Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kajian Ushul Fiqh, terdapat istilah al-Hakim, al-Hukum, mahkum
fih, dan mahkum alaih. Dalam perkembangannya istilah-istilah tersebut
mempunyai pengertian yang berbeda-beda menurut para ulama, sehingga
kita perlu mengetahui serta memahami apa itu al-Hakim, al-Hukum, mahkum
fih, dan mahkum alaih. Ushul Fiqh merupakan alat dalam penetapan hukum,
maka dari itu kita perlu memahami lebih dalam penggunaannya.
Dari makalah ini, kami selaku penulis akan mencoba untuk menerangkan
dan menjelaskan tentang Ushul Fiqh, mulai dari pengertian dan permasalahan
dari al-Hakim, pengertian dan pembagian serta macam-macam dari al-
Hukum, pengertian dan permasalahan mahkum fih, dan untuk mahkum alaih
penulis akan menjelaskan pengertian, dasar-dasar, serta syarat-syarat taklif
dan ahliyya dari mahkum alaih. Dari semua konsep-konsep ini, kita sebagai
mukallaf maka perlu kita ketahui serta pahami dalam kehidupan sehari-hari.

1 | Ushul Fiqh Al-Ahkam, Al-Hakim, Mahkum Fih, Mahkum


Alaih
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian , pembagian dan macam-macam Al-Ahkam?
2. Apa pengertian dari al-Hakim?
3. Apa pengertian dari al-Hakim dan sebutkan pembagian serta macam-
macamnya ?

4. Apa pengertian dan permasalahan dari mahkum fih ?

5. Apa pengertian, dasar-dasar, serta syarat-syarat taklif dan ahliyya dari


mahkum alaih ?

B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian, pembagian dan macam-macam Al-
Ahkam.
2. Untuk mengetahui pengertian Al-Hakim.
3. Untuk mengetahui pengertian, pembagian serta macam-macam Al-
Hakim.
4. Untuk mengetahui pengertian dan permasalahan Mahkum Fih.
5. Untuk mengetahui pengertian, dasar-dasar, serta syarat-syarat taklif dan
ahliyya dari mahkum alaih.

2 | Ushul Fiqh Al-Ahkam, Al-Hakim, Mahkum Fih, Mahkum


Alaih
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Ahkam dalam Ushul Fiqh

Al-ahkam ( )maknanya dilihat dari segi bahasa merupakan bentuk


jamak dari kata hukmun ( )yang artinya keputusan / ketetapan. Sedangkan
menurut istilah dalam ushul fiqih yaitu
"Apa-apa yang ditetapkan oleh seruan syari'at yang berhubungan
dengan perbuatan mukallaf (orang yang dibebani syari'at) dari tuntutan atau
pilihan atau peletakan" 1
Dalam hal ini yang dimaksud dengan seruan syariat adalah Al Quran dan
As Sunnah.
Dari pengertian diatas terdapat tiga poin yang menjadi bentuk dari Al-
Ahkam
1. Tuntunan
Tuntunan dalam hal ini dapat berupa tuntunan melakukan sesuatu
(perintah) atau pun tuntunan untuk meninggalkan sesuatu (larangan) baik
itu berupa keharusan (wajib) ataupun hanya keutamaan
2. Pilihan
Sesuatu hal yang dalam melakukan ataupun meninggalkannya tidak
ada suatu ketentuan syara yang mengatur maka akan menjadi suatu
kebebasan untuk memilih melakukan ataupun tidak atau sering disebut
mubah
3. Peletakan (wadhi)
Wadhi adalah suatu hal yang diletakkan oleh pembuat syari'at dari
tanda-tanda, atau sifat-sifat untuk ditunaikan atau dibatalkan. Seperti suatu
ibadah dapat dikatakan sah atau batal

B. Pembagian Al-Ahkam
1 Moh. Rifai, Ushul Fiqih, (Bandung: PT Almaarif, 1994), H. 11.

3 | Ushul Fiqh Al-Ahkam, Al-Hakim, Mahkum Fih, Mahkum


Alaih
Dalam ushul fiqih hukum hukum-hukum syariat di bagi menjadi dua
macam.
1. Al-Ahkam at-Taklifiyyah (hukum taklifiyah)
2. Al-Ahkam al-Wadh'iyyah (hukum wadhiyah)
Berikut adalah penjelasannya
1. Al-Ahkam at-Taklifiyyah
Al-Ahkam at-Taklifiyyah dibagi menjadi lima yaitu Wajib, Sunnah,
Harom, Makruh, dan Mubah.
1. Wajib. Makna wajib dilihat dari segi bahasa adalah "yang jatuh dan harus" dan
makna wajib menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,
"Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at dengan bentuk keharusan"2

Hukum wajib dibagi menjadi beberapa macam dilihat dari berbagai aspek
yaitu:
1) Dilihat dari segi waktu pelaksanaannya, wajib ada 4 macam, yaitu
i. Wajib muwaqqat, yaitu kewajiban yang ditentukan batas waktu untuk
melaksanakannya, seperti shalat fardhu yang lima waktu, kapan mulai
dan berakhirnya waktu sudah ditentukan.
ii. Wajib muwassa, yaitu waktu untuk melaksanakan kewajiban
mempunyai waktu yang luas. Seperti waktu untuk melaksanakan shalat
dzuhur kurang lebih 3 jam, tetapi waktu yang diperlukan untuk
melakukan sholat tersebut cukup 5-10 menit saja.
iii. Wajib mudhoyaq, yaitu waktu yang disediakan untuk melaksanakan
kewajiban sangat terbatas. Seperti puasa Ramadhan lamanya 1 bulan.
iv. Wajib mutlak, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas waktu
untuk melaksanakannya. Seperti kewajiban membayar kifarat bagi
orang yang melanggar sumpah.

2) Dilihat dari segi orang yang dituntut mengerjakan, wajib dibagi sebagai
berikut.
i. Wajib Ain, artinya kewajiban yang harus dikerjakan tiap-tiap
mukallaf. Seperti : shalat, puasa, zakat, dan lain-lain.

2 Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung:Pustaka Setia,2007), H.


317

4 | Ushul Fiqh Al-Ahkam, Al-Hakim, Mahkum Fih, Mahkum


Alaih
ii. Wajib kifayah, artinya kewajiban yang boleh dilakukan oleh sebagian
mukallaf (boleh diwakili oleh kelompok tertentu).
Contoh : mengurus jenazah, menjawab salam, dan lain-lain.
3) Dilihat dari segi kadar (ukuran kuantitasnya) wajib dibagi menjadi berikut
ini.
i. Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang sudah ditentukan kadarnya.
Contoh : jumlah rakaat dalam shalat, jumlah besarnya zakat.
ii. Wajib ghoiru muhaddad, yaitu kewajiban yang belum ditentukan
kadarnya. Contoh : infaq, tolong menolong, dan shodaqoh.
4) Dilihat dari segi tertentu atau tidaknya yang diwajibkan, wajib dibagi
menjadi berikut ini.
i. Wajib muayyan, yaitu kewajiban yang telah ditentukan jenis
perbuatannya. Contoh : shalat, puasa, zakat fitrah.
ii. Wajib mukhoyyar, yaitu wajib tetapi boleh memilih di antara
beberapa pilihan. Contoh : Kifarat bagi orang yang berkumpul suami
istri di siang hari Ramadhan boleh memilih memerdekakan budak, bila
tidak mampu maka berpuasa 2 bulan berturut-turut, bila tidak mampu
berpuasa maka memberi makan 60 fakir miskin
2. Sunnah. Makna mandub dilihat dari segi bahasa adalah "yang diseru" dan makna
mandub menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,
"Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at tidak dalam bentuk
keharusan3
Mandub secara mayoritas kita kenal dengan istilah sunnah, selain sunnah
terdapat beberapa istilah lain dalam ushul fiqih yaitu nafilah, tathawwu,
mustahab, dan ihsan.
Mandub (sunnah) di bagi menjadi dua yaitu,
a. Sunah muakkad, artinya perintah melakukan perbuatan yang sangat
dianjurkan (sangat penting)
b. Sunah ghoiru muakkad, artinya sunah yang tidak begitu penting (kurang
dianjurkan).

3 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Usul Fikih, (Jakarta:PT Rineka Cipta,


1995), H. 114-118

5 | Ushul Fiqh Al-Ahkam, Al-Hakim, Mahkum Fih, Mahkum


Alaih
3. Haram. Makna haram dilihat dari segi bahasa adalah "yang dilarang"
dan makna haram menurut istilah dalam ushul fiqih adalah, "sesuatu
yang dilarang oleh pembuat syari'at dalam bentuk keharusan untuk
ditinggalkan".
4. Makruh. Makna makruh dilihat dari segi bahasa adalah "yang
dimurkai" dan makna makruh menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,
"sesuatu yang dilarang oleh pembuat syari'at tidak dalam bentuk
keharusan untuk ditinggalkan".
5. Mubah. Makna mubah dilihat dari segi bahasa adalah "yang
diumumkan dan dizinkan denganya" dan makna mubah menurut istilah
dalam ushul fiqih adalah, "sesuatu yang tidak berhubungan dengan
perintah dan larangan secara asalnya"5.
2. Al-Ahkam al-Wadhiyyah
1. Sebab. Yaitu sesuatu yang jelas adanya mengakibatkan adanya hukum,
sebaliknya tidak adanya mengakibatkan tidak adanya hukum.
Contohnya, perbuatan zina mengakibatkan adanya hukum rajam.
2. Syarat. yaitu sesuatu yang harus ada sebelum ada hukum, karena
adanya hukum bergantung kepadanya.
3. Azimah, yaitu hukum syara yang pokok dan berlaku untuk umum bagi
seluruh mukallaf, dalam semua keadaan dan waktu. Misalnya, puasa
wajib pada bulan Ramadhan, sholat fardhu lima waktu sehari semalam
dan lain sebagainya.
4. Rukhsoh, yaitu peraturan tambahan yang ditetapkan Allah SWT
sebagai keringanan karena ada hal-hal yang memberatkan mukallaf
sebagai pengecualian dari hukum-hukum yang pokok. Pembagian
Rukhsah Rukhsah terbagi menjadi 4 macam.
a.Dibolehkannya melakukan sesuatu yang seharusnya diharamkan.
Hal ini dilakukan karena dalam keadaan darurat. Contoh :
memakan bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika
disembelih disebut nama selain Allah, dalam Keadaan terpaksa
memakannya sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula
melampaui batas.
b. Diperbolehkan meninggalkan hal-hal yang diwajibkan,
apabila ada udzur yang bersifat dibolehkan secara syari.

6 | Ushul Fiqh Al-Ahkam, Al-Hakim, Mahkum Fih, Mahkum


Alaih
c.Menganggap sah sebagian aqad-aqad yang tidak memenuhi syarat
tetapi sudah biasa berlaku di masyarakat. Contohnya jual beli
salam (jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu terjadi aqad
jual beli / sistem pesanan).
d. Tidak berlakunya (pembatalan) hukum-hukum yang
berlaku bagi umat terdahulu sebelum Nabi Muhammad SAW.
Contoh : memotong bagian kain yang terkena najis, mengeluarkan
zakat dari jumlah harta, tidak boleh melakukan sholat selain di
masjid.
5. Mani (Penghalang) Yaitu sesuatu yang karenanya menyebabkan tidak
adanya hukum. Meskipun sebab telah ada, dan syarat telah terpenuhi,
akan tetapi apabila terdapat mani maka hukum yang semestinya bisa
diberlakukan menjadi tidak bisa diberlakukan.
Contohnya, apabila seseorang mempunyai keluarga / kerabat sebagai
ahli waris. Akan tetapi, apabila keduanya berlainan agama, maka
keduanya tidak berhak saling mewarisi. Hal ini karena berlainan agama
menjadi mani atau penghalang bagi seseorang untuk mendapatkan
harta peninggalan.

3. Perbedaan At-Taklifiyah dan Al-Wadiyah


Perbedaan keduanya dapat dilihat dari dua hal. Pertama, yang
dimaksud dengan hukum Taklifi adalah menuntut perbuatan,
mencegahnya, atau membolehkan memilih antara melakukan atau tidak
melakukannya. Sedang hukum Wadhi tidak bermaksud menuntut
melarang atau membolehkan memilih, tetapi hanya menerangkan sebab
dan syarat atau halangan suatu hukum.
Kedua, hukum Taklifi selalu dalam kesanggupan orang mukallaf,
baik untuk mengerjakan maupun untuk meninggalkannya. Adapun hukum
Wadhi kadang-kadang dapat dikerjakan (disanggupi) mukallaf, kadang-
kadang tidak.

C. PEMBUAT HUKUM (AL-HAKIM)

7 | Ushul Fiqh Al-Ahkam, Al-Hakim, Mahkum Fih, Mahkum


Alaih
Telah dijelaskan bahwa definisi hukum syarI adalah Titah Allah yang
berhubungan dengan tingkah laku orang mukallaf dalam bentuk tuntutan,
pilihan untuk berbuat dan ketentuan-ketentuan. Dari definisi itu dapat
dipahami bahwa pembuat hukum dalam pengertian islam adalah Allah SWT.
Sebab pengetahuan terhadap Al Hakim akan membawa pengetahuan terhadap
hukum dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Yang dimaksud dengan hakim
di sini bukanlah pemegang kekuasaan (pemerintahan), tetapi Al Hakim di sini
adalah siapa yang berhak mengeluarkan hukum atas perbuatan manusia (Al
Af'aal) dan atas benda-benda (Al-Asy-yaa').
Hakim secara etimologi, mempunyai dua pengertian


Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum.


Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan


hukum.

Tentang kedudukan Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum dalam


pandangan islam tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat islam.
Masalahnya adalah bahwa Allah sebagai pembuat hukum berada di alam yang
berbeda dengan manusia yang akan menjalankan hukum itu. Apakah manusia
itu sendiri secara pribadi dapat mengenal hukum Allah itu atau hanya
mengenalnya melalui perantara Allah yang ditetapkan untuk itu, dalam hal ini
adalah Rasul. Mengenai masalah ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan
ulama.

1 Pendapat mayoritas ulama Ahlussunnah mengatakan bahwa satu-satunya


yang dapat mengenalkan hukum Allah kepada manusia adalah Rasul atau
utusan Allah melalui wahyu yang diturunkan Allah kepadanya. Sebagai
kelanjutan dari pendapat ini adalah bahwa tidak ada rasulyang membawa
wahyu maka tidak akan ada hukum Allah dan manusia pun tidak akan
mengetahuinya. Menurut paham ini manusia dapat dianggap patuh atau

8 | Ushul Fiqh Al-Ahkam, Al-Hakim, Mahkum Fih, Mahkum


Alaih
ingkar kepada Allah, mendapat pahala atau dosa bila telah datang Rasul
membawa wahyu Allah dan belum ada hal-hal yang demikian sebelum
datang Rasul.
2 Kalangan Ulama Kalam Mutazilah yang berpendapat bahwa memang
Rasulullah adalah manusia satu-satunya yang berhak mengenalkan hukum
Allah kepada manusia. Meski demikian seandainya Rasul belum datang
mengenalkan hukum Allah itu kepada manusia, tetapi melalui akal yang
diberikan Allah kepada manusia, ia mempunyai kemampuan mengenali
hukum Allah itu. Atas dasar pendapat ini, maka sebelum kedatangan Rasul
pembawa hukum Allah itu, manusia telah dianggap patuh atau ingkar
kepada Allah dan telah berhak mendapat balasan (pahala atau dosa)

Kedua pendapat ini sepakat dalam menempatkan Rasul sebagai pembawa


hukum Allah dan Rasul sebagai orang yang berhak mengenalkan hukum Allah
itu kepada manusia. Dengan datangnya Rasul sebagai pembawa hukum itu
maka berlakulah taklif.

Perbedaan kedua pendapat ini adalah adanya taklif sebelum


datangnya Rasul. Kelompok ahlussunnah menetapkan tidak ada taklif sebelum
datangnya Rasul. Karena jika hanya semata-mata karena akal, manusia tidak
akan mungkin bisa mengenal hukum Allah. Namun kelompok mutazilah
berpendapat adanya taklif sebelum datangnya Rasul. Karena akal manusia
dapat menilai baik dan buruknya suatu perbuatan atas penilaian itu maka akal
manusia mendorong untuk melakukan hal yang baik dan meninggalkan yang
buruk. Hal ini berarti akal manusia dapat menyuruh atau melarang hal yang
buruk.

Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa titik perbedaan


pendapat kedua kelompokmitu terletak pada dua hal: pertama, nilai baik dan
buruk dalam suatu perbuatan, kedua nilai bai dan buruk untuk mendorong
manusia untuk berbuat untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam memahami
dua hal itu terdapat tiga kelompok ulama :

9 | Ushul Fiqh Al-Ahkam, Al-Hakim, Mahkum Fih, Mahkum


Alaih
1 Kelompok Asyariyah berpendapat bahwa suatu perbuatan dari segi
perbuatan itu sendiri tidak dapat dinilai baik atau buruknya. Oleh karena
itu akal manusia tidak dapat mempengaruhi baik atau buruknya suatu
perbuatan. Baik atau buruknya suatu perbuatan terletak pada disuruh atau
dilarangnya perbuatan itu oleh Allah SWT melalui wahyunya. Setiap
perbuatan yang disuruh Allah berarti perbuatan itu adalah perbuatan baik
dan mengandung manfaat bagi kehidupan manusia. Sebaliknya jika
perbuatan itu dilarang oleh Allah maka perbuatan tersebut merupakan
perbuatan yang buruk dan tidak memberi manfaat justru merugikan
kehidupan manusia.oleh sebab itu wahyu Allah lah yang menetapkan baik
atau buruknya suatu perbuatan dan Wahyu allah pula lah yang menyuruh
atau melarang perbuatan itu dilakukan atau tidak. Dalam arti taklif hanya
ditetapkan oleh Allah Rasulnya.
2 Kelompok Mutazilah yang berpendapat bahwa suatu perbuatan dari
materi perbuatan itu sendiri mengandung nilai baik atau buruk. Akal
manusia dapat mengetahui perbuatan itu baik atau buruk. Suatu perbuatan
akan dinilai baik oleh akal bila perbuatan tersebut disenangi oleh manusia
dan bermanfaat oleh manusia baik langsung saat ini atau dimana yang
akan mendatang. Bila akal dapat mempengaruhi baik atau buruknya suatu
perbuatan, maka sebagai kelanjutannya akal memahami pula bahwa suatu
perbuatan yang baik harus dilakukan dan suatu perbuatan yang buruk
harus ditinggalkan. Alasannya ialah bahwa akal manusia dapat memahami
berdasarkan keyakinannya akan keadilan Allah, bahwa Allah tidak
mungkin membiarkan suatu perbuatan buruk dilakukan oleh manusia dan
tidak mungkin mencegah manusia melakukan suatu perbuatan yang baik.
Dengan demikian, keharusan berbuat dan tidak berbuat sudah ada
meskipun wahyu belum diturunkan oleh Allah. Dan fungsi wahyu yang
datang kemudian adalah untuk mengokohkan apa yang telah diketahui dan
ditetapkan oleh akal. Dan taklif sebelum datangnya rasul. Seorang
manusia dianggap berdosa karena melakukan perbuatan yang buruk dan

10 | Ushul Fiqh Al-Ahkam, Al-Hakim, Mahkum Fih, Mahkum


Alaih
berpahala bila melakukan perbuatan baik sebelum wahyu diturunkan oleh
Allah kepada Rasul.
3 Kelompok maturidiyah berpendapat bahwa pada suatu perbuatan dengan
semata melihat pada materi perbuatan itu mempunyai niali baik dan buruk.
Karena itu akal dapat menetapkan suatu perbuatan itu baik atau buruk.
Selanjutnya dapat dipahami bahwa Allah tidak akan membiarkan manusia
melakukan suatu perbuatan yang buruk dan tidak akan mencegah manusia
melakukan perbuatan baik. Dengan ini kelompok maturidiyah sependapat
dengan kelompok mutazilah. Mengenai yang berhubungan dengan taklif,
kelompok ini berpendapat bahwa akal semata tidak akan dapat
menetapkan seseorang harus melakukan perbuatan baik atau harus
meninggalkan perbuatan buruk. Persoalan taklif, dosa dan pahala hanya
ditetapkan oleh wahyu Allah atau cara menghubungkan kepada kepada
wahyu yang telah ada menurut cara-cara tertentu.meskipun akal
berdasarkan pengetahuannya mengenai yang baik atau buruk, masalahat
atau mafsadat dan dan dapat berbuat atas dasar itu, namun ia harus tunduk
pada ketetapan wahyu. Semua perbuatan hukum yang dilakukan seseorang
hanya dapat dinilai dengan wahyu baik secara langsung atau tidk
langsung.

Dikalangan ulama fiqh kelompok Ahlussunnah, hanafiyah, mengikuti


aliran maturidiyah dalam hal penilaian baik dan buruk, juga dalam hal taklif.
Berdasarkan pendapat ini maslahat dan mafsadat dapat dijadikan
pertimbangan dalam menetapkan hukum. Namun, penetapan hukum itu baru
berlaku secara efektif bila mendapat pengakuan dari wahyu, baik secara
langsung atau tidak. Maslahat inilah yang dikalangan ulama ushul
ahlussunnah yang disebut dengan mashlahat mutabarah. Kelompok ulama
Syiah Imamiyah sependapat dengan Mutazilah dalam menempatkan akal
sebagai sesuatu yang menilai baik atau buruknya suatu perbuaan dan
menetapkan taklif dalam hal wahyu tidak ada.

D. MAHKUM FIH

11 | Ushul Fiqh Al-Ahkam, Al-Hakim, Mahkum Fih, Mahkum


Alaih
1 Pengertian Mahkum Fih
Yang dimaksud dengan Mahkum Fih ialah perbuatan mukallaf yang
menjadi obyek hukum syara (Syukur, 1990: 132). Sedangkan menurut
ulama ushul fiqh yang dimaksud mahkum fih adalah objek hukum, yaitu
perbuatan seorang mukallaf yang terkait denganperintah syari baik yang
bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu
pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah
serta batal (Bardisi dalam SyafeI, 2007: 317). Jadi, secara singkatnya
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih adalah
perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syari.

Misalnya firman Allah:

Artinya :

"hai orang-orang yang beriman, sempurnakanlah janji."

2 Syarat-Syarat Mahkum Fih


a Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga
tujuannya jelas dan dapat dilaksanakan.
b Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, supaya mengetahui bahwa
tuntutan itu dari AllahSWT, sehingga melaksanakannya berdasarkan
ketaatan dengan tujuan melaksanakannya karena Allah semata.
c Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.dengan
catatan:
1 Tidak sah suatu tuntutan yang dinyatakan musthil untuk dikerjakan
atau ditinggalkan baik berdasarkan zatnya ataupun tidak.
2 Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang
ditaklifkan untuk dan atas nama orang lain.
3 Tidak sah tuntutanyang berhubungan dengan perkara yang
berhubungan dengan fitrah manusia.
4 Tercapainya syarat taklif tersebut (SyafeI, 2007: 320)

12 | Ushul Fiqh Al-Ahkam, Al-Hakim, Mahkum Fih, Mahkum


Alaih
Disamping syarat-syarat yang penting diatas bercabanglah berbagai
masalah yang lain sebagaimana berikut:

1 Sanggup mengerjakan, tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak


sanggup dikerjakan oleh mukallaf.
2 Pekerjaan yang tidak akan terjadi, karena telah dijelaskan oleh Allah
bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi, seperti jauhnya Abu Lahab
terhadap rasa iman
3 Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan, yaitu yang kesukarannya
luar biasa, dalam arti sangat memberatkan bila perbuatan itu
dilaksanakan; dan yang tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang
sangat memberatkan atau terasa lebih berat daripada yang biasa.
4 Pekerjaan-pekerjaan yang diijinkan karena menjadi sebab timbulnya
kesukaran yang luar biasa

E. MAHKUM ALAIH
1. Pengertian Mahkum Alaih

Para ulama usul fiqih mengatakan bahwa yang dimaksud dengan


mahkum alaih ( ) adalah seseorang yang dikenai khitab
allah taala, yang disebutkan dengan mukallaf () . Secara etimologi,
mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam usul fiqih,istilah mukallaf
disebut juga mahkum alaih (dalam subjek). Orang mukallaf adalah orang
yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan
dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Apabila ia
mengerjakan perintah Allah, maka ia mendapat resiko dosa dan
kewajibannya belum terpenuhi.
Mengenai sahnya memberi beban kepada mukallaf, dalam syara
disyaratkan dua syarat:
Pertama: Mukallaf dapat memahami dalil taklif, seperti jika dia
mampu memahami nash-nash undang-undang yang dibebankan dari al-

13 | Ushul Fiqh Al-Ahkam, Al-Hakim, Mahkum Fih, Mahkum


Alaih
Quran dan as-Sunnah dengan langsung atau dengan perantara. Karena
orang yang tidak mampu memahami taklif, dia tidak dapat mengikuti yang
dibebankan kepadanya, dan tujuannya tidak mengarah kesana. Sedangkan
kemampuan memahami dalil itu hanya nyata dalam akal, dan dengan
adanya nash-nash yang dibebankan kepada orang-orang yang punya akal
itu dapat diterima pemahamanya oleh akal mereka. Karena akal itu adalah
alat untuk memahami dan menjangkau.
Adapun orang-orang tidak mengerti bahasa Arab dan tidak dapat
memahami dalil-dalil tuntutan syara dari al-Quran dan as-Sunnah,maka
jalan keluarnya untuk menagtasinya ditempuh melalui beberapa jalan,
yaitu:
a) Menerjemahkan Al-Quran dan As Sunnah ke dalam beberapa bahasa,
atau ke dalam bahasa mereka.
b) Menyeru orang yang tidak mengetahui bahasa arab untuk mempelajari
bahasa arab agar dapat kita sampaikan Al-Quran dan As Sunnah.
c) Wajib kita mengadakan segolongan dari umat kita untuk mempelajari
bahasa asing dengan sempurna, guna menyampaikan Al-Quran dan As
Sunnah kepada orang asing itu.
Dalil kewajiban itu berdasarkan :

