Anda di halaman 1dari 6

ANALISIS KREDIT

1. Likuiditas dan Modal Kerja


Likuiditas (liquidity) mengacu pada kemampuan perusahaan untuk memenuhi
kewajiban jangka pendeknya (secara konvensional dianggap periode hingga satu tahun).
Likuiditas merupakan kemampuan untuk mengubah aktiva menjadi kas atau kemampuan
untuk memperoleh kas. Kurangnya likuiditas menghalangi perusahaan untuk
memperoleh keuntungan. Masalah likuiditas yang lebih parah mencerminkan
ketidakmampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban lancar. Masalah ini dapat
mengarah pada penjualan investasi dan aktiva dengan terpaksa, dan dalam bentuk yang
paling parah, mengarah pada insolvensi dan kebangkrutan. Modal kerja merupakan
ukuran likuiditas yang banyak digunakan.
Modal kerja (working capital) adalah selisih aktiva lancar setelah dikurangi
kewajiban lancar. Modal kerja merupakan ukuran aktiva lancar yang penting yang
mencerminkan pengaman bagi kreditor. Modal kerja juga penting untuk mengukur
cadangan likuiditas yang tersedia untuk memenuhi kontinjensi dan ketidakpastian yang
terkait dengan keseimbangan antara arus kas masuk dan arus kas keluar perusahaan.

1.1 Aktiva Lancar dan Kewajiban Lancar


Aktiva lancar (current asset) adalah kas dan aktiva lain yang secara wajar
dapat direalisasi sebagai kas atau dijual atau digunakan selama satu tahun (atau
dalam siklus operasi normal perusahaan jika lebih dari satu tahun. Akun neraca
biasanya memasukkan kas, efek-efek (surat berharga) yang jatuh tempo dalam satu
tahun fiskal ke depan, piutang, persediaan, dan beban dibayar di muka sebagai
aktiva lancar.
Kewajiban lancar (current liabilities) merupakan kewajiban yang diharapkan
akan dilunasi dalam periode waktu relatif pendek, biasanya satu tahun. Kewajiban
lancar biasanya mencakup utang usaha, wesel bayar, pinjaman bank jangka pendek,
utang pajak, beban terutang, dan bagian lancar utang jangka panjang (bagian yang
jatuh tempo dalam waktu satu tahun)
Terdapat tiga masalah umum yang perlu diperhatikan dalam analisis modal
kerja, yaitu:
1) Kewajiban kontinjen yang terkait dengan jaminan atas utang.
2) Pembayaran minimum sewa pada masa depan yang terkait dengan perjanjian
sewa guna usaha operasi yang tidak dapat diubah.
3) Kontrak atas konstruksi atau akuisisi aktiva jangka panjang sering kali
mewajibkan pembayaran besar berkelanjutan.

1
1.2 Ukuran Likuiditas Modal Kerja
Perjanjian utang dan obligasi sering kali mencakup persyaratan untuk
mempertahankan tingkat modal kerja minimum. Analis keuangan menilai besaran
modal kerja untuk memberikan keputusan atau rekomendasi investasi. Badan
pemerintah menghitung total modal kerja perusahaan untuk membuat peraturan dan
kebijakan. Selain itu, publikasi laporan keuangan membedakan antara aktiva dan
kewajiban lancar dengan yang tak lancar sebagai jawaban atas kebutuhan ini.
Namun, besaran modal kerja menjadi lebih relevan bagi keputusan pengguna
jika dikaitkan dengan variabel keuangan inti lainnya seperti penjualan atau total
aktiva. Besaran ini menjadi kurang berarti untuk perbandingan langsung atau untuk
menilai kecukupan modal kerja. Hal ini terlihat pada Ilustrasi 13.1

ILUSTRASI 13.1 PT A PT B
Aktiva Lancar $300.000 $1.200.000
Kewajiban Lancar (100.000) (1.000.000)
Modal Kerja $200.000 $200.000

Kedua perusahaan tersebut memiliki jumlah modal kerja yang sama. Namun,
dengan perbandingan yang cepat atas aktiva lancar dan kewajiban lancar
memberikan indikasi bahwa posisi modal kerja PT A lebih unggul dibandingkan
PT B

