Anda di halaman 1dari 18

A.

DEFINISI
Hiperemesis garvidarum ialah suatu keadaan (biasanya pada hamil
muda) dimana penderita mengalami mual muntah yang berlebihan,
sedemikian rupa sehingga mengganggu aktivitas dan kesehatan penderita
secara keseluruhan. Achadiat (2004)
Hiperemesis gravidarum adalah mual dan muntah berlebihan pada
waktu hamil, sampai mengganggu pekerjaan sehari hari karena keadaan
umumnya menjadi buruk, sehingga akibatnya terjadilah dehidrasi. Hidayati
(2009)
Pada keadaan klinis hipereesis gravidarum sudah terdapat gejala klinis
yang memerlukan perawatan, seperti muntah berlebihan yang menyebebkan
terjadinya dehidrasi, beret badan menurun, keluhan mental dalam bentuk
delirium, diplopia, nistagmus, serta terdapat benda keton dalam darah
sebagai akibat dari metabolisme anaerobik. (Manuaba, 2007)
B. KLASIFIKASI
Penyakit hiperemesis gravidarum dibagi dalam beberapa tingkat yaitu
sebagai berikut:
1. Tingkat 1
Gejala: lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun, nyeri
epigatrium, nadi meningkat, turgor kulit berkurang, tekanan darah sistolik
menurun, lidah kering, dan mata cekung.
2. Tingkat 2
Gejala: apatis, nadi cepat dan kecil, lidah kering dan kotor, mata sedikit
ikterik, kadang suhu sedikit meningkat, liguria, serta aseton tercium
dalam hawa pernapasan.
3. Tingkat 3
Keadaan umum lebih lemah lagi, muntah-muntah berhenti, kesadaran
menurun dari somnolen sampai koma, nadi lenih cepat, tekanan darah
lebih turun, komplikasi fetal ensefalopati Wernicke: nistagmus, diplopia,
perubahan mental; dan ikterik (Feryanto, Achmad, 2011).
Siddik (2008) menambahkan penjelasan klasifikasi hiperemesis gravidarum
secara klinis menjadi tiga tingkat, yaitu:
Tingkat I
Hiperemesis gravidarum tingkat I ditandai oleh muntah yang terus
menerus disertai dengan intoleransi terhadap makan dan minum.
Terdapat penurunan berat badan dan nyeri epigastrium. Pertama-tama isi
muntahan adalah makanan, kemudian lendir beserta sedikit cairan
empedu, dan kalau sudah lama bisa keluar darah. Frekuensi nadi
meningkat sampai 100 kali/menit dan tekanan darah sistolik menurun.
Pada pemeriksaan fisis ditemukan mata cekung, lidah kering, turgor kulit
menurun, dan urin sedikit berkurang.
Tingkat II
Pada hiperemesis gravidarum tingkat II, pasien memuntahkan segala yang
dimakan dan diminum, berat badan cepat menurun, dan ada rasa haus
yang hebat. Frekuensi nadi 100-140 kali/menit dan tekanan darah sistolik
kurang dari 80 mmHg. Pasien terlihat apatis, pucat, lidah kotor, kadang
ikterus, dan ditemukan aseton serta bilirubin dalam urin.
Tingkat III
Kondisi tingkat III ini sangat jarang, ditandai dengan berkurangnya muntah
atau bahkan berhenti, tapi kesadaran menurun (delirium sampai koma).
Pasien mengalami ikterus, sianosis, nistagmus, gangguan jantung, dan
dalam urin ditemukan bilirubin dan protein (dalam Kevin, dkk., 2010)

C. Epidemiologi
Mual dan muntah terjadi dalam 50-90% kehamilan. Gejalanya biasanya
dimulai pada gestasi minggu 9-10, memuncak pada minggu 11-13, dan
berakhir pada minggu 12-14. Pada 1-10% kehamilan, gejala dapat berlanjut
melewati 20-22 minggu. Hiperemesis berat yang harus dirawat inap terjadi
dalam 0,3-2% kehamilan.
Di masa kini, hiperemesis gravidarum jarang sekali menyebabkan
kematian, tapi masih berhubungan dengan morbiditas yang signifikan.
Mual dan muntah mengganggu pekerjaan hampir 50% wanita hamil yang
bekerja.
Hiperemesis yang berat dapat menyebabkan depresi. Sekitar seperempat
pasien hiperemesis gravidarum membutuhkan perawatan di rumah sakit
lebih dari sekali.
Wanita dengan hiperemesis gravidarum dengan kenaikan berat badan dalam
kehamilan yang rendah (7 kg) memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
melahirkan neonatus dengan berat badan lahir rendah, kecil untuk masa
kehamilan, prematur, dan nilai Apgar 5 menit kurang dari 7.
D. ETIOLOGI
Hingga saat ini penyebab hiperemesis gravidarum belum diketahui
secara pasti dan multifaktorial. Walaupun beberapa mekanisme yang
diajukan bisa memberikan penjelasan yang layak, namun bukti yang
mendukung untuk setiap penyebab hiperemesis gravidarum masih belum
jelas. Beberapa teori telah di ajukan untuk menjelaskan penyebab
hiperemesis gravidarum. Teori yang dikemukakan untuk menjelaskan
patogenesis hiperemesis gravidarum, yaitu faktor endokrin dan faktor non
endokrin. Yang terkait dengan faktor endokrin antara lain Human Chorionic
Gonodotrophin, estrogen, progesteron, Thyroid Stimulating Hormone,
Adrenocorticotr opine Hormone, Human Growth Hormone , prolactin dan
leptin. Sedangkan yang terkait dengan fakt or non endokrin antara lain
immunologi, disfungsi gastrointestinal, infeksi Helicobacter pylori, kelainan
Hypotheses based on endocrinological
enzym metabolik, effects involved innutrisi,
defisiensi the pathogenesis
Hypotheses
anatomibased
ofdan
HG psikologis.
on non endocrinological effects involved in the path

