Anda di halaman 1dari 64

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Amplifikasi DNA Leptospira dengan Menggunakan


Metode Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction
(ii-PCR)

SKRIPSI

SONIA ZULFA DESHI DANUZ


NIM. 109102000023

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
JANUARI 2014
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Amplifikasi DNA Leptospira dengan Menggunakan


Metode Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction
(ii-PCR)

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

SONIA ZULFA DESHI DANUZ


NIM. 109102000023

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
JANUARI 2014

ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,


dan semua sumber baik yang dikutip, maupun dirujuk
telah saya nyatakan benar

Nama : Sonia Zulfa Deshi Danuz

NIM : 109102000023

Tanda Tangan :

Tanggal : Januari 2014

iii
iv
v
ABSTRAK

Nama : Sonia Zulfa D


Program Studi : Farmasi
Judul : Amplifikasi DNA Leptospira dengan Menggunakan
Metode Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction
(ii-PCR)

Leptospira merupakan bakteri patogen penyebab penyakit leptospirosis yang


banyak menimbulkan masalah infeksi serius dan dapat mengakibatkan
kematian pada manusia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui metode
Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction (ii-PCR) dapat digunakan
untuk mengamplifikasi DNA Leptospira. Keunggulan penggunaan metode ii-
PCR dalam deteksi Leptospira adalah waktu pendeteksian lebih singkat dan
lebih mudah dalam pembacaan hasil. DNA Leptospira diamplifikasi dengan
menggunakan sepasang primer spesifik DNA Leptospira pada daerah 16S
Ribosomal RNA. Primer spesifik Leptospira mampu mengamplifikasi DNA
Leptospira sampai konsentrasi 0,002 ng/ 25L dan amplifikasi DNA
Leptospira dengan metode ii-PCR yang menggunakan DNA Leptospira,
primer, dan probe spesifik menunjukkan rasio S/N 1,8062 dan memberikan
hasil positif dalam waktu 58 menit bila dibandingkan dengan metode PCR
konvensional yang membutuhkan waktu 150 menit dan diperlukan analisa
dengan gel elektroforesis.
Kata kunci : Leptospirosis, Leptospira, ii-PCR.

vi
ABSTRACT

Nama : Sonia Zulfa D


Program Studi : Farmasi
Judul : Amplification of Leptospira DNA using Insulated
Isothermal Polymerase Chain Reaction (ii-PCR)

Leptospira is a pathogen bacteria causing leptospirosis disease which could inflict


a serious infection problem and lead to human death. This study was conducted to
find out whether Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction could be used
to amplify Leptospira DNA. The excellences of iiPCR method in detecting
Leptospira are that it has short detection time and it is user friendly. Leptospira
DNA was amplified using a specific Leptospira DNA primer on 16S Ribosomal
RNA region. The specific Leptospira primer could amplify Leptospira until the
concentration of 0,002 ng/ 25L and Leptospira DNA amplification with iiPCR
method using Leptospira DNA, spesific primer and probe showed a S/N ratio of
1,8062 and a positive result in 58 minutes, compared to PCR conventional method
that required 150 minutes and a further analysis using electrophoresis gel.
Key Words : Leptospirosis, Leptospira, ii-PCR

vii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-
Nya penulis dapat menyelesaikan tugas pembuatan skripsi yang berjudul
Amplifikasi DNA Leptospira dengan Menggunakan Metode Insulated
Isothermal Polymerase Chain Reaction (ii-PCR). Shalawat serta salam
tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, yang telah menghantarkan kita
dari zaman kebodohan hingga menuju zaman yang syarat ilmu dan pengetahuan.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini,


penulis mengalami berbagai kendala dan halangan yang tidak bisa dihindarkan,
karena itu penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan saran, masukan, dan kritik positif
yang dapat membangun diri penulis.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini tersusun berkat


bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak yang terkait. Untuk itu
pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Ibu Zilhadia M. Si., Apt, selaku pembimbing I dan Bapak DR. Wahyu
Pubowasito selaku pembimbing II yang telah memberikan waktu, semangat,
ilmu, dan bimbingan selama penulisan skripsi ini.
2. Balai Besar Penelitian Vektor dan Reservoir Penyakit Salatiga yang telah
bersedia memberikan DNA Leptospira yang sudah terisolasi kepada penulis.
3. Bapak Prof. DR. (hc) dr. M. K Tadjudin Sp. And, selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Drs. Umar Mansur M.Sc., Apt, selaku Ketua Program Studi Farmasi
FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Kepada ibu Yuni Anggraeni, S.Si., Apt selaku penasehat akademik Program
Studi Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Bapak dan Ibu staf pengajar dan karyawan yang telah memberikan
bimbingan dan bantuan selama saya menempuh pendidikan di Program
Studi Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

viii
7. Kedua orang tuaku, Papa tercinta A. Nuzirwan H. M dan Mama tersayang
Sri Hidayati yang selalu memberikan kasih sayang, doa yang tidak pernah
putus, dan dukungan baik moril maupun meteril. Tiada apapun di dunia ini
yang dapat membalas semua kebaikan, cinta, dan kasih sayang yang telah
kalian berikan.
8. Untuk kedua adikku tersayang Tiffany Dwi Putri dan Nabila Ramadania
meskipun tidak terjun langsung dalam penulisan skripsi ini, tetapi tawa dan
candamu adalah semangatku.
9. Kak Yopi, Teh Leha, dan Bu Rahma yang sangat membantu penulis
memahami hal-hal sulit dalam bioteknologi.
10. Para staf dan karyawan BPPT yang telah banyak membantu penulis.
11. Kepada teman seperjuangan Evira Vivikananda, Sofiana Fajriah Rahmah,
dan Rahmat Azhari Kemal terima kasih untuk tawa, semangat, kesabaran,
saran, dan kritiknya.
12. Kepada teman-teman Farmasi angkatan 2009, terima kasih untuk
kebersamaan, dukungan, saran, dan kritiknya.
13. Teman-teman yang dengan senang hati menemani cerita suka dan duka
selama penelitian, Mbak Ily, Kak Dede, Mas Herman, Angel, Isna, Hami,
Hani, Ziah, Mimil, Mumut, dan Bella. Terima kasih untuk selalu menemani
mendukung, mendengarkan ceritaku, dan mendoakanku.
14. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut
membantu menyelesaikan skripsi ini.

Semoga apa yang kalian berikan dapat bermanfaat dan dibalas oleh Allah
SWT, amin. Penulis berharap bahwa tugas ini dapat bermanfaat khususnya
bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca.

Jakarta, Januari 2014

Penulis

ix
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah


Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Sonia Zulfa Deshi Danuz


NIM : 109102000023
Program Studi : Farmasi
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Jenis Karya : Skripsi

Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/ karya ilmiah


saya dengan judul :

Amplifikasi DNA Leptospira dengan Menggunakan Metode Insulated


Isothermal Polymerase Chain Reaction (ii-PCR)

Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau suatu media lain yaitu
Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak
Cipta.

Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan
sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta
Pada Tanggal : 15 Januari 2014

Yang Menyatakan,

( Sonia Zulfa Deshi Danuz )

x
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................... ii


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................... iv
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI .................................................... v
ABSTRAK ................................................................................................ vi
ABSTRACT .............................................................................................. vii
KATA PENGANTAR .............................................................................. viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR ............ x
DAFTAR ISI ............................................................................................. xi
DAFTAR TABEL .................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xiv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xv
DAFTAR ISTILAH ................................................................................. xvi

BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................. 3
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................. 3
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................ 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 4


2.1 Leptospirosis ......................................................................... 4
2.1.1 Pengertian Leptospirosis ........................................... 4
2.1.2 Epidemiologi ............................................................. 4
2.1.3 Cara Penularan Leptospirosis .................................... 4
2.1.4 Leptospira ................................................................. 5
2.1.4.1 Morfologi ...................................................... 5
2.1.4.2 Klasifikasi ..................................................... 5
2.1.5 Patofisiologi .............................................................. 6
2.1.6 Pemeriksaan Laboratorium ....................................... 7
2.2 DNA ...................................................................................... 10
2.2.1 Struktur DNA dan Sifat Kimia DNA ........................ 10
2.2.2 Isolasi DNA ............................................................... 12
2.3 Polymerasse Chain Reaction (PCR) .................................... 12
2.3.1 Komponen PCR ......................................................... 12
2.3.2 Tahapan PCR ............................................................ 15
2.4 Elektroforesis Gel Agarosa .................................................... 16
2.5 Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction (ii-PCR) .. 18

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ................................................ 21


3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................... 21
3.2 Alat dan Bahan ...................................................................... 21
3.2.1 Alat ............................................................................ 21

xi
3.2.2 Bahan ........................................................................ 22
3.3 Tahapan Penelitian ................................................................ 22
3.4 Prosedur Kerja ...................................................................... 22
3.4.1 Persiapan Media Tumbuh E.coli ............................... 22
3.4.2 Peremajaan E.coli ...................................................... 23
3.4.3 Isolasi DNA E.coli .................................................... 23
3.4.4 Pembuatan Gel Agarosa dan Elektroforesis ............. 23
3.4.4.1 Pembuatan Gel Agarosa 1% ......................... 23
3.4.4.2 Elektroforesis ................................................ 24
3.4.5 Gel Documentation ................................................... 24
3.4.6 Amplifikasi PCR ....................................................... 24
3.4.7 Uji Spesifitas Primer ................................................. 24
3.4.8 Uji Sensitivitas Primer .............................................. 25
3.5 Insulated Isothermal PCR (ii-PCR) ...................................... 25
3.4.5 Amplifikasi Insulated Isothermal PCR (ii-PCR) ....... 25
3.6 Alur Penelitian ...................................................................... 26

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 27


4.1 Isolasi DNA ........................................................................... 27
4.2 Polymerase Chain Reaction (PCR) ...................................... 30
4.2 Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction (ii-PCR) .. 32

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 37


5.1 Kesimpulan ........................................................................... 37
5.2 Saran ..................................................................................... 37

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 38

LAMPIRAN .............................................................................................. 42

xii
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Ukuran Pemisahan Molekul DNA ............................................. 17


Tabel 2 Hasil Konsentrasi dan Kemurnian DNA Leptospira dan
E.coli ........................................................................................... 43
Tabel 3 Campuran Reaksi Master Mix PCR Konvensional ................... 45
Tabel 4 Campuran Reaksi Master Mix dengan KAPA2G Robust
PCR Kit dengan ii-buffer .......................................................... 46
Tabel 5 Campuran Reaksi Master Mix dengan KAPA2G Robust
PCR Kit dengan buffer kit ......................................................... 46
Tabel 6 Campuran Reaksi Master Mix Thermo Scientific Long PCR
Master Mix dengan ii-buffer....................................................... 47
Tabel 7 Campuran Reaksi Master Mix Thermo Scientific Long PCR
Master Mix dengan buffer kit ..................................................... 47
Tabel 8 Nilai rasio S/N pada sampel hasil reaksi ii-PCR ....................... 48

xiii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Sel Leptospira dengan mikroskop elektron .......................................... 5


2. Klasifikasi Leptospirosis ...................................................................... 6
3. Arah khas Perkembangan Penyakit Leptospirosis ............................... 7
4. Struktur double helix DNA ................................................................... 11
5. Siklus PCR .......................................................................................... 16
6. Reaksi ii-PCR ....................................................................................... 19
7. Hasil Elektroforesis Isolasi Genom Leptospira dan E.coli .................. 30
8. Hasil Elektroforesis Produk PCR Menggunakan Primer Leptospira
Pada Uji Spesifitas Primer ................................................................... 31
9. Hasil Elektroforesis Produk PCR dengan Menggunakan Primer
Spesifik DNA Leptospira pada Uji Sensitivitas Primer ...................... 32
10. Hasil Reaksi ii-PCR dengan Taq DNA Polimerase Thermo
Scientific Long PCR Enzyme Mix ................................................... 34
11. Hasil Reaksi ii-PCR dengan Taq DNA Polimerase KAPA2G
Robust PCR Kit .................................................................................... 34
12. Hasil Elektroforesis Produk ii-PCR ...................................................... 35
13. Hasil Peremajaan E.coli ....................................................................... 42
14. DNA Leptospira yang Sudah Terisolasi .............................................. 42

