OM Swastiastu,
hurup-hurup suci yang merupakaran sumber dari alam semesta termasuk manusia adalah
dasaaksara. mungkin sudah banyak yang sering mendengar kata Dasa Aksara ini, berikut
ini akan diulas kembali Dasa Aksara tersebut..
Diceritakan dalam setiap tubuh manusia terdapat hurup hurup yang sangat disucikan,
diceritakan pula bahwa Dewa - dewa dari hurup suci tersebut bersatu menjadi sang hyang
dasa aksara. Dasa aksara merupakan sepuluh hurup utama dalam alam ini yang
merupakan simbol dari penguasa alam jagat raya. Dari sepuluh hurup bersatu menjadi
panca brahma(lima hurup suci untuk menciptakan dan menghancurkan), panca brahma
menjadi tri aksara(tiga hurup), tri aksara menjadi eka aksara (satu hurup). Ini hurupnya:
OM. Bila sudah hafal dengan pengucapan hurup suci tersebut agar selalu di ingat dan
diresapi, karena ini merupakan sumber dari kekuatan alam semesta yang terletak di dalam
tubuh kita (bhuana alit) ataupun dalam jagat raya ini (bhuana agung).
Begini caranya menyatukan ataupun menempatkan sang hyang dasa aksara dalam badan
ini. Yang pertama sang hyang sandhi reka yang terletak dalam badan kita ini. Beliau
bertapa-beryoga sehingga beliau menjelma menjadi sang hyang eka jala resi. Sang hyang
eka jala rsi beryoga muncul sang hyang ketu dan sang hyang rau.
Sang hyang rau menciptakan kala (waktu), kegelapan, niat (jahat yang sangat banyak,
sedangkan sang hyang ketu menciptakan tiga aksara yang sangat berguna, diantaranya
wreasta (ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, ma, ga, ba, nga, pa, ja, ya, nya), beserta
swalalita dan modre. Sehingga jumlah hurupnya adalah dua puluh hurup.
Aksara modre bersatu dengan sembilan hurup wreasta yaitu dari ha wa, yang kemudian
disebut dasa sita.
Aksara swalelita, bersatu dengan sembilan hurup wreasta lainnya yaitu dari la nya,
yang kemudian disebut dasa sila dan dasa bayu.
Bertemu ketiga induk dari aksara suci tersebut; dasa sita, dasa sila, dasa bayu menjadi
dasa aksara.
Sa ditempatkan di jantung,
Ba ditempatkan di hati,
Ta ditempatkan di kambung,
A ditempatkan di empedu,
Si ditempatkan di ginjal,
Wa ditempatkan di pancreas,
Dasa aksara diringkas menjadi panca brahma (sa, ba, ta, a, i).
Setelah itu baru turun arda candra (bulan sabit), windu (lingkaran) dan nada (titik).
Baru boleh di ucapkan sang, bang, tang, ang, ing, nang, mang, sing, wang, yang.
lafalkan aksara tersebut lalu letakkan dalam tubuh kita dan alam semesta.
Ini rangkuman intisari dari sastra yang berjumlah lima hurup, yang digunakan untuk
memuja tuhan, memanggil, menghaturkan persembahan, memohon anugrah dari tuhan
YME, diantaranya:
mantra untuk memanggil agar tuhan berkenan hadir, Ang Ong Ung Yang Mang
mantra untuk mempersembahan sesajen jamuan dari kita, Ong Ung Yang Mang
Ang
mantra untuk memohon anugrah dari tuhan YME, Ung Yang Mang Ang Ong
Ini yang dikatakan panca brahma, berada dalam diri manusia. Ini aksaranya;
Ini menyimpan Rwa bhineda (dua sisi dunia), ini suaranya; Ong Ung. Ong di hati putih,
ung di hati hitam. Ung di empedu, ong di pancreas. Ong di dubur, ung di usus.
Ini suara inti sari; ekam evam dwityam Brahman, disebut ONG. Berupa api rwa bhineda
Ang, berupa air rwa bineda Ah.
iki pengeraksa jiwa antuk catur aksara; Mang Ang Ung Ong
pemageh bayu ring raga antuk catur resi; Ung Ong Mang Ang
ini pertemuan sastra yang delapan belas (wreastra), bertemu ujung dengan pengkalnya
menjadi dasa aksara, diantaranya;
na ya menjadi nang
ca ja menjadi bang
ra pa menjadi mang
da ba menjadi sing
ta ga menjadi ang
sa ma menjadi wang
wa la menjadi ing, yang
ini merupakan maksud dari sastra wreastra, dibaca dari belakang. diantaranya;
demikianlah sastra yang ada di alam ini yang berada juga didalam tubuh kita. Jagalah
kesucian dan keseimbangan dari hurup suci tersebut. Semoga setelah membaca dan
meresapi sastra ini, dunia ini akan menjadi semakin sejahtera.
Suksma,
Senin, 25/09/2000
Kamis, 21/09/2000
Biarkan Kedamaian Bicara
Oleh: Gede Prama
Dalam jangka waktu yang amat lama, wacana publik kita ditandai oleh kekerasan yang
memperkuda kedamaian. Tidak hanya setelah republik ini merdeka, jauh sebelumnya pun
sejarah kita sudah ditandai oleh wajah-wajah kekerasan di sana-sini. Di Jawa Barat sana,
banyak orang yang tingkat penghormatannya lebih rendah di bandingkan daerah Jawa
lainnya terhadap nama Gajah Mada. Apa lagi yang ada di balik ini semua kalau bukan
sejarah
kekerasan. Sejarah masa penjajahan apa lagi. Bercak dan aliran darah ada
di mana-mana. Dulunya, setelah kemerdekaan direbut dan pembangunan
dijalankan, diharapkan bercak dan aliran darah bisa dihilangkan. Nyatanya,
baik di masa orde lama, orde baru, bahkan sampai sekarangpun ia masih
menjadi berita di hampir setiap media. Ambon, Poso, Aceh, Irian Jaya,
Jakarta hanyalah sebagian saja dari sekian banyak kekerasan mengerikan,
tapi menjadi santapan wacana yang digemari. Belum lagi ditambah dengan
kekerasan-kekerasan tersembunyi lainnya. Industri keuangan dan perbankan
yang dirampok orang di sana-sini. Uang negara yang dijarah dari dulu
hingga sekarang. Hubungan industrial yang ditandai banyak demonstrasi,
pemogokan, pembakaran dan sejenisnya. Dan deretan panjang kekerasan
lainnya.
Entah mana yang lebih mewakili. Sejarah manusia yang memang membawa
kekerasan ke mana-mana, atau karena publik lebih tertarik dengan
topik-topik kekerasan. Yang jelas, sulit diingkari kenyataan, semakin
banyak berita kekerasan muncul dalam wacana publik, semakin laris
medianya, serta semakin banyak orang mau membaca dan terlibat wacana. Anda
mungkin sudah mahfum, beberapa tokoh publik dan organisasi masyarakat –
kalau tidak mau dikatakan kebanyakan – malah ‘mendulang’
hasil dari
kekerasan. Buktinya, setelah kekerasan muncul, mereka muncul sebagai
pahlawan, penyelamat, bahkan ada yang menjadi penguasa baru. Kadang saya
malah bertanya penuh keraguan, tidakkah rezim yang sedang berkuasa ini
adalau output dari mesin raksasa yang bernama kekerasan ? Kalau mesinnya
mesin kekerasan, adilkah kalau kita mengharapkan output kedamaian dari
sana ?
Anda jawab sendirilah pertanyaan-pertanyaan penuh keraguan tadi. Yang
jelas, dengan resiko ditertawakan orang, ada tidak sedikit orang yang
berharap agar kedamaian diberi kesempatan untuk berbicara. Boleh saja dia
tidak menarik selera wacana banyak orang. Tidak membuat media menjadi
laris manis. Tidak juga menghasilkan pahlawan dan penyelamat. Akan tetapi,
bukankah menjadi hak azasi setiap orang untuk hidup damai ?
Dibandingkan terlalu banyak bertanya, mari kita sama-sama ulas persoalan
dianaktirikannya kedamaian oleh kekerasan. Mereka yang diteropong oleh
Naisbitt masuk ke dalam kotak spirituality yes, formal religion no,
mungkin menyebut agama telah gagal. Mereka yang antikekuasaan akan
menunjuk hidung kekuasaan sebagai biang keladi. Pemerhati pendidikan lain
lagi, mereka menuduh lembaga terakhir sudah tidak berfungsi lagi sebagai
pembawa misi perdamaian.
Izinkan saya meneropong persoalan ini di tingkat individu. Ada sebuah
kualitas pribadi yang berperan besar dalam memproduksi kekerasan. Dia
bernama Aku. Dalam keakuan, banyak sekali hal yang sebenarnya berasal dari
kedamaian sekalipun, bisa berubah menjadi kekerasan. Bibit-bibit keakuan
terakhir bisa bersumber dari keyakinan dan perasaan benar, harga diri yang
tinggi, keserakahan akan harta dan tahta, dll.
Coba bayangkan sepasang suami isteri yang sudah sejak lama hidup damai di
hutan tanpa gangguan berarti. Suatu hari, ada kebutuhan untuk
sekali-sekali bertengkar satu sama lain. Dan sepakatlah mereka untuk
memulai pertengkaran. Sang isteri berkata dengan nada membentak : ‘ini
ketela kesukaanku !’. Dan suaminya berfikir sejenak, kemudian menjawab
dengan penuh kesabaran : ‘ya itu memang kesukaanmu, dan marilah kita
makan
sama-sama seperti biasa’. Maka, batallah pertengkaran yang sudah
direncanakan terlebih dahulu ini.
Cerita ilustratif ini menunjukkan, keakuan memang sudah menjadi sumber
pertengkaran di mana-mana. Namun, kesediaan dan kesabaran untuk senantiasa
awas dengan keakuan tadi, sudah dan akan terus membantu proses menuju
kedamaian. Bedanya dengan kekerasan yang datang tanpa diundang, kedamaian
memerlukan ‘undangan’ khusus agar dia datang. Demikian
khususnya, sehingga
memerlukan biaya yang amat besar.
Salah satu laporan majalah Fortune – maaf saya lupa edisinya – pernah
melaporkan sebuah kecenderungan yang mereka sebut dengan the new corporate
mystiques. Ternyata, apa yang mereka sebut dengan mistik-mistik baru dunia
usaha adalah kecenderungan sejumlah raksasa usaha di sana, untuk
mengundang sejumlah rahib Buda sebagai pelatih. Bukan untuk mengajak orang
masuk agama Buda. Melainkan, mengajari ekskekutif hidup dalam kedamaian.
Kedamaian – demikian mereka meyakini – adalah syarat utama dari
produktivitas. Dalam kedamaian, kita bisa melakukan dan mencapai lebih
banyak hal. Mirip dengan keluarga di rumah, apa yang bisa kita capai kalau
setiap hari isinya hanya pertengkaran ?
Ada yang bertanya, bukankah kedamaian akan lebih terasa nikmatnya kalau
kita pernah mengalami kerusuhan ? Tentu saja. Sebab, kehidupan merupakan
hasil dari dialektika. Dan dialektika terakhir, sulit diharapkan berhasil
optimal kalau salah satunya jauh lebih dominan dibandingkan yang lain.
Mirip dengan kehidupan kita sekarang-sekarang ini, terutama dengan
hadirnya kekerasan di banyak pojokan ruang publik. Akankah kita biarkan
kedamaian menjadi kuda bisu yang ditunggangi kekerasan ?
Gede Prama adalah seorang gelandangan intelektual dan beralamat di
www.gedepramaideas.com
Copyright (c) 1998 - 1999 Gede Prama dan detikcom Digital Life. Hak Cipta
dilindungi oleh Undang-undang. Tidak diperkenankan mereproduksi seluruh
maupun sebagian dalam bentuk maupun media apapun tanpa ijin tertulis dari
detikcom Digital Life.
Situs web ini dikelola dan dikembangkan oleh Agrakom
Copyright 1998 - 1999 Gede Prama dan detikcom Digital Life. Hak Cipta
dilindungi oleh Undang-undang. Tidak diperkenankan mereproduksi seluruh
maupun sebagian dalam bentuk maupun media apapun tanpa ijin tertulis dari
detikcom Digital Life.
Situs web ini dikelola dan dikembangkan oleh Agrakom
Kamis, 19 Juli 2007
Kepemangkuan
KEPEMANGKUAN
1. ROKHANIAWAN HINDU
Dalam Agama Hindu seorang Pemangku atau Pinandita dinyatakan sebagai
rokhaniawan . Rokhaniawan artinya orang yang rokhani atau jiwanya telah disucikan.
Karena itu sebagai rokhaniawan , seorang Pemangku seyogyanya mendalami pengertian
rokhaniawan, sehingga yang bersangkutan bisa menempatkan diri dan melaksanakan
tugas pekerjaannya sesuai dengan tingkat kesuciannya. Berdasarkan tingkat
penyuciannya, rokhaniawan Hindu dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu :
A. Rokhaniawan yang termasuk dalam golongan atau tingkatan Dwijati seperti Pedanda,
Pandita, Sri Bhagawan, Empu, Rsi dan lain-lain yang pada umumnya dinamakan
Sulinggih.
Disamping dua golongan tersebut diatas sesungguhnya masih ada satu golongan
rokhaniawan yang ketiga yaitu termasuk dalam golongan atau tingkatan Trijati. Yang
dimaksud dengan golongan Trijati adalah para sulinggih yang telah berkedudukan
sebagai Guru Nabe. Mereka ini dipandang sebagai lahir tiga kali, yakni dari Ibu, dari
ilmu pengetahuan dan kemudian diangkat menjadi Guru Nabe. Beliau mempunyai
wewenang untuk meningkatkan sisyanya dari calon Pendeta menjadi Pendeta dalam
tingkatan Dwijati.
Dengan kata lain kelahiran yang ke dua hanya dapat terjadi setelah yang bersangkutan
memperoleh ilmu pengetahuan suci dan kerokhanian melalui aguron-aguron
(berguru/belajar) kepada seorang Nabe. Untuk kelahiran yang kedua ini, seorang calon
sulinggih juga harus melakukan Nuwun Pada atau Metapak kepada Nabenya dalam suatu
upacara yang disebut Mediksa atau Mepudgala. Selesai upacara Mediksa yang
bersangkutan diberi gelar atau sebutan Pedanda, Pandita, Sri Bhagawan, Rsi, Empu, dan
lain-lain. Kata Pandita berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti terpelajar, pandai, dan
bijaksana atau orang yang arif lagi bijaksana.
Pelaksanaan upacara Mediksa yang memberikan gelar Pedanda, Pandita, Sri Bhagawan,
Rsi, Empu, dan lain-lain itu, merubah status yang bersangkutan dalam ikatan disiplin
sebagaimana tertuang dalam catur bandana dharma (empat ikatan disiplin kehidupan
kerokhanian) meliputi :
a. Amari Aran :
Yang bersangkutan wajib merubah namanya sebagai walaka dengan nama baru
sebagaimana diberikan oleh Nabenya.
b. Amari Sesana :
Yang bersangkutan harus maninggalkan tugas kewajibannya semula dan
menggantikannya dengan sasana kawikon. Dalam hal ini seorang Sulinggih dibebaskan
dari tugas kewajiban selaku warga masyarakat biasa.
c. Amari Wesa :
Yang bersangkutan harus mengganti identitas dirinya dengan identitas Pendeta, misalnya
tidak boleh lagi bercukur. Juga harus mengikuti disiplin penggunaan pakaian waktu
upacara dan penggunaan pakain sehari-hari.
Untuk dapat melaksanakan tugas kewajibannya dengan penuh, maka seorang Sulinggih
harus pula menjalani berbagai upacara peningkatan seperti Ngelinggihang Weda. Untuk
dapat muput karya yang besar seperti upacara yang menggunakan Sanggar Tawang Rong
Tiga, seorang Sulinggih harus memiliki kemampuan dalam penguasaan Weda yang
disebut sebagai Apasang Lingga. Apasang Lingga maksudnya penguasaan tingkat tertentu
atas Kitab Suci Weda. Setelah manguasai tingkatan Weda tertentu, maka tugas pokok
Sulinggih adalah Ngeloka Palasraya yaitu melaksanakan tugas selaku sandaran umat
untuk mohon bantuan dalam hal kehidupan keagamaan pada umumnya. Sulinggih
menjadi tempat untuk minta petunjuk, seperti bagaimana tata cara mendirikan Pura,
mendirikan rumah, menentukan hari-hari baik untuk sesuatu kegiatan dan lain-lain.
Dalam hal ini Sulinggih juga wajib setiap hari secara terus-menerus meningkatkan
kesucian dirinya, disamping mendoakan kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk
di dunia. Tugas kewajiban ini dinamakan Nyurya Sewana dan harus dilaksanakan setiap
hari.
Perlu ditambahkan pula bahwa secara teoritis ada pula Sulinggih yang tidak
melaksanakan tugas baik muput karya maupun ngeloka palasraya. Sulinggih ini hanya
berorientasi kepada ngetut yasa dan menjaga kesucian dirinya saja. Sulinggih ini
dinamakan Wiku Ngaraga, maksudnya adalah bahwa pengetahuan kependetaannya hanya
dipergunakan untuk kepentingan dirinya sendiri.
Untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka Pemangku perlu belajar atau
berguru, namun tingkat pengetahuan yang dipelajarinya tidaklah setinggi Sulinggih.
Kitab Suci Weda yang perlu dipelajari sangat terbatas, yakni hanya yang berhubungan
dengan pengastawa saja. Sedangkan upacaara penyuciannya menjadi Pemangku cukup
hanya dengan upacara pawintenan.
Upacara Pewintenan Pemangku dapat dilakuakan berulang kali, jadi berbeda dengan
upacara padiksaan yang hanya boleh dilakukan sekali saja. Dengan mengikuti upacara
pewintenan, seorang Pemangku tidak berubah statusnya sebagaimana halnya dengan
Sulinggih. Seorang Pemangku masih boleh bercukur, boleh berpakaian sebagaimana
layaknya anggota masyarakat biasa, masih mempunyai tugas dan kewajiban dalam
hubungan kemasyarakatan sebagai seorang walaka. Namanya juga tetap dan tidak
diganti. Hanya nama panggilannya saja sering ditambah dengan Mangku atau Jero
Mangku atau Jero Gede atau sebutan lain sesuai dengan desa kala patra dan tingkat
kepemangkuannya.
Mengingat peranan penting tersebut, maka seorang Pemangku diharapkan dapat menjadi
panutan, dapat memberi contoh yang baik, bahkan jika mungkin harus dapat menuntun
dan membina warga masyarakat untuk bisa lebih mendekatkan dirinya dengan dan selalu
ingat kepada keagungan dan kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Itulah
sebabnya, maka untuk bisa menjadi Pemangku tidaklah mudah, karena harus dipenuhi
berbagai persyaratan.
3. PENGERTIAN PEMANGKU
Menurut keputusan Mahasaba Parisada Hindu Dharma ke 2 tanggal 5 Desember 1968,
yang dimaksud dengan Pemangku adalah mereka yang telah melaksanakan upacara
yadnya pawintenan sampai dengan adiksa widhi tanpa ditapak dan amari aran.
Kata Pemangku berasal dari kata Pangku yang disamakan artinya dengan Nampa,
Menyangga atau Memikul Beban atau Memikul tanggung jawab. Dalam hal ini
memikul beban atau tanggung jawab sebagai pelayan atau perantara antara orang yang
punya kerja dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan atau Ida Bhatara Kawitan. Dengan
kata lain, orang yang menerima tugas pekerjaan untuk memikul beban atau tanggung
jawab sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sekaligus sebagai pelayan
masyarakat itu dinamakan Pemangku.
a. Pemangku Tapakan Widhi atau Pemangku Pura, seperti Pemangku Sad Kahyangan,
Pura dang Kahyangan, Pura Kahyangan Tiga, Pura Paibon, Pura Panti, Pura dadia, Pura
Kawitan, Pura Pedharmaan, Merajan/sanggah dan lain-lain.
Pemangku Tapakan Widhi atau Pemangku Pura adalah Pemangku yang bertanggung
jawab atas pelaksanaan yadnya di Pura, sedangkan Pemangku Dalang, Pemangku Tukang
dan lain-lain (yang tidak dibahas lebih jauh dalam tulisan ini) adalah orang memikul
beban atas tugas pekerjaan tertentu seperti pedalangan, tukang dan lain-lain.
Dengan tanggung jawab untuk melaksanakan yadnya di Pura, jelaslah bahwa seorang
Pemangku Tapakan Widhi atau Pemangku Pura mempunyai tugas yang cukup berat.
Pemangku harus bertanggung jawab juga atas kesucian Pura dan lain-lain kegiatan yang
berkaitan dengan Pura yang diemongnya. Pemangku harus selalu menjaga kesucian
dirinya, harus selalu mepeningan atau asuci laksana dengan selalu menjaga
kebersihan dan kesucian jasmani maupun rokhaninya. Disamping itu Pemangku juga
harus menjaga Kelingsirannya meskipun usianya masih muda dalam arti harus dapat
memberi contoh yang baik, harus dapat menjadi manusia panutan dan selalu berfikir yang
baik, berkata yang baik dan berbuat yang baik (mengamalkan ajaran Tri Kaya Parisudha).
Pendeta dan atau Pemangku dalam hal ini akan bertindak sebagai perantara antara yang
punya kerja dengan Ida Sang Hyang Widhi dan Ida Bhatara Kawitan. Dalam hal ini
Pendeta dan atau Pemangku akan bertindak sebagai Pemimpin Upacara. Untuk Pendeta
dikatakan sebagai pemuput karya (menyelesaikan upacara), sedangkan untuk Pemangku
dipergunakan istilah Nganteb Upakara (Banten), bukan muput karya.
Dalam upacara Manusia Yajna, seperti upacara nelu bulanin, ngotonin dan lain-lain,
demikian pula upacara Pitra Yajna, seperti ngaben, kemudian upacara Bhuta Yajna seperti
melaksanakan pecaruan, bantuan Pemangku juga diperlukan. Untuk muput karya
Manusia Yajna, Pitra Yajna, dan Bhuta Yajna termasuk di atas, sering pula diminta
bantuan Pendeta, tergantung besar kecilnya tingkat upacara yang dilaksanakan.
Secara formal, memang tidak ada ketentuan yang baku, bahwa untuk upacara ini harus
memakai Pendeta dan untuk upacara itu harus meminta bantuan Pemangku saja.
Semuanya tentu tergantung dan terserah kepada hati nurani dan keyakinan mereka
masing-masing. Biasanya kalau ingin lebih mantap, tentu warga akan minta bantuan
Pendeta untuk muput karya.
Disamping itu, menurut Drs. I Ketut Wiana (Bali Post, 29 Oktober 2003) mereka yang
akan dipilih atau ditunjuk menjadi Pemangku semestinya tidak mempunyai kebiasaan
atau perilaku buruk seperti di bawah ini :
g) Suka mabuk karena minuman keras seperti tuak, arak, bir, narkoba, dan lain-lain (sura)
Mereka yang mabuk dan arogan karena hal-hal termasuk di atas tidak selayaknya
ditunjuk sebagai Pemangku. Artinya kalau ketujuh kemabukan di atas dapat dihindarkan,
barulah orang itu dapat disebut sebagai orang yang telah memenuhi syarat. Seseorang
yang telah mencapai keadaan rokhani yang bebas dari kemabukan itu dinamakan orang
yang mahardhika artinya orang yang bebas dari kemabukan, orang yang bijaksana, suci
dan berbudhi luhur, tegasnya sudah dapat melaksanakan pengendalian diri dengan baik.
Dengan kata lain, jika seseorang belum dapat mengendalikan diri dengan baik,
semestinya tidak ditunjuk menjadi Pemangku. Bahkan orang itu harus tahu diri untuk
tidak mencalonkan diri menjadi Pemangku.
1. Pertama adalah dengan cara nyanjan, yaitu dengan mempergunakan seseorang yang
sedang kerawuhan. Namun menurut Ida Pandita Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa
Sandhi (SARAD No.10/2000) cara ini sebaiknya tidak dipergunakan lagi. Hal ini karena
sulit membuktikan bahwa orang itu benar-benar kerawuhan Ida Bhatara. Sebaiknya
digunakan saja cara lain yang lebih rasional dan sudah disahkan oleh PHDI, yaitu melalui
pemilihan secara demokratis dengan cara penunjukan atas dasar kesepakatan bersama
atau dapat juga dengan mempergunakan kewange seperti di bawah ini.
2. Kedua dengan cara mempergunakan kewangen. Dalam hal ini, Krama Dadia terlebih
dahulu agar menetapkan beberapa orang calon Pemangku yang dianggap memenuhi
persyaratan. Misalnya para calon Pemangku berusia cukup dewasa, berbadan dan berjiwa
sehat, tingkah lakunya terpuji, mempunyai rasa pengadian yang tinggi dan lain-lain.
Kepada para calon Pemangku ini dibagikan masing-masing satu kewangen. Tetapi di
salah satu kewangen itu diisi rerajahan Ongkara yang diletakkan tersembunyi, sehingga
tidak terlihat perbedaannya dengan kewangen yang lain. Kemudian kewange itu
digunakan untuk memuja Ida Bhatara di Pura tersebut seraya mohon panugrahan. Setelah
itu, satu persatu kewangen diserahkan kepada Pengurus Pura untuk dibuka dihadapan
saksi dan Krama Dadia. Siapa yang kewangennya berisi rerajahan Ongkara, maka dialah
yang dianggap terpilih sebagai Pemangku.
Demikianlah 4 cara yang dapat dipergunakan untuk memilih Pemangku. Boleh jadi masih
ada cara lain, yang tidak disinggung disisni. Namun cara manapun yang dipergunakan,
menunjuk atau mengangkat seorang Pemangku tentu ada kelebihan dan kekurangannya
yang dalam tulisan ini tidak akan dibahas lebih jauh. Yang penting adalah bahwa
seseorang yang terpilih sebagai Pemangku hendaknya tidak menepuk dada, menjadi besar
kapala dan sombong karena merasa senang dalam pemilihan. Sebaliknya orang yang
terpilih itu hendaknya semakin merendahkan diri dan tidak bersikap berlebihan atau over
acting. Seseorang yang terpilih sebagai Pemangku harus melakoni hidup ini sewajarnya
saja dan selalu berpegang kepada ajaran-ajaran Agama Hindu. Seorang Pemangku yang
masih remaja tidak ada hambatan bila ingin menikah, namun setelah upacara pewiwahan
dia bersama-sama isteri atau suaminya harus mewinten ulang dengan tingkat ayaban yang
sama dengan yang dahulu atau dengan tingakat ayaban yang lebih tinggi.
Disamping itu, orang yang terpilih menjadi Pemangku seharusnya bersyukur karena telah
terpilih menjadi pelayan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga terbuka kesempatan luas
baginya untuk dikemudian hari jika memenuhi persyaratan akan menjadi orang suci.
Untuk benar-benar bisa menjadi orang suci tentu yang bersangkutan harus membekali
dirinya dengan ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan tentang agama,
kerokhanian dan spiritual yang harus dapat diamalkan bagi kepentingan masyarakat.
8. PAWINTENAN PEMANGKU
Pawintenan atau Mawinten berasal dari kata mawi dan inten. Mawi adalah kata
bahasa Kawi yang berarti bersinar, sedang inten berarti intan atau permata. Dengan
demikian, maka orang yang sudah mawinten diibaratkan sebagai permata yang
berkilauan karena lahir batinnya sudah disucikan. Mengapa perlu disucikan? Sebagai
pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus pelayan masyarkat, seorang Pemangku harus
bertanggung jawab atas kesucian Pura yang diemongnya. Karena itu sebelum diresmikan
sebagai Pemangku, seseorang yang ditunjuk atau dipilih menjadi Pemangku terlebih
dahulu harus disucikan dengan cara menjalani upacara penyucian diri yang dinamakan
Upacara Pawintenan.
Seperti halnya dalam upacara lainnya, maka menurut I Made Wenten (Tetandingan
Banten Manusia Yajna) Upacara Pawintenan Pemangku mempunyai tiga tingkatan,
yaitu :
Pawintenan Sari
Pawintenan Mepedamel
a. Pawintenan Sari
Pawintenan Sari merupakan upacara Pawintenan yang paling sederhana. Upacara ini
dilaksanakan hanya dengan memohon Wangsuhpada kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa
di Pura dimana yang bersangkutan akan mejadi Pemangku. Pawintenan Sari harus
disaksikan oleh Krama Dadia Pura yang bersangkutan. Pemangku yang diwinten dengan
cara ini biasanya diberi nama panggilan atau julukan sebagai Bapa Mangku, Ketut
Mangku, dan sebagainya.
Sasanan (kode etik) yang harus dijalankan oleh mereka yang telah Mawinten Sari adalah
sebagai berikut :
\ Bersikap kasih sayAng terhadap semua makhluk, tidak suka mabuk-mabukan, tidak
suka berjudi, tidak suka berkelahi, tidak suka bertengkar, dan tidak bergaul dengan orang
yang sering berbuat tidak baik
Perlu dijelaskan bahwa Pawintenan Sari dengan cara yang amat sederhana ini dalam
praktek nampaknya tidak ditemukan lagi, karena semua Pawintenan Pemangku skarang
ini dilaksanakan oleh Pendet, kecuali barangkali di daerah tertentu dimana tidak terdapat
Sulinggih.
b. Pawintenan Mepedamel
Pawintenan MePedamel dilaksanakan oleh Pendeta yang sudah mempunyai wewenang
untuk melaksanakan Loka Palasraya Pandita atau juga disebut Sang Hyang Yogi Swara
selaku Panabean. Upacara ini harus disaksikan oleh :
Pemangku yang diwinten dengan tingkatan seperti ini diberi gelar atau julukan sebagai
Jero Mangku dan diberikan wewenang untuk nganteb banten Dewa Yajna. Pada waktu
nganteb banten, Pemangku diperkenankan menggunakan mempergunakan
mempergunakan genta atau bajra.
Pemangku dengan julukan Jero Mangku ini tidak dibenarkan menyelesaikan upacara di
luar Dewa Yajna, kecuali atas ijin dari Pendeta yang mewintennya. Disamping itu
berdasarkan Lontar Sumuka, Pemangku dengan gelar Jero Mangku inijuga belum
diperkenankan nganteb banten yang setingkat dengan upacara padudusan dengan banten
bebangkit pala gembal ke atas.
Sebelum Upacara Pawintenan dilaksanakan, maka calon Jero Gede terlebih dahulu harus
mencari Pandita Nabe sebagai Guru, dimana yang bersangkutan akan melaksanakan
apa yang disebut maguron-guron. Pandita Nabe itulah yang secara langsung membina
dan mendidik sang calon dengan Dharma Pawikuan sesuai dengan beban fungsi dan
jabatan yang akan dipangkunya.
Upacara Pawintenan Samkara Ekajati ini harus disaksikan oleh para Manggala Desa,
sama seperti pesaksian Pawintenan Mepedamel seperti sudah diuraikan di atas.
Seorang Pemangku dengan julukan Jero Gede, jika telah memenuhi persyaratan tertentu
dan dipandang sudah cukup memenuhi persyaratan untuk meningkatkan kesucian rokhani
maupun jasmaninya, dikemudian hari dapat melakukan penyucian diri yang sifatnya lebih
tinggi yang disebut Mapudgala Dwijati.
Disamping Semara Ratih, Pemangku juga diberikan banten pedamel yakni banten kecil
yang terbuat dari jajan atau bahan-bahan yang dapat dimakan. Unsur rasa dari banten
pedamel itu sangat penting artinya. Dengan banten pedamel yang isinya harus yang
dimakan, seorang Pemangku diharapkan mampu merasakan sad rasa dalam
melaksanakan tugas kewajibannya yaitu rasa manis, rasa asam, rasa pahit, rasa sepet, rasa
asin, dan rasa pedas. Sad rasa disini tentu saja dalam arti kias, yang harus dapat sijiwai
oleh seorang Pemangku dalam melakoni hidup maupun dalam melaksanakan tugas
pekerjaannya sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus sebagai pelayan
masyarakat.
Selanjutnya di kepala Pemangku diikatkan sebuah sirowista yang terbuat dari daun alang-
alang yang berfungsi sebagai alat penyucian diri dan memusnahkan segala pengaruh
negatif. Disamping itu sirowista merupakan juga lambang ardha-candra (bulan),
sedangkan kepala Pemangku sendiri dipangdang sebagai lambang windu (matahari) dan
bunga yang ada pada simpul sirowista sebagai lambang nada (bintang). Dan pucuk bunga
kembang sepatu berwarna merah (lambang Brahma) dianggap paling ideal sebagai
lambang nada tersebut. Ketiganya, (bulan, matahari, dan bintang) merupakan lambang
alam semesta sebagai stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan memakai sirowista
diharapkan agar Pemangku disucikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Mengenai bunga yang dipergunakan untuk sirowista dapat dijelaskan bahwa bunga itu
sebenarnya boleh-boleh saja, artinya bunga apa saja boleh, asalkan bertujuan untuk
memperoleh kebahagiaan bebas dari rasa takut. Tetapi pada umunya yang lazim
dipergunakan adalah pucuk bunga kembang sepatu yang berwarna merah (Brahma),
disertai bunga berwarna putih (Siwa), dan bunga berwarna biru tua (Wisnu).
Pawintenan dengan Banten Saraswati adalah penyucian diri dengan memuja Dewi
Saraswati sebagai saktinya Dewa Brahma yang menciptakan ilmu pengetahuan.
Sedangkan pawintenan dengan ayaban Banten Bebangkit adalah penyucian diri dengan
memuja dua Dewa Dewi yakni Dewi Saraswati dan Dewa Gana sebagai putra Bhatarar
Siwa yang berfungsi sebagai pelindung umat manusia. Kemudian pawintenan dengan
ayaban Banten Catur adalah penyusian diri dengan memuja empat Dewa yaitu Dewa
Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Iswara, Dewa Mahadewa sebagai manifestasi Ida Sang
Hyang Widhi Wasa.
Tapa metupakan usaha pengendalian diri agar selalu berada dalam jalur ajaran-ajaran
agama
Yoga berarti pengendalian diri dengan tujuan agar selalu ingat dan karena itu selalu
memuja kebesaran dan kemuliaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
Semadhi berarti pengendalian diri dengan penyerahan diri sepenuhnya kepada
kemahakuasaan Tuhan
Untuk dapat melaksanakan brata, tapa, yoga, dan semadhi dengan baik, maka orang
sudah mawinten, harus selalu memelihara kondisi lahir maupun batinnya dengan baik dan
tertib agar tidak menjadi cemer. Yang dimaksud dengan cemer disini adalah :
Cemer yang disebabkan oleh pikiran, perbuatan, dan perkataan yang menyimpang dari
ajaran Agama
Cemer yang disebabkan oleh kasepungan, yaitu keadaan cuntaka yang berasal dari luar
dirinya
Misalnya menyantap suguhan di tempat orang meninggal atau ngaben dan atau turut
memandikan layon orang yang meninggal termasuk dalam pengertian cemer tingkat
kedua. Apabila menjadi cemer, maka orang yang sudah mawinten harus manyucikan diri
kembali sesuai dengan tingkat kecemerannya, misalnya dengan cara meprayascitta saja
atau bila perlu dengan mawinten ulang atau masepuh.
Bahkan I GB. Sugriwa dalam bukunya berjudul Dwijendra Tatwa menjelaskan ajaran
Empu Sang Kaliputih yang menguraikan bahwa Pemangku tidak kena hokum cuntaka
(sebel), tetapi dilarang menjenguk dan makan minum suguhan orang yang sedang
kematian (namping watang).
Dalam kaitan ini, Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Nawa Sandhi (Raditya No.
82/2004) menegaskan bahwa Pemangku dan semua orang yang sudah mawinten jika
memegang jenasah dan kaungkulin Tirtha Pengentas, maka pawintenannya harus diulangi
kembali, dengan istilah di Bali disebut Masepuh dan tidak cukup dengan mabeakala,
maprayascita, apalagi hanya mebanyuawangan saja. Mebanyuawangan hanya berlaku
bagi orang lain (pelayat) yang bukan keluarga, yang dilakukan segera setelah pulang dari
melayat. Jika sekiranya jenasahnya bermalam beberapa hari, maka setiap kali pulang
melayat orang yang bersangkutan (bukan keluarga) harus mebanyuawangan. Banyu
artinya air dan awing berarti pengentas kesucian. Banyuawang tirtha yang terbuat dari air
kelapa gading muda yang diisi tepung tawar, semacam banten kecil yang terdiri dari
arang jaja uli, beras putih, beras merah, daun dapdap diiris-iris disertai lis dan jejahitan
daun kelapa muda.
Disamping brata, tapa, yoga, dan semadhi, orang yang sudah mawinten perlu juga
memahami, mendalami, dan melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang yama-niyama
brata (pengendalian diri), sad-ripu (enam jenis sifat yang buruk), sad-atatayi (enam jenis
perbuatan yang kejam), trikaya Parisuddha, astabarata dan lain-lain.
Jero Mangku adalah nama panggilan bagi Pemangku yang telah diwinten dengan
Upacara Pawintenan Mepedamel
Jero Gede adalah nama panggilan bagi Pemangku yang telah diwinten dengan Upacara
Samkara Ekajati
Dalam prektek seorang Pemangku dinamakan pula Jan Banggul Ida Bhatara. Ada juga
yang menyebutnya Jero Tapakan. Di luar Bali seorang Pemangku ada yang
menamakannya Wasi. Tetapi ketiganya bukanlah nama panggilan, tetapi sebagai padanan
dari kata Pemangku. Dalam Maha Sabha II PHDI tahun 1968, rokhaniawan Pemangku
dinamakan Pinandita. Hal ini untuk menyamakan persepsi umat Hindu di Indonesia.
Ketetapan itu untuk memberi arah dan pengertian yang jelas kepada umat. Pinandita tentu
berbeda dengan Pandita atau atau Pendeta. Tegasnya Pinandita adalah Pemangku,
sedangkan Pandita atau Pendeta adalah Sulinggih.
Tetapi baik Sulinggih maupun Pinanadita sangat diperlukan oleh umat Hindu. Hal ini
karena persoalan hidup beragama dimasa depan nampaknya akan menjadi semakin
kompleks. Karena itu umat Hindu memerlukan Pinandita dan atau Pendeta, bukan saja
pada waktu bersembahyang atau melaksanakan upacara yajna. Dalam berbagai persoalan
hidup dan kehidupan lainnya pun umat memerlukan pula tuntunan dari Pendeta dan atau
Pemangku. Tujuannya tidak lain adalah agar semua umat manusia dapat hidup rukun dan
damai, hidup tenang dan tentram, selalu dijauhkan dari perselisihan dan pertentangan,
dijauhkan dari pikiran, perkataan, dan perbuatan yang tidak baik.
Itulah sebabnya mengapa seorang Pemangku perlu terus belajar dan belajar lagi. Agar
benar-benar dapat menjadi seorang pelayan umat sekaligus pelayan Ida Sang Hyang
Widhi, maka seorang Pemangku atau Pinandita tidak cukup hanya berbekal kemampuan
untuk menghafal Puja Stawa saja. Janganlah berbangga diri, apalagi bersikap arogan dan
merasa lebih dari orang lain, hanya karena sudah merasa lancer dan pandai mengucapkan
Puja Stawa atau Mantram, yang barangkali juga belum diketahui maknanya. Sekali lagi,
seorang Pemangku hendaklah tidak menutup diri dari ilmu, khususnya ilmu agama.
Seorang Pemangku hendaknya juga menyiapkan diri dengan berbagai ilmu pengetahuan
lain yang menyangkut berbagai persoalan tentang hidup dan kehidupan masyarakat.
Yang lebih penting lagi adalah bahwa seorang Pemangku atau calon Pemangku wajib
membekali dirinya dengan moral dan mental yang luhur serta tangguh. Semua itu untuk
dapat menegakkan swadharma dalam menuntun umat mewujudkan ajaran agama dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga benar-benar menjadi manusia panutan.
Pakaian Pemangku dengan gelar Jero Gede pada saat melaksanakan tugas sebagai
Pemangku adalah :
v Baju putih berbentuk jas tertutup tangan pendek atau kemeja putih tangan panjang
v Kampuh kuning
b) Pemangku Pura Paibon adalah Pemangku yang mendapat tugas untuk ngempon Pura
Paibon, yang disungsung oleh sekitar 20 keluarga yang masing-masing telah memiliki
Sanggah/Merajan tersendiri. Pemangku untuk Pura Paibon ini biasanya bergelar Jero
Mangku
d) Pemangku Pura Kawitan adalah Pemangku yang mendapat tugas untuk ngempon Pura
Kawitan. Pemangku ini bergelar Jero Gede atau ada juga yang menamakannya Ida Gede,
sama dengan gelar untuk Pemangku di Pura Sad Kahyangan Jagad
Pemangku juga dapat dibedakan berdasarkan jenis Pura yang diemongnya, yaitu :
2) Pemangku dapat menerima bagian sesari ataupun aturan sesangi dari Pura yang
diemongnya. Pembagiannya adalah sebagai berikut :
Sepertiga bagian untuk Pura, yang dapat dipergunakan untuk membeli perlengkapan
Pura
Sepertiga bagian untuk dibagikan untuk para Pemangku yang bertugas di Pura tersebut
Sepertiga bagian untuk Pengurus Pura termasuk penjaga Pura dan petugas lainnya jika
ada
3) Pemangku dapat menerima bagian hasil pelaba Pura, sepanjang Pura yang diemongnya
memiliki pelaba Pura. Mengenai bagian yang dapat diberikan kepada Pemangku
ditentukan oleh Pengurus Pura berdasarkan kesepakatan Krama Dadia
a. Menyelesaikan upacara pujawali atau piodalan sampai tingkat piodalan pada Pura yang
diemongnya
b. Apabila Pemangku menyelesaikan upacara diluar Pura yang diemongnya atau upacara
yajna itu diselenggarakan di luar Pura atau jenis upacara yajna tersebut bersifat rutin,
seperti pujawali atau piodalan, Manusia Yajna dan Bhuta Yajna, yang seharusnya
memepergunakan tirtha Sulinggih, maka Pemangku diperkenankan nganteb banten
upacara termaksud dengan menggunakan tirtha Sulinggih
d. Dalam penyelesaian upacara Bhuta Yajna atau Caru, Pemangku diberi wewenang
menyelesaikan upacara Bhuta Yajna maksimal sampai dengan tingkat panca sata dengan
mempergunakan tirtha Sulinggih
b. Dapat ngeloka pala srayasampai dengan madudus alit, sesuai dengan tingkat
pawintenannya
Selanjutnya penggunaan sarana bagi seorang Pemangku juga tidak sama di suatu daerah
dengan daerah lainnya. Di daerah tertentu ada yang menggunakan sarana seperti di
bawah ini :
1) Di suatu upacara (di tempat nganteb banten) disiapkan sebuah Daksina Pelinggih,
peras, ajuman, lengawangi, buratwangi, dan canangsari berisi sesari, dengan jinah bolong
550 kepeng
2) Banten yang di tempatkan di Sanggar Surya (Sanggar Tawang) adalah banten suci
lengkap, dan canangsari serta daksina
3) Untuk pengastawan tirtha dipergunakan sangku atau payuk anyar
4) Selesai nganteb banten, di rumah Pemangku disediakan labaan (pengluar) dan Daksina
Pelinggih, untuk dihaturkan kehadapan Hyang Taksu sebagai pertanda bahwa upacara
telah selesai
\ Daksina Pejati, meruntun peras, ajuman, dan canangsari dengan sesantun 4000 kepeng
jinah bolong
\ Kalpika 33 biji
\ Sebuah dulang kuningan atau dulang kayu yang dipergunakan khusus untuk itu
\ Pedupaan
\ Bajra/Genta
\ Tempat bija
\ Tempat bunga
elangbiru3004 mengatakan...
Terima kasih atas postingnya.. sangat berguna untuk tugas yang sedang saya
kerjakan, mengenai dharma acharya... semoga tulisan-tulisan yang dimuat di
kolom ini dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat khususnya yang
beragama hindu. satyam eva jayate....