Pathogenetic Mechanisms

Hypothalamus/ Adrenal gland Overactivated hypothalamic-pituitaryadrenal axis


Cortisol/ACTH

Gestational transient thyrotoxicosis


Thyroid Gland TSH/ Thyroxin

Immunological
Overactivated immune system
Human Chorionic Gonadotropin
Ovary/Corpus Leteum
H. pylori infection Infectious

Esterogen/ Progesteron Distension upper GI tract


H. pylori infection GI Tract

Placenta Trace element/ vitamin deficiency


Prolactin
Anatomical
Placental Growth Hormone Elevated metabolic enzymes

Decreased LESP Corpus Leteum


Leptin
Motility Changes
Elevated levels of sex steroids in hepatic portal system
Nervous system

Psycological causes
Higher neural pathways triggering vomiting
Notes : previous publications, - - hypotheses ; Gambar 1 : Etiologi
Hiperemesis Gravidarum
E. FAKTOR RESIKO
Penyebab hiperemesis gravidarum tidak diketahui dengan pasti, tetapi
diduga terdapat faktor berikut:
1. Psikologis
Masalah psikolgis dapa mempredisposisi wanita untuk mengalami mual
dan muntah dalam kehamilan, atau memperburuk gejala yang sudah ada
atau mengurangi kemampuan untuk mengatasi gejala normal.
Contohnya:
a. Ibu dapat menerima kehamilan atau tidak
b. Kehamilannya yang diinginkan atau tidak
c. Keretakan rumah tangga
d. Kehilangan pekerjaan
e. Rasa takut terhadap kehamilan dan melahirkan
f. Takut memikul tanggung jawab,dan sebagainya (Manuaba, 2003).
2. Fisik
a. Terdapat kemungkinan masuknya vili khorealis ke dalam sirkulasi darah
ibu, menyebabkan terjadinya reaksi imunologik berupa reaksi
penolakan terhadap benda asing dan perubahan metabolik glikogen
hati(Tanjung, 1995).
b. Level hormon
Terjadi peningkatan yang mencolok atau belum beradaptasi dengan
kenaikan human chorionic gonadothropin.Kejadian berkorelasi dengan
peningkatan drastis -hCG, estradiol, dan progestin antara 10-20
minggu kehamilan. Jordan et al (1999) menyatakan bahwa isoform
tertentu yang bersifat asam pada hCG mungkin merupakan faktor
penentu dalam hiperemesis gravidarum. Selainitu, ada pendapat yang
mengatakan hormon ini meningkat cepat pada triwulan
pertamakehamilan dan dapat memicu bagian dari otak yang
mengontrol mual dan muntah.
Faktor konsentrasi human chorionic gonadothropin yang tinggi:
Primigravida lebih sering dari multigravida
Sebagian kecil primigravida belum mampu beradaptasi terhadap
hormon estrogen dan hCG.
Semakin meningkat pada mola hidatidosa, hamil ganda, dan
hidramnion.
c. Serotonin
Serotonin memainkan peran yang penting pada refleks muntah, namun
belum ada bukti yang kuat mengenai hal ini.
d. Perubahan dalam metabolisme lemak dan karbohidrat
Perubahan dalam metabolisme lemak dan karbohidrat menyebabkan
hipoglikemia, terutama saat bangun tidur. Hipoglikemia dapat
mencetuskan mual dan muntah.
e. Dismotilitas gastrointestinal bagian atas
Progestin menyebabkan relaksasi pada otot polos, yang berakibat pada
penurunan motilitas lambung.
f. InfeksiHelicobacter pylori
Ibu dengan hiperemesis gravidarum mempunyai tingkat infeksi
Helicobacter pylori yang tinggi. Bakteri gram negatif yang ditemukan
dalam lambung ini dapat menyebabkan kerusakan prostaglandin yang
melindungi sel-sel mukosa di dalam dinding lambung. Muntah akan
membaik setelah diberikan terapi antibiotik(Manuaba dkk, 2007).
g. Kelainan hati
Peningkatan LFTs terjadi lebih sering pada pasien dengan hiperemesis
gravidarum, tetapi ini mungkin merupakan perubahan sekunder.
h. Faktor gizi/anemia meningkatkan terjadinya hiperemesis gravidarum
Yaitu kekurangan vitamin B6(Carr, 2003).
i. Faktor endokrin lainnya: hipertiroid, diabetes, dan sebagainya(Hidayati,
2009)
Peningkatan T4 dan penurunan kadar horon penstimulasi tiroid (TSH)
ditemukan pada 50% wanita ini, dan tiroid diyakini terlibat (Sinclair,
2009).
j. Cara alamiah untuk meindungi janin
Teori ini menunjukkan mual dan muntah bertujuan untuk mencegah ibu
untuk tidak memakan makanan yang berbahaya. Ibu akan merasa
mual jika melihat, menicum, atau merasakan makanan yang mungkin
berpotensi mempengaruhi janin, dan jika makanan dimakan
menyebabkan wanita muntah agar makanan dikeluarkan (Tiran, 2008).
3. Masalah okupasional dan ekonomi
a. Wanita pekerja yang terburu-buru pergi ke tempat kerja atau tempat
kerja yang jauh biasanya tidak sarapan, padahal sarapan adalah untuk
mengatasi hipoglikemia yang bisa mencetuskan mual dan muntah.
b. Bau-bau tertentu ketika ibu berada di tempat umum, seperti bau
parfum, asap rokok, bau kendaraan, dan lain-lain bisa memicu atau
bahkan memperparah terjadinya mual muntah(Tiran, 2008).

