Anda di halaman 1dari 30

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Preeklampsia
3.1.1 Definisi
Pre-eklampsia ialah penyakit dengan tanda-tanda khas tekanan darah
tinggi (hipertensi), pembengkakan jaringan (edema), dan ditemukannya
protein dalam urin (proteinuria) yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini
umumnya terjadi dalam triwulan ke-3 kehamilan, tetapi dapat juga terjadi
pada trimester kedua kehamilan. 3
Sering tidak diketahui atau diperhatikan oleh wanita hamil yang
bersangkutan, sehingga tanpa disadari dalam waktu singkat pre-eklampsia
berat bahkan dapat menjadi eklampsia yaitu dengan tambahan gejala kejang-
kejang dan atau koma. 3
3.1.2 Epidemiologi
Dari beberapa kepustakaan frekuensi penderita preeklampsia berkisar 3% -
10 %. hasil penelitian Erwati dkk (1994) di Padang didapatkan kejadian
preeklampsia berat 4,32 % dan eklampsia 0,89 % dengan jumlah kematian
perinatal 1,08%. 5
3.1.3 Faktor-Faktor Resiko
2. Faktor usia
Usia 20-30 tahun adalah periode paling aman untuk hamil atau
melahirkan, akan tetapi di negara berkembang sekitar 10% - 20%
bayi dilahirkan dari ibu yang usianya tergolong remaja. Dari
penelitian didapatkan bahwa dua tahun setelah menstruasi yang
pertama, seorang wanita masih sangat mungkin terjadinya
hipertensi dan kejang di karenakan mengalami tekanan yang baru
dirasakan saat pertama kali melahirkan sehingga menyebabkan
preeklamsia dan eklamsia. Usia wanita remaja pada kehamilan
pertama atau nulipara umur belasan tahun (usia muda kurang dari
20 tahun) juga masih sangat mungkin terjadinya hipertensi pada
kehamilannya dikarenakan organ reproduksi didalam tubuhnya
masih belum matang secara sempurna. 6

14
1. Paritas
Dari penelitian didapatkan bahwa Primigravida mengalami
kejadian preeklamsia dan eklamsia sebesar 3-8 % dari semua kasus
hipertensi pada kehamilan dan faktor yang mempengaruhi
preeklamsia dan eklamsia lebih tinggi frekuensinya pada
primigravida dibandingkan dengan multigravida, terutama pada
primigravida dengan usia muda. 6
Hal tersebut dikarenakan wanita dengan preeklamsia dan eklamsia
dapat mengalami kelainan aktivasi imun dan hal ini dapat
menghambat invasi trovoblas pada pembuluh darah ibu. Sehingga
preeklamsia dan eklamsia lebih sering terjadi pada wanita yang
terpajan antigen paternal untuk yang pertama kali seperti kehamilan
pertama kali atau kehamilan pertama dengan pasangan baru. 6
2. Riwayat hipertensi
Salah satu faktor risiko terjadinya preeklamsia atau eklamsia
adalah riwayat hipertensi kronis, atau penyakit vaskuler hipertensi
sebelumnya, atau hipertensi esensial. Sebagian besar kehamilan
dengan hipertensi esensial berlangsung normal sampai cukup bulan.
Pada kira-kira sepertiga diantara para wanita penderita tekanan
darahnya tinggi setelah kehamilan 30 minggu tanpa disertai gejala
lain. Kira-kira 20% menunjukkan kenaikan yang lebih mencolok dan
dapat disertai satu gejala preeklampsia atau lebih, seperti edema,
proteinuria, nyeri kepala, nyeri epigastrium, muntah, gangguan visus
( Supperimposed preeklampsia ), bahkan dapat timbul eklampsia dan
perdarahan otak. 6
3. Kehamilan ganda
Preeklamsia dan eklamsia mempunyai risiko 3 kali lebih sering
terjadi pada kehamilan ganda dari 105 kasus kembar dua didapatkan
28,6% kejadian preeklamsia dan didapatkan satu kasus kematian ibu
karena eklamsia. Dari hasil yang tercantum diatas, sebagai faktor
penyebabnya adalah dislensia uterus. 6
4. Faktor Genetika

15
Preeklamsia merupakan penyakit yang diturunkan, preeklamisa
dan eklamsia lebih sering ditemukan pada anak wanita dari ibu yang
menderita preeklamsia.Dan preeklamsia juga lebih sering ditemukan
pada anak wanita yang mempunyai riwayat preeklamsia dan eklamsia
dalam keluarga. Karena faktor ras dan genetika merupakan unsur
yang penting sebagai faktor risiko yang mendasari terjadinya
hipertensi kronis. 6
5. Obesitas
Kegemukan disamping menyebabkan kolesterol tinggi dalam darah
juga menyebabkan kerja jantung lebih berat, karena jumlah darah
yang berada dalam badan sekitar 15% dari berat badan, semakin
gemuk seseorang maka semakin banyak pula jumlah darah yang
terdapat didalam tubuh yang berarti semakin berat juga fungsi
pemompaan jantung, sehingga dapat menimbulkan terjadinya
preeklamsia.
3.1.4 Gejala-Gejala
Dua gejala yang sangat penting pada preeklampsia adalah hipertensi
dan proteinuria. Gejala ini merupakan keadaan yang biasanya tidak
disadari oleh wanita hamil. Pada waktu keluhan lain seperti sakit kepala,
gangguan penglihatan, dan nyeri epigastrium mulai timbul, hipertensi dan
proteinuria yang terjadi biasanya sudah berat. 7
1. Tekanan darah.
Kelainan dasar pada preeklampsia adalah vasospasme arteriol
sehingga tanda peringatan awal muncul adalah peningkatan tekanan
darah. Tekanan diastolik merupakan tanda prognostik yang lebih baik
dibandingkan tekanan sistolik dan tekanan diastolik sebesar 90
mmHg atau lebih menetap menunjukan keadaan abnormal. 7
2. Kenaikan berat badan.
Peningkatan berat badan yang terjadi tiba-tiba dan kenaikan berat
badan yang berlebihan merupakan tanda pertama preeklampsia.
Peningkatan berat badan sekitar 0,45 kg per minggu adalah normal,

