Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latarbelakang

Psoriasis merupakan penyakit kulit kronik ditandai perubahan kulit tipikal


baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Lesi psoriasis berupa lesi
meninggi, eritem, berbatas tegas dengan sisik berwarna putih perak. Perubahan
mikroskopis plak psoriasis adalah infiltrasi sel imun pada dermis dan epidermis,
dilatasi dan peningkatan jumlah pembuluh darah pada dermis bagian atas dan
penebalan epidermis dengan diferensiasi keratinosit yang atipikal. Dari penjelasan
diatas kami akan membahas Psoriasis Vulgaris.( Subagio, M. dkk 2014)
Prevalensi psoriasis bervariasi antara 0,111,8% di berbagai populasi dunia.
Insidens di Asia cenderung rendah (0,4%). Tidak ada perbedaan insidens pada pria
ataupun wanita. Beberapa variasi klinisnya antara lain psoriasis vulgaris (85-90%)
dan artritis psoriatika (10%). Seperti lazimnya penyakit kronis, mortalitas
psoriasis rendah namun morbiditas tinggi, dengan dampak luas pada kualitas
hidup pasien ataupun kondisi sosio ekonominya. Penyakit ini terjadi pada segala
usia, tersering pada usia 15-30 tahun. Puncak usia kedua adalah 57-60 tahun. Bila
terjadi pada usia dini (15-35 tahun), terkait HLA (Human Leukocyte Antigen) I
antigen (terutama HLA Cw6), serta ada riwayat keluarga, lesi kulit akan lebih luas
dan persisten.( Yuliastuti D. 2015)
Penyakit ini penting diketahui dan dipelajari karena tatalaksananya tidak
terbatas pada lesi kulit. Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai studi dilakukan
untuk dapat menjelaskan mekanisme molekulernya. Namun, masih belum
diketahui secara jelas, termasuk penyebab utamanya, apakah gangguan
imunologis ataukah epitelial, penyebab autoimun proses inflamasi, relevansi
faktor sistemik versus faktor dermatologis, serta peran gen versus pengaruh
lingkungan dalam inisiasi, progresi, serta responsnya terhadap terapi.( ( Yuliastuti
D. 2015)
Maka apa yang sudah di jelaskan diatas kami akan membahas tentang
referat Psoriasis Vulgaris. Tujuan dari peneulisan referat ini untuk mengetahui

1
definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, gejala klinis, tatalaksanaan dari
Psoriasis Vulgaris serta sebagai salah satu kewajiban dari kepaniteraan klinik ilmu
penyakit kulit & kelamin di RSUD Ibnu Sina Gresik.

2
BAB II

ETIOPATOGENESIS

2.1. Definisi
Psoriasis adalah peradangan kulit yang bersifat kronik dengan
karakteristik berupa plak eritematosa berbatas tegas, skuama kasar,
berlapis, dan berwarna putih keperakan terutama pada siku, lutut, scalp,
punggung, umbilikus dan lumbal (Gudjonsson dan Elder, 2012).

2.2. Etiologi
Penyebab penyakit psoriasis belum diketahui meskipun telah
dilakukan penelitian dasar dan klinis secara intensif. Diduga merupakan
interaksi antara faktor genetik, sistem imunitas, dan lingkungan.

2.3. Patogenesis
Seperti telah diketahui bahwa penyebab dan patogenesis psoriasis
belum diketahui dengan pasti, banyak sistem dalam tubuh berperan dalam
patogenesis psoriasis, banyak komponen, elemen mediator yang terlibat
terhadap terjadinya atau kekambuhan psoriasis (Joshi, 2004; Nestle dkk
2009 ). Namun ada tiga hal yang perlu diperhatikan oleh para peneliti,
diantaranya gangguan diferensiasi keratinosit, hiperproliferasi keratinosit
dan imunologis. Hal tersebut menjadi dasar patologis terjadinya psoriasis
yang multifaktor tersebut, namun ketiganya tidak bekerja sendiri-sendiri
namun saling berkaitan.