F. PATOFISIOLOGI
(terlampir)

G. MANIFESTASI KLINIS HIPEREMESIS GRAVIDARUM


Batasan seberapa banyak terjadinya mual muntah yang disebut
hiperemesis gravidarum belum ada kesepakatannya. Akan tetapi jika keluhan
mual muntah tersebut sampai mempengaruhi keadaan umum ibu dan
sampai mengganggu aktivitas sehari-hari sudah dapat dianggap sebagai
hiperemesis gravidarum. Hiperemesis gravidarum, menurut berat ringannya
gejala dapat dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu:
1. Tingkat I.
Muntah terus menerus yang mempengaruhi keadaan umum penderita, ibu
merasa lemah, nafsu makan tidak ada, berat badan menurun dan merasa
nyeri pada epigastrium. Nadi meningkat sekitar 100 per menit, tekanan
darah sistolik menurun, turgor kulit menurun, lidah mongering dan mata
cekung.
2. Tingkat II.
Penderita tampak lebih lemas dan apatis, turgor kulit lebih menurun, lidah
mengering dan nampak kotor, nadi kecil dan cepat, suhu kadang-kadang
naik dan mata sedikit ikterus. Berat badan turun dan mata menjadi
cekung, tensi turun, hemokonsentrasi, oliguria dan konstipasi. Aseton
dapat tercium dalam bau pernapasan, karena mempunyai aroma yang
khas dan dapat pula ditemukan dalam kencing.
3. Tingkat III.
Keadaan umum lebih buruk, muntah berhenti, kesadaran menurun dari
somnolen sampai koma, nadi kecil dan cepat, suhu meningkat dan tensi
menurun. Komplikasi fatal terjadi pada susunan saraf yang dikenal
sebagai Encephalopathy Wernicke dengan gejala nistagmus, diplopia, dan
perubahan mental. Keadaan ini terjadi akibat defisiensi zat makanan,
termasuk vitamin B kompleks. Timbulnya ikterus menunjukan adanya
gangguan hati. (Widayana, A. 2013)

H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Sekarang ini ada beberapa cara populer untuk mendeteksi adanya
infeksi H. pylori, masing-masing memiliki kelebihan, kekurangan dan
keterbatasan. Pada dasarnya tes yang tersedia untuk diagnosis ada 2 metode
yaitu metode invasif dan metode non invasif. Pada metode yang invasif dapat
dilakukan biopsi endoskopi untuk pemeriksaan histologi, kultur, Polymerase
Chain Reaction (PCR) dan Rapid Urease Test. Pada yang non invasif dapat
dilakukan Urea Breath Test, Serologi Test dan Stool Antigen Test.
Histologi
Evaluasi histologi merupakan metode standar emas untuk memastikan
adanya kuman H. pylori pada lambung.Untuk evaluasi ini diperlukan tindakan
biopsi untuk pemeriksaan histopatologi.Dengan sensitivitas 98 % dan
spesifitas 95 % namun tidak dapat dilakukan pada wanita hamil.Diangosis
dengan metode endoskopi untuk evaluasi histologi hanya boleh digunakan
jika prosedur ini diperlukan untuk mendeteksi kondisi lainnya selain infeksi H.
pylori.Metode endoskopi dengan pengambilan sampel jaringan pada pasien
dengan riwayat penyakit ulcus peptik bisa memberikan diagnosis yang lebih
pasti dari infeksi H. pylori, dan juga tingkat inflamasi atau metaplasia dan
keberadaan lymphoma MALT atau kanker lambung lainnya pada pasien risiko
tinggi.
Biopsi endoskopi pada antrum dan corpus untuk pemeriksaan histopatologi
dilakukan oleh Bagis di Turkey tahun 2002 terhadap 20 pasien dengan
hiperemesis gravidarum dan 10 pasien asimptomatik. H. pylori di diagnosis
pada 19 pasien (95 %).
Kelemahan teknik evaluasi histologi ini adalah diperlukannya endoskopi untuk
mendapatkan jaringan. Keterbatasan yang lain adalah jumlah yang tidak
layak dari spesimen biopsi yang diperoleh atau kegagalan mendapatkan
spesimen dari daerah lambung. Pada sebagian kasus, teknik pemulasan yang
berbeda-beda mungkin diperlukan, yang bisa melibatkan waktu pemprosesan
yang lebih lama dan biaya yang lebih tinggi.
Kultur
Karena H. pylori sulit tumbuh pada medium kultur, peranan kultur dalam
diagnosis infeksi sebagian besar terbatas pada penelitian dan pertimbangan
epidemiologi. Pemeriksaan kultur mahal, memakan waktu yang lama dan
intensif, namun kultur tetap memegang peranan dalam studi kerentanan
terhadap antibiotik dan studi tentang faktor-faktor pertumbuhan dan
metabolisme. Di Amerika Serikat, kultur tidak dianggap cara diagnosis lini
pertama yang rutin.

Polymerase Chain Reaction (PCR)


Dengan lahirnya PCR, banyak kemungkinan yang menarik muncul untuk
mendiagnosa dan mengklasifikasikan infeksi H. pylori.PCR memungkinkan
identifikasi organisme dalam sampel kecil dengan sedikit bakteri dan tidak
membutuhkan persyaratan khusus dalam pemprosesan dan
pengangkutan.PCR bisa dilaksanakan dengan cepat dan bisa digunakan
untuk mengidentifikasi strain-strain bakteri yang berbeda untuk studi
epidemiologi.PCR juga sedang dievaluasi manfaatnya dalam mengidentifikasi
H. pylori dalam sampel plak gigi, saliva dan feces yang mudah diambil
sampelnya.Keterbatasan dari PCR adalah bahwa relatif sedikit laboratorium
yang memiliki kemampuan untuk mengoperasikan pengujian ini.Selain itu,
karena PCR bisa mendeteksi segmen-segmen DNA H. pylori dalam mukosa
lambung pasien yang diobati sebelumnya, hasil positif palsu bisa terjadi.
Rapid Urease Test
Rapid Urease Test/ Pengujian Urease Cepat dilakukan berdasarkan dari fakta
bahwa H. pylori adalah organisme yang menghasilkan urease.Sampel yang
diperoleh dari endoskopi ditempatkan di dalam medium yang mengandung
urea. Jika urease ada, urea akan diuraikan menjadi karbon dioksida dan
ammonia, akibatnya terjadi peningkatan pH medium dan selanjutnya terjadi
perubahan warna pada medium. Test ini memiliki kelebihan yaitu tidak
mahal, cepat dan tersedia secara luas. Akan tetapi, test ini dibatasi oleh
kemungkinan hasil positif palsu, dimana terjadi penurunan aktivitas urease
yang disebabkan konsumsi antibiotik yang masih baru, senyawa bismuth,
inhibitor pompa proton atau sucralfate atau oleh reflux empedu, bisa turut
andil atas hasil positif palsu ini.
Urea Breath Test
Urea Breath Test/ Test Napas Urea mengandalkan aktivitas urease H. pylori
untuk mendeteksi keberadaan infeksi aktif. Dalam test ini, pasien yang

14 13
diduga mengidap infeksi diberi urea berlabel- C atau urea berlabel- C.
14 13
Urea berlabel- C atau C memiliki kelebihan bersifat nonradioaktif dan
karenanya lebih aman untuk anak-anak dan wanita setelah melahirkan. Jika
ada urease, akan menguraikan urea menjadi ammonia dan karbon dioksida,
karbon dioksida diserap dan akhirnya terekspirasikan di dalam napas, di
mana senyawa ini akan terdeteksi. Urea Breath Test memiliki sensitivitas dan
spesifisitas lebih dari 90 %.Selain sangat bagus untuk mendokumentasikan
infeksi aktif, test ini juga sangat bernilai untuk memastikan ketiadaan infeksi
setelah pengobatan.Juga penting pada pasien dengan riwayat penyakit ulcus
yang terkomplikasi yang disertai perdarahan atau perforasi.Selain itu, Urea
Breath Test tidak mahal dengan isotop manapun yang digunakan, mudah
dilaksanakan dan tidak mengharuskan endoskopi.Akan tetapi, jika pasien
baru mengkonsumsi inhibitor pompa proton, antibiotik atau senyawa
bismuth, Urea Breath Test bisa terbatas manfaatnya.Karena itu, setidaknya
jarak 1 minggu waktu antara penghentian obat antisekresi dan Urea Breath
Test dilaksanakan 4 minggu setelah pengobatan selesai (eradikasi).
Tambahan lagi, kecuali untuk pusat medis besar di mana hasil-hasil biasanya
tersedia dalam waktu kurang dari 24 jam, Urea Breath Test juga bisa untuk
waktu beberapa hari yang dibutuhkan untuk pengangkutan sampel dan
analisa oleh laboratorium.
Pemeriksaan Urea Breath Test bersifat non invasif, tidak menggunakan bahan
radioaktif, hasil cepat, praktis tanpa persiapan khusus dan tanpa efek
samping.Pemeriksaan Urea Breath Test dapat dilakukan dengan
menggunakan alat Infra Red Isotope Analyser (IRIS) untuk mendeteksi
adanya H. pylori.Prosedur pemeriksaan dilakukan dengan cara meniupkan
udara pernafasan kedalam kantong udara yang tersedia yang kemudian
dihubungkan ke alat IRIS untuk mengetahui ada tidaknya H. pylori.
Prosedurnya sederhana dan hasilnya cepat dengan waktu 30 menit.Non
invasif karena tidak ada alat yang dimasukkan kedalam tubuh dan tanpa efek
samping karena hanya menggunakan udara pernafasan.
Serologi Test
- Metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Pemeriksaan serologi dengan metode ELISA untuk melihat adanya
antibodi terhadap kuman H. pylori memililki sensitivitas 90-95 % dan
spesifitas 92 %.Teknik ini dinilai cukup efektif, ekonomis serta lebih mudah
dilakukan dibanding tes diagnostik lainnya. Sebagai reaksi terhadap
infeksi H. pylori, sistem kekebalan akan memunculkan reaksi melalui
produksi immunoglobulin terhadap antigen spesifik organisme. Antibodi
ini bisa terdeteksi dalam serum atau sampel darah yang dengan mudah
diperoleh.Keberadaan antibodi IgG terhadap H. pylori bisa dideteksi
dengan menggunakan pengujian biokimia dan banyak pengujian yang
berbeda-beda tersedia.Test serologi menawarkan cara cepat, mudah, non
invasif dan relatif tidak mahal dalam mengidentifikasi pasien yang
terinfeksi dengan organisme. Akan tetapi, metode ini kurang bermanfaat
dalam menentukan jumlah H. pylori pada sampel dan perubahan titer H.
pylori setelah eradikasi.Pada populasi prevalensi rendah, test serologi
merupakan metodologi lini kedua karena nilai prediksi positif yang rendah
dan kecenderungan ke arah hasil positif palsu. Test serologi berguna
dalam mengidentifikasi H. pylori dengan mendeteksi antibodi yang terkait
dengan penyakit yang lebih berat yaitu, ulcus yang terkomplikasi, kanker
lambung dan lymphoma.
- Prinsip test
Prinsip test ini didasarkan pada teknik ELISA. Test ini untuk menentukan
kadar semi kuantitatif IgG H. pylori di dalam serum atau plasma manusia.
Dengan teknik ini sumur-sumur mikro dilapisi dengan antigen H. pylori
spesifik.Kemudian sampel serum dibiarkan bereaksi dengan antigen. Jika
antibodi spesifik ada di dalam serum, antibodi tersebut akan mengalami
pengikatan pada antigen H. pylori. Setelah inkubasi pada suhu kamar,
sumur-sumur dicuci dengan larutan buffer phosphate 0,05 % dengan pH =
6 untuk menghilangkan antibodi yang tidak terikat. Setelah pencucian
sumur, IgG anti-H.pyloriyang tertangkap akan bereaksi dengan antibodi
berkonjugasi IgG anti-manusia yang dilabelkan dengan Horseradish
Peroxidase (HRP)/ Alkalin Phosphatase (AP) yang ditambahkan ke dalam
sumur. Konjugat enzym alkalin Phosphatase ini menjadi terikat pada
kompleks antibodi-antigen.Setelah inkubasi, komponen-komponen yang
tidak terikat dihilangkan kembali dengan pencucian. Alkalin phosphatase
yang terikat akan bereaksi dengan penambahan komponen khromogenik
tetramethylbenzidine dan hydrogen peroxide, setelah diinkubasi akan
menghasilkan warna biru. Perkembangan warna dihentikan dengan
penambahan larutan stop asam hidroklorat dengan pH < 1. Warna
berubah menjadi kuning dan diukur secara spektrophotometrik pada 450
nm.Intensitas warna yang dihasilkan sebanding dengan jumlah antibodi
spesifik IgG dalam sampel.Hasil-hasil dibaca dengan alat pembaca sumur
mikro yang dibandingkan secara paralel dengan kalibrator dan kontrol.