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Hasil Peremajaan E.coli dan DNA Leptospira yang Sudah
Terisolasi ............................................................................................... 42
2. Hasil Konsentrasi dan Kemurnian DNA Leptospira dan DNA
E.coli .................................................................................................... 43
3. Membuat Larutan Induk Primer dan Probe .......................................... 44
4. Campuran Reaksi Master Mix Untuk Amplifikasi DNA Untuk PCR
Konvensional ....................................................................................... 45
5. Campuran Reaksi Master Mix Untuk Amplifikasi DNA Untuk
ii-PCR ................................................................................................... 46
6. Rasio S/N pada Sampel Hasil Reaksi ii-PCR ...................................... 48

xv
DAFTAR ISTILAH

CDV : Canine Distemper Virus


CFR : Case Fatality Rate
CFS : Cerebrospinal Fluid
CTAB : Cetyltrimetyl Ammonium Bromide
DNA : Deoxyribose-Nucleic Acid
dNTP : Deoxynucleotide Triphosphate
EDTA : Ethylene Diamine Tetra Acetic Acid
ELISA : Enzyme-Linked Immunosorbent Assay
IHHNV : Infectious Hypodermal and Hematopoetic
Necroses Virus
ii-PCR : Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction
LB : Luria Bertani
MAT : Microscopic Agglutination Test
PCI : Fenol-Kloroform-Isoamilalkohol
PCR : Polymerase Chain Reaction
RNA : Ribose-Nucleic Acid
SDS : Sodium Dodecyl Sulfate
TAE : Tris Acetate EDTA
TE : Tris-EDTA
WSSV : White Spot Syndrome Virus

xvi
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perubahan lingkungan yang terjadi pasca banjir menyebabkan banyak
terdapat genangan air kotor dan sampah. Lingkungan yang kotor tersebut
menyebabkan sarang penyakit yang kerap muncul setelah musibah banjir dan
salah satu penyakit yang dapat terjadi pasca banjir adalah Leptospirosis (Ernawati,
2008). Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
patogenik yang disebut Leptospira yang ditularkan secara langsung atau tidak
langsung dari hewan ke manusia. Penularan yang terjadi dari hewan ke manusia
ini di sebut zoonosis (WHO, 2003).
Penyebaran Leptospirosis terjadi di seluruh dunia tetapi umumnya di area
tropis atau subtropis dengan curah hujan tinggi seperti di Nikaragua, Brazil, India,
Asia Tenggara, Malaysia, dan Amerika Serikat (WHO, 2003; Zavitsanou dan
Babatsikou, 2008; Tilahun, Reta dan Simenew, 2013). International Leptospirosis
Society (2001) menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan kejadian
Leptospirosis tinggi dan menempati peringkat ke-3 di dunia untuk mortalitas
(16,7%) setelah Uruguay dan India (Ernawati, 2008).
Pada tahun 2010 kasus Leptospirosis meningkat dibandingkan tahun 2009,
yaitu dari 335 kasus menjadi 409 kasus. Tahun 2010 kasus dilaporkan dari 6
provinsi sedangkan pada tahun sebelumnya hanya dilaporkan dari 3 provinsi.
Kasus terbanyak pada tahun 2009 dan 2010 dilaporkan dari Jawa Tengah dan DI
Yogyakarta. Pada tahun 2007 terdapat 664 kasus dengan 55 orang meninggal
(CFR: 8,28%), tahun 2008 terdapat 426 kasus dengan 22 orang meninggal (CFR:
5,16%), tahun 2009 terdapat 335 kasus dengan 23 orang meninggal (CFR:
6,87%), dan tahun 2010 ditemukan 409 kasus dengan 43 orang meninggal (CFR:
10,51%) (Anonim, 2011).
Diagnosis klinis sulit karena gejala klinik bervariasi dan tidak spesifik.
Leptospirosis sering salah didiagnosis sebagai meningitis aseptik, influenza,
penyakit hati atau demam yang tidak diketahui sebabnya (WHO, 2003; Faine. S,
1982). Oleh karena itu diagnosis tidak hanya didasarkan pada gejala klinik saja.

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


2

Diperlukan metode pemeriksaan lain yang dapat memberikan hasil pasti dan tepat
dari penderita yang menderita Leptospirosis. Metode pemeriksaan yang biasanya
digunakan didasarkan pada serum antibodi dengan uji serologis seperti uji
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) atau microscopic agglutination test
(MAT) (Faine. S, 1982). Sedangkan pada manusia, uji ELISA dan MAT
menunggu sampai titer antibodi penderita dapat terdeteksi. Titer antibodi dapat
terdeteksi sekitar hari ketujuh sejak gejala timbul dan akibat dari timbulnya reaksi
antibodi ini, Leptospira akan hilang dari darah setelah sekitar 10 hari sakit. Di
tahap ini, beberapa bakteri mungkin telah berada dalam tubulus ginjal. (Bal, dkk.,
1994).
Pemeriksaan laboratorium sangat perlu untuk menegakkan diagnosis
penyakit Leptospirosis secara dini. Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan
terhadap penyakit Leptospirosis yang cepat dan tepat dengan spesifitas dan
sensitivitas yang tinggi (WHO, 2003).
PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan alat yang sering digunakan
dalam aplikasi medis dan biologi termasuk tes genetik, deteksi, dan diagnosis
penyakit menular (Anonim, 2012). PCR adalah metode yang sensitif, spesifik, dan
teknik cepat yang telah berhasil diterapkan untuk mendeteksi beberapa
mikroorganisme dan virus dalam berbagai spesimen, termasuk sputum, serum,
cairan serebrospinal, urin, feses, dan berbagai jaringan tubuh (Bal, dkk., 1994)
dan metode ini dapat memberikan hasil positif pada fase dini penyakit sebelum
titer antibodi dapat dideteksi (Setiawan, 2008).
Meskipun metode PCR dapat memberikan hasil yang sensitif dan spesifik,
metode ini memerlukan analisa hasil reaksi lebih lanjut dengan menggunakan gel
elektroforesis yang membutuhkan waktu dan tenaga ahli khusus dalam
pembacaan hasil analisa (Kumari 2007; Setiawan 2008). Oleh karena itu
diperlukan metode pemeriksaan lain dengan waktu yang lebih singkat dan mudah
dalam pembacaan hasil analisa.
Metode pemeriksaan laboratorium yang akan dikembangkan adalah
dengan menggunakan ii-PCR (Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction).
Sejauh ini penelitian yang berkaitan dengan ii-PCR baru sebatas untuk deteksi
beberapa virus dan bakteri saja, di antaranya WSSV, IHHNV, CDV, Influenza A,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


3

Avian Influenza H5, dan Salmonella spp (Anonim, 2012; Tsai, dkk., 2012) dan
pada penelitian ini, metode ii-PCR akan digunakan untuk mendeteksi DNA
Leptospira.
Insulated isithernal Polymerase Chain Reaction (ii-PCR) menggunakan
fenomena konveksi termal untuk menjalankan reaksi PCR di sebuah tube yang
telah didesain secara khusus di dalam chamber ii-PCR, yang merupakan alat PCR
konvektif dengan satu sumber panas. Ketika pemanasan pada suhu 95oC
diaplikasikan pada bagian bawah R-tube, gradien temperatur akan terbentuk,
dimana reaksi PCR berjalan mengikuti arus konveksi cairan. Karena hanya
menggunakan satu sumber panas dalam menjalankan reaksi ii-PCR tanpa perlu
mengatur perubahan suhu seperti pada PCR konvensional, alat ii-PCR hanya
memerlukan waktu yang singkat dalam proses reaksi PCR dibandingkan dengan
PCR konvensional. Alat ini juga tidak memerlukan analisa lebih lanjut dengan gel
elektroforesis karena hasil sudah terlihat pada layar touch panel dengan tanda +
dan - (Setiawan, 2008; Anonim, 2012).

1.2 Rumusan Masalah


Apakah metode Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction (ii-PCR)
dapat digunakan untuk mengamplifikasi DNA Leptospira ?

1.3 Tujuan Penelitian


Mengetahui metode Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction (ii-
PCR) dapat digunakan untuk mengamplifikasi DNA Leptospira.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai
metode alternatif dalam penggunaan teknologi PCR untuk mendeteksi
Leptospirosis.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Leptospirosis
2.1.1 Pengertian Leptospirosis
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan bakteri patogen
yang disebut Leptospira yang ditularkan secara langsung atau tidak langsung dari
hewan ke manusia. Penularan yang terjadi dari hewan ke manusia ini disebut
zoonosis (WHO, 2003).

2.1.2 Epidemiologi
Leptospirosis dapat ditemukan diseluruh dunia, daerah rasio tinggi adalah
kepulauan Karibia, Amerika Tengah dan Selatan, Asia Tenggara dan Kepulauan
Pasifik (Setadi dkk, 2001)
Di negara beriklim tropik kejadian Leptospirosis lebih banyak 1000 kali
dibandingkan dengan negara subtropik dengan resiko penyakit lebih berat (Bovet
dkk., 1999). Leptospirosis tersebar baik di Indonesia maupun di luar Indonesia
(Thornley dkk., 2001).

2.1.3 Cara Penularan Leptospirosis


Penularan Leptospirosis pada manusia ditularkan oleh hewan yang
terinfeksi kuman Leptospira. Hewan penjamu kuman Leptospira adalah hewan
peliharaan, seperti babi, lembu, kambing, kucing, anjing, serta beberapa hewan
liar, seperti tikus, bajing, ular, dan lain-lain (Ernawati, 2008).
Manusia terinfeksi Leptospira melalui kontak dengan air, tanah (lumpur),
tanaman yang telah dikotori oleh air seni dari hewan-hewan penderita
Leptospirosis. Bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui selaput lendir
(mukosa) mata, hidung atau kulit yang lecet dan kadang-kadang melalui saluran
pencernaan dari makanan yang terkontaminasi oleh urin tikus yang terinfeksi
Leptospira. Penularan langsung dari manusia ke manusia jarang terjadi. Penularan
Leptospira dapat secara langsung dan tidak langsung. Penularan secara langsung
melalui darah, urin , cairan tubuh, hewan maupun manusia yang telah terinfeksi

4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


5

Leptospira. Sedangkan penularan secara tidak langsung melalui genangan air,


sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan
(Ernawati, 2008; Riyaningsih dkk., 2012).

2.1.4 Leptospira
2.1.4.1 Morfologi
Leptospira berasal dari bahasa Yunani leptos (tipis) dan Latin Leptospira
(melingkar). Leptospira berdiameter hanya 0,1 m dengan panjang 6-20 m. Sel-
selnya meruncing di kedua sisinya, satu atau keduanya yang biasanya bengkok
dengan karakteristik pengait (Gambar 1) (Levett, 2001).

Gambar 1. Sel Leptospira dengan mikroskop elektron (perbesaran


60.000 x) (Levett, 2001).

2.1.4.2 Klasifikasi
Famili Leptospiraceae hanya terdiri dari tiga genera yaitu : Leptonema,
Turmeria, dan Leptospira. Genus Leptospira terdiri dari 10 genomospecies dan
yang paling penting adalah L.interrogens merupakan kelompok patogenik dan
L.biflexa merupakan kelompok non patogen. Masing-masing genomospecies
dibagi lagi menjadi 23 serogrup yang di dalamnya terdapat serovar yang memiliki
hubungan antigenik (Collins, 2006).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


6

Gambar 2. Klasifikasi Leptospirosis (Collins, 2006)

2.1.5 Patofisiologi
Infeksi Leptospira menghasilkan manifestasi klinis dengan spektrum yang
lebar (Collins, 2006). Masa inkubasi biasanya 5-14 hari, dengan kisaran 2-30 hari
(WHO, 2003). Secara umum Leptospirosis bersifat bifasik, dengan fase
septikemia akut diikuti oleh fase imun (Gambar 3) (Collins, 2006).
Fase Septikemia
Fase septikemia, yang berlangsung sekitar empat sampai tujuh hari, ditandai
dengan tiba-tiba demam, sakit kepala hebat, nyeri otot, dan mual. Bakteri dapat
diisolasi dari kultur darah, cairan serebrospinal (CFS) dan sebagian besar jaringan.
Sekitar 90% pasien menderita anikterik ringan (yaitu tanpa jaundice) bentuk dari
penyakit, sementara 5-10% menderita lebih parah dari jaundice, gagal ginjal dan
manifestasi perdarahan, biasa dikenal dengan penyakit Weil.
Interfase
Selama periode satu sampai tiga hari peningkatan mengikuti tahap pertama,
suhu tubuh turun drastis dan pasien mungkin menjadi afebrile dan dengan gejala
yang berbeda. Demam kemudian terulang, mengindikasikan onset dari tahap
kedua.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


7

Fase Imun
Fase imun berlangsung sebagai konsekuensi dari respon imun tubuh terhadap
infeksi, dan berlangsung sampai 30 hari atau lebih. Dimanifestasi oleh demam
dengan durasi yang pendek dan keterlibatan sistem saraf pusat (meningitis).

Gambar 3. Arah khas Perkembangan Penyakit Leptospirosis (Collins, 2006)

2.1.6 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada penderita Leptospirosis
dapat dibagi menjadi pemeriksaan laboratorium yang bersifat umum dan
pemeriksaan laboratorium spesifik.
1. Pemeriksaan Laboratorium Klinik Umum
Pemeriksaan laboratorium klinik umum memberikan hasil berbeda antara
Leptospirosis yang ringan dan berat. Hasil pemeriksaan laboratorium penderita
dengan gejala Leptospirosis berat memperlihatkan kelainan hasil laboratorium
yang sangat jelas. Pemeriksaan laboratorium klinik didasarkan dari gejala-gejala
yang timbul, seperti mialgia hebat, demam, gangguan ginjal, dan lain-lain
(Setiawan, 2008; Setadi dkk., 2001).
2. Pemeriksaan Laboratorium Spesifik
2.a Pemeriksaan Bakteri
2.a.1 Pemeriksaan bakteri secara langsung dengan mikroskop

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


8

Leptospira dari spesimen klinik dilihat secara langsung menggunakan


mikroskop lapangan gelap atau menggunakan mikroskop cahaya setelah
preparat dicat dengan pewarnaan yang sesuai (Levet dkk., 2001). Leptospira
tampak sebagai organisme bergerak cepat, berbentuk spiral pegas yang
kurus, umumnya ditemukan dalam biakan, darah, dan urin (WHO, 2003).
Keuntungan pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mengamati
Leptospira dalam biakan, terutama bila bakteri dalam jumlah banyak dan
untuk mengamati aglutinasi pada pemeriksaan MAT. Kelemahannya,
memerlukan tenaga ahli berpengalaman. Bila jumlah sedikit, Leptospira
sulit ditemukan (WHO, 2003).
2.b Pemeriksaan Serologis
Sebagian besar kasus Leptospirosis didiagnosa dengan tes serologi.
Antibodi dapat dideteksi di dalam darah 5-7 hari sesudah munculnya gejala.
Ada banyak metode serologis yang dapat digunakan dan yang dianggap
paling baik sampai saat ini adalah microscopic agglutination test (MAT)
(Setiawan, 2008).
2.b.1 Microscopic Agglutination Test (MAT)
Microscopic agglutination test (MAT) adalah tes untuk menentukan
antibodi aglutinasi di dalam serum penderita. Cara melakukan tes adalah
serum penderita direaksikan dengan suspensi antigen serovar Leptospira
hidup atau mati. Setelah diinkubasi, reaksi antigen-antibodi diperiksa di
bawah mikroskop lapangan gelap untuk melihat aglutinasi. Yang dipakai
batas akhir (end point) pengenceran adalah pengenceran serum tertinggi
yang memperlihatkan 50% aglutinasi (WHO, 2003). Metode ini dipakai
sebagai metode referensi untuk mengembangkan teknik lain dengan
membandingkan sensitivitas, spesifitas dan akurasi. MAT sering mengalami
beberapa kendala terutama di negara yang sedang berkembang, karena
memerlukan banyak jenis serovar dan tenaga ahli berpengalaman
(Saengjaruk dkk., 2002).
Kelebihan metode ini dapat dipakai untuk serosurvei epidemiologi dan
antigen yang dipakai dapat ditambah atau dikurangi sesuai dengan
kebutuhan. Sedangkan kelemahan metode MAT sangat rumit terutama saat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


9

pengawasan, pelaksanaan, dan penilaian hasil. Seluruh biakan serovar hidup


harus dipelihara dengan baik. Perlakuan terhadap tes menggunakan
Leptospira hidup maupun mati harus sama. Memelihara biakan Leptospira
di dalam laboratorium cukup berbahaya bagi para petugas. Disamping itu,
sering terjadi kontaminasi silang antara serovar, sehingga perlu dilakukan
verifikasi serovar secara berkala (Levett dkk., 2001; WHO, 2003).
2.b.2 Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Tes ELISA sangat popular dan bahan yang diperlukan untuk
pemeriksaan sudah tersedia secara komersial dengan antigen yang
diproduksi sendiri (in house). Untuk mendeteksi IgM umumnya
menggunakan antigen spesifik genus yang bereaksi secara luas, teknik ini
kadang-kadang juga digunakan untuk mendeteksi antibodi IgG. Adanya
antibodi IgM merupakan pertanda adanya infeksi baru Leptospira atau
infeksi yang terjadi beberapa minggu terakhir (WHO, 2003).
Kelebihan test ELISA ini cukup sensitif untuk mendeteksi Leptospira
dengan cepat pada fase akut dan lebih sensitif dibandingkan dengan MAT.
Sedangkan kekurangan tes ini adalah waktu diagnosis yang dibutuhkan
cukup lama, menunggu sampai titer antibodi dapat dideteksi (WHO, 2003).
3. Pemeriksaan Molekuler
3.a Teknologi PCR
Metode ini sangat berguna untuk mendiagnosis Leptospirosis terutama
pada fase permulaan penyakit Leptospira beberapa hari setelah munculnya
gejala penyakit. Alat ini dapat mendeteksi Leptospira beberapa hari setelah
munculnya gejala penyakit. Akan tetapi alat ini belum tersedia secara luas
terutama di negara yang sedang berkembang (Yersin dkk., 1998).
Keterbatasan PCR adalah tidak mampu untuk mendeteksi jenis
serovar yang menginfeksi. Walaupun demikian PCR bermanfaat untuk
epidemiologi dan kesehatan masyarakat. Agar lebih bermanfaat, maka hasil
yang diperoleh dipotong dengan enzim restriksi endonuklease, kemudian
amplikon yang diperoleh disekuen langsung atau dianalisis dengan metode
konformasi untai tunggal (Natarajaseenivasan dkk., 2004).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


10

Keuntungan pemeriksaan PCR adalah bila bakteri ada maka diagnosis


dapat dipastikan dengan cepat terutama pada fase dini penyakit sebelum
titer antibodi dapat dideteksi. Kelemahannya memerlukan peralatan dan
tenaga ahli khusus. Disamping itu, PCR dapat memberikan hasil positif
palsu, apabila terkontaminasi oleh DNA asing. Dia juga dapat memberikan
hasil negatif palsu, karena spesimen klinik yang diperiksa sering
mengandung inhibitor seperti heparin dan saponin (WHO, 2003).

2.2 DNA
2.2.1 Struktur DNA dan Sifat Kimia DNA
DNA dan RNA merupakan polimer linier (polinukleotida) yang tersusun
dari subunit atau monomer nukleotida. Komponen penyusun nukleotida terdiri
dari tiga jenis molekul, yaitu gula pentosa (deoksiribosa pada DNA atau ribosa
pada RNA), basa nitrogen, dan gugus fosfat (Gambar 4). Basa yang ditemukan
pada nukleotida adalah basa purin (adenin = A, guanin = G) dan basa pirimidin
(sitosin = C, timin = T, urasil = U). Monomer nukleotida mempunyai gugus
hidroksil pada posisi karbon 3, gugus fosfat pada posisi karbon 5 dan basa pada
posisi karbon 1 molekul gula. Nukleotida satu dengan yang lainnya berikatan
melalui ikatan fosfodiester antara gugus 5fosfat dengan gugus 3hidroksil.
Struktur DNA mirip dengan struktur RNA. Perbedaan diantara keduanya terdapat
pada jenis gula dan basa pada monomernya serta jumlah untai penyusunnya. Pada
DNA, tidak terdapat gugus hidroksil pada posisi karbon 2 dari molekul gula (2-
deoksiribosa) sementara pada RNA molekul gulanya adalah ribosa. Basa nitrogen
yang terdapat pada DNA adalah adenin, guanin, sitosin dan timin, sedangkan pada
RNA jenis basanya adalah adenin, sitosin, guanin dan urasil. RNA merupakan
polinukleotida yang membentuk satu rantai/untai sedangkan DNA merupakan
polinukleotida yang membentuk 2 untai (heliks ganda) (Gaffar, 2007).
Menurut Watson dan Crick DNA adalah untai ganda. Backbone dari
masing-masing untai adalah rantai dari ribosa (lima karbon gula) dan grup fosfat
yang memiliki basa nitrogen (A, T, C, dan G) ikatan hidrogen yang dibentuk oleh
pasangan basa (A-T dan C-G) bersama (Stone, 2004).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


11

Struktur molekul DNA merupakan rantai heliks ganda yang memutar ke


kanan (Gambar 4). Kedua rantai polinukleotida memutar pada sumbu yang sama
dan bergabung satu dengan yang lainnya melalui ikatan hidrogen antara basa-
basanya. Basa guanin berpasangan dengan basa sitosin, sedangkan basa adenin
berpasangan dengan basa timin. Antara basa guanin dan basa sitosin terbentuk
tiga ikatan hidrogen, sedang antara basa adenin dan timin terbentuk dua ikatan
hidrogen. Sehingga dalam molekul DNA jumlah basa G akan selalu sama dengan
jumlah basa C, sedangkan jumlah basa A=T. Kemudian jumlah basa purin (A +
G) akan sama dengan jumlah basa pirimidin (C + T). Kedua untai DNA saling
berkomplementasi melalui basa penyusunnya dengan arah antiparalel (berlawanan
5 3 vs 35), ujung yang mengandung gugus fosfat bebas disebut ujung 5
sedangkan pada ujung lainnya yang mengandung gugus hidroksil bebas disebut
ujung 3. Kedua untai tersebut saling melilit satu sama lain membentuk struktur
heliks ganda. Gugus fosfat dan gula yang tersusun bergantian menjadi tulang
punggung (backbone) molekul DNA sementara pada bagian dalam terdapat basa
yang melekat pada molekul gula (Gaffar, 2007).

Gambar 4. Struktur double helix DNA (Purves dkk., 2003).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


12

2.2.2 Isolasi DNA


Semua organisme disusun oleh sel yang mengandung elemen genetik yang
sama yaitu DNA yang terdapat dalam kromosom. Kromosom eukariot berbentuk
linear sedangkan kromosom prokariot berbentuk sirkular. Selain itu prokariot juga
mengandung satu atau lebih plasmid. Plasmid merupakan molekul DNA sirkular
dengan ukuran yang jauh lebih kecil dibanding kromosom (Gaffar, 2007).
Prinsipnya adalah memisahkan DNA kromosom atau DNA genom dari
komponen-komponen sel lain. Sumber DNA bisa dari tanaman, kultur
mikroorganise, atau sel manusia. Membran sel dilisis dengan menambahkan
detergen untuk membebaskan isinya, kemudian pada ekstrak sel tersebut
ditambahkan protease (yang berfungsi mendegradasi protein) dan RNase (yang
berfungsi untuk mendegradasi RNA), sehingga yang tinggal adalah DNA.
Selanjutnya ekstrak tersebut dipanaskan sampai suhu 90oC untuk menginaktifasi
enzim yang mendegradasi DNA (DNase). Larutan DNA kemudian di presipitasi
dengan etanol dan bisa dilarutkan lagi dengan air (Gaffar, 2007).

