada akhirnya akan ikut terbuang sebagai limbah yang dapat mencemarkan
lingkungan.
Di sisi lain, katalis basa heterogen seperti CaO, meskipun memiliki
kemampuan katalisator yang sedikit lebih rendah dibandingkan dengan katalis basa
homogen, dapat menjadi alternatif yang baik dalam proses pembuatan biodiesel.
Katalis basa heterogen dapat dengan mudah dipisahkan dari campuran reaksi
sehingga dapat digunakan kembali, mengurangi biaya pengadaan dan pengoperasian
peralatan pemisahan yang mahal serta meminimasi persoalan limbah yang dapat
berdampak negatif terhadap lingkungan.
Meskipun katalis basa memiliki kemampuan katalisator yang tinggi serta
harganya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan katalis asam, untuk
mendapatkan performa proses yang baik, penggunaan katalis basa dalam reaksi
transesterifikasi memiliki beberapa persyaratan penting, diantaranya alkohol yang
digunakan harus dalam keadaan anhidrous dengan kandungan air < 0.1 - 0.5 %-berat
serta minyak yang digunakan harus memiliki kandungan asam lemak bebas < 0.5%
(Lotero et al., 2005). Keberadaan air dalam reaksi transesterifikasi sangat penting
untuk diperhatikan karena dengan adanya air, alkil ester yang terbentuk akan
terhidrolisis menjadi asam lemak bebas. Lebih lanjut, kehadiran asam lemak bebas
dalam sistem reaksi dapat menyebabkan reaksi penyabunan yang sangat menggangu
dalam proses pembuatan biodiesel. Hal ini dapat di lihat pada gambar di bawah ini :

R-COOH + KOH R-COOK + H2O

(Asam Lemak Bebas) (Alkali) (Sabun) (Air)

Gambar 2.1 Mekanisme Reaksi Penyabunan pada Pembuatan Biodiesel

Akibat reaksi samping ini, katalis basa harus terus ditambahkan karena
sebagian katalis basa akan habis bereaksi membentuk produk samping berupa sabun.
Kehadiran sabun dapat menyebabkan meningkatnya pembentukkan gel dan
viskositas pada produk biodiesel serta menjadi penghambat dalam pemisahan produk
biodisel dari campuran reaksi karena menyebabkan terjadinya pembentukan emulsi.
Hal ini secara signifikan akan menurunkan keekonomisan proses pembuatan biodiesel
dengan menggunakan katalis basa.

2.2.2 Katalis Asam

Alternatif lain yang dapat digunakan untuk pembuatan biodiesel adalah


dengan menggunakan katalis asam. Selain dapat mengkatalisis reaksi transesterifikasi
minyak tumbuhan menjadi biodiesel, katalis asam juga dapat mengkatalisis reaksi
esterifikasi asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak menjadi
biodiesel mengikuti reaksi berikut ini:

R-COOH + CH3OH R-COOCH3 + H2O


(Asam Lemak Bebas) (Metanol) (Biodiesel) (Air)

Gambar 2.2 Mekanisme Reaksi Pembuatan Biodiesel

Katalis asam umumnya digunakan dalam proses pretreatment terhadapat


bahan baku minyak tumbuhan yang memiliki kandungan asam lemak bebas yang
tinggi namun sangat jarang digunakan dalam proses utama pembuatan biodiesel.
Katalis asam homogen seperti asam sulfat, bersifat sangat korosif, sulit dipisahkan
dari produk dan dapat ikut terbuang dalam pencucian sehingga tidak dapat digunakan
kembali sekaligus dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan. Katalis
asam heterogen seperti Nafion, meskipun tidak sekorosif katalis asam homogen dan
dapat dipisahkan untuk digunakan kembali, cenderung sangat mahal dan memiliki
kemampuan katalisasi yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan katalis basa.

2.3 Tanaman Nyamplung


Tanaman nyamplung berbuah sepanjang tahun dan tersebar cukup luas di
Indonesia. Tanaman ini biasanya tumbuh di kawasan pantai, dan dapat hidup dengan
baik pada ketinggian 500 meter dari permukaan laut. Nyamplung yang dikenal dengan
Calophyllum inophyllum L. memiliki taksonomi sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta

Sub Devisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Bangsa : Guttiferales

Suku : Guttiferales

Marga : Calophyllum

Jenis : Calophyllum inophyllum L.

Buah dari pohon nyamplung dapat dipanen sepanjang tahun, rata-rata tiap

tahun per pohon mampu menghasilkan biji kurang lebih sebanyak 250 kg. Biji
nyamplung memiliki kandungan minyak yang tinggi yaitu 55% pada biji segar dan

70,5% pada biji kering. Kandungan dari minyak yang terdapat di dalam biji
nyamplung disajikan pada tabel berikut :
Tabel 2.2 Kandungan Minyak Biji Nyamplung
Persentase
No Komponen (% berat)
1. Asam lemak jenuh 29,415

Asam palmitat 14,318


Asam stearat 15,097
2. Asam lemak tidak jenuh 70,325
Asam palmitoleat 0,407
Asam oleat 35,489
Asam linoleat 33,873
Asam linolenat 0,557

Sumber : Christina dkk, 2011


Minyak nyamplung mempunyai kandungan asam lemak jenuh yang sedikit

sehingga akan berbentuk cair pada suhu kamar. Minyak nabati biasanya juga
mengandung phospholipids yang dapat dihilangkan dengan menggunakan proses
degumming.

2.3.1 Keunggulan Jenis Pohon - Nyamplung

Nyamplung merupakan tanaman pantai yang tumbuh di daratan dengan


ketinggian dari 0 hingga 400 mdpl, tersebar diseluruh kepulauan Indonesia, juga di
beberapa negara berpantai seperti negara- negara di Afrika, Madagaskar, India, Thailand,
Vietnam, Malaysia, dan Cina.
Selain itu Nyamplung memiliki daya tahan yang tinggi terhadap lingkungan.
Jenis ini ditemukan dalam jumlah populasi yang besar, dengan kisaran umur yang lama
(1-50 tahun), memiliki biji yang banyak, berbuah sepanjang tahun terutama pada bulan
September-Nopember.
Produktivitas biji keringnya tinggi, 10 ton dari jarak tanam 5 x 10 m dan 20 ton
dari jarak tanam 5 x 5 m. Kadar minyak berkisar dari 60 hingga 65% dari kapasitas total
dan 45 40 % minyak yang diekstrak.
Selain minyak, kayu pohon nyamplung telah lama menjadi kayu komersial,
terutama sebagai bahan baku pembuatan kapal, karena kayu ini memiliki ketahanan yang
tinggi terhadap organisme penggerek kayu di laut.
Pohon nyamplung memiliki produk samping seperti Coumarine (getah yang
berkhasiat sebagai obat HIV/AIDS), stearin, briket arang dan arang aktif dan lain
sebagainya.

2.4 Katalis Kalsium Oksida

Katalis CaO merupakan katalis heterogen. CaO dapat dipreparasi dengan


melakukan kalsinasi kalsium karbonat pada suhu yang tinggi. CaO yang digunakan
berukuran 100 mesh, semakin kecil ukuran CaO yang digunakan semakin luas luas
permukaan katalis. Luasnya permukaan katalis dapat mempercepat laju reaksi.

Pada percobaaan ini Kalsium karbonat didapat dari cangkang telur ayam. CaO
dapat digunakan sebagai katalis dengan kalsinasi CaCO3 pada suhu 900C, Kandungan
CaCO 3 di dalam kulit telur sekitar 94 % berat (Stadelman, 2000), dan sisanya adalah
magnesium karbonat, kalsium fosfat dan bahan organik. Oleh karena itu dapat
diharapkan bahwa kulit telur dapat digunakan sebagai sumber CaO yang mempunyai
kemurnian tinggi sehingga mampu berperan sebagai katalis dalam reaksi transesterifikasi
minyak dan metanol menjadi biodiesel.

Sumber bahan baku (kulit telur) tersedia cukup banyak dan pada saat ini hanya
dibuang (belum dimanfaatkan), oleh karena itu memanfaatkan kulit telur sebagai katalis
merupakan usaha yang cukup relevan untuk meningkatkan nilai ekonomi kulit telur
dan mengurangi beban lingkungan. Sebagai gambaran, produksi telur ayam ras di
Indonesia pada 2009 sebesar 1.071.398 ton. Jika rata -rata berat telurnya 60 gram maka kulit
telur yang dihasilkan dalam setahun adalah 107.139 ton. Berat itu setara dengan 100.710,66
ton kalsium karbonat, 4.285,56 ton magnesium karbonat dan 1.339,25 ton kalsium fosfat.
Berdasarkan penelitian terdahulu, komposisi kulit telur ditampilkan pada tabel
berikut :
Tabel 2.3 Komposisi kulit telur
Komponen % berat
Kalsium karbonat 94
Magnesium karbonat 1
Kalsium fosfat 1
Bahan organik 4

Sumber : Mahreni, 2011


Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap yaitu: (i) kalsinasi kulit telur dengan
tujuan merubah kalsium karbonat CaCO3 menjadi kalsium oksida (CaO) dengan cara

kalsinasi pada suhu 900oC. Proses kalsinasi merubah kalsium karbonat menjadi kalsium
oksida sesuai dengan persamaan reaksi berikut (Mahreni, 2011):

Gambar 2.3 Proses Kalsinasi Kalsium Karbonat pada Suhu Tinggi

(ii) aplikasi CaO sebagai katalis untuk memproduksi biodiesel dari minyak
sawit dan metanol dengan memvariasi ratio katalis/minyak (berat/berat) dan waktu
reaksi. Persamaan reaksi transesterifikasi minyak sawit dengan metanol dengan bantuan
kalsium oksida dapat dilihat dibawah ini :

Gambar 2.4 Mekanisme Reaksi pada Proses Transesterifikasi Menggunakan Katalis CaO

Pada suhu dibawah 650C tekanan keseimbangan CO2 hasil dekomposisi cukup
rendah. Akan tetapi pada suhu diantara 650 dan 900C, tekanan dekomposisi itu

cukup meningkat.

CaO memiliki sisi-sisi yang bersifat basa dan CaO telah diteliti sebagai katalis
basa yang kuat dimana untuk menghasilkan biodiesel menggunakan CaO sebagai katalis
basa mempunyai banyak manfaat, misalnya aktivitas katalis yang tinggi, masa
penggunaan katalis yang lama, serta biaya katalis yang rendah.

Mekanisme reaksi transesterifikasi dengan katalis CaO disajikan pada gambar berikut :
Gambar 2.5 Mekanisme Reaksi Transesterifikasi Trigliserida dengan Methanol
Menggunakan Katalis CaO

Pada diatas dapat dilihat bahwa pada step 1, katalis CaO akan mengikat alkohol
dan menunggu terjadinya kontak dengan trigliserida. Setelah terjadi kontak antara alkohol
dengan trigliserida, maka asam lemak yang terdapat pada trigliserida akan pecah begitu
juga dengan alkohol ini terjadi pada step 2, sehingga membentuk senyawa alkil ester

(biodiesel). Step3, H+ yang dihasilkan dari pecahnya alkohol akan berikatan dengan

O-, sehingga membentuk gliserol.

2.5 Metanol
Metanol adalah senyawa kimia dengan rumus kimia CH2OH merupakan bentuk
alcohol paling sederhana. Pada keadaan atmosfer methanol berbentuk cairan yang ringan
mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar, dan beracun. Metanol dihasilkan
melalui proses multi tahap, gas alam dan uap air dibakar dalam tungku untuk membentuk
gas hydrogen dan karbon monoksida kemudian, gas hydrogen dan karbon monoksida ini
bereaksi dalam tekanan tinggi dengan bantuan katalis untuk menghasilkan methanol.
Tahap pembentukannya adalah endotermik dan tahap sintesisnya adalah eksotermik.
Tabel 2.4. Sifat Fisik dan Kimia Metanol

Massa Molar 32,04 g/mol

Wujud Cairan tidak berwarna

Specific Gravity 0.7918


Titik leleh -97oc. -142,9oF (176K)

Titik didih 64,7oc, 148,4oF


(337,8K)
Flash Point
o
11oC
Viskositas (Pada 20 c)
0,55 cp
Kelarutan dalam air
Kepolaran Sangat Larut

Keasaman (pKa) Bersifat Polar

Berat Molekul -15,5

32,04 g/mol

Sumber: Perry, 1984

Metanol digunakan sebagai bahan pendingin anti bkeu, pelarut, bahan bakar dan
sebagai bahan additive bagi etanol industri. Penggunaan methanol terbanyak adalah
sebagai bahan pembuat bahan kimia lainnya. Sekitar 40% methanol diubah menjadi
formaldehyde, dan dari sana berbagai macam produk seperti plastik, plywood, cat, peledak
dan tekstil.
Metanol atau metil alkohol adalah produk Industri hulu petrokimia yang
merupakan turunan dari gas alam. Senyawa kimia ini dibuat melalui reaksi sintesis katalis
pada tekanan rendah yang melibatkan proses oksidasi parsial dari gas alam. Saat ini, gas
sintesis umumnya dihasilkan dari metana yang merupakan komponen dari gas alam.
Terdapat tiga proses yang dipraktekkan secara komersial. Pada tekanan sedang 1 hingga
2 MPa (10-20 atm) dan temperature tinggi (sekitar 850oC), metana bereaksi dengan uap
air (steam) dengan katalis nikel untuk menghasilkan gas sintesis menurut reaksi kimia
sebagai berikut:
CH4 + H2O CO + 3H2

Reaksi ini, umumnya dinamakan steam-methane reforming atau SMR,


merupakan reaksi endotermik dan limitasi perpindahan panasnya menjadi batasan dari
ukuran reaktor katalitik yang digunakan. Metana juga dapat mengalami oksidasi parsial
dengan molekul oksigen dengan menghasilkan gas sintesis melalui reaksi kimia berikut:
2CH4 + O2 2CO + 4H2
Reaksi tersebut adalah eksotermik dan panas yang dihasilkan dapat digunakan
secara in-situ untuk menggerakkan reaksi dan steam-methane reforming. Ketika dua
proses tersebut dikombinasikan, proses ini disebut sebagai autothermal reforming. Rasio
CO dan H2 dapat diatur dengan menggunakan reaksi perpindahan air-gas (the water-gas
shift raction). Berikut adalah reaksinya :
CO+ 2H2 CH3OH + H2O
Walaupun gas alam merupakan bahan yang paling ekonomis dan umum
digunakan untuk menghasilkan methanol, bahan baku lain juga dapat digunakan. Ketika
tidak terdapat gas alam, produk petroleum ringan juga dapat digunakan.

2.6 Esterifikasi

Esterifikasi adalah tahap konversi dari asam lemak bebas menjadi ester.
Esterifikasi mereaksikan minyak lemak dengan alkohol. Katalis-katalis yang cocok
adalah zat berkarakter asam kuat seperti asam sulfat, reaktan metanol harus
ditambahkan dalam jumlah yang sangat berlebih. Reaksi esterifikasi dari asam lemak
menjadi metil ester disajikan pada gambar berikut :

Gambar 2.6 Reaksi Esterifikasi

Kadar Free Fatty Acid (FFA) dari minyak nyamplung harus dikurangi hingga
mencapai 2%. Hal tersebut disebabkan karena jika kadar FFA dalam minyak
nyamplung terlalu tinggi mengakibatkan munculnya reaksi penyabunan.
2.6.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Reaksi Esterifikasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi esterifikasi adalah sebagai berikut :


a. Waktu Reaksi
Semakin lama waktu reaksi, maka kontak antar zat semakin besar,
sehingga akan menghasilkan biodiesel dengan konversi yang besar. Jika
kesetimbangan reaksi sudah tercapai, maka dengan bertambahnya waktu reaksi
tidak akan menguntungkan karena tidak akan menaikkan konversi.
b. Pengadukan
Pengadukan akan menambah frekuensi tumbukan antara molekul zat
pereaksi dengan zat yang bereaksi, sehingga mempercepat reaksi. Semakin besar
tumbukan, maka semakin besar pula nilai konstanta kecepatan reaksi (k). Sehingga
dalam hal ini pengadukan sangat penting mengingat larutan minyak
katalis metanol merupakan larutan yang immiscible.
c. Katalisator
Katalisator berfungsi untuk mengurangi tenaga aktivasi pada suatu
reaksi sehingga pada suhu tertentu nilai konstanta kecepatan reaksi semakin
besar. Pada reaksi esterifikasi yang sudah dilakukan biasanya
menggunakan konsentrasi katalis antara 1 - 4 % berat sampai 10 % berat
campuran pereaksi.
d. Suhu Reaksi
Semakin tinggi suhu yang dioperasikan maka semakin tinggi konversi
yang dihasilkan, hal ini sesuai dengan persamaan Arrhenius. Bila suhu naik,
maka nilai konstanta kecepatan reaksi (k) makin besar, sehingga reaksi berjalan
cepat dan konversi biodiesel makin tinggi.