Saat ini telah banyak dilaporkan kemungkinan terlibatnya H. pylori


dengan terjadinya hiperemesis gravidarum.Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara hiperemesis
gravidarum dengan infeksi H. pylori. Mekanisme terjadinya hal ini
dapat dijelaskan secara teoritis yaitu bahwa infeksi subklinis H. pylori
merupakan akibat perubahan kadar hormon steroid dan pH lambung
pada kehamilan. Para peneliti membuat suatu hipotesa bahwa pada
fase awal kehamilan, perubahan pada konsentrasi cairan tubuh wanita
mempengaruhi pH saluran cerna, yang kemudian dapat mengaktifkan
H. pylori laten yang ada di saluran cerna. Perubahan pH saluran cerna
dapat mengaktivasi bakteri H. pylori laten sehingga timbul manifestasi
penyakit tersebut. Juga beberapa laporan kasus menyatakan bahwa
pemberantasan infeksi H. pylori memperbaiki klinis hiperemesis
gravidarum.
Stool Antigen Test
H. pylori Stool Antigen (HpSA)/ Pengujian antigen tinja merupakan metodologi
yang relatif baru yang menggunakan enzyme immunoassay untuk
mendeteksi keberadaan antigen H. pylori di dalam spesimen tinja. Biaya
cukup efektif dan cara yang handal dalam mendiagnosa infeksi aktif dan
menegaskan kesembuhan. Pengujian ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang sebanding dengan sensitivitas dan spesifisitas test non
invasif lainnya. Stool Antigen Test memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih
dari 90 %. (Prawihardjo,2002)

I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada ibu dengan hiperemesis gravidarum menurut (Ai
Yeyeh Rukiyah dan Lia Yulianti, 2010) dimulai dengan :
1. Pencegahan
Pencegahan terhadap Hiperemesis gravidarum perlu dilaksanakan
dengan jalan memberikan penerangan tentang kehamilan dan persalinan
sebagai suatu proses yang fisiologik. Hal itu dapat dilakukan dengan cara :
a. Memberikan keyakinan bahwa mual dan kadang-kadang muntah
merupakan gejala yang fisiologik pada kehamilan muda dan akan
hilang setelah kehamilan berumur 4 bulan.
b. Menganjurkan mengubah makanan sehari-hari dengan makanan
dalam jumlah kecil, tetapi lebih sering.
c. Waktu bangun pagi jangan segera turun dari tempat tidur, tetapi
dianjurkan untuk makan roti kering atau biskuit dengan teh hangat.
d. Hindari makanan yang berminyak dan berbau lemak.
e. Makan makanan dan minuman yang disajikan jangan terlalu panas
atau terlalu dingin
f. Menjamin defekasi teratur.
g. Menganjurkan makan makanan yang banyak mengandung gula untuk
menghindarkan kekurangan karbohidrat.
2. Terapi obat-obatan
Apabila dengan cara diatas keluhan dan gejala tidak berkurang maka
diperlukan pengobatan.
a. Sedativa yang sering diberikan adalah pohenobarbital.
b. Vitamin yang dianjurkan yaitu vitamin B1 dan B2 yang berfungsi untuk
mempertahankan kesehatan syaraf, jantung, otot, serta meningkatkan
pertumbuhan dan perbaikan sel (Admin, 2007) dan B6 berfungsi
menurunkan keluhan atau gangguan mual bagi ibu hamil dan juga
membantu dalam sintesa lemak untuk pembentukan sel darah merah
(Admin, 2007).
c. Antihistaminika juga dianjurkan.
d. Pada keadaan lebih berat diberikan antiemetik seperti diklomin
hidrokhloride, avomin (Winkjosastro, 2005).
3. Isolasi
Isolasi dilakukan dalam kamar yang tenang tetapi cerah dan peredaran
udara baik hanya dokter dan perawat yang boleh keluar masuk sampai
muntah berhenti dan pasien mau makan. Catat cairan yang masuk dan
keluar, tidak diberikan makan dan minum selama 24 jam. Kadang-kadang
dengan isolasi saja gejala-gejala akan berkurang atau hilang tanpa
pengobatan.
4. Terapi psikologik
Perlu diyakinkan kepada penderita bahwa penyakit dapat disembuhkan,
hilangkan rasa takut oleh karena kehamilan, kurangi pekerjaan
sertamenghilangkan masalah dan konflik, yang kiranya dapat menjadi
latar belakang penyakit ini (Wiknjosastro, 2005).
Bantuan yang positif dalam mengatasi permasalahan psikologis dan sosial
dinilai cukup signifikan memberikan kemajuan keadaan umum (Admin,
2008).
5. Diet
a. Diet hiperemesis I diberikan pada hiperemesis tingkat III. Makanan
hanya berupa roti kering dan buah-buahan. Cairan tidak diberikan
bersama makanan tetapi 1-2 jam sesudahnya. Makanan ini kurang
dalam semua zatzat gizi, kecuali vitamin C, karena itu hanya
diberikan selama beberapa hari
b. Diet hiperemesis II diberikan bila rasa mual dan muntah berkurang.
Secara berangsur mulai diberikan makanan yang bernilai gizi tinggi.
Minuman tidak diberikan bersama makanan . Makanan ini rendah
dalam semua zat-zat gizi kecuali vitamin A dan D.
c. Diet hiperemesis III diberikan kepada penderita dengan hiperemesis
ringan. Menurut kesanggupan penderita minuman boleh diberikan
bersama makanan. Makanan ini cukup dalam semua zat gizi kecuali
Kalsium. (Taufan Nugroho, 2010).
6. Terapi parenteral
Berikan cairan parenteral yang cukup elektrolit, karbohidrat dan protein
dengan glukosa 5 % dalam cairan fisiologis sebanya 2-3 liter sehari. Bila
perlu dapat ditambah kalium dan vitamin khususnya vitamin B kompleks
dn vitamin C dan bila ada kekurangan protein, dapat diberikan pula asam
amino secara intravena. dibuat dalam daftar kontrol cairan yang masuk
dan dikeluarkan. Air kencing perlu diperiksakan sehari-hari terhadap
protein, aseton, klorida, dan bilirubin. Suhu dan nadi diperiksa setiap 4
jam dan tekanan darah 3 kali sehari. Dilakukan pemeriksaan hematokrit
pada permulaan dan seterusnya menurut keperluan. Bila selama 24 jam
penderita tidak muntah dan keadaan umum bertambah baik dapat dicoba
untuk diberikan minuman, dan lambat laun minuman dapat ditambah
dengan makanan yang tidak cair. Dengan penanganan diatas, pada
umumnya gejala-gejala akan berkurang dan keadaaan akan bertambah
baik (Ai Yeyeh Rukiyah dan Lia Yulianti, 2010).
7. Penghentian kehamilan
Pada sebagian kecil kasus keadaan tidak menjadi baik, bahkan mundur.
Usahakan mengadakan pemeriksaan medik dan psikiatrik jika memburuk.
Delirium, kebutaan, takikardia, ikterus, anuria, dan perdarahan
merupakan manifestasi komplikasi organik. Dalam keadaan demikian
perlu dipertimbangkan untuk mengakhiri kehamilan. Keputusan untuk
melakukan abortus terapeutik sering sulit diambil, oleh karena disatu
pihak tidak boleh dilakukan terlalu capat dan dipihak lain tidak boleh
menunggu sampai terjadi irreversible pada organ vital (Wiknjosastro,
2005).

