Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Infertilitas merupakan suatu masalah umum, mempengaruhi sekitar 1 dari
10 pasangan. Infertilitas mempengaruhi sekitar 10% sampai 15% dari pasangan
usia reproduktif di Amerika Serikat. Walaupun terdapat peningkatan pengetahuan
mengenai infertilitas, hanya 43% pasangan infertil mencari terapi, dan hanya 24%
yang mencari terapi spesialistik. 1, 2

te Velde et al. (2000)dari kepustakaan 3


, mendapatkan, pada populasi umum,
konsepsi diperkirakan terjadi pada 84% wanita dalam 12 bulan dan pada 92%
dari kepustakaan 3
dalam 24 bulan. Templeton et al. 1990; Evers (2003) mendapatkan
data dari studi berbasis-populasi menunjukkan bahwa 10-15% pasangan di Barat
mengalami infertilitas. Setengah di antaranya (8%) selanjutnya akan mencapai
konsepsi tanpa membutuhkan nasehat dan pengobatan spesialis. Dari 8% lainnya
yang membutuhkan penanganan dari klinik fertilitas, setengahnya (4%) terdiri
dari pasangan dengan infertilitas primer (tidak ada riwayat kehamilan
sebelumnya) sementara setengah lainnya mengalami infertilitas sekunder
(kesulitan dalam mencapai konsepsi setelah kehamilan awal).3
Penyebab infertilitas luas dapat berasal dari faktor pada wanita. Faktor
pada wanita adanya disfungsi ovulasi, endometriosis, nutrisi yang jelek, gangguan
hormon, kista ovarium infeksi pelvis, tumor atau abnormalitas transport sperma
dari serviks ke tuba fallopii merupakan 40 50% penyebab infertilitas.4,5,6,7

Faktor kerusakan tuba atau sumbatan tuba fallopi dan biasanya


berhubungan dengan riwayat PID atau riwayat operasi pelvis atau tuba dengan
endometriosis. Faktor peritoneal termasuk adhesi peritubal dan adhesi periovarian.
Riwayat penyakit radang panggul, abortus sepsis, ruptur apendiks, operasi tuba,
kehamilan ektopik biasanya disertai adanya kemugkinan kerusakan tuba. Penyakit
radang panggul tidak diragukan lagi merupakan penyebab utama infertilitas faktor
tuba. Penelitian klasik menunjukan wanita yang didiagnosa penyakit radang

Universitas Sumatera Utara


panggul dengan laparoskopik menunjukkan risiko infertilitas fakfor tuba
meningkat dengan jumlah dan beratnya penyakit, secara keseluruhan insidennya
kurang lebih 10 12 % setelah 1 episode, 23 35% setelah 2, dan 54 75%
setelah 3 episode penyakit radang panggul akut. Walaupun banyak wanita dengan
penyakit tuba dan perlengketan panggul tidak mempunyai riwayat radang
panggul, bukti menunjukan infeksi asimptomatis merupakan penyebab tersering.
Banyak dari wanita ini mempunyai antibodi Chlamydia yang meningkat
menunjukkan infeksi sebelumnya.1,6,7

Pada wanita infeksi Chlamydia dikenal dengan silent disease karena


hampir sepertiga wanita yang terinfeksi tidak menimbulkan gejala (asimptomatik).
Dan bila ada gejala, biasanya muncul 1 3 minggu setelah terjadi infeksi. Pada
wanita yang terinfeksi Chlamydia dan tidak diobati dapat menyebabkan PRP,
diharapkan pada wanita muda dilakukan skrining untuk menghindari sekuele yang
serius pada wanita yang terinfeksi yang tidak diobati, misalnya nyeri pelvis yang
kronik, penyakit radang panggul, kehamilan ektopik, dan infertilitas8-18

Aswad SA dkk (2004) pada penelitiannya terhadap prevalensi


infeksi Chlamydia trachomatis pada wanita Timur Tengah, dari 919
wanita dijumpai sebanyak 2,6% terinfeksi oleh Chlamydia trachomatis 12

Berdasarkan Valkengoed IGM dkk (2000)dari kepustakaan3 pada penelitiannya


terhadap wanita asimptomatik dengan pemeriksaan sederhana menjumpai
sebanyak 2,8% dari 5.867 partisipan ternyata positif terinfeksi Chlamydia
Trachomatis. Sedangkan Aldeen dkk (2000) menjumpai 4,8% (18/432 wanita
asimptomatik) telah terdeteksi terinfeksi Chlamydia Trachomatis.14

Menurut Cohen CR dkk (2000) pada wanita dengan infertilitas


akibat abnormalitas tuba yang mempunyai riwayat PRP, yang telah
mempunyai antibodi Chlamydia trachomatis sebanyak 53%. 16
Pemeriksaan kelainan tuba pada wanita infertil dapat dilakukan dengan berbagai
cara antara lain HSG, Hysterosalpingocontrastsonography maupun laparoskopi.