2.7 Transesterifikasi
Transesterifikasi adalah tahap konversi dari trigliserida menjadi alkil ester,
melalui reaksi dengan alkohol, dan menghasilkan produk samping yaitu gliserol.
Diantara alkohol-alohol monohidrik yang menjadi kandidat sumber/pemasok gugus alkil,
methanol adalah yang paling umum yang digunakan, karena harganya murah dan
reaktifitasnya paling tinggi (sehingga reaksi disebut metanolisis). Jadi, disebagian besar
dunia ini, biodiesel praktis identik dengan ester metal asam-asam lemak (Fatty Acids Metil
Ester, FAME). Reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi metil ester disajikan pada
gambar berikut :
Gambar 2.7 Reaksi Transesterifikasi

Reaksi transesterifikasi juga menggunakan katalis. Tanpa adanya katalis,


konversi yang dihasilkan bisa mencapai maksimum, namun reaksi berjalan dengan lambat
(Mittlebatch and Remschmidt, 2004). Katalis yang biasa digunakan pada reaksi
transesterifikasi adalah katalis basa, karena katalis ini dapat mempercepat reaksi.
Tahapan reaksi transesterifikasi pembuatan biodiesel selalu menginginkan agar
didapatkan produk biodiesel dengan jumlah maksimum. Beberapa kondisi reaksi yang
mempengaruhi konversi serta perolehan biodiesel melalui transesterifikasi adalah sebagai
berikut (Freedman, et al., 1984):

a. Pengaruh air dan asam lemak bebas


Minyak nabati yang akan ditransesterifikasi harus memiliki angka asam
yang lebih kecil daripada 1. Banyak peneliti yang menyarankan agar kandungan
asam lemak bebas lebih kecil dari 0.5% (<0,5%) Selain itu, semua bahan yang
akan digunakan harus bebas dari air karena dapat bereaksi dengan katalis, sehingga
jumlah katalis menjadi berkurang. Katalis harus terhindar dari kontak dengan udara
agar tidak mengalami reaksi dengan uap air dan karbon dioksida. (Freedman, et al.,
1984).

b. Pengaruh perbandingan molar alkohol dengan bahan mentah


Secara stoikiometri, jumlah alkohol yang dibutuhkan pada reaksi
stoikiometri adalah 3 mol metanol untuk setiap 1 mol trigliserida agar diperoleh 3
mol alkil ester dan 1 mol gliserol. Perbandingan alkohol dengan minyak nabati 4,8:1
dapat menghasilkan konversi 98% (Bradshaw and Meuly,1994). Secara umum
ditunjukkan bahwa semakin banyak jumlah alkohol yang digunakan, maka konversi
yang diperoleh juga akan semakin bertambah. Pada rasio molar 6:1 setelah 1 jam
konversi yang dihasilkan 98-99% sedangkan pada 3:1 adalah 74-89%. Nilai
perbandingan yang terbaik adalah 6:1 karena dapat memberikan konversi yang
maksimum.

c. Pengaruh jenis alkohol


Pada rasio 6:1, Metanol akan memberikan perolehan ester yang tertinggi
dibandingkan menggunakan etanol atau butanol. (Freedman,et al., 1984)

d. Pengaruh jenis katalis


Alkali katalis (katalis basa) akan mempercepat reaksi transesterifikasi bila
dibandingkan dengan katalis asam. Katalis basa yang sering digunakan untuk reaksi
transesterifikasi adalah natrium hidroksida (NaOH), kalium oksida (CaO), kalium
hidroksida (KOH), natrium metoksida (NaOCH3), dan kalium metoksida (KOCH3).
Katalis sejati bagi reaksi sebenarnya adalah ion metilat (metoksida). Reaksi
transesterifikasi akan menghasilkan konversi yang maksimum dengan jumlah katalis
0,5-1,5%-b minyak nabati.

Jumlah katalis yang efetktif untuk reaksi adalah 0,5%-b minyak nabati untuk
natrium metoksida dan 1%-b minyak nabati untuk natrium hidroksida. Kalsium
metoksida dibuat dengan cara mereaksikan antara methanol dengan kalsium oksida
(CaO). Jumlah CaO yang digunakan adalah 2% dan 6%b minyak sedangkan
perbandingan mol antara minyak dengan methanol digunakan adalah 1:6
(Rachimoellah,2009). Penggunaan katalis akan lebih baik jika jumlahnya dibatasi
sebab jika jumlah katalis yang ditambahkan terlalu banyak maka proses akan kurang
efektif karena banyak katalis yang akan terbuang.

e. Metanolisis Crude dan Refined Minyak Nabati


Perolehan metil ester akan lebih tinggi jika menggunakan minyak nabati
refined. Namun apabila produk metil ester akan digunakan sebagai bahan bakar
mesin diesel, cukup digunakan bahan baku berupa minyak yang telah dihilangkan
getahnya dan disaring.(Freedman, et al., 1984).

f. Pengaruh temperature
Reaksi transesterifikasi dapat dilakukan pada temperature 30 65C
(titik didih methanol sekitar 65C). Semakin tinggi temperatur, konversi biodiesel
yang diperoleh akan semakin tinggi untuk waktu reaksi yang lebih singkat.(Freedman,
et al,. 1984).
2.8 Gliserol

Gliserol merupakan produk samping dari porses pembuatan biodiesel dengan


proses transesterifikasi. Gliserol merupaka alkohol trihidrat (C3H5(OH)3) yang lebih tepat
nya dinamai 1,2,3-propanatriol (Swern, D., Baileys Industrial Oil and Fat Product,
vol.5, Ed. 5, p. 275). Gliserol merupakan sebuah alkohol terhidrat berupa cairan
higroskopis, kental, bening dengan rasa manis pada suhu kamar diatas titik lelehnya (Kirk
Othmer, Encyclopedia of Chemical Technology, Vol. 5 ,Ed.5, p. 276). Kegunaan gliserol
sangat banyak, terutama adalah sebagai : resin, sintetis, obat-obatan, kosmetik, dan pasta
gigi.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Percobaan


Pada bab ini akan diuraikan mengenai metode penelitian yang akan dilakukan untuk
mencapai tujuan penelitian yang diharapkan. Penelitian ini menurut tujuan di bagi menjadi
3 tahap yaitu :
Tahap pembuatan katalis CaO dari cangkang telur ayam
Tahap pembuatan biodiesel dari minyak nyamplung
Tahap karakterisasi biodiesel
Untuk mencapai tujuan pada penelitian ini dimulai pada tahap pembuatan katalis CaO dari
cangkang telur ayam. Berikut ini diagram alir dan penjelasan tahapan tersebut :

Pengumpulan Tahap Pencucian Tahap Pengeringan


Cangkang Telur
(Air hangat 60-70 C, 15 menit) (Oven, 105 C, 24 jam)
Ayam

Tahap Kalsinasi Tahap Size Reduction & Screening

(Furnace, 900 C, 4 jam) (Ukuran 100-200 Mesh, Sielving 150 Mesh)

Produk Kalsinasi (CaO) Analisa Komponen

(Penyimpanan Desikator) (XRD)

Gambar 3.1 Diagram Alir Pembuatan Katalis CaO Dari Cangkang Telur Ayam

Adapun penjelasan tahapan-tahapan diagram alir diatas dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Pengumpulan Cangkang Telur Ayam


Tahap ini kami mencoba mengumpulkan limbah cangkang telur ayam dari
beberapa rumah makan di sekitar lingkungan kampus undip.
2. Tahap Pencucian
Setelah terkumpul, kami melakukan pencucian untuk menghilangkan
kotoran dan kontaminan yang menempel pada cangkang telur ayam tersebut.
3. Tahap Pengeringan
Cangkang telur ayam yang telah dibersihkan kemudian dikeringkan
menggunakan oven untuk mengurangi kadar airnya.
4. Tahap Size Reduction & Screening
Size Reduction adalah proses pengecilan benda menjadi ukuran yang lebih
kecil dari ukuran semula. Sedangkan Screening adalah proses pengayakan untuk
mendapatkan ukuran partikel sesuai yang di inginkan (Brown, 1950). Tujuan proses
Size Reduction dan Screening adalah untuk mendapatkan ukuran partikel cangkang
telur ayam dengan ukuran 100-200 mesh (Buasri dkk, 2013). Pada penelitian ini
proses crushing menggunakan mortar, sedangkan untuk proses screening
menggunakan sielving dengan ukuran 150 mesh.
5. Tahap Kalsinasi
Tahap ini bertujuan untuk mengubah kalsium karbonat (CaCO3) pada
cangkang telur ayam menjadi CaO. Proses kalsinasi dilakukan pada suhu 900 C
selama 4 jam menggunakan blast furnace (Christina dkk, 2011).
6. Produk Kalsinasi (CaO)
Setelah proses kalsinasi selesai maka akan didapatkan produk berupa CaO.
CaO tersebut langsung diletakan didalam desikator untuk menurunkan suhunya dan
menghindari kontak dengan humidity udara (Christina dkk, 2011)
7. Analisa Komponen dan Struktur
Tahap selanjutnya adalah menganalisa komponen katalis CaO hasil
kalsinasi. Menurut Natalias Christina et all, Analis komponen bertujuan untuk
mengecek kadar komponen pembentuk katalis, analisa dilakukan menggunakan
XRD.
Tahap selanjutnya pada penelitian ini adalah tahap pembuatan biodiesel dari minyak
nyamplung. Berikut ini diagram alir dan penjelasan tahapan tersebut :

Minyak nyamplung bebas gum


FFA > 2% FFA < 2%

Metanol + HCl
Tahap Esterifikasi
(mol minyak nyamplung
(Suhu 60 C, 2 jam, 500 rpm) : mol metanol = 1 : 6,
volume total = 400 ml)

Pemisahan
Gliserol, Katalis, sisa Metanol
(Corong Pemisah)

FFA < 2%
Metanol + CaO

Tahap Transesferifikasi

Variabel Tetap : Variabel Berubah :

Volume minyak = 100 ml@variabel Berat Katalis = 3,5% w.cat/w.oil, 4,5%


w.cat/w.oil, 5,5% w.cat/w.oil, 6,5% w.cat/w.oil
Waktu Transesferifikasi = 2 jam
Jenis Katalis = Kat. Murni(CaO) , Kat. Kalsinasi
Kecepatan Pengadukan = 500 rpm
Rasio Pereaktan = (1 : 4, 1 : 5, 1 : 6, 1 : 7)
Suhu = 60 C

Variabel
No Jenis Katalis Berat Rasio % Yield
Katalis pereaktan (Respon)
1 Kat. kalsinasi 5,5% w/w 1:4 V
2 Kat. kalsinasi 5,5% w/w 1:5 V
3 Kat. kalsinasi 5,5% w/w 1:6 V
4 Kat. kalsinasi 5,5% w/w 1:7 V
5 Kat. murni 5,5% w/w 1:4 V
6 Kat. murni 5,5% w/w 1:5 V
7 Kat. murni 5,5% w/w 1:6 V
8 Kat. murni 5,5% w/w 1:7 V
9 Kat. kalsinasi 3,5% w/w 1:6 V
10 Kat. kalsinasi 4,5% w/w 1:6 V
11 Kat. kalsinasi 5,5% w/w 1:6 V
12 Kat. kalsinasi 6,5% w/w 1:6 V
13 Kat. murni 3,5% w/w 1:6 V
14 Kat. murni 4,5% w/w 1:6 V
15 Kat. murni 5,5% w/w 1:6 V
16 Kat. murni 6,5% w/w 1:6 V
Hasil Transesferifikasi
(Metil Ester, Katalis, Gliserol)

Pemisahan
(Kertas saring,Pompa vakum & Centrifuge 30 min 6000 rpm)

Padatan (Katalis CaO) Cairan (Metil Ester, Gliserol)

Diamkan selama semalam

Pemisahan
(Corong Pemisah)

Biodiesel (Metil Ester) Gliserol

% Yield

Gambar 3.3 Diagram Alir Pembuatan Biodiesel Dari Minyak Nyamplung


Adapun penjelasan tahap inti diagram alir diatas dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Tahap Esterifikasi
Apabila kadar asam lemak bebas (FFA) > 2%, maka minyak yang akan
digunakan untuk bahan baku biodiesel, diesterifikasi terlebih dahulu untuk
menurunkan kadar FFA hingga kurang dari 2%. Apabila kadar FFA sebelumnya
kurang dari 2%, maka minyak dari biji nyamplung dapat langsung digunakan untuk
proses transesferifikasi.
2. Tahap Transesferifikasi
Tahap ini dilakukan apabila kadar FFA minyak sudah kurang dari 2%.
Pada penelitian ini digunakan metode transesferifikasi yaitu mereaksikan minyak
nyamplung dengan campuran metanol dan katalis CaO padat hingga didapat metil
ester (Biodiesel). Tahap ini sekaligus menganalisis hubungan variabel percobaan
pada proses transesferifikasi dengan melihat respon volume biodiesel yang
dihasilkan (% Yield).
3. Tahap Pemisahan
Pada tahap ini produk hasil transesferifikasi dipisahkan antara padatan
(katalis) dan cairan (metil ester + gliserol) menggunakan kertas saring dan pompa
vakum selanjutnya digunakan Centrifuge untuk memastikan semua katalis padat
benar-benar terpisah. Cairan yang telah terpisahkan dari padatan kemudian
dipisahkan menggunakan corong pemisah untuk mendapatkan metil ester
(biodiesel).

Tahap terakhir pada penelitian ini adalah tahap karakterisasi biodiesel yang dihasilkan.
Adapun penjelasannya sebagai berikut :

Pada tahap ini, biodiesel yang telah diperoleh di analisa mengenai densitas,
viskositas kinematik, cetane number dan flash point agar dapat diketahui baku mutu
biodiesel berdasarkan standar baku mutu SNI (Standar Nasional Indonesia).

3.2. Bahan dan Alat yang digunakan

3.2.1. Bahan yang Digunakan


1. Minyak Nyamplung bebas gum, didapat dari penjual daerah Karoya.
2. Cangkang telur ayam, didapat dari rumah makan sekitar kampus undip.
3. Katalis CaO murni, didapat dari Sinar Klaten.
4. Aquadest.
5. Metanol 80%, didapat dari toko Indrasari.
6. HCl 37%, didapat dari Laboratorium kimia anorganik fakultas Sains dan
Matematika.
7. n-hexane, didapat dari toko Indrasari
3.2.2. Alat yang Digunakan
1. Oven 7. Thermometer 13. Erlenmeyer
2. Mortar 8. Hotplate heater 14. Statif dan Klem
3. Sielving 150 Mesh 9. Agitator 15. Pendingin Liebig
4. Furnace 10. Kertas saring 16. Centifuge
5. Blender 11. Pompa vakum
6. Labu leher tiga 12. Corong Pemisah
3.3. Penetapan Variabel

Variabel Percobaan :
1. Variabel tetap :
Volume minyak = 100 ml
Waktu Transesferifikasi = 2 jam
Kecepatan Pengadukan = 500 rpm
Suhu = 60 C
2. Variabel berubah :
Berat Katalis = 3,5% w.cat/w.oil, 4,5% w.cat/w.oil, 5,5% w.cat/w.oil, 6,5% w.cat/w.oil
Jenis Katalis = Katalis murni(CaO) , Katalis kalsinasi
Rasio mol minyak terhadap mol metanol (Rasio Pereaktan) = (1 : 4, 1 : 5, 1 : 6, 1 : 7)
3. Respon :
Yield (%)
Tabel 3.1 Kombinasi Variabel Percobaan pada Tahap Transesferifikasi

Variabel
No Jenis Katalis Berat Rasio % Yield
Katalis pereaktan (Respon)
1 Kat. kalsinasi 5,5% w/w 1:4 V
2 Kat. kalsinasi 5,5% w/w 1:5 V
3 Kat. kalsinasi 5,5% w/w 1:6 V
4 Kat. kalsinasi 5,5% w/w 1:7 V
5 Kat. murni 5,5% w/w 1:4 V
6 Kat. murni 5,5% w/w 1:5 V
7 Kat. murni 5,5% w/w 1:6 V
8 Kat. murni 5,5% w/w 1:7 V
9 Kat. kalsinasi 3,5% w/w 1:6 V
10 Kat. kalsinasi 4,5% w/w 1:6 V
11 Kat. kalsinasi 5,5% w/w 1:6 V
12 Kat. kalsinasi 6,5% w/w 1:6 V
13 Kat. murni 3,5% w/w 1:6 V
14 Kat. murni 4,5% w/w 1:6 V
15 Kat. murni 5,5% w/w 1:6 V
16 Kat. murni 6,5% w/w 1:6 V
3.4. Gambar Rangkaian Alat

Pembuatan katalis CaO dari cangkang telur ayam

Gambar 3.4 Furnace Untuk Proses Kalsinasi Cangkang Telur Ayam


Pembuatan minyak nyamplung dari biji nyamplung

Keterangan Gambar :

1. Statif dan klem


2. Pendingin liebieg
3. Thermomether
4. Labu leher tiga
5. Agitator
6. Hotplate heater

Gambar 3.5 Rangkaian Alat Proses Ekstraksi

Pembuatan biodiesel dari minyak nyamplung

Keterangan Gambar :

1. Hotplate heater
2. Labu leher tiga
3. Pendingin liebieg
4. Statif dan klem
5. Agitator
6. Thermometer

Gambar 3.6 Rangkaian Alat Proses Transesferifikasi


3.5. Prosedur Penelitian

3.5.1. Proses Pembuatan Katalis CaO dari Cangkang Telur Ayam


1. Persiapan bahan baku
Timbang 500 gr cangkang telur ayam
Lalu rendam cangkang telur ayam tersebut dalam air hangat suhu 60 C 70
C selama 15 menit
Angkat dan keringkan di udara terbuka
2. Pengeringan
Cangkang telur yang telah dibersihkan dimasukan ke dalam oven dengan suhu
105 C selama 24 jam
Kemudian keluarkan dari oven dan dinginkan
3. Size reduction dan Screening
Cangkang telur ayam yang telah dikeringkan kemudian dihancurkan
menggunakan mortar sampai halus
Cangkang telur ayam yang telah halus kemudian di ayak menggunakan
sielving dengan ukuran 150 mesh (0,15mm)
Lalu tampung hasil ayakan dan simpan dalam wadah tertutup rapat
4. Kalsinasi
Timbang 250 gr cangkang telur ayam yang telah diayak
Kalsinasi dengan furnace pada tekanan atmosfer dengan suhu 900 C dan laju
pemanasan 10 C/min selama 4 jam
Lalu cangkang telur ayam hasil kalsinasi (CaO) disimpan pada wadah tertutup
rapat (desikator) agar tidak terkontak dengan karbon dioksida dan humidity
udara sebelum digunakan
5. Analisa produk kalsinasi
Cek komponen pembentuk katalis menggunakan XRD

3.5.2. Proses Pembuatan Biodiesel dari Minyak Nyamplung


Proses pembuatan biodiesel dari minyak nyamplung didasarkan kadar %FFA
pada minyak nyamplung. Kadar % FFA pada minyak yang cocok untuk bahan baku
biodiesel adalah 2%. Jika kadar %FFA >2% maka perlu dilakukan treatment terlebih
dahulu untuk mengurangi kadar %FFA agar tidak terjadi reaksi saponifikasi ketika
pembuatan biodiesel. Treatment yang dilakukan adalah proses esterifikasi. Berikut ini
tahapan pembuatan biodiesel :

1. Analisa % FFA
Timbang 2,5 gr minyak nyamplung bebas gum
Mencampur minyak dengan 20 ml n-hexane dan 30 ml metanol dalam
erlenmeyer
Kemudian aduk hingga merata lalu tambahkan 3 tetes PP dan dititrasi dengan
larutan 0,1 N NaOH sampai warna merah jambu tercapai dan tidak hilang
selama 30 detik
Catat volume titran yang dibutuhkan dan hitung % FFA dengan persamaan
berikut :
(. ) .
% = 100%
() . 1000
2. Esterifikasi
Menghitung volume minyak, katalis HCl dan metanol yang dibutuhkan dengan
perbandingan mol minyak terhadap mol metanol = 1 : 6 serta volume total =
400 ml untuk satu kali proses esterifikasi
Mencampur metanol dengan katalis HCl dalam labu leher tiga
Masukan minyak kedalam labu leher tiga lalu tambahkan campuran metanol
dan katalis HCl
Panaskan hingga suhu 60 C dengan kecepatan pengadukan 500 rpm selama 2
jam
Hasil esterfikasi didinginkan lalu dipisahkan dari sisa metanol dan katalis
menggunakan corong pemisah.
Menghitung kadar %FFA hasil esterifikasi
3. Transferifikasi
Mengukur minyak hasil esterifikasi (FFA 2%) sebanyak 100 ml
Menghitung kebutuhan metanol sesuai variabel percobaan
Menghitung kebutuhan katalis CaO sesuai variabel percobaan
Mencampur metanol dengan katalis CaO
Masukan minyak kedalam labu leher tiga lalu tambahkan campuran metanol
dengan katalis CaO sesuai variabel percobaan
Panaskan pada suhu operasi sesuai variabel percobaan selama 2 jam dan
pengadukan sebesar 500 rpm
Hasil transferifikasi di tampung dalam wadah penampung
4. Pemisahan
Hasil dari transferifikasi difiltrasi dengan menggunakan pompa vakum dan
kertas saring untuk memisahkan katalis CaO
Selanjutnya hasil dari penyaringan tersebut, di lakukan tahap pemisahan
kembali menggunakan centrifuge untuk memastikan semua katalis CaO padat
sudah terpisah dari cairan hasil transesterifikasi.
Setelah itu didiamkan selama 1 malam sehingga terbentuk 2 lapisan yaitu
biodiesel pada lapisan atas dan gliserol pada lapisan bawah
Mengambil lapisan atas yang merupakan metil ester (biodiesel) menggunakan
corong pemisah.
Mencatat hasil perhitungan yield
5. Perhitungan yield
Yield adalah perbandingan produk yang diperoleh terhadap bahan baku.
Dimana yield adalah perbandingan volume produk (Biodiesel) yang dihasilkan
terhadap volume minyak yang ditransferifikasi
()
= 100%
()
3.5.4. Karakterisasi Biodiesel
Setelah diperoleh biodiesel yang dihasilkan pada proses transesferifikasi,
maka dilakukan analisa karakter biodiesel untuk mengetahui kualitasnya. Biodiesel
yang telah diperoleh di analisa mengenai densitas, viskositas kinematik, angka setana,
titik nyala dan kadar alkil ester agar dapat diketahui baku mutu biodiesel berdasarkan
standar baku mutu SNI (Standar Nasional Indonesia).
BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1. Pembuatan Katalis Basa Heterogen dari Cangkang Telur Ayam


Pada penelitian ini digunakan katalis basa heterogen padat untuk mempercepat
proses reaksi transesterifikasi, yaitu menggunakan logam Ca, yang merupakan jenis katalis
alkali tanah yang telah banyak diteliti untuk reaksi transesterifikasi dalam pembuatan
biodiesel. Logam Ca untuk proses transesterifikasi didapatkan dari katalis CaO murni
dengan komposisi CaO yaitu 99% dan dibuat dari cangkang telur ayam melalui proses
kalsinasi dengan suhu 900C selama 4 jam. Untuk mengetahui komposisi katalis basa
heterogen hasil proses kalsinasi suhu tinggi, maka dilakukan analisa XRD. Adapun hasil
analisa XRD dapat dilihat pada gambar 4.1a dan 4.1b:

Gambar 4.1 a) Difraksi analisis XRD katalis kalsinasi b) Komposisi katalis kalsinasi
Pola XRD katalis kalsinasi dapat dilihat pada gambar 4.1a), dengan bantuan
software match dari gambar tersebut diketahui bahwa katalis kalsinasi dari cangkang telur
ayam memiliki pola XRD pada nilai 2 18,07; 34,18; 28,73; 47,18; 50,87 dan 54,36.
Dalam analisis ini ditemukan situs aktif katalis yaitu logam Ca dalam bentuk Ca(OH)2.
Sedangkan pada gambar 4.1 b), diketahui komposisi katalis kalsinasi suhu tinggi adalah
100% Ca(OH)2. Dari kedua gambar tersebut, tidak ditemukannya logam Ca dalam bentuk
CaO pada katalis kalsinasi. Hal ini disebabkan karena CaO hasil kalsinasi mudah bereaksi
dengan uap air pada udara sehingga terbentuk Ca(OH)2, sesuai dengan reaksi sebagai
berikut (Sharma et al., 2010) :
CaO(s) + H2O(g) Ca(OH)2(s)
Oleh karena itu penyimpanan dan analisa CaO harus di lakukan pada lingkungan
kedap udara, namun jika tidak dimungkinkan untuk dilakukan pada tempat kedap udara,
maka sebelum analisa dan pemakaian sebaiknya katalis kalsinasi dipanaskan terlebih
dahulu pada temperatur 500C atau dapat ditambahkan zat aditif untuk mencegah bereaksi
dengan uap air membentuk Ca(OH)2 (Sharma et al., 2010)

4.2. Pembuatan Biodiesel dari Minyak Nyamplung dan Analisis Proses Transesterifikasi
Biodiesel dari minyak nyamplung dapat dibuat melalui proses transesterfikasi.
Transesterifikasi adalah tahap konversi dari trigliserida menjadi alkil ester, melalui reaksi
trigliserida (ffa 2%) dengan alkohol dengan bantuan katalis basa heterogen, dan
menghasilkan produk samping yaitu gliserol. Pada proses transesterifikasi ini akan
dianalisa pengaruh rasio pereaktan terhadap yield biodiesel (metil ester) dan pengaruh
berat katalis terhadap yield biodiesel (metil ester).
4.2.1. Pengaruh Rasio Pereaktan Terhadap Yield Biodiesel (Metil Ester)

90 85
78 80
80
84
70 77 79
63
Yield Biodeisel (%)

60
62
50 Cat. Murni 5,5%
w.cat/w.oil
40
Cat. Kalsinasi 5,5%
30 w.cat/w.oil

20

10

0
30 44/1 5/1
5 66/1 77/1 8/1 8

Rasio Pereaktan( mol metanol/mol minyak)

Gambar 4.2 Hubungan Rasio Pereaktan (mol metanol/mol minyak) terhadap Yield
Biodiesel (Metil ester) pada konstan berat katalis
Pengaruh Rasio Pereaktan terhadap yield biodiesel (metil ester) dapat dianalisis
dengan memvariasikan rasio pereaktan (mol metanol : mol minyak) dari 4/1 sampai 7/1
dengan kondisi operasi pada suhu 60C, tekanan 1 atm, berat katalis 5,5% w.cat/w.oil dan
dilakukan pengadukan dengan magnetic stirer secara konstan selama 2 jam. Gambar 4.2
Menunjukan bahwa pada variasi rasio pereaktan dari 4/1 sampai 7/1 pada katalis murni dan
kalsinasi terjadi peningkatan yield biodiesel (metil ester) yang cukup signifikan. Hal ini di
karenakan dengan bertambahnya jumlah metanol pada reaksi, maka akan mempercepat
proses terbentuknya senyawa kalsium metoksida ( Ca(CH3O)2) pada permukaan katalis
CaO atau sisi aktif pada katalis CaO (Reddy CRV et al, 2006). Senyawa ini berperan untuk
mempercepat reaksi dan menggeser konstanta kesetimbangan ke arah kanan pada reaksi
transestrifikasi sehingga yield biodiesel (metil ester) meningkat seiring dengan
bertambahnya jumlah metanol (N.Viriya-empikul et al., 2011). Namun ketika
meningkatkan rasio pereaktan dari 6/1 menjadi 7/1 pada katalis murni dan kalsinasi, tidak
menyebabkan yield biodiesel (metil ester) semakin besar tetapi terjadi penurunan yield
biodiesel(metil ester). Hal ini di sebabkan karna reaksi transesterfikasi berdasarkan pada
kesetimbangan reaksi dan katalis, dengan adanya penambahan metanol berlebih dapat
menyebakan reaksi bergeser ke kiri yaitu terbentuknya mono-gliserida dan di-gliserida dari
reaksi antara produk (metil ester) dengan gliserol, dimana senyawa mono-gliserida dan di-
gliserida ini berperilaku seperti solvent secara molekular sehingga dapat menhomogenasi-
kan produk (metil ester) tergantung pada sistem reaksi transesterifikasi (Teng G et al.,
2009).
Fenomena lain juga terjadi dimana adanya perbedaan yield biodiesel (metil ester)
yang dihasilkan oleh katalis murni dan katalis kalsinasi. Pada rasio peraktan 4/1 yield yang
dihasilkan katalis murni adalah 63% sedangkan katalis kalsinasi adalah 62%, pada rasio
peraktan 5/1 w.cat/w.oil yield yang dihasilkan katalis murni adalah 78% sedangkan katalis
kalsinasi adalah 77%, pada rasio peraktan 6/1 w.cat/w.oil yield yang dihasilkan pada katalis
murni adalah 85% sedangkan katalis kalsinasi adalah 84% dan pada berat 6,5% w.cat/w.oil
yield yang dihasilkan katalis murni adalah 80% sedangkan katalis kalsinasi adalah 79%.
Dari data tersebut, diketahui bahwa yield yang di hasilkan katalis murni lebih besar dari
yield yang dihasilkan oleh katalis kalsinasi. Hal ini disebabkan karna komposisi katalis
murni mengandung 99% CaO sedangkan komposisi katalis kalsinasi mengandung 100%
Ca(OH)2, dimana Ca(OH)2 sendiri mempunyai aktivitas katalis yang lebih rendah dari pada
CaO karena tingkat kebasaan pada Ca(OH)2 lebih kecil dari pada CaO yaitu Ca(OH)2
mempunyai tingkat kebasaan 9,3-15,0 sedangkan CaO mempunyai tingkat kebasaan 15-
18,4 (Maneerung et al., 2014). Selain itu, tingkat kebasaan yang tinggi akan mempercepat
laju reaksi sehingga jumlah yield biodiesel(metil ester) yang dihasilkan semakin tinggi.
Oleh karena itu, yield yang dihasilkan oleh katalis murni lebih besar dari pada katalis
kalsinasi (Watkins et al, 2004)

4.2.2. Pengaruh Berat Katalis Terhadap Yield Biodiesel (Metil Ester)

Gambar 4.3 Hubungan Berat Katalis terhadap Yield Biodiesel (Metil Ester) pada konstan
rasio pereaktan

Pengaruh berat katalis terhadap yield metil ester dapat dianalisis dengan
memvariasikan massa katalis dari 3,5% w.cat/w.oil sampai 6,5% w.cat/w.oil dengan
kondisi operasi pada suhu 60C, rasio mol minyak : mol metanol adalah 1 : 6 dan dilakukan
pengadukan dnegan magnetic stirer secara konstan selama 2 jam. Gambar 4.3 menunjukan
bahwa pada variasi berat katalis dari 3,5% w.cat/w.oil sampai 6,5% w.cat/w.oil pada katalis
CaO murni dan CaO kalsinasi terjadi kenaikan yang cukup signifikan. Hal ini di sebabkan
karena pada konsentrasu katalis yang rendah, situs aktif katalis kurang cukup dalam
mengaktifkan reaktan, sehingga semakin meningkatkan konsentrasi katalis maka situs aktif
katalis akan semakin banyak pada kondisi tertentu (Zhang et al., 2013). Namun, ketika
meningkat berat katalis dari 5,5% w.cat/w.oil menjadi 6,5% w.cat/w.oil mengakibatkan
yield biodiesel (metil ester) yang dihasilkan menurun. Hal itu terjadi karena saat
konsentrasi katalis berlebih maka metanol akan bereaksi dengan sejumlah free fatty acid
(ffa) pada minyak goreng yang akan membentu sabun sehingga terjadi penuruan yield
biodiesel (metil ester), selain itu katalis yang melebih konsentrasi optimumnya akan
menyebabkan larutan menjadi lebih viskos sehingga menimbulkan masalah dalam
pengadukan dan transfer massa (Sun et al., 2014).
Fenomena lain juga terjadi dimana adanya perbedaan yield biodiesel (metil ester)
yang dihasilkan oleh katalis murni dan katalis kalsinasi. Pada berat 3,5% w.cat/w.oil yield
yang dihasilkan menggunakan katalis murni adalah 67% sedangkan katalis kalsinasi adalah
65%, pada berat 4,5% w.cat/w.oil yield yang dihasilkan katalis murni adalah 79%
sedangkan katalis kalsinasi adalah 76%, pada berat 5,5% w.cat/w.oil yield yang dihasilkan
pada katalis murni adalah 85% sedangkan katalis kalsinasi adalah 84% dan pada berat 6,5%
w.cat/w.oil yield yang dihasilkan katalis murni adalah 82% sedangkan katalis kalsinasi
adalah 81%. Dari data tersebut, diketahui bahwa yield yang di hasilkan katalis murni lebih
besar dari yield yang dihasilkan oleh katalis kalsinasi. Hal ini disebabkan karna komposisi
katalis murni mengandung 99% CaO sedangkan komposisi katalis kalsinasi mengandung
100% Ca(OH)2, dimana Ca(OH)2 sendiri mempunyai aktivitas katalis yang lebih rendah
dari pada CaO karena tingkat kebasaan pada Ca(OH)2 lebih kecil dari pada CaO yaitu
Ca(OH)2 mempunyai tingkat kebasaan 9,3-15,0 sedangkan CaO mempunyai tingkat
kebasaan 15-18,4 (Maneerung et al., 2014). Selain itu, tingkat kebasaan yang tinggi akan
mempercepat laju reaksi sehingga jumlah yield yang dihasilkan semakin tinggi. Oleh
karena itu, yield yang dihasilkan oleh katalis murni lebih besar dari pada katalis kalsinasi
(Watkins et al., 2004)
4.3. Karakterisasi Biodiesel dari Minyak Nyamplung terhadap Biodiesel menurut SNI
DAFTAR PUSTAKA

Bradshaw, G. B., Meuly, W. C., 1994. Preparation of Detergent. US Patent Office 2,360,844.

Brown, G. G. 1950. Unit Operation. Wiley. New York.

Buasri, Achanai., Nattawut Chaiyut, Vorrada Loryuenyong. 2013. Application of Eggshell


Wastes as Heterogeneous Catalyst for Biodiesel Production. Departement of Material
Science and Engineering, Faculty of Engineering and Industrial Technology,
Silpakorn University, Nakhon Pathom, Thailand.

Christina, Natalia., Edwin Sungadi, Yohanes Kurniawan. 2011. Pembuatan Biodiesel dari
Minyak Nyamplung dengan Menggunakan Katalis Berbasis Kalsium. Jurusan Teknik
Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya, Indonesia.

Departemen Kehutanan. 2008. Litbang Kehutanan Temukan Sumber Energi Bioduel dari Biji
Nyamplung. Siaran Pers No. S. 578/PIK-1/2008.

Enweremadu, C.C & Mbarawa, M.M., (2009), Technical aspects of production and analysis
of biodiesel from used cooking oilA review. Journal of Renewable and Sustainable
Energy Reviews 13, 22052224.

Freedman, B., Pryde. E. H., and Mounts. T. L., 1984. Variables Affecting the Yields of Fatty
Esters from Transesterfied Vegetable Oils.

Gerpen, J.V., Shanks, B., Pruszko, R., Clement, D., and Knote, G. 2005. Biodiesel Analytical
method.

Hadi, W.A., Pemanfaatan Minyak Biji Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) sebagai
Bahan Bakar Minyak Pengganti Solar. Jurnal Riset Daerah, 2009.

Hambali, Erliza dan Hedroko. 2007. Teknologi Bioenergi. Jakarta. Agro Media Pustaka.

Heryati, Y., Y . Mile dan T . Rostiwati. 2007. Upaya Penanaman Nyamplung (Callophyllum
spp) Sebagai Pohon Potensial Penghasil HHBK. Mitra Hutan Tanaman 2(2) : 35-40.

Kementrian Sumber Daya Alam. 2012. Kajian Supply Demand Energi. Pusat Data dan
Informasi Energy dan Sumber Daya Mineral.

Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press. Jakarta.
Kirk, R. E. And Othmer, D. F., 1980, Encyclopedia of Chemical Technology, 3rd ed., vol. 9,
John Wiley and Sons, New York.

Kouzu, M., T. Kasuno, M. Tajika, Y. sugimoto, S. Yamanaka, and J. Hidaka, Calcium oxide
as a solid base catalyst for transesterification of soybean oil and its application to
biodiesel production. Fuel, 2008. 87: p. 2798-2806.

Lotero, E., Liu, Y., Lopez, D.E., Suwannakarn, K., Bruce, D.A., Good win, J.G., Jr., 2005.
Synthesis of Biodiesel via Acid Cataysis. Industrial & Engineering Chemistry
Research, 44(14), 5353-5363.

Mahreni dan Tutik Muji Setyoningrum., (2011), Produksi Biodisel dari Minyak Jelantah
Menggunakan Katalis Asam padat (Nafion/SiO2) Eksergi Vol. X No 2, hal. 52-57.

Maneerung, Thawatchai., Kawi Sibudjing., Wang, Chi-Hwa. 2014. Biomass gasification bottom ash
as a source of CaO catalyst for biodiesel production via transesterification of palm
oil. National University of Singapore.

Marcheetti, J.M. dan Errazu, A.F. 2008. Comparisson Of Different Heterogeneous Catalyst and
Different Alcohols for The Estherification Reaction ff Oleic Acid. Fuel, 87.3477-3480

Mittlebach, M. and C. Ramschimdt. 2004. Biodiesel: The Comperehensive Handbook,


2nd edition, Austria: Graz.

N. Viriya-empikul, P. Krasae, W. Nualpaeng, B. Yoosuk, K. Faungnawakij. 2011. Biodiesel


production over Ca-based solid catalysts derived from industrial wastes. Pathumthani
12120, Thailand.

Perry, R.H. and Green, D.W., 1984. Perry`s Chemical Engineering Handbook, 6TH ed. Mc
Graw Hill Book Company, Inc. New York.

Reddy CRV, Oshel R, Verkade JG. 2006. Room-temperature conversion of soybean oil
and poultry fat to biodiesel catalyzed by nanocrystalline calcium oxides.
Energy Fuel;20:13104.

Rachimoellah, M., O. Rachmaniah, J.Irdiansyah, and D. Asrini. , 2 0 0 9 . Degumming


Minyak Biji Nyamplung (Calophyllum inophyllum) Menggunakan Membrane
Polypropylene.
Sharma, Y.C., Singh, B., and Korstad, J. 2010, Application of an Efficient Nonconventional
Heterogeneous Catalyst for Biodiesel Synthesis from Pongamia pinnata Oil, Energy
Fuels, 24(5), 3223-3231.

Stadelman, W.J., (2000), Eggs and Egg Produtcs, In Francis, F.J (Ed), Encyclopedia of Food
Science and Technology, second ed, John Wiley and Sons, New York, pp. 593-599

Sudrajat, R., Sahirman, and D. Setiawan, Pembuatan Biodiesel dari Biji Nyamplung. Jurnal
Penelitian Has Hut, 2007.

Sufriani, T. 2006. Pembuatan Biodiesel dari Minyak Jarak Pagar (Jathropha Curcas Oil)
dengan Proses Transesterifikasi. Institut Teknologi Sepuluh November.

Sugiyono, Agus., Aninditha, Sidik, Boedoyo., Adiarso. 2014. Outlook Energy Indonesia 2014.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, ISBN 978-602-1328-02-6.

Sun C., F. Qiu, D. Yang dan B. Ye . 2014. Preparation of Biodiesel from Soybean Oil
Catalyzed by Al-Ca Hydrotalcite Loaded with K2CO3 as Heterogeneous Solid Base
Catalyst. Fuel Processing Technology. Hal 383-391
Swern, D. 1979. Structur and Composition of Fats and Oils. In Bailey`s Industrial Oil and Fats
Products. Interscience Publisher Inc. New York.

Teng G, Gao L, Xiao G, Liu H. 2009. Transesterification of soybean oil to biodiesel over
heterogeneous solid base catalyst. Energy Fuel;23:46304.

Venkanna, B.K. and C.V. Reddy, Biodiesel Production and Optimization from
Calophyllum inophyllum lin Oil (Honne Oil)-A Three Stage Method. Bioresource
Technology, 2009. 100: p. 5122-5125.

Watkins, R.S. Watkins, A.F. Lee, K. Wilson. 2004. Li-CaO catalyzed tri-glyceride
transesterification for biodiesel applications. Green Chem., 6, pp. 335340

Zhang Yue, Wing-Tak Wong danKa-Fu Yung, 2013. One-Step Production of Biodiesel from
Rice Bran Oil Catalyzed by Chlorosulfonic Acid Modified Zirconia Via Simultaneous
Esterification and Transesterification. Bioresource Technology 147 (2013), page 59-
64.
Zuhra, Husin Husni, Fikri Hasfita. 2015. Preparasi Katalis Abu Kulit Kerang Untuk
Transesterifikasi Minyak Nyamplung menjadi Biodiesel. Jurusan Teknik Kimia,
Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Aceh. Indonesia.
LAMPIRAN A
LEMBAR PERHITUNGAN

1. Analisa kadar asam lemak dengan menggunakan analisa titrimetri (AOAC, 1995)
Menghitung FFA minyak nyamplung bebas gum :
gr
(V N) BMasam lemak (18,6 ml)(0,1 N) (282,4614 mol)
FFA(%) = = = 21 %
1000 m 1000 2,5 gr

Dari analisa di atas di ketahui FFA minyak nyamplung = 21%. Hal ini menunjukan
diperlukannya tahap esterfikasi untuk mengurangi kadar FFA minyak nyamplung tersebut.