J. KOMPLIKASI
Hiperemesis gravidarum yang terjadi terus-menerus dapat
menyebabkan dehidrasi pada penderita. Dehidrasi muncul pada keadaan ini
akibat kekurangan cairan yang dikonsumsi dan kehilangan cairan karena
muntah. Keadaan ini menyebabkan cairan ekstraseluler dan plasma
berkurang sehingga volume cairan dalam pembuluh darah berkurang dan
aliran darah ke jaringan berkurang. Hal ini menyebabkan jumlah zat makanan
(nutrisi) dan oksigen yang akan diantarkan ke jaringan mengurang pula.
Dampak dari keadaan ini terhadap kesehatan ibu adalah menurunnya
keadaan umum, munculnya tanda-tanda dehidrasi (dalam berbagai tingkatan
tergantung beratnya hiperemesis gravidum), dan berat badan ibu berkurang.
Risiko dari keadaan ini terhadap ibu adalah kesehatan yang menurun dan
bisa terjadi syok serta terganggunya aktivitas sehari-hari ibu. Dampak dari
keadaan ini terhadap kesehatan janin adalah berkurangnya asupan nutrisi
dan oksigen yang diterima janin. Risiko dari keadaan ini adalah tumbuh
kembang janin akan terpengaruh.
Selain dehidrasi, hiperemesis gravidarum dapat menyebabkan
ketidakseimbangan elektrolit. Ketidakseimbangan elektrolit muncul akibat
cairan ekstraseluler dan plasma berkurang. Natrium dan klorida darah akan
turun. Kalium juga berkurang sebagai akibat dari muntah dan bertambahnya
ekskresi lewat ginjal. Dampak dari keadaan ini terhadap kesehatan ibu adalah
bertambah buruknya keadaan umum dan akan muncul keadaan alkalosis
metabolik hipokloremik (tingkat klorida yang rendah bersama dengan
tingginya kadar HCO3 & CO2 dan meningkatnya pH darah). Risiko dari
keadaan ini terhadap kesehatan ibu adalah bisa munculnya gejala-gejala dari
hiponatremi, hipokalemi, dan hipokloremik yang akan memperberat keadaan
umum ibu. Dampak keadaan ini terhadap kesehatan janin adalah juga akan
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin.
Hiperemesis gravidum juga dapat mengakibatkan berkurangnya
asupan energi (nutrisi) ke dalam tubuh ibu. Hal ini dapat mengakibatkan
cadangan karbohidrat dan lemak dalam tubuh ibu habis terpakai untuk
keperluan pemenuhan kebutuhan energi jaringan. Perubahan metabolisme
mulai terjadi dalam tahap ini. Karena oksidasi lemak yang tidak sempurna,
maka terjadilah ketosis dengan tertimbunnya asam aseton-asetik, asam
hidroksi butirik, dan aseton dalam darah. Hal ini menyebabkan jumlah zat
makanan ke jaringan berkurang dan tertimbunnya zat metabolik yang toksik.
Dampak dari keadaan ini terhadap kesehatan ibu adalah kekurangan sumber
energi, terjadinya metabolisme baru yang memecah sumber energi dalam
jaringan, berkurangnya berat badan ibu, dan terciumnya bau aseton pada
pernafasan. Risikonya bagi ibu adalah kesehatan dan asupan nutrisi ibu
terganggu. Dampak keadaan ini terhadap kesehatan janin adalah
berkurangnya asupan nutrisi bagi janin. Risiko bagi janin adalah
pertumbuhan dan perkembangan akan terganggu.
Frekuensi muntah yang terlalu sering dapat menyebabkan terjadinya
robekan pada selaput jaringan esofagus dan lambung. Keadaan ini dapat
menyebabkan perdarahan gastrointestinal. Pada umumnya robekan yang
terjadi berupa robekan kecil dan ringan. Perdarahan yang muncul akibat
robekan ini dapat berhenti sendiri. Keadaan ini jarang menyebabkan tindakan
operatif dan tidak diperlukan transfusi. (Kevin, dkk., 2010)

DAFTAR PUSTAKA
Manuaba, I. B. G. 2003. Penuntun Kepaniteraan Klinik Obstetri dan
Ginekologi. Jakarta: EGC.
Manuaba, Ida Bagus Gde. et all. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta :
EGC
Verberg MFG, Gillott DJ, Al-Fardan N, Grudzinskas JG. Hyperemesis
Gravidarum, a literature review. Human Reproduction, Department of
Obstetrics and Gynaecology, St. Bartho lomews Hospital, West Smithfield,
London. Vol. 10, 2005, p 1-13.
Akbar, Aidil. 2010. Tesis, Perbandingan Kejadian Infeksi Helicobacter Pylori
pada Hiperemesis Gravidarum Dengan Hamil Normal. Medan : Departemen
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
RSUP dr. Adam Malik-RSUP dr. Pirngadi. Diunduh dari:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/27054. Diakses pada 05
Desember 2014.
Manuaba, I. B. G. 2003. Penuntun Kepaniteraan Klinik Obstetri dan
Ginekologi. Jakarta: EGC.
Sinclair, C. 2009. Buku saku kebidanan. Jakarta: EGC.
Tanjung, M. T. 1995. Soal-soal Ilmu Kebidanan Patologi. Jakata: EGC.
Tiran,D. 2008. Mual dan Muntah Kehamilan. Jakarta: EGC.
Hidayati, Ratna.2009. Asuhan Keperawatan Kehamilan Fisiolgi dan Patologis.
Jakarta : Salemba Medika
Widayana A., Megadhana I. W., & Kemara, K. P. 2013. Diagnosis dan
Penatalaksanaan Hiperemesis Gravidarum. Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana. Bali
Prawirohardjo S, Wiknjosastro H. Hiperemesis Gravidarum. Dalam:
IlmuKebidanan; Jakarta; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;
Jakarta:2002; hal. 275-280
Wiknjosastro, Hanifa. 2005. Ilmu Kebidanan. Edisi 3.Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Siddik D. Kelainan gastrointestinal. Dalam: Saifuddin AB, Rachimhadhi T,
Wiknjosastro GH, ed. Ilmu kebidanan Sarwono Prawirohardjo,`ed. 4. Jakarta:
PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2008: 814-28.
Feryanto, Achmad. 2011. Asuhan Kebidanan Patologis. Jakarta: Salemba
Medika.
Kevin, dkk. 2010. Kuliah Interaktif Hiperemesis Gravidarum. Universitas
Indonesia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai