Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal reflux disease/

GERD) adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan

lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat

keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas.1


GERD juga didefinisikan sebagai keadaan ketika cairan lambung refluks

ke dalam esofagus dan menyebabkan gejala dan/atau komplikasi yang

mengganggu. Gejala yang mengganggu didefinisikan sebagai gejala ringan

yang terjadi dua hari dalam seminggu atau gejala sedang-berat yang terjadi

satu hari dalam seminggu, meskipun ini bukan batasan yang baku. Meskipun

tidak ada gejala, ditemukannya komplikasi struktural (esofagitis, perdarahan,

striktur, esofagitis Barret hingga adenokarsinoma) juga disebut penyakit

refluks gastroesofageal.2
B. Klasifikasi
Konsensus Montreal tahun 2006 mengelompokkan penyakit ini menjadi

dua kelompok berdasarkan lokalisasi gejala, yaitu sindrom esofageal dan

sindrom ekstraesofageal.2
Sindrom simtomatik adalah refluks esofageal tanpa adanya lesi

struktural, atau pemeriksaan lebih lanjut untuk menilai kerusakan struktural

belum dilakukan. Pasien dengan sindrom refluks tipikal memiliki dua keluhan

klasik, yaitu heartburn dan/atau regurgitasi. Pasien dengan sindrom nyeri dada

karena refluks mengeluhkan nyeri dada non kardiak yang dominan tanpa

adanya gejala refluks tipikal. 2

2
Sindrom dengan lesi esofagus terdiri atas esofagitis refluks, striktur,

esofagitis Barret, dan adenokarsinoma esofagus. Esofagitis ditemukan pada

kurang dari 50% pasien dengan refluks esofagus sementara striktur terjadi

pada <5% pasien. Esofagus Barret adalah keadaan ketika epitel skuamosa

esofagus digantikan oleh metaplasia kolumnar. 2


Refluks gastroesofageal dalam jangka lama dapat menyebabkan keluhan

ekstra-esofageal, baik yang telah dapat dijelaskan hubungan sebab-akibatnya

maupun yang belum dapat dijelaskan secara pasti. Pajanan asam lambung

pada esofagus, laring dan mulut menyebabkan batuk, laringitis, asma, dan

erosi dental, baik melalui kontak langsung atau refleks neural. 2

Penyakit Refluks Esofageal

Sindrom esofageal Sindrom ekstraesofageal

Sindrom simtomatik
Sindrom dengan lesi Hubungan
esofagus yang sudah ditetapkan
Hubungan yang diajukan

Sindrom refluks tipikal


Esofagitis refluks Sindrom batuk refluksFaringitis
Sindrom nyeri dada refluks
Striktur refluks Sindrom Sinusitis
Laringitis refluks
Esofagitis Barret Sindrom Asam Refluks Fibrosis pulmonal idiopatik
Adenokarsinoma esofagus
Sindrom Erosi dentalOtitis media berulang
refluks
Sindrom erosi dental refluks.

C. Epidemiologi
Prevalensi GERD dan komplikasinya di Asia, termasuk Indonesia, secara
umum lebih rendah dibandingkan dengan negara barat, namun demikian data
terakhir menunjukkan bahwa prevalensinya semakin meningkat. Hal ini

3
disebabkan oleh karena adanya perubahan gaya hidup yang meningkatkan
seseorang terkena GERD, seperti merokok dan juga obesitas. Data
epidemiologi dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa satu dari lima orang
dewasa mengalami gejala refluks esofageal (heartburn) dan atau regurgitasi
asam sekali dalam seminggu, serta lebih dari 40% mengalami gejala tersebut
sekurangnya sekali dalam sebulan.3
Penyakit ini umumnya ditemukan pada populasi negaranegara barat,
namun dilaporkan relatif rendah insidennya di negara Asia - Afrika. Di
amerika di laporkan satu dari lima orang dewasa mengalami gejala heartburn
atau regurgutasi sekali dalam seminggu serta lebih dari 40 % mengalaminya
sekali dalam sebulan. Prevalensi esofagitis di amerika sekitar 7%, sementara
negara non-western prevalensinya lebih rendah (1,5% di China dan 2,7% di
Korea). Sementara di Indonesia belum ada data epidemiologinya mengenai
penyakit ini, namun di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus
esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan
endoskopi atas indikasi dyspepsia.1
GERD dapat diderita oleh laki-laki dan perempuan. Rasio laki-laki dan
wanita untuk terjadinya GERD adalah 2:1 sampai 3:1(1). GERD pada negara
berkembang sangat dipengaruhi oleh usia, usia dewasa antara 60-70 tahun
merupakan usia yang seringkali mengalami GERD. 1

D. Etiologi
Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat
terjadi sebagai akibat dari refluks gastroesofageal apabila1:
1. Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat
dengan mukosa esofagus
2. Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun
waktu kontak antara bahan refluksat dengan esofagus tidak lama.
Ada 4 faktor penting yang memegang peran untuk terjadinya GERD 1:
1. Rintangan Anti-refluks (Anti Refluks Barrier)

4
Kontraksi tonus Lower Esofageal Sphincter (LES) memegang
peranan penting untuk mencegah terjadinya GERD, tekanan LES < 6
mmHg hampir selalu disertai GERD yang cukup berarti, namun refluks
bisa saja terjadi pada tekanan LES yang normal, ini dinamakan
inappropriate atau transient sphincter relaxation, yaitu pengendoran
sfingter yang terjadi di luar proses menelan. Akhir-akhir ini dikemukakan
bahwa radang kardia oleh infeksi kuman Helicobacter pylori
mempengaruhi faal LES dengan akibat memperberat keadaan. Faktor
hormonal, makanan berlemak, juga menyebabkan turunnya tonus LES.1
2. Mekanisme pembersihan esofagus
Pada keadaan normal bersih diri esofagus terdiri dari 4 macam
mekanisme, yaitu gaya gravitasi, peristaltik, salivasi dan pembentukan
bikarbonat intrinsik oleh esofagus. Proses membersihkan esofagus dari
asam (esophageal acid clearance) ini sesungguhnya berlangsung dalam 2
tahap. Mula-mula peristaltik esofagus primer yang timbul pada waktu
menelan dengan cepat mengosongkan isi esofagus, kemudian air liur yang
alkalis dan dibentuk sebanyak 0,5 mL/menit serta bikarbonat yang
dibentuk oleh mukosa esofagus sendiri, menetralisasi asam yang masih
tersisa. Sebagian besar asam yang masuk esofagus akan turun kembali ke
lambung oleh karena gaya gravitasi dan peristaltik. Refluks yang terjadi
pada malam hari waktu tidur paling merugikan oleh karena dalam posisi
tidur gaya gravitasi tidak membantu, salivasi dan proses menelan boleh
dikatakan terhenti dan oleh karena itu peristaltik primer dan saliva tidak
berfungsi untuk proses pembersihan asam di esofagus. Selanjutnya
kehadiran hernia hiatal juga menggangu proses pembersihan tersebut.1

3. Daya perusak bahan refluks


Asam pepsin dan mungkin juga empedu yang ada dalam cairan
refluks mempunyai daya perusak terhadap mukosa esofagus. Beberapa
jenis makanan tertentu seperti air jeruk nipis, tomat dan kopi menambah
keluhan pada pasien GERD.1

5
4. Isi lambung dan pengosongannya
Reluks gastroesofagus lebih sering terjadi sewaktu habis makan dari
pada keadaan puasa, oleh karena isi lambung merupakan faktor penentu
terjadinya refluks. Lebih banyak isi lambung lebih sering terjadi refluks.
Selanjutnya pengosongan lambung yang lamban akan menambah
kemungkinan refluks tadi.1

E. Faktor Risiko
Faktor risiko mencakup obesitas, kehamilan, merokok, hernia hiatus,
penyakit paru seperti asma dan PPOK, konsumsi alkohol dan penggunaan
terapi pengganti hormon estrogen. Faktor risiko adenokarsinoma esofagus
adalah Esofagus Barret, pajanan terhadap refluks dalam jangka lama (>10-20
tahun), frekuensi pajanan yang sering (>3x seminggu), jenis kelamin laki-laki,
obesitas, ras kaukasoid dan usia 60 tahun ke atas.2

F. Patofisiologi
GERD merupakan penyakit multifaktorial, di mana esofagitis dapat
terjadi sebagai akibat dari refluks kandungan lambung ke dalam esofagus
apabila:3
1. Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat
dengan mukosa esofagus.
2. Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu
kontak antara bahan refluksat dengan esofagus tidak cukup lama.
3. Terjadi gangguan sensitivitas terhadap rangsangan isi lambung, yang
disebabkan oleh adanya modulasi persepsi neural esofageal baik sentral
maupun perifer.
Kandungan isi lambung yang menambah potensi daya rusak bahan refluksat di
antaranya adalah: asam lambung, pepsin, garam empedu, dan enzim pankreas.
Dari semua itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah asam
lambung. Beberapa hal yang berperan dalam patogenesis GERD, di antaranya
adalah: peranan infeksi Helicobacter pylori, peranan kebiasaan/gaya hidup,
peranan motilitas, dan hipersensitivitas viseral.

6
Peranan infeksi Helicobacter pylori (H. pylori)
Peranan infeksi H. pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan
kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian, ada hubungan terbalik
antara infeksi H. pylori dengan strain virulen (Cag A positif ) dengan kejadian
esofagitis, esofagus Barrett dan adenokarsinoma esofagus.H. pylori tidak
menyebabkan atau mencegah penyakit refluks dan eradikasi dari H. pylori
tidak meningkatkan risiko terjadinya GERD.
Peranan kebiasaan/gaya hidup
Peranan alkohol, diet serta faktor psikis tidak bermakna dalam
patogenesis GERD, namun demikian khusus untuk populasi Asia-Pasifik ada
kemungkinan alkohol mempunyai peranan lebih penting sebagaimana
ditunjukkan dalam studi epidemiologi terkini dari Jepang. Beberapa studi
observasional telah menunjukkan bahwa pengaruh rokok dan berat badan
berlebih sebagai faktor risiko terjadinya GERD.
Beberapa obat-obatan seperti bronkodilator juga dapat mempengaruhi GERD.
Peranan motilitas
Pada pasien GERD, mekanisme predominan adalah transient lower
esophageal spinchter relaxation (TLESR). Beberapa mekanisme lain yang
berperan dalam patogenesis GERD antara lain menurunnya bersihan esofagus,
disfungsi sfingter esofagus, dan pengosongan lambung yang lambat.
Hipersensitivitas viseral

7
Akhir-akhir ini diketahui peranan refluks non-asam/gas dalam
patogenesis GERD yang didasarkan atas hipersensitivitas viseral.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, hipersensitivitas viseral memodulasi
persepsi neural sentral dan perifer terhadap rangsangan regangan maupun zat
non-asam dari lambung.

Refluks yang terjadi pada pasien penderita GERD melalui 3 mekanisme.1


1. Refluks spontan pada saat relaksasi SEB yang tidak adekuat,
2. Aliran retrogard yang mendahului kembalinya tonus SEB setelah
menelan,
3. Meningkatnya tekanan intraabdomen.
Dengan begitu dapat diakatakan bahwa patogenesis terjadinya refluks
menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor
ofensif dari bahan refluksat.1 Yang termasuk faktor defensif dari refluks adalah
:

Pemisah antirefluks.
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus dari SEB.
Meurunnya tonus SEB dapat menyebabkan timbulnya refluks retrogard pada
saat terjadi peningkatan tekanan intraabdomen.1,5
Sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki tonus SEB yang
normal. Yang dapat menurunkan tonus SEB antara lain :1,5
1. Adanya hiatus hernia
2. Panjang SEB. Semakin pendek semakin rendah tonusnya.
3. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat dan
lain-lain.
4. Kehamilan. Karena terjadi peningkatan progesteron yang dapat
menurunkan tonus SEB
5. Makanan berlemak dan alkohol.

Dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak


bahwa pada kasus GERD dengan tonus normal pada SEB lebih banyak
disebabkan oleh terjadinya transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi

8
SEB yang bersifat spontan dan berlangsung kurang lebih 5 detik tanpa
didahului proses menelan. Belum jelas diketahui bagaimana mekanisme
terjadinya TLESR. Tetapi pada beberapa individu diketahui adanya kaitan
dengan keterlambatan pengosongan lambung dan dilatasi lambung.1,4

Peranan Hiatus hernia pada patogenesis GERD masih kontroversi,


karena banyak pasien GERD yang pada endoskopik didapatkan hiatus hernia

tidak menampakan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat


memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esofagus
serta menurunkan tonus SEB.1,4

Bersihan asam dari lumen esofagus


Faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah
gravitasi, peristaltik, eksresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks,
sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan
peristaltik yang dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh
bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esofagus.1
Mekanisme bersihan asam ini sangat penting sebab, semakin lama
waktu bersihan maka semakin lama kontak mukosa lambung dengan refluksat,
dan makin besar pula kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien
GERD memiliki waktu transit refluksat yang normal, sehingga penyebab
terjadinya refluks adalah peristaltik esofagus yang minimal.1

9
Refluks pada malam hari lebih berpotensi meimbulkan kerusakan pada
esofagus, karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus
tidak aktif. 1
Ketahanan Epitelial Esofagus.
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan
mukus untuk melindungi mukosa esofagus.1
Mekanisme ketahanan epitelial esofagus terdiri dari :1
1. Membran sel
2. Intraseluler junction yang membatasi difusi H+ ke jaringan esofagus.
3. Aliran darah esofagus yang menyuplai nutrisi, oksigen dan bikarbonat,
serta mengeluarkan ion H+ dan CO2
4. Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H +
dan Cl- intrasel dengan Na+ dan bikarbonat ekstrasel.

Nikotin dari rokok menyebabkan transport ion Na+ melalui epitel


esofagus. Sedangkan alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel
terhadap ion H. Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya
rusak refluksat. Kandungan lambung yang juga ikut berpengaruh dalam
kerusakan mukosa gaster (menambah daya rusak refluksat) antar lain HCl,
pepsin, garam empedu, enzim pankreas.1
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang
dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada pH
< 2, atau adanya pepsin dan garam empedu. Namun efek asam menjadi yang
paling memiliki daya rusak tinggi.1
Faktor lain yang ikut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah
kelainan lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara
lain : dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan lambatnya
pengosongan lambung. Sedangkan peranan Helicobacter pylori dalam
patogenesis GERD relatif kecil dan tidak banyak didukung oleh data yang ada.
1

Lambatnya pengosongan lambung ditengarai juga menjadi penyebab


GERD. Pada kondisi pengosongan lambung yang lambat, maka isi dari

10
lambung pun juga banyak. Hal ini berakibat meningkatnya tekanan intragaster.
Tekanan intragaster yang meningkat ini akan berlawanan dengan kerja dari
SEB. Pada keadaan ini, biasanya SEB akan kalah oleh tekanan intragaster dan
terjadilah refluks.5

Peran Sfingter Atas Esofagus


SEA merupakan pertahanan akhir untuk mencegah refluksat masuk ke
laringofaring. Studi menyatakan bahwa tonus SEA yang meninggi sebagai
reaksi terhadap refluksat menimbulkan distensi pada esofagus. Relaksasi pada
SEA menyebabkan terjadinya pajanan asam ke faring atau laring.6

Patofisiologi Refluks Ekstraesofagus


Dua mekanisme dianggap sebagai penyebab Refluks ekstraesofagus.
Mekanisme tersebut antara lain : 1
1. Kontak langsung refluksat (asam lambung dan pepsin) ke esofagus
proximal dan SEA yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring,
laring dan paru.
2. Pajanan esofagus distal akan merangsang vagal refleks yang
menyebabakan spasme bonkus, batuk, sering meludah dan
menyebabkan inflamasi pada faring dan laring.

11
G. Manifestasi Klinis
Heart burn merupakan gejala khas dari GERD yang paling sering
dikeluhkan oleh penderita. 3,7 Heart burn adalah sensasi nyeri esofagus yang
sifatnya panas membakar atau mengiris dan umumnya timbul dibelakang
bawah ujung sternum. Penjalarannya umunya keatas hingga kerahang bawah
dan ke epigastrium, punggung belakang bahkan kelengan kiri yang
menyerupai pada angina pektoris. Timbulnya keluhan ini akibat ransangan
kemoreseptor pada mukosa. Rasa terbakar tersebut disertai dengan sendawa,
mulut terasa masam dan pahit dan merasa cepat kenyang. Keluhan heart burn
dapat diperburuk oleh posisi membungkuk kedepan berbaring terlentang dan
berbaring setelah makan. Keadaan ini dapat ditanggulangi terutama dengan
pemberian antasida.1

Refluks yang sangat kuat dapat memunculkan regurgitasi yang berupa bahan
yang terkandung dari esofagus dan lambung yang sampai kerongga mulut.
Bahan regurgitasi yang terasa asam atau sengit dimulut merupakan gambaran
sudah terjadinya GERD yang berat dan dihubungkan dengan inkompetensi
sfingter bagian atas dan LES. Regurgitasi dapat mengakibatkan aspirasi
laringeal, batuk yang terus-menerus, keadaan tercekik waktu bangun dari tidur
dan aspirasi pneumoni. Peningkatan tekanan intraabdomal yang timbul karena
posisi membungkuk, cekukan dan bergerak cepat dapat memprovokasi
terjadinya regurgitasi.1
Regurgitasi yang berat dapat dihubungkan dengan gejala-gejala berupa
serangan tercekik, batuk kering, mengi, suara serak,mulut rasa bauk pada pagi
hari, sesak nafas, karies gigi dan aspirasi hidung. Beberapa pasien mengeluh

12
sering terbangun dari tidur karena rasa tercekik, batuk yang kuat tapi jarang
menghasilkan sputum.8
Disfagia (kesulitan dalam menelan) yaitu suatu gangguan transport aktip
bahan yang dimakan, merupakan keluhan utama yang dijumpai pada penyakit
faring dan esofagus. Disfagia dapat terjadi pada gangguan non esofagus yang
merupakan akibat dari penyakit otot dan neurologis. Disfagia esofagus
mungkin dapat bersifat obstruktif atau motorik. Obstruksi disebabkan oleh
striktur esofagus, tumor intrinsik atau ekstrinsik esofagus yang mengakibatkan
penyempitan lumen. Penyebab gangguan motorik pada disfagia berupa
gangguan motilitas dari esofagus atau akibat disfungsi sfingter bagian atas dan
bawah. Gangguan motorik yang sering menimbulkan disfagia adalah akalasia,
skleroderma dan spasme esofagus yang difus.7,8
GERD juga dapat berakibat manifestasi klinis non esofagus yang atipik
seperti laringitis, suara serak, batuk karena aspirasi sampai timbul asma 3.
Manifestasi non esofagus pada GERD dapat disimpulkan antara lain gangguan
pada Paru (Astma, pneumonia aspirasi), Suara (Laringitis), Telinga (Otitis
media), Gigi (Enamel decay).6 Di lain pihak, penyakit paru juga dapat memicu
timbulnya GERD oleh karena penatalaksanaan berupa obat yang dapat
menurunkan tonus SEB. Misalnya theofilin.

H. Diagnosis

1. Anamnesis 9
Dari anamnesis dapat ditemukan keluhan seperti :
a. Keluhan paling sering : merasakan adanya makanan yang menyumbat
di dada, nyeri seperti rasa terbakar di dada yang meningkat dengan
membungkukkan badan, tiduran, makan; dan menghilang dengan
pemberian antasida, non cardiac chest pain (NCCP)
b. Keluhan yang jarang dikeluhkan : batuk atau asma, kesulitan menelan,
hiccups, suara serak atau perubahan suara, sakit tenggorokan,
bronchitis.
c. Pada anamnesis juga perlu ditanyakan riwayat pemakaian obat-obatan.
2. Pemeriksaan Fisik 9

13
Pada pemeriksaan fisik tidak ada yang khas untuk GERD. Pada
pemeriksaan laring dapat ditemukan inflamasi yang mengindikasikan
GERD.
3. Pemeriksaan Penunjang 9
Jika keluhan tidak berat, jarang dilakukan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan dilakukan jika keluhan berat atau timbul kembali setelah
diterapi.
a. Esophagogastroduodenoscopy (EGD) : melihat adanya kerusakan
esofagus
b. Barium meal : melihat stenosis esofagus, hiatus hernia.
c. Continuous esophageal Ph monitoring : mengevaluasi pasien GERD
yang tidak respon dengan PPI (proton pump inhibitor), evaluasi
pasien-pasien dengan gejala ekstra esophageal sebelum terapi PPI,
memastikan diagnosis GERD sebelum operasi anti refluks atau
mengevaluasi NERD berulang setelah operasi anti refluks.
d. Manometri esofagus : mengevaluasi pengobatan pasien NERD dan
untuk tujuan penelitian.
e. Stool occult blood test : untuk melihat adanya perdarahan dari iritasi
esofagus, lambung, atau usus.
f. Pemeriksaan histopatologis : menentukan adanya metaplasia, displasia,
atau keganasan.

GERD-Q 3

Kuesioner GERD (GERD-Q) merupakan suatu perangkat kuesioner


yang dikembangkan untuk membantu diagnosis GERD dan mengukur
respons terhadap terapi. Kuesioner ini dikembangkan berdasarkan data-
data klinis dan informasi yang diperoleh dari studi-studi klinis berkualitas
dan juga dari wawancara kualitatif terhadap pasien untuk mengevaluasi
kemudahan pengisian kuesioner. Kuesioner GERD merupakan kombinasi
kuesioner tervalidasi yang digunakan pada penelitian DIAMOND. Tingkat
akurasi diagnosis dengan mengkombinasi beberapa kuesioner tervalidasi
akan meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas diagnosis.

14
Analisis terhadap lebih dari 300 pasien di pelayanan primer
menunjukkan bahwa GERD-Q mampu memberikan sensitivitas dan
spesifisitas sebesar 65% dan 71%, serupa dengan hasil yang diperoleh oleh
gastroenterologis. Selain itu, GERD-Q juga menunjukkan kemampuan
untuk menilai dampak relatif GERD terhadap kehidupan pasien dan
membantu dalam memilih terapi.

Di bawah ini adalah GERD-Q yang dapat diisi oleh pasien sendiri.
Untuk setiap pertanyaan, responden mengisi sesuai dengan frekuensi
gejala yang dirasakan dalam seminggu. Skor 8 ke atas merupakan nilai
potong yang dianjurkan untuk mendeteksi individu-individu dengan
kecenderungan tinggi menderita GERD. GERD-Q telah divalidasi di
Indonesia.

15
Diagnosis
Refluks Ekstraesofagus
Diagnosis REE dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis terarah
mengenai riwayat penyakit GERD, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
hipofaring, laring dan tes diagnosis. Memonitor ph 24 jam dengan
double/trople probe pada esofagus bagian atas (minimal 1 probe).
Pemeriksaan laringoskopi fleksible fiberoptik, videolaringoskopi, video
stroboskopi dan laringoskopi kaku merupakan pemeriksaan yang sensitif
terhadap refluks ekstraesofagus.1

I. Diagnosis Banding 9

16
1. Dispepsia
2. Ulkus Peptikum
3. Kolik Bilier
4. Eosinophilic esophagitis
5. Infeksi esofagitis
6. Penyakit Jantung koroner
7. Gangguan motilitas esofagus

J. Penatalaksanaan
1. Non farmakologis 9
a. Modifikasi gaya hidup, menghentikan obat-obatan (anti kolinergik,
teofilin) dan mengurangi makan makanan yang dapat menstimulasi
sekresi asam seperti kopi, mengurangi coklat, keju, dan minuman
bersoda.
b. Menaikkan posisi kepala saat tidur jika keluhan seringkali
dirasakan pada malam hari.
c. Makan selambat-lambatnya 2 jam sebelum tidur.
2. Farmakologis
Terdapat dua alur penatalaksanaan GERD, yaitu step up dan step
down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat yang
kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H 2) atau
golongan prokinetik. Bila gagal baru diberikan yang lebih kuat menekan
sekresi asam dengan masa terapi lebih lama yaitu penghambat pompa
proton. Sedangkan untuk pendekatan step down diberikan tatalaksana
berupa PPI terlebih dahulu, setelah terjadi perbaikan,baru diberi obat
dengan kerja yang kurang kuat dalam menekan sekresi asam lambung,
yaitu antagonis H2 atau prokinetik atau bahkan antasid.1
Dari beberapa studi, dilaporkan bahwa pendekatan step down lebih
ekonomis dibandingkan dengan step up. Menurut Genval statement
((1999) dan konsensus asia pasifik tahun 2003 tentang tatalaksana GERD,
disepakati bahwa terapi dengan PPI sebagai terapi lini pertama dan
digunakan pendekatan step down. 1
Antasid
Pengobatan ini digunakan untuk gejala ringan GERD sejak tahun
1971, dan masih dinilai efektif hingga sekarang dan tidak menimbulkan
esofagitis1,4,7. Selain sebagai penekan asam lambung, obat ini dapat
memperkuat tekanan SEB.1,7

17
Kelemahan obat golongan ini adalah. Rasanya kurang enak. Dapat
menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta
konstipasi terutama antasid yang mengandung aluminium, Selain itu
penggunaannya sangat terbatas untuk pasien dengan ganghuan fungsi
ginjal. Dosis sehari 4x1 sendok makan.
Antagonis Reseptor H2
Obat ini dilaporkan berhasil pada 50% kasus GERD. Yang termasuk
obat golongan ini adalah ranitidin, simetidin, famotidin dan nizatidin.
Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan
penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan
dosis untuk terapi ulkus(2,3). Penggunaan obat ini dinilai efektif bagi
keadaan yang berat, misalnya dengan barretts esophagus.7
Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat
ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi. Dosis rantidin 4x150 mg.1
Obat prokinetik
Secara teoritis, obat ini dianggap paling sesuai untuk pengobatan
GERD karena penyakit ini dianggap lebih condong kearah gangguan
motilitas. Namun praktiknya, pengobatan GERD sangat bergantung pada
penekanan sekresi asam.1 Obat ini berfungsi untuk memperkuat tonus SEB
dan mempercepat pengosongan gaster.
1. Metoklopramid 1
a. Efektifitasnya rendah dalam mengurangi gejala, serta tidak
berperan dalam penyembuhan lesi di esofagus kecuali
dikombinasikan dengan antagonis reseptor H2 atau PPI.
b. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek
terhadap saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor,
dan diskinesia
c. Dosis 3x 10 mg sebelum makan dan sebelum tidur.
2. Domperidon 1
a. Obat ini antagonis reseptor dopamin (sama dengan
metoklopramid) hanya saja obat ini tidak melewati sawar darah
otak, sehingga efek sampingnya lebih jarang.
b. Walaupun efektifitasnya belum banyak dilaporkan, namun obat
ini diketahui dapat menigkatkan tonus SEB dan percepat
pengosongan lambung.

18
c. Dosis 3x10-20 mg sehari
3. Cisapride 1
a. Obat ini merupakan suatu antagonis reseptor 5HT4, obat ini
dapat memperkuat tonus SEB dan mempercepat pengosongan
lambung.
b. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan
lesi lebih bagus dari domperidon.
Dosis 3x10 mg
Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Obat ini tidak memiliki efek langsung terhadapa asam lambung,
melainkan berefek pada meningkatkan pertahanan mukosa esofagus,
sebagai buffer terhadap HCl di esofagus serta dapat mengikat pepsin dan
garam empedu. Golongan obat ini cukup aman karen bersifat topikal.
Dosis 4x1 gram.1
Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/PPI)
Merupakan obat terkuat dalam penatalaksanaan GERD, sehingga
dijadikan drug of choice(1,4,7). Golongan ini bekerja langsung pada pompa
proton sel parietal dengan memperngaruhi enzim H, K ATP ase yang
dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung.
Pengobatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta
penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis erosiva derajat berat
yang refrakter dengan antagonis reseptor H2.
Dosis untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu :
- Omeprazole : 2x20 mg
- Lansoprazole:Gejala
2x30 mg
khas GERD
- Pantoprazole: 2x40 mg
- Rabeprazole : 2x10 mg Umur <40 tahun
- Esomeprazole: 2x40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial)
Umur >40 tahun
PPI tes/selama
berikutnya dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan terapi 4empiris
bulan ,
tergantung esofagitisnya. Efektivitas obat ini semakin bertambah jika
dikombinasi golongan prokinetik.
Gejala menetap/berulang Respon baik
Skema 1. Algoritma tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini
pertama.
Terapi minimal 4minggu
Endoskopi 19

kekambuhan Terapi on demand


Skema 2. Algoritma tatalaksana GERD pada pusat pelayanan yang memiliki
fasilitas diagnostik memadai.

Terduga kasus GERD

Tidak diselidiki Diselidiki

Keluhan menetap

Terapi empiris/Tes PPI Terapi awal

PPI test 1-2 minggu dosis ganda (sensitivitas 60-80%) Esofagitis sedang dan berat , Gejala berula
Esofagitis ringan
NERD

On demand therapy Terapi Maintenance

20
3. Terapi Bedah
Beberapa keadaan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan terapi
medikamentosa pada pasien GERD, antara lain : Diagnosa yang tidak
benar, pasien GERD sering disertai gejala lain seperti rasa kembung, cepet
kenyang dan mual-mual yang lebih lama menyembuhkan esofagitisnya.
Pada kasus Barretts esofagus kadang tidak memberikan respon terhadap
terapi PPI, begitu pula dengan adenokarsinoma dan bila terjadi striktura.
Pada disfungsi SEB juga memiliki hasil yang tidak memuaskan dengan
PPI.1
Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting jika terapi
modifikasi gaya hidup dan medikmentosa tidak berhasil. Umumnya
pembedahan yang dilakukan adalah fundoplikasi.1,4,7

Fundoplikasi Nissen
Fundoplikasi Nissen adalah suatu tindakan bedah untuk tatalaksana
penyakit GERD bila tatalaksana Modifikasi gaya hidup dan
medikamentosa tidak berhasil. Pada Hiatus hernia, Fundoplikasi Nissen
justru menjadi terapi lini pertama. Teknik operasi ini dilakukan dengan
laparoskopi. Tujuan dari teknik ini adalah memperkuat esofagus bagian
bawah untuk mencegah terjadinya refluks dengan cara membungkus
bagian bawah esofagus dengan bagian lambung atas.10

21
Indikasi Fundoplikasi

1. Kasus resisten dan kasus refluks esofagitis dengan komplikasi yang


tidak sepenuhnya responsif terhadap terapi medis atau pada pasien
dengan terapi medis jangka panjang yang tidak menguntungkan.
2. Pasien dengan gejala yang tidak sepenuhnya tekontrol oleh terapi PPI,
Pada pasien ini dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan. Pada
pasien dengan penyakit yang tekontrol dengan baik juga dapat
dilakukan pertimbangan pembedahan.
3. Terjadinya esofagus barrret adalah indikasi untuk pembedahan. Asam
lambung meningkatkan terjadinya barrett esofagus berkembang kearah
keganasan, tetapi kebanyakan ahli menyarankan tindakan mensupresi
asam lambung secara lengkap untuk pencegahan pada pasien yang
terbukti secara histologis menderita esofagus barret.

4. Terapi Endoskopi
Walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam penelitian,
akhir-akhir ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien

22
GERD, yaitu, penggunaan energi radiofrekuensi, plikasi gastrik
endoluminal, implantasi endoskopik dengan menyuntikan zat implan di
bawah mukosa esofagus bagian distal sehingga lumennya menjadi lebih
kecil.1
Endoskopi bukan merupakan pemeriksaan rutin sebagai pemeriksaan
awal pasien suspek PRGE dengan manifestasi otolaringologi dan bukan
prasyarat untuk terapi medis.6

K. Komplikasi
Refluks esofagus dapat menimbulkan komplikasi esofagus maupun
ekstra esofagus.9
1. Komplikasi esofagus : striktur ulkus, Barrets esophagus bahkan
adenokarsinoma di kardia dan esofagus.
2. Komplikasi ekstra esofagus : asma, bronkospasme, batuk kronik atau
suara serak, masalah gigi.

L. Prognosis 2
Prognosis sangat baik pada sebagian besar pasien, namun
kekambuhan sering terjadi dan membutuhkan terapi pemeliharaan jangka
panjang atau prosedur bedah. Pasien dengan komplikasi struktural yang
menjalani operasi bedah memiliki prognosis sangat baik.
Pasien dengan adenokarsinoma memiliki prognosis yang buruk.
Angka ketahanan hidup 5 tahun pada pasien dengan lesi terbatas pada
mukosa esofagus sebesar 80% dengan ekstensi pada submukosa sebesar
50%, ekstensi ke muskulus propria sebesar 20%, ekstensi ke struktur
sekitar esofagus menjadi hanya 7%. Pasien dengan metastasis memiliki
angka ketahanan hidup 5 tahun kurang dari 3%.

M. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Pelayanan Primer 11

Masalah Kesehatan
Gastroesophageal Refluks Desease (GERD) adalah mekanisme refluks melalui
inkompeten sfingter esofagus.

Hasil Anamnesis (Subjective)

23
Keluhan
Rasa panas dan terbakar di retrosternal atau epigastrik dan dapat menjalar ke
leher. Hal ini terjadi terutama setelah makan dengan volume besar dan
berlemak. Keluhan ini diperberat dengan posisi berbaring terlentang.
Keluhan ini juga dapat timbul oleh karena makanan berupa saos tomat,
peppermint, coklat, kopi, dan alkohol.
Keluhan sering muncul pada malam hari.
Keluhan lain akibat refluks adalah tiba tiba ada rasa cairan asam di mulut,
cegukan, mual dan muntah. Refluks ini dapat terjadi pada pria dan wanita.
Sering dianggap gejala penyakit jantung.
Faktor risiko
Usia > 40 thn, obesitas, kehamilan, merokok, kopi, alkohol, coklat, makan
berlemak, beberapa obat di antaranya nitrat, teophylin dan verapamil, pakaian
yang ketat, atau pekerja yang sering memgangkat beban berat.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik
Tidak terdapat tanda spesifik untuk GERD. Tindakan untuk pemeriksaan
adalah dengan pengisian kuesioner GERD. Bila hasilnya positif, maka
dilakukan tes dengan pengobatan PPI (Proton Pump Inhibitor).
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat. Kemudian untuk di
pelayanan primer, pasien diterapi dengan PPI test, bila memberikan respon
positif terhadap terapi, maka diagnosis definitive GERD dapat disimpulkan.
Standar baku untuk diagnosis definitif GERD adalah dengan endoskopi
saluran cerna bagian atas yaitu ditemukannya mucosal break di esofagus.

Diagnosis Banding
1. Angina pektoris

2. Akhalasia

24
3. Dispepsia

4. Ulkus peptik

5. Ulkus duodenum

6. Pankreatitis

Komplikasi
1. Esofagitis

2. Ulkus esofagus

3. Perdarahan esofagus

4. Striktur esofagus

5. Barrets esophagus

6. Adenokarsinoma

7. Batuk dan asma

8. Inflamasi faring dan laring

9. Cairan pada sinus dan telinga tengah

10. Aspirasi paru

Penatalaksanaan komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
1. Modifikasi gaya hidup:
Mengurangi berat badan, berhenti merokok, tidak mengkonsumsi zat yang
mengiritasi lambung seperti kafein, aspirin, dan alkohol. Posisi tidur
sebaiknya dengan kepala yang lebih tinggi. Tidur minimal setelah 2 sampai 4
jam setelah makanan, makan dengan porsi kecil dan kurangi makanan yang
berlemak.
2. Terapi dengan medikamentosa dengan cara memberikan Proton Pump
Inhibitor (PPI) dosis tinggi selama 7-14 hari.Bila terdapat perbaikan gejala
yang signifikan (50-75%) maka diagnosis dapat ditegakkan sebagai GERD.

25
PPI dosis tinggi berupa Omeprazole 2x20 mg/hari dan lansoprazole 2x 30
mg/hari.
3. Setelah ditegakkan diagnosis GERD, obat dapat diteruskan sampai 4 minggu
dan boleh ditambah dengan prokinetik seperti domperidon 3x10 mg.
4. Pada kondisi tidak tersedianya PPI , maka penggunaan H2 Blocker 2x/hari:
simetidin 400-800 mg atau Ranitidin 150 mg atau Famotidin 20 mg..

Pemeriksaan penunjang dilakukan pada pelayanan sekunder (kriteria rujukan)


untuk endoskopi.

Konseling & Edukasi

26
Edukasi pasien dan keluarga mengenai GERD dan terutama dengan pemilihan
makanan untuk mengurangi makanan yang berlemak dan dapat mengiritasi
lambung ( asam, pedas)

Kriteria Rujukan
1. Pengobatan empirik tidak menunjukkan hasil
2. Pengobatan empirik menunjukkan hasil namun kambuh kembali
3. Adanya alarm symptom:
a. Berat badan menurun
b. Hematemesis melena
c. Disfagia ( sulit menelan)
d. Odinofagia ( sakit menelan)
e. Anemia
Sarana Prasarana
Kuesioner GERD
Prognosis
Prognosis sangat tergantung dari kondisi pasien saat datang dan
pengobatannya.
Vitam: Bonam
Fungsionam: Bonam
Sanationam: Dubia ad bonam

27

Anda mungkin juga menyukai