PENDAHULUAN
Sampai saat ini belum ada obat antimalaria yang ideal. Oleh sebab itu digunakan
kombinasi beberapa obat dalam pengobatan. Dalam program pemberantasan malaria
dengan pengobatan, Departemen Kesehatan mempunyai standar pengobatan sesuai dengan
daerah dan sensitivitas Palsmodium falciparum terhadap obat-obat antimalarial.
Standarisasi tersebut berguna untuk mencegah berkembangnya kasus resistensi terhadap
obat-obat antimalaria lainnya. Resistensi merupakan akibat pemakaian obat yang tidak
tepat. Sampai saat ini hanya P. falciparum yang dilaporkan telah resisten terhadap
klorokuin, maupun obat-obat anti rnalaria lainnya. Di antara keempat spesies Plasmodia
manusia, kasus malaria P. falciparum tampaknya lebih dominan dan juga merupakan
penyebab malaria berat yang banyak menimbulkan kematian.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Obat anti malaria dapat dibagi berdasarkan aktifitas obat pada stadium parasit sebagai
berikut):
1. Skizontosida jaringan untuk profilaksis kausal bekerja pada awal siklus eritrositik
setelah berkembang di hati. Primakuin dan pirimetamin merupakan obat jenis ini.
Namun sangat sulit untuk menduga infeksi malaria sebelum dijumpainya gejala
klinis sehingga pengobatan tipe ini lebih bersifat teori dari pada praktek.
2. Skizontisida jaringan untuk mencegah relaps bekerja pada bentuk hipnozoit dari P.
vivax dan P. ovale di hati dan digunakan untuk pengobatan radikal sebagai obat
anti relaps. Obat utama yang termasuk dalam kelompok ini adalah primakuin,
tetapi pirimetamin juga mempunyai aktifitas serupa.
3. Skizontosida darah membunuh parasit pada siklus eritrositik, yang berhubungan
dengan penyakit akut disertai gejala klinis. Obatnya adalah kuinin, klorokuin,
meflokuin, halofantrin, sulfadoksin, dan pirimetamin yang mempunyai efek
terbatas.
4. Gametositosida bekerja dengan menghancurkan bentuk seksual semua spesies
Plasmodium malaria di darah sehingga mencegah transmisi parasit ke tubuh
nyamuk. Obatnya adalah primakuin untuk keempat spesies Plasmodium serta
klorokuin dan kuinin untuk P. vivax, P.malariae, dan P. ovale.
5. Sporontosida bekerja dengan menghambat perkembangan ookista dalam tubuh
nyamuk sehingga mencegah terjadinya transmisi lebih lanjut. Obat golongan ini
adalah primakuin dan kloroguanid.
2.2 Farmakodinamik
2.2.1 Antimalaria yang memiliki struktur dasar kuinolin yaitu kuinin, klorokuin,
amodiakuin dan meflokuin.
2
Untuk kelangsungan hidupnya Plasmodium falciparum memerlukan zat
makanan yang diperoleh dengan cara mencerna hemoglobin dan vacuola makanan
yang bersifat asam. Hemoglobin yang dicerna selain menghasilkan asam amino
yang menjadi nutrient bagi parasit, juga menghasilkan zat toksik yang disebut
ferryprotoporphyrin (FP IX). Klorokuin dan antimalaria yang mengandung cincin
quinolin lainnya membentuk kompleks dengan FP IX dalam vacuola. Kompleks
obat-FP IX tersebut sangat toksik dan tidak dapat bergabung membentuk pigmen.
Toksin kompleks obat-FP IX meracuni vacuola menghambat ambilan ( intake )
makanan sehingga parasit mati kelaparan. Kompleks klorokuin-FP IX juga
mengganggu permeabilitas membrane parasit dan pompa proton membrane.
Mekanisme kerja yang lain adalah dengan berinterkelasi dengan DNA parasit dan
menghambat DNA polimerase (kuinin). Klorokuin juga bersifat basa lemah
sehingga, masuknya klorokuin ke dalam vakuola makanan yang bersifat asam
akan meningkatkan pH organel tersebut. Perubahan pH akan menghambat
aktivitas aspartase. dan cysteinase protease yang terdapat di dalam vakuola
makanan sehingga metabolisme parasit terganggu (Syamsudin, 2005).
Tidak seperti kuinin dan aminokuinolin lainnya, meflokuin tidak
berinterkelasi dengan DNA. Meflokuin bekerja dengan menghambat pengeluaran
(up take) klorokuin pada sel yang terinfeksi, mekanisme ini menerangkan efek
antagonis dari klorokuin dan meflokuin pada parasit yang sedang tumbuh.
Meflokuin berinterferensi dengan transport hemoglobin dari eritrosit pada vacuola
makanan di parasit. Meflokuin hanya mempengaruhi bentuk aseksual dari parasit
dan tidak mempengaruhi efek pada bentuk exo-eritrosit hati atau stadium
gametosid (Syamsudin, 2005).
3
harus mensintesis asam folat de novo menggunakan PABA sebagai metabolit yang
penting. Asam folat direduksi menjadi asam tetrahidrofolat oleh enzim dihidrofolat
reduktase (DHFR) (Syamsudin, 2005).
Senyawa sulfonamida dan inhibitor DHFR bekerja dengan menyebabkan
hambatan sintesis asam tetrahidrofolat sehingga menghambat pertumbuhan
plasmodium. Kombinasi pirimetamin+ sulfadoksin, pirimetamin + dapson, bekerja
dengan cara ini (Syamsudin, 2005).
2.2.3. Artemisin yaitu senyawa aktif yang terdapat di dalam Artemisia annua (Qing
hao).
Artemisin adalah senyawa seskuiterpenlakton. Mekanisme kerjanya adalah
dapat berinteraksi dengan ferriprotoporphyrin IX (heme) di dalam vakuola makanan
parasit yang bersifat asam dan menghasilkan spesies radikal yang bersifat toksik.
Jembatan peroksida di dalam pharmacophore trioksan penting untuk aktivitas
antimalarianya. Struktur jembatan peroksida pada molekul artemisin dapat diputus
oleh ion Fero yang berasal dari hemoglobin, menjadi radikal bebas yang sangat
reaktif, sehingga dapat mematikan parasite (Syamsudin, 2005).
Artemisin dan derivatnya bekerja sebagai skizontosid darah. Selama
pertumbuhan dan penggandaannya dalam sel darah merah, parasit memakan dan
menghancurkan sampai 80 persen sel hemoglobin inang dalam bagian ruang yang
dinamakan vakuola makanan. Ini akan melepaskan Fe2+-hem, yang teroksidasi
menjadi Fe3+-hematin, dan kemudian mengendap dalam vakuola makanan
membentuk pigmen kristal disebut hemozoin (Syamsudin, 2005).
Efek antimalaria dari artemisin disebabkan oleh masuknya molekul ini ke
dalam vakuola makanan parasit dan kemudian berinteraksi dengan Fe2+-hem.
Interaksi menghasilkan radikal bebas yang menghancurkan komponen vital parasit
sehingga mati (Syamsudin, 2005).
2.2.4 Atovaquon.
Mekanisme kerja atovaquon sebagai antimalaria adalah menghambat elektron
transport di mitokondria dan mengganggu membran potensial mitokondria
plasmodium.13 Mitokondria merupakan organel subseluler yang terdapat diluar inti.
Organel ini memiliki dua membran, membran sebelah luar dan membran sebelah
dalam membentuk sejumlah lipatan yang menjorok ke matriks yang disebut krista,
struktur ini berhubungan dengan aktivitas pernafasan, sebab protein yang berperan
di dalam transport elektron dan fosforilasi oksidatif terikat pada membran sebelah
4
dalam. DNA mitokondria dari Plasmodium terdiri dari 3 komponen elektron
transport yaitu: subunit 1 dan 3 sitokrom C oksidase dan apositokrom b (Syamsudin,
2005).
2.2.5. Golongan lain adalah heparin, dekstran sulfat, fucoidin, chondroitin sulfat.
Mekanisme kerja yang lain adalah dengan menghambat proses invasi
plasmodium pada eritrosit. Parasit menginvasi eritrosit melalui 4 tahap yaitu:
perlekatan merozoit dengan eritrosit, perubahan mendadak eritrosit yang terinfeksi,
invaginasi membran eritrosit dimana parasit melekat dan selanjutnya pembentukan
kantong merozoit dan terakhir penutupan kembali membran eritrosit disekeliling
parasit. Setelah masuk kedalam eritrosit, merozoit bentuknya membulat dan semua
organelnya hilang. Parasit berada dalam membran vakuola parasitophorous dan
tampak berbentuk cincin. Proses ini melibatkan ligan yang spesifik dan reseptor
(Syamsudin, 2005).
2.3 Farmakokinetik
2.3.1 Farmakokinetik Antimalaria yang memiliki struktur dasar kuinolin
contoh: klorokuin.
Absorpsi absorpsi klorokuin setelah pemberian oral terjadi lengkap dan
cepat, dan makanan mempercepat absorpsi ini. Sedangkan kaolin dan antasid
yang mengandung kalsium dan magnesium dapat mengganggu absorpsi
klorokuin. Sehingga, obat ini sebaiknya jangan diberikan bersama-sama
dengan klorokuin.
Kadar puncak dalam plasma dicapai setelah 3-5 jam.
Distribusi 55% dari jumlah obat dalam plasma akan terikat pada non-
diffusible plasma constituent. Klorokuin lebih banyak diikat di jaringan , pada
5
hewan coba ditemukan klorokuin di hati, limpa, ginjal, paru, dan jaringan
bermelanin sebanyak 200-700 kali kadarnya dalam plasma. Sebaliknya, otak
dan medulla spinalis hanya mengandung klorokuin 10-30 kali kadarnya dalam
plasma.
Metabolisme metabolisme klorokuin dalam tubuh berlangsung lambat
sekali. Waktu paruh terminalnya (T ) berkisar 30-60 hari.
Ekskresi metabolit klorokuin, monodesetilklorokuin dan bisdesetilklorokuin,
diekskresi melalui urin. Metabolit utamanya, monodesetilklorokuin, juga
mempunyai aktivitas anti malaria. Kadarnya sekitar 20-35% dari senyawa
induknya. Asidifikasi akan mempercepat ekskresi klorokuin (Nafrialdi ;
Setawati, A., 2007).
2.3.2. Primakuin
Absorpsi setelah pemberian per oral, primakuin segera diabsorpsi.
Primakuin tidak pernah diberikan parenteral karena dapat mencetuskan
terjadinya hipotensi yang nyata (Nafrialdi ; Setawati, A., 2007).
Distribusi primakuin didistribusikan luas ke jaringan (Nafrialdi ; Setawati,
A., 2007).
Metabolisme metabolismenya berlangsung cepat dan hanya sebagian kecil
dosis yang diberikan yang diekskresi ke urin dalam bentuk asal. Pada
pemberian dosis tunggal, konsentrasi plasma mencapai maksimum dalam 3
jam, dan waktu paruh eliminasi ( T ) 6 jam. Metabolisme oksidatif
primakuin menghasilkan 3 macam metabolit; turunan karboksil merupakan
metabolit utama pada manusia dan merupakan metabolit yang tidak toksik,
sedangkan metabolit yang lain memiliki aktivitas hemolitik, yang lebih besar
dari primakuin. Ketiga metabolit ini juga memiliki aktivitas malaria yang lebih
ringan dari primakuin (Nafrialdi ; Setawati, A., 2007).
Ekskresi sebagian kecil dari dosis yang diberikan yang diekskresi ke urin
dalam bentuk asal (Nafrialdi ; Setawati, A., 2007).
6
plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah suatu dosis tunggal (Nafrialdi ;
Setawati, A., 2007).
Metabolisme sebagian besar alkaloid sinkona dimetabolisme di hati.
Waktu paruh eliminasi kina pada orang sehat 11 jam, sedang pada pasien
malaria berat 18 jam (Nafrialdi ; Setawati, A., 2007).
Ekskresi hanya kira-kira 20% yang diekskresi dalam bentuk utuh di urin.
Karena perombakan dan ekskresi yang cepat, tidak terjadi akumulasi
dalam badan. Pada infeksi akut akan diperoleh peningkatan 1
glycoprotein yang akan mengikat fraksi bebas kina, sehingga kadar bebas
yang tadinya 15% dari konsentrasi plasma, menurun menjadi 5-10%.
Keadaan ini dapat mengurangi toksisitas, tapi juga dapat mengurangi
keberhasilan terapi, apabila kadar bebasnya menurun sampai di bawah
KHM (Nafrialdi ; Setawati, A., 2007).
A. Pirimetamin
7
sedikit demi sedikit selama beberapa hari dengan waktu eliminasi
sekitar 20 hari.
Ekskresi ekskresinya dalam berbentuk berbagai metabolit terjadi
terutama melalui feses dan hanya sedikit yang melalui urin. (Nafrialdi ;
Setawati, A., 2007).
C. Halofantrin
Absorpsi halofantrin diberikan secara oral. Penggunaan halofantrin
terbatas, karena absorpsinya yang ireguler dan potensinya
menimbulkan aritmia jantung (Nafrialdi ; Setawati, A., 2007).
Setelah pemberian oral, kadar puncak plasma dicapai dalam 4-8 jam,
waktu paruhnya berkisar antara 10-90 jam (Nafrialdi ; Setawati, A.,
2007).
Metabolisme bioavailabilitasnya meningkat dengan makanan
berlemak. Pada manusia halofantrin diubah menjadi N-desbutil
halofantrin suatu metabolit utama yang juga memiliki efek anti malaria
(Nafrialdi ; Setawati, A., 2007).
E. Atovakuon
8
Distribusi sebagian besar obat terikat dengan protein plasma dan
memiliki waktu paruh 2-3 hari.
Ekskresi sebagian besar obat dieliminasi dalam bentuk utuh ke dalam
feses.
Kombinasi tetap atovakuon 250 mg dengan proguanil 100 mg per oral,
menunjukkan hasil yang sangat efektif untuk pengobatan malaria
falciparum ringan atau sedang yang resisten terhadap klorokuin atau
obat-obat lainnya. (Nafrialdi ; Setawati, A., 2007).
B. Primakuin
9
kulit dan tekanan darah menurun; akhirnya pasien meninggal karena
henti napas. Keracunan yang berat ini biasanya disebabkan oleh takar
lajak atau reaksi kepekaan. Dosis fatal kina per oral untuk orang
dewasa berkisar 2-8 g.
Black water fever dengan gejala hemolisis berat, hemoglobinemia dan
hemoglobinuri merupakan suatu reaksi hipersensitivitas kina yang
kadang terjadi pada pasien malaria yang hamil. Hipersensitivitas yang
lebih ringan dapat terjadi pada pasien dengan defisiensi glukosa 6
fosfat dehydrogenase.
Kina dan kuinidin merupakan perangsang kuat sel pankreas,
sehingga terjadi hiperinsulinemia dan hipoglikemia berat. Kondisi ini
dapat menimbulkan komplikasi yang fatal terutama pada wanita hamil
dan pasien infeksi berat yang berkepanjangan.
Kina juga dapat menyebabkan gangguan ginjal, hipoprotrombinemia,
dan agranulositosis. Abortus dapat terjafi pada takar lajak, tetapi
tampaknya bukan akibat efek oksitosiknya (Nafrialdi ; Setawati, A.,
2007).
D. Pirimetamin
E. Meflokuin
F. Halofantrin
10
G. Artemisinin dan derivatnya
H. Atovakuon
A. Klorokuin
Indikasi : obat untuk fase eritrositer dan parasitemia serangan akut
(Nafrialdi; Setawati, A., 2007).
Kontraindikasi : penyakit hati, gangguan saluran cerna, gangguan
neurologic, gangguan darah seperti G6PD, gangguan kulit berat
seperti porfiria kutanea tanda dan psoriasis (Nafrialdi ; Setawati, A.,
2007).
B. Primakuin
Indikasi: penyembuhan radikal P. vivax dan P. ovale (Nafrialdi ;
Setawati, A., 2007).
Kontraindikasi: primakuin dikontraindikasikan pada pasien dengan
penyakit sistemik yang berat yang cenderung mengalami
granulositopenia misalnya arthritis rheumatoid dan lupus
eritematosus. Primakuin juga tidak dianjurkan diberikan bersamaan
dengan obat lain yang dapat menimbulkan hemolisis, dan obat yang
dapat menyebabkan depresi sumsum tulang. Primakui sebaiknya
tidak diberikan pada wanita hamil sebab fetus relatif mengalami
defisiensi G6PD sehingga berisiko menimbulkan hemolysis
(Nafrialdi ; Setawati, A., 2007).
11
sulfadoksin memperpendek waktu th dan mengurangi toksisitas
(Nafrialdi ; Setawati, A., 2007).
Kontraindikasi: Hemoglobinuria, neuritis optic,tinnitus, myasthenia
gravis (Nafrialdi ; Setawati, A., 2007).
D. Pirimetamin
Indikasi profilaksis malaria (Nafrialdi ; Setawati, A., 2007).
E. Meflokuin
Indikasi mencegah dan mengobati malaria yang resisten
klorokuin dan P. falciparum yang resisten dengan banyak obat.
Meflokuin tidak diindikasikan untuk mengobati malaria falciparum
berat (Nafrialdi ; Setawati, A., 2007).
Kontraindikasi wanita hamil, terutama kehamilan di bawah 3
bulan, anak yang berat badannya kurang dari 5 kg, pasien dengan
riwayat kejang, gangguan neuropsikiatri berat, gangguan konduksi
jantung dan adanya reaksi samping terhadap antimalaria kuinolin,
misalnya kina, kuinidin dan klorokuin, dikontraindikasikan
menggunakan obat ini (Nafrialdi ; Setawati, A., 2007).
F. Halofantrin
Kontraindikasi wanita hamil dan wanita menyusui, pasien
dengan gangguan konduksi jantung serta pasien yang
menggunakan meflokuin. Pada dosis tinggi, halofantrin dapat
menimbulkan aritmia ventricular bahkan kematian (Nafrialdi ;
Setawati, A., 2007).
Indikasi sebagai pilihan selain kina dan meflokuin untuk
mengobati serangan akut malaria yang resisten klorokuin dan P.
falciparum yang resisten terhadap berbagai obat (Nafrialdi ;
Setawati, A., 2007).
12
dianjurkan lebih dari 4 bulan. Dosis anak usia lebih dari 8 tahun
ialah 2mb/kg BB per oral per hari. Doksisiklin juga digunakan
sebagai terapi tambahan dalam pengobatan malaria falciparum
yang resisten terhadap klorokuin tanpa komplikasi, dengan dosis
2 kali 100 mg/hari per oral selama 7 hari (Nafrialdi ; Setawati, A.,
2007).
Kontraindikasi tidak dianjurkan diberikan pada anak usia
kurang 8 tahun, wanita hamil dan mereka yang hipersensitif
terhadap tetrasiklin (Nafrialdi ; Setawati, A., 2007).
I. Atovakuon
Indikasi: Mencegah dan mengobati Pneumoniasitis carinii
pneumonia (PCP) pada pasien yang tidak bias menggunakan
trimetropin/sulfametoksazol (Nafrialdi ; Setawati, A., 2007).
Kontraindikasi: Alergi Atovakuon (Nafrialdi ; Setawati, A., 2007
13
BAB III
PEMBAHASAN
Saat ini obat anti malaria yang tersedia di Indonesia terdiri dari obat-obat lama
seperti, klorokuin, pirimetamin-sulfadoksin, kina dan primaquin, juga sudah ada
beberapa obat baru penggunaannya masih terbatas didaerah tertentu dan belum
dirokomendasi secara luas oleh Depkes. Contoh obat baru tersebut adalah kombinasi
artesunate dengan amodiakuin, kombinasi artesunate dengan meflokuin, kombinasi
artemisinin dengan Naftokuin dan artemeter injeksi.
Antibiotika yang bersifat antimalaria seperti derivat Tetrasiklin, Dosisiklin,
Klindamisin, Eritromisin, klorafenikol, Sulfametoksazol-trimetropin dan quinolol.
Obat ini umumnya bersifat skizontosida darah untuk plasmodium falcirum, kerjanya
sangat lambat dan kurang efektif. Oleh sebab itu, obat ini digunakan bersama obat
antimalaria lain yang kerjanya cepat dan menghasilkan efek potensiasi yaitu antara lain
dengan kina
Klorokuin adalah obat anti malaria yang paling luas pemakaiannya karena
mudah diperoleh, efek samping yang minimal disamping itu harganya murah. Dosis
total klorokuin adalah 25 mg basa/kg berat badan dan pada hari ketiga yaitu hari
pertama dan kedua masing-masing 10 mg basa/kg berat badan dan pada hari ketiga 5
mg basa/kg berat dan saat ini klorokuin merupakan obat pilihan utama untuk
pengobatan malaria falcifarum tampa komplikasi.
Namun pemberantasan malaria falcifarum menghadapi kendala yang serius
sejak ditemukan pertama kalinya kasus resisten Plasmodium Falcifarum terhadap
klorokuin di Kalimantan Timur 1974, kemudian resistensi ini terus meluas dan pada
tahun 1996 kasus-kasus malaria yang resisten klorokuin ditemukan di seluruh provinsi
indonesia.
Berdasarkan pedoman WHO, bila ditemukan resistensi plasmodium terhadap
klorokuin sebagai antimalaria, kecuali kombinasi dengan antimalaria lain.
Saat ini kombinasi pirimetamin-sulfadoksin merupakan pilihan pertama untuk
kasus malaria falcifarum tanpa komplikasi yang resisten klorokuin atau daerah yang
telah dinyatakan resisten klorokuin. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah kulit
kemerahan dengan gatak dan sindroma Steven Johnson
14
Klorokuin dan pirimetamin sulfadoksin merupakan antimalaria yang sering
digunakan sebagai pilihan petama pengobtan Plasmodium Falciparum. Di afrika
resistensi Plasmodium falcifarum terhadap klorokuin telah meningkat dengan cepat
dan intensif sejak tahun 1979. Bersaam dengan itu resistensi plasmodium falcifarum
terhadap pirimetamin-sulfadoksin sejak tahun 1980. Di Indonesia pertama kali kasus
plasmodium falcifarum resistensi terhadap klorokuin pada tahun 1974 di Kalimantan
Timur. Di Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal provinsi Sumatera Utara
pada tahun 1994 telah dinyatakan oleh Departemen Kesehatan RI sebagai daerah yang
resisten terhadap klorokuin dengan penyebaran yang tidak merata.
Gintang dkk, pada tahun 2001 pada daerah tersebut dimana penelitian
dilakukan secara invivo terhadap 61 pasien yang menderita malaria falcifarum
menemukan ada 29 orang (47,5%) yang resistensi klorokuin dan dari 58 pasien yang
diteliti terhadap pirimetamin-sulfadoksin menemukan ada 29 orang (50%) yang
resisten.
Beberapa penelitian yang dilakukan seperti pada penelitian hutapea,
melaporkan pertama kalii resistensi Plasmodium falciparum terhadap pirimetamin-
sulfadoksin pada 9 kasus di Irian Jaya, yang mana sebelumnya daerah itu telah
dinyatakan resistensi terhadap klorokuin pada tahun 1981.
Studi di Gambia dan papua New Guinea yang membandingkan efikasi dan
keamanan kombinasi klorokuin dan pirimetamin-sulfadoksin dibandingkan
pirimetamin-sulfadoksin sendiri menunjukkan bahwa efikasi kombinasi tergantung
pada tingkatan resisten. Kombinasi klrokuin dan pirimetamin-sulfadoksin merupakan
standart pilihan pertama di Malaysia sejak tahun 1977, dan Papua New Guinea sejak
tahun 200, dimana keduanya merupakan daerah infeksi Plasmodium falcifarum dan
plasmodium viva.
Bastanta dkk pada tahun 2001 di Kabupaten Mandailing Natal yang
membandingkan efikasi kombinasi klorokuin dan pirimetamin-sulfadoksin
dibandingkan pirimetamin-sulfadoksin sendiri menunjukkan bahwa kombinasi
klorokuin dan pirimetamin-sulfadoksin lebih efektif dalam menghilangkan parasit
dalam darah dan lebih cepat menghilangkan demam dibandingkan piretamin-
sulfadoksin sendiri pada penderita malaria falciparum tanpa komplikasi.
Kina dan tetrasiklin merupakan pilihan terapi pada daerah dengan resisten
klorokuin dan pirimetamin-sulfadoksin. Dimana penambahan tetrasiklin tersebut
berguna memberikan efek potensiasi terhadap kina. Resistensi terhadap kina belum
dilaporkan secara invivo di Indonesia namun secara invivo telah ditemukan di 6
15
provinsi (Jawa Barat, jawa Tengah, Kalimantan timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi
tengah dan Irian Jaya).
Bunnag dkk, menemukan pemakaian kombinasi kina 600 mg 3x sehari selama
7 hari-tetrasiklin 250 mg 4 x sehari selama 7 hari efikasinya sangat berbeda bermakna
dibanding kina 600 mg 3 x sehari selama 5 hari tetrasiklin 250mg 4 x sehari selama 7
hari tanpa dijumpai efek samping yang bermakna.
Pengobatan kombinasi dilakukan bila sudah ada studi tentang pola resistensi di
suatu daerah melalui survei resistensi. Bila suaru obat sudah mengalami resistensi
>25% maka obat tersebut tidak dianjurkan digunakan. Tujuan dari kombinasi adalah
untuk mengingkatkan afikasi antimalaria maupun aktivitas sinergestik antimalaria, dan
emperlambat progresifitas resistensi parasit terhadap obat-obat yang baru.
Artemisin dipilih sebagai basis terapi kombinasi malaria yang penting saat ini,
dikarenakan :
16
Artemisin, artesunate, artemether dan dihidroartemisinin telah digunakan
dalam kombinasi dengan obat anti malaria lain. Kesemua obat-obat ini telah memiliki
informasi klinis. Studi pre-klinis artemisinin dan derivatnya tidak menghambat
aktivitas mutagen dan teratogenik, namun obat ini telah menyebabkan resorpsi pada
fetus hewan pengerat pada dosis yang relatif rendah > 10 mg/kgbb, bila diberikan
setelah 6 hari masa gestasi.
BAB IV
KESIMPULAN
17
Anti malaria adalah obat-obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati
penyakit yang disebabkan oleh parasite bersel tunggal (Protozoa) yang ditularkan melalui
gigitan nyamukAnopheles betina yang menggigit pada malam hari dengan posisi menjungkit.
Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bernama Plasmodium.
Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi parasit tersebut. Di
dalam tubuh manusia, parasit Plasmodium akan berkembang biak di organ hati kemudian
menginfeksi sel darah merah. Pasien yang terinfeksi oleh malaria akan menunjukan gejala
awal menyerupai penyakit influenza, namun bila tidak diobati maka dapat terjadi komplikasi
yang berujung pada kematian.
Obat anti malaria yang ideal adalah obat yang efektif terhadap semua jenis dan
stadium parasite, menyembuhkan infeksi akut maupun laten, efek samping ringan dan
toksisitas rendah.
DAFTAR PUSTAKA
18
1. Nafrialdi ; Setawati, A., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta; Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI
3. Rampengan dan Laurent. 1997. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta; Buku
kedokteran. EGC
4. Suriadi dan Rita Yuliani. 2001. Asuhan Keperawatan pada Anak. Jakarta: PT Fajar
Interpratama
19