Anda di halaman 1dari 29

10 hurup suci (Dasa Aksara) sumber alam semesta

10 September 2012 pukul 19:58

OM Swastiastu,

hurup-hurup suci yang merupakaran sumber dari alam semesta termasuk manusia adalah
dasaaksara. mungkin sudah banyak yang sering mendengar kata Dasa Aksara ini, berikut
ini akan diulas kembali Dasa Aksara tersebut..

Diceritakan dalam setiap tubuh manusia terdapat hurup hurup yang sangat disucikan,
diceritakan pula bahwa Dewa - dewa dari hurup suci tersebut bersatu menjadi sang hyang
dasa aksara. Dasa aksara merupakan sepuluh hurup utama dalam alam ini yang
merupakan simbol dari penguasa alam jagat raya. Dari sepuluh hurup bersatu menjadi
panca brahma(lima hurup suci untuk menciptakan dan menghancurkan), panca brahma
menjadi tri aksara(tiga hurup), tri aksara menjadi eka aksara (satu hurup). Ini hurupnya:
OM. Bila sudah hafal dengan pengucapan hurup suci tersebut agar selalu di ingat dan
diresapi, karena ini merupakan sumber dari kekuatan alam semesta yang terletak di dalam
tubuh kita (bhuana alit) ataupun dalam jagat raya ini (bhuana agung).

Begini caranya menyatukan ataupun menempatkan sang hyang dasa aksara dalam badan
ini. Yang pertama sang hyang sandhi reka yang terletak dalam badan kita ini. Beliau
bertapa-beryoga sehingga beliau menjelma menjadi sang hyang eka jala resi. Sang hyang
eka jala rsi beryoga muncul sang hyang ketu dan sang hyang rau.

Sang hyang rau menciptakan kala (waktu), kegelapan, niat (jahat yang sangat banyak,
sedangkan sang hyang ketu menciptakan tiga aksara yang sangat berguna, diantaranya
wreasta (ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, ma, ga, ba, nga, pa, ja, ya, nya), beserta
swalalita dan modre. Sehingga jumlah hurupnya adalah dua puluh hurup.
Aksara modre bersatu dengan sembilan hurup wreasta yaitu dari ha wa, yang kemudian
disebut dasa sita.

Aksara swalelita, bersatu dengan sembilan hurup wreasta lainnya yaitu dari la nya,
yang kemudian disebut dasa sila dan dasa bayu.

Bertemu ketiga induk dari aksara suci tersebut; dasa sita, dasa sila, dasa bayu menjadi
dasa aksara.

begini cara menempatkan sang hyang dasa aksara didalam badan;

Sa ditempatkan di jantung,

Ba ditempatkan di hati,

Ta ditempatkan di kambung,

A ditempatkan di empedu,

I ditempatkan di dasar hati,

Na ditempatkan di paru - paru,

Ma ditempatkan di usus halus,

Si ditempatkan di ginjal,

Wa ditempatkan di pancreas,

ya ditempatkan di ujung hati.

Dasa aksara diringkas menjadi panca brahma (sa, ba, ta, a, i).

panca brahma diringkas menjadi tri aksara (a, u, ma).

Setelah itu baru turun arda candra (bulan sabit), windu (lingkaran) dan nada (titik).

Baru boleh di ucapkan sang, bang, tang, ang, ing, nang, mang, sing, wang, yang.

lafalkan aksara tersebut lalu letakkan dalam tubuh kita dan alam semesta.
Ini rangkuman intisari dari sastra yang berjumlah lima hurup, yang digunakan untuk
memuja tuhan, memanggil, menghaturkan persembahan, memohon anugrah dari tuhan
YME, diantaranya:

mantra untuk memuja tuhan, Mang Ang Ong Ung Yang.

mantra untuk memanggil agar tuhan berkenan hadir, Ang Ong Ung Yang Mang

mantra untuk mempersembahan sesajen jamuan dari kita, Ong Ung Yang Mang
Ang

mantra untuk memohon anugrah dari tuhan YME, Ung Yang Mang Ang Ong

yang disebut Panca tirta, ini aksaranya:

Sang sebagai tirta sanjiwani, untuk pangelukatan (membersihkan).

Bang sebagai tirta kamandalu, untuk pangeleburan (menghancurkan).

Tang merupakan tirta kundalini, utuk pemunah (menghilangkan).

Ang merupakan tirta mahatirta, untuk kasidian (agar sakti).

Ing merupakan tirta pawitra, untuk pangesengan (membakar).

Ini yang dikatakan panca brahma, berada dalam diri manusia. Ini aksaranya;

Nang disimpan di suara.

Mang disimpan di tenaga

Sing disimpan di hati/perasaan

Wang disimpan di pikiran

Yang disimpan di nafas.

Kemudian balikkan hurup tersebut:

Yang disimpan di jiwa

Wang disimpan di guna/aura

Sing disimpan di pangkal tenggorokan

Mang disimpan di lidah


Nang disimpan di mulut

Ini menyimpan Rwa bhineda (dua sisi dunia), ini suaranya; Ong Ung. Ong di hati putih,
ung di hati hitam. Ung di empedu, ong di pancreas. Ong di dubur, ung di usus.

Ini suara inti sari; ekam evam dwityam Brahman, disebut ONG. Berupa api rwa bhineda
Ang, berupa air rwa bineda Ah.

dasar mantra antuk tri aksara; Mang Ang Ung

kemulan mantra; Ang Ung Mang

pengastiti widhi dewa bethara; Ung Mang Ang

iki pengeraksa jiwa antuk catur aksara; Mang Ang Ung Ong

pengundang bhuta dengen antuk kahuripan; Ang Ung Ong Mang

pemageh bayu ring raga antuk catur resi; Ung Ong Mang Ang

pangemit bayu antuk catur dewati; Ong Mang Ang Ung

ini pertemuan sastra yang delapan belas (wreastra), bertemu ujung dengan pengkalnya
menjadi dasa aksara, diantaranya;

ha nya menjadi sang

na ya menjadi nang

ca ja menjadi bang

ra pa menjadi mang

ka nga menjadi tang

da ba menjadi sing

ta ga menjadi ang

sa ma menjadi wang
wa la menjadi ing, yang

ini merupakan maksud dari sastra wreastra, dibaca dari belakang. diantaranya;

nyaya berarti sang Hyang Pasupati, tuhan

japa berarti sang hyang mantra,

ngaba berarti Sang Hyang guna,

gama berarti kekal, abadi,

lawa berarti manusia

sata berarti hewan dan binatang

daka berarti pendeta, nabi, orang suci

raca berarti tumbuhannaha berarti moksa, nirvana

demikianlah sastra yang ada di alam ini yang berada juga didalam tubuh kita. Jagalah
kesucian dan keseimbangan dari hurup suci tersebut. Semoga setelah membaca dan
meresapi sastra ini, dunia ini akan menjadi semakin sejahtera.

Suksma,

OM Shanti, Shanti, Shanti OM

Gede Prama: Motivasi: Percaya Cinta, Percaya Keajaiban


Pengajar Paling Kurang Ajar
Percaya Cinta, Percaya Keajaiban
Bodoh Itu Indah
Biarkan Kedamaian Bicara
Sekolah Bikin Muntah