Hysterosalpingography adalah uji diagnostik awal yang digunakan untuk


mengkaji patensi tuba karena memiliki sensitivitas 85% hingga 100% dalam

Universitas Sumatera Utara


pengidentifikasian oklusi tuba. Spesifisitas tertentu dari HSG dalam
pengidentifikasian oklusi tuba yang berhubungan dengan PID mendekati 90%.
Dibandingkan dengan laparoscopy (metode standar emas) sebagai test kelayakan
tubal, HSG hanya mempunyai sensitivitas moderat (kemampuan mendeteksi
kelayakan bila tuba terbuka) tetapi mempunyai spesifisitas yang relatip tinggi
(akurasi bila kelayakan terdeteksi) pada populasi infertil yang umum. HSG
mengambarkan kavum uteri dan arsitektur lumen dalam tuba, tapi laparoskopi tak
bisa. Dan laparoskopi merupakan tahap akhir dan paling invasif dalam evaluasi
pasien, kecuali jika HSG menimbulkan dugaan atas kelainan. Dalam banyak
kasus, pada laparoskopi, biaya perawatan inap meningkat, meskipun lebih singkat
tinggal di rumah sakit, karena waktu kamar operasi yang lama dan penggunaan
peralatan dan perlengkapan bedah yang lebih mahal. Sebagai akibat dari kemajuan
dalam test darah dan teknologi pencitraan, laparoskopi lebih sering digunakan
untuk menegaskan kesan klinik daripada untuk diagnosis awal.

Karena pemeriksaan ini mahal dan kurang nyaman untuk pasien.


Diharapkan dengan adanya alat skrining awal untuk menentukan kelompok mana
yang resiko tinggi oklusi tuba dengan mendeteksi adanya riwayat infeksi
chlamydia trachomatis dengan mengetahui IgG antibodi chlamydia (+), sehingga
kelompok ini yang dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan lanjut test patensi
tuba. Dan penelitian ini dilakukan karena di Indonesia masih jarang penelitian
untuk mengetahui infeksi Chlamydia trachomatis pada infertilitas. Dimana untuk
wilayah Sumatera Utara sendiri belum ada penelitian yang dilakukan untuk
mengetahui infeksi Chlamydia trachomatis yang dapat menimbulkan infertilitas.
Pada RSUP H Adam Malik, RSU Haji, RSU Putri Hijau, RSU Sundari dan Klinik
Halim Fertility Center, Medan. belum pernah dilakukan penelitian untuk
mendeteksi infeksi tersebut. Penelitian ini menggunakan pemeriksaan Anti-
Chlamydia trachomatis IgG Antibodi, karena test antibodi chlamydia cepat, sangat
sensitif, paling cocok untuk screening, sensitivitas 91,1%, spesifisitas 98,5%,
minimal invasif dan relatif murah. Karena itu, penelitian ini dilakukan untuk
mendeteksi infeksi Chlamydia trachomatis pada infertilitas dengan menggunakan
pemeriksaan Anti-Chlamydia trachomatis IgG Antibodi.

Universitas Sumatera Utara


1.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut : Apakah infeksi chlamydia trachomatis terkait
dengan oklusi tuba pada wanita infertil ?

1.3. HIPOTESIS PENELITIAN


Oklusi tuba pada wanita infertil mempunyai hubungan dengan adanya infeksi
Chlamydia trachomatis

1.4. TUJUAN PENELITIAN


1.4.1. Tujuan Umum

Mengetahui apakah terdapat hubungan antara infeksi Chlamydia trachomatis


dengan oklusi tuba dideteksi dengan HSG wanita infertil di RSUP H Adam Malik,
RSU Haji, RSU Putri Hijau, RSU Sundari, Klinik Halim Fertility Center, Medan..

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui proporsi Chlamydia trachomatis pada wanita infertil


dengan oklusi tuba dan proporsi Chlamydia trachomatis pada wanita
infertil dengan tuba normal di RSUP H Adam Malik, RSU Haji, RSU Putri
Hijau, RSU Sundari dan Klinik Halim Fertility Center, Medan.

2. Mengetahui hubungan infeksi Chlamydia trachomatis pada wanita infertil


dengan oklusi tuba dideteksi dengan HSG di RSUP H Adam Malik, RSU
Haji, RSU Putri Hijau, RSU Sundari, Halim Fertility Center, Medan.

1.5. MANFAAT PENELITIAN


1. Hasil pemeriksaan menunjukkan hubungan sehingga pemeriksaan
chlamydia dapat dijadikan screening dini sebelum dilakukan pemeriksaan
HSG untuk melihat kelainan tuba

2. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman


terhadap infertilitas pada wanita.

3. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan acuan bagi peneliti selanjutnya.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai