Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Lupus Eritematosus (LE) adalah kelainan otoimun kronik dengan berbagai

presentasi klinis.1 Lupus Eritematosus Neonatal (LEN) atau Sindrom Lupus Neonatal

(SLN) adalah sebuah sindrom yang langka dan hanya terlihat pada 1-2% neonatus

yang mendapatkan transfer otoantibodi terhadap protein Sindrom Sjogren A/Robert

(SSA/Ro) dan Sindrom Sjogren B/Lane (SSB/La) secara pasif dari ibu yang

asimtomatik atau bergejala dengan Sindrom Sjogren, Lupus Eritematosus Sistemik

(LES), atau penyakit jaringan ikat lainnya. Penyakit ini memiliki manifestasi klinis

pada kulit, jantung, atau yang jarang terjadi adalah manifestasi hematologi, dan

kombinasi dari beberapa manifestasi tersebut.2

Lupus Eritematosus Neonatal terjadi pada 1 dari 20.000 kelahiran hidup di

Amerika Serikat. Lupus Eritematosus pada usia anak anak terjadi pada 0,6-2,2 dari

100.000 anak setiap tahunnya.3 Di Indonesia belum ada data mengenai

epidemiologi . Dari data di Subbagian Perinatologi dan Alergi Imunologi SMF Ilmu

Kesehatan Anak RS Hasan Sadikin didapatkan dua kasus selama tahun 2014 dan satu

kasus pada tahun 2015.

Lupus Eritematosus Neonatal dapat terjadi akibat otoantibodi yang berasal dari ibu

hamil dan akan menyebabkan proses peradangan pada berbagai organ janin yang

1
sedang berkembang, terutama jantung dan kulit. Otoantibodi maternal akan

menyebabkan apoptosis pada kardiosit yang secara lanjut akan menyebabkan fibrosis

pada area nodus atrioventrikuler (AV) yang merupakan bagian dari sistem konduksi

jantung. Hal ini pada akhirnya akan menyebabkan Congenital Heart Block sebagai

manifestasi utama dari LEN. Otoantibodi tersebut juga dapat menumpuk pada sel

integumen fetus dan memberikan gambaran seperti Cutaneous Lupus Erythematosus

terutama setelah bayi lahir dan terpapar pada sinar matahari.4,5,6

Beberapa pemeriksaan serologis berperan untuk membantu diagnosis LEN

meliputi pemeriksaan anti nuclear antibody (ANA) serta pemeriksaan extractable

nuclear antigen (ENA) atau profil ANA. Pemeriksaan profil ANA ini dapat berguna

untuk mendeteksi otoantibodi yang secara spesifik berperan pada patogenesis LEN,

yaitu anti SSA/Ro dan anti SSB/La. 1 Tinjauan pustaka ini akan membahas mengenai

definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, pemeriksaan

serologis, serta alur diagnosis Lupus Eritematosus Neonatal.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Lupus Eritematosus Neonatal (LEN)

Lupus Eritematosus Neonatal (LEN) atau Sindrom Lupus Neonatal (SLN) adalah

sebuah sindrom yang langka dan hanya terlihat pada 1-2% neonatus yang

mendapatkan transfer otoantibodi Sindrom Sjogren A/Robert (SSA/Ro) dan Sindrom

Sjogren B/Lane (SSB/La) secara pasif dari ibu yang asimtomatik atau bergejala

dengan sindrom Sjogren, LES, atau penyakit jaringan ikat lainnya. Karakteristik

meliputi beberapa manifestasi, yaitu: manifestasi kulit, jantung, atau yang jarang

terjadi adalah manifestasi hematologi dan kombinasi dari beberapa manifestasi

tersebut.2 Keberadaan anti-SSA/Ro dan anti-SSB/La yang merupakan faktor risiko

utama terjadinya LEN.7

2.2 Epidemiologi LEN

Lupus Eritematosus Neonatal terjadi pada 1 dari 20.000 kelahiran hidup di

Amerika Serikat. Lupus Eritematosus pada usia anak anak terjadi pada 0,6-2,2 dari

100.000 anak setiap tahunnya. Tidak ada predileksi ras atau suku bangsa pada LEN,

3
namun LEN lebih sering mengenai bayi perempuan dibanding laki laki dengan rasio

2:1.3,8

Di Indonesia, belum ada data mengenai epidemiologi LEN. Dari data di

Subbagian Perinatologi dan Alergi Imunologi SMF Ilmu Kesehatan Anak RS Hasan

Sadikin didapatkan dua kasus selama tahun 2014 dan satu kasus pada tahun 2015.

Risiko terjadinya LEN perlu diperhatikan jika ibu dengan LES memiliki antibodi

anti-SSA/Ro dan anti-SSB/La. Ibu hamil penderita LES dengan antibodi anti-SSA/Ro

atau SSB/La positif akan meningkatkan risiko LEN sebesar 6-13%. Risiko ini akan

semakin tinggi jika ia memiliki riwayat melahirkan anak dengan LEN di kehamilan

sebelumnya.2

Congenital Heart Block (CHB) pada pasien dapat terlihat pada 61% kasus,

manifestasi kulit pada 26,9% kasus, dan manifestasi keduanya pada 8,7% kasus.