a. Gangguan Diferensiasi Keratinosit

Secara patologis, psoriasis ditandai dengan adanya


hiperproliferasi dan diferensiasi abnormal dari keratinosit
epidermis, infiltrasi limfosit yang terutama terdiri dari limfosit T
dan berbagai perubahan vaskular endotel di lapisan dermis, seperti
angiogenesis dan dilatasi pembuluh darah. Lapisan epidermis
berdiferensiasi berlebihan yang berbeda dengan sel normal,
keratinosit pada psoriasis membentuk amplop cornified (CE) yang
mudah terjadi pengelupasan, pembentukan lapisan korneum yang
berlebihan mengakibatkan epidermis menebal. Pada fase akhir,

3
kapilarisasi dermal yang luas menyebabkan infiltrasi sel radang
pada ikatan dermal-epidermal yang tampak sebagai papilomatosis,
merupakan gambaran khas pada psoriasis. Beberapa mediator
sebagai penanda diferensiasi keratinosit yang abnormal pada
psoriasis; transglutaminase I (TGase K), skin-derived
antileukoproteinase (SKALP), migration inhibitory factor-related
protein-8 (MRP-8), Involucrin, Filaggrin.
TGase K yang mengawali mengkatalisis untuk
terbentuknya CE, yang penting pada lesi psoriasis. SKALP yang
hanya ditemukan pada lesi psoriasis, mediator ini merupakan
polipeptida inhibitor elastase dominan, yang disekresikan oleh
keratinosit epidermal. Elastase adalah lysosomal serin proteinase
yang spesifik untuk degradasi elastin, protein yang ditemukan
dalam jaringan yang membutuhkan elastisitas kulit. MRP-8,
merupakan Ca2+-binding protein, walaupun fungsi biokimia tidak
sepenuhnya dipahami, namun ditemukan pada psoriasis dan
penyakit inflamasi lainnya, tidak pada kulit normal. Peran MRP-8
dalam reorganisasi sitoskeleton selama patogenesis psoriasis.
Involucrin, merupakan prekursor protein yang membantu untuk
menstabilisasikan CE. Pada kulit normal, protein ini merupakan
konstituen utama dari CE pada tahap awal pembentukan epidermis,
involucrin tetap konstituen utama dari CE selama proses maturasi.
Filaggrin yang biasanya ditemukan pada stratum granular
epidermis, tidak ada dalam lesi psoriasis. Hilangnya stratum
granular kulit stratum korneum dalam psoriasis kemungkinan besar
petanda ketidakhadiran filaggrin tersebut (Grove dkk, 2001;
Sanchez, 2010).

b. Hiperproliferasi Keratinosit
Hiperproliferasi keratinosit adalah kategori kedua gejala
psoriasis vulgaris. Beberapa penyebab biokimiawi yang mungkin

4
menyebabkan produksi keratinosit berlebihan telah ditemukan pada
lesi psoriasis: Epidermal Growth Factor (EGF), Bone
Morphogenetic Protein-6 (BMP-6), Transforming Growth Factor-
alpha (TGF-), Activating Protein (AP-1) dan Mitogen-activated
protein kinase (MAPK).
Epidermal Growth Factor yang menstimuli pertumbuhan
dan diferensiasi lapisan epidermis, merupakan mediasi respon
seluler dengan mengikat reseptor spesifik. Ikatan EFG terhadap sel
imun dua kali lipat pada lapisan atas epidermis. Peningkatan
kekuatan mengikat dapat menyebabkan stimuli yang berlebihan
pertumbuhan keratinosit sehingga menyebabkan hiperproliferasi
(Bernard, 2012). BMP-6 merupakan faktor pertumbuhan ini sudah
dapat dijumpai pada bayi baru lahir, tapi biasanya menghilang
setelah dewasa, kecuali pada pasien psoriasis, hal ini menyebabkan
ditemukan TGF- dibagian atas lesi psoriasis, tetapi tidak dalam
kulit normal. Vasoactive Intestinal Polipeptide (VIP), merupakan
neuropeptida dengan berat molekul besar, menginduksi produksi
TGF- in vivo, sebelumnya diduga bahwa efek hiperproliferasi
dari VIP dimediasi oleh peningkatan level dari cyclic adenosine
monophosphate (cAMP) yang disebabkan oleh aktivitas activated
adenylate cyclase, namun penelitian lain menunjukkan bahwa VIP
menstimuli pertumbuhan keratinosit melalui TGF-
bukan.Activating protein (AP-1), sebuah kompleks dari
oncoproteins, menstimulasi ekspresi banyak gen yang penting
dalam proliferasi sel dan inflamasi. Faktor-faktor ini terbukti
memiliki pola ekspresi yang bereda-beda pada lesi psoriasis
sehingga mediator tersebut terlibat dalam patogenesis psoriasis.
Mediator terakhir, MAPK, membantu mengatur proliferasi sel.
Banyak growth factor dan sitokin memodulasi aktivitas MAPK,
yang lebih banyak pada fibroblas psoriasis. (Grove dkk, 2001;
Sanchez, 2010; Bernard, 2012).

c. Imunologis dan Inflamasi

5
Mengawali peran imunitas pada psoriasis melalui antigen
precenting cell (APC) akan memproses dan mempresentasikan
antigen pada sel T. Antigen precenting cell ini mengekspresikan MHC
klas I dan II pada permukaannya. Lapisan epidermis pada penderita
psoriasis akan terjadi peningkatan jumlah denritic cell (DC) walaupun
tidak spesifik untuk penyakit ini. DC di dermis menjadi tipe APC
yang berperan pada psoriasis dan terletak pada papilla dermis. Pada
pasien psoriasis, jumlah DC plasmasitoid meningkat baik pada bagian
kulit yang terlibat atau tidak, tetapi hanya aktif pada kulit yang
terlibat. Proses antigen diakhiri dengan timbulnya peptida antigen di
permukaan APC oleh MHC. Komplek peptide-protein ini akan
dikenali secara spesifik oleh reseptor sel T (TCR). APC yang telah
aktif akan berjalan menuju limfonoid untuk mengaktifkan sel T.
Interaksi sel T dan APC di limfonoid akan menstimulasi sel T. Proses
ini terdiri dari dua sinyal. Sinyal pertama dihasilkan oleh komplek
antigen yaitu MHC dan TCR sedangkan sinyal yang kedua berperan
sebagai konstimulasi. Konstimulasi ini diperankan oleh reseptor
dengan ligand pada sel T. Kemudian sinyal 1 dan 2 akan mengaktivasi
sel T (Krueger et al, 2005;Verghese,2011, Perez,2013).
Salah satu sel dendritik yang berpengaruh dalam
patogenesis psoriasis adalah Sel Langerhans yang mengenali dan
menangkap antigen, bermigrasi ke kelenjar getah bening lokal, dan
mempresentasikannya ke sel T. Aktivasi limfosit T akan
menghasilkan sitokin pro-inflamasi seperti TNF- yang
menyebabkan proliferasi keratinosit. Hiperproliferasi ini
menyebabkan menurunnya waktu transit epidermis (perkiraan
waktu yang diperlukan oleh sel kulit untuk maturasi secara normal)
dari 28 hari menjadi 2-4 hari dan memproduksi sisik kemerahan
yang tipikal pada psoriasis. IFN- juga menghambat apoptosis
keratinosit dengan menstimulasi protein anti-apoptosis, demikian
juga IL-6 lebih tinggi secara bermakna antara psoriasis
(61,26+57,40) dengan kontrol (2,38 +1,94) (Verghese,2011).

6
Awalnya terjadi hiperproliferasi keratinosit akibat adanya
aktivasi oleh faktor pertumbuhan seperti epidermal growth factor,
nerve growth factor, endothelial growth factor dengan target sel
dendritik imatur di epidermis menstimulasi sel T dari kelenjar
getah bening sebagai respons terhadap stimulasi unidentified
antigen. Aktivasi sel T, TNF-, dan sel-sel dendritik adalah faktor
patogenik yang distimulasi dalam respon terhadap faktor pencetus,
seperti trauma fisik, inflamasi bakteri, virus, atau withdrawal
kortikosteroid. Infiltrat limfosit pada psoriasis kebanyakan adalah
sel T CD4 dan CD8. Setelah sel T menerima stimulasi pertamanya
dan teraktivasi, menyebabkan terjadinya sintesis IL-6. Peningkatan
IL-6 dari sel T yang teraktivasi dan IL-12 dari sel Langerhans
menstimulasi IFN-, TNF-, dan IL-6, yang bertanggung jawab
dalam diferensiasi, maturasi, dan proliferasi sel T menjadi sel
memori efektor. Kemudain sel T bermigrasi ke kulit, dimana
mereka berkumpul di sekitar pembuluh darah dermis. Ini
merupakan perubahan imunologik pertama yang menyebabkan
diferensiasi dan proliferasi keratinosit pada psoriasis akut (El-
Dorouti, 2010).
Data terbaru menyatakan bahwa selain TNF-, IL-20 dan
IL-17 juga sangat berperan di dalam patogenesis psoriasis. IL-17
yang disekresikan oleh sel Th17 juga dapat mengaktifasi inflamasi
di berbagai sistem organ. Seperti misalnya, IL-17 juga meningkat
pada serum pasien dengan penyakit arteri koroner (Piskin dkk.,
2003; Mallbris dkk., 2006).
Sel T yang teraktivasi ini akan memasuki sistem sirkulasi
menuju jaringan perifer. Sel T akan berikatan dengan endotel
dimana leucocyte function-associated antigen-1 (LFA-1) pada sel T
dan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) pada sel endotel
akan berinteraksi. Setelah interaksi tersebut, diapedesis akan
terjadi. Diapedesis adalah migrasi dari sel T melalui dinding
pembuluh darah yang akan menuju ke dermis dan epidermis.

7
Setelah sel T mencapai kulit, maka terjadi aktivasi kembali sel T.
Sel T yang teraktivasi tersebut akan memproduksi sitokin yang
dapat menyebabkan terjadinya inflamasi. Baik CD4+ dan CD8+
sama-sama memproduksi sitokinin Th1. Ekspresi yang berlebihan
dari sitokin tipe-1 seperti IL-2, IL-6, IL-8, IL-12, IFN dan TNF
menyebabkan terjadinya akumulasi sel-sel netrofil. Sinyal utama
dari Th1 adalah IL-12 yang merangsang produksi IFN intraseluler.
Pada psoriasis, sel Th langsung mengatur sel B untuk
menghasilkan autoantibodi, dan yang menjadi target antigen adalah
sel-sel kulit itu sendiri. Sedangkan pada psoriasis arthritis,
targetnya adalah sel-sel pada sendi. Apabila produksi sitokin terlalu
berlebihan akan menimbulkan kerusakan pada kulit yang
berlebihan juga. Dari penelitian terbaru menyimpulkan bahwa
mayoritas sel T CD4+ pada lesi kulit psoriasis adalah sel T yang
memproduksi IL-22 dan IL-17. Sumber utama IL-22 pada lesi
psoriasis adalah sel Th17 dan Th1. Adanya single-nucleotide
polymorphisms (SNP) pada gen reseptor IL-23 yang berhubungan
dengan psoriasis akan mendukung peran sel Th17 didalam
imunopatogenesis psoriasis (Krueger dan Ellis, 2005; Gaspari,
2006; Huerta dkk, 2007).
IL-15 adalah faktor pencetus keterlibatan sel-sel inflamasi,
angiogenesis dan menghasilkan IFN-, TNF-, dan IL-17 yang
semuanya mengatur plak psoriasis. IL-2 berfungsi untuk
menstimulasi pertumbuhan sel T sedangkan IFN- dapat
menghambat apoptosis keratinosit yaitu dengan cara menstimulasi
ekspresi protein anti apoptosis B cell lymphoma-x (Bcl-x) yang
memungkinkan terjadinya hiperploriferasi keratinosit. Target
spesifik untuk terapi adalah dengan melibatkan TNF-, ikatan
leucocyte function-associated antigen-1 (LFA-1)/interceluler
adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan ikatan LFA-3/CD2. IFN dan
TNF menginduksi keratinosit untuk memproduksi IL-7, IL-8, IL-
12, IL-15, dan TNF. IL-17 dan IL-15 berperan dalam poliferasi

8
dan keseimbangan homeostatik sel CD8+. IL-17 dan IFN
meningkatkan produksi sitokin proinflamasi dan kemokin oleh
keratinosit. TNF-. menginduksi ICAM-1 pada permukaan
keratinosit yang menyebabkan sel T akan terikat langsung pada
keratinosit melalui molekul LFA-1. Selain itu, TNF juga
meningkatkan molekul adhesi sel endotel pembuluh darah (Schon
dan Boehncke, 2005; Chan dkk, 2006).
Keratinosit dapat diaktivasi terutama oleh sitokin Th1 (IFN-
dan IL-22). Namun setelah beberapa waktu tertentu peran
tersebut akan digantikan oleh sitokin Th17 (IL-6, IL-17, dan IL-
22), dan akhirnya dimainkan oleh sitokin yang diproduksi oleh
makrofag dan sel dendritik (TNF-, IL-6, IL-18, IL-19, dan IL-20)
dan sitokin yang diproduksi sendiri oleh keratinosit seperti TGF-,
IL-19 dan IL-20. Akan tetapi, sampai saat ini belum dapat
ditentukan sitokin mana yang bertanggung jawab dalam
peningkatan poliferasi keratinosit (Numerof dan Asadullah, 2006).

BAB III
GEJALA KLINIS

9
Psoriasis merupakan penyakit inflamatorik kronik dengan manifestasi
klinis pada kulit dan kuku. Lesi psoriasis vulgaris berupa plak eritematous,
berbatas tegas, simetris, kering, tebal dengan ukuran yang beragam serta dilapisi
oleh skuama tebal berlapis-lapis dan berwarna putih seperti mika. Plak
eritematous yang tebal menandakan adanya hiperkeratosis, parakeratosis,
akantosis, pelebaran pembuluh darah dan inflamasi. Tempat predileksi lesi
psoriasis yaitu pada scalp, ekstensor lengan, kaki, lutut, siku, dorsum manus dan
dorsum pedis. Keluhan yang dirasakan adalah gatal dan kadang rasa panas yang
membuat pasien merasa tidak nyaman. Bentuk kelainan bervariasi : lentikuler,
numular atau plakat dapat berkonfluensi.
Lesi psoriasis memiliki empat karakteristik yaitu: (1) bercak-bercak eritem
yang meninggi (plak) dengan skuama di atasnya. Eritema sirkumskripta dan
merata, tetapi pada stadium lanjut sering eritema yang ditengah menghilang dan
hanya terdapat dipingir, (2) skuama berlapis-lapis, kasar, dan berwarna putih
seperti mika dan transparan, (3) pada kulit terdapat eritema mengkilap yang
homogen dan terdapat perdarahan kecil jika skuama dikerok (Auspitz sign) (4)
ukuran lesi bervariasi-lentikuler, numuler, plakat.

Kelainan kuku ditemukan pada 25-50% pasien dengan psoriasis.


Perubahan pada kuku ini 2 kali lebih sering terjadi pada usia lebih dari 40 tahun,
pada pasien dengan psoriasis sedang hingga berat atau pada pasien yang telah
menderita psoriasis lebih dari 50 tahun. Tanda yang paling umum dari psoriasis
kuku ini adalah pitting selain itu juga perubahan warna lokal yang spesifik yaitu
bercak berwarna kuning atau coklat disebabkan karena debris seluler di bawah
kuku. Psoriasis pada kuku mengenai matrix, lempeng kuku, dan hyponychium.

Pada psoriasis terdapat fenomena yang khas yaitu fenomena tetesan lilin
dimana bila lesi yang berbentuk skuama dikerok maka skuama akan berubah
warna menjadi putih yang disebabkan oleh karena perubahan indeks bias. Auspitz
sign ialah bila skuama yang berlapis-lapis dikerok akan timbul bintik-bintik
pendarahan yang disebabkan papilomatosis yaitu papilla dermis yang
memanjang tetapi bila kerokan tersebut diteruskan maka akan tampak

10
pendarahan yang merata. Fenomena kobner ialah bila kulit penderita psoriasis
terkena trauma misalnya garukan maka akan muncul kelainan yang sama dengan
kelainan psoriasis.

BAB IV

11
RINGKASAN

Psoriasis adalah peradangan kulit yang bersifat kronik dengan karakteristik


berupa plak eritematosa berbatas tegas, skuama kasar, berlapis, dan berwarna
putih keperakan terutama pada siku, lutut, scalp, punggung, umbilikus dan
lumbal. Penyebab penyakit psoriasis belum diketahui meskipun telah dilakukan
penelitian dasar dan klinis secara intensif. Diduga merupakan interaksi antara
faktor genetik, sistem imunitas, dan lingkungan.

Lesi psoriasis memiliki empat karakteristik yaitu: (1) bercak-bercak eritem


yang meninggi (plak) dengan skuama di atasnya. Eritema sirkumskripta dan
merata, tetapi pada stadium lanjut sering eritema yang ditengah menghilang dan
hanya terdapat dipingir, (2) skuama berlapis-lapis, kasar, dan berwarna putih
seperti mika dan transparan, (3) pada kulit terdapat eritema mengkilap yang
homogen dan terdapat perdarahan kecil jika skuama dikerok (Auspitz sign) (4)
ukuran lesi bervariasi-lentikuler, numuler, plakat.

DAFTAR PUSTAKA

12
1. Gudjonsson J. dan Elder J. 2012. Psoriasis Vulgaris. In: Wolff K., Goldsmith
L.,Katz S., Gilchrest B., Paller A., Leffell D. editors Fitzpatricks Dermatology
in General Medicine8th ed. New York: McGraw-Hill: 169193.

2. Subagio, M. dkk 2014 Hubungan Profil Lipid dengan Keparahan Klinis


Pasien Psoriasis di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang . Departemen
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedoktera Unsri /RSMH
Palembang.

3. Yuliastuti D. 2015. PSORIASIS . CDK -235/ vol.42 no.12, th.2015.

4. Schon MP. and Boehncke WH. 2005. Psoriasis N. Eng. J. Med; 352(18):
1899-1909.

5. Chan J.R., Blumenschein W., and Murphy E., 2006. IL23 Stimulated
Epidermal Hyperplasia via TNF and IL-20R2-dependent Mechanism with
Implications for Psoriasis Pathogenesis. J. Exp Med; 203: 2577 2587.

6. Sanchez APG. 2010. Immunopathogenesis of Psoriasis. An Bras


Dermatol:85(5):747-9.

7. Numerof RP. and Asadullah K. 2006. Cytokine and Anti Cytokine Therapies
for Psoriasis and Atopic Dermatitis. Bio drugs; 20: 93-103.

8. Huerta C., Rivero E. and Luis AG. 2007. Incidence and Risk Factors for
Psoriasis in the General Population. Arc Dermatol;143(12):1559-1565.

9. Sri Budini S. 2014. Kadar TNF- Lesi Kulit dengan Derajat Keparahan
Psoriasis Vulgaris. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin. Vol. 26.

10. El-Darouti M and Hay RA. 2010. Psoriasis: Higlights on Pathogenesis,


Adjuvant Therapy and Treatment of Resistant Problematic Case. J Egypt
Women Dermatol Soc; 7: 64-70

13

Anda mungkin juga menyukai