TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kelainan Refraksi
Kelainan refraksi mata adalah suatu keadaan dimana bayangan tidak dibentuk tepat di
retina, melainkan di bagian depan atau belakang bintik kuning dan tidak terletak pada satu titik
yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam beberapa bentuk, yaitu: miopia, hipermetropia, dan
astigmatisma (Ilyas, 2013).
Kelainan refraksi merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata sehingga pembiasan
sinar tidak difokuskan pada retina atau bintik kuning. Sistem optik diperlukan untuk
memasukkan sinar atau bayangan benda ke dalam mata. Diketahui bola mata mempunyai
panjang kira - kira 2 cm, untuk memfokuskan sinar ke dalam bintik kuning (bagian selaput jala
yang menerima rangsangan) diperlukan kekuatan 50.0 dioptri. Lensa berkekuatan 50.0 dioptri
mempunyai titik api pada titik 2.0 cm (Ilyas, 2006).
Penurunan visus biasanya disebabkan oleh kelainan refraksi. Biasanya penderita telah
mendapat kacamata dari seorang optometris. Penglihatan penderita yang buruk dapat disebabkan
oleh kelainan refraksi, hal ini dapat diketahui dengan menggunakan pinhole. Pada mata tanpa
kelainan refraksi (emetropia), sinar dari kejauhan difokuskan pada retina oleh kornea dan lensa
pada saat mata dalam keadaan istirahat (relax). Peran kornea adalah dua per tiga dan lensa
berperan sepertiga dari daya refraksi mata. Kelainan kornea, misalnya keratokonus, bisa
menyebabkan kelainan refraksi yang berat (A R Elkington, 1996).
Pada mata yang tidak memerlukan kaca mata terdapat 2 sistem yang membiaskan sinar
yang menghasilkan kekuatan 50.0 dioptri. Kornea atau selaput bening mempunyai kekuatan 80%
atau 40 dioptri dan lensa mata berkekuatan 20% atau 10 dioptri. Bila kekuatan pembiasan ini
berubah, maka sinar akan difokuskan lebih di depan selaput jala (seperti rabun jauh, miopia), dan
dapat dikoreksi dengan menggunakan kacamata negatif atau sinar difokuskan di belakang selaput
jala seperti pada rabun dekat (hipermetropia), yang dapat dikoreksi dengan menggunakan lensa
positif. Bila pembiasan sinar tidak pada satu titik atau pada astigmat dapat dikoreksi dengan
menggunakan lensa silinder (Ilyas, 2006).
Refraksi adalah titik fokus jauh dasar (tanpa bantuan alat) yang bervariasi di antara mata
individu normal, tergantung bentuk bola mata dan korneanya. Mata emetrop secara alami
memiliki fokus yang optimal untuk penglihatan jauh. Mata ametrop (yakni, mata miopia,
hipermetropia, atau astigmatisma) memerlukan lensa koreksi agar terfokus dengan baik untuk
melihat jauh. Gangguan optik ini disebut kelainan refraksi. Refraksi adalah prosedur untuk
menentukan dan mengukur setiap kelainan optik (Vanghan & Asbury, 2012).
Pada keadaan tidak terfokusnya sinar pada selaput jala, hal yang dapat dilakukan adalah
memperlemah pembiasan sinar seperti miopia (rabun jauh) dengan mengunakan lensa negatif
untuk memindahkan fokus sinar ke belakang atau selaput jala. Bila sinar dibiaskan di belakang
selaput jala seperti pada hipermetropia (rabun dekat) maka diperlukan lensa positif untuk
menggeser sinar ke depan sehingga penglihatan semakin jelas. Lensa positif ataupun lensa
negatif dapat digunakan dalam bentuk kaca mata ataupun lensa kontak. Penggeseran bayangan
sinar dapat pula dilakukan dengan tindakan bedah yang dinamakan bedah refraktif (Ilyas, 2006).
Daya refraksi mata ditentukan oleh daya refraksi media yang bening dan panjang sumbu
mata. Media yang bening adalah kornea, bilik mata depan, lensa, dan badan kaca. Panjang
sumbu mata normal kira-kira 24 mm. Jika panjang sumbu mata bertambah l mm (menjadi 25
mm), maka terjadi miopia -3 dioptri. Daya refraksi mata emetropia adalah 65 dioptri, 42 dioptri
oleh kornea dan 23 dioptri oleh lensa, sehingga cairan mata dan badan kaca tidak memiliki daya
refraksi (Fritz Hollwich, 1993).
Kelainan refraksi adalah keadaan bayangan tegas tidak dibentuk pada retina. Secara
umum, terjadi ketidakseimbangan sistem penglihatan pada mata sehingga menghasilkan
bayangan yang kabur. Sinar tidak dibiaskan tepat pada retina, tetapi dapat di depan atau di
belakang retina dan tidak terletak pada satu titik fokus. Kelainan refraksi dapat mengakibatkan
terjadinya kelainan kelengkungan kornea dan lensa, perubahan indeks bias, dan kelainan panjang
sumbu bola mata. Ametropia adalah suatu keadaan mata dengan kelainan refraksi sehingga pada
mata yang dalam keadaan istirahat memberikan fokus yang tidak terletak pada retina. Ametropia
dapat ditemukan dalam bentuk kelainan miopia (rabun jauh), hipermetropia (rabun dekat), dan
astigmatisma (Perdami, 2010)
Interpretasi yang tepat mengenai informasi visual bergantung pada kemampuan mata
memfokuskan berkas cahaya yang datang ke retina. Mata emetrop (normal) secara alami
berfokus optimal bagi penglihatan jauh. Sedangkan mata ametrop (yakni, mata hipemetropia,
miopia, atau astigmatisma) memerlukan lensa koreksi agar terfokus dengan baik dan ganggguan
optik ini disebut kelainan refraksi. Kelainan refraksi bersifat herediter. Cara pewarisannya
kompleks, karena melibatkan banyak variabel. Walaupun diwariskan, kelainan refraksi tidak
harus ada sejak lahir (Vaughan DG, 2000).
Refraksi dapat ditentukan secara subyektif, yaitu dengan menempatkan lensa di depan
masing- masing mata, ataupun secara obyektif yang dapat ditentukan dengan menggunakan
retinoskopi atau refrakstometer. Untuk menentukan refraksi pada anak-anak dianjurkan untuk
melumpuhkan akomodasi (sikloplegia) dengan menggunakan obat tetes mata (atropin, siklogil)
(Fritz Hollwich, 1993).
Sinar dari obyek dekat ialah divergen dan difokuskan ke retina oleh proses akomodasi.
Otot-otot siliar berkontraksi, memungkinkan bentuk lensa lebih cembung yang memiliki
kemampuan konvergensi lebih besar. Semakin tua lensa makan akan semakin bertambah kaku
dan walaupun otot-otot siliar berkontraksi, lensa tidak bertambah cembung. Hal ini mulai terjadi
pada usia 40 tahun ke atas, dimana pekerjaan jarak dekat berangur-angsur sukar dikerjakan
(presbiopia). Obyek mesti diposisikan lebih jauh untuk mengurangi kebutuhan daya akomodasi.
Dalam keadaan seperti ini, detil-detil halus tidak lagi dapat terlihat (A R Elkington, 1996).
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri atas
kornea, cairan mata, lensa, benda kaca, dan panjangnya bola mata. Pada orang normal, susunan
pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya bola mata demikian seimbang sehingga
bayangan benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea. Mata
yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat di
retinanya, saat mata tidak melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh. Dikenal beberapa
titik di dalam bidang refraksi, yaitu Pungtum Proksimum, yang merupakan titik terdekat yang
masih dapat dilihat dengan jelas oleh seseorang. Titik ini merupakan titik dalam ruang yang
berhubungan dengan retina atau foveola saat mata istirahat. Pada emetropia pungtum remotum
terletak di depan mata, sedangkan pada mata hipermetropia titik semu berada di belakang mata
(Ilyas, 2013).
2.1.1. Miopia
Miopia atau rabun jauh adalah suatu keadaan mata yang mempunyai kekuatan pembiasan
sinar yang berlebihan sehingga sinar sejajar yang datang dibiaskan di depan retina (Perdami,
2014). Bila bayangan benda yang terletak jauh difokuskan di depan retina oleh mata yang tidak
berakomodasi, mata tersebut mengalami miopia, atau rabun jauh (Vanghan & Asbury, 2012).
Pada mata miopia, sinar sejajar yang masuk ke dalam mata difokuskan di dalam badan
kaca. Jika penderita miopia tanpa koreksi melihat ke obyek yang jauh, maka sinar divergen yang
akan mencapai retina sehingga bayangan menjadi kabur. Hal ini disebabkan daya refraksi terlalu
kuat atau sumbu mata terlalu panjang (Fritz Hollwich, 1993).
Secara fisiologik sinar yang difokuskan pada retina terlalu kuat sehingga membentuk
bayangan kabur atau tidak tegas pada makula lutea. Titik fokus sinar yang datang dari benda
yang jauh terletak di depan retina. Titik jauh (pungtum remotum) terletak lebih dekat atau sinar
datang tidak sejajar (Ilyas, 2006).
Miopia dapat dibedakan menjadi beberapa tipe yaitu myopia axial, miopia kurvatura,
miopia indeks refraksi dan perubahan posisi lensa (Perdami, 2014).
Pada mata dengan simple myopia, status refraksinya disebabkan oleh dimensi bola mata
yang terlalu panjang, atau indeks bias kornea maupun lensa kristalin yang terlalu tinggi
(American Optometric Association, 2006). Mata dengan Nokturnal myopia adalah miopia yang
hanya terjadi pada saat kondisi di sekitar kurang cahaya atau gelap. Hal ini dikarenakan fokus
titik jauh mata seseorang bervariasi terhadap level pencahayaan yang ada. Miopia ini disebabkan
oleh pupil yang membuka terlalu lebar untuk memasukkan lebih banyak cahaya, sehingga
menimbulkan aberasi dan menambah kondisi miopia (American Optometric Association, 2006).
Pseudomyopia merupakan hasil dari peningkatan kekuatan refraksi okular akibat
overstimulasi terhadap mekanisme akomodasi mata atau spasme siliar. Disebut pseudomyopia
karena pasien hanya menderita miopia oleh karena respon akomodasi yang tidak sesuai
(American Optometric Association, 2006).
Degenerative myopia disebut juga malignant, pathological, atau progressive myopia.
Perubahan malignant dapat terjadi karena gangguan fungsi penglihatan, seperti perubahan
lapangan pandang. Glaukoma dan Retinal detachment adalah sekuele yang sering terjadi
(American Optometric Association, 2006).
Induced myopia disebut juga acquired myopia, merupakan miopia yang diakibatkan oleh
pemakaian obatobatan, kadar gula darah yang bervariasi maupun terjadinya sklerosis pada
nukleus lensa. Acquired myopia bersifat sementara dan reversibel (American Optometric
Association, 2006).
Gejala miopia terpenting yang timbul ialah buram saat melihat jauh, sakit kepala dan
cenderung menjadi juling saat melihat jauh. Pasien akan lebih jelas melihat dalam posisi yang
lebih dekat. Penatalaksanaan pasien dengan miopia adalah dengan memberikan koreksi sferis
negative terkecil yang memberikan ketajaman pengelihatan maksimal (Perdami, 2014).
2.1.2. Hipermetropia
Hiperopia (hipermetropia, farsightedness) adalah keadaan mata tak berakomodasi yang
memfokuskan bayangan di belakang retina. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya panjang
sumbu (hiperopia aksial), seperti yang terjadi pada kelainan kongenital tertentu, atau
menurunnya indeks refraksi (hiperopia refraktif), seperti pada afakia. Hiperopia adalah suatu
konsep yang lebih sulit dijelaskan daripada miopia. Istilah "farsighted" berperan dalam
menimbulkan kesulitan tersebut, selain juga seringnya terdapat kesalahpahaman di kalangan
awam bahwa presbiopia adalah farsightedness dan bahwa seseorang yang melihat jauh dengan
baik artinya farsighted (Vanghan & Asbury, 2012).