Senin, 25/09/2000

Percaya Cinta, Percaya Keajaiban


Oleh: Gede Prama
Seorang anggota keluarga dekat sempat bertanya keheranan, kenapa orang
yang setegar saya bisa menangis ketika ayah meninggal. Yang membuatnya
tambah heran, karena saya adalah satu-satunya orang yang menangis
menjelang penguburan. Dan Andapun boleh heran dengan saya.
Ini memang bukan cerita sinetron yang mau mengundang rasa kasihan Anda.
Melainkan, pengungkapan perasaan duka kehilangan seseorang yang lama
menjadi sumber cinta saya. Berbeda dengan saya yang mengenyam pendidikan
relatif tinggi, ayah hanya tamatan kelas tiga SD zaman Belanda. Untuk itu,
bisa dimaklumi kalau ia tidak menggunakan bahasa verbal sebagai sarana
pengungkapan cinta. Saya hampir setiap hari bernyanyi lagu every day I
love you bersama anak-anak. Sedangkan ayah, ia tidak pernah mengucapkan
satupun kata cinta. Tidak juga pernah bernyanyi cinta khusus buat saya.
Bahasa verbalnya lebih banyak diam. Apa lagi sekarang, ia diam selamanya !
Yang membuat saya menangis bukan bahasa verbalnya, melainkan bahasa
hidupnya. Sebelum meninggal, ia mengumpulkan uang untuk seluruh biaya
upacaranya. Seolah-olah tidak mengizinkan celah sedikitpun pada anaknya
untuk 'membayar' hutang-hutang kami. Atau seperti menghayati betul apa
yang pernah ditulis Emma Goldman yang menulis : "Bila cinta mengharapkan
bayaran, itu bukan cinta, melainkan sebuah transaksi". Ketika saya masih
teramat kecil, di halaman rumah ia sering mengajak berjalan-jalan sambil
menambahkan gelar 'sarjana hukum' di belakang nama saya. Sepertinya sedang
mencita-citakan anaknya untuk sekolah setinggi-tingginya. Dan menunjukkan
pemahaman yang dalam, hanya dengan pendidikan kehidupan bisa
ditransformasikan. Digabung menjadi satu, he has been the best father to
me.
Lebih dari semua ini, cinta ayah juga sering menghadirkan
keajaiban-keajaiban. Dengan penuh rasa syukur kepada Tuhan, dari zaman
teramat miskin dulu sampai dengan sekarang, kami sekeluarga tidak pernah
kelaparan, atau kekurangan uang yang membuat kami dililit hutang.
Ketika merantau di Inggris dulu, dengan bea siswa untuk seorang, dan
dimakan untuk empat orang. Ada saja keajaiban yang membuat hidup jadi
panjang. Demikian juga ketika 'nekat' jadi pimpinan puncak perusahaan
tanpa pengalaman memimpin yang memadai. Sudah lama banyak anak buah
meramalkan, kalau di RUPS nasib saya akan tamat. Akan tetapi, dengan
alasan-alasan yang tidak sepenuhnya bisa dimengerti, sampai sekarangpun
saya masih duduk di kursi karir yang cukup tinggi. Demikian juga dengan
pekerjaan sebagai pembicara publik. Hinaan, cercaan, ejekan memang pernah
datang. Tetapi, entah dari mana datangnya keajaiban, semua itu tidak
pernah bisa mengerem kecepatan karir saya sebagai pembicara publik.
Dengan seluruh cerita ini, percaya ataupun tidak, saya meyakini sekali
kalau cinta bisa menghadirkan keajaiban-keajaiban. Berikut adalah sebagian
kecil contoh keajaiban-keajaiban yang bisa dihadirkan cinta.
Kejaiban pertama, cinta membuat orang jadi awet muda dan berumur panjang.
Sebagaimana pernah dikutip majalah Reader Digest, salah satu ciri orang
yang awet muda dan berumur panjang adalah memiliki setidak-tidaknya
seseorang untuk dicintai. Sebenarnya penemuan ini amat logis. Sebab,
dengan memiliki orang yang kita cintai, meniti karir dan nafas kehidupan
lainnya bisa dilakukan tanpa rasa capek yang mengganggu. Capek saya sering
kali hilang, kalau membayangkan anak-anak lulus dari sekolah ternama di
luar negeri. Atau membayangkan isteri menikmati sekali hidup bersama saya.
Atau mengetahui bahwa Ibu mensyukuri sekali pernah melahirkan anak seperti
saya.
Keajaiban cinta yang kedua, bila Anda selalu mencari sesuatu yang baik
dalam diri orang lain, Anda akan menemukan sisi terbaik dari diri Anda
sendiri. Ini saya alami sendiri. Sebagai manusia biasa, saya juga pernah
memenuhi hidup dengan pandangan-pendangan negatif tentang orang lain. Atau
sedikit-sedikit menghakimi orang lain. Energi negatif tadi, mungkin tidak
memakan orang yang saya benci. Tetapi saya rasakan sendiri, ia memakan
badan saya sendiri. Namun, semua ini berubah secara radikal, sejalan
dengan kemajuan untuk belajar melihat sisi positif orang lain. Entah dari
mana datangnya keajaiban, kekaguman orang lain, rasa hormat orang lain,
rasa percaya orang akan apa yang saya tulis dan bicarakan di depan umum,
datang mengalir secara amat mudah.
Keajaiban yang ketiga, cinta sering membuat yang tidak mungkin jadi
mungkin. Sebagaimana pernah dituturkan seorang Ibu dalam buku Chicken soup
for the couple's soul, tubuh Ibu yang lemah tadi bisa menyelamatkan
suaminya dari serangan beruang besar dan ganas. Tadinya ia takut melawan
beruang tadi. Akan tetapi, karena suaminya adalah satu-satunya kekayaan
yang paling berguna, maka dia lawan dengan penuh kemampuan. Entah dari
mana datangnya keajaiban, beruang besar tadi lari ketakutan melihat
perlawanan wanita lemah tadi.
Anda bebas memilih, antara percaya atau tidak percaya. Yang jelas,
pengalaman saya bersama Ayah tercinta menunjukkan, cinta menaburkan
keajaiban di mana-mana. Teriring cinta buat Ayah tercinta, Kahlil Gibran
pernah menulis : "Kenangan adalah anugerah Tuhan yang tidak dapat
dihancurkan oleh maut".
Gede Prama adalah seorang pembicara publik, presiden Dynamics Consulting,
direktur SDM sebuah perusahaan swasta, dan beralamat di
www.gedepramaideas.com

Gede Prama: Inovasi


Senin, 25/9/2000
Pengajar Paling Kurang Ajar
Kepada siapa saja yang memanggil saya dengan sebutan guru, saya mencoba membuat
diri menjadi jembatan. Kemudian, mengundang orang itu lewat melalui jembatan saya.
Begitu ia sudah lewat, saya runtuhkan jembatan tadi. Sekolah Bikin Muntah John Naisbitt
Jadi Bandit Ah Teori Menjadi Manusia Mati Hipnotis Massal Ala Amerika
Copyright (c) 1998 - 1999 Gede Prama dan detikcom Digital Life. Hak Cipta dilindungi
oleh Undang-undang. Tidak diperkenankan mereproduksi seluruh maupun sebagian
dalam bentuk maupun media apapun tanpa ijin tertulis dari detikcom Digital Life.
Gede Prama: Manajemen: Biarkan Kedamaian Bicara

Pengajar Paling Kurang Ajar


Percaya Cinta, Percaya Keajaiban
Bodoh Itu Indah
Biarkan Kedamaian Bicara
Sekolah Bikin Muntah

Kamis, 21/09/2000
Biarkan Kedamaian Bicara
Oleh: Gede Prama
Dalam jangka waktu yang amat lama, wacana publik kita ditandai oleh kekerasan yang
memperkuda kedamaian. Tidak hanya setelah republik ini merdeka, jauh sebelumnya pun
sejarah kita sudah ditandai oleh wajah-wajah kekerasan di sana-sini. Di Jawa Barat sana,
banyak orang yang tingkat penghormatannya lebih rendah di bandingkan daerah Jawa
lainnya terhadap nama Gajah Mada. Apa lagi yang ada di balik ini semua kalau bukan
sejarah
kekerasan. Sejarah masa penjajahan apa lagi. Bercak dan aliran darah ada
di mana-mana. Dulunya, setelah kemerdekaan direbut dan pembangunan
dijalankan, diharapkan bercak dan aliran darah bisa dihilangkan. Nyatanya,
baik di masa orde lama, orde baru, bahkan sampai sekarangpun ia masih
menjadi berita di hampir setiap media. Ambon, Poso, Aceh, Irian Jaya,
Jakarta hanyalah sebagian saja dari sekian banyak kekerasan mengerikan,
tapi menjadi santapan wacana yang digemari. Belum lagi ditambah dengan
kekerasan-kekerasan tersembunyi lainnya. Industri keuangan dan perbankan
yang dirampok orang di sana-sini. Uang negara yang dijarah dari dulu
hingga sekarang. Hubungan industrial yang ditandai banyak demonstrasi,
pemogokan, pembakaran dan sejenisnya. Dan deretan panjang kekerasan
lainnya.
Entah mana yang lebih mewakili. Sejarah manusia yang memang membawa
kekerasan ke mana-mana, atau karena publik lebih tertarik dengan
topik-topik kekerasan. Yang jelas, sulit diingkari kenyataan, semakin
banyak berita kekerasan muncul dalam wacana publik, semakin laris
medianya, serta semakin banyak orang mau membaca dan terlibat wacana. Anda
mungkin sudah mahfum, beberapa tokoh publik dan organisasi masyarakat –
kalau tidak mau dikatakan kebanyakan – malah ‘mendulang’
hasil dari
kekerasan. Buktinya, setelah kekerasan muncul, mereka muncul sebagai
pahlawan, penyelamat, bahkan ada yang menjadi penguasa baru. Kadang saya
malah bertanya penuh keraguan, tidakkah rezim yang sedang berkuasa ini
adalau output dari mesin raksasa yang bernama kekerasan ? Kalau mesinnya
mesin kekerasan, adilkah kalau kita mengharapkan output kedamaian dari
sana ?
Anda jawab sendirilah pertanyaan-pertanyaan penuh keraguan tadi. Yang
jelas, dengan resiko ditertawakan orang, ada tidak sedikit orang yang
berharap agar kedamaian diberi kesempatan untuk berbicara. Boleh saja dia
tidak menarik selera wacana banyak orang. Tidak membuat media menjadi
laris manis. Tidak juga menghasilkan pahlawan dan penyelamat. Akan tetapi,
bukankah menjadi hak azasi setiap orang untuk hidup damai ?
Dibandingkan terlalu banyak bertanya, mari kita sama-sama ulas persoalan
dianaktirikannya kedamaian oleh kekerasan. Mereka yang diteropong oleh
Naisbitt masuk ke dalam kotak spirituality yes, formal religion no,
mungkin menyebut agama telah gagal. Mereka yang antikekuasaan akan
menunjuk hidung kekuasaan sebagai biang keladi. Pemerhati pendidikan lain
lagi, mereka menuduh lembaga terakhir sudah tidak berfungsi lagi sebagai
pembawa misi perdamaian.
Izinkan saya meneropong persoalan ini di tingkat individu. Ada sebuah
kualitas pribadi yang berperan besar dalam memproduksi kekerasan. Dia
bernama Aku. Dalam keakuan, banyak sekali hal yang sebenarnya berasal dari
kedamaian sekalipun, bisa berubah menjadi kekerasan. Bibit-bibit keakuan
terakhir bisa bersumber dari keyakinan dan perasaan benar, harga diri yang
tinggi, keserakahan akan harta dan tahta, dll.
Coba bayangkan sepasang suami isteri yang sudah sejak lama hidup damai di
hutan tanpa gangguan berarti. Suatu hari, ada kebutuhan untuk
sekali-sekali bertengkar satu sama lain. Dan sepakatlah mereka untuk
memulai pertengkaran. Sang isteri berkata dengan nada membentak : ‘ini
ketela kesukaanku !’. Dan suaminya berfikir sejenak, kemudian menjawab
dengan penuh kesabaran : ‘ya itu memang kesukaanmu, dan marilah kita
makan
sama-sama seperti biasa’. Maka, batallah pertengkaran yang sudah
direncanakan terlebih dahulu ini.
Cerita ilustratif ini menunjukkan, keakuan memang sudah menjadi sumber
pertengkaran di mana-mana. Namun, kesediaan dan kesabaran untuk senantiasa
awas dengan keakuan tadi, sudah dan akan terus membantu proses menuju
kedamaian. Bedanya dengan kekerasan yang datang tanpa diundang, kedamaian
memerlukan ‘undangan’ khusus agar dia datang. Demikian
khususnya, sehingga
memerlukan biaya yang amat besar.
Salah satu laporan majalah Fortune – maaf saya lupa edisinya – pernah
melaporkan sebuah kecenderungan yang mereka sebut dengan the new corporate
mystiques. Ternyata, apa yang mereka sebut dengan mistik-mistik baru dunia
usaha adalah kecenderungan sejumlah raksasa usaha di sana, untuk
mengundang sejumlah rahib Buda sebagai pelatih. Bukan untuk mengajak orang
masuk agama Buda. Melainkan, mengajari ekskekutif hidup dalam kedamaian.
Kedamaian – demikian mereka meyakini – adalah syarat utama dari
produktivitas. Dalam kedamaian, kita bisa melakukan dan mencapai lebih
banyak hal. Mirip dengan keluarga di rumah, apa yang bisa kita capai kalau
setiap hari isinya hanya pertengkaran ?
Ada yang bertanya, bukankah kedamaian akan lebih terasa nikmatnya kalau
kita pernah mengalami kerusuhan ? Tentu saja. Sebab, kehidupan merupakan
hasil dari dialektika. Dan dialektika terakhir, sulit diharapkan berhasil
optimal kalau salah satunya jauh lebih dominan dibandingkan yang lain.
Mirip dengan kehidupan kita sekarang-sekarang ini, terutama dengan
hadirnya kekerasan di banyak pojokan ruang publik. Akankah kita biarkan
kedamaian menjadi kuda bisu yang ditunggangi kekerasan ?
Gede Prama adalah seorang gelandangan intelektual dan beralamat di
www.gedepramaideas.com

Copyright (c) 1998 - 1999 Gede Prama dan detikcom Digital Life. Hak Cipta
dilindungi oleh Undang-undang. Tidak diperkenankan mereproduksi seluruh
maupun sebagian dalam bentuk maupun media apapun tanpa ijin tertulis dari
detikcom Digital Life.
Situs web ini dikelola dan dikembangkan oleh Agrakom

Copyright 1998 - 1999 Gede Prama dan detikcom Digital Life. Hak Cipta
dilindungi oleh Undang-undang. Tidak diperkenankan mereproduksi seluruh
maupun sebagian dalam bentuk maupun media apapun tanpa ijin tertulis dari
detikcom Digital Life.
Situs web ini dikelola dan dikembangkan oleh Agrakom
Kamis, 19 Juli 2007
Kepemangkuan

KEPEMANGKUAN

1. ROKHANIAWAN HINDU
Dalam Agama Hindu seorang Pemangku atau Pinandita dinyatakan sebagai
rokhaniawan . Rokhaniawan artinya orang yang rokhani atau jiwanya telah disucikan.
Karena itu sebagai rokhaniawan , seorang Pemangku seyogyanya mendalami pengertian
rokhaniawan, sehingga yang bersangkutan bisa menempatkan diri dan melaksanakan
tugas pekerjaannya sesuai dengan tingkat kesuciannya. Berdasarkan tingkat
penyuciannya, rokhaniawan Hindu dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu :

A. Rokhaniawan yang termasuk dalam golongan atau tingkatan Dwijati seperti Pedanda,
Pandita, Sri Bhagawan, Empu, Rsi dan lain-lain yang pada umumnya dinamakan
Sulinggih.

B. Rokhaniawan yang termasuk dalam golongan atau tingkatan Ekajati seperti


Pemangku, Balian, Mangku Dalang dan lain-lain.

Disamping dua golongan tersebut diatas sesungguhnya masih ada satu golongan
rokhaniawan yang ketiga yaitu termasuk dalam golongan atau tingkatan Trijati. Yang
dimaksud dengan golongan Trijati adalah para sulinggih yang telah berkedudukan
sebagai Guru Nabe. Mereka ini dipandang sebagai lahir tiga kali, yakni dari Ibu, dari
ilmu pengetahuan dan kemudian diangkat menjadi Guru Nabe. Beliau mempunyai
wewenang untuk meningkatkan sisyanya dari calon Pendeta menjadi Pendeta dalam
tingkatan Dwijati.

A. Rokhaniawan Tingkat Dwijati


Kata Dwijati berasal dari bahasa Sansekerta ,Dvi dan Jati . Dvi berarti dua dan Jati
berasal dari akar kata Ja yang berarti lahir. Dengan demikian Dwijati berarti lahir dua
kali. Kelahiran yang pertama adalah kelahiran dari ibu kandungnya sendiri, sedangkan
yang ke dua merupakan kelahiran dari kaki Dang Guru Suci atau Nabe setelah
memperoleh Ilmu Pengetahuan Suci dan kerokhaniawan.

Dengan kata lain kelahiran yang ke dua hanya dapat terjadi setelah yang bersangkutan
memperoleh ilmu pengetahuan suci dan kerokhanian melalui aguron-aguron
(berguru/belajar) kepada seorang Nabe. Untuk kelahiran yang kedua ini, seorang calon
sulinggih juga harus melakukan Nuwun Pada atau Metapak kepada Nabenya dalam suatu
upacara yang disebut Mediksa atau Mepudgala. Selesai upacara Mediksa yang
bersangkutan diberi gelar atau sebutan Pedanda, Pandita, Sri Bhagawan, Rsi, Empu, dan
lain-lain. Kata Pandita berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti terpelajar, pandai, dan
bijaksana atau orang yang arif lagi bijaksana.

Pelaksanaan upacara Mediksa yang memberikan gelar Pedanda, Pandita, Sri Bhagawan,
Rsi, Empu, dan lain-lain itu, merubah status yang bersangkutan dalam ikatan disiplin
sebagaimana tertuang dalam catur bandana dharma (empat ikatan disiplin kehidupan
kerokhanian) meliputi :

a. Amari Aran :
Yang bersangkutan wajib merubah namanya sebagai walaka dengan nama baru
sebagaimana diberikan oleh Nabenya.

b. Amari Sesana :
Yang bersangkutan harus maninggalkan tugas kewajibannya semula dan
menggantikannya dengan sasana kawikon. Dalam hal ini seorang Sulinggih dibebaskan
dari tugas kewajiban selaku warga masyarakat biasa.

c. Amari Wesa :
Yang bersangkutan harus mengganti identitas dirinya dengan identitas Pendeta, misalnya
tidak boleh lagi bercukur. Juga harus mengikuti disiplin penggunaan pakaian waktu
upacara dan penggunaan pakain sehari-hari.

d. Umulahaken Kaguru Susrusan :


Yang bersangkutan harus melaksanakan dengan ketat, taat, dan patuh serta brdisiplin
mengenai ajaran Nabenya.

Sulinggih berwenang menyelesaikan segala macam upacara Panca Yajna. Kewenangan


ini tidak terbatas hanya pada upacara rutin saja, tetapi juga untuk upacara yang bersifat
pengesahan seperti perkawinan, pengangkatan anak dan lain-lain.

Untuk dapat melaksanakan tugas kewajibannya dengan penuh, maka seorang Sulinggih
harus pula menjalani berbagai upacara peningkatan seperti Ngelinggihang Weda. Untuk
dapat muput karya yang besar seperti upacara yang menggunakan Sanggar Tawang Rong
Tiga, seorang Sulinggih harus memiliki kemampuan dalam penguasaan Weda yang
disebut sebagai Apasang Lingga. Apasang Lingga maksudnya penguasaan tingkat tertentu
atas Kitab Suci Weda. Setelah manguasai tingkatan Weda tertentu, maka tugas pokok
Sulinggih adalah Ngeloka Palasraya yaitu melaksanakan tugas selaku sandaran umat
untuk mohon bantuan dalam hal kehidupan keagamaan pada umumnya. Sulinggih
menjadi tempat untuk minta petunjuk, seperti bagaimana tata cara mendirikan Pura,
mendirikan rumah, menentukan hari-hari baik untuk sesuatu kegiatan dan lain-lain.
Dalam hal ini Sulinggih juga wajib setiap hari secara terus-menerus meningkatkan
kesucian dirinya, disamping mendoakan kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk
di dunia. Tugas kewajiban ini dinamakan Nyurya Sewana dan harus dilaksanakan setiap
hari.

Perlu ditambahkan pula bahwa secara teoritis ada pula Sulinggih yang tidak
melaksanakan tugas baik muput karya maupun ngeloka palasraya. Sulinggih ini hanya
berorientasi kepada ngetut yasa dan menjaga kesucian dirinya saja. Sulinggih ini
dinamakan Wiku Ngaraga, maksudnya adalah bahwa pengetahuan kependetaannya hanya
dipergunakan untuk kepentingan dirinya sendiri.

B. Rokhaniawan Tingkat Ekajati


Sebagaimana kata Dwijati, kata Ekajati juga berasal dari bahasa sanskerta eka dan jati.
Eka berarti satu dan jati seperti sudah dijelaskan diatas, berasal dari akar kata ja yang
berarti lahir. Jadi Ekajati berarti lahir sekali, yakni lahir hanya dari ibu kandungnya
sendiri. Rokhaniawan yang tergolong dalam kelompok Ekajati antara lain adalah adalah
Pemangku atau Pinandita. Parisada Hindu Dharma dalam Maha Sabha II tahun 1968
menetapkan bahwa Pemangku atau Pinandita adalah pembantu yang mewakili Pendeta
ini merupakan istilah resmi dari Parisada Hindu Dharma Indonesia.

Untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka Pemangku perlu belajar atau
berguru, namun tingkat pengetahuan yang dipelajarinya tidaklah setinggi Sulinggih.
Kitab Suci Weda yang perlu dipelajari sangat terbatas, yakni hanya yang berhubungan
dengan pengastawa saja. Sedangkan upacaara penyuciannya menjadi Pemangku cukup
hanya dengan upacara pawintenan.

Upacara Pewintenan Pemangku dapat dilakuakan berulang kali, jadi berbeda dengan
upacara padiksaan yang hanya boleh dilakukan sekali saja. Dengan mengikuti upacara
pewintenan, seorang Pemangku tidak berubah statusnya sebagaimana halnya dengan
Sulinggih. Seorang Pemangku masih boleh bercukur, boleh berpakaian sebagaimana
layaknya anggota masyarakat biasa, masih mempunyai tugas dan kewajiban dalam
hubungan kemasyarakatan sebagai seorang walaka. Namanya juga tetap dan tidak
diganti. Hanya nama panggilannya saja sering ditambah dengan Mangku atau Jero
Mangku atau Jero Gede atau sebutan lain sesuai dengan desa kala patra dan tingkat
kepemangkuannya.

Seorang Pemangku tidak dibenarkan mempergunakan alat pemujaan seperti halnya


seorang Sulinggih. Juga tidak dibenarkan mempergunakan mudra atau petanganan dalam
mepuja. Seorang Pemangku memiliki sasana khusus yang tertuang dalam Lontar Kusuma
Dewa, Sangkul Putih, Gegelaran Pemangku, Agem-Ageman Pemangku, dan lain-lain.
Sedangkan Pemangku Dalang sasananya tertuang dalam Dharmaning Pedalangan,
Panyudamalan, dan Nyapu Leger.

2. PERANAN PEMANGKU DALAM MASYARAKAT


Pemangku mempunyai peranan yang sangat penting dalam masyarakat beraagama Hindu.
Dikatakan penting karena setiap upacara atau yajna, sepanjang tidak mempergunakan
Sulinggih, maka Pemangkulah yang diminta bantuannya untuk nganteb upakara (banten).
Memang tidak semua upacara harus diselesaikan oleh Pendeta dan atau Pemangku, sebab
ada pula upacara-upacara kecil yang tidak mempergunakan jasa Sulinggih maupun
Pinandita. Pada umumnya masyarakat sudah memahami tradisi dan kebiasaan, mana
upacara yang harus dipuput oleh Pendeta, mana yang harus dihaturkan oleh Pemangku
dan mana yang dapat dipersembahkan sendiri. Dalam hal dipergunakannya bantuan
Pemangku, maka Pemangku tersebut berfungsi sebagai perantara antara umat yang punya
kerja dengan Ida Sang Hyang Widhi dan Ida Bhatara Kawitan/Leluhur. Karena itu tugas
Pemangku sering disebutkan sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus pelayan
masyarakat. Dalam posisinya sebagai pelayan itulah Pemangku menduduki posisi yang
sangat penting dan terhormat.

Mengingat peranan penting tersebut, maka seorang Pemangku diharapkan dapat menjadi
panutan, dapat memberi contoh yang baik, bahkan jika mungkin harus dapat menuntun
dan membina warga masyarakat untuk bisa lebih mendekatkan dirinya dengan dan selalu
ingat kepada keagungan dan kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Itulah
sebabnya, maka untuk bisa menjadi Pemangku tidaklah mudah, karena harus dipenuhi
berbagai persyaratan.

3. PENGERTIAN PEMANGKU
Menurut keputusan Mahasaba Parisada Hindu Dharma ke 2 tanggal 5 Desember 1968,
yang dimaksud dengan Pemangku adalah mereka yang telah melaksanakan upacara
yadnya pawintenan sampai dengan adiksa widhi tanpa ditapak dan amari aran.

Kata Pemangku berasal dari kata Pangku yang disamakan artinya dengan Nampa,
Menyangga atau Memikul Beban atau Memikul tanggung jawab. Dalam hal ini
memikul beban atau tanggung jawab sebagai pelayan atau perantara antara orang yang
punya kerja dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan atau Ida Bhatara Kawitan. Dengan
kata lain, orang yang menerima tugas pekerjaan untuk memikul beban atau tanggung
jawab sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sekaligus sebagai pelayan
masyarakat itu dinamakan Pemangku.

Berdasarkan fungsinya, Pemangku dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu:

a. Pemangku Tapakan Widhi atau Pemangku Pura, seperti Pemangku Sad Kahyangan,
Pura dang Kahyangan, Pura Kahyangan Tiga, Pura Paibon, Pura Panti, Pura dadia, Pura
Kawitan, Pura Pedharmaan, Merajan/sanggah dan lain-lain.

b. Pemangku Dalang, Pemangku tukang dan lain-lain yang sejenis.

Pemangku Tapakan Widhi atau Pemangku Pura adalah Pemangku yang bertanggung
jawab atas pelaksanaan yadnya di Pura, sedangkan Pemangku Dalang, Pemangku Tukang
dan lain-lain (yang tidak dibahas lebih jauh dalam tulisan ini) adalah orang memikul
beban atas tugas pekerjaan tertentu seperti pedalangan, tukang dan lain-lain.
Dengan tanggung jawab untuk melaksanakan yadnya di Pura, jelaslah bahwa seorang
Pemangku Tapakan Widhi atau Pemangku Pura mempunyai tugas yang cukup berat.
Pemangku harus bertanggung jawab juga atas kesucian Pura dan lain-lain kegiatan yang
berkaitan dengan Pura yang diemongnya. Pemangku harus selalu menjaga kesucian
dirinya, harus selalu mepeningan atau asuci laksana dengan selalu menjaga
kebersihan dan kesucian jasmani maupun rokhaninya. Disamping itu Pemangku juga
harus menjaga Kelingsirannya meskipun usianya masih muda dalam arti harus dapat
memberi contoh yang baik, harus dapat menjadi manusia panutan dan selalu berfikir yang
baik, berkata yang baik dan berbuat yang baik (mengamalkan ajaran Tri Kaya Parisudha).

4. MENGAPA HARUS ADA PEMANGKU


Sudah menjadi tradisi dalam masyarakat yang bergama Hindu bahwa untuk
melaksanakan yadnya tertentu yang cukup besar, umat Hindu biasanya akan meminta
bantuan Pendeta dan atau Pemangku.

Pendeta dan atau Pemangku dalam hal ini akan bertindak sebagai perantara antara yang
punya kerja dengan Ida Sang Hyang Widhi dan Ida Bhatara Kawitan. Dalam hal ini
Pendeta dan atau Pemangku akan bertindak sebagai Pemimpin Upacara. Untuk Pendeta
dikatakan sebagai pemuput karya (menyelesaikan upacara), sedangkan untuk Pemangku
dipergunakan istilah Nganteb Upakara (Banten), bukan muput karya.

Mungkin timbul pertanyaan, mengapa ditimbulkan perantara untuk melaksanakan yajna.


Apakah tidak boleh dilaksanakan sendiri tanpa perantara Pendeta dan atau Pemangku? Di
atas telah dijelaskan bahwa penggunaan Pendeta dan atau Pemangku itu sudah menjadi
tradisi. Tradisi ini mungkin timbul karena masyarakat Hindu sejak zaman dahulu sudah
terbagi dalam kelompok-kelompok profesi. Kelompok Brahmana mempunyai profesi di
bidang keagamaan dan karena itu dipandan sebagai kelompok yang paling memahami
ajaran-ajaran agama termasuk tata cara upacaranya. Karena itu adalah wajar manakala
Pendeta dinyatakan sebagai perantara antara umat yang punya kerja dengan Ida Sang
Hyang Widhi dan atau Ida Bhatara Kawitan. Sementara itu, jika hanya dimintakan
bantuan Pemangku, maka disini Pemangku akan berfungsi sebagai wakil Pendeta
sudah tentu sebatas kewenangan yang dimilikinya. Sebagaimana sudah disinggung di atas
istilah yang dipergunakan untuk Pemangku dalam kegiatan ini bukanlah muput karya,
tetapi hanyalah nganteb banten saja.
Sudah menjadi kebiasaan pula bahwa untuk kegiatan upacara harian dan yajna yang
kecil-kecil, umat Hindu biasanya melaksanakannya sendiri tanpa bantuan Pendeta
ataupun Pemangku.

5. KAPAN PEMANGKU DIPERLUKAN


Pemangku diperlukan bantuannya pada waktu warga masyarakat melaksanakan upacara
Panca Yajna (kecuali Rsi Yajna), khususnya jika tidak diminta bantuan Pendeta. Pada saat
upacara Dewa Yajna, ketika warga melaksanakan piodalan, bantuan Pemangku sangat
diperlukan, baik pada waktu ada Pendeta dan terutama apabila tidak dimintta bantuan
Pendeta. Mengenai dipergunakannya Pendeta atau Pemangku, rupanya juga sudah
merupakan tradisi bagi Pura-Pura trtentu. Pura-Pura yang cukup besar, biasanya
mempergunakan Pendeta untuk muput karya. Sedangkan untuk Pura-Pura yang kecil,
dipergunakan Pemangku sebagai penganteb banten. Bahkan ada pula Pemangku yang
sama sekali tidak mempergunakan Pendeta maupun Pemangku. Ini nampaknya juga
bidangmengikuti tradisi leluhur mereka sejak dahulu kala.

Dalam upacara Manusia Yajna, seperti upacara nelu bulanin, ngotonin dan lain-lain,
demikian pula upacara Pitra Yajna, seperti ngaben, kemudian upacara Bhuta Yajna seperti
melaksanakan pecaruan, bantuan Pemangku juga diperlukan. Untuk muput karya
Manusia Yajna, Pitra Yajna, dan Bhuta Yajna termasuk di atas, sering pula diminta
bantuan Pendeta, tergantung besar kecilnya tingkat upacara yang dilaksanakan.

Secara formal, memang tidak ada ketentuan yang baku, bahwa untuk upacara ini harus
memakai Pendeta dan untuk upacara itu harus meminta bantuan Pemangku saja.
Semuanya tentu tergantung dan terserah kepada hati nurani dan keyakinan mereka
masing-masing. Biasanya kalau ingin lebih mantap, tentu warga akan minta bantuan
Pendeta untuk muput karya.

6. SIAPA YANG BOLEH MENJADI PEMANGKU


Pemangku sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi hendaknya dipilih dari umat yang
memiliki budhi luhur, moral dan mental yang tinggi. Seorang calon Pemangku hendaknya
memiliki jiwa pengabdian yang tulus dan ikhlas serta selalu siap untuk ngayah tanpa
memikirkan imbalan apapun. Jabatan Pemangku seyogyanya tidak dijadikan sebagai
tameng untuk menutupi kelemahan pribadinya yang sesungguhnya kurang baik, sehingga
dapat menjadi orang terpandang di masyarakat. Kalau ternyata ada yang bertindak seperti
itu, maka yang bersangkutan dapat dikatakan sebagai penipu masyarakat. Karmaphala
buruk yang harus ditanggung dikemudian hari tentu akan menjadi lebih besar lagi.
Demikianlah, maka untuk menetapkan seseorang untuk menjadi Pemangku tidaklah
sembarangan. Yang boleh dipilih menjadi Pemangku adalah mereka yang benar-benar
memenuhi syarat. Disamping harus sehat secara rokhaniah, mereka juga harus sehat
jasmaniah, tidak cedangga (cacat) bisu tuli atau sakit-sakitan. Sehat secara fisik ini
sangata diperlukan, karena seorang Pemangku seringkali harus bekerja di tempat-tempat
yang jauh dari tempat tinggalnya dan atau harus bekerja sampai larut malam.

Disamping itu, menurut Drs. I Ketut Wiana (Bali Post, 29 Oktober 2003) mereka yang
akan dipilih atau ditunjuk menjadi Pemangku semestinya tidak mempunyai kebiasaan
atau perilaku buruk seperti di bawah ini :

a) Suka mabuk karena kekayaannya (dhana)

b) Suka mabuk karena kepandaiannya (guna)

c) Suka mabuk karena keindahan rupanya (surupa)

d) Suka mabuk karena kebangsawanannya (kula-kulina)


e) Suka mabuk karena kemudaan-usianya (yowana)

f) Suka mabuk karena keberaniannya (kasuran)

g) Suka mabuk karena minuman keras seperti tuak, arak, bir, narkoba, dan lain-lain (sura)

Mereka yang mabuk dan arogan karena hal-hal termasuk di atas tidak selayaknya
ditunjuk sebagai Pemangku. Artinya kalau ketujuh kemabukan di atas dapat dihindarkan,
barulah orang itu dapat disebut sebagai orang yang telah memenuhi syarat. Seseorang
yang telah mencapai keadaan rokhani yang bebas dari kemabukan itu dinamakan orang
yang mahardhika artinya orang yang bebas dari kemabukan, orang yang bijaksana, suci
dan berbudhi luhur, tegasnya sudah dapat melaksanakan pengendalian diri dengan baik.
Dengan kata lain, jika seseorang belum dapat mengendalikan diri dengan baik,
semestinya tidak ditunjuk menjadi Pemangku. Bahkan orang itu harus tahu diri untuk
tidak mencalonkan diri menjadi Pemangku.

7. CARA-CARA MEMILIH PEMANGKU


Ada beberapa cara yang dapat dipakai untuk memilih Pemangku, antara lain :

1. Pertama adalah dengan cara nyanjan, yaitu dengan mempergunakan seseorang yang
sedang kerawuhan. Namun menurut Ida Pandita Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa
Sandhi (SARAD No.10/2000) cara ini sebaiknya tidak dipergunakan lagi. Hal ini karena
sulit membuktikan bahwa orang itu benar-benar kerawuhan Ida Bhatara. Sebaiknya
digunakan saja cara lain yang lebih rasional dan sudah disahkan oleh PHDI, yaitu melalui
pemilihan secara demokratis dengan cara penunjukan atas dasar kesepakatan bersama
atau dapat juga dengan mempergunakan kewange seperti di bawah ini.

2. Kedua dengan cara mempergunakan kewangen. Dalam hal ini, Krama Dadia terlebih
dahulu agar menetapkan beberapa orang calon Pemangku yang dianggap memenuhi
persyaratan. Misalnya para calon Pemangku berusia cukup dewasa, berbadan dan berjiwa
sehat, tingkah lakunya terpuji, mempunyai rasa pengadian yang tinggi dan lain-lain.
Kepada para calon Pemangku ini dibagikan masing-masing satu kewangen. Tetapi di
salah satu kewangen itu diisi rerajahan Ongkara yang diletakkan tersembunyi, sehingga
tidak terlihat perbedaannya dengan kewangen yang lain. Kemudian kewange itu
digunakan untuk memuja Ida Bhatara di Pura tersebut seraya mohon panugrahan. Setelah
itu, satu persatu kewangen diserahkan kepada Pengurus Pura untuk dibuka dihadapan
saksi dan Krama Dadia. Siapa yang kewangennya berisi rerajahan Ongkara, maka dialah
yang dianggap terpilih sebagai Pemangku.

3. Ketiga adalah pemilihan Pemangku berdasarkan keturunan. Keturunan seorang


Pemangku apalagi kalau sudah secara turun temurun menjadi Pemangku, dipandang
sebagai orang yang sudah mempunyai jiwa kepemangkuan, jiwa pengabdian, jiwa
pelayanan yang tinggi. Tentu orang yang dipilih itu hendaknya juga memenuhi
persyaratan di atas. Meskipun yang bersangkutan adalah anak seorang Pemangku, tetapi
kalau jiwanya tidak stabil, suka menipu, sering berbohong, sering mabuk-mabukan, suka
berjudi, suka main perempuan dan lain-lain perbuatan atau perilaku buruk lainnya
tentunya tidak patut dipilih menjadi Pemangku.

4. Keempat adalah pemilihan Pemangku secara demokratis berdasarkan penunjukan atas


dasar suara terbanyak anggota Krama Dadia seperti telah disinggung dalam butir di atas.
Cara ini pun harus pula memenuhi berbagai persyaratan di atas. Terlebih dahulu tentu
harus ditetapkan beberapa calon yang telah memenuhi persyaratan. Misalnya jika ada tiga
orang calon yang sudah memenuhi syarat, maka ketiga orang itu harus dipilih secara
demokratis dalam suatu paruman Krama Dadia. Calon yang memeperoleh suara
terbanyak harus ditetapkan menjadi Pemangku.

Demikianlah 4 cara yang dapat dipergunakan untuk memilih Pemangku. Boleh jadi masih
ada cara lain, yang tidak disinggung disisni. Namun cara manapun yang dipergunakan,
menunjuk atau mengangkat seorang Pemangku tentu ada kelebihan dan kekurangannya
yang dalam tulisan ini tidak akan dibahas lebih jauh. Yang penting adalah bahwa
seseorang yang terpilih sebagai Pemangku hendaknya tidak menepuk dada, menjadi besar
kapala dan sombong karena merasa senang dalam pemilihan. Sebaliknya orang yang
terpilih itu hendaknya semakin merendahkan diri dan tidak bersikap berlebihan atau over
acting. Seseorang yang terpilih sebagai Pemangku harus melakoni hidup ini sewajarnya
saja dan selalu berpegang kepada ajaran-ajaran Agama Hindu. Seorang Pemangku yang
masih remaja tidak ada hambatan bila ingin menikah, namun setelah upacara pewiwahan
dia bersama-sama isteri atau suaminya harus mewinten ulang dengan tingkat ayaban yang
sama dengan yang dahulu atau dengan tingakat ayaban yang lebih tinggi.

Disamping itu, orang yang terpilih menjadi Pemangku seharusnya bersyukur karena telah
terpilih menjadi pelayan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga terbuka kesempatan luas
baginya untuk dikemudian hari jika memenuhi persyaratan akan menjadi orang suci.
Untuk benar-benar bisa menjadi orang suci tentu yang bersangkutan harus membekali
dirinya dengan ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan tentang agama,
kerokhanian dan spiritual yang harus dapat diamalkan bagi kepentingan masyarakat.

8. PAWINTENAN PEMANGKU
Pawintenan atau Mawinten berasal dari kata mawi dan inten. Mawi adalah kata
bahasa Kawi yang berarti bersinar, sedang inten berarti intan atau permata. Dengan
demikian, maka orang yang sudah mawinten diibaratkan sebagai permata yang
berkilauan karena lahir batinnya sudah disucikan. Mengapa perlu disucikan? Sebagai
pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus pelayan masyarkat, seorang Pemangku harus
bertanggung jawab atas kesucian Pura yang diemongnya. Karena itu sebelum diresmikan
sebagai Pemangku, seseorang yang ditunjuk atau dipilih menjadi Pemangku terlebih
dahulu harus disucikan dengan cara menjalani upacara penyucian diri yang dinamakan
Upacara Pawintenan.

Seperti halnya dalam upacara lainnya, maka menurut I Made Wenten (Tetandingan
Banten Manusia Yajna) Upacara Pawintenan Pemangku mempunyai tiga tingkatan,
yaitu :
Pawintenan Sari

Pawintenan Mepedamel

Pawintenan Samkara Ekajati

a. Pawintenan Sari
Pawintenan Sari merupakan upacara Pawintenan yang paling sederhana. Upacara ini
dilaksanakan hanya dengan memohon Wangsuhpada kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa
di Pura dimana yang bersangkutan akan mejadi Pemangku. Pawintenan Sari harus
disaksikan oleh Krama Dadia Pura yang bersangkutan. Pemangku yang diwinten dengan
cara ini biasanya diberi nama panggilan atau julukan sebagai Bapa Mangku, Ketut
Mangku, dan sebagainya.

Sasanan (kode etik) yang harus dijalankan oleh mereka yang telah Mawinten Sari adalah
sebagai berikut :

\ Selalu berbuat dharma, sabar, jujur, berbudhi luhur, dan santun

\ Selalu teguh melaksanakan sastra agama, memahami trikona : Upatti Sthiti


Pralinaning Sarwa Dewa

\ Bersikap kasih sayAng terhadap semua makhluk, tidak suka mabuk-mabukan, tidak
suka berjudi, tidak suka berkelahi, tidak suka bertengkar, dan tidak bergaul dengan orang
yang sering berbuat tidak baik

\ Tidak suka memperkosa orang lain

Perlu dijelaskan bahwa Pawintenan Sari dengan cara yang amat sederhana ini dalam
praktek nampaknya tidak ditemukan lagi, karena semua Pawintenan Pemangku skarang
ini dilaksanakan oleh Pendet, kecuali barangkali di daerah tertentu dimana tidak terdapat
Sulinggih.

b. Pawintenan Mepedamel
Pawintenan MePedamel dilaksanakan oleh Pendeta yang sudah mempunyai wewenang
untuk melaksanakan Loka Palasraya Pandita atau juga disebut Sang Hyang Yogi Swara
selaku Panabean. Upacara ini harus disaksikan oleh :

$ PHDI Kecamatan dan Kabupaten

$ Pejabat Pemerintah setempat

$ Perangkat Desa Adat

$ Kantor Departemen Agama Kabupaten


$ Guru Rupaka dan keluarganya

Pemangku yang diwinten dengan tingkatan seperti ini diberi gelar atau julukan sebagai
Jero Mangku dan diberikan wewenang untuk nganteb banten Dewa Yajna. Pada waktu
nganteb banten, Pemangku diperkenankan menggunakan mempergunakan
mempergunakan genta atau bajra.

Pemangku dengan julukan Jero Mangku ini tidak dibenarkan menyelesaikan upacara di
luar Dewa Yajna, kecuali atas ijin dari Pendeta yang mewintennya. Disamping itu
berdasarkan Lontar Sumuka, Pemangku dengan gelar Jero Mangku inijuga belum
diperkenankan nganteb banten yang setingkat dengan upacara padudusan dengan banten
bebangkit pala gembal ke atas.

c. Pawintenan Samkara Ekajati


Pawintenan jenis ini merupakan Pawintenan untuk meningkatkan status Pemangku
dengan title Jero Mangku menjadi Jero Gede selaku Pinandita. Upacara pawintenan ini
dilakukan oleh Pendeta yang sudah mempunyai wewenang untuk melaksanakan Loka
Palasraya Pandita atau yang disebut juga Sang Yogi Swara selaku Panabean (Guru
Pengajian).

Sebelum Upacara Pawintenan dilaksanakan, maka calon Jero Gede terlebih dahulu harus
mencari Pandita Nabe sebagai Guru, dimana yang bersangkutan akan melaksanakan
apa yang disebut maguron-guron. Pandita Nabe itulah yang secara langsung membina
dan mendidik sang calon dengan Dharma Pawikuan sesuai dengan beban fungsi dan
jabatan yang akan dipangkunya.

Upacara Pawintenan Samkara Ekajati ini harus disaksikan oleh para Manggala Desa,
sama seperti pesaksian Pawintenan Mepedamel seperti sudah diuraikan di atas.

Seorang Pemangku dengan julukan Jero Gede, jika telah memenuhi persyaratan tertentu
dan dipandang sudah cukup memenuhi persyaratan untuk meningkatkan kesucian rokhani
maupun jasmaninya, dikemudian hari dapat melakukan penyucian diri yang sifatnya lebih
tinggi yang disebut Mapudgala Dwijati.

Sarana Pawintenan dan Artinya


Dalam Upacara Pawintenan Mepedamel dan Pawintenan Samkara Ekajati, seorang
(calon) Pemangku akan diberikan sarana khusus berupa Selempot, Semaratih, Sirowista,
dan Banten Pedamel. Bahkan unruk Upacara Pawintenan Samkara Ekajati, Pemangku
termaksud diwajibkan menginjak Kepala Kerbau. Mungkin timbul pertanyaan, apakah
arti dari semua ini? Berikut adalah penjelasannya menurut Prof. Dr. Ngurah Nala, MPH
(SARAD No. 46/2004).

Dalam upacara Pawintenan Mepedamel, seorang calon Pemangku diwajibkan


mengenakan selempot benang putih, sedangkan pada Upacara Pawintenan Samkara
Ekajati harus mengenakan selempot benang tridatu (benang tiga warna : merah, putih,
dan hitam). Dengan memakai selempot benang putih, maka calon Pemangku tersebut
dipandang sebagai penganut ajaran Dewa Siwa (Siwa Sidhanta). Namun ini tidak berarti
bahwa calon Pemangku tersebut tidak menghormati Dewa Brahma dan atau Dewa Wisnu.
Sedangkan dengan memakai selempot benang tridatu, Pemangku tersebut dianggap akan
mempunyai tugas kewajiban yang lebih luas, yaitu untuk memuja ketiga Dewa Trimurti
yakni Brahma, Wisnu, dan Siwa yang masing-masing berstana di selatan, utara, dan
timur, bahkan ditambah lagi dengan Dewa Mahadewa yang berstana di Barat. Dalam hal
ini Pemangku tersebut akan bertugs memuja empat Dewa pengendali empat penjuru mata
angina. Itulah sebabnya untuk Upacara Pawintenan Samkara Ekajati dipergunakan banten
catur, sebagai simbul pemujaan kehadapan empat Dewa termasuk tadi.

Pada waktu pawintenan, ke badan Pemangku juga disentuh-sentuhkan selembar kain


putih berisi gambar wayang dinamakan Semara Ratih sebagai lambing kasih sayang.
Setelah itu Semara Ratih tersebut lalu diletakkan di pundak yang merupakan perlambang
bahwa seorang Pemangku harus mampu dan siap memikul beban tugas kewajiban dengan
penuh rasa kasih sayang kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta semua
ciptaannya, baik yang berwujud manusia, tetumbuhan maupun panca mahabutha.

Disamping Semara Ratih, Pemangku juga diberikan banten pedamel yakni banten kecil
yang terbuat dari jajan atau bahan-bahan yang dapat dimakan. Unsur rasa dari banten
pedamel itu sangat penting artinya. Dengan banten pedamel yang isinya harus yang
dimakan, seorang Pemangku diharapkan mampu merasakan sad rasa dalam
melaksanakan tugas kewajibannya yaitu rasa manis, rasa asam, rasa pahit, rasa sepet, rasa
asin, dan rasa pedas. Sad rasa disini tentu saja dalam arti kias, yang harus dapat sijiwai
oleh seorang Pemangku dalam melakoni hidup maupun dalam melaksanakan tugas
pekerjaannya sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus sebagai pelayan
masyarakat.

Selanjutnya di kepala Pemangku diikatkan sebuah sirowista yang terbuat dari daun alang-
alang yang berfungsi sebagai alat penyucian diri dan memusnahkan segala pengaruh
negatif. Disamping itu sirowista merupakan juga lambang ardha-candra (bulan),
sedangkan kepala Pemangku sendiri dipangdang sebagai lambang windu (matahari) dan
bunga yang ada pada simpul sirowista sebagai lambang nada (bintang). Dan pucuk bunga
kembang sepatu berwarna merah (lambang Brahma) dianggap paling ideal sebagai
lambang nada tersebut. Ketiganya, (bulan, matahari, dan bintang) merupakan lambang
alam semesta sebagai stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan memakai sirowista
diharapkan agar Pemangku disucikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Mengenai bunga yang dipergunakan untuk sirowista dapat dijelaskan bahwa bunga itu
sebenarnya boleh-boleh saja, artinya bunga apa saja boleh, asalkan bertujuan untuk
memperoleh kebahagiaan bebas dari rasa takut. Tetapi pada umunya yang lazim
dipergunakan adalah pucuk bunga kembang sepatu yang berwarna merah (Brahma),
disertai bunga berwarna putih (Siwa), dan bunga berwarna biru tua (Wisnu).

Dalam Upacara Pawintenan Samkara Ekajati, Pemangku juga diwajibkan menginjak


kepala kerbau, yang melambangkan bahwa seorang Pemangku harus mampu menyerap
kekuatan yang maha besar itu, maka seberat apapun tugas kewajibannya akan dapat
dilaksanakan dengan baik.

Jenis Banten Pawintenan dan Maknanya


Untuk memperluas Pawintenan diperlukan berbagai jenis banten. Dan dilihat dari sudut
banten yang dipergunakan, maka banten Pawintena Pemangku, dapat dibedakan dalam
tiga jenis, tergantung dari banten ayaban yang dipakai :

Pawintenan Sari mempergunakan ayaban Banten Saraswati

Pawintenan Mepedamel mempergunakan ayaban Banten Bebangkit

Pawintenan Samkara Ekajati mempergunakan ayaban Banten Catur

Pawintenan dengan Banten Saraswati adalah penyucian diri dengan memuja Dewi
Saraswati sebagai saktinya Dewa Brahma yang menciptakan ilmu pengetahuan.
Sedangkan pawintenan dengan ayaban Banten Bebangkit adalah penyucian diri dengan
memuja dua Dewa Dewi yakni Dewi Saraswati dan Dewa Gana sebagai putra Bhatarar
Siwa yang berfungsi sebagai pelindung umat manusia. Kemudian pawintenan dengan
ayaban Banten Catur adalah penyusian diri dengan memuja empat Dewa yaitu Dewa
Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Iswara, Dewa Mahadewa sebagai manifestasi Ida Sang
Hyang Widhi Wasa.

Pawintenan Pemangku Suami-Isteri


Pemangku suami isteri dalam melaksanakan upacara pawintenan hendaknya dilakukan
bersama-sama oleh suami dan istrinya. Bila sebelum menikah laki-laki yang diwinten,
maka setelah menikah, pawintenan suami istri harus dengan banten ayaban yang sama
seperti ketika suaminya mawinten dahulu. Upacara pawintenan ulang bagi suami ini
disebut pawintenan masepuh. Dalam suatu rumah tangga, tidak boleh ada suami atau istri
yang salah seorang diantaranya tidak mawinten. Artinya kedua orang baik suami maupun
istri haruslah sudah disucikan.

Pengendalian Diri Melalui Brata, Tapa, Yoga, dan Samadhi


Mereka yang sudah mawinten wajib melaksanakan pengendalian diri secara ketat dengan
cara melakukan brata, tapa, yoga, dan samadhi. Makin tinggi tingkat pawintenannya,
maka makin ketat pula tingkat pelaksanaan brata, tapa, yoga, dan semadhinya. Mungkin
ada yang bertanya, apa yang dimaksud dengn brata, tapa, yoga, dan semadhi itu. Berikut
adalah penjelasan secara singkat :

Brata adalah usaha pengendalian diri dengan pengekangan hawa nafsu

Tapa metupakan usaha pengendalian diri agar selalu berada dalam jalur ajaran-ajaran
agama

Yoga berarti pengendalian diri dengan tujuan agar selalu ingat dan karena itu selalu
memuja kebesaran dan kemuliaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
Semadhi berarti pengendalian diri dengan penyerahan diri sepenuhnya kepada
kemahakuasaan Tuhan

Untuk dapat melaksanakan brata, tapa, yoga, dan semadhi dengan baik, maka orang
sudah mawinten, harus selalu memelihara kondisi lahir maupun batinnya dengan baik dan
tertib agar tidak menjadi cemer. Yang dimaksud dengan cemer disini adalah :

Cemer yang disebabkan oleh pikiran, perbuatan, dan perkataan yang menyimpang dari
ajaran Agama

Cemer yang disebabkan oleh kasepungan, yaitu keadaan cuntaka yang berasal dari luar
dirinya

Misalnya menyantap suguhan di tempat orang meninggal atau ngaben dan atau turut
memandikan layon orang yang meninggal termasuk dalam pengertian cemer tingkat
kedua. Apabila menjadi cemer, maka orang yang sudah mawinten harus manyucikan diri
kembali sesuai dengan tingkat kecemerannya, misalnya dengan cara meprayascitta saja
atau bila perlu dengan mawinten ulang atau masepuh.

Bahkan I GB. Sugriwa dalam bukunya berjudul Dwijendra Tatwa menjelaskan ajaran
Empu Sang Kaliputih yang menguraikan bahwa Pemangku tidak kena hokum cuntaka
(sebel), tetapi dilarang menjenguk dan makan minum suguhan orang yang sedang
kematian (namping watang).

Dalam kaitan ini, Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Nawa Sandhi (Raditya No.
82/2004) menegaskan bahwa Pemangku dan semua orang yang sudah mawinten jika
memegang jenasah dan kaungkulin Tirtha Pengentas, maka pawintenannya harus diulangi
kembali, dengan istilah di Bali disebut Masepuh dan tidak cukup dengan mabeakala,
maprayascita, apalagi hanya mebanyuawangan saja. Mebanyuawangan hanya berlaku
bagi orang lain (pelayat) yang bukan keluarga, yang dilakukan segera setelah pulang dari
melayat. Jika sekiranya jenasahnya bermalam beberapa hari, maka setiap kali pulang
melayat orang yang bersangkutan (bukan keluarga) harus mebanyuawangan. Banyu
artinya air dan awing berarti pengentas kesucian. Banyuawang tirtha yang terbuat dari air
kelapa gading muda yang diisi tepung tawar, semacam banten kecil yang terdiri dari
arang jaja uli, beras putih, beras merah, daun dapdap diiris-iris disertai lis dan jejahitan
daun kelapa muda.

Disamping brata, tapa, yoga, dan semadhi, orang yang sudah mawinten perlu juga
memahami, mendalami, dan melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang yama-niyama
brata (pengendalian diri), sad-ripu (enam jenis sifat yang buruk), sad-atatayi (enam jenis
perbuatan yang kejam), trikaya Parisuddha, astabarata dan lain-lain.

9. NAMA PANGGILAN SEORANG PEMANGKU


Nama panggilan seorang Pemangku dibedakan sbb. :
Bapa Mangku, Made Mangku, Ketut Mangku, dll. adalah nama panggilan bagi
Pemangku yang telah diwinten dengan Upacara Pawintenan Sari

Jero Mangku adalah nama panggilan bagi Pemangku yang telah diwinten dengan
Upacara Pawintenan Mepedamel

Jero Gede adalah nama panggilan bagi Pemangku yang telah diwinten dengan Upacara
Samkara Ekajati

Dalam prektek seorang Pemangku dinamakan pula Jan Banggul Ida Bhatara. Ada juga
yang menyebutnya Jero Tapakan. Di luar Bali seorang Pemangku ada yang
menamakannya Wasi. Tetapi ketiganya bukanlah nama panggilan, tetapi sebagai padanan
dari kata Pemangku. Dalam Maha Sabha II PHDI tahun 1968, rokhaniawan Pemangku
dinamakan Pinandita. Hal ini untuk menyamakan persepsi umat Hindu di Indonesia.
Ketetapan itu untuk memberi arah dan pengertian yang jelas kepada umat. Pinandita tentu
berbeda dengan Pandita atau atau Pendeta. Tegasnya Pinandita adalah Pemangku,
sedangkan Pandita atau Pendeta adalah Sulinggih.

Tetapi baik Sulinggih maupun Pinanadita sangat diperlukan oleh umat Hindu. Hal ini
karena persoalan hidup beragama dimasa depan nampaknya akan menjadi semakin
kompleks. Karena itu umat Hindu memerlukan Pinandita dan atau Pendeta, bukan saja
pada waktu bersembahyang atau melaksanakan upacara yajna. Dalam berbagai persoalan
hidup dan kehidupan lainnya pun umat memerlukan pula tuntunan dari Pendeta dan atau
Pemangku. Tujuannya tidak lain adalah agar semua umat manusia dapat hidup rukun dan
damai, hidup tenang dan tentram, selalu dijauhkan dari perselisihan dan pertentangan,
dijauhkan dari pikiran, perkataan, dan perbuatan yang tidak baik.

Itulah sebabnya mengapa seorang Pemangku perlu terus belajar dan belajar lagi. Agar
benar-benar dapat menjadi seorang pelayan umat sekaligus pelayan Ida Sang Hyang
Widhi, maka seorang Pemangku atau Pinandita tidak cukup hanya berbekal kemampuan
untuk menghafal Puja Stawa saja. Janganlah berbangga diri, apalagi bersikap arogan dan
merasa lebih dari orang lain, hanya karena sudah merasa lancer dan pandai mengucapkan
Puja Stawa atau Mantram, yang barangkali juga belum diketahui maknanya. Sekali lagi,
seorang Pemangku hendaklah tidak menutup diri dari ilmu, khususnya ilmu agama.
Seorang Pemangku hendaknya juga menyiapkan diri dengan berbagai ilmu pengetahuan
lain yang menyangkut berbagai persoalan tentang hidup dan kehidupan masyarakat.

Yang lebih penting lagi adalah bahwa seorang Pemangku atau calon Pemangku wajib
membekali dirinya dengan moral dan mental yang luhur serta tangguh. Semua itu untuk
dapat menegakkan swadharma dalam menuntun umat mewujudkan ajaran agama dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga benar-benar menjadi manusia panutan.

10. PAKAIAN PEMANGKU


Dalam melaksanakan tugasnya sebagai Pemangku, pakaian Pemangku dibedakan untuk
Pemangku dengan sebutan Jero Mangku dan dengan nama panggilan Jero Gede.
Pakaian Pemangku yang bergelar Jero Mangku pada waktu melakukan tugas
kepemangkuan adalah :

v Destar (udeng) petak (putih)

v Kwaca (baju) petak (putih)

v Kampuh (saput) petak (putih atau kuning)

v Wastra (kain) petak (putih)

v Dandanan rambut magelung anyondong yang ditutup destar bongkos nangka

Pakaian Pemangku dengan gelar Jero Gede pada saat melaksanakan tugas sebagai
Pemangku adalah :

v Dandanan rambut panjang magelung anyodong rapi, rambut meperucut menghadap ke


belakang yang selalu ditutup destar putih

v Baju putih berbentuk jas tertutup tangan pendek atau kemeja putih tangan panjang

v Kampuh kuning

v Wastra putih, melelancingan

11. TINGKAT-TINGKATAN PEMANGKU


Berdasarkan besar kecilnya Pura yang diemong, Pemangku dapat dibedakan sbb. :

a) Pemangku Sanggah/Merajan adalah Pemangku yang bertugas di Sanggah atau Merajan


keluarga

b) Pemangku Pura Paibon adalah Pemangku yang mendapat tugas untuk ngempon Pura
Paibon, yang disungsung oleh sekitar 20 keluarga yang masing-masing telah memiliki
Sanggah/Merajan tersendiri. Pemangku untuk Pura Paibon ini biasanya bergelar Jero
Mangku

c) Pemangku Pura Dadia/Pura Panti/Pura Batur merupakan Pemangku yang mendapat


tugas untuk ngempon Pura Dadia yang dinamakan pula Pura Panti atau ada juga yang
menyebutnya sebagai Mangku Agung atau Mangku Gede, sama dengan gelar Pemangku
di Pura Puseh, Pura Desa, dan Pura Dalem (Kahyangan Tiga Desa)

d) Pemangku Pura Kawitan adalah Pemangku yang mendapat tugas untuk ngempon Pura
Kawitan. Pemangku ini bergelar Jero Gede atau ada juga yang menamakannya Ida Gede,
sama dengan gelar untuk Pemangku di Pura Sad Kahyangan Jagad
Pemangku juga dapat dibedakan berdasarkan jenis Pura yang diemongnya, yaitu :

a) Pemangku Pura Sad Kahyangan

b) Pemangku Pura Dang Kahyangan

c) Pemangku Pura Kahyangan Tiga

d) Pemangku Sanggah/Merajan, Pemangku Pura Paibon, Pemangku Pura Dadia (Pura


Panti atau Pura Batur), Pemangku Pura Kawitan, sebagaimana sudah dijelaskan diatas

12. HAK-HAK PEMANGKU


Sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus pelayan masyarakat, seorang
Pemangku sudah selayaknya diberikan kebebasan dari kewajiban tertentu disamping juga
hak-hak yang sepatutnya, sebagai imbalan atas pengabdiannya yang tulus dan ikhlas
untuk ngayah tanpa pamrih :

1) Pemangku dibebaskan dari ayahan desa, sesuai dengan tingkat kepemangkuannya

2) Pemangku dapat menerima bagian sesari ataupun aturan sesangi dari Pura yang
diemongnya. Pembagiannya adalah sebagai berikut :

Sepertiga bagian untuk Pura, yang dapat dipergunakan untuk membeli perlengkapan
Pura

Sepertiga bagian untuk dibagikan untuk para Pemangku yang bertugas di Pura tersebut

Sepertiga bagian untuk Pengurus Pura termasuk penjaga Pura dan petugas lainnya jika
ada

3) Pemangku dapat menerima bagian hasil pelaba Pura, sepanjang Pura yang diemongnya
memiliki pelaba Pura. Mengenai bagian yang dapat diberikan kepada Pemangku
ditentukan oleh Pengurus Pura berdasarkan kesepakatan Krama Dadia

13. WEWENANG, TUGAS, DAN KEWAJIBAN PEMANGKU


Setiap umat manusia memiliki swadharma atau tugas kewajiban tersendiri. Demikian
pula halnya dengan Pemangku. Adapun kewenangan Pemangku dapat diuraikan sebagai
berikut :

a. Menyelesaikan upacara pujawali atau piodalan sampai tingkat piodalan pada Pura yang
diemongnya

b. Apabila Pemangku menyelesaikan upacara diluar Pura yang diemongnya atau upacara
yajna itu diselenggarakan di luar Pura atau jenis upacara yajna tersebut bersifat rutin,
seperti pujawali atau piodalan, Manusia Yajna dan Bhuta Yajna, yang seharusnya
memepergunakan tirtha Sulinggih, maka Pemangku diperkenankan nganteb banten
upacara termaksud dengan menggunakan tirtha Sulinggih

c. Pemangku berwenang menyelesaikan upacara rutin di dalam Pura yang diemongnya


dengan cara mepuja atau mesa termasuk mohon tirtha kehadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa dan Bhatara-Bhatari yang melinggih atau yang distanakan di Pura tersebut,
termasuk yajna membayar kaul dan lain-lain

d. Dalam penyelesaian upacara Bhuta Yajna atau Caru, Pemangku diberi wewenang
menyelesaikan upacara Bhuta Yajna maksimal sampai dengan tingkat panca sata dengan
mempergunakan tirtha Sulinggih

e. Delam berhubungan dengan menyelesaikan upacara Manusia Yajna, Pemangku diberi


wewenang mulai dari upacara bayi lahir sampai dengan otonan biasa dengan
menggunakan tirtha Sulinggih

f. Dalam hubungan dengan menyelesaikan upacara Pitra Yadnya, Pemangku diberi


wewenang sampai mendem sawa sesuai dengan catur dresta

Dengan demikian Pemangku mempunyai wewenang untuk :

a. Nganteb Upakara/Upacara di Pura atau Kahyangan yang diemongnya

b. Dapat ngeloka pala srayasampai dengan madudus alit, sesuai dengan tingkat
pawintenannya

14. PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN NGANTEB UPAKARA


Pada saat akan nganteb baten, Pemangku terlebih dahulu katuran panguleman
(pemberitahuan) berupa canangsari yaitu sebagai permakluman kehadapan Hyang Taksu
(susuhanannya) bahwa Pemangku akan melaksanakan tugasnya untuk nganteb upakara
(banten). Hal ini tentu tergantung dari desa kala patra atau kebiasaan atau tradisi
setempat.

Selanjutnya penggunaan sarana bagi seorang Pemangku juga tidak sama di suatu daerah
dengan daerah lainnya. Di daerah tertentu ada yang menggunakan sarana seperti di
bawah ini :

1) Di suatu upacara (di tempat nganteb banten) disiapkan sebuah Daksina Pelinggih,
peras, ajuman, lengawangi, buratwangi, dan canangsari berisi sesari, dengan jinah bolong
550 kepeng

2) Banten yang di tempatkan di Sanggar Surya (Sanggar Tawang) adalah banten suci
lengkap, dan canangsari serta daksina
3) Untuk pengastawan tirtha dipergunakan sangku atau payuk anyar

4) Selesai nganteb banten, di rumah Pemangku disediakan labaan (pengluar) dan Daksina
Pelinggih, untuk dihaturkan kehadapan Hyang Taksu sebagai pertanda bahwa upacara
telah selesai

5) Banten upacara untuk nganteb terdiri dari :

\ Daksina Pejati, meruntun peras, ajuman, dan canangsari dengan sesantun 4000 kepeng
jinah bolong

\ Dalam upacara pedudusan dilengkapi dengan banten bebangkit, pulegembal, gelarsanga,


dan pasipatan

\ Suci alit, lengewangi, buratwangi, banyu awing

\ Bunga yang harum

\ Kalpika 33 biji

6) Piranti pemujaan terdiri atas :

\ Sebuah dulang kuningan atau dulang kayu yang dipergunakan khusus untuk itu

\ Sagku tempat tirtha

\ Pedupaan

\ Bajra/Genta

\ Tempat bija

\ Tempat bunga

(Dikutip dari buku DASAR-DASAR KEPEMANGKUAN "Suatu Pengantar dan Bahan


Kajian bagi Generasi Mendatang" oleh Drs. K.M. Suhardana, diterbitkan oleh
PARAMITA Surabaya 2006)
Diposkan oleh Giri Kusuma di 00.26
Label: Kepemangkuan
3 KOMENTAR:
Karmapooja Sai Ramadipta mengatakan...
Terima kasih telah menuntun saya untuk mengerti dengan kepemangkuan, yang
saya kurang mengerti adalah mengapa istilah Hyangbangul (pemangku) ring Pura
Mrajapati tidak dikupas. Karena saat ini saya dikatakan Kejumput dados
Pemangku ring Pura Mrajapati. Olih orang kerauhan (Ida Paseban Ratu Gede)
saya dikatakan secara Niskala telah diwinten (hal ini karena saya mengalami
mimpi telah meninggal dan mayat saya diusung olih orang banyak dibawa ke
setra untuk dibakar, Ida Betara Hyang Mrajapati telah menempuh perjalanan
panjang (sampai 7 keturunan) untuk menemukan saya. Tugas untuk mewinten
saya (Skala) adalah tugas desa bukan tugas pribadi. LALU apa saja tugas &
kewajiban saya sebagai Pemangku/Hyangbangul di Pura Mrajapati? Mohon
tuntunan Penulis. Boleh dikirim ke adiptayasa@gmail.com

9 November 2010 06.34

elangbiru3004 mengatakan...
Terima kasih atas postingnya.. sangat berguna untuk tugas yang sedang saya
kerjakan, mengenai dharma acharya... semoga tulisan-tulisan yang dimuat di
kolom ini dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat khususnya yang
beragama hindu. satyam eva jayate....

29 Desember 2013 01.48

dewa wibawa mengatakan...


petunjuk dan posting kepemangkuan sangat bagus sekali, namun saya mohon
pencerahan lagi tentang tata laksana atau pelaksanaan kepemangkuan, disini yang
saya tanyakan mungkin saya pernah melihat seorang pemangku saat puja
pengastawa dimerajan keluarga atau sanggah ngastawa dari bale piyasan (duduk
di bale piyasan) apa kah dibenarkan seperti itu menurut lontar atau weda? mohon
pencerahannya terima kasih. tuntunan boleh dikirim lewat
email:dewa_kt_wibawa@yahoo.co.id.

2 April 2014 19.05

Anda mungkin juga menyukai