Manifestasi lain yang bersifat minor, seperti manifestasi hepatobilier dan hematologi

terjadi pada 3-4% kasus.2

2.3 Faktor Predisposisi LEN

Lupus Eritematosus Neonatal (LEN) terjadi akibat adanya antibodi terhadap

protein Sindrom Sjogren A/Robert (SSA/Ro) dan Sindrom Sjogren B/Lane (SSB/La)

4
yang ditransfer uteroplasental. Keberadaan otoantibodi terhadap protein ini di tubuh

ibu dapat menyebabkan keluhan klinis berupa Lupus Eritematosus Sistemik atau

Sindrom Sjogren.1,7

2.3.1 Protein Sindrom Sjogren A/Robert (SSA/Ro)

Protein sindrom Sjogren A/Robert (SSA/Ro) adalah kompleks peptida yang terdiri

dari protein-protein berukuran 60 kDa dan 52 kDa. Protein ini berikatan secara non-

kovalen dengan ribonucleic acid (RNA) yang berukuran kecil dan kaya akan uridin.

Protein SSA/Ro tersebar pada seluruh jaringan tubuh manusia. Peran dari SSA/Ro

pada manusia normal masih belum banyak dipahami. Penamaan protein ini diberikan

karena diidentifikasi dan diisolasi pertama kali pada pasien Sindrom Sjogren yang

bernama Robert. Alasan terbentuknya anti-SSA/Ro pada manusia masih belum

banyak dipahami, terlebih apabila keberadaannya dihubungkan dengan kondisi klinis

pasien.9

2.3.2 Protein Sindrom Sjogren B/Lane (SSB/La)

Protein Sindrom Sjogren B/Lane adalah protein ribonukleat berukuran 47 kD.

SSB/La sangat rentan terhadap proteolisis sehingga dapat menjadi pecahan yang lebih

5
kecil, namun masih bersifat imunoreaktif. Protein ini pertama kali diidentifikasi pada

pasien Sindrom Sjogren yang bernama Lane. Protein SSB/La paling banyak

bertempat di sekitar nukleus dan diduga berhubungan dengan aktivitas RNA

polimerase. Antibodi terhadap SSB/La paling banyak ditemukan pada pasien dengan

LES dan Sindrom Sjogren. Keberadaan otoantibodi terhadap SSB/La menjadi suatu

dasar patognomonis terhadap penegakan diagnosis Sindrom Sjogren.10,11

2.4 Patogenesis LEN

Hubungan antara LES dengan kehamilan sangat kompleks dan masih terus

diteliti.12 Fertilitas pada wanita dengan LES dianggap normal dan sama dengan

populasi umum.6,12 Namun, janin yang dikandung oleh ibu penderita LES menghadapi

berbagai komplikasi mayor, antara lain: abortus spontan, cacat lahir, sampai lahir

mati.6

Aktivitas LES dalam kehamilan seringkali meningkat sehingga menimbulkan

gejala yang disebut flare.12 Flare pada ibu hamil dengan LES dilaporkan sekitar 6-

13,6%, kasus flare pada ibu hamil dengan LES ini juga tidak dipengaruhi oleh waktu

atau trimester kehamilan. Flare seringkali kambuh dengan timbulnya gejala renal,

artritis, dan gejala kulit. Pasien LES dalam kehamilan dan sedang dalam trimester

6
berapapun yang sedang mengalami flare membutuhkan pemantauan yang ketat untuk

mencegah efek samping yang lebih berat yang bisa membahayakan ibu dan janin.7

Peningkatan aktivitas LES dalam kehamilan diduga akibat peningkatan hormon

estrogen, prolaktin, dan sitokin yang dihasilkan oleh sel T-helper 2. Hal ini

menyebabkan penurunan aktivitas steroid antiinflamasi alami dalam tubuh, yang

memicu semakin aktifnya otoantibodi dan peningkatan proses inflamasi.13

Wanita hamil dengan LES dapat dianggap sebagai ibu hamil risiko tinggi dan

harus dilakukan pemantauan berkala baik kepada ibu dan bayi. Peningkatan peran

sitokin yang dihasilkan oleh sel T-helper 2 mampu menyebabkan proses inflamasi

yang mempengaruhi aliran darah fetomaternal, serta menyebabkan kerusakan

mikrovaskular dan kalsifikasi plasenta. Kerusakan plasenta dan aliran darah

fetomaternal ini dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin (Intra Uterine

Growth Retardation), kematian fetus, persalinan preterm, atau abortus.6,12,13

Congenital Heart Block (CHB) adalah penyakit langka yang disebabkan akibat

kelainan pada struktur jantung dan terjadi pada satu dari 15.000 kelahiran hidup.

Berbagai data menunjukkan bahwa 31% pasien akan meninggal pada bulan pertama

kehidupan, dan 67% dari bayi yang mampu bertahan membutuhkan pacemaker

seumur hidupnya. Bayi yang lahir dengan CHB memiliki titer antibodi anti SSA/Ro

dan SSB/La yang tinggi, dan tingginya titer ini berkaitan dengan kondisi otoimunitas

pada ibu. Antibodi tersebut melintas dari ibu melalui aliran darah fetomaternal diduga

7
pada trimester kedua kehamilan (12-27 minggu). Ketika antibodi ini melintas

transplasental dan memasuki peredarahan darah fetus, antibodi ini dapat

menyebabkan peradangan serta kalsifikasi pada nodus AV dan jaringan miokardium

pada jantung fetus.6

Otoantibodi tersebut dapat memasuki sel miokardium dan menyebabkan pemicuan

apoptosis sel sel jantung.2 Secara normal, sel jantung fungsional ikut mengambil

bagian dalam pembersihan proses apoptosis fisiologis ini, namun proses pembersihan

ini akan dihambat oleh opsonisasi dari otoantibodi maternal yang berasal dari ibu .

Penghambatan apoptosis fisiologis ini akan menghasilkan penumpukan sel sel

apoptotik yang akan menyebabkan inflamasi, menstimulasi makrofag untuk

mensekresikan sitokin terutama Transforming Growth Factor-Beta (TGF-B) yang

nantinya akan merangsang proliferasi fibroblas dan menyebabkan hasil akhir berupa

fibrosis atau scarring dari jaringan konduksi di endokardium dan miokardium

fetus.2,14 Pada Gambar 2.1 dapat dilihat kaskade patogenesis CHB pada pasien LEN

8
Gambar 2.1 Kaskade Patogenenesis Congenital Heart Block pada LEN.

Dikutip dari Osaimi (2012)6

Gambaran histopatologi jantung dari fetus yang mengalami CHB akan

menunjukkan fibrosis dan kalsifikasi dari area nodus AV dan tergantinya sel

miokardium di area tersebut dengan jaringan ikat. Tidak semua bayi dari ibu dengan

anti-SSA/Ro dan anti-SSB/La akan lahir dengan CHB, hal ini belum diketahui

bagaimana patogenesis pastinya, namun diduga berkaitan dengan faktor maternal

(kondisi uterus, plasenta, dan status gizi ibu selama kehamilan).3

Mekanisme kedua yang diduga terlibat dalam patogenesis CHB pada LEN adalah

mekanisme miokarditis, dimana otoantibodi yang memasuki peredaran darah fetus

9
dan mengenai kardiosit akan menyebabkan infiltrasi sel miokardium dan deposisi

komplemen (termasuk C1, C4, C3, C6, dan C9) serta fibrin. Proses inflamasi ini akan

menyebabkan pankarditis yang menghasilkan fibrosis pada sistem konduksi jantung.18

Mekanisme ketiga dari CHB pada LEN adalah mekanisme aritmogenesis dan

penumpukan kalsium intrasel. Antibodi anti-SSA/Ro akan menghambat kanal

kalsium pada kardiosit, sehingga menyebabkan gangguan influks dan efluks kalsium

melalui kanal kalsium tersebut. Hambatan pada kanal kalsium akan menyebabkan

penumpukan kalsium intraselular yang mengakibatkan sel jantung akan kehilangan

kontraktilitas dan kematian sel serta fibrosis. Adapun ketiga mekanisme ini diduga

tidak berdiri sendiri namun berkaitan satu dengan lainnya.18

Lupus Eritematosus Kutaneus (LEK) disebabkan oleh deposisi dari otoantibodi

dari ibu pada area epidermis kulit fetus. Penumpukan otoantibodi di epidermis akan

menyebabkan terekrutnya sel sel peradangan serta pelepasan sitokin oleh sel sel T-

helper, hal ini akan menyebabkan area epidermis meradang dan timbul lesi kulit

berupa skuama yang terkelupas.2,6

Gambaran histologis dari jaringan kulit menunjukkan kerusakan sel basalis

epidermis disertai infiltrasi sel sel mononuklear yang superfisial di dermis bagian atas

dan vakuolisasi pada area perbatasan dermis-epidermis serta pada struktur adnexa

lain. Sementara gambaran imunofluoresens juga menunjukkan adanya deposisi IgG

pada epidermis.2,6,15

10
Otoantibodi maternal dapat pula berdeposisi dan mengenai sistem hepatobilier dan

menyebabkan peningkatan fungsi hepar akibat deposisi IgG pada hepatosit. Namun,

akibat pertumbuhan sel hati yang cepat pada fetus, kerusakan sel sel hepatosit dapat

teratasi sehingga menyebabkan manifestasi hepatobiliar jarang tampak atau tampak

dalam keadaan yang ringan pada saat bayi dilahirkan.18

Otoantibodi dapat pula menyebabkan kelainan pada pemeriksaan hematologi. Hal

ini terutama disebabkan oleh proses peradangan sistemik, namun bersifat transien

sesuai dengan titer antibodi di dalam tubuh fetus.18

2.5 Manifestasi Klinis LEN

Bayi yang lahir dari dengan LEN dapat memiliki manifestasi kardiak, kulit atau

keduanya sekaligus, atau manifestasi klinis lainnya. Manifestasi kardiak biasanya

dapat timbul dan dideteksi pada minggu ke-18 sampai minggu ke-24 kehamilan.

Ruam akibat manifestasi kulit biasanya timbul setelah kelahiran dan menetap sampai

usia 4-5 bulan. Sementara manifestasi hematologi dan hepatobilier jarang ditemukan

dan bersifat transien.2

2.5.1 Congenital Heart Block (CHB)

11
Manifestasi paling berbahaya dan mengancam nyawa dari kasus LEN adalah

Congenital Heart Block komplit, yang lebih sering mengenai bayi perempuan

dibandingkan laki laki, biasanya dapat dideteksi sejak kehamilan 20-24 minggu, dan

dapat terlihat pada 90% kasus pada saat kelahiran. Congenital Heart Block dapat

dideteksi sebagai fetal bradycardia (40-80x/ menit). Bayi dengan LEN yang lahir

dengan PR interval normal dapat berkembang menjadi complete heart block dalam

waktu satu minggu, hal ini menyebabkan pemantauan pasien secara ketat dengan

monitoring dan EKG sangat diperlukan.2,17

2.5.2 Kardiomiopati

Kardiomiopati yang disertai gagal jantung kronis adalah manifestasi kardiak kedua

paling sering ditemui pada kasus LEN. Kardiomiopati pada bayi dengan LEN dapat

disertai CHB atau tidak. Penyebab kardiomiopati yang paling sering adalah fibrosis

yang meluas dari area nodus AV ke miokardium sekitarnya, selain itu kardiomiopati

dapat juga disebabkan oleh dilatasi ventrikel yang terjadi akibat meningkatnya stroke

volume yang disebabkan oleh bradiaritmia kronis.2,18

Gejala klinis yang menyertai kasus kardiomiopati pada neonatus dengan LEN

dapat berupa sesak nafas yang memburuk ketika menangis, denyut jantung yang

12
lambat, infeksi paru yang sering dan berulang, adanya murmur atau gallop yang

menandakan adanya proses stenosis atau regurgitasi katup jantung.2,4,17

2.5.3 Lupus Eritematosus Kutaneus (LEK)

Manifestasi ini terdapat pada 15-30% kasus LEN dan mungkin lebih tinggi karena

kebanyakan ruam di kulit tidak terlaporkan atau terlaporkan sebagai ruam yang

dianggap biasa pada bayi. Lupus Eritematosus Kutaneus ditemukan lebih sering pada

bayi perempuan dibandingkan laki laki.1,2 Gambaran klinis LEK dapat berupa:

1. Plak kemerahan anuler dengan skuama, dan bisa berkembang menjadi lesi

atropik, namun jarang menimbulkan luka. Lesi seperti ini umumnya tidak

muncul saat kelahiran, namun bisa timbul saat neonatus mulai terpapar cahaya

matahari atau terpapar cahaya fototerapi.4,18

2. Lesi biasa terlihat di wajah dan dahi yang bisa menimbulkan tampilan klinis

seperti raccoon-eye. Raccoon-eye ini umumnya juga muncul setelah bayi

terpapar sinar matahari atau terpapar cahaya fototerapi.4

3. Telangiectasia dan depigmentasi yang ringan dapat terjadi, namun gejala ini

dapat menghilang dalam waktu 6-12 bulan.4

13
Lesi di kulit biasanya menghilang pada usia 6-12 bulan, sesuai dengan usia

otoantibodinya. Gejala sisa pada kulit dapat berupa dispigmentasi, atrofi atau

terbentuknya scar pada kulit, namun kebanyakan gejala pada kulit bayi dapat

menghilang tanpa sisa sesuai dengan bertambahnya usia.2,4

2.5.4 Manifestasi Hematologi

Manifestasi hematologi pada bayi bayi biasanya asimtomatik, namun dapat timbul

sebagai trombositopeni, anemia (biasanya dalam bentuk anemia hemolitik dengan

hasil Coombs test positif), leukopenia, neutropenia. Trombositopeni dan anemia yang

terjadi jarang berat hingga memerlukan transfusi darah atau terapi steroid.2

2.5.5 Manifestasi Hepatobilier

Terdapat tiga manifestasi hepatobilier yang paling sering pada LEN. Pertama,

liver failure, adalah manifestasi yang paling berat, biasanya terjadi sejak fetus in utero

dan dapat segera terlihat segera lahir, serta menyebabkan mortalitas. Kedua,

kolestasis dengan peningkatan bilirubin terkonyugasi dan peningkatan enzim hati

yang minimal. Ketiga, peningkatan enzim hati yang ringan. Manifestasi kedua dan

14
ketiga ini umumnya akan mengalami resolusi dan perbaikan pada awal awal

kehidupan tanpa membutuhkan intervensi secara khusus.2,18

2.5.6 Manifestasi Lain

Manifestasi klinis lain dapat terlihat pada 1% pasien berupa manifestasi neurologis

(mielopati, meningitis aseptik, myasthenia gravis yang transien, hidrosefalus,

mikrosefalus, makrosefalus), dapat pula berupa manifestasi pulmoner (pneumonia),

manifestasi renal (lupus nefritis)1,2

Manifestasi hematologis, hepatobilier, dan kulit timbul lebih ringan dan bersifat

transien, hal ini berkaitan dengan kemampuan sel-sel tersebut untuk meregenerasi diri

setelah terpapar oleh otoantibodi dari ibu secara pasif. Hal ini berbeda ketika

otoantibodi tersebut menyerang jantung, dimana sel jantung memiliki daya plastisitas

yang rendah, terutama pada area yang berhubungan dengan sistem konduksi.2

Bayi dengan LEN tidak menunjukkan peningkatan risiko terkena Lupus atau

penyakit otoimun lainnya di saat dewasa, namun dari berbagai studi ditemukan

bahwa ibu yang pernah melahirkan anak dengan LEN, maka risiko anak berikutnya

terkena LEN akan meningkat sekitar 23-36% dibandingkan pada kehamilan yang

sebelumnya.4

15
2.6 Pemeriksaan Serologis pada LEN

Hasil ANA akan memberikan hasil yang positif pada 99% kasus LES, namun tes

ini memiliki spesifisitas yang kurang baik karena kurang lebih 20% populasi yang

sehat akan memiliki hasil ANA yang positif.17 Namun, pemeriksaan ANA tidak

berkaitan dengan aktivitas penyakit sehingga mengulang pemeriksaan ANA untuk

memonitor aktivitas penyakit dianggap tidak berguna.19 Pemeriksaan ANA lanjutan

berupa profil ANA atau Extractable Nuclear Antigen (ENA) dapat mendeteksi

berbagai otoantibodi terhadap antibodi antinuklear yang spesifik.1,19

2.6.1 Pemeriksaan Anti Nuclear Antibody (ANA)

Anti Nuclear Antibody (ANA) (juga dikenal sebagai anti-nuclear factor atau

ANF) adalah otoantibodi yang mempunyai kemampuan mengikat pada struktur-

struktur tertentu didalam inti (nukleus) dari sel-sel manusia. ANA yang merupakan

imunoglobulin (IgM, IgG, dan IgA) bereaksi dengan inti lekosit menyebabkan

terbentuknya antibodi, yaitu anti ds-DNA dan anti-D-nukleoprotein (anti-DNP). Anti-

DNA dan anti-DNP hampir selalu dijumpai pada penderita LES. Temuan anti ds-

DNA akan berfluktuasi bergantung pada proses penyakit ini, dapat disertai remisi

atau eksaserbasi klinis.20

16
Uji ANA merupakan skrining untuk lupus eritematosus sistemik (LES) dan

penyakit jaringan ikat lainnya. ANA yang reaktif juga dapat terjadi pada penyakit

skleroderma, rheumatoid arthritis, sirosis, leukemia, infectious mononucleosis, dan

malignansi. Untuk mendiagnosis lupus, hasil uji ANA harus dibandingkan dengan

hasil pemeriksaan panel uji lupus lainnya.1,19

Prosedur ANA dapat mengidentifikasi otoantibodi terhadap DNA, histon, atau

antigen nuklear yang dapat larut. Antibodi yang dilekati zat fluoresen diamati di

bawah mikroskop dan ditentukan pola dan intensitas fluoresensinya. Pada uji ini,

serum diinkubasi pada suatu slide berisi sel epitel manusia monolayer (Hep-2 cell

line). Jika terdapat antibodi, antibodi ini akan mengikat inti sel. Ikatan antibodi

dideteksi dengan menambahkan anti-human IgG. Sel yang positif menunjukkan

fluoresensi hijau terang dengan pola pewarnaan yang berbeda.1,19

Ada beberapa pola pewarnaan mikroskopik fluoresen dalam nukleus sel yang

umumnya digunakan, yaitu homogen, difus, periferal, sentromer, nukleolar, dan

sitoplasmik, yang menunjukkan distribusi karakteristik dari berbagai otoantibodi.

Pada LEN, pola ANA yang bisa ditemukan adalah Pola Speckled.1 Jenis Pola ANA

dan Gambaran Pola ANA Speckled bisa dilihat di Tabel 2.1 dan Gambar 2.2.

Tabel 2.1 Jenis Pola ANA dan Otoantibodi yang Terkait


Pola ANA Antigen yang berperan Penyakit yang Berhubungan
Homogen DNA LES
Difus Histon Lupus terinduksi obat, LES
Speckled-Coarse Sm, U1-RNP LES
Speckled Fine SSA/Ro, SSB/La Sindrom Sjogren, LEN , Skleroderma
Sentromer CENTB Skleroderma
Nukleolar PM-Scl, Ku Skleroderma, LES

17
Sitoplasmik Ribosomal LES

Disadur dari Shoenfeld (2008)1

Gambar 2.2 Pola ANA Speckled.


Dikutip dari Shoenfeld1

Selain dengan metode fluoresen, pemeriksaan ANA juga dapat dilakukan dengan

menggunakan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) yang dianggap

sensitif dengan biaya yang lebih rendah. Pemeriksaan ANA dengan metode ELISA

yaitu ANA ELISA, akhir-akhir ini telah dikembangkan untuk uji saring bagi penderita

penyakit jaringan ikat. Pemeriksaan ANA ELISA digunakan untuk mendeteksi

antibodi secara tidak langsung, menggunakan label enzim dan zat kromogen sebagai

indikator reaksi19,20

18
Kelebihan pemeriksaan dengan metode ANA ELISA otomatis yaitu hasil

pemeriksaan bersifat objektif, meminimalkan risiko human error, kurang

membutuhkan tenaga terampil dan ketelitian pemeriksa, sebab semua prosedur

dikerjakan secara otomatis oleh alat fotometer. Nilai ANA ELISA dinyatakan normal

atau negatif jika hasilnya < 20 Unit, Equivokal atau grayzone jika hasilnya 20-60

Unit dan reaktif jika > 60 Unit. 21

2.6.2 Pemeriksaan Extractable Nuclear Antigen (ENA)

Hasil ANA yang positif membutuhkan konfirmasi untuk deteksi dan kuantifikasi

dari jenis otoantibodi untuk meningkatkan akurasi diagnostik dan terapetik pada

pasien yang diduga mengidap penyakit otoimun. Pemeriksaan ENA dapat mendeteksi

otoantibodi terhadap berbagai jenis antigen yang relevan dengan keadaan klinis

pasien (SS-A, SS-B, Smith, SmRNP, Scl-70, Jo-1, Centromere B, Ribosomal P, dan

Kromatin). Hasil yang negatif bermakna bahwa serum pasien tidak menunjukkan

reaktifitas terhadap antibodi yang berhubungan dengan penyakit otoimun tersebut.20,22

Pada dasarnya, ENA adalah protein yang berhasil diisolasi dari ekstrak inti sel

dalam larutan saline. Namun ternyata, komponen pentingnya dapat diidentifikasi

lebih jelas pada molekul yang terdapat pada sitoplasma. Protein protein ini berkaitan

dengan molekul RNA, sehingga termasuk kelompok protein ribonukleat. Penamaan

protein protein ini biasanya berasal dari nama penemu atau pasien pertama yang

berhasil diisolasi.23

19
Diagnosis dari kelainan otoimun sendiri biasanya didasarkan dari berbagai hasil

panel otoantibodi. Pemeriksaan ENA dapat membantu membedakan berbagai

kelainan otoimun. Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa masing-masing

otoantibodi dapat ditemukan secara spesifik pada satu kelompok penderita otoimun,

dan jarang ditemukan pada kelompok penderita lainnya. Pemeriksaan ENA di RSHS

dilakukan dalam bentuk pemeriksaan profil ANA yang memeriksa 12 antigen. 23 Jenis

dan interpretasi antigen ENA dapat dilihat pada tabel 2.2.

Tabel 2 .2 Jenis Antigen dan Kemaknaan Klinis Pemeriksaan Panel ANA

No Jenis Antigen Kemaknaan Klinis Prevasi

1 U1-nRNP Sindrom Sharp MCTD 95-100%

Lupus Eritematosus Sistemik 15-40%

Sklerosis Sistemik 2-12%

Polidermatomiositis 12-16%

2 Sm (Smith) Lupus Eritematosus Sistemik 5-40%

3 SSA-Ro Sindrom Sjogren 40-95%

Lupus Eritematosus Sistemik 20-80%

Lupus Eritematosus Neonatal 95-100%

4 SSB/La Sindrom Sjogren 40-95%

Lupus Eritematosus Sistemik 10-20%

20
Lupus Eritematosus Neonatal 75%

5 Scl-70 Sklerosis Sistermik 40-95%

-Diffuse form 10-20%

-Limited form 75%

6 Pm-Scl Sklerosis Sistemik dengan Overlap 10-20%


Syndrom

Polimyositis/Sistemik Sklerosis
Overlap Syndrom 18%

Sklerosis Sistemik 10%

7 Jo-1 Polimyositis/Dermatomyositis 25-35%

8 Sentromer Sklerosis Sistemik, diffuse form 40-95%

Sklerosis Sistemik, limited form 10-20%

Primarry Biliary Cirrhosis 75%

9 dsDNA Lupus Eritematosus Sistemik 40-90%

10 Nukleosom Lupus Eritematosus Sistemik 40-70%

11 Histon Drug Induced Lupus 95-100%

Lupus Eritematosus Sistemik 50%

Artritis Rematoid 15-50%

12 Ribosomal P-Protein Lupus Eritematosus Sistemik 10%

Disadur dari Shoenfeld1 dan labtestsonline.23

Dari tabel 2.2 diatas dapat dilihat bahwa otoantibodi anti SSA/Ro dan SSB/La

yang paling berkaitan dengan kejadian Lupus Eritematosus Neonatal.

21
2.7 Diagnosis LEN

Tahap pertama dari penapisan seorang ibu hamil dengan kelainan LES/Sindrom

Sjogren adalah dengan memeriksa keberadaan Anti SSA-Ro dan Anti SSB-La. Jika

hasil skrining awal memberikan hasil negatif untuk pemeriksaan SSA-Ro dan SSB-

La, maka kehamilan tersebut tidak memiliki risiko tinggi janinnya akan terkena LEN.

Jika hasilnya positif, maka kehamilan tersebut memiliki risiko sedang untuk

terjadinya LEN. Namun, jika hasilnya positif disertai riwayat anak sebelumnya

dengan LEN, maka kehamilan itu dikatakan memiliki risiko tinggi terjadinya LEN.2,6

Kehamilan risiko rendah memerlukan pemantauan dengan ekokardiografi fetus

dan auskultasi minimal dua kali selama kehamilan minggu ke 16-36, sementara

kehamilan risiko sedang membutuhkan ekokardiografi fetus dan auskultasi setiap

minggu sejak kehamilan minggu ke 16-26, dan dua kali selama kehamilan minggu ke

26-36. Kehamilan risiko tinggi membutuhkan ekokardiografi dan auskultasi setiap

minggu sejak kehamilan minggu ke 16-36 untuk memantau bunyi jantung janin.2

Secara lebih sistematik, alur monitoring kehamilan ibu dengan LES dapat dilihat

pada gambar berikut:

22
Ibu Hamil
dengan LES/SS

Gambar 2.3 Alur Monitoring Kehamilan pada Ibu dengan LES.


Dikutip dari Osaimi (2012)2

Diagnosis bayi dengan LEN, terutama pada ibu dengan riwayat otoantibodi anti

SSA/Ro dan SSB/La (+) dapat ditegakkan dari adanya manifestasi klinis, baik berupa

Congenital Heart Block, Lupus Eritematosus Kutaneus, atau manifestasi lainnya. Hal

ini membutuhkan berbagai pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan ANA dan

profil ANA. Pemeriksaan lain berupa pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati juga

berguna untuk menilai keterlibatan organ lain pada bayi tersebut. Ekokardiografi dan

23
EKG juga penting dilakukan untuk menilai kondisi dan keparahan dari gangguan

konduksi jantung atau kardiomiopati lain nya.4

BAB III

RINGKASAN

24
Lupus Eritematosus Neonatal (LEN) atau Sindrom Lupus Neonatal (SLN) adalah

sebuah sindrom yang langka dan hanya terlihat pada 1-2% neonatus yang

mendapatkan transfer otoantibodi SSA/Ro dan SSB/La secara pasif dari ibu yang

asimtomatik atau bergejala dengan sindrom Sjogren, LES, atau penyakit jaringan ikat

lainnya

Otoantibodi dapat melintas dari ibu ke bayi dan menyebabkan gangguan konduksi

di jantung fetus. Otoantibodi tersebut juga dapat menyebabkan deposisi dari

immunoglobulin dan sitokin proinflamasi di bawah lapisan kulit sehingga

menimbulkan proses peradangan di kulit fetus..

Manifestasi klinis yang paling sering pada LEN adalah Congenital Heart Block

yang ditandai dengan bradikardi, atau gangguan irama jantung. Setelah itu disusul

dengan manifestasi kulit berupa Lupus Eritematosus Kutaneus yang ditandai

timbulnya plak eritema. Manifestasi lainnya jarang terjadi, termasuk manifestasi

hepatobilier dan hematologi.

Pemeriksaan laboratorium Serologis pada kasus LEN meliputi pemeriksaan ANA

(Anti Nuclear Antibody), dan Profil ANA (ENAs). Diagnosis dapat ditegakkan

dengan kondisi klinis yang mendukung, disertai hasil anti SSA/Ro dan SSB/La yang

positif pada pemeriksaan profil ANA.

SUMMARY

25
Neonatal Lupus Erythematosus (NLE) or Neonatal lupus syndrome (NLS) is a

syndrome that is rare and only seen in 1-2% of neonates who received transfer

autoantibodies SSA/Ro and SSB/La passively from the mother asymptomatic or

symptomatic with Sjogren's syndrome, NLE or other connective tissue diseases.

These autoantibodies can be delivered from mother to fetus and cause cardiac

conduction disorders in the fetus. Autoantibodies can also lead to deposition of

immunoglobulin and proinflammatory cytokines under the skin layer, causing an

inflammatory process in the skin of the fetus.

The most frequent clinical manifestations in the NLE is Congenital Heart Block

which is characterized by bradycardia, or heart rhythm abnormality. Following, tthe

skin manifestations in Cutaneous Lupus form which is marked by the appearance of

erythema plaque. Other manifestations are rare, including manifestations of

hepatobiliary, or hematologic manifestations.

Serology laboratory examinations in NLE includes examining ANA (Anti-Nuclear

Antibody), and ANA Profile (ENA). The diagnosis can be established if it is

supported by clinical condition, alongside with the positive results of anti-SSA/Ro

and SSB/La in ANA profile examination.

DAFTAR PUSTAKA

26
1. Shoenfeld Y, Cervera R, Gershwin ME. A Diagnostic Criteria in Autoimmune
Diseases. California: Humana Press;2008.

2. Osaimi HL, Yelamanchali S. Neonatal Lupus Erythematosus (LEN). Diseases


of The Newborn. Riyadh: Intech Open; 2012. hlm. 507-30.

3. Femia AN, Cal JP. Neonatal and Pediatric Lupus Erythematosus. New York:
E-medicine; 2016 [diunduh Oct 29th, 2016 2016]. Tersedia dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1006582-overview#a5.

4. Paller AS, Mancini AJ. Collagen Vascular DIseases. Dalam: Hurwits S, editor.
Textbook of Pediatric Dermatology. Edinburgh: Elsevier; 2011. hlm. 513-21.

5. Wisuthsarewong W. Neonatal Lupus Erythematosus: Clinical Character,


Investigation, and Outcome. Pediatric Dermatology. hlm. 115-211.

6. Frye E. The Effects of Maternal Systemic Lupus Erythematosus on


Developing Foetus. 2012 [serial on the Internet]. 2012.

7. Handa R, Kumar U, Wali J. Systemic Lupus Erythematosus and Pregnancy.


JAPI. 2006;54.

8. R Cimaz, DL Spencer, L Hornberger, ED. Silverman. Incidence and Spectrum


of Neonatal Lupus Erythematosus: A Prospective Study of Infants Born to
Mothers with Anti-Ro Autoantibodies. NCBI. 2003;142:678-83.

9. Gaither KK, Fox OF, Yamagata H, Mamula MJ, Reichlin M, Harley JB.
Implications of Anti-Ro/Sjogren's Syndrome A Antigen Autoantibody in
Normal Sera for Autoimmunity. J Clinical Investigation. 1987 March
1997;79:841-6.

10. La-SSB/Antigen. 2015 [diunduh October 31st 2016]. Tersedia dari:


http://www.immunovision.com/ssb-3000/.

11. SS-B/La Antibodies, IgG, Serum. 2015 [diunduh October 31st 2016].
Tersedia dari: http://www.mayomedicallaboratories.com/test-
catalog/Clinical+and+Interpretive/81359.
12. Chen S, Sun X, Wu B, Lian X. Pregnancy in Women with Systemic Lupus
Erythematosus: A Retrospective Study of 83 Pregnancies at a Single Centre.

27
International Journal of Environmental Research and Public Health.
2015;12:9876-84.

13. R.Sowjanya, S.V.Ramani, Sailaja LB. SLE (Systemic Lupus Erythematosus)


Complicating Pregnancy A Case Report. IOSR Journal of Dental and
Medical Sciences (IOSR-JDMS) 14(4):42-4.

14. Lee LA. Cutaneous Lupus Erythematosus During Neonatal and Childhood
Period.2010.

15. Kuhn A, Ruland V, Bonsmann G. Cutaneous Lupus Erythematosus. Dalam:


Shoenfeld Y, editor. A Diagnostic Criteria in Autoimmune Diseases.
California: Humana Press; 2008. hlm. 341-5.

16. Josephson ME, ZImetbaum P. The Bradyarrhytmias: Disorders of Sinus Node


Function And AV Conduction Disturbances. Dalam: Kasper DL, et.al, editor.
Harrison's Principl of Internal Medicine. New York: Elsevier; 2005. hlm.
1332-41.

17. Ardoin SP, Schanberg LP. Systemic Lupus Erythematosus. Nelson's Textbook
of Pediatrics. Elsevier; 2006. hlm. 2841-51.

18. Cimaz R, Bruccatop A. Neonatal Lupus Syndrome. Dalam: Cimaz R,


Bruccato A, editor. Pediatrics in Systemic Autoimmune Diseases. Amsterdam:
Elsevier; 2008. hlm. 77-89.

19. Keren DF. Antinuclear Antibody Testing. Clinics in Laboratory Medicine.


Michigan: Elsevier; 2002. hlm. 447-74.

20. Wielarson J, Osslon M. A Guide To Autoimmune Testing. Malmo: Elanders


Sverige;2010.

21. Martiosos PS. Perbandingan Hasil Pemeriksaan Antinuclear Antibodies


dengan Metode Imunofluoresens dan Metode Elisa pada Penderita Tersangka
Systemic Lupus Erythematosus di Rumah Sakit Dokter Hasan Sadikin
Bandung. Jurnal Kedokteran Maranatha. 2006;2:16-25.

22. Yuriawantini, Suryana K. Aspek Imunologi SLE. Jurnal Penyakit Dalam.


2007;8(3):212-20.

23. ENA PANEL. [updated September 31st, 2014; diunduh November 1st 2016].
Tersedia dari: https://labtestsonline.org/understanding/analytes/ena-
panel/tab/test/.

28
29

Anda mungkin juga menyukai