2.1.3. Astigmatisme
Astigmatisma adalah keadaan dimana sinar sejajar tidak dibiaskan secara
seimbang pada seluruh meridian. Pada astigmatisma regular terdapat dua meridian
utama yang terletak saling tegak lurus. Gelaja astigmatisma biasanya dikenali dengan
penglihatan yang kabur, head tilting, mempersempit palpebra dan mendekati objek untuk
melihat lebih jelas. Penatalaksanaan astigmatisma dilakukan dengan lensa silinder
bersama sferis (Perdami, 2014).
Astigmatisma merupakan suatu kondisi dimana kornea memiliki lengkungan yang
abnormal, sehingga menyebabkan gangguan penglihatan. Kornea yang normal
berbentuk bulat, tetapi pada astigmatisma kornea berbentuk oval, sehingga
menyebabkan ketidakfokusan pada cahaya yang masuk ke mata.
Astigmatisma merupakan kondisi yang umum diderita dan sering terjadi
bersamaan dengan miopia (rabun jauh) atau hiperopia (rabun dekat). Penyebab
astigmatisma seringkali tidak diketahui. Astigmatisma biasanya ada sejak lahir. Tahap
astigmatisma yang kecil dianggap normal dan biasanya tidak memerlukan koreksi
apapun. Meskipun jarang, astigmatisma mungkin juga disebabkan oleh seringnya
menggosok mata dengan keras (seperti pada anak yang mengidap alergi konjungtivitis)
atau penyakit kornea mata seperti keratokonus. Astigmatisma dapat dikoreksi dengan
lensa korektif seperti kacamata atau lensa kontak. Alat bantu penglihatan ini dapat
membantu memfokuskan cahaya yang masuk ke retina mata. Cara lain untuk
mengkoreksi astigmatisma adalah operasi refraktif seperti LASIK, dan implan lensa
kontak (Singapore National Eye Centre, 2014).
Astigmatisme adalah kekuatan optik kornea di bidang yang berbeda tidak sama.
Sinar cahaya paralel yang melewati bidang yang berbeda ini jatuh ke titik fokus yang
berbeda (Bruce James, 2006).
Bayi yang baru lahir biasanya mempunyai kornea yang bulat atau sferis yang di
dalam perkembangannya terjadi keadaan yang disebut sebagai astigmatisme with the
rule (astigmat lazim) yang berarti kelengkungan kornea pada bidang vertikal bertambah
atau lebih kuat atau jari-jarinya lebih pendek dibanding jari-jari kelengkungan kornea di
bidang horizontal. Pada keadaan astigmat lazim ini diperlukan lensa silinder negatif
dengan sumbu 180 derajat untuk memperbaiki kelainan refraksi yang terjadi (Ilyas,
2013).
Pada usia pertengahan kornea menjadi lebih sferis kembali sehingga astigmat
menjadi againts the rule (astigmat tidak lazim).
Astigmat tidak lazim (astigmatisme againts the rule): Suatu keadaan kelainan
refraksi astigmat dimana koreksi dengan silinder negatif dilakukan dengan sumbu
tegak lurus (60-120 derajat) atau dengan silinder positif sumbu horizontal (30-150
derajat). Keadaan ini terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian horizontal
lebih kuat dibandingkan kelengkungan kornea vertikal. Hal ini sering ditemukan
pada usia lanjut.
Astigmat regular: Astigmat yang memperlihatkan kekuatan pembiasan bertambah
atau berkurang perlahan-lahan secara teratur dari satu meridian ke meridian
berikutnya. Bayangan yang terjadi pada astigmat regular dengan bentuk yang teratur
dapat berbentuk garis, lonjong atau lingkaran.
Astigmat iregular: Astigmat yang terjadi tidak mempunyai 2 meridian saling tegak
lurus. Astigmat iregular dapat terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian
yang sama berbeda sehingga bayangan menjadi iregular. Astigmatisme iregular
terjadi akibat infeksi kornea, trauma dan distrofi atau akibat kelainan pembiasan
pada meridian lensa yang berbeda.