16
tetapi bila lebih dari 1 kg dalam seminggu atau 3 kg dalam sebulan
maka kemungkinan terjadinya preeklampsia harus dicurigai. 7
Peningkatan berat badan yang mendadak serta berlebihan terutama
disebabkan oleh retensi cairan dan selalu dapat ditemukan sebelum
timbul gejala edema nondependen yang terlihat jelas, seperti edema
kelopak mata, kedua lengan, atau tungkai yang membesar. 7
3. Proteinuria.
Derajat proteinuria sangat bervariasi menunjukan adanya suatu
penyebab fungsional dan bukan organik. Pada preeklampsia awal,
proteinuria mungkin hanya minimal atau tidak ditemukan sama
sekali. Pada kasus yang berat, proteinuria biasanya dapat ditemukan
dan mencapai 10 gr/l. Proteinuria hampir selalu timbul kemudian
dibandingkan dengan hipertensi dan biasanya terjadi setelah kenaikan
berat badan yang berlebihan. 7
4. Nyeri kepala.
Gejala ini jarang ditemukan pada kasus ringan, tetapi semakin
sering terjadi pada kasus yang lebih berat. Nyeri kepala sering terasa
pada daerah frontalis dan oksipitalis, dan tidak sembuh dengan
pemberian analgesik biasa. Pada wanita hamil yang mengalami
serangan eklampsia, nyeri kepala hebat hampir selalu mendahului
serangan kejang pertama. 7
5. Nyeri epigastrium.
Nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas merupakan
keluhan yang sering ditemukan pada preeklampsia berat dan dapat
menjadi presiktor serangan kejang yang akan terjadi. Keluhan ini
mungkin disebabkan oleh regangan kapsula hepar akibat edema atau
perdarahan. 7
6. Gangguan penglihatan.
Gangguan penglihatan yang dapat terjadi di antaranya pandangan
yang sedikit kabur, skotoma, hingga kebutaan sebagian atau total.
Keadaan ini disebabkan oleh vasospasme, iskemia, dan perdarahan
petekie pada korteks oksipital. 8

17
3.1.5 Patofisiologi
Perubahan pokok yang didapatkan pada preeklampsia adalah adanya
spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Bila spasme
arteriolar juga ditemukan di seluruh tubuh, maka dapat dipahami bahwa
tekanan darah yang meningkat merupakan kompensasi mengatasi kenaikan
tahanan perifer agar oksigenasi jaringan tetap tercukupi. Sedangkan
peningkatan berat badan dan edema yang disebabkan penimbunan cairan
yang berlebihan dalam ruang interstitial belum diketahui penyebabnya.
Beberapa literatur menyebutkan bahwa pada preeklampsia dijumpai kadar
aldosteron yang rendah dan kadar prolaktin yang tinggi dibandingkan pada
kehamilan normal. Aldosteron penting untuk mempertahankan volume
plasma dan mengatur retensi air serta natrium. 8
Pada preeklampsia permeabilitas pembuluh darah terhadap protein
meningkat Turunnya tekanan darah pada kehamilan normal ialah karena
vasodilatasi perifer yang diakibatkan turunnya tonus otot polos arteriol.
Hal ini kemungkinan akibat meningkatnya kadar progesteron di sirkulasi,
dan atau menurunnya kadar vasokonstriktor seperti angiotensin II,
adrenalin, dan noradrenalin, dan atau menurunnya respon terhadap zat-zat
vasokonstriktor. Semua hal tersebut akan meningkatkan produksi
vasodilator atau prostanoid seperti PGE2 atau PGI2. Pada trimester ketiga
akan terjadi peningkatan tekanan darah yang normal seperti tekanan darah
sebelum hamil. 8
1. Regulasi volume darah
Pengendalian garam dan homeostasis meningkat pada
preeklampsia. Kemampuan untuk mengeluarkan natrium juga
terganggu, tetapi pada derajat mana hal ini terjadi sangat bervariasi dan
pada keadaan berat mungkin tidak dijumpai adanya edema. Bahkan
jika dijumpai edema interstitial, volume plasma adalah lebih rendah
dibandingkan pada wanita hamil normal dan akan terjadi
hemokonsentrasi. Terlebih lagi suatu penurunan atau suatu peningkatan
ringan volume plasma dapat menjadi tanda awal hipertensi. 8
2. Volume darah, hematokrit, dan viskositas darah

18
Rata-rata volume plasma menurun 500 ml pada preeklampsia
dibandingkan hamil normal, penurunan ini lebih erat hubungannya
dengan wanita yang melahirkan bayi dengan berat bayi lahir rendah
(BBLR). 8
3. Aliran Darah di Organ-Organ
a. Aliran darah di otak
Pada preeklampsia arus darah dan konsumsi oksigen berkurang
20%. Hal ini berhubungan dengan spasme pembuluh darah otak
yang mungkin merupakan suatu faktor penting dalam terjadinya
kejang pada preeklampsia maupun perdarahan otak. 8
b. Aliran darah ginjal dan fungsi ginjal
Terjadi perubahan arus darah ginjal dan fungsi ginjal yang
sering menjadi penanda pada kehamilan muda. Pada preeklampsia
arus darah efektif ginjal rata-rata berkurang 20%, dari 750 ml
menjadi 600ml/menit, dan filtrasi glomerulus berkurang rata-rata
30%, dari 170 menjadi 120ml/menit, sehingga terjadi penurunan
filtrasi. Pada kasus berat akan terjadi oligouria, uremia dan pada
sedikit kasus dapat terjadi nekrosis tubular dan kortikal. 8
Plasenta ternyata membentuk renin dalam jumlah besar, yang
fungsinya mungkin sebagai cadangan menaikkan tekanan darah
dan menjamin perfusi plasenta yang adekuat. Pada kehamilan
normal renin plasma, angiotensinogen, angiotensinogen II, dan
aldosteron meningkat nyata di atas nilai normal wanitatidak hamil.
Perubahan ini merupakan kompensasi akibat meningkatnya kadar
progesteron dalam sirkulasi. Pada kehamilan normal efek
progesteron diimbangi oleh renin, angiotensin, dan aldosteron,
tetapi keseimbangan ini tidak terjadi pada preeklampsia. 8
Sperof (1973) menyatakan bahwa dasar terjadinya
preeklampsia adalah iskemi uteroplasenter dimana terjadi
ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat dengan
aliran perfusi sirkulasi darah plasenta yang berkurang. Apabila
terjadi hipoperfusi uterus, akan dihasilkan lebih banyak renin

19
uterus yang mengakibatkan vasokonstriksi dan meningkatnya
kepekaan pembuluh darah. Di samping itu angiotensin
menimbulkan vasodilatasi lokal pada uterus akibat efek
prostaglandin sebagai mekanisme kompensasi dari hipoperfusi
uterus.Laju filtrasi glomerulus dan arus plasma ginjal menurun
pada preeklampsia,tetapi karena hemodinamik pada kehamilan
normal meningkat 30% sampai 50%, nilai pada preeklampsia
masih di atas atau sama dengan nilai wanita tidak hamil. Klirens
fraksi asam urat yang menurun, kadang-kadang beberapa minggu
sebelum ada perubahan pada GFR, dan hiperuricemia dapat
merupakan gejala awal. Dijumpai pula peningkatan pengeluaran
protein biasanya ringan sampai sedang. 8
Preeklampsia merupakan penyebab terbesar sindrom nefrotik
pada kehamilan. Penurunan hemodinamik ginjal dan peningkatan
protein urin adalah bagian dari lesi morfologi khusus yang
melibatkan pembengkakan sel-sel intrakapiler glomerulus yang
merupakan tanda khas patologi ginjal pada preeklampsia. 8
c. Aliran darah uterus dan choriodesidua
Perubahan arus darah di uterus dan choriodesidua adalah
perubahan patofisiologi terpenting pada preeklampsia, dan
mungkin merupakan faktor penentu hasil kehamilan. Namun yang
disayangkan adalah belum ada satu pun metode pengukuran arus
darah yang memuaskan baik di uterus maupun di desidua. 8
d. Aliran darah di paru-paru
Kematian ibu pada preeklampsia dan eklampsia biasanya
karena edema paru yang menimbulkan dekompensasi cordis. Laju
filtrasi glomerulus dan arus plasma ginjal menurun pada
preeklampsia,tetapi karena hemodinamik pada kehamilan normal
meningkat 30% sampai 50%, nilai pada preeklampsia masih di atas
atau sama dengan nilai wanita tidak hamil. Klirens fraksi asam urat
yang menurun, kadang-kadang beberapa minggu sebelum ada

20
perubahan pada GFR, dan hiperuricemia dapat merupakan gejala
awal. 8
Dijumpai pula peningkatan pengeluaran protein biasanya
ringan sampai sedang. Preeklampsia merupakan penyebab terbesar
sindrom nefrotik pada kehamilan. Penurunan hemodinamik ginjal
dan peningkatan protein urin adalah bagian dari lesi morfologi
khusus yang melibatkan pembengkakan sel-sel intrakapiler
glomerulus yang merupakan tanda khas patologi ginjal pada
preeklampsia. 8
e. Keseimbangan air dan elektrolit
Terjadi peningkatan kadar gula darah yang meningkat untuk
sementara, asam laktat dan asam organik lainnya, sehingga
konvulsi selesai, zat-zat organik dioksidasi dan dilepaskan natrium
yang lalu bereaksi dengan karbonik dengan terbentuknya natrium
bikarbonat. Dengan demikian cadangan alkali dapat pulih kembali.
8

3.1.6 Klasifikasi
Dari berbagai gejala, preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan
dan preeklampsia berat.
1. Kriteria preeklampsia ringan :
a) Hipertensi dengan sistolik/diastolik > 140/90 mmHg, sedikitnya
enam jam pada dua kali pemeriksaan tanpa kerusakan organ.
b) Proteinuria > 300 mg/24 jam atau > 1 + dipstik.
c) Edema generalisata yaitu pada lengan, muka, dan perut.
2. Kriteria preeklampsia berat :
a) Tekanan darah sistolik/diastolik > 160/110 mmHg sedikitnya enam
jam pada dua kali pemeriksaan. Tekanan darah ini tidak menurun
meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan telah
menjalani tirah baring.
b) Proteinuria > 5 gram/24 jam atau > 3 + dipstik pada sampel urin
sewaktu yang dikumpulkan paling sedikit empat jam sekali.
c) Oliguria < 400 ml / 24 jam.

21
d) Kenaikan kadar kreatinin plasma > 1,2 mg/dl
e) Gangguan visus dan serebral : penurunan kesadaran, nyeri kepala
persisten, skotoma, dan pandangan kabur.
f) Nyeri epigastrium pada kuadran kanan atas abdomen akibat
teregangnya kapsula glisson.
g) Edema paru dan sianosis.
h) Hemolisis mikroangipatik karena meningkatnya enzim laktat
dehidrogenase.
i) Trombositopenia ( trombosit < 100.000 mm3).
j) Oligohidroamnion, pertumbuhan janin terhambat, dan abrupsio
plasenta. Gangguan fungsi hepar karena peningkatan kadar enzim
ALT dan AST.
3.1.7 Penatalaksanaan
Tujuan dasar dari penatalaksanaan preeklampsia adalah 9
1 Terminasi kehamilan dengan kemungkinan setidaknya terdapat
trauma pada ibu maupun janin
2 Kelahiran bayi yang dapat bertahan
3 Pemulihan kesehatan lengkap pada ibu
Persalinan merupakan pengobatan untuk preeklampsia. Jika
diketahui atau diperkirakan janin memiliki usia gestasi preterm,
kecenderungannya adalah mempertahankan sementara janin di dalam
uterus selama beberapa minggu untuk menurunkan risiko kematian
neonatus. 9
Khusus pada penatalaksanaan preeklampsia berat (PEB),
penanganan terdiri dari penanganan aktif dan penanganan
ekspektatif. Wanita hamil dengan PEB umumnya dilakukan
persalinan tanpa ada penundaan. Pada beberapa tahun terakhir,
sebuah pendekatan yang berbeda pada wanita dengan PEB mulai
berubah. Pendekatan ini mengedepankan penatalaksanaan ekspektatif
pada beberapa kelompok wanita dengan tujuan meningkatkan luaran
pada bayi yang dilahirkan tanpa memperburuk keamanan ibu. 9

22
Adapun terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien dengan
PEB antara lain adalah:
a) tirah baring
b) oksigen
c) kateter menetap
d) cairan intravena.
Cairan intravena yang dapat diberikan dapat berupa
kristaloid maupun koloid dengan jumlah input cairan 1500 ml/24
jam dan berpedoman pada diuresis, insensible water loss, dan
central venous pressure (CVP). Balans cairan ini harus selalu
diawasi.
e) Magnesium sulfat (MgSO4)
Obat ini diberikan dengan dosis 20 cc MgSO4 20% secara
intravena loading dose dalam 4-5 menit. Kemudian dilanjutkan
dengan MgSO4 40% sebanyak 30 cc dalam 500 cc ringer laktat
(RL) atau sekitar 14 tetes/menit. Magnesium sulfat ini diberikan
dengan beberapa syarat, yaitu:
1. refleks patella normal
2. frekuensi respirasi >16x per menit
3. produksi urin dalam 4 jam sebelumnya >100cc atau 0.5
cc/kgBB/jam
4. disiapkannya kalsium glukonas 10% dalam 10 cc sebagai
antidotum. Bila nantinya ditemukan gejala dan tanda
intoksikasi maka kalsium glukonas tersebut diberikan dalam
tiga menit.
f. Antihipertensi
Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik >110
mmHg. Pilihan antihipertensi yang dapat diberikan adalah
nifedipin 10 mg. Setelah 1 jam, jika tekanan darah masih tinggi
dapat diberikan nifedipin ulangan 10 mg dengan interval satu
jam, dua jam, atau tiga jam sesuai kebutuhan. Penurunan tekanan
darah pada PEB tidak boleh terlalu agresif yaitu tekanan darah

23
diastol tidak kurang dari 90 mmHg atau maksimal 30%.
Penggunaan nifedipin ini sangat dianjurkan karena harganya
murah, mudah didapat, dan mudah mengatur dosisnya dengan
efektifitas yang cukup baik. 10
g) Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan pada semua
wanita usia kehamilan 24-34 minggu yang berisiko melahirkan
prematur, termasuk pasien dengan PEB. Preeklampsia sendiri
merupakan penyebab 15% dari seluruh kelahiran prematur. Ada
pendapat bahwa janin penderita preeklampsia berada dalam
keadaan stres sehingga mengalami percepatan pematangan paru.
Akan tetapi menurut Schiff dkk, tidak terjadi percepatan
pematangan paru pada penderita preeclampsia Gluck pada tahun
1979 menyatakan bahwa produksi surfaktan dirangsang oleh
adanya komplikasi kehamilan antara lain hipertensi dalam
kehamilan yang berlangsung lama. Hal yang sama juga
dilaporkan Chiswick (1976) dan Morrison (1977) yaitu rasio L/S
yang matang lebih tinggi pada penderita hipertensi dalam
kehamilan yang lahir prematur. Sementara itu, Owen dkk (1990)
menyimpulkan bahwa komplikasi kehamilan terutama hipertensi
dalam kehamilan tidak memberikan keuntungan terhadap
kelangsungan hidup janin. Banias dkk dan Bowen dkk juga
melaporkan terjadi peningkatan insidens respiratory distress
syndrome (RDS) pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita
hipertensi dalam kehamilan. diambil dari 26 Dalam lebih dari
dua dekade, kortikosteroid telah diberikan pada masaantenatal
dengan maksud mengurangi komplikasi, terutama RDS, pada
bayi prematur. 9
Apabila dilihat dari lamanya interval waktu mulai saat
pemberian steroid sampai kelahiran, tampak bahwa interval 24
jam sampai tujuh hari memberi keuntungan yang lebih besar
dengan rasio kemungkinan (odds ratio/OR) 0,38 terjadinya RDS.

24
Sementara apabila interval kurang dari 24 jam OR 0,70 dan
apabila lebih dari 7 hari OR 0,41. 2 Penelitian US Collaborative
tahun 1981 melaporkan perbedaan bermakna insiden RDS
dengan pemberian steroid antenatal pada kehamilan 30-34
minggu dengan interval antara 24 jam sampai dengan tujuh hari.
Sementara penelitian Liggins dan Howie mendapati insidens
RDS lebih rendah apabila interval waktu antara saat pemberian
steroid sampai kelahiran adalah dua hari sampai kurang dari
tujuh hari dan perbedaan ini bermakna. Mereka menganjurkan
steroid harus diberikan paling tidak 24 jam sebelum terjadi
kelahiran agar terlihat manfaatnya terhadap pematangan paru
janin. 10
Pemberian steroid setelah lahir tidak bermanfaat karena
kerusakan telah terjadi sebelum steroid bekerja. National
Institutes of Health (NIH) merekomendasikan: 10
1.
Semua wanita hamil dengan kehamilan antara 2434 minggu
yang dalam persalinan prematur mengancam merupakan
kandidat untuk pemberian nkortikosteroid antenatal dosis
tunggal.
2.
Kortikosteroid yang dianjurkan adalah betametason 12 mg
sebanyak dua dosis dengan selang waktu 24 jam atau
deksametason 6 mg sebanyak 4 dosisintramuskular dengan
interval 12 jam.
3.
Keuntungan optimal dicapai 24 jam setelah dosis inisial dan
berlangsung selama
tujuh hari.
4.
Pemberian deksamethason di Rumah Sakit Pendidikan di FK-
USU yaitu 15 mg dalam sekali pemberian. 10
3.2 Anestesi Regional
3.2.1 Pengertian
Anestesi adalah keeadaan tidak sadar yang bersifat sementara
karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri

25
pembedahan. Analgesia adalah pemberian obat untuk menhilangkan
kesadaran pasien. 11
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan
tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid.
Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal
intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita
menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang subarachnoid di
daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5. 11
3.2.2 Pembagian Anastesi Regional
1. Blok sentral ( blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural
dan kaudal.
2. Blok perifer (blok saraf), misalnya blok pleksus brakialis, aksiler,
analgesia regional intravena dan lain-lain.
3.2.3 Anatomi Tulang Punggung (Kolumna Vertebralis)

1. Tulang punggung (kolumna vertebralis)


Terdiri dari: 7 vertebra servikal
12 vertebra torakal
5 vertebra lumbal
5 vertebra sacral menyatu pada dewasa
4-5 vertebra koksigeal menyatu pada dewasa
Prosesus spinosus C2 teraba langsung dibawah oksipital. Prosesus
spinosus C7 menonjol dan disebut sebagai vertebra prominens.11

26
3.2.4 Indikasi Dan Kontraindikasi Anestesi Spinal
Indikasi anestesi spinal adalah 11
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetric ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasika
n dengan anesthesia umum ringan
Kontra indikasi dibedakan menjadi dua yaitu 11
a) Kontra indikasi absolut:
1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
5. Tekanan intrakranial meningkat
6. Fasilitas resusitasi minim
7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.
b) Kontra indikasi relatif:
1. Infeksi sistemik

27
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronik
3.2.5 Teknik Anestesi Spinal
Teknik anestesi spinal posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus
dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling sering
dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi
dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi
berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
11

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral


dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya
tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar
processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk. 11
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista
iliaka, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau
diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis. 11
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol. 11
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan bupivakain.
11

5. Lakukan penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada bidang


medial dengan sudut 10-30 derajad terhadap bidang horizontal ke arah
cranial. Jarum lumbal akan menembus kulit-subkutis-
lig.supraspinosum-lig.interspinosum-lig.flavum-ruang epidural-
duramater-ruang sub arakhnoid. Kira-kira jarak kulit-lig.flavum
dewasa 6cm. 11
6. Cabut stilet maka cairan serebrospinal akan menetes keluar. 11

28
7. Pasang spuit yang berisi obat, masukkan pelan-pelan (0,5
ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, untuk memastikan posisi jarum
tetap baik. 11

Gambar 3.1 Posisi lateral decubitus pada spinal anestesi

Gambar 3.2 Lokasi Ruang Subarachnoid

29
Obat-Obatan Yang Digunakan Pada Anestesi Spinal Adalah
1. Marcaine Spinal 0,5% sebagai anestesi local
a. Definisi
Marcaine steril merupakan nama dagang obat anestesi lokal,
isinya adalah bupivacaine HCL 5mg/ml dan dextrose 80mg/ml. Pada
pasien ini, diberikan Marcaine spinal 0,5% (steril). 12
b. Farmakodinamik
Anestesi lokal adalah obat yang digunakan untuk mencegah rasa
nyeri dengan memblok konduksi sepanjang serabut saraf secara
reversible. Obat menembus saraf dalam bentuk tidak terionisasi
(lipofilik), tetapi saat di dalam akson terbentuk beberapa molekul
terionisasi, dan molekul-molekul ini memblok kanal Na+, serta
mencegah pembentukan potensial aksi. Anestesi lokal dapat menekan
jaringan lain yang dapat dieksitasi (miokard) bila konsentrasi dalam
darah cukup tinggi, namun efek sistemik utamanya mencakup system
saraf pusat. Pada konsentrasi darah yang dicapai dengan dosis terapi,
terjadi perubahan konduksi jantung, eksitabilitas, refrakteritas,
kontraktilitas dan resistensi vaskuler perifer yang minimal.
Kontraktilitas miokardium ditekan dan terjadi vasodilatasi perifer,
mengakibatkan penurunan curah jantung dan tekanan darah arteri.
Absorpsi sistemik anestetik lokal juga dapat mengakibatkan
perangsangan dan atau penekanan sistem saraf pusat. Rangsangan pusat
biasanya berupa gelisah, tremor dan menggigil, kejang, diikuti depresi
dan koma, akhirnya terjadi henti napas. Fase depresi dapat terjadi tanpa
fase eksitasi sebelumnya. 12
c. Farmakokinetik
Kecepatan absorpsi anestetik lokal tergantung dari dosis total dan
konsentrasi obat yang diberikan, cara pemberian, dan vaskularisasi
tempat pemberian, serta ada tidaknya epinefrin dalam larutan anestetik.
Bupivacaine mempunyai awitan lambat (sampai dengan 30 menit) tetapi
mempunyai durasi kerja yang sangat panjang,sampai dengan 8 jam bila
digunakan untuk blok syaraf. Lama kerja bupivacaine lebih panjang

30
secara nyata daripada anestetik lokal yang biasa digunakan. Juga
terdapat periode analgesia yang tetap setelah kembalinya sensasi. 12
d. Efek samping
Penyebab utama efek samping kelompok obat ini mungkin
berhubungan dengan kadar plasma yang tinggi, yang dapat disebabkan
oleh overdosis, injeksi intravaskuler yang tidak disengaja atau degradasi
metabolik yang lambat. 12
a) Sistemik
Biasanya berkaitan dengan sistem saraf pusat dan
kardiovaskular seperti hipoventilasi atau apneu, hipotensi dan henti
jantung. 12
b) SSP
Gelisah, ansietas, pusing, tinitus, dapat terjadi penglihatan kabur
atau tremor, kemungkinan mengarah pada kejang. Hal ini dapat
dengan cepat diikuti rasa mengantuk sampai tidak sadar dan henti
napas. Efek SSP lain yang mungkin timbul adalah mual, muntah,
kedinginan, dan konstriksi pupil. 12
c) Kardiovaskuler
Depresi miokardium, penurunan curah jantung, hambatan
jantung, hipotensi, bradikardia, aritmia ventrikuler, meliputi
takikardia ventrikuler dan fibrilasi ventrikuler, serta henti jantung. 12
d) Alergi
Urtikaria, pruritus, eritema, edema angioneuretik (meliputi edema
laring), bersin, episode asma, dan kemungkinan gejala anafilaktoid
(meliputi hipotensiberat). 12
e) Neurologik
Paralisis tungkai, hilangnya kesadaran, paralisis pernapasan dan
bradikardia (spinal tinggi), hipotensi sekunder dari blok spinal,
retensi urin,inkontinensia fekal dan urin, hilangnya sensasi perineal
dan fungsi seksual;anestesia persisten, parestesia, kelemahan,
paralisis ekstremitas bawah dan hilangnya kontrol sfingter, sakit
kepala, sakit punggung, meningitis septik, meningismus, lambatnya

31
persalinan, meningkatnya kejadian persalinan dengan forcep, atau
kelumpuhan saraf kranial karena traksi saraf pada kehilangan
cairanserebrospinal. 12
3.2.6 Penilaian Dan Persiapan Pra Anestesi
1. Penilaian Pra Anestesi
1) Anamnesa
a.
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi
sebelumnya. 11
b.
Menanyakan alergi, sesak pada pasien. 11
c.
Kebiasaan minum alcohol dicurigai ada penyakit hepar. 11
d.
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk
mengeliminasinikotin yang mempengaruhi system kardiosirkulasi. 11
2) Pemerikaan Fisik
a.
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relative besar
sangat penting untuk mengetahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. 11
b.
Pemeriksaan rutin lain tentang keadaan umum tentu tidak boleh
dilewatkanseperti inspeksi, palpasi,perkusi dan auskultasi semua
sistem organ tubuh pasien. 11
3) Pemeriksaan Laboratorium
a.
Untuk bedah kecil , pemeriksaan darah (HB, lekosit, masa
perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. 11
b.
Pada pasien diatas 50 tahun dianjurkan pemeriksaan EKG dan foto
thorak. 11
4) Klasifikasi Status Fisik
Menurut klasifikasi the American society of Anesthesiologis (ASA)
yaitu:
a. Kelas 1 : Pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik, biokimia. 11
b. Kelas 2 : pasien dengan penyakit ringan atau sedang. 11
c. Kelas 3 : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas
rutin terbatas. 11

32
d. Kelas 4 : pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat. 11
e. Kelas 5 : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam. 11
5) Persiapan Hari Operasi
a.
Pembersihan dan pengosongan saluran pencernaan untuk
mencegah aspirasi isi lambung karena regurgitasi/muntah. 11
b.
Jika ada gigi palsu, perhiasan, bulu mata dilepas. Bahan
kosmetik (lipstick, cat kuku) dibersihkan sehingga tidak
mengganggu pemeriksaan. 11
c.
Rectum dan kandung kemih dikosongkan, jika perlu pasang kateter.
11

d.
Pasien masuk kamar operasi mengenakan pakaian khusus. 11
e.
Cukur rambut pubis 2 jam sebelum operasi. 11
f.
Pemberian obat-obatan premedikasi (jika perlu) dapat diberikan 1-2
jam sebelum induksi anesthesia. Antibiotika profilaksis,
diberikan bersama premedikasi (Sefalosporin generasi pertama).
Setelah persiapan pre-operatif dan pasien diputuskan siap untuk
mendapatkan operasi maka proses anestesi dapat dilakukan. 11
6) Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anastesia
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangunan dari
anastesi diantaranya: 11
a. Meredakan kecemasan dan ketakutan
b. Memperlancar induksi anastesia
c. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
d. Meminimalkan jumlah obat analgesic
e. Mengurangi mual dan muntah pasca bedah.
f. Menciptakan amnesia
g. Mengurangi isi cairan lambung
h. Mengurangi reflek yang membahayakan.

33
2. Obat Yang Digunakan Sebagai Analgesik
Fentanyl
a) Definisi
Fentanil merupakan opioid yang poten, mempunyai potensi
analgesia 100-300 kali efek morfin. Bersifat lipofilik yang
memungkinkan masuk ke struktur susunan saraf pusat dengan cepat.
Sistem transdermal menghantarkan fentanil, dari reservoir dengan
jumlah yang hampir konstan per unit waktu. Perbedaan konsentrasi
yang timbul antara larutan jenuh obat di dalam reservoir dan
konsentrasi yang rendah di dalam kulit mendorong pelepasan obat
fentanil bergerak ke arah konsentrasi yang lebih rendah dengan
kecepatan yang ditentukan oleh membran pelepas kopolimer dan
difusi fentanil melalui lapisan kulit. Meskipun kecepatan aktual
penghantaran fentanil ke kulit berbeda selama periode pemakaian 72
jam, tiap sistim dilabel dengan fluks nominal yang mencerminkan
jumlah rata-rata obat yang dihantarkan ke sirkulasi sistemik melalui
kulit. 12
b) Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian
1. Parentral :
Sebelum operasi : 50-100 mcg IM, 30-60 menit sebelum operasi
2. Sebagai tambahan anestesi umum :
1) Dosis rendah (operasi minor) IV 2 mcg/kg
2) Dosis sedang ((operasi mayor) awal 2-20 mcg/kg, tambahan
dosis IV/IM 25-100 mcg jika perlu
3) Dosis tinggi (operasi jantung terbuka, saraf atau prosedur
ortopedi) awal 20-50 mcg/kg, tambahan dosis 25 mcg - 1
dosis awal jika perlu
c) Farmakologi
Metabolisme terutama dalam hati. Ekskresi melalui urin sebagai
metabolit tidak aktif dan obat utuh 2-12%. Pada kerusakan ginjal
terjadi akumulasi morfin-6-glukoronid yang dpt memperpanjang
aktivitas opioid. Kira-kira 7-10% melalui feses. Ekskresi melalui
urin sebagai metabolit tidak aktif dan obat utuh 2-12%. Pada

34
kerusakan ginjal terjadi akumulasi morfin-6-glukoronid yg dpt
memperpanjang aktivitas opioid. Kira-kira 7-10% melalui feses. 12
d) Kontraindikasi
Hipersensitivitas, depresi pernapasan yang parah, Sediaan
transdermal tidak direkomendasikan pada nyeri akut atau paska
operasi, nyeri kronis ringan atau intermiten atau pasien yg belum
pernah menggunakan opioid & toleran thd opioid. 12
e) Efek Samping
1)
Depresi pernapasan. 12
2)
Sistem saraf : sakit kepala, gangguan penglihatan, vertigo,
depresi, rasa mengantuk, koma, eforia, disforia, lemah, agitasi,
ketegangan, kejang. 12
3)
Pencernaan : mual, muntah, konstipasi. 12
4)
Kardiovaskular : aritmia, hipotensi postural. 12
5)
Reproduksi, ekskresi & endokrin : retensi urin, oliguria. 12
6)
Efek kolinergik : bradikardia, mulut kering, palpitasi, takikardia,
tremor otot, pergerakan yang tidak terkoordinasi, delirium atau
disorientasi, halusinasi. 12
7)
Lain-lain : Berkeringat, muka merah, pruritus, urtikaria, ruam
kulit. 12
f) Bentuk Sediaan
Injeksi Ampul 50 mcg/ml, Transdermal 25 mcg/jam, 50 mcg/jam. 12
g) Peringatan
Hati-hati pada pasien dengan disfungsi hati & ginjal krn akan
memperlama kerja & efek kumulasi opiod, pasien usia lanjut, pada
depresi system saraf pusat yg parah, anoreksia, hiperkapnia, depresi
pernapasan, aritmia, kejang, cedera kepala, tumor otak, asma
bronkial. 12

Ketorolac 30 mg
1.
Dosis

35
Dewasa : Dosis awal Ketorolac yang dianjurkan adalah 10 mg diikuti
dengan 1030 mg tiap 4 sampai 6 jam bila diperlukan. Harus diberikan dosis
efektif terendah. Dosis harian total tidak boleh lebih dari 90 mg untuk orang
dewasa dan 60 mg untuk orang lanjut usia, pasien gangguan ginjal dan pasien
yang berat badannya kurang dari 50 kg. Lamanya terapi tidak boleh lebih dari
2 hari. 12
Pasien lanjut usia Ampul : Untuk pasien yang usianya lebih dari 65 tahun,
dianjurkan memakai kisaran dosis terendah: total dosis harian 60 mg tidak
boleh dilampaui (lihat Perhatian). 12
Anak-anak : Keamanan dan efektivitasnya pada anak-anak belum
ditetapkan. Oleh karena itu, Ketorolac tidak boleh diberikan pada anak di
bawah 16 tahun. Gangguan ginjal : Karena Ketorolac tromethamine dan
metabolitnya terutama diekskresi di ginjal, Ketorolac dikontraindikasikan
pada gangguan ginjal sedang sampai berat (kreatinin serum > 160 mmol/l);
pasien dengan gangguan ginjal ringan dapat menerima dosis yang lebih rendah
(tidak lebih dari 60 mg/hari IV atau IM), dan harus dipantau ketat. 12
2.
Farmakodinamik
Ketorolac tromethamine merupakan suatu analgesik non-narkotik. Obat ini
merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas
antipiretik yang lemah dan anti-inflamasi. Ketorolac tromethamine
menghambat sintesis prostaglandin dan dapat dianggap sebagai analgesik yang
bekerja perifer karena tidak mempunyai efek terhadap reseptor opiat. 12
3.
Farmakokinetik
Ketorolac tromethamine diserap dengan cepat dan lengkap setelah
pemberian intramuskular dengan konsentrasi puncak rata-rata dalam plasma
sebesar 2,2 mcg/ml setelah 50 menit pemberian dosis tunggal 30 mg. Waktu
paruh terminal plasma 5,3 jam pada dewasa muda dan 7 jam pada orang lanjut
usia (usia rata-rata 72 tahun). Lebih dari 99% Ketorolac terikat pada
konsentrasi yang beragam. Farmakokinetik Ketorolac pada manusia setelah
pemberian secara intramuskular dosis tunggal atau multipel adalah linear.
Kadar steady state plasma dicapai setelah diberikan dosis tiap 6 jam dalam
sehari. Pada dosis jangka panjang tidak dijumpai perubahan bersihan. Setelah

36
pemberian dosis tunggal intravena, volume distribusinya rata-rata 0,25 L/kg.
Ketorolac dan metabolitnya (konjugat dan metabolit para-hidroksi) ditemukan
dalam urin (rata-rata 91,4%) dan sisanya (rata-rata 6,1%) diekskresi dalam
feses. Pemberian Ketorolac secara parenteral tidak mengubah hemodinamik
pasien. 12
4.
Indikasi
Ketorolac diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap
nyeri akut sedang sampai berat setelah prosedur bedah. Durasi total Ketorolac
tidak boleh lebih dari lima hari. Ketorolac secara parenteral dianjurkan
diberikan segera setelah operasi. Harus diganti ke analgesik alternatif sesegera
mungkin, asalkan terapi Ketorolac tidak melebihi 5 hari. Ketorolac tidak
dianjurkan untuk digunakan sebagai obat prabedah obstetri atau untuk
analgesia obstetri karena belum diadakan penelitian yang adekuat mengenai
hal ini dan karena diketahui mempunyai efek menghambat biosintesis
prostaglandin atau kontraksi rahim dan sirkulasi fetus. 12
5.
Kontraindikasi
1)
Pasien yang sebelumnya pernah mengalami alergi dengan obat ini, karena
ada kemungkinan sensitivitas silang. 12
2)
Pasien yang menunjukkan manifestasi alergi serius akibat pemberian
Asetosal atau obat anti-inflamasi nonsteroid lain. 12
3)
Pasien yang menderita ulkus peptikum aktif. 12
4)
Penyakit serebrovaskular yang dicurigai maupun yang sudah pasti. 12
5)
Diatesis hemoragik termasuk gangguan koagulasi. 12
6)
Sindrom polip nasal lengkap atau parsial, angioedema atau bronkospasme.
12

7)
Terapi bersamaan dengan ASA dan NSAID lain. 12
8)
Hipovolemia akibat dehidrasi atau sebab lain. 12
9)
Gangguan ginjal derajat sedang sampai berat (kreatinin serum >160
mmol/L). 12
10)
Riwayat asma. 12
11)
Pasien pasca operasi dengan risiko tinggi terjadi perdarahan atau
hemostasis inkomplit, pasien dengan antikoagulan termasuk Heparin dosis
rendah (2.5005.000 unit setiap 12 jam). 12

37
12)
Terapi bersamaan dengan Ospentyfilline, Probenecid atau garam lithium. 12
13)
Selama kehamilan, persalinan, melahirkan atau laktasi. 12
14)
Anak < 16 tahun. 12
15)
Pasien yang mempunyai riwayat sindrom Steven-Johnson atau ruam
vesikulobulosa. 12
16)
Pemberian neuraksial (epidural atau intratekal). 12
17)
Pemberian profilaksis sebelum bedah mayor atau intra-operatif jika
hemostasis benar-benar dibutuhkan karena tingginya risiko perdarahan. 12
6) Efek Samping
a.
Insiden antara 1 hingga 9% : Saluran cerna : diare, dispepsia, nyeri
gastrointestinal, nausea. 12
b.
Susunan Saraf Pusat : sakit kepala, pusing, mengantuk, berkeringat. 12
3. Obat Yang Digunakan Sebagai Sedatif
Sedacum (midazolam)
a) Definisi
Midazolam merupakan agen anestesi non-volatil golongan
benzodiazepin yang berfungsi sebagai hipnotik-sedatif dengan
mekanisme mempotensiasi neurotransmitter GABA-nergik pada semua
tingkat neuroaksis. 12
b) Dosis
Dosis midazolam bervariasi tergantung dari pasien itu sendiri.
1.
Untuk preoperatif digunakan 0,5 2,5mg/kgbb. 12
2.
Untuk keperluan endoskopi digunakan dosis 3 5 mg. 12
3.
Sedasi pada analgesia regional, diberikan intravena. 12
4.
Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin. 12
c) Farmakokinetik
Obat golongan benzodiazepine dimetabolisme di hepar, efek
puncak akan muncul setelah 4 8 menit setelah diazepam disuntikkan
secara I.V dan waktu paruh dari benzodiazepine ini adalah 20 jam.
Dosis ulangan akan menyebabkan terjadinya akumulasi dan
pemanjangan efeknya sendiri. Midazolam dan diazepam
didistribusikan secara cepat setelah injeksi bolus, metabolisme
mungkin akan tampak lambat pada pasien tua. 12
d) Farmakodinamik

38
Dalam sistem saraf pusat dapat menimbulkan amnesia, anti kejang,
hipnotik, relaksasi otot dan mepunyai efek sedasi, efek analgesik tidak
12
ada, menurunkan aliran darah otak dan laju metabolisme.
e) Efek Samping
1. Efek Kardiovaskuler
Menyebabkan vasodilatasi sistemik yang ringan dan
menurunkan cardiac out put. Ttidak mempengaruhi frekuensi
denyut jantung, perubahan hemodinamik mungkin terjadi pada
dosis yang besar atau apabila dikombinasi dengan opioid. 12

2. Sistem Respiratori
Mempengaruhi penurunan frekuensi nafas dan volume tidal ,
depresi pusat nafas mungkin dapat terjadi pada pasien dengan
penyakit paru atau pasien dengan retardasi mental. 12
3. Efek terhadap saraf otot
Menimbulkan penurunan tonus otot rangka yang bekerja di
tingkat supraspinal dan spinal , sehingga sering digunakan pada
pasien yang menderita kekakuan otot rangka. 12
4. Obat Antiemetik
Ethiferan
Pada pasien ini diberikan Ethiferan 10 mg yang isinya adalah metoklopramide
HCL sebagai obat sisipan untuk mencegah emesis. 12
a) Farmakologi:
Kerja dari metoklopramida pada saluran cerna bagian atas mirip
dengan obat kolinergik, tetapi tidak seperti obat koliergik, metoklopramida
tidak dapat menstimulasi sekresi dari lambung, empedu atau pankreas, dan
tidak dapat mempengaruhi konsentrasi gastrin serum. 12
Cara kerja dari obat ini tidak jelas, kemungkinan bekerja pada jaringan
yang peka terhadap asetilkolin. Efek dari metoklopramida pada motilitas
usus tidak tergantung pada persarafan nervus vagus, tetapi dihambat oleh
obat-obat antikolinergik. 12

39
Metoklopramida dapat meningkatkan tonus dan amplitudo pada
kontraksi lambung (terutama pada bagian antrum), merelaksasi sfingter
pilorus dan bulbus duodenum, serta meningkatkan paristaltik dari
duodenum dan jejunum sehingga dapat mempercepat pengosongan
lambung dan usus. 12
Mekanisme yang pasti dari sifat antiemetik metoklopramida tidak
jelas, tapi mempengaruhi secara langsung CTZ (Chemoreceptor Trigger
Zone) medulla yaitu dengan menghambat reseptor dopamin pada CTZ.
Metoklopramida meningkatkan ambang rangsang CTZ dan menurunkan
sensitivitas saraf visceral yang membawa impuls saraf aferen dari
gastrointestinal ke pusat muntah pada formatio reticularis lateralis. 12
b) Indikasi
a.
Untuk meringankan (mengurangi simptom diabetik gastroparesis akut
dan yang kambuh kembali). 12
b.
Juga digunakan untuk menanggulangi mual, muntah metabolik karena
obat sesudah operasi. 12
c.
Rasa terbakar yang berhubungan dengan refluks esofagitis. 12
d.
Tidak untuk mencegah motion sickness. 12
c) Kontraindikasi:
a.
Penderita gastrointestinal hemorrhage, obstruksi mekanik atau
perforasi. 12
b.
Penderita pheochromocytoma. 12
c.
Penderita yang sensitif terhadap obat ini. 12
d.
Penderita epilepsi atau pasien yang menerima obat-obat yang dapat
menyebabkan reaksi ekstrapiramidal. 12
d) Efek samping
a.
Efek SSP: kegelisahan, kantuk, kelelahan dan kelemahan. 12
b.
Reaksi ekstrapiramidal: reaksi distonik akut. 12
c.
Gangguan endokrin: galaktore, amenore, ginekomastia, impoten
sekunder, hiperprolaktinemia. 12
d.
Efek pada kardiovaskular: hipotensi, hipertensi supraventrikular,
takikardia dan bradikardia. 12

40
e.
Efek pada gastrointestinal: mual dan gangguan perut terutama diare. 12
f.
Efek pada hati: hepatotoksisitas. 12
g.
Efek pada ginjal: sering buang air, inkontinensi. 12
h.
Efek pada hematologik: neutropenia, leukopenia, agranulositosis. 12
i.
Reaksi alergi: gatal-gatal, urtikaria dan bronkospasme khususnya
penderita asma. 12
j.
Efek lain: gangguan penglihatan, porfiria, Neuroleptic Malignant
Syndrome (NMS). 12
e) Interaksi obat
Efek metoklopramida pada motilitas gastrointestinal diantagonis
oleh obat-obat antikolinergik dan analgesik narkotik.
Efek aditif dapat terjadi bila metoklopramida diberikan bersama
dengan alkohol, hipnotik, sedatif, narkotika atau tranquilizer. Absorpsi
obat tertentu pada lambung dapat dihambat oleh metoklopramida misalnya
digoksin. 12
Kecepatan absorpsi obat pada small bowel dapat meningkat dengan
adanya metoklopramida misalnya: asetaminofen, tetrasiklin, levodopa,
etanol dan siklosporin. 12
Metoklopramida akan mempengaruhi pengosongan makanan dalam
lambung ke dalam usus menjadi lebih lambat sehingga absorpsi makanan
berkurang dan menimbulkan hipoglikemia pada pasien diabetes. Oleh
karenanya perlu pengaturan dosis dan waktu pemberian insulin dengan
tepat. 12
3.2.6 Komplikasi Anestesi Spinal
Komplikasi dari Tindakan Anastesi Spinal
1.
Hipotensi berat. 12
2.
Bradikardi. 12
3.
Hipoventilasi. 12
4.
Trauma pembuluh darah. 12
5.
Trauma saraf. 12
6.
Mual-muntah. 12
7.
Gangguan pendengaran. 12
8.
Blok spinal tinggi atau spinal total. 12

41
Komplikasi Pasca Tindakkan
1.
Nyeri tempat suntikkan. 12
2.
Nyeri punggung. 12
3.
Nyeri kepala karena kebocoran likuor. 12
4.
Retensio Urin. 12
5.
Meningitis. 12
3.3. Sectio Caesaria
3.3.1. Definisi
Sectio caesaria adalah lahirnya janin, plasenta, dan selaput ketuban
melalui irisan yang dibuat pada dinding perut dan rahim,dengan membuka
dinding perut dan dinding uterus . 8
3.3.2 Jenis Sectio Caesaria
Menurut Wiknjosastro (2002), terdapat beberapa jenis section caesaria
yang dikenal saat ini, yaitu: 8
1.
Sectio caesaria transperitonealis profunda. 8
2.
Sectio caesaria klasik/corporal. 8
3.
Sectio caesaria ekstraperitoneal. 8
4.
Sectio caesaria dengan teknik histerektomi. 8
Teknik yang saat ini lebih sering digunakan adalah teknik section caesarea
transperitoneal profunda dengan insisi di segmen bawah uterus. Keunggulan
teknik ini antara lain 8
1.
perdarahan akibat luka insisi tidak begitu banyak. 8
2.
bahaya peritonitis tidak terlalu besar. 8
3.
dan perut pada umumnya kuat sehingga bahaya rupture uteri di masa
mendatang tidak besar karena dalam masa nifas segmen bawah uterus tidak
mengalami kontraksi yang kua seperti korpus uteri Hal inimenyebabkan luka
dapat sembuh sempurna. 8
3.3.3 Indikasi Sectio Caesaria
1.
Indikasi ibu. 8
a. Disproporsi janin dan panggul
b. Stenosis serviks uteri
c. Tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi

42
d. Preeklamsi/hipertensi
e. Bakat rupture uteri
f. Panggul sempit
g. Perdarahan ante partum
2.
Indikasi janin. 8
a. Kelainan letak Letak lintang, letak sungsang, letak dahi dan
letak muka dengan dagu dibelakang, dan presentasi ganda.
b. Gawat janin
3.
Indikasi waktu/profilaksis
a. Partus lama
b. Partus macet/tidak maju
3.3.4 Kontraindikasi Sectio Caesaria
1.
Infeksi intra uterin. 8
2.
Janin mati. 8
3.
Syok/anemik berat yang belum diatasi . 8
4.
Kelainan congenital berat. 8

43

Anda mungkin juga menyukai