1.3 Ukuran Likuiditas dengan Rasio Lancar


Ilustrasi sebelumnya menekankan perlunya mempertimbangkan modal kerja relative.
Yaitu selisih modal kerja sebesar $200.000 memberikan kesimpulan berbeda bagi
perusahaan dengan aktiva lancar sebesar $300.000 dan perusahaan dengan aktiva
lancar sebesar $1.200.000. Ukuran relative yang umum digunakan dalam praktik
adalah rasio lancar. Rasio lancar (current ratio) adalah:
Aktiva Lancar
Rasio Lancar = Kewajiban Lancar

Pada ilustrasi 13.1, rasio lancar PT A adalah 3:1 ($300.000/$100.000) dan PT B


adalah 1,2:1 ($1.200.000/$1.000.000). Rasio ini mengungkapkan gambaran PT A
dan PT B yang berbeda. Kemampuan untuk membedakan perusahaan berdasarkan
likuiditas membutuhkan penggunaan rasio lancar secara luas.

1.4 Relevansi Rasio Lancar


Alasan digunakannya rasio lancar secara luas sebagai ukuran likuiditas mencakup
kemampuannya untuk mengukur:
a. Kemampuan memenuhi kewajiban lancar
2
b. Penyangga kerugian
c. Cadangan dana lancar

1.5 Keterbatasan Rasio Lancar


Berikut adalah keerbatasan rasio lancar, yaitu:
1) Tidak dapat mengukur dan memprediksi pola arus kas masuk dan arus kas
keluar masa depan.
2) Tidak dapat mengukur kecukupan arus kas masuk terhadap arus kas keluar masa
depan.
Rasio lancar merupakan ukuran statis atas sumber daya yang tersedia pada suatu
waktu untuk memenuhi kewajiban lancar. Cadangan sumber daya kas lancar tidak
memiliki hubungan logis dan sebab akibat dengan arus kas masuk masa depan.
Padahal arus kas masuk masa depan merupakan indikator likuiditas yang terbaik.
Arus kas masuk ini tergantung dari faktor-faktor yang tidak dicakup dalam rasio,
seperti penjualan, pengeluaran kas, keuntungan, dan perubahan kondisi usaha.

1.6 Pembilang Rasio Lancar


Berikut akan dibahas masing-masing komponen aktiva lancar dan implikasinya pada
analisis yang menggunakan rasio lancar.
a. Kas dan Setara Kas
Kas yang dimiliki oleh perusahaan yang dikelola dengan baik ditujukan sebagai
cadangan pencegah terjadinya ketidakseimbangan kas pada jangka pendek.
b. Efek yang Dapat Diperjualbelikan
Kelebihan kas dari cadangan pencegah seringkali diinvestasikan pada efek
dengan pengembalian yang lebih tinggi dibandingkan tingkat pengembalian
setara kas. Analisis harus menyadari bahwa semakin jauh perbedaan tanggal
analisis dengan tanggal neraca, semakin besar kemungkinan adanya perubahan
nilai wajar investasi yang tidak tercatat.
c. Piutang Usaha
Penentu utama akun piutang adalah penjualan. Hubungan antara piutang dengan
penjualan diatur oleh kebijakan kredit dan metode penagihan. Analisis piutang
sebagai sumber kas harus mengakui adanya sifat perubahan pada aktiva ini,
kecuali pada kasus likuidasi. Yaitu, bahwa penagihan satu piutang diikuti oleh
pemberian kredit baru. Karenanya tingkat piutang bukan merupakan pengukur
arus kas masuk bersih masa depan.
d. Persediaan
Penentu utama persediaan adalah penjualan atau taksiran penjualan, bukan
tingkat kewajiban lancar. Penentu arus kas masuk masa depan dari penjualan
persediaan bergantung dari margin laba yang dapat direalisasi karena persediaan
disajikan berdasarkan nilai pasar atau biaya historis mana yang lebih rendah.

3
Rasio lancar tidak mengakui tingkat penjualan atau margin laba, namun
keduanya merupakan penentu penting atas arus kas masuk masa depan.
e. Beban Dibayar di Muka
Beban yang dibayar di muka merupakan pengeluaran untuk manfaat masa
depan. Karena manfaat ini biasanya diterima dalam waktu satu tahun atau
sepanjang siklus operasi perusahaan, beban ini tidak mengubah pengeluaran
dana lancar. Analisis harus memerhatikan kecenderungan perusahaan dengan
posisi lancar yang tidak baik untuk memasukkan beban tangguhan dan pos lain
dengan likuiditas meragukan sebagai beban dibayar di muka. Pos tersebut harus
dikeluarkan dalam perhitungan modal kerja dan rasio lancar.

1.7 Penyebut Rasio Lancar


Kewajiban lancar merupakan inti rasio lancar. Kewajiban ini merupakan
sumber kas seperti juga piutang dan persediaan menggunakan kas. Kewajiban lancar
utamanya ditentukan oleh penjualan, dan kemampuan perusahaan untuk
memenuhinya saat jatuh tempo merupakan objek ukuran modal kerja.

1.8 Menggunakan Rasio Lancar dalam Analisis


Dari pembahasan rasio lancar, setidaknya dapat diambil tiga kesimpulan:
1. Likuiditas sebagian besar bergantung pada arus kas prospektif dan sebagian
kecil bergantung pada tingkat kas dan setara kas.
2. Tidak ada hubungan langsung antara saldo akun modal kerja dan pola arus kas
masa depan
3. Kebijakan manajer mengenai piutang dan persediaan utamanya ditujukan bagi
penggunaan aktiva secara efisien dan menguntungkan dan tujuan kedua adalah
likuiditas.
Alasan penggunaan rasio lancar antara lain adalah mudah dipahami,
mudah dihitung, dan datanya tersedia. Penggunaan rasio lancar yang relevan adalah
hanya untuk mengukur kemampuan aktiva lancar untuk melunasi kewajiban lancar.
Sebagai tambahan, kita dapat mempertimbangkan sisa aktiva lancar, jika ada,
sebagai cadangan likuid yang tersedia untuk memenuhi ketidakseimbangan pada
arus dana dan kontijensi lain. Kedua aplikasi ini diterapkan dengan pertimbangan
bahwa rasio mengasumsikan likuidasi perusahaan. Hal ini berbeda dengan situasi
kelangsungan usaha biasa di mana aktiva lancar memiliki sifat perputaran dan
kewajiban lancar memiliki sifat pendanaan berulang.
Jika rasio lancar diaplikasi dengan cara seperti di atas, terdapat dua
elemen yang harus dievaluasi dan diukur sebelum rasio lancar dapat berguna untuk
membentuk dasar analisis:

4
1. Kualitas baik aktiva lancar maupun kewajiban lancar
2. Tingkat perputaran baik aktiva lancar maupun kewajiban lancar, yaitu waktu
yang diperlukan untuk mengubah piutang dan persediaan menjadi kas dan untuk
membayar kewajiban lancar.

1.9 Analisis Komparatif


Analisis tren rasio lancar sering kali berguna. Namun, perubahan rasio lancar
sepanjang waktu harus diinterpretasikan secara hati-hati. Perubahan rasio ini tidak
selalu menunjukkan perubahan pada likuiditas atau kinerja operasi. Pengembangang
perusahaan yang sering kali mengiringi keberhasilan operasi akan menimbulkan
persyaratan modal kerja yang lebih besar. Pengurangan kemakmuran dalam
likuiditas ini menurunkan rasio lancar dan merupakan hasil dari pengembangan
perusahaan yang tidak diikuti oleh peningkatan dalam modal kerja.

ILUSTRASI 13.2 Technology Resources, Inc., mengalami peningkatan aktiva lancar dua kali lipat
dan peningkatan kewajiban lancar empat kali lipat tanpa perubahan modal kerja.
Hal ini menghasilkan pengurangan kemakmuran yang terlihat dari penurunan rasio
lancar sebesar 50%
Tahun 1 Tahun 2
Aktiva lancar $300.000 $600.000
Kewajiban lancar (100.000) (400.000)
Modal kerja $200.000 $200.000
Rasio lancar 3:1 1,5:1

5
DAFTAR PUSTAKA

Wild, John J., K.R Subramanyam, dan Halsey Robert F. (Yanivi dan Nurwahyu, Penerjemah).
2009. Analisis Laporan Keuangan. Edisi ke 8. Jakarta: Salemba Empat

Anda mungkin juga menyukai