Artinya :Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang
tidak hadir diantara kamu.
Kedua: Mukallaf adalah orang yang ahli sesuatu yang dibebankan
kepadanya. Pengertian ahli menurut bahasa adalah kelayakan atau layak,
(seperti bila) dikatakan :
fullan adalah ahli ( )(layak) memelihara
wakaf , artinya ialah = layak baginya
Sedangkan menurut ulama usul : ahli (layak) itu terbagi kepada dua
bagian yaitu : ahli wajib dan ahli melaksanakan
a. Ahli Wajib (Ahliyyatul Wujub)

14 | Ushul Fiqh Al-Ahkam, Al-Hakim, Mahkum Fih, Mahkum


Alaih
adalah kepantasan seseorang mempunyai hak dan
kewajiban.
Yang dimaksud dengan hak adalah sesuatu yang harus diterimanya dari
orang lain.
Kewajiban adalah sesuatu yang harus diberikan kepada orang lain.
Jadi ahliyyatul wujub itu adalah kelayakan seseorang untuk ada
padanya dalam keputusan seseorang untuk menerima haknya dari
orang lain dan memenuhi kewajiban kepada orang lain.
b. Ahli Melaksanakan (Ahliyyatul Ada)
adalah kepantasan seorang mukallaf yang ucapan dan
perbuatannya diperhitungkan oleh syara. Sekira apabila keluar dari
padanya akad (contract) tasharruf (pengelolaan ), maka menurut syara
akad atau tasharruf itu bisa diperhitungkan adanya, dan terjadi tertib
hukum atasnya. Apabila mukallaf mendirikan shalat, atau puasa atau
mengerjakan kewajiban apa saja, maka semua itu menurut syara bisa
diperhitungkan, dan bisa menggugurkan kewajiban mukallaf. Dan
apabila mukallaf membuat pidana atas orang lain dalm soal jiwa, harta,
kehormatan, maka dia dihukum sesuai dengan pidananya itu dengan
bentuk fisik dan harta.

Adapun syarat-syarat seseorang di katakana mukallaf:


1. Berakal;
2. Baligh; dan
3. Faham dengan apa yang dibebani.

2. Keadaan Manusia Dihubungkan dengan Kewajiban-kewajiban yang


Ada Adanya (Ahliyyatul Wujub)
Keadaan manusia bila dihubungkan kepada Ahliyyatul Wujub
mempunyai dua keadaaan, yaitu :
a. Kadang-kadang manusia mempunyai keahlian wajib dengan tidak
sempurna, apabila patut baginya atasnya beberapa kewajiban, atau

15 | Ushul Fiqh Al-Ahkam, Al-Hakim, Mahkum Fih, Mahkum


Alaih
sebaliknya. Contohmya adalah janin yang ada dalam perut ibunya, dia
mempunyai ketetapan beberapa hak, karena dia bisa menerima harta
pustaka dan bisa menerima wasiat, dan bisa menerima hak dalam
seperempat (1/4)harta wakaf, tetapi tidak wajib atasnya kewajiban-
kewajiban terhadap orang lain. Jadi keahlian wajib wajib yang tetap
bagi dia yang tidak sempurna.
b. Kadang-kadang manusia mempunyai keahlian wajib secara
sempurna,apabila patut baginya beberapa hak,dan atasnya beberapa
kewajiban, keahlian ini tetapi bagi setiap manusia sejak dari dia
dilahirkan. Jadi manusia itu mulai dari kekanak-kanakanya sampai usia
remaja dan sesudah dewasanya dalam keadaan bagaimanapun,
menurut perkembangan hidupnya, dia mempunyai keahlian wajib
secara sempurna. Seperti telah kami urauikan diatas ,tidak ada manusia
yang tidak mempunyai keahlian wajib.

Keadaan Manusia Dihubungkan Kepada Beban Melaksanakan (Ahliyyatul


Ada).
Manusia itu bila dihubungkan kepada keahlian melaksanakan
(Ahliyyatul Ada) mempunyai tiga keadaan yaitu:
a. Kadang-kadang manusia itu tidak mempunyai keahlian melaksanakan
sama sekali, atau kehilangan melakukan keahlian sama sekali. Inilah
anak-anak zaman kekanak-kanakannya dan orang gila pada usia berapa
saja. Maka masing masing anak dan orang gila itu, karena tidak
mempunyai akal, mereka tidak mempunyai keahlian melaksanakan,
dan dari pada masing-masing mereka, tidak terjadi pengaruh-pengaruh
syara atas ucapannya dan tidak pula atas perbuatannya. Inilah arti
pendapat fuqaha yang berbunyi :

kesenjangan anak-anak atau orang gila, adalah keliru (luput)
Karena selam tidak ada akal, tidak terdapat tujuan, amak tidak terdapat
pula unsur kesenjangan.

16 | Ushul Fiqh Al-Ahkam, Al-Hakim, Mahkum Fih, Mahkum


Alaih
b. Kadang-kadang manusia itu tidak sempurna keahliannya melaksanaka.
Yaitu anak usia remaja sebelum dia baligh. Termasuk pula orang yang
kurang akal itu tidak cacat akalnya dan tidak pula kehilangan akalnya.
Tetapi ndia itu lemah dan kurang akal. Masing-masing dari anak yang
kurang akal itu, karena da dan tetapnya asal keahlian melaksanakan
baginya lantaran keremajaan. Amak sahlah pengelolaannya yang
berguna baginya secara murni.
c. Kadang-kadang manusia itu sempurna keahliannya ,melaksanakan.
Yaitu orang telah sampai pada usia dewasa dan berakal. Maka keahlian
melaksanakn yang sempurna dapoat terealisir dengan kedewasaan
manusia dan berakal.

3. Korelasi antara Al-Hakim dengan Mahkum Alaih


Hubungan antara hakim dengan mahkum alaih adalah bahwa hakim
adalah sang pembuat hukum sedangkan mahkum alaih adalah subjek yang
terkena suatu tuntutan hukum dari hakim tersebut. Jadi apabila tanpa
adanya hakim maka mahkum alaih tidak akan nyata, dan apabila orang
mahkum alaih melakukan suatu pelanggaran baik berkaitan dengan Allah
(hakim) langsung atau berkaitan dengan sesama mahkum alaih maka yang
menghukumi adalah hakim.

17 | Ushul Fiqh Al-Ahkam, Al-Hakim, Mahkum Fih, Mahkum


Alaih
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Al-Ahkam (hukum) merupakan titah Allah Swt., yang menyangkut


tindakan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat atau tidak, atau
dalam bentuk ketentuan-ketentuan yang lain. Al Ahkam di bagi menjadi dua,
yakni Al Ahkam Taklifi dan Al Ahkam Wadhi.
Mahkum Fih adalah objek hukum,yaitu perbuatan seorang mukalaf
yang terkait dengan perintah syari(Allah dan rosulnya).
Al Hakim (pembuat hukum) merupakan pembuat syariat secara
hakiki, yakni Allah Swt. (pengertian dalam Islam), yang telah disepakati oleh
para ulama. Yang menyoroti perbedaan pendapat adalah ketika kita membahas
mengenai kemampuan (fungsi) akal dalam mengetahui tahsin (baik) dan
taqbih (buruk) suatu hal.
Mahkum Alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab
allah SWT yang disebut mukalaf.

B. SARAN
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini banyak sekali
kekurangan, karena penulis hanyalah manusia biasa yang tak luput dari salah
dan khilaf. Untuk itu, demi untuk memperbaiki makalah ini penulis
membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun, sehingga penulis
dalam membuat makalah bisa lebih baik lagi.

18 | Ushul Fiqh Al-Ahkam, Al-Hakim, Mahkum Fih, Mahkum


Alaih
DAFTAR PUSTAKA

Atmaja, Rifai. Moh, Ushul Fiqih, (Bandung: PT Almaarif, 1994)

Syafei Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007)

Wahab Khallaf Abdul, Ilmu Usul Fikih, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995)

Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: PT.Logos Wacana
Ilmu, 2000)
Drs. Chaerul Umam, dkk.,Ushul Fiqih I, (Bandung: CV. Pusaka Setia, 2000)
Kamal muchtar, Dkk, Usul Fiqh, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf)
Syarifuddin, Amir.1997.Ushul Fiqh Jilid I.Ciputat:LOGOS Wacana Ilmu

http://www.rijalhabibulloh.com/2015/01/makalah-ushul-fiqih-tentang-hukum.html
diakses pada tanggal 17 march 2016

19 | Ushul Fiqh Al-Ahkam, Al-Hakim, Mahkum Fih, Mahkum


Alaih

Anda mungkin juga menyukai