10 - 2 MPA Planning Managemewntq PDF
10 - 2 MPA Planning Managemewntq PDF
Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan ialah strategi yang tersusun atas berbagai aksi
tindak (action plan) yang diarahkan untuk mencapai tujuan jangka panjang suatu kawasan
konservasi. Pencapaian tujuan dari pengelolaan kawasan konservasi hanya bisa terlihat dalam jangka
panjang. Sedangkan kalender kegiatan biasanya berumur satu tahun. Oleh karena itu, rencana
pengelolaan kawasan konservasi biasanya dibagi dalam 3 (tiga) kategori: rencana pengelolaan jangka
panjang, rencana pengelolaan jangka menengah dan rencana pengelolaan jangka pendek. Rencana
pengelolaan jangka pendek sering disebut rencana kerja tahunan (RKT) sesuai dengan kalender
proyek pada umumnya. Rencana jangka menengah ialah tata waktu pencapaian antara jangka
pendek dengan jangka panjang. Umumnya rencana pengelolaan jangka panjang dibuat untuk
berlaku dalam waktu 25 tahun. Sedangkan rencana jangka menengah berlaku untuk periode 5 (lima)
tahun. Namun tata waktu ini bukan ketentuan baku, tergantung dari tujuan dan waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai tujuan konservasi.
10.5.1 Pendekatan
Proses pengelolaan atau manajemen Kawasan Konservasi Perairan, seperti pada umumnya,
bisa dibedakan dalam 5 (lima) langkah berurutan, ialah: batasan kerja konservasi kawasan,
pembuatan strategi konservasi dalam bentuk rencana pengelolaan, implementasi, monitoring
capaian sukses, dan adaptasi strategi sebagai bentuk pengelolaan yang adaptif (Gambar 10.6).
Proses awal dimulai dari batasan kerja pengelolaan. Namun secara keseluruhan, semua proses
merupakan kesatuan yang utuh dan bersifat siklik. Hasil monitoring selalu bisa digunakan untuk
evaluasi dan penyempurnaan. Semua proses ini harus dilakukan dan didokumentasikan dalam
rencana pengelolaan. Jadi, rencana pengelolaan mencakup dokumentasi semua proses dalam
pengelolaan kawasan konservasi secara utuh, dari awal sampai akhir satu tahapan siklus
pengelolaan, baik dalam jangka pendek, menengah maupun jangka panjang.
Batasan kerja proyek pengelolaan terdiri dari tim penyusun strategi dan rencana
pengelolaan, deskripsi kawasan konservasi dan target konservasi. Kata proyek diartikan sebagai
suatu set aksi yang dilakukan oleh sekelompok orang atau organisasi untuk mencapai tujuan atau
sasaran konservasi yang sudah didefinisikan dengan jelas. Skala kisaran proyek bisa bervariasi dari
sebuah usaha masyarakat lokal untuk melindungi terumbu karang di depan desa sampai pada usaha
yang dilakukan pemerintah untuk mengelola sebuah Taman Nasional Perairan yang luasnya
mencapai ribuah ha. Target didefinisikan sebagai seperangkat spesies, komunitas, habitat dan/atau
sistem ekologi yang dipilih untuk mewakili kawasan yang ingin dikonservasi. Target merupakan dasar
untuk menentukan sasaran, tindakan dan mengukur keberhasilan usaha konservasi. Sebagai contoh,
sebuah target konservasi ialah terumbu karang. Keberhasilan usaha konservasi ditentukan jika
tingkat kesehatan habitat terumbu karang semakin baik. Dengan cara yang sedikit berbeda,
keberhasilan usaha konservasi bisa ditentukan dari keberhasilan menurunkan ancaman terhadap
target (terumbu karang) dengan menurunnya ancaman terhadap target, secara otomatis tingkat
kesehatan target (terumbu karang) akan meningkat.
Gambar 10.7. Menyajikan contoh tahapan proses pembuatan rencana pengelolaan kawasan
konservasi berdasarkan ketentuan dari PHKA. Pada tahap awal, perencana harus
mempertimbangkan tiga hal utama, ialah: kondisi kawasan saat ini, praktek pengelolaan kawasan
saat ini dan rencana pembangunan wilayah. Ketiga faktor tersebut dianalisis untuk mendapatkan
peluang dan hambatan yang mungkin akan dihadapi dalam setiap strategi konservasi. Dari kondisi riil
Gambar 10.7. Tahapan dalam proses penyelesaian Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (25-
tahun) kawasan konservasi berdasarkan ketentuan PHKA (Sumber: Alder et al.,
1994).
Penyusunan rencana pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, seperti disajikan pada
Gambar 10.7, memperhatikan beberapa ketentuan dasar sebagai berikut:
Tim kerja multi-sektor kawasan konservasi selalu berada dalam wilayah propinsi atau
kabupaten tertentu dan PHKA selalu mempertimbangkan rencana pembangunan wilayah
regional maupun daerah. Oleh karena itu tim kerja yang mempersiapkan rencana
pengelolaan kawasan akan terdiri dari instansi pemerintah yang berbeda, dari tingkat pusat
Sejak awal tahun 2000an, pemerintah bersama organisasi non-pemerintah (LSM) telah
berhasil mengidentifikasi suatu pola standar (standard lexicon) dalam menyusun rencana
pengelolaan kawasan. Tahapan proses dalam penyusunan rencana pengelolaan pada dasarnya
terdiri dari: (1) tentukan taget konservasi, (2) identifikasi ancaman langsung terhadap target
konservasi, (3) analisis sumber ancaman dan penentuan prioritas ancaman (threat rating), (4)
kembangkan strategi dan rencana aksi untuk menurunkan ancaman dan/atau meningkatkan status
kesehatan target konservasi, dan (5) tentukan perangkat monitoring untuk mengukur keberhasilan
strategi.
Target didefinisikan sebagai seperangkat spesies, komunitas dan/atau sistem ekologi yang
dipilih untuk mewakili dan mencakup keanekaragaman hayati atau sumber daya di dalam kawasan
yang ingin dikonservasi. Target merupakan dasar untuk menentukan sasaran-sasaran, melaksanakan
tindakan-tindakan konservasi, dan mengukur keefektifan konservasi. Secara teori, dan diharapkan
secara praktis di tingkat lapang, target konservasi akan menjamin perlindungan semua
keanekaragaman hayati (perikanan) yang ada dalam bentang alam fungsional suatu kawasan
konservasi.
Ancaman atau threat didefinisikan sebagai sebuah agen (bahan hampiran) atau faktor yang
secara langsung menurunkan satu atau lebih target konservasi. Sebagai contoh, penangkapan
berlebih ialah ancaman terhadap terumbu karang yang menjadi target untuk dikonservasi.
Penangkapan berlebih bisa disebut sebagai ancaman terhadap target ikan yang menjadi tujuan
penangkapan nelayan.
Sumber ancaman ialah tindakan atau peristiwa yang didorong oleh manusia, yang mendasari
atau menyebabkan adanya satu atau lebih ancaman langsung (direct threat). Sebagai contoh, harga
ikan karang yang tinggi termasuk sebagai sumber ancaman, yang mendorong nelayan untuk
melakukan penangkapan secara berlebih atau menggunakan alat tangkap yang tidak ramah
lingkungan (dan mengancam target konservasi).
Pada akhirnya, rencana pengelolaan harus dijalankan sesuai dengan jadwal yang sudah
ditentukan dalam rencana pengelolaan 25-tahun, rencana pengelolaan 5-tahun, maupun rencana
kerja tahunan. Rencana kerja tersebut akan dilaksanakan oleh suatu badan atau institusi pengelola
kawasan. Pengelolaan kawasan bisa dilakukan oleh satu instansi tertentu, atau gabungan dari
beberapa instansi, bahkan bisa terdiri dari sistem perwakilan berbagai komponen masyarakat.
Dalam sejarah perkembangan pengelolaan sumber daya maupun kawasan konservasi,
Indonesia berpengalaman menjalankan dua sistem yang berbeda, ialah: model pengelolaan kawasan
berbasis masyarakat, dan model pengelolaan berbasis pada pemerintah formal. Ketika suatu
kawasan konservasi berada pada lokasi yang terisolasi dan sulit dijangkau oleh pemerintah,
masyarakat lokal akan membuat kesepakatan melalui aturan non-formal untuk mengelola
pemanfaatan sumber daya berbasis masyarakat (community-based management). Contoh ini sudah
kita diskusikan sebelumnya, termasuk diantaranya ialah: Sasi Laut di Maluku dan Papua, Nyale di
Sumba, Awig-Awig di Lombok atau Panglima Laot di Aceh. Sistem pengelolaan kawasan konservasi
yang berkembang saat ini di Indonesia ialah berbasis pada pemerintah. Hal ini tertuang dalam
Undang Undang Dasar 1945, Pasal 33 (3), sebagai berikut: bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Namun demikian, pemerintah secara bertahap mulai menyerahkan sebagian urusan
pengelolaan sumber daya kepada Pemerintah Daerah maupun masyarakat.
Gambar 10.8. Berbagai tingkatan kolaborasi antara sistem yang berbasis pada pemerintah dan
berbasis masyarakat (Sumber: diadopsi dari Pomeroy & Berkes, 1997)
Monitoring ialah suatu pengamatan yang dilakukan secara berulang, dengan metode yang
sama, dengan tujuan untuk mengukur perubahan yang terjadi sebagai dampak dari kegiatan atau
aksi pengelolaan. Parameter monitoring harus bisa menjamin bahwa perubahan yang terjadi
merupakan dampak dari aksi konservasi, bukan oleh faktor lain, selain aksi konservasi. Namun
menentukan parameter yang akan dimonitor harus efektif tidak semua parameter harus
dimonitor, dengan memperhatikan tenaga dan dana yang tersedia untuk keperluan ini. Sebagai
contoh, pengelolaan suatu kawasan konservasi ditujukan untuk mengurangi tekanan penangkapan
di wilayah larang-ambil, ialah pada lokasi penangkapan ikan (fishing ground) nelayan. Kegiatan
monitoring ialah dengan mencatat jumlah Crown-Of-Thorn (COT) setiap 6 (enam) bulan sekali.
Strategi monitoring seperti ini jelas tidak sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasan.
Seperti telah disebutkan, jenis kegiatan monitoring sangat beragam. Namun pada dasarnya
kegiatan ini bisa dibedakan dalam 4 (empat) kategori, ialah: (1) monitoring biologi atau ekologi, (2)
monitoring sosial-ekonomi, (3) monitoring pola pemanfaatan sumber daya, dan (4) monitoring
insidental. Beberapa kegiatan monitoring ada yang bisa mengukur dampak dari aksi pengelolaan
secara langsung. Jenis monitoring lainnya hanya bisa mengukur dampak aksi konservasi setelah
beberapa lama. Sebagai contoh, suatu aksi konservasi ialah patroli dan penegakan aturan wilayah
larang-ambil. Untuk itu, pengelola kawasan melakukan patroli wilayah larang-ambil secara teratur,
misalkan 2 hari setiap periode 10 hari. Sebelum patroli diterapkan, petugas mencatat sekitar 10
nelayan menangkap ikan dalam setiap 1 ha wilayah larang-ambil. Pada waktu yang ditentukan,
kegiatan patroli dan penegakan aturan mulai diterapkan. Bersama itu, petugas juga mengamati
nelayan yang beroperasi di wilayah larang-ambil. Jika jumlah ini berkurang maka aksi konservasi bisa
dikatakan berdampak langsung terhadap perubahan di dalam kawasan. Sebaliknya, kegiatan patroli
tidak langsung berdampak positif terhadap peningkatan jumlah dan ukuran ikan di dalam wilayah
larang-ambil.
Sejak tahun 1996, Taman Nasional Komodo mempunyai fasilitas (speedboat), tenaga
(bantuan kepolisian) dan dana yang mencukupi untuk melakukan patroli rutin di laut. Sebelumnya,
kegiatan patroli hanya dilakukan di darat dan dipusatkan pada pos-pos Jagawana yang berjumlah 8
(delapan) unit di seluruh kawasan. Petugas mencatat (memonitor) jumlah suara ledakan bom ikan
yang dilakukan di laut dan terdengar dari pos jaga. Mereka mencatat rata-rata antara 13 20 kali
suara bom ikan yang terjadi setiap bulannya (Gambar 10.10).
Gambar 10.10. Hasil dari program monitoring sumber daya, menunjukkan efektifitas pengelolaan.
Jagawanana atau Polis i Hutan. Jagawana memonitor pemanfaatan s umber daya oleh nelayan
pengguna bom ikan dengan mencatat frekuensi suara bom ikan yang terdengar dari pos jaga
di darat. Setelah menerapkan program patroli pengamanan gerak cepat, insiden penge-
boman ikan berkurang secara nyata. Grafik ini menunjukkan pesan yang kuat dalam
efektifitas program konse rvasi kawasan kepada masyarakat dan pihak te rkait.
Monitoring biologi termasuk didalamnya kegiatan pemantauan lingkungan dan habitat yang
mengalami perubahan sebagai dampak dari aksi atau kegiatan konservasi. Sebagai contoh, jika
kegiatan patroli bisa menurunkan kejadian bom ikan yang dilakukan masyarakat nelayan, hal ini
tentu saja akan berdampak positif dengan meningkatnya tutupan karang hidup di dalam kawasan.
Namun perlu disadari bahwa peningkatan ini tidak akan terjadi secara langsung dalam waktu yang
relatif pendek. Terumbu karang membutuhkan waktu selama beberapa tahun untuk pulih. Untuk itu,
pengelola kawasan Taman Nasional Komodo melakukan inisiatif untuk mengukur tutupan karang
keras setiap dau tahun sekali. Hasil analisis disajikan pada Gambar 5.9 (lihat juga pada Bab V
sebelumnya).
Hasil kegiatan monitoring karang selama 8 tahun menunjukkan indikasi bahwa tutupan
karang keras di dalam kawasan (wilayah larang-ambil) mengalami peningkatan. Pada awal patroli
dijalankan, tutupan karang keras hidup mencapai sekitar 15%. Setelah 8 (delapan) tahun program
konservasi, tutupan karang keras telah meningkat menjadi sekitar 26%. Program patroli dinyatakan
berhasil dan memberikan dampak pada perubahan biologi yang terjadi di dalam kawasan. Namun
hal ini baru diketahui sekitar 8 (delapan) tahun kemudian, dari saat aksi konservasi mulai dijalankan.
Pada tahun 1998, pengelola kawasan juga melakukan monitoring terhadap jumlah induk ikan
karang yang melakukan pemijahan pada waktu-waktu tertentu. Jenis kegiatan ini disebut monitoring
SPAGs (Spawning Aggregation Sites). Hasil monitoring disajikan pada Gambar 10.11. Selama periode
5 (lima) tahun, jumlah induk ikan karang ternyata mengalami penurunan, sebagai indikasi terjadinya
penangkapan berlebih (over-fishing) terhadap populasi induk ikan karang. Penangkapan berlebih
dilakukan secara bersama, baik oleh alat tangkap destruktif (tidak ramah lingkungan dan ilegal)
maupun oleh alat tangkap yang diijinkan beroperasi di dalam kawasan. Hasil monitoring (Gambar
10.10) menunjukkan bahwa pengelola kawasan telah berhasil melarang penggunaan alat tangkap
destruktif (bom dan racun sianida melalui penggunaan kompresor hookah). Namun, pengelola
kawasan belum berhasil menghindari kawasan dari usaha pengambilan berlebih yang dilakukan oleh
nelayan dengan alat tangkap legal.
Monitoring Pemanfaatan Sumber daya (MPS) didefinisikan sebagai suatu kegiatan dimana
suatu tim melakukan survei lapang pada suatu daerah tertentu untuk mengetahui apa tipe-tipe
pemanfaatan sumber daya yang ada, kapan, dimana, dan oleh siapa. Pemanfaatan sumber daya
pada konteks ini diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya laut yang dapat diperbarui (alam
hayati), termasuk pemanfaatan ekstraktif (penangkapan ikan, pengambilan batu karang, dll) dan
pemanfaatan non-ekstraktif (pariwisata, pendidikan, dll). Memonitor pemanfaatan sumber daya bisa
dilakukan secara in-situ, ialah pengamatan yang dilakukan di tempat peristiwa tersebut terjadi.
Monitoring pemanfaatan juga bisa dilakukan secara ex-situ, misalnya melalui analisis data dari
tempat pelelangan ikan.
Secara khusus, tim lapang akan menggunakan perahu/speed boat untuk mengelilingi suatu
area, mewawancarai nelayan dan pengguna lainnya yang ditemui di laut ketika sedang menangkap
ikan atau melakukan aktifitas, beristirahat atau melintasi kawasan untuk pindah tempat. Kegiatan
keliling ini akan diulangi secara berkala (misalnya, setiap minggu atau setiap bulan) untuk
mendapatkan kecenderungan (perubahan berdasarkan waktu). Monitoring pemanfaatan sumber
daya juga bisa dilakukan dengan menggunakan pesawat terbang mini. Dari atas pesawat, petugas
mencatat jenis perahu, alat tangkap (jika memungkinkan) dan jumlah perahu yang berada di suatu
tempat tertentu.
Monitoring pemanfaatan sumber daya seringkali dikombinasikan dengan kegiatan patroli
pengamanan atau penegakan aturan pemanfaatan sumber daya. Sesungguhnya, patroli
Gambar 10.12 Hasil analisis monitoring pola pemanfaatan sumber daya di dalam kawasan Taman
Nasional Komodo. Nelayan dari Pulau Mesa (Misa) melakukan konsentrasi
penangkapan pada dua wilayah tertentu (tanda lingkaran putih) dengan
menggunakan alat kompresor hookah
Froese, R., & D. Pauly. 2011. FishBase: World Wide Web Electronic Publication. www.fishbase.org,
version (02/2011).
Pet, J. S., P.J. Mous, A.H. Muljadi, Y.J. Sadovy, & L. Squire (2005). Aggregations of Plectropomus
Areolatus and Epinephelus Fuscoguttatus (Groupers, Serranidae) in the Komodo National
Park, Indonesia: Monitoring and Implications for Management. Environmental Biology of
Fishes 74: 209-218.
Salm, R. V., J. Clark, & R. Siirila. 2000. Marine and Coastal Protected Areas: A guide for planners and
managers. Washington DC, IUCN., xxi + 371pp.
Ringkasan:
1. Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia saat ini lebih merupakan kebutuhan dari pada
komitmen terhadap ketentuan global untuk melindungi keanekaragaman hayati laut. Jelaskan
alasan yang mendukung hal ini.
3. Jelaskan arti kriteria keterwakilan (representativeness) sebagai salah satu kriteria dalam seleksi
kawasan. Apa alasan kriteria ini menjadi dasar dalam seleksi kawasan?
4. Kolaborasi (co-management) ialah salah satu sistem dalam pengelolaan Kawasan Konservasi
Perairan. Apa yang dimaksud dengan kolaborasi dalam konteks ini? Sebutkan beberapa contoh
kolaborasi dalam praktek pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia;
5. Sebutkan alasan yang paling kuat untuk melakukan program monitoring sebagai bagian dari
rencana pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan
6. Dalam setiap diskusi tentang stakeholder, kita sering melupakan salah satu pihak yang terlibat
dalam pengelolaan kawasan konservasi. Mereka sering disebut sebagai suara para pihak yang
diam atau tidak bersuara. Siapakah yang dimaksud dengan stakeholder ini?
7. Ada tiga prinsip dasar yang sebaiknya dipertimbangkan dalam seleksi calon kawasan konservasi.
Sebutkan dan jelaskan masing-masing prinsip dasar tersebut.
8. Monitoring biologi menjadi alat ukur sukses atau kegagalan program konservasi. Hal ini bisa
dilihat dari tingkat kesehatan (viabilitas) dari target konservasi. Berikan dua contoh monitoring
biologi yang menunjukkan sukses dari program konservasi.
9. Gambarkan proses penetapan suatu kawasan konservasi dengan menggunakan sistem yang
dikembangkan oleh PHKA. Bagaimana proses akomodasi pelibatan masyarakat dalam sistem ini?
10. Buatlah sebuah contoh badan pengelola kawasan konservasi dengan model kolaborasi berbagai
pihak.