2. Menghitung kebutuhan metanol, minyak dan katalis (HCl) untuk proses esterifikasi
Proses Esterifikasi :

Proses esterifikasi bertujuan untuk mengubah asam lemak bebas menjadi ester alkil. Hal ini
bertujuan untuk mencegah terjadinya reaksi saponifikasi pada saat proses transesterifikasi,
dimana syarat minyak yang digunakan untuk proses transesterifikasi harus mengandung FFA
2%. Adapun untuk kebutuhan reaktan dan katalis dapat dihitung sebagai berikut :
Menghitung densitas minyak nyamplung, metanol dan Katalis (HCl)
Persamaan sebagai berikut :
( + ) ( )
() =

Massa picnometer kosong = 16,5 gr
Volume picnometer = 10 ml
Maka di dapat data densitas sebagai berikut :
Densitas minyak = 0,966 gr/ml
Densitas HCl = 1,19 gr/ml
Densitas Metanol = 0,7328 gr/ml
Menghitung kebutuhan reaktan untuk proses esterifikasi
Volume HCL 0,15 N
0,15 36,5 400
. = = = 4,97
% 1000 1,19 37% 1000 1
Volume total = 400 ml
Volume total = Volume Katalis + Volume Metanol + Volume Minyak
400 ml = 4,97 + V.Metanol + V.Minyak
395,03 = V.Metanol + V.Minyak
Perbandingan mol minyak : mol metanol = 1 : 6
0,966 .
= = = 0,001372.
704,2

0,7328 .
= = = 0,0229.
32

1 0,001372 .
= =
6 0,0229 .
V.Minyak = 2,78 V.Metanol
Maka :
V.Metanol + V.Minyak = 395.03 ml
V.Metanol + 2,78 V.Metanol = 395,03 ml
3,78 V.Metanol = 395,03 ml
V. Metanol = 104,5 ml
V. Minyak = 290.53 ml
Sehingga kebutuhan untuk satu kali esterifikasi adalah
V. Metanol = 104,5 ml
V. Minyak = 290.53 ml
V. HCL = 4,97 ml
Menghitung kebutuhan 1,6 Liter Minyak nyamplung dengan FFA 2%
Selama percobaan untuk mendapatkan 1,6 Liter Minyak nyamplung dengan
FFA 2% di butuhkan 8 tahap esterfikasi. Adapun tahapan esterfikasi sebagai
berikut :
Tahap 1 ( Esterifikasi total 6 kali) FFA 17,5%
Tahap 2 ( Esterifikasi total 6 kali) FFA 13,8%
Tahap 3 ( Esterifikasi total 6 kali) FFA 10,5%
Tahap 4 ( Esterifikasi total 6 kali) FFA 7,3%
Tahap 5 ( Esterifikasi total 6 kali) FFA 5,8%
Tahap 6 ( Esterifikasi total 6 kali) FFA 3,3%
Tahap 7 ( Esterifikasi total 6 kali) FFA 2,2%
Tahap 8 ( Esterifikasi total 6 kali) FFA 1,92%
Volume total minyak yang didapatkan = 1,680 ml dengan FFA 1,92%
3. Menghitung kebutuhan metanol, minyak dan katalis untuk proses transesterifikasi
Tahap ini merupakan tahap pembuatan biodiesel dengan syarat minyak yang digunakan
sebagai bahan baku biodiesel memiliki FFA 2%. Berikut ini reaksi Transesterifikasi :

Adapun untuk kebutuhan reaktan di sesuaikan dengan variabel percobaan. Berikut


variabel percobaan pembuatan biodiesel dari minyak nyamplung :

Variabel
No Rasio
Berat % Yield
Jenis Katalis pereaktan
Katalis (Respon)
(x:y)
1 Kat. kalsinasi 5,5% w/w 1:4 V
2 Kat. kalsinasi 5,5% w/w 1:5 V
3 Kat. kalsinasi 5,5% w/w 1:6 V
4 Kat. kalsinasi 5,5% w/w 1:7 V
5 Kat. murni 5,5% w/w 1:4 V
6 Kat. murni 5,5% w/w 1:5 V
7 Kat. murni 5,5% w/w 1:6 V
8 Kat. murni 5,5% w/w 1:7 V
9 Kat. kalsinasi 3,5% w/w 1:6 V
10 Kat. kalsinasi 4,5% w/w 1:6 V
11 Kat. kalsinasi 5,5% w/w 1:6 V
12 Kat. kalsinasi 6,5% w/w 1:6 V
13 Kat. murni 3,5% w/w 1:6 V
14 Kat. murni 4,5% w/w 1:6 V
15 Kat. murni 5,5% w/w 1:6 V
16 Kat. murni 6,5% w/w 1:6 V

Perhitungan kebutuhan reaktan


Densitas metanol = 0,816 gr/ml
Densitas minyak hasil esterifikasi = 0,917 gr/ml
Basis minyak tiap variabel = 100 ml
Massa minyak = 0,917 gr/ml x 100 ml = 91,7 gr
91,7
= = 0,13
704,2

Perhitungan kebutuhan reaktan tiap variabel
Berat katalis = % Katalis x Massa Minyak
Mol minyak : Mol Metanol = x : y

=

Massa Metanol = Mol Metanol x BM Metanol

=
0,816

Dengan bantuan excel maka didapatkan data kebutuhan reaktan tiap variabel
Kebutuhan Volume
Variabel
Katalis (gr) Metanol (ml)
1 5,0435 20,3921
2 5,0435 25,4901
3 5,0435 30,5882
4 5,0435 35,6862
5 5,0435 20,3921
6 5,0435 25,4901
7 5,0435 30,5882
8 5,0435 35,6862
9 3,2095 30,5882
10 4,1265 30,5882
11 5,0435 30,5882
12 5,9605 30,5882
13 3,2095 30,5882
14 4,1265 30,5882
15 5,0435 30,5882
16 5,9605 30,5882
17 5,0435 20,3921
Hasil Proses Transesterifikasi
Biodiesel yang dihasilkan dari proses tranesterifikasi dapat disajikan dalam bentuk
Yield dengan persamaan sebagai berikut :
()
= 100%
()
Adapun yield biodiesel tiap variabel disajikan pada tabel dibawah ini :

Variabel
No Jenis Katalis Berat Rasio % Yield
Katalis pereaktan (Respon)
1 Kat. kalsinasi 5,5% w/w 1:4 62
2 Kat. kalsinasi 5,5% w/w 1:5 77
3 Kat. kalsinasi 5,5% w/w 1:6 84
4 Kat. kalsinasi 5,5% w/w 1:7 79
5 Kat. murni 5,5% w/w 1:4 63
6 Kat. murni 5,5% w/w 1:5 78
7 Kat. murni 5,5% w/w 1:6 85
8 Kat. murni 5,5% w/w 1:7 80
9 Kat. kalsinasi 3,5% w/w 1:6 65
10 Kat. kalsinasi 4,5% w/w 1:6 76
11 Kat. kalsinasi 5,5% w/w 1:6 84
12 Kat. kalsinasi 6,5% w/w 1:6 81
13 Kat. murni 3,5% w/w 1:6 67
14 Kat. murni 4,5% w/w 1:6 79
15 Kat. murni 5,5% w/w 1:6 85
16 Kat. murni 6,5% w/w 1:6 82
LAMPIRAN B
DOKUMENTASI PENELITIAN

Cangkang Telur Sebelum di Size


Cangkang Telur Sebelum di Kalsinasi
Reduction

Pengayakan Cangkang Telur Dengan


Proses Kalsinasi Cangkang Telur Dengan
Ayakan
Furnace
Cangkang Telur Setelah Kalsinasi

Proses Esterifikasi Minyak Nyamplung

TAT Analisa FFA minyak Nyamplung

Pemisahan Hasil Esterifikasi


Hasil Proses Pemisahan Katalis Padat
dengan Centrifuge
Proses Transesterifikasi Proses Pemisahan Katalis padat dengan
Pompa Vakum

Proses Pemisahan Hasil Transesterifikasi Proses Pemisahan Sisa Katalis Padat


dengan Centrifuge

Anda mungkin juga menyukai