Anda di halaman 1dari 14

Senin, 27 Febuari 2017

Reaksi Hipersensitivitas dan Respon Imun Okuler


SMF/ Bagian Ilmu Mata RSUD Prof. W. Z. Johannes
Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana
Oleh : Nurmalinda Kurniasih Mappapa (1108011020)

Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi
tubuh, berfungsi protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula
menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut reaksi
hipersensitivitas. Komponen-komponen sistem imun yang bekerja pada proteksi adalah sama
dengan yang menimbulkan reaksi hipersensitifitas. Hipersensitivitas adalah peningkata
reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya.
Reaksu hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelainan yang heterogen yang dapat dibagi menurut
berbagai cara.

I. Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut waktu timbulnya reaksi


a. Reaksi cepat
Reaksi cepat timbul dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam. Ikatan silang
antara allergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi pelepasan
mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis sistemik atau
anafilaksis lokal.
b. Reaksi intermediate
Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam.
Reaksi ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan
melalui aktivasi komplemen dan atau sel NK/ ADCC. Manifestasi reaksi
intermediet berupa :
i. Reaksi transfuse darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik autoimun
ii. Rekasi Arthus lokal dan rekasi sitemik seperti serum sickness, vaskulitis
nekrotis, glomerulonefritis, arthritis rheumatoid dan LES

Reaksi intermediate diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan penjamu yang
disebabkan oleh neutrofil atay sel NK.

c. Reaksi lambat
Reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan
antigen yang terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH, sitokin yang dilepas sel T
mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan.
Contoh reaksi lambat adalah dermatitis kontak, reaksi M. tuberkuloasis dan reaksi
penolakan tandur.

II. Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs


A. Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi alergi
Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau
reaksi alergi timbul segera setelah tubuh terpajan dengan allergen. Istilah alergi
artinya perubahan dari asalnya yang dewasa. Ini diartikan sebagai perubahan
reaktivitas organism.
Pada reaksi tiper I, allergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan
respon imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rhinitis alergi, asma
dan dermatitis atopi. Urutan kejadian reaksi tiper I adalah sebagai berikut :
1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan IgE sampai diikat selang
oleh reseptor spesifik (Fce-R) pada permukaan sel mast/basofil.
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan pajanan ulang dengan
antigen yang spesifik dan sel mast basofil melepas isinya yang
berisikan granul yang menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan
silang antara antigen dan IgE.
3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil dengan
aktivitas farmakologik.

Manifestasi reaksi tipe I bervariasi dari lokal, ringan sampai berat dan keadaan
yang mengancam nyawa seperti anafilaksis dan asma berat

a. Reaksi lokal
b. Reaksi sistemik-anafilaksis
c. Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid
B. Reaksi tipe II atau sitotoksis atau sitolitik

Reaksi tipe II disebut juga rekasi sitotoksis atau sitolitik, terjadi karena dibentuk
antibody jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel penjamu.
Reaksi diawali oleh reaksi antara antibody dan determinan antigen yang merupakan
bagian dari membrane sel tergantung apakah komplemen atau molekul asesori dan
metabolism sel dilibatkan.

Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan
bukan efek toksis. Antoibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fc -
R dan juga sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan
melalui ADCC. Reaksi tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik.

a. Reaksi transfuse
b. Penyakit hemolitik bayi baru lahir
c. Anemia hemolitik

C. Reaksi Tipe III atau kompleks imun

Dalam keadaan normal kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut
eritrosit ke hati, limpa dan di sana dimusnahkan oleh sel fagosit mononuclear, terutama di
hati, limpa, dan paru tanpa bantuan komplemen. Pada umumnya kompleks yang besar
dapat dengan mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil
dan larut sulit untuk dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi.
Diduga bahwa gangguan fungsi fagosit merupakan salah satu penyebab mengapa
kompleks tersebut sulit dimusnahkan. Meskipun kompleks imun berada dalam sirkulasi
untuk jangka waktu lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila
kompleks imun tersebut mengendap di jaringan.

Bentuk reaksi tipe III mempunyai 2 bentuk yaitu lokal dan sistemik.

a. Reaksi lokal atau fenomena arthus


b. Reaksi tipe III sistemik serum sickness
D. Reaksi hipersensitivitas tipe IV

Baik CD4 maupun CD8 berperan dalam reaksi tipe IV. Sel T melepas sitokin,
bersama dengan produksi mediator sitotoksik lainnya menimbulkan respon inflamasi
yang terlihat pada penyakit kulit hipersensitivitas lambat. Contohnta dermatitis
kontak yang diinduksi oleh etilendiamine, neomisin, anestesi topical, antihistamin
topical dan steroid tipikal.
Delayed type hypersensitivity tipe IV. Reaksi tipe IV merupakan
hipersensitivitas granulomatosis. Biasanta terjadi terhadap bahan yang tidak dapat
disingkirkan dari rongga tubuh seperti talcum dalam rongga peritoneum dan kolagen
sapi dari bawah kulit. Ada beberapa fase pada repon tipe IV yang dimulai dengan fase
sensitasi yang membutuhkan waktu 1-2 minggu setelah kontak primer dengan
antigen. Dalam fase itu Th diaktifkan oleh APC melalui MCH-II. Reaksi khas DTH
seperti respon imun lainnta mempunyai 2 fase yang dapat dibedakan yaitu fase
sensitasi dan fase efektor.

Manifestasi klinis reaksi tipe IV

a. Dermatitis kontak
b. Hipersensitivitas tuberculin
c. Reaksi Jones Mote
d. T cell mediated cytolysis (penyakit CD8+)

Sumber : Baratawidjaya KG, Rengganis I. Imunologi dasar. Ed 9. Jakarta: Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia, 2010
SISTEM IMUN PADA MATA
Seperti halnya dengan respons imun yang terjadi di organ-organ lain, mata juga
memberikan respon imun baik humoral maupun seluler. Mata merupakan kelanjutan susunan
saraf pusat sedangkan konjungtiva merupakan kelanjutan dari jaringan ikat. Mata merupakan
bagian tubuh yang unik yang dapat memberikan petanda dari proses imun aktif langsung. Mata
memiliki mekanisme perlindungan yang bersifat non imundan imun secara alamiah.4, 5, 7, 8

A. PROTEKSI NON IMUN (BARIER ANATOMIK) :


Mekanisme perlindungan yang bersifat non imun secara alamiah antara lain :
1. Palpebra, yang melindungi mata dari paparan dengan lingkungan luar. Palpebra melindungi
permukaan okuler terhadap organisme yang tersebar di udara, benda asing dan trauma minor.
2. Bulu mata, mampu mendeteksi adanya benda asing dan segera memicu kedipan mata.
3. Air mata, mempunyai efek mengencerkan dan membilas. Memegang peranan dalam menjaga
integritas dari epitel konjungtiva dan kornea yang berfungsi sebagai barier anatomi. Pembilasan
yang terus menerus pada permukaan okuler mencegah melekatnya mikroorganisme pada mata.5, 7
Integrasi antara palpebra, silia, air mata dan permukaan okuler merupakan sebuah
mekanisme proteksi awal terhadap benda asing. Epitel kornea adalah epitel skuamosa non
keratin yang terdiri hingga lima lapis sehingga akan menyulitkan mikroorganisme untuk
menembus lapisan-lapisan tersebut. Selain itu kornea juga diinervasi oleh ujung serabut saraf
tidak bermielin sehingga akan memberikan peringatan awal yang sangat cepat bagi mata
terhadap trauma dikarenakan oleh sensitifitasnya.5, 7

B. PROTEKSI IMUN :
1. SISTEM LAKRIMALIS
Proteksi imun untuk mucosal surface termasuk permukaan okuler adalah Mucosa-
Associated Lymphoid Tissue (MALT) . MALT terbentuk oleh adanya interkoneksi dari daerah
mukosa yang memberikan gambaran imunologis spesifik tertentu yaitu terdapat banyak APC,
struktur khusus untuk memproses antigen secara terlokalisir (tonsil) dan sel efektor (sel T
intraepitelial dan sel mast yang berlimpah). Salah satu fungsi utama MALT adalah untuk
menciptakan keseimbangan antara imunitas dan toleransi untuk mencegah kerusakan jaringan
mukosa. 5, 7, 9, 12
Jaringan limfoid difus pada permukaan glandula lakrimal, duktus lakrimal, konjungtiva
(conjunctival associated lymphoid tissue atau CALT) dan berlanjut sampai kanalikulus serta
sistem drainase lakrimal (lacrimal drainadeassociated lymphoid tissue atau LDALT) secara
keseluruhan disebut Eye-Associated Lymphoid Tissue (EALT). EALT merupakan kumpulan sel-
sel limfoid yang terletak pada epitel permukaan mukosa. Sel-sel ini menghasilkan antigen dan
mampu menginduksi terjadinya respon imun seluler maupun humoral. Kelenjar lakrimalis
merupakan penghasil IgA terbesar bila dibandingkan dengan jaringan okuler lainnya.12,13
2. TEAR FILM
Air mata mengandung berbagai mediator seperti histamin, triptase, leukotrin dan
prostaglandin yang berhubungan dengan alergi pada mata. Mediator-mediator itu berasal dari sel
mast. Semuanyadapat menimbulkan rasa gatal, kemerahan, air mata dan mukus yang
berhubungan dengan penyakit alergi akut dan kronis. Pengerahan komponen seluler lokal
melibatkan molekul adhesi sepertiIntercelluler Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) di epitel
konjungtiva yang meningkatkan adhesi leukosit ke epitel dan endotel. Ekspresi molekul adhesi
diatur oleh banyak komponen ekstraseluler dan intraseluler seperti sitokin proinflamasi, matriks
protein ekstraseluler dan infeksi virus. 5, 7
Pada lapisan mukus yang diproduksi oleh sel goblet dan sel epitel
konjungtiva, glikocalyx yang disintesis epitel kornea membantu perlekatan lapisan mukus
sehingga berhubungan dengan imunoglobulin pada lapisan akuos. Pada lapisan akuos sendiri,
banyak mengandung faktor-faktor terlarut yang berperan sebagai antimikroba. Seperti laktoferin,
lisozim, dan -lisin. Laktoferin berfungsi utama dalam mengikat besi yang dibutuhkan oleh
pertumbuhan bakteri, sehingga bersifat bakteriostatik dan bakterisidal. Lisozim efektif dalam
menghancurkan dinding sel bakteri gram positif. -lisin memiliki kemampuan dalam merusak
dinding sel mikroorganisme. Selain faktor terlarut tersebut, lapisan akuos juga mengandung
banyak IgA yang sangat efektif dalam mengikat mikroba, lalu melakukan opsonisasi, inaktivasi
enzim dan toksin dari bakteri, serta berperan langsung sebagai efektor melalui Antigen
Dependent Cell Cytotoxycity (tanpa berinteraksi dengan komplemen).7, 8, 9
3. KONJUNGTIVA
Konjungtiva terdiri dari dua lapisan : lapisan epitel dan lapisan jaringan ikat yang
disebut substansia propria. Konjungtiva tervaskularisasi dengan baik dan memiliki sistem
drainase limfe yang baik ke limfonodi preaurikularis dan submandibularis. Jaringan ini
mengandung banyak sel Langerhans, sel dendritik dan makrofag yang berperan sebagai Antigen
Presenting Cell (APC) yang potensial. Folikel pada konjungtiva yang membesar setelah infeksi
ataupun inflamasi pada ocular surface menunjukkan adanya kumpulan sel T, sel B dan APC.
Folikel ini merupakan daerah untuk terjadinya respon imun terlokalisir terhadap antigen oleh sel
B dan sel T secara lokal di dalam folikel.5, 7,13

Proteksi imun untuk mucosal surface termasuk ocular adalah Mucosa-Associated


Lymphoid Tissue.MALT terbentuk oleh adanya interkoneksi dari daerah mukosa yang
memberikan gambaran imunologis spesifik tertentu yaitu banyak terdapat APC, struktur khusus
untuk memproses antigen secara terlokalisir (Peyers patches atau tonsil) dan sel efektor (sel T
intraepitelial dan sel mast yang berlimpah). Salah satu fungsi utama MALT adalah untuk
menciptakan keseimbangan antara imunitas dan toleransi untuk mencegah kerusakan jaringan
mukosa.5, 7, 9
Substansia propria kaya akan sel-sel imun dari bone marrow yang akan membentuk
sistem imun mukosa pada konjungtiva yang dikenal dengan Conjunctiva Associated Limphoied
Tissue (CALT) yang merupakan salah satu bagian dari MALT. CALT merupakan sistem
imunoregulasi yang utama bagi konjungtiva. Pada substansia propria terdapat neutrofil, limfosit,
IgA, IgG, sel dendrite dan sel mast. Eosinofil dan basofil tidak ditemukan pada konjungtiva yang
sehat. Konjungtiva mengandung banyak sel mast. IgA merupakan antibodi yang paling banyak
dalam lapisan air mata. IgA menyerang bakteri dengan cara membungkusnya sehingga
mencegah terjadinya perlekatan antara bakteri dengan sel epitel. Molekul terlarut yang banyak
adalah komplemen. Respon imun yang terjadi pada konjungtiva sebagian besar merupakan
respon imun yang dimediasi oleh antibodi dan limfosit, namun juga terdapat respon imun yang
dimediasi oleh IgE terhadap sel mast pada reaksi alergi.5, 7, 9
4. SKLERA
Sklera sebagian besar terdiri atas jaringan ikat kolagen. Hal ini menyebabkan sklera
bersifat relatif lebih avaskuler dibandingkan dengan konjungtiva. Karenanya pada sklera hanya
terdapat sedikit sel imun jika dibandingkan dengan konjungtiva. Dalam keadaan normal sklera
hanya sedikit mengandung sel-sel limfosit, makrofag dan neutrofil. Namun sebagai respon imun
saat terjadi inflamasi pada sklera sel-sel imun tersebut memasuki sklera melalui pembuluh darah
episklera dan pembuluh darah koroid Pada saat istirahat IgG ditemukan dalam jumlah yang
5, 7, 15
cukup besar.
5. KORNEA
Kornea unik karena bagian perifer dan sentral jaringan menunjukkan lingkungan mikro
imunologis yang jelas berbeda. Hanya bagian limbus yang tervaskularisasi. Limbus banyak
mengandung sel Langerhans, namun bagian perifer, parasentral dan sentral dari kornea dalam
keadaan normal sama sekali tidak mengandung APC. Namun demikian, berbagai stimulus dapat
membuat sitokin tertentu (seperti IL-1) menarik APC ke sentral kornea. Komplemen, IgM dan
IgG ada dalam konsentrasi sedang di daerah perifer, namun hanya terdapat IgG dengan level
yang rendah pada daerah sentral. 5, 7, 16
Sel kornea juga terlihat mensintesis berbagai protein imunoregulasi dan antimikrobial.
Sel efektor tidak ada atau hanya sedikit terdapat pada kornea normal, namun PMN, monosit dan
limfosit siap siaga bermigrasi melalui stroma jika stimulus kemotaktik teraktivasi. Limfosit,
monosit dan PMN dapat pula melekat pada permukaan endotel selama inflamasi, memberikan
gambaran keratik presipitat ataupun garis Khodadoust pada rejeksi endotel implan kornea. Proses
lokalisasi dari suatu respon imun tidak terjadi pada kornea, tidak seperti halnya pada
konjungtiva. 5, 7, 16
Kornea juga menunjukkan suatu keistimewaan imun (Immune Privilege) yang berbeda
dengan uvea. Keistimewaan imun dari kornea bersifat multifaktorial. Faktor utama adalah
struktur anatomi limbus yang normal, dan lebih khusus lagi kepada keseimbangan dalam
mempertahankan avaskularitas dan tidak adanya APC pada daerah sentral kornea. Ditambah
oleh tidak adanya pembuluh limfe pada daerah sentral, menyebabkan lambatnya fase pengenalan
pada daerah sentral. Meski demikian, sel-sel efektor dan molekul-molekul lainnya dapat
menginfiltrasi kornea yang avaskuler melalui stroma. Faktor lain adalah adanya sistem
imunoregulasi yang intak dari bilik mata depan, dimana mengadakan kontak langsung dengan
endotel kornea. 5, 7, 16
6. BILIK MATA DEPAN, UVEA ANTERIOR DAN VITREUS
Bilik mata depan merupakan rongga berisi cairan humor akuos yang bersirkulasi
menyediakan medium yang unik untuk komunikasi interseluler antara sitokin, sel imun dan sel
pejamu dari iris, badan siliar dan endotel kornea. Meskipun humor akuos relatif tidak
mengandung protein jika dibandingkan dengan serum (sekitar 0,1 1,0 % dari total protein
serum), namun humor akuos mengandung campuran kompleks dari faktor-faktor biologis, seperti
sitokin, neuropeptida, dan inhibitor komplemen yang mampu mempengaruhi peristiwa
imunologis dalam mata. Terdapat blood aquous barrier yakniTight junction antara epitel
nonpigmen memberikan barier yang lebih eksklusif yang dapat mencegah makromolekul
interstisiel menembus secara langsung melalui badan silier ke humor akuos. Meski demikian,
sejumlah kecil makromolekul plasma melintasi barier epitel nonpigmen ini dan dapat meresap
dengan difusi ke anterior melalui uvea memasuki bilik mata depan melalui permukaan iris
anterior. 5, 7
Intraokuler tidak mengandung pembuluh limfe. Pengaliran sangat tergantung pada
saluran aliran humor akuos untuk membersihkan substansi terlarut dan pada endositosis oleh sel
endotelial trabekula meshwork atau makrofag untuk pembersihan partikel-partikel.5, 7
Traktus uvea merupakan bagian yang penting dalam sudut pandang imunologi.Uvea
banyak mengandung komponen seluler dari sistem imun termasuk makrofag, sel mast, limfosit
dan sel plasma.Iris dan badan siliar mengandung banyak makrofag dan sel dendritik yang
berperan sebagai APC ataupun sebagai sel efektor. Proses imun tidak mungkin terjadi secara
terlokalisasi, namun APC meninggalkan mata melalui trabekula meshwork bergerak ke lien
tempat terjadinya proses imun seluler, berupa aktivasi sel T supresor CD8+. Konsentrasi IgG,
komplemen dan kalikrein sangat rendah didapat pada bilik mata depan yang normal.5, 7
Uvea anterior memiliki sistem imunoregulasi yang telah digambarkan sebagai immune
privilege (keistimewaan imun). Konsep modern mengenai immune privilege ini mengacu pada
pengamatan bahwa implan tumor atau allograft dengan tidak diharapkan dapat bertahan lebih
baik dalam regio ini, sedangkan implan atau graft yang sama mengalami penolakan lebih cepat
pada daerah tanpa keistimewaan imun. Daerah immune privilege lain yaitu ruang subretina, otak
dan testis. Meskipun sifat dasar dari antigen yang terlibat mungkin penting, immune privilege
dari uvea anterior telah diamati dengan banyak antigen, meliputi antigen transplantasi, tumor,
hapten, protein terlarut, autoantigen, bakteri dan virus.5, 7
Immune privilege dimediasi oleh pengaruh fase aferen dan efektor dari lintasan respon
imun. Imunisasi dengan menggunakan segmen anterior sebagai fase aferen dari respon imun
primer berakibat dihasilkannya efektor imunologis yang unik. Imunisasi seperti dengan protein
lensa atau autoantigen lain melalui bilik mata depan tidak menyebabkan terjadinya pola imunitas
sistemik yang sama seperti yang ditimbulkan oleh imunisasi pada kulit. Imunisasi oleh injeksi
bilik mata depan pada hewan coba menyebabkan terjadinya perubahan bentuk imunitas sistemik
terhadap antigen yang disebut Anterior Chamber-Associated Immune Deviation (ACAID).5, 7, 13
Pada vitreus tidak ditemukan kekhususan tertentu. Gel vitreus dapat mengikat protein dan
berfungsi sebagai depot antigen. Gel vitreus secara elektrostatik dapat mengikat substansi protein
bermuatan dan mungkin kemudian berperan sebagai depot antigen dan substrat untuk adhesi sel
leukosit. Karena vitreus mengandung kolagen tipe II, ia dapat berperan sebagai depot
autoantigen potensial pada beberapa bentuk uveitis terkait arthritis.5, 7, 12
7. RETINA DAN KOROID
Sirkulasi retina menunjukkan adanya blood retinal barrier pada tight junction antara sel
endotel pembuluh darah. Pembuluh darah koriokapiler sangat permeabel terhadap
makromolekul, memungkinkan terjadinya transudasi sebagian besar makromolekul plasma ke
ruang ekstravaskular dari koroid dan koriokapiler. Tight junction antar sel RPE menyediakan
barier fisiologis antara koroid dan retina. Pembuluh limfe tidak didapatkan pada retina dan
koroid, namun APC ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi. Mikroglia (derifat monosit) pada
retina memiliki peran dalam menerima stimulus antigenik, dapat mengadakan perubahan fisik
dan bermigrasi sebagai respon terhadap berbagai stimuli.5, 7, 12
RPE dapat diinduksi untuk mengekspresikan molekul MHC kelas II, yang menunjukkan
bahwa RPE juga dapat berinteraksi dengan sel T. Namun pada keadaan normal, segmen posterior
tidak mengandung sel limfosit. Perisit yang berada pada pembuluh darah retina dapat
mensintesis berbagai sitokin yang berbeda (seperti TGF-)yang dapat mengubah respon imun
yang terjadi setelahnya. Proses imun yang terlokaliser juga tidak terjadi pada segmen posterior
ini.5, 7, 13

BAHASAN KHUSUS DALAM SISTEM IMUN PADA MATA

1. IMMUNE PRIVILEGE (KEISTIMEWAAN IMUNITAS)


Immune privilege menggambarkan beberapa organ tubuh yang memiliki kemampuan
toleransi pengenalan antigen tanpa menyebabkan terjadinya inflamasi sebagai respon imun.
Beberapa organ yang memiliki immune previlegeadalah otak, mata, uterus dan testis. Immune
previlege dapat dikatakan sebagai evolusi dari adaptasi tubuh untuk melindungi fungsi organ
vital dari respon imun yang dapat menimbulkan kerusakan. Inflamasi pada otak atau mata dapat
menyebabkan hilangnya fungsi organ tersebut.10, 17

Keberadaan immune previlege pada mata diketahui pada akhir abad 19 oleh
Medawar. Mata merupakan struktur dengan keistimewaan imunitas, terlindungi dari sistem imun
oleh berbagai mekanisme. Perlu ditekankan bahwa keistimewaan imunitas bukan berarti
ketidakmampuan host memicu respon imun, namun merupakan kemampuan menghindarkan diri
dari konsekuensi berat yang terjadi akibat adanya proses inflamasi. Pada tahap dimana terjadi
gangguan dari mekanisme ini, akan menyebabkan inflamasi yang lebih berat
yang bias mengancam penglihatan. Baik dari faktor infeksi maupun mekanisme imun, sangat
berpengaruh dalam memicu kelemahan mekanisme keistimewaan imunitas mata.5, 7, 10

Faktor-faktor yang mempengaruhi keistimewaan imunitas pada mata:


1. Adanya Blood Ocular Barrier
2. Tidak terdapatnya drainase limfatik pada mata
3. Adanya faktor-faktor imunomodulator pada humor akuous
4. Adanya ligand imunomodulator pada permukaan sel-sel parenkim okular
5. Adanya kemampuan toleransi imun pada bilik mata depan dan bilik mata belakang (Anterior
Chamber Associated Immune Deviation / ACAID). 5, 7, 10, 17

2. INFLAMASI
Inflamasi didefinisikan sebagai reaksi lokal jaringan terhadap cidera. Reaksi dapat
menimbulkan reaksi berantai dan rumit yang berdampak terjadinya vasodilatasi, kebocoran
vaskulatur mikro dengan eksudasi cairan dan protein serta infiltrasi lokal sel-sel inflamasi. Sel
fagosit diperlukan untuk menyingkirkan bahan-bahan asing dan mati di jaringan yang cidera.
Mediator inflamasi yang dilepas fagosit seperti enzim, radikal bebas anion superoksid dan oksida
nitrit berperan untuk menghancurkan makromolekul dalam cairan eksudat. Namun respon
inflamasi merupakan resiko yang harus diperhatikan pejamu. Bila terjadi rangsangan yang
menyimpang dan menetap atau bahkan ditingkatkan. Reaksi dapat berlanjut yang menimbulkan
kerusakan jaringan pejamu dan penyakit.4, 5, 7
Pada inflamasi akut terjadi reaksi yang cepat terhadap benda asing, dapat beberapa jam
sampai hari. Gejala inflamasi dini ditandai dengan lepasnya berbagai mediator sel mast seperti
histamin dan bradikinin, yang diikuti oleh aktivasi komplemen dan sistem koagulasi. Sel endotel
dan sel inflamasi akan melepas mediator yang menimbulkan efek sistemik seperti panas. Netrofil
yang dikerahkan ke lokasi cidera akan melepas produk toksik. Bila penyebab inflamasi tidak
dapat disingkirkan atau terjadi pajanan berulang-ulang dengan antigen, akan terjadi inflamasi
kronik yang dapat merusak jaringan dan kehilangan fungsi sama sekali.4,5, 7
Bila inflamasi terkontrol, neutrofil tidak lagi dikerahkan dan berdegenerasi. Selanjutnya
dikerahkan sel mononuklear seperti monosit, makrofag, limfosit dan sel plasma yang
memberikan gambaran inflamasi kronik. Dalam inflamasi kronik ini, monosit-makrofag
memiliki 2 peran yaitu memakan dan mencerna mikroba, debris seluler dan neutrofil yang
berdegenerasi serta modulasi respon imun dan fungsi sel T melalui presentasi antigen dan sekresi
sitokin. Monosit-makrofag juga mempunyai fungsi dalam penyembuhan luka dan memperbaiki
parenkim dan fungsi sel inflamasi melalui sekresi sitokin. 4, 5, 7
Inflamasi yang terjadi pada praktek sehari-hari biasanya berfungsi secara fisiologis pada
level subklinis tanpa manifestasi yang jelas. Misalnya, pada sebagian besar individu, paparan
alergen permukaan okular yang terjadi tiap hari pada semua manusia atau kontaminasi bakteri
selama operasi katarak yang terjadi pada sebagian besar mata biasanya dibersihkan oleh
mekanisme respon imun bawaan atau adaptif tanpa inflamasi yang jelas. 4, 5, 7
3. REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya berfungsi
protektif, namunrespon imun juga dapat menimbulkan akibat buruk.Hal ini
disebut dengan penyakit hipersensitivitas. Komponen-komponen sistem imun yang bekerja pada
proteksi adalah sama dengan yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas yaitu
reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh. 7
Reaksi hipersensitivitas secara umum dibagi menurut mekanismenya oleh Robert
Coombs dan Philip HH Gell pada tahun 1963. Lalu klasifikasi ini ditambahkan menjadi 5 Tipe. 4,
6, 7

Hipersensitivitas Tipe I : Alergi


Hipersensitivitas tipe I terdiri atas tiga fase. Yang pertama, alergen menyebabkan
produksi IgE pada paparan pertama yang disebut fase sensitasi. IgE kemudian kontak dengan sel
mast dan basofil. Fase kedua terjadi pada paparan kedua oleh antigen yang sama, dimana akan
diproduksi lebih banyak IgE dan terjadi degranulasi sel mast sehingga menghasilkan mediator
inflamasi seperti histamin, prostaglandin dan bradikin.4, 5, 6, 7, 18
Fase ketiga adalah terjadinya reaksi sebagai efek dari mediator-mediator yang dilepas
oleh sel mast dengan aktivitas farmakologik. Manifestasi okuler adalah konjungtivitis alergi,
konjungtivitis papil raksasa, keratokonjungtivitis atopik dan keratokonjungtivitis vernal.4, 5, 6, 7, 18

Hipersensitivitas Tipe II : Sitotoksik


Tipe ini melibatkan antibodi IgG dan IgM, yang dapat menyebabkan lisis seluler akibat
dari adanya dan teraktivasinya sel inflamasi yang berinteraksi dengan komplemen. Antibodi akan
mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fc-R, dimana salah satunya adalah sel NK. Sel NK
akan menyebabkan lisisnya sel yang terpapar antigen melalui Antibody Dependent Cell
Cytotoxicity (ADCC) (tanpa interaksi dengan komplemen). Manifestasi okuler : Ulkus Mooren
dan Sikatriks Pemfigoid, Dermatitis Herpetiformis.4, 5, 6, 7, 18

Hipersensitivitas Tipe III : Kompleks Antigen-Antibodi


Hipersensitivitas tipe III terjadi akibat penimbunan kompleks antigen-antibodi.
Normalnya, kompleks imun akan disingkirkan oleh fagosit, namun bila terdapat kompleks imun
yang persisten akan mengaktifkan komplemen sehingga sel inflamasi memasuki deposit
kompleks imun. 4, 5, 6, 7
Karena pembuluh darah lebih mudah untuk menjadi tempat deposit kompleks imun, maka
badan siliar merupakan bagian yang mudah mengalami reaksi tipe ini. Manifestasi okuler :
Uveitis, Sindroma Behcet dan Sindroma Sjgren.4, 5, 6, 7

Hipersensitivitas Tipe IV : Tipe Lambat


Terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe ini diawali oleh adanya peptida antigen yang
dipresentasikan oleh APC ke sel T. Sel T ini akan bermigrasi ke jalan masuk antigen dan
melepaskan mediator inflamasi seperti TNF. Reaksi ini terdiri dari 2 tipe yaitu Delayed Type
Hypersensitivity (DTH) dan T Cell Mediated Cytolisis (TMC). Pada DTH, sel CD4+ Th 1
melepas sitokin IFN- yang mengaktifkan makrofag yang berperan sebagai sel efektor. Pada
DTH terdapat 2 fase yaitu fase sensitasi (pengenalan) dan fase peningkatan respon imun. Pada
TMC, sel CD8+ yang langsung membunuh sel sasaran (efektor).Manifestasi okuler : Simpatetik
4, 5, 6, 7, 18
oftalmia, Uveitis idiopatik, alergi okuler, reaksi penolakan transplantasi kornea
Hipersensitivitas Tipe V : Stimulasi
Merupakan kategori yang baru dimana autoantibodi terikat pada reseptor hormon yang
menyerupai hormon itu sendiri. Hal ini mengakibatkan stimulasi terhadap sel target. Contoh
reaksi ini adalah pada tirotoksikosis.

Anda mungkin juga menyukai