2.3 Polymerase Chain Reaction (PCR)


PCR adalah teknik cepat untuk mengamplifikasi fragmen DNA spesifik
secara in vitro dengan menggunakan 2 primer untai tunggal pendek. Dengan
teknik ini sejumlah kecil fragmen DNA yang diinginkan akan diamplifikasi secara
eksponensial sampai jutaan kali dalam beberapa jam (Sulistyaningsih, 2007;
Gaffar, 2007).
PCR melibatkan banyak siklus yang masing-masing terdiri dari tiga tahap
berurutan, yaitu pemisahan (denaturasi) rantai DNA template, penempelan
(annealing) pasangan primer pada DNA target dan pemanjangan (extension)
primer atau reaksi polimerisasi yang dialkalisis oleh DNA polimerase (Gaffar,
2007).

2.3.1 Komponen PCR


Komponen-komponen yang dibutuhkan untuk PCR antara lain fragmen
DNA yang akan diamplifikasi (template DNA), sepasang primer oligonukleotida

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


13

sintetik, enzim DNA polimerase yang tahan panas (Taq polimerase), semua
macam nukleotida (dATP, dGTP, dCTP, dan dTTP) serta buffer reaksi yang
mengandung MgCl2 Enzim reverse transcriptase, yang dapat mengubah RNA
menjadi sekuen DNA komplementernya, digunakan pada reverse transcription
PCR (Innis, 1990). Dan alat yang digunakan untuk proses PCR adalah
thermocycler, disini reaksi PCR akan berlangsung. Alat ini mampu secara cepat
mengubah temperatur yang dibutuhkan untuk siklus berulang PCR
(Sulistyaningsih, 2007).
a. Template DNA
Template DNA adalah molekul DNA untai ganda yang mengandung
sekuen target yang akan diamplifikasi. Ukuran DNA bukan merupakan
faktor utama keberhasilan PCR, berapapun panjangnya jika tidak
mengandung sekuen yang diinginkan maka tidak akan berhasil proses
suatu PCR, namun sebaliknya jika ukuran DNA tidak terlalu panjang tapi
mengandung sekuen yang diinginkan maka PCR akan berhasil
(Sulistyaningsih, 2007).
Konsentrasi DNA juga dapat mempengaruhi keberhasilan PCR. Jika
konsentrasinya terlalu rendah maka primer mungkin tidak dapat
menemukan target dan jika konsentrasi terlalu tinggi akan meningkatkan
kemungkinan mispriming. Disamping itu perlu diperhatikan kemurnian
template karena akan mempengaruhi hasil reaksi (Sulistyaningsih, 2007).
b. Primer
Primer merupakan oligonukleotida pendek rantai tunggal yang
mempunyai urutan komplemen dengan DNA template yang akan
diperbanyak. Panjang primer berkisar antara 20-30 basa. Untuk merancang
urutan primer, perlu diketahui urutan nukleotida pada awal dan akhir DNA
target. Primer oligonukleotida disintesis menggunakan suatu alat yang
disebut DNA synthesizer (Gaffar, 2007).
Konsentrasi primer biasanya optimal pada 0,1-0,5 M. Konsentrasi
primer yang terlalu tinggi akan menyebabkan mispriming (penempelan
pada tempat yang tidak spesifik) dan akumulasi produk non spesifik serta
meningkatkan kemungkinan terbentuk primer-dimer, sebaliknya bila

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


14

konsentrasi primer terlalu sedikit maka PCR menjadi tidak efisien


sehingga hasilnya rendah (Sulistyaningsih, 2007).
c. Enzim DNA Polimerase .
DNA polimerase adalah enzim yang mengkatalisis polimerisasi DNA.
Biasanya digunakan Taq polimerase yang stabil pada suhu tinggi karena
enzim ini diisolasi dari Thermus aquaticus yang hidup pada sumber air
panas. Konsentrasi enzim yang dibutuhkan untuk PCR biasanya 0,5-2,5
unit. Kelebihan jumlah enzim mengakibatkan akumulasi produk non
spesifik, sedangkan jika terlalu rendah maka dihasilkan sedikit produk
yang diinginkan (Sulistyaningsih, 2007).
d. Deoxynucleotide Triphosphate (dNTP)
Deoxynucleotide Triphosphate merupakan material utama untuk
sintesis DNA dalam proses PCR yang terdiri dari dATP, dGTP, dCTP, dan
dTTP. Konsentrasi dNTP masing-masing sebesar 20-200 M dapat
menghasilkan keseimbangan optimal antara hasil, spesifitas dan ketepatan
PCR. Konsentrasi masing-masing dNTP harus seimbang untuk
meminimalkan kesalahan penggabungan. Deoxynucleotide Triphosphate
akan menurunkan Mg2+ bebas sehingga mempengaruhi aktivitas
polimerase dan menurunkan annealing primer. Konsentrasi dNTP yang
rendah akan meminimalkan mispriming pada daerah non target dan
menurunkan kemungkinan perpanjangan nukleotida yang salah. Oleh
karena itu spesifitas dan ketepatan PCR meningkat pada konsentrasi dNTP
yang lebih rendah (Sulistyaningsih, 2007).
e. Larutan Buffer
Larutan buffer yang biasa digunakan untuk reaksi PCR mengandung
10 mM Tris-HCL pH 8,3, 50 mM KCl, dan 1,5 mM MgCl2. Optimalisasi
konsentrasi ion Mg2+ merupakan hal yang penting. Konsentrasi ion ini
mempengaruhi beberapa hal yaitu annealing primer, suhu pemisahan untai
template dan produk PCR, spesifitas produk, pembentukan primer-dimer
serta aktivitas dan ketepatan enzim Taq polimerase. PCR harus
mengandung 0,5-2,5 M Mg2+ dari total konsentrasi dNTP. Konsentrasi
yang lebih tinggi akan meningkatkan produk PCR tetapi menurunkan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


15

spesifitasnya. Konsentrasi ion ini tergantung pada konsentrasi bahan-bahan


yang mengikatnya seperti dNTP, EDTA, dan fosfat (Sulistyaningsih,
2007).

2.3.2 Tahapan PCR


1. Denaturasi
Selama proses denaturasi, DNA untai ganda akan membuka
menjadi dua untai tunggal (Gaffar, 2007).
Suhu denaturasi dipengaruhi oleh sekuen target. Jika sekuen target
kaya akan G-C maka diperlukan suhu yang lebih tinggi. Suhu denaturasi
yang terlalu tinggi dan waktu denaturasi yang terlalu lama
mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya aktivitas enzim Taq
polimerase. Waktu paruh aktivitas enzim Taq polimerase adalah >2 jam
pada suhu 92,5oC, 40 menit pada 95oC dan 5 menit pada 97,5oC
(Sulistyaningsih, 2007).
2. Penempelan Primer (Annealing)
Annealing primer dimaksudkan untuk proses penempelan primer
sekuen target DNA. Suhu dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk
annealing primer juga tergantung pada komposisi basa, panjang, dan
konsentrasi primer. Suhu annealing biasanya 5oC dibawah nilai Tm
primer, berada pada range 55-72oC (Sulistyaningsih, 2007).
3. Extension
Suhu extension ditujukan untuk proses perpanjangan sekuen DNA.
Suhu extension biasanya dipilih 72oC karena merupakan suhu optimum
enzim Taq polimerase. Suhu extension yang rendah bersamaan dengan
konsentrasi dNTP yang tinggi mengakibatkan misextension primer dan
perpanjangan nukleotida yang salah, sebaliknya kombinasi antara suhu
annealing/extension yang tinggi dengan dNTP yang rendah akan
menghasilkan ketepatan produk akhir PCR yang tinggi. Lamanya waktu
extension tergantung pada panjang sekuen target, konsentrasi sekuen
target, dan suhu extension (Sulistyaningsih, 2007).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


16

Jumlah siklus yang optimum terutama tergantung pada konsentrasi


awal DNA template saat parameter lain telah dioptimasi, biasanya 25-35
siklus. Siklus yang terlalu sedikit akan memberikan hasil yang sedikit,
sebaliknya bila terlalu banyak akan meningkatkan jumlah dan
kompleksitas produk non spesifik (Sulistyaningsih, 2007).

Gambar 5. Siklus PCR yang terdiri dari denaturasi, penempelang primer, dan
polimerisasinya (Gaffar, 2007).

2.4 Elektroforesis Gel Agarosa


Metoda ini didasarkan pada pergerakan molekul bermuatan dalam media
penyangga matriks stabil di bawah pengaruh medan listrik. Media yang umum
digunakan adalah gel agarosa atau poliakrilamid. Elektroforesis gel agarosa
digunakan untuk memisahkan fragmen DNA yang berukuran lebih besar dari 100
pb dan dijalankan secara horizontal, sedangkan elektroforesis poliakrilamid dapat
memisahkan 1 pb dan dijalankan secara vertikal (Gaffar, 2007).
Untuk visualisasi maka ditambahkan larutan etidium bromida yang akan
masuk diantara ikatan hidrogen pada DNA, sehingga pita fragmen DNA akan
kelihatan dibawah lampu UV. Panjang amplikon bisa diperkirakan dengan
membandingkannya dengan pita DNA standar (Gaffar, 2007).
Faktor-faktor yang menentukan jarak migrasi DNA melalui gel agarosa
(Sambrook dan Russel, 2001).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


17

1. Ukuran molekul DNA


Molekul besar berpindah lebih lambat karena membutuhkan usaha
yang besar dan kurang efisien melewati pori-pori gel dibandingkan
dengan molekul yang kecil.
2. Konsentrasi agarosa
Fragmen DNA linear memberikan jarak perpindahan yang berbeda
melalui gel yang mengandung konsentrasi yang berbeda.

Tabel 1. Ukuran pemisahan molekul DNA linear pada standar gel


agarosa
Konsentrasi agarosa Jarak pemisahan DNA linear
(% [w/v]) (kb)
0,3 5-60
0,6 1-20
0,7 0,8-10
0,9 0,5-7
1,2 0,4-6
1,5 0,2-3
2,0 0,1-2
Sumber : Sambrook dan Russel, 2001
3. Konformasi DNA
DNA bentuk I (superhelical circular), bentuk II (nicked circular),
dan bentuk III (linear) berpindah melalui gel agarosa pada jarak
yang berbeda. Pergerakan relatif dari ketiga bentuk utamanya
bergantung pada konsentrasi dan tipe agarosa yang digunakan, selain
itu dipengaruhi juga oleh kekuatan arus listrik yang digunakan,
kekuatan buffer ionik dan bentuk superhelical dari DNA bentuk I.
Pada beberapa kondisi, DNA bentuk I lebih cepat daripada DNA
bentuk III, tetapi pada kondisi yang lain DNA bentuk III lebih cepat
daripada DNA bentuk I.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


18

4. Voltase yang digunakan


Perpindahan molekul DNA di dalam gel dirangsang oleh arus listrik
yang mengalir dari kutub negatif menuju kutub positif. Pada voltase
rendah, DNA linear mengalami perpindahan secara proposional.
Semakin besar tegangan arus listrik, maka perpindahan molekul
DNA semakin cepat, demikian pula sebaliknya. Untuk mencapai
resolusi maksimum dari fragmen DNA dengan ukuran >2 kb, gel
agarosa harus dijalankan tidak boleh lebih dari 5-8 V/cm.
5. Tipe agarosa
Terdapat dua tipe utama dari agarosa yaitu agarosa standar dan
agarosa pada suhu rendah (low-melting temperature).
6. Buffer elektroforesis
Mobilitas elektroforesis DNA dipengaruhi oleh komposisi dan
kekuatan ionik buffer elektroforesis.

2.5 Insulated Isothermal PCR (ii-PCR)


Didasarkan pada reaksi teknologi beratai polimerase (PCR), yang
merupakan teknik biologi molekuler yang digunakan untuk amplifikasi asam
nukleat. Dengan sensitivitas tinggi dan spesifitas, PCR telah menjadi alat yang
ampuh dan sering sangat diperlukan dalam aplikasi medis dan biologis termasuk
pengujian genetik, deteksi, diagnosis penyakit menular, dan sidik jari genetik
untuk ilmu forensik dan pengujian paternitas (Anonim, 2012).
Insulated Isotermal PCR (ii-PCR) didasarkan pada teknologi isotermal
terisolasi yang memanfaatkan fenomena konveksi termal alami untuk mendorong
reaksi PCR. Reaksi ii-PCR dilakukan dalam tabung kapiler yang dirancang
khusus, R-tube yang merupakan perangkat PCR konvektif menyediakan isolasi
dengan sumber panas tunggal isotermal. Ketika pemanasan isotermal 95oC
diterapkan ke bagian bawah R-tube, solusi panas menjadi pematik api
menghasilkan arus untuk naik dan solusi pendingin di bagian atas menjadi lebih
berat untuk turun. Akibatnya, arus konveksi dengan gradien termal sepanjang R-
tube dihasilkan untuk reaksi PCR. Reaksi konvektif terus-menerus membuat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


19

reaksi PCR sangat efisien dan dapat mengurangi waktu reaksi PCR rutin secara
signifikan tanpa mempengaruhi sensitivitas (Anonim, 2012).

Keterangan gambar :

1. Reaksi terisolasi oleh perisai termal


2. Konveksi termal alami diinduksi oleh panas
3. Konveksi termal peredaran cairan dan hasil dalam reaksi PCR
4. Denaturasi dari dsDNA
5. Penempelan Primer
6. Perpanjangan dari strand baru
7. DNA diduplikasi dengan penyelesaian dari 1 perputaran dari konveksi termal

Gambar 6. Reaksi ii-PCR

Beberapa komponen insulated isothermal PCR yang perlu diperhatikan


yaitu (Anonim, 2012) :
1. Buffer
Insulated isothermal PCR menggunakan Uni-ii buffer yang
mengandung reagen-reagen yang berfungsi untuk mengoptimasi laju
konveksi termal, menstabilisasi gradien temperatur, mengurangi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


20

interaksi antara larutan dan R-tube, dan meningkatkan efisiensi DNA


polimerase untuk keberhasilan reaksi ii-PCR.
2. R-tube
Tube terbuat dari bahan plastik optik yang memastikan transmisi
fluoresensi yang optimal. Bahan plastik berkelas medis juga
memastikan bahwa produk bebas dari DNase dan RNase. Tube telah
dipatenkan dengan rasio diameter dan panjang tertentu yang
memastikan konveksi isotermal untuk reaksi ii-PCR yang optimal.
Tutup yang didesain secara khusus menjaga keamanan reaksi larutan
dan mencegah penguapan pada saat reaksi berlangsung yang dapat
menyebabkan kontaminasi.
3. Probe
Probe POCKIT harus:
a. Terdiri dari 40-80 % GC
b. Mempunyai panjang 15-30 basa, lebih pendek lebih baik.
c. Menghindari daerah target pada template yang dapat membentuk
struktur sekunder.
d. Membuat proses annealing antara probe 5- dan template cukup
kuat dan bebas energi.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Gen, Balai


Pengkajian Bioteknologi-BPPT Serpong, Tangerang. Waktu pelaksanaan dari
bulan Maret 2013 sampai November 2013.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat yang digunakan adalah pipet mikro 0,1-2 l, 2-20 l, 20-200 l, 100-
1000 l [Finnpipette, BIO-RAD, Nichiryo, BenchMate], tip 10 l, 100 l, dan
1000 l [Sorenson], freezer -20oC [Angelantoni Scientifica], lemari pendingin 4oC
[Glacio-TOSHIBA], mesin PCR [TaKaRa & BIO-RAD], thermostat & shaking
bath [Heto], tabung sentrifugasi 15 ml [Iwaki, Corning, FALCON, BIOLOGIX],
tabung mikrosentrifugasi 1,5 ml [Sorenson], tabung mikrosentrifugasi 200 l
[Axygen], rak tabung, mesin sentrifugasi [Beckman J2-HS & Tomy, timbangan
[Metter], ice maker [HOSHIZAKI], vorteks [Heidolph], magnetic stirrer
[Heidolph MR30001], inkubator [memmert], microwave [National], laminar air
flow, heat block [Thermolyne], spatula, gunting , elektroforesis tray [Bio-rad],
chamber elektroforesis [Mupid2], comb, gel documentation, spektrofotometer
Nano Drop ND-1000. Alat gelas yang digunakan adalah gelas ukur, labu
Erlenmeyer (100 ml & 250 ml), gelas Beker (600 ml & 1000 ml), tabung
penyimpanan bahan (50 ml, 100 ml, 250 ml & 500 ml)[Schott-DURAN], R-tube,
petri dish, ose, bunsen.

21 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


22

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah DNA Leptospira


interrogens yang sudah terisolasi yang diperoleh dari Balai Besar Penelitian
Vektor dan Reservoir Penyakit Salatiga, dan bakteri Eschericia coli DH5-Alpha.
Bahan lain yang digunakan CTAB (Cetyl Trimetyl Ammonium Bromide) 10%, TE
(Tris-EDTA) buffer 1X, SDS (Sodium Dodecyl Sulfate) 10%, proteinase-K 18
mg/ml, NaCl (Natrium Klorida) 5M, buffer TAE (Tris Acetate EDTA) 0,5X,
kloroform, isoamilalkohol, isopropanol, etanol 70%, Fenol, Tripton, Yeast
Extract, Bacto Agar, Go Taq Green Master Mix, primer spesifik Leptospira,
agarosa, TAE 0,5 x, SYBR safe, probe, buffer ii-PCR.

3.3 Tahapan Penelitian

1. Persiapan sampel pembanding dan DNA Leptospira


2. Isolasi DNA pembanding
3. Cek DNA bakteri pembanding dengan elektroforesis
4. Amplifikasi DNA Leptospira dengan PCR konvensional
5. Pembuatan gel agarosa dan elektroforesis
6. Dokumentasi gel
7. Optimasi ii-PCR

3.4 Prosedur Kerja

3.4.1 Persiapan Media Tumbuh E. coli

Media Luria Bertani (LB) padat, sebanyak 1 gram tripton, 0,5 gram yeast
extract, 0,5 gram NaCl, dan 1,5 gram bacto agar di masukkan ke dalam
erlenmeyer, ditambahkan aqua dest 100 ml dan ditutup dengan sumbat kapas.
Campuran larutan diaduk hingga homogen dan disterilkan dalam autoklaf pada
suhu 121oC selama 15 menit. Larutan homogen yang sudah disterilkan di tuang
masing-masing sebanyak 25 ml ke dalam 4 petri dish dan biarkan hingga
mengeras. Setelah itu media disimpan di lemari pendingin pada suhu 4oC.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


23

3.4.2 Peremajaan E. coli

Biakan stok E. coli dalam media LB padat dipindahkan sebanyak satu ose,
digoreskan secara zig zag ke dalam petri dish yang berisi media LB padat dan
diinkubasi pada suhu 37oC selama 16-18 jam.

3.4.3 Isolasi DNA E. coli

Satu koloni dipilih dengan menggunakan tusuk gigi steril dimasukkan ke


dalam tabung mikrosentrifugasi steril di tambahkan TE buffer sebanyak 557 l.
Campuran diresuspensi atau divortex. Tambahkan 30 l SDS 10% dan 3 l
proteinase-K. Campur dan diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37oC. Setelah
diinkubasi tambahkan 100 l NaCl 5M dan dicampur. Ditambahkan 80 l CTAB
10%, inkubasi pada suhu 65oC selama 10 menit. Kemudian tambahkan kloroform
dan isoamilalkohol volume sama banyak. Sentrifus pada kecepatan 13.000 rpm
selama 5 menit pada suhu 4oC, dan pindahkan larutan ke tube baru. Tambahkan
PCI volume sama banyak dan aduk rata. Sentrifus pada kecepatan 14.000 rpm
selama 5 menit pada suhu 4oC dan pindahkan supernatan ke tube baru. Ulangi
ekstraksi kembali (kloroform : isoamilalkohol saja). Tambahkan 0,6 ml
isopropanol dan campur sampai DNA mengendap. Sentrifus pada kecepatan
13.000 rpm selama 5 menit pada suhu 4oC dan buang isopropanol. Tambahkan 1
ml etanol 70% untuk mencuci garam dari DNA. Sentrifus pada kecepatan 13.000
rpm selama 5 menit pada suhu 4oC dan buang etanol, keringkan pada suhu
ruangan. Resuspensi pelet dengan 50-100 l TE buffer dan simpan pada suhu
4oC.

3.4.4 Pembuatan Gel Agarosa dan Elektroforesis

3.4.4.1 Pembuatan Gel Agarosa 1%

Gel agarosa 1% dibuat dengan menambahkan 0,25 gr agarosa dalam 25 ml


buffer TAE 0,5x, dipanaskan hingga larut (1 menit) dalam microwave. Larutan
agarosa didinginkan hingga suhu 40oC dan ditambah dengan SYBR safe 0,5 l,
dituang ke dalam tray. Agarosa didinginkan hingga membeku selama 30-45 menit

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


24

3.4.4.2 Elektroforesis

Gel diangkat dari cetakan dan dimasukkan ke dalam chamber


elektroforesis kemudian ditambahkan buffer TAE 0,5x sehingga gel terendam
kira-kira 1 mm. Sebanyak 5 l sampel DNA dicampur dengan 21 l loading dye
kemudian dimasukkan ke dalam sumur gel dan ladder dimasukkan 3 l sebagai
marker. Alat elektroforesis dinyalakan (diberi arus listrik) selama 30 menit. DNA
akan bergerak menuju muatan positif. Hasil elektroforesis dilihat dengan
menggunakan dokumentasi gel (gel documentation).

3.4.5 Gel Documentation

Komputer dan kamera digital dinyalakan. Gel agarosa hasil dari


elektroforesis dimasukkan ke dalam UV transiluminator. UV transiluminator
dinyalakan dan pita DNA akan berpendar saat terkena sinar UV. Hasil gel agarosa
saat disinari UV didokumentasikan dalam komputer.

3.4.6 Amplifikasi PCR

Amplifikasi menggunakan dua jenis primer spesifik untuk Leptospira.


Amplifikasi DNA dilakukan dalam total volume 25 l (Lampiran 4).
Denaturasi awal DNA pada 93oC selama 3 menit, denaturasi pada 93oC
selama 3 menit, annealing pada 50oC selama 1 menit, dan ekstensi 72oC selama 1
menit. Akhir ekstensi diamplifikasi pada suhu 72oC selama 5 menit dan dilakukan
dalam 25 siklus.

Produk dianalisa di gel agarosa 1% dilihat di bawah pencahayaan UV dan


didokumentasikan

3.4.7 Uji Spesifitas Primer

Primer yang digunakan diuji spesifitasnya dengan menggunakan PCR


konvensional. Primer spesifik DNA Leptospira digunakan untuk mengamplifikasi
DNA dari E. coli dan DNA Leptospira. Hasil PCR kemudian dielektroforesis dan
dibandingkan. Primer spesifik DNA Leptospira dikatakan spesifik jika hanya

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


25

mengamplifikasi DNA dari Leptospira dan tidak dapat mengamplifikasi DNA


E.coli.

3.4.8 Uji Sensitivitas Primer

Sensitivitas PCR dilakukan dengan melakukan pengenceran DNA


Leptospira dengan konsentrasi yang digunakan 200 ng/25 l, 20 ng/25 l, 2 ng/25
l, 0,2 ng/25 l, 0,02 ng/25 l, 0,002 ng/25 l, dan 0,0002 ng/25 l. Masing-
masing konsentrasi diamplifikasi dengan kondisi PCR yang sama dan dilihat
sampai konsentrasi berapa primer yang digunakan dapat mengamplifikasi DNA
Leptospira yang digunakan.

3.5 Insulated Isotermal PCR (ii-PCR)

3.5.1 Amplifikasi Insulated Isothermal PCR (ii-PCR)

Amplifikasi PCR dilakukan dengan campuran reaksi total PCR (Lampiran


5) dan dibuat dalam volume 50 L.

Setelah campuran reaksi total PCR dibuat, campuran reaksi tersebut


dimasukkan ke dalam R-tube dan diletakkan pada multiwell plate yang kemudian
diletakkan pada mesin insulated isothermal PCR. Kemudian program amplifikasi
dijalankan dan hasil amplifikasi DNA dapat dilihat pada akhir reaksi dalam
bentuk + atau -.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


26

3.6 Alur Penelitian

Isolasi Bakteri Pembanding

DNA Leptospira yang Ekstraksi DNA


sudah terisolasi bakteri Pembanding

Cek dengan Elektroforesis

DNA terisolasi DNA tidak terisolasi

Penentuan
Konsentrasi DNA

Amplifikasi DNA dengan PCR


konvensional
Cek dengan elektroforesis

Primer Spesifik Primer tidak spesifik

Amplifikasi DNA dengani ii-PCR

Hasil

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Isolasi DNA


Penelitian ini diawali dengan mengisolasi DNA E. coli. Metode yang
umum digunakan dalam isolasi DNA yang banyak mengandung polisakarida
adalah dengan menggunakan metode CTAB (Cetyltrimetyl Ammonium Bromide).
Ada tiga langkah utama dalam isolasi DNA, yaitu perusakan dinding sel (lisis),
pemisahan DNA dari bahan padat seperti selulosa dan protein, serta pemurnian
DNA (Syafaruddin dan Tri Joko Santoso, 2011).
Langkah pertama yang dilakukan adalah perusakan dinding sel (lisis).
Perusakan dinding sel dilakukan dengan menggunakan TE buffer, SDS, dan
CTAB. Pemisahan bahan padat seperti selulosa dan protein dengan menggunakan
proteinase-K, NaCl, kloroform : isoamilalkohol (24:1), dan PCI (fenol : kloroform
: isoamilalkohol). Sedangkan pemurnian DNA dengan menggunakan isopropanol
dan etanol (K. Nishiguchi, Michele, dkk., 2002).
Sampel diisolasi sebanyak satu koloni, kemudian ditambahkan larutan TE
buffer, SDS, dan proteinase-K kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama satu
jam. Metode ini menggunakan TE buffer pH 8,0 yang terdiri dari 100 mM Tris-Cl
pH 8,0 dan 10 mM EDTA pH 8,0 (Sambrook dan Russel, 2001). Tris-Cl
merupakan dapar yang berfungsi untuk menjaga pH, sangat larut dalam air dan
inert untuk berbagai jenis reaksi enzimatik (Sambrook dan Russel, 2001).
Sedangkan EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acetic Acid) berfungsi sebagai bahan
pengkhelat yang mengikat kation divalen, sehingga mengakibatkan
ketidakstabilan membran (Dale dan Malcom, 2002). Penggunaan SDS (Sodium
Dedosil Sulfate/Natrium Lauril Sulfat) sebagai detergen anonik untuk melisiskan
dinding sel dengan cara melarutkan membran lipid, sehingga dinding sel menjadi
rusak dan mengeluarkan komponen-komponennya, yaitu protein, lipid,
polisakarida, DNA, dan RNA (Dale dan Malcom, 2002; Surzycki, 2003).
Proteinase-K digunakan pada tahap pemecahan protein. Proteinase-K
disini yang merupakan salah satu dari enzim golongan serin protease yang
merupakan protease endolitik, memecah ikatan peptida sisi karboksilat pada

27 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


28

gugus alifatik dan aromatik khususnya alanin, sehingga digunakan untuk


menghilangkan kontaminan dari protein. (Sweeney dan Walker, 1993; Surzycki,
2003; Agrawal, 2008). Kemudian ditambahkan NaCl 5 M yang berfungsi sebagai
pengendap protein dan CTAB dalam larutan dengan ion yang tinggi (konsentrasi
NaCl >0,7 M) digunakan sebagai pengendap protein dimana CTAB akan
membentuk kompleks dengan protein dan polisakarida tetapi tidak akan
mengendapkan DNA (Sambrook dan Russel, 2001). NaCl dengan kandungan
garam yang tinggi dapat memisahkan polisakarida dari dinding sel (Syafaruddin
dan Tri Joko Santoso, 2011) yang dikenal dengan fenomena salting out, yaitu
fenomena penurunan kelarutan protein pada konsentrasi garam yang tinggi
(Holme, David. J dan Hazel Peck, 1998).
Residu dari protein dan lipid dapat dihilangkan dengan penambahan
kloroform dan isoamilalkohol dengan perbandingan 24:1 (K. Nishiguchi, Michele,
dkk., 2002). Kloroform dan isoamilalkohol memiliki fungsi sebagai pendenaturasi
protein, dimana DNA dan RNA sendiri tidak akan ikut terdenaturasi karena DNA
dan RNA ini tidak larut dalam pelarut organik seperti kloroform (Syafaruddin dan
Tri Joko Santoso, 2011). Kemampuan deproteinisasi dari kloroform didasarkan
pada kemampuan dari kloroform untuk mendenaturasi rantai polipeptida yang
sebagian masuk atau termobilisasi pada interfase air-kloroform sedangkan
isoamilalkohol digunakan untuk mempermudah dalam meningkatkan luas
tegangan permukaan dari air-kloroform, sehingga memudahkan dalam pemisahan
air dan kloroform (Agrawal, 2008). Pengendapan protein dengan polisakarida dan
komponen lain yang telah lisis selain dengan bantuan garam juga dipisahkan
dengan cara pengendapan dengan bantuan sentrifugasi.
Penambahan PCI (Fenol-Kloroform-Isoamilalkohol) juga membantu
dalam menghilangkan protein dari DNA (Sambrook dan Russel, 2001.
Penambahan kloroform-isoamilalkohol dengan PCI dilakukan dua kali untuk
memaksimalkan pemisahan DNA dengan komponen-komponen lain yang dapat
mengkontaminasi DNA.
DNA total kemudian dipisahkan dari larutan dengan cara pengendapan
dengan menggunakan isopropanol (Sambrook dan Russel, 2001) dan etanol 70%
(Agrawal, 2008; Surzycki, 2003). Etanol 70% selain berfungsi sebagai pengendap

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


29

DNA juga sebagai penghilang fenol-kloroform dan juga garam yang masih
terdapat dalam DNA (Sambrook dan Russel, 2001; Syafaruddin dan Tri Joko
Santoso, 2011).
Konsentrasi dari genom diukur dengan menggunakan Nano Drop ND-
1000 pada panjang gelombang 260 nm. Konsentrasi yang diperoleh dari
pengukuran genom Leptospira dengan menggunakan Nano Drop 225,5 ng/l dan
kemurnian 1,825. Sedangkan genom E. coli memberikan konsentrasi 546,8 ng/l
dengan kemurnian 2,065. Dari hasil pengukuran tersebut menunjukkan kualitas
dan kuantitas DNA baik.
Nilai kemurnian genom diperoleh antara perbandingan panjang gelombang
260 nm dan 280 nm (Harisha. S., 2007) dan dikatakan murni jika berada dalam
kisaran antara 1,8-2,0 (Sambrook, dkk, 1989). Sementara itu nilai kemurnian yang
ditunjukkan dari isolasi genom E. coli memberikan hasil lebih dari 2,0 yang
menunjukkan adanya kontaminasi dari RNA (Stephenson, 2003). Kontaminasi
dari RNA disebabkan tidak digunakannya RNase yang berfungsi untuk memecah
RNA yang dapat mengurangi adanya kontaminasi dari RNA (Surzycki, 2003) dan
adanya kontaminasi dari RNA dapat dibuktikan dengan adanya pola bayangan
smear di bawah pita DNA pada visualisai gel agarosa (Sauer, dkk., 1998).
Genom kemudian divisualisasikan dengan menggunakan elektroforesis gel
agarosa 1% dengan menggunakan tegangan 100 volt. Gel ditambahkan SYBR
safe yang digunakan untuk memvisualisasikan DNA di agarosa dan
diformulasikan khusus untuk menjadi alternatif yang lebih aman dibanding
etidium bromida (Anonim, 2013).
DNA yang akan dielektroforesis ditambahkan loading dye yang terdiri dari
glycerol dan bromphenol blue. Glycerol berfungsi sebagai pemberat yang
menyebabkan DNA berada di bawah sumur gel, sedangkan bromphenol blue
berfungsi sebagai visualisasi pada gel (Carson, 2006) sehingga proses
elektroforesis dapat terlihat dan tidak melebihi jarak yang diinginkan. Hasil
elektroforesis tersebut ditampilkan pada Gambar 7.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


30

Keterangan :
1. Leptospira
2. E. coli
M. Ladder 100 bp

Gambar 7. Hasil elektroforesis isolasi genom dari Leptospira dan E. coli

Hasil pengamatan pada gel documentation (Gambar 7) menunjukkan hasil


isolasi dari genom E. coli dan Leptospira. Gambar ini menunjukkan pola
bayangan smear di bawah pita DNA yang menunjukkan DNA tidak utuh sehingga
menyebabkan timbulnya fragmen-fragmen yang berbeda ukuran dan tertahan pada
gel sesuai dengan ukurannya. Pola bayangan smear juga dapat menunjukkan
adanya kontaminasi dari RNA sedangkan hasil isolasi yang baik ditandai dengan
pita yang dihasilkan jelas dan tidak adanya pola bayangan smear di bawah pita
DNA(Sauer dkk., 1998).

4.2 Polymerase Chain Reaction (PCR)


Reaksi PCR dilakukan dengan menggunakan konsentrasi DNA template
200 ng/ 25 l. Konsentrasi ini optimal untuk mendapatkan amplikon yang tebal
pada 25 siklus. Suhu optimal annealing yang digunakan untuk primer Leptospira
adalah 50oC untuk dan waktu reaksi PCR untuk mengamplifikasi DNA Leptospira
dengan primer spesifik Leptospira adalah 150 menit.
Uji spesifitas dari primer Leptospira dilakukan untuk menguji kemampuan
dari primer Leptospira yang digunakan hanya mampu mengamplifikasi DNA
Leptospira dan tidak dapat mengamplifikasi DNA yang lain, yang dalam
penelitian ini yang digunakan sebagai pembanding adalah E. coli. Gambar 8
merupakan hasil uji spesifitas dari primer Leptospira yang digunakan.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


31

Keterangan :
1. E. coli
2. Leptospira
M. Ladder 100 bp

139 bp

Gambar 8. Hasil elektroforesis produk PCR menggunakan primer Leptospira pada


uji spesifitas primer

Pada gambar 8 dapat terlihat bahwa primer Leptospira yang digunakan


hanya dapat mengamplifikasi DNA Leptospira, sedangkan DNA E. coli tidak
teramplifikasi sama sekali, sehingga dapat dikatakan bahwa primer Leptospira
yang digunakan spesifik. Proses amplifikasi DNA Leptospira menghasilkan
panjang produk 139 pasang basa yang terletak pada lokus 16S Ribosomal RNA.
Pasang basa yang dihasilkan diusahakan dalam kisaran pendek untuk
mempermudah dalam pengujian dengan menggunakan ii-PCR (Anonim, 2012).
Uji sensitivitas dari primer Leptospira ini dimaksudkan untuk mengukur
kemampuan dari primer Leptospira yang digunakan dalam mengamplifikasi
konsentrasi terendah dari DNA Leptospira yang digunakan dalam sampel.
Sensitivitas primer Leptospira dilakukan dengan melakukan pengenceran DNA
Leptospira dengan seri konsentrasi yang digunakan adalah 200 ng/25l,
20ng/25l, 2ng/25l, 0,2 ng/25l, 0,02 ng/25l, 0,002 ng/25l, dan 0,0002
ng/25l. Gambar 9 menunjukkan hasil elektroforesis dari uji sensitivitas dari
primer yang digunakan.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


32

Keterangan :
1. Konsentrasi DNA 200 ng/25 L
2. KonsentrasiDNA 20 ng/25 L
3. KonsentrasiDNA 2 ng/25 L
4. KonsentrasiDNA 0,2 ng/25 L
5. KonsentrasiDNA 0,02ng/25 L
6.KonsentrasiDNA 0,002ng/25 L
7.KonsentrasiDNA 0,0002ng/25 L

Gambar 9. Hasil elektroforesis produk PCR dengan menggunakan primer spesifik


DNA Leptospira pada uji sensitivitas primer.

Pada gambar 9 dapat terlihat, dari tujuh konsentrasi yang digunakan,


primer Leptospira mampu mengamplifikasi DNA Leptospira sampai dengan
konsentrasi 0,002 ng/25 L, meskipun pada konsentrasi 0,002 ng/25 L
menghasilkan pita yang tipis. Pada konsentrasi 0,0002 ng/25 L tidak terlihat
adanya pita pada gel elektroforesis yang menandakan bahwa primer Leptospira
tidak dapat mengamplifikasi DNA Leptospira pada konsentrasi 0,0002 ng/25 L,
sehingga dapat dikatakan bahwa primer spesfik Leptospira yang digunakan
sensitif dan mampu mengamplifikasi DNA Leptospira sampai konsentrasi 0,002
ng/25 L.

4.3 Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction (ii-PCR)


Alat ii-PCR tidaksepertialat PCR konvensional, alat ii-PCR tidak
mempunyai pengaturan suhu dan waktu denaturasi, annealing ,dan ekstensi.
Reaksi ii-PCR dilakukan dalam tabung kapiler khusus yang disebut R-tube. R-
tube dirancang khusus karena R-tube terbuat dari bahan plastik optis untuk
memastikan transmisi dari fluoresensi optimal. Bahan plastik optis tersebut
memastikan tidak adanya kontaminasi dari DNA maupun RNase dari luar reaksi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


33

yang tidak diinginkan. Desain dari struktur tabung dan rasio yang dihitung dari
diameter tabung atau panjang yang memastikan efisiensi dari reaksi konveksi
termal pada proses reaksi ii-PCR. Penutup karet R-tube juga didesain khusus
untuk membuat cairan reaksi aman dan mencegah penguapan selama reaksi yang
dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi (Anonim, 2012).
Reaksi ii-PCR bergantung pada tiga temperatur yang digunakan, yaitu
denaturasi pada suhu 92-95oC, annealing pada suhu 37-65oC, dan ekstensi pada
suhu 72oC (Anonim, 2012). Suhu annealing pada saat proses ii-PCR berlangsung
tidak dapat diketahui secara pasti dan suhu annealing dapat berbeda-beda di setiap
siklusnya, sehingga optimasi komposisi perlu dilakukan.
Optimasi komposisi campuran ii-PCR dengan melakukan variasi dari Taq
DNA polymerase dan buffer yang digunakan. Taq DNA polimerase yang
digunakan adalah dari Thermo Scientific Long PCR Enzyme Mix dan
KAPA2G Robust PCR Kit serta buffer yang digunakan adalah ii-buffer dan
buffer dari masing-masing Taq polimerase yang digunakan.
Pada akhir reaksi ii-PCR yang berlangsung selama 58 menit didapati hasil
positif dan negatif pada layar touch panel (Gambar 10). Gambar tersebut
menunjukkan hasil reaksi ii-PCR dengan ii-buffer dengan buffer dari Taq DNA
polimerase Thermo Scientific Long PCR Enzyme Mix yang keduanya
menggunakan Taq DNA polimerase Thermo Scientific Long PCR Enzyme
Mix.Gambar 11 menunjukkan hasil reaksi ii-PCR dengan ii-buffer danTaq DNA
polimerase KAPA2G Robust PCR Kit dengan buffer dari Taq DNA
KAPA2G Robust dimana keduanya menggunakan Taq DNA polimerase
KAPA2G Robust PCR Kit.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


34

Gambar 10.Hasilreaksi ii-PCR denganTaq DNA polimerase Thermo


Scientific Long PCR Enzyme Mix (A) dengan ii-buffer dan (B)
dengan menggunakan buffer dari kit.

Gambar 11.Hasilreaksi ii-PCR dengan menggunakanTaq DNA polimerase


KAPA2G Robust(A) dengan menggunakan buffer dari kit dan (B)
dengan ii-buffer.

Pada Gambar 10 dan 11 dapat terlihat hasil positif diperoleh dengan


menggunakan Taq DNA polimerase KAPA2G Robust PCR Kit dengan ii-
buffer, sedangkan reaksi lainnya menunjukkan hasil negatif. Hal ini berkaitan
dengan jenis dari Taq DNA polymerase dan buffer yang digunakan. Jenis dari Taq
DNA polymerase berhubungan dengan panjang target yang akan diamplifikasi
dan efisiensi dari amplifikasi suatu produk (Handoyo, Darmodan Ari Rudiretna,
2001; Arezi, dkk., 2003). Taq DNA polymerase Thermo Scientific Long PCR

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


35

Enzyme Mix yang memiliki hasil dan ketepatan yang tinggi digunakan untuk hasil
amplifikasi dengan panjang basa yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Taq
DNA polymerase KAPA2G Robust PCR Kit dan membutuhkan proses reaksi
PCR yang cukup lama jika dibandingkan dengan Taq DNA polymerase
KAPA2G Robust PCR Kit, sedangkan proses reaksi yang terdapat pada ii-PCR
hanya dalam waktu singkat, sehingga efisiensi dari Taq DNA polymerase Thermo
Scientific Long PCR Enzyme Mix memberikan hasil yang tidak baik dan
memunculkan hasil negatif pada alat ii-PCR.
Reaksi PCR hanya akan berlangsung pada kondisi pH tertentu, oleh karena
itu untuk melakukan proses PCR diperlukan buffer PCR (Handoyo, Darmodan Ari
Rudiretna, 2001). Penggunaan buffer yang disarankan oleh alat ii-PCR adalah ii-
buffer yang berfungsi untuk menstabilkan gradient suhu, mengurangi interaksi
antara campuran reaksi dan R-tube, dan meningkatkan efisiensi DNA polymerase
untuk mensukseskan reaksi ii-PCR (Anonim, 2012). Oleh karena itu penggunaan
buffer selain ii-buffer memunculkan hasil negatif.
Hasil dari reaksi ii-PCR tersebut kemudian dielektroforesis untuk melihat
pita yang dihasilkan dari reaksi ii-PCR ini (Gambar 12).
Keterangan :
1. KAPA2G Robust + ii-
buffer
2. KAPA2G Robusrt +
buffer kit
3. Thermo scientific Long
PCR Enzyme Mix + buffer
kit
4. Thermo scientific Long
PCR Enzyme Mix + ii-
buffer
M. Ladder 100 bp

Gambar 12. Hasil elektroforesis produk ii-PCR

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


36

Pada Gambar 12 menunjukkan hasil elektroforesis dari reaksi ii-PCR


dengan menggunakan empat komposisi yang berbeda. Gambar ini menunjukkan
dua komposisi yang digunakan dapat teramplifikasi, yaitu dengan menggunakan
Taq DNA polimerase KAPA2G Robust, namun hanya reaksi yang
menggunakan komposisi no.1 yang terdeteksi positif oleh alat ii-PCR.
Hasil positif yang dimunculkan oleh alat ii-PCR disebabkan oleh
fluoresensi dari probe hidrolisis dapat dideteksi secara efisien oleh sistem optik di
dalam alat ii-PCR. Fluoresensi yang dihasilkan di dalam alat ii-PCR ditunjukkan
dalam rasio S/N (signal intensityafter/signal intensitybefore) yang mempunyai
ambang batas minimal 1,34 untuk dapat memberikan hasil positif pada alat ii-PCR
(Tsai, dkk., 2012). Pada sampel no. 1 menunjukkan rasio S/N 1,8062 sedangkan
pada sampel no.2 sampai dengan no.4 menunjukkan rasio S/N di bawah 1,34
(Lampiran 6). Rasio S/N yang dihasilkan sampel no.1 menunjukkan nilai ambang
batas di atas 1,34, sehingga memberikan hasil positif pada alat ii-PCR.
Pada Gambar 12 dapat terlihat juga bahwa hasil elektroforesis yang
didapat dari keempat hasil reaksi ii-PCR menunjukkan pita yang smear. Hasil pita
yang smear ini disebabkan oleh suhu annealing yang beragam dari alat ii-PCR
yang berkisar pada 37-65oC. Suhu annealing yang terlalu tinggi dari suhu
annealing optimum akan menyebabkkan primer tidak menempel dengan DNA
cetakan. Sedangkan jika suhu penempelan primer terlalu rendah dari suhu
penempelan primer optimum menyebabkan mispriming, yaitu penempelan primer
pada tempat yang salah pada DNA cetakan sehingga dihasilkan produk non
spesifik (Yuwono, 2006).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Primer spesifik Leptospira mampu mengamplifikasi DNA Leptospira


sampai konsentrasi 0,002 ng/25 l dan amplifikasi DNA Leptopira dengan
metode ii-PCR yang menggunakan DNA Leptospira, primer, dan probe
spesifik menunjukkan rasio S/N 1,87 memberikan hasil positif dalam waktu 58
menit bila dibandingkan dengan metode PCR konvensional yang
membutuhkan waktu 150 menit dan diperlukan analisa dengan gel
elektroforesis.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai konsentrasi terendah dari


DNA Leptospira yang masih dapat diamplifikasi oleh alat ii-PCR.

37 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR PUSTAKA

Agrawal, Suraksha. 2008. Techniques in Molecular Biology. International Book


Distributing Co. : India.

Anonim. 2003. Human Leptospirosis: Guidance for Diagnosis, Surveillance and


Control. WHO.

Anonim. 2011. Profil Kesehatan Indonesia 2010. Kementrian Kesehatan


Republik Indonesia : Jakarta.

Anonim. 2012. http://www.iipcr.com/faq.php [12 Maret 2012, pukul 12.50].

Anonim. 2013. http://www.lifetechnologies.com/id/en/home/life-science/dna-rna-


purification-analysis/nucleic-acid-gel-electrophoresis/dna-stains/sybr-
safe.html [7 Desember 2013, pukul 08.10].

Arezi, Bahram, dkk. 2003. Amplification efficiency of thermostable DNA


polymerases. Analytical Biochemistry 321 (2003) 226-235.

Bal, A. E., dkk. 1994. Detection of Leptospires in Urine by PCR for Early
Diagnosis of Leptospirosis. J. Clin. Microbiol, Vol. 32.

Bovet, Pascal, dkk. 1999. Factors Assosiated with Clinical Leptospirosis: a


Population-Based Case-Control Study in the Seychelles (Indian Ocean).
Intl. J. Epidemiol 1999; 28: 583-590.

Carson, Susan. 2006. Manipulation and Expression of Recombinant DNA A


Sensitive Method to Identify Pork in Precessed and Unprocessed Food by
PCR Amplification of A New Spesific DNA Fragment. J Anim Sci. (79):
2108-2112.

Collins, Richard A. 2006. Leptospirosis. The Biomedical Scientist.

Dale, Jeremy W. dan Malcom von Schantz. 2002. From Genes to Genomes:
Concepts and Applications of DNA Technology. John Wiley & Sons, Ltd.

38 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


39

Ernawati, Kholis. 2008. Leptospirosis Sebagai Penyakit Pasca Banjir Serta Cara
pencegahannya. Fak. Kedokteran Universitas YARSI Jakarta.

Gaaffar, Shabarni. 2007. Buku Ajar Bioteknologi Molekul. Universitas


Padjadjaran: Bandung.

Handoyo, Darmo dan Ari Rudiretna. 2001. Prinsip Umum dan Pelaksanaan
Polymerase Chain Reaction (PCR). Unitas, Vol. 9. No.1.

Harisha, S. 2007. Biotechnology Procedures and Experimental Handbook, New


Delhi, India: Infinity Science Press LLC.

Holme, David. J. dan Hazel Peck. 1998. Analytical Biocemistry, third edition,
London: Pearson Education.

Jose, J dan R. Usha. 2000. Extraction of Geminiviral DNA from Highly


Mucilaginous Plant (Abelmoschus esculentus). Plant Molecular Biology
Reporter 18: 349-355.

K. Nishiguchi, Michele, dkk. 2002. DNA Isolation Procedures. Method and Tools
in Biosciences and Medicine Technique in molecular systematic and
evolution, ed . by Rob DeSalle, dkk. Birkhuser Verlag
Basel/Switzerland.

Kumari, Rajni. 2007. Meat Species Identificatin by Real Time PCR.

Levett, Paul N. 2001. Leptospirosis. Clin. Microbiol. Rev. 2001, 14 (2): 296.

Levett, Paul N., dkk. 2001. Two Method for Rapid Serological Diagnosis of Acute
Leptospirosis. Clinical and Diagnostic Laboratorium Immunology, Vol. 8

Natarajaseenivasan, Kalimuthusamy, dkk. 2004. Human Leptospirosis in Erode,


South India: Serology, Isolation, and Characterization of the Isolates by
Randomly Amplified Polymorphic DNA (RAPD) Fingerprinting. Jpn. J.
Infect. Dis., 57, 193-197.

Purves, William K., dkk. 2003. Life, The Science of Biology Seventh Edition.
Sinauer Associastes and W.H. Freeman.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


40

Riyaningsih, Suharyo Hadisaputro, dan Suhartono. 2012. Faktor Risiko


Lingkungan Kejadian Leptospirosis di Jawa Tengah (Studi Kasus di
Kota Semarang, Kabupaten Demak, dan Pati). Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia, Vol. 11, No. 1.

Saengjaruk, Patcharin, dkk. 2002. Diagnosis of Human Leptospirosis by


Monoclonal Antibody-Based Antigen Detection in Urine. J. Clin.
Microbiol, Vol. 40, No. 2.

Sambrook, J., dan Russell, D.W., 2001. Molecular Cloning, A Laboratory Manual
3rd edition, New York: Cold Spring Harbor Laboratory Press.

Sambrook, J., Fritsch, E.F, dan Maniatis, T. 1989. Molecular Cloning. Cold
Spring Harbor Press. University of Texas South Western Medical Centre,
Texas.

Sauer, P., M. M ller, dan J. Kang. 1998. Quantitation DNA. Qiagen News 2: 23-

26.

Setadi, Bobby, dkk. 2001. Leptospirosis. Sari Pediatri, Vol 3, No.3, Desember
2001: 163-167.

Setiawan, I Made. 2008. Pemeriksaan Laboratorium Untuk Mendiagnosis


Penyakit Leptospirosis. Media Litbang Kesehatan Volume XVIII Nomor
1.

Shekatkar, Smita, Belgode Narasimha Harish, dan Subhash Chandra Parija. 2010.
Diagnosis of Leptospirosis by Polymerase Chain Reaction. International
Journal of Pharma and Bio Sciences, ISSN 0975-6299, Vol.1/Issue-
3/Jul-Sep 2010.

Stephenson, Frank, H. 2003. Calculations in MolecularBiology and


Biotechnology, A Guide to Mathematics in The Laboratory, Academic
Press, California, USA.

Stone, Carol Leth. 2004. The Basic of Biology. Greenwood Press : London .

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


41

Sulistyaningsih, Erma. 2007. Polymerase Chain Reaction (PCR): Era Baru


Diagnosis dan Manajemen Penyakit Infeksi. Biomedis, Vol. 1.

Surzycki, Stefan. 2003. Human Molecular Biology Laboratory. Blackwell


Publishing : USA.

Sweeney J. Patricia dan John M. Walker. 1993. dalam Michael M. Burrell,


Enzymes of Molecular Biology, New Jersey: Humana press inc.

Syafaruddin dan Tri Joko Santoso. 2011. Optimasi Teknik Isolasi dan Purifikasi
DNA yang Efisien pada Kemiri Sunan (Reutalis trisperna (Blanco) Airy
Shaw. Jurnal Litri Vol. 17 (1), Maret 2011 : 11-17.

Thornley, C.N, dkk. 2002. Changing Eidemiology of Human Leptospirosis in New


Zealand. Epidemiol. Infect, 128, 29-36.

Tilahun, Z, D. Reta, dan K. Simenew. 2013. Global Epidemiological Overview of


Leptospirosis. Intl. J. Microbiol. Res., 4 (1): 09-15, 2013

Tsai, Yun-Long, dkk. 2012. Development of TaqMan Probe-Based Insulated


Isothermal PCR (iiPCR) for Sensitive and Spesific On-Site Pathogen
Detection. Plos One ,Issue 9, Volume 7, September 2012.

Yersin, Claude, dkk. 1998. Human Leptospirosis in the Seychelles (Indian Ocean)
a Population-Based Study. Am. J. Trop. Med. Hyg., 59(6).

Yuwono, T. 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction. Yogyakarta :


Penerbit Andi.

Zavitsanou, Assimina, dan Fotoula Babatsikou. 2008. Leptospirosis:


Epidemiology and Preventive Measure. Health Science Journal, Volume
2, Issue 2.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


42

Lampiran 1

Hasil peremajaan E.coli dan DNA Leptospira yang sudah terisolasi

Gambar 13. Hasil Peremajaan E.coli

DNA Leptospira yang sudah terisolasi yang diperoleh dari Balai Besar Penelitian
Vektor dan Reservoir Penyakit Salatiga

Gambar 14. DNA Leptospira yang sudah terisolasi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


43

Lampiran 2

Hasil konsentrasi dan kemurnian DNA Leptospira dan DNA E. coli

Tabel 2. Hasil konsentrasi dan kemurnian DNA Leptospira dan DNA E.coli
diukur
dengan spektrofotometer Nano Drop ND-1000

Sampel ID Konsentrasi DNA Kemurnian DNA


(ng/L) A260/A280
Leptospira 225.4 1.82
225.6 1,83
Rata-rata 225.5 1.825
E. coli 546.7 2.07
546.9 2.06
Rata-rata 546.8 2.065

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


44

Lampiran 3

Membuat Larutan induk primer dan probe

1. Membuat larutan induk primer dan probe 100 M

Jenis Nama oligo g To make 100 M


Forward 479.75 Add 480 L ddH2O
Leptospira Reverse 431.13 Add 431 L ddH2O
Probe 569.95 Add 570 L ddH2O

2. Membuat larutan primer 10 M dari larutan induk


V1 . M1 = V2 . M2
X . 100 M = 100 L . 10 M
X =
= 10 L
Maka, 10 L diambil dari masing- masing primer 100 M dan di add 90
L ddH2O

3. Membuat larutan probe 5 M dari larutan induk


V1 . M1 = V2 . M2
X . 100 M = 100 L . 5 M
X =
= 5 L
Maka, 5 L diambil dari masing-masing probe 100 M dan di add 95 L
ddH2O

4. Rekomendasi konsentrasi untuk primer dipilih konsentrasi akhir 0,5 M


(Tsai, 2012) untuk tiap primer
V1 . M1 = V2 . M2
X . 10 M = 50 L . 0.5 M
X =
= 2.5 L
Maka, diambil 2.5 L dari larutan primer konsentrasi 10 M

5. Rekomendasi konsentrasi untuk probe dipilih konsentrasi akhir 0,15 M


(Tsai, 2012)
V1 . M1 = V2 . M2
X . 5 M = 50 L . 0.15 M
X =
= 1.5 L
Maka, diambil 1.5 L dari larutan konsentrasi 5 M

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


45

Lampiran 4.

Campuran reaksi master mix untuk amplifikasi DNA untuk PCR konvensional

Campuran reaksi master mix untuk PCR konvensional

Tabel 3. Campuran reaksi master mix PCR konvensional

Konsentrasi Lar. Konsenrasi Volume yang


Induk Akhir digunakan
GoTaq Green - - 12.5 L
Master Mix
Primer Forward 10 M 0,8 M 2 L
Primer Reverse 10 M 0,8 M 2 L
DNA template 100 ng 8 ng 2 L
ddH2O - - 6.5 L
Total volume reaksi 25 L

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


46

Lampiran 5

Campuran reaksi master mix untuk amplifikasi DNA untuk ii-PCR

1. Campuran reaksi master mix untuk ii-PCR dengan Taq DNA polymerase
KAPA2G Robust PCR Kit

Tabel 4. Campuran reaksi master mix dengan Taq DNA polymerase


KAPA2G Robust PCR Kit dengan ii-buffer

Konsentrasi Lar. Konsentrasi Volume yang


Induk Akhir digunakan
KAPA2G 5 U/L 2,5 U/50 L 0.5 L
Robust PCR Kit
dNTP 10 mM 0,2 mM 1 L
Primer Forward 10 M 0,5 M 2.5 L
Primer Reverse 10 M 0,5 M 2.5 L
Probe 5 M 0,15 M 1.5 L
DNA template 50 ng 5 ng 5 L
ii-Buffer 1X 37 L
Total volume reaksi 50 L

Tabel 5. Campuran reaksi master mix untuk ii-PCR dengan Taq DNA
polymerase KAPA2G Robust PCR Kit dengan buffer dari kit

Konsentrasi Konsentrasi Volume yang


Lar. Induk Akhir digunakan
KAPA2G 5 U/L 2,5 U/50 L 0.5 L
Robust PCR Kit
dNTP 10 mM 0,2 mM 1 L
Primer Forward 10 M 0,5 M 2.5 L
Primer Reverse 10 M 0,5M 2.5 L
Probe 5 M 0,15 M 1.5 L
DNA template 50 ng 5 ng 5 L
Buffer A 5X - 10 L
Nuclease Free 27 L
Water
Total volume reaksi 50 L

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


47

2. Campuran reaksi master mix untuk ii-PCR dengan Taq DNA polymerase
Thermo Scientific Long PCR Master Mix

Tabel 6. Campuran reaksi master mix untuk ii-PCR dengan Taq DNA
polymerase Thermo Scientific Long PCR Master Mix dengan
ii-buffer

Konsentrasi Lar. Konsentrasi Volume yang


Induk Akhir digunakan
Thermo 5 U/L 2,5 U/50 L 0.25 L
Scientific Long
PCR Master Mix
dNTP 2.5 mM 0,2 mM 4 L
Primer Forward 10 M 0,5 M 2.5 L
Primer Reverse 10 M 0,5 M 2.5 L
Probe 5 M 0,15 M 1.5 L
DNA template 50 ng 5 ng 5 L
ii-Buffer 1X 34.25 L
Total volume reaksi 50 L

Tabel 7. Campuran reaksi master mix untuk ii-PCR dengan taq DNA
polymerase Thermo ScientificLong PCR Master Mix dengan
buffer dari kit

Konsentrasi Lar. induk Volume yang


digunakan
Thermo 5 U/L 2,5 U/50 L 0.25 L
Scientific Long
PCR Master Mix
dNTP 2.5 mM 0,2 mM 4 L
Primer Forward 10 M 0,5 M 2.5 L
Primer Reverse 10 M 0,5 M 2.5 L
Probe 5 M 0,15 M 1.5 L
DNA template 50 ng 5 ng 5 L
Buffer with 10X - 5 L
MgCl2
Nucluase Free - - 29.25 L
Water
Total volume reaksi 50 L

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


48

Lampiran 6

Rasio S/N pada sampel hasil reaksi ii-PCR.

Tabel 8. Nilai rasio S/N pada sampel hasil reaksi ii-PCR

No. Sampel Rasio S/N


1 KAPA2G Robust + ii-buffer 1,8062
2 KAPA2G Robusrt + buffer kit 1,0014
3 Thermo scientific Long PCR Enzyme Mix + buffer kit 0,9799
4 Thermo scientific Long PCR Enzyme Mix + ii-buffer 0,9475

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai