Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi
tubuh, berfungsi protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula
menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut reaksi
hipersensitivitas. Komponen-komponen sistem imun yang bekerja pada proteksi adalah sama
dengan yang menimbulkan reaksi hipersensitifitas. Hipersensitivitas adalah peningkata
reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya.
Reaksu hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelainan yang heterogen yang dapat dibagi menurut
berbagai cara.
Reaksi intermediate diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan penjamu yang
disebabkan oleh neutrofil atay sel NK.
c. Reaksi lambat
Reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan
antigen yang terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH, sitokin yang dilepas sel T
mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan.
Contoh reaksi lambat adalah dermatitis kontak, reaksi M. tuberkuloasis dan reaksi
penolakan tandur.
Manifestasi reaksi tipe I bervariasi dari lokal, ringan sampai berat dan keadaan
yang mengancam nyawa seperti anafilaksis dan asma berat
a. Reaksi lokal
b. Reaksi sistemik-anafilaksis
c. Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid
B. Reaksi tipe II atau sitotoksis atau sitolitik
Reaksi tipe II disebut juga rekasi sitotoksis atau sitolitik, terjadi karena dibentuk
antibody jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel penjamu.
Reaksi diawali oleh reaksi antara antibody dan determinan antigen yang merupakan
bagian dari membrane sel tergantung apakah komplemen atau molekul asesori dan
metabolism sel dilibatkan.
Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan
bukan efek toksis. Antoibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fc -
R dan juga sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan
melalui ADCC. Reaksi tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik.
a. Reaksi transfuse
b. Penyakit hemolitik bayi baru lahir
c. Anemia hemolitik
Dalam keadaan normal kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut
eritrosit ke hati, limpa dan di sana dimusnahkan oleh sel fagosit mononuclear, terutama di
hati, limpa, dan paru tanpa bantuan komplemen. Pada umumnya kompleks yang besar
dapat dengan mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil
dan larut sulit untuk dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi.
Diduga bahwa gangguan fungsi fagosit merupakan salah satu penyebab mengapa
kompleks tersebut sulit dimusnahkan. Meskipun kompleks imun berada dalam sirkulasi
untuk jangka waktu lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila
kompleks imun tersebut mengendap di jaringan.
Bentuk reaksi tipe III mempunyai 2 bentuk yaitu lokal dan sistemik.
Baik CD4 maupun CD8 berperan dalam reaksi tipe IV. Sel T melepas sitokin,
bersama dengan produksi mediator sitotoksik lainnya menimbulkan respon inflamasi
yang terlihat pada penyakit kulit hipersensitivitas lambat. Contohnta dermatitis
kontak yang diinduksi oleh etilendiamine, neomisin, anestesi topical, antihistamin
topical dan steroid tipikal.
Delayed type hypersensitivity tipe IV. Reaksi tipe IV merupakan
hipersensitivitas granulomatosis. Biasanta terjadi terhadap bahan yang tidak dapat
disingkirkan dari rongga tubuh seperti talcum dalam rongga peritoneum dan kolagen
sapi dari bawah kulit. Ada beberapa fase pada repon tipe IV yang dimulai dengan fase
sensitasi yang membutuhkan waktu 1-2 minggu setelah kontak primer dengan
antigen. Dalam fase itu Th diaktifkan oleh APC melalui MCH-II. Reaksi khas DTH
seperti respon imun lainnta mempunyai 2 fase yang dapat dibedakan yaitu fase
sensitasi dan fase efektor.
a. Dermatitis kontak
b. Hipersensitivitas tuberculin
c. Reaksi Jones Mote
d. T cell mediated cytolysis (penyakit CD8+)
B. PROTEKSI IMUN :
1. SISTEM LAKRIMALIS
Proteksi imun untuk mucosal surface termasuk permukaan okuler adalah Mucosa-
Associated Lymphoid Tissue (MALT) . MALT terbentuk oleh adanya interkoneksi dari daerah
mukosa yang memberikan gambaran imunologis spesifik tertentu yaitu terdapat banyak APC,
struktur khusus untuk memproses antigen secara terlokalisir (tonsil) dan sel efektor (sel T
intraepitelial dan sel mast yang berlimpah). Salah satu fungsi utama MALT adalah untuk
menciptakan keseimbangan antara imunitas dan toleransi untuk mencegah kerusakan jaringan
mukosa. 5, 7, 9, 12
Jaringan limfoid difus pada permukaan glandula lakrimal, duktus lakrimal, konjungtiva
(conjunctival associated lymphoid tissue atau CALT) dan berlanjut sampai kanalikulus serta
sistem drainase lakrimal (lacrimal drainadeassociated lymphoid tissue atau LDALT) secara
keseluruhan disebut Eye-Associated Lymphoid Tissue (EALT). EALT merupakan kumpulan sel-
sel limfoid yang terletak pada epitel permukaan mukosa. Sel-sel ini menghasilkan antigen dan
mampu menginduksi terjadinya respon imun seluler maupun humoral. Kelenjar lakrimalis
merupakan penghasil IgA terbesar bila dibandingkan dengan jaringan okuler lainnya.12,13
2. TEAR FILM
Air mata mengandung berbagai mediator seperti histamin, triptase, leukotrin dan
prostaglandin yang berhubungan dengan alergi pada mata. Mediator-mediator itu berasal dari sel
mast. Semuanyadapat menimbulkan rasa gatal, kemerahan, air mata dan mukus yang
berhubungan dengan penyakit alergi akut dan kronis. Pengerahan komponen seluler lokal
melibatkan molekul adhesi sepertiIntercelluler Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) di epitel
konjungtiva yang meningkatkan adhesi leukosit ke epitel dan endotel. Ekspresi molekul adhesi
diatur oleh banyak komponen ekstraseluler dan intraseluler seperti sitokin proinflamasi, matriks
protein ekstraseluler dan infeksi virus. 5, 7
Pada lapisan mukus yang diproduksi oleh sel goblet dan sel epitel
konjungtiva, glikocalyx yang disintesis epitel kornea membantu perlekatan lapisan mukus
sehingga berhubungan dengan imunoglobulin pada lapisan akuos. Pada lapisan akuos sendiri,
banyak mengandung faktor-faktor terlarut yang berperan sebagai antimikroba. Seperti laktoferin,
lisozim, dan -lisin. Laktoferin berfungsi utama dalam mengikat besi yang dibutuhkan oleh
pertumbuhan bakteri, sehingga bersifat bakteriostatik dan bakterisidal. Lisozim efektif dalam
menghancurkan dinding sel bakteri gram positif. -lisin memiliki kemampuan dalam merusak
dinding sel mikroorganisme. Selain faktor terlarut tersebut, lapisan akuos juga mengandung
banyak IgA yang sangat efektif dalam mengikat mikroba, lalu melakukan opsonisasi, inaktivasi
enzim dan toksin dari bakteri, serta berperan langsung sebagai efektor melalui Antigen
Dependent Cell Cytotoxycity (tanpa berinteraksi dengan komplemen).7, 8, 9
3. KONJUNGTIVA
Konjungtiva terdiri dari dua lapisan : lapisan epitel dan lapisan jaringan ikat yang
disebut substansia propria. Konjungtiva tervaskularisasi dengan baik dan memiliki sistem
drainase limfe yang baik ke limfonodi preaurikularis dan submandibularis. Jaringan ini
mengandung banyak sel Langerhans, sel dendritik dan makrofag yang berperan sebagai Antigen
Presenting Cell (APC) yang potensial. Folikel pada konjungtiva yang membesar setelah infeksi
ataupun inflamasi pada ocular surface menunjukkan adanya kumpulan sel T, sel B dan APC.
Folikel ini merupakan daerah untuk terjadinya respon imun terlokalisir terhadap antigen oleh sel
B dan sel T secara lokal di dalam folikel.5, 7,13
Keberadaan immune previlege pada mata diketahui pada akhir abad 19 oleh
Medawar. Mata merupakan struktur dengan keistimewaan imunitas, terlindungi dari sistem imun
oleh berbagai mekanisme. Perlu ditekankan bahwa keistimewaan imunitas bukan berarti
ketidakmampuan host memicu respon imun, namun merupakan kemampuan menghindarkan diri
dari konsekuensi berat yang terjadi akibat adanya proses inflamasi. Pada tahap dimana terjadi
gangguan dari mekanisme ini, akan menyebabkan inflamasi yang lebih berat
yang bias mengancam penglihatan. Baik dari faktor infeksi maupun mekanisme imun, sangat
berpengaruh dalam memicu kelemahan mekanisme keistimewaan imunitas mata.5, 7, 10
2. INFLAMASI
Inflamasi didefinisikan sebagai reaksi lokal jaringan terhadap cidera. Reaksi dapat
menimbulkan reaksi berantai dan rumit yang berdampak terjadinya vasodilatasi, kebocoran
vaskulatur mikro dengan eksudasi cairan dan protein serta infiltrasi lokal sel-sel inflamasi. Sel
fagosit diperlukan untuk menyingkirkan bahan-bahan asing dan mati di jaringan yang cidera.
Mediator inflamasi yang dilepas fagosit seperti enzim, radikal bebas anion superoksid dan oksida
nitrit berperan untuk menghancurkan makromolekul dalam cairan eksudat. Namun respon
inflamasi merupakan resiko yang harus diperhatikan pejamu. Bila terjadi rangsangan yang
menyimpang dan menetap atau bahkan ditingkatkan. Reaksi dapat berlanjut yang menimbulkan
kerusakan jaringan pejamu dan penyakit.4, 5, 7
Pada inflamasi akut terjadi reaksi yang cepat terhadap benda asing, dapat beberapa jam
sampai hari. Gejala inflamasi dini ditandai dengan lepasnya berbagai mediator sel mast seperti
histamin dan bradikinin, yang diikuti oleh aktivasi komplemen dan sistem koagulasi. Sel endotel
dan sel inflamasi akan melepas mediator yang menimbulkan efek sistemik seperti panas. Netrofil
yang dikerahkan ke lokasi cidera akan melepas produk toksik. Bila penyebab inflamasi tidak
dapat disingkirkan atau terjadi pajanan berulang-ulang dengan antigen, akan terjadi inflamasi
kronik yang dapat merusak jaringan dan kehilangan fungsi sama sekali.4,5, 7
Bila inflamasi terkontrol, neutrofil tidak lagi dikerahkan dan berdegenerasi. Selanjutnya
dikerahkan sel mononuklear seperti monosit, makrofag, limfosit dan sel plasma yang
memberikan gambaran inflamasi kronik. Dalam inflamasi kronik ini, monosit-makrofag
memiliki 2 peran yaitu memakan dan mencerna mikroba, debris seluler dan neutrofil yang
berdegenerasi serta modulasi respon imun dan fungsi sel T melalui presentasi antigen dan sekresi
sitokin. Monosit-makrofag juga mempunyai fungsi dalam penyembuhan luka dan memperbaiki
parenkim dan fungsi sel inflamasi melalui sekresi sitokin. 4, 5, 7
Inflamasi yang terjadi pada praktek sehari-hari biasanya berfungsi secara fisiologis pada
level subklinis tanpa manifestasi yang jelas. Misalnya, pada sebagian besar individu, paparan
alergen permukaan okular yang terjadi tiap hari pada semua manusia atau kontaminasi bakteri
selama operasi katarak yang terjadi pada sebagian besar mata biasanya dibersihkan oleh
mekanisme respon imun bawaan atau adaptif tanpa inflamasi yang jelas. 4, 5, 7
3. REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya berfungsi
protektif, namunrespon imun juga dapat menimbulkan akibat buruk.Hal ini
disebut dengan penyakit hipersensitivitas. Komponen-komponen sistem imun yang bekerja pada
proteksi adalah sama dengan yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas yaitu
reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh. 7
Reaksi hipersensitivitas secara umum dibagi menurut mekanismenya oleh Robert
Coombs dan Philip HH Gell pada tahun 1963. Lalu klasifikasi ini ditambahkan menjadi 5 Tipe. 4,
6, 7