Anda di halaman 1dari 19

PROPOSAL PENELITIAN

TENTANG
ANALISIS KEBIJAKAN CAMAT SEBAGAI PENGUASA ANGGARAN
TERHADAP KINERJA PEGAWAINYA

(Studi Deskriptif-Analitik di Kantor Kecamatan Paseh


Kabupaten Bandung)

A. Latar Belakang Masalah

Perilaku birokrasi pemerintahan di Indonesia tidak dapat dipisahkan

dengan berbagai hal yang mengaturnya; baik perundang-undangan, peraturan-

peraturan maupun keputusan-keputusan. Perilaku mereka juga tidak terlepas dari

berbagai kebijakan yang memandu atau menjadi acuan di lingkungan

pekerjaannya serta tidak terlepas dari anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan

di lingkungan birokrasinya maupun anggaran untuk mencapai tujuan dari tujuan

yang ditetapkan oleh satuan birokrasi tersebut.

Pemimpin birokrasi dalam pemerintahan tidak dapat dilepaskan, bahkan

melekat, dari apa yang disebut kebijakan. Pada kebijakan terkandung rangkaian

konsep yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu

pekerjaan (Andi Alvian Malaranggeng dkk., 2011: 19). Sedangkan anggaran

merupakan penunjang, bahkan seringkali anggaran dipahami sebagai faktor

pokok; yang dapat menggerakan birokrasi dari sisi pemenuhan berbagai

kebutuhan. Oleh karena itu, tidak mungkin sebuah birokrasi berjalan dengan baik

tanpa ditunjang oleh adanya anggaran yang memadai. Bahkan, program, tujuan

dan kinerja birokrasi tidak mungkin mencapai prestasi yang ditargetkan tanpa

disediakan anggaran untuk pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditargetkannya.

1
Anggaran dalam birokrasi pemerintahan tidak saja digunakan untuk

keperluan berjalannya organisasi itu sendiri, melainkan juga mendanai berbagai

komponen kebutuhan masyarakat yang menjadi kewajiban dan

tanggungjawabnya. Dari sinilah dikenal dengan sebutan Anggaran Pendapatan

Belanja Negara (APBN) untuk sebutan anggaran yang didapatkan dan yang akan

digunakan di Pemerintah Pusat. Sedangkan di Daerah dikenal dengan Anggaran

Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Dua jenis anggaran ini digunakan untuk

kepentingan masyarakat; suatu istilah sumber dan pendapatan untuk membiayai

pembangunan secara keseluruhan yang dikenal dan berlaku penggunaan istilah

sampai sekarang.

Anggaran tersebut digunakan selain berpedoman pada Undang-Undang,

Peraturan Pemerintah, keputusan-keputusan dan berbagai peraturan lainnya,

dalam konteks anggaran untuk meningkatkan kinerja pegawai, juga sangat

ditentukan oleh kebijakan pimpinan dari pegawai itu sendiri. Dalam makna lain,

kebijakan pimpinan dalam soal anggaran, seperti diuraikan lebih lanjut oleh Andi

Alvian Malaranggeng dkk. (2011: 31), merupakan pedoman tindakan yang paling

mungkin untuk memperoleh hasil yang diinginkan yang berlaku pada lingkup

birokrasinya. Hasil sebuah kebijakan, sebagaimana dikatakan Ali Imron (2002:

65) merujuk kepada ketercapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang

terarah. Dengan demikian, kebijakan seorang pimpinan harus diikuti dan

dilakukan (Anderson, 1979: 211) sepanjang kebijakan tersebut tidak bertentangan

dengan perundang-undangan dan peraturan-peraturan atau tidak bertentangan

dengan keputusan yang lebih tinggi sifatnya.

2
Dalam kesatuan Kepemimpinan Pemerintahan (eksekutif) di Indonesia,

selain dikenal adanya Presiden untuk Pemerintah Pusat, Gubernur untuk

Pemerintah Provinsi, Bupati atau Walikota untuk Pemerintah Kabupaten Kota,

Camat untuk Pemimpin tingkat Kecamatan, dan selanjutnya dikenal Kepala Desa

atau Lurah. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan ini, seringkali

keberadaan Camat tidak memiliki tugas-tugas kepemerintahan yang menonjol.

Bahkan menurut Suharno (2010: 32) peranan Camat tak kalah pentingnya dalam

rangka tugas-tugasnya. Bahkan Pengaturannya diatur dalam Peraturan Pemerintah

(PP) Nomor 19 Tahun 2008. Hal ini menggambarkan bahwa sekalipun secara

factual keberadaan Camat tidak menonjol dibandingkan pemimpin birokrasi atau

pejabat public lainnya, namun ternyata ketata-negaraan yang berlaku di Indonesia

tetap memposisikan Camat sebagai komponen penting terbukti keberadaannya

diatur dalam Undang-Undang (Nomor 32 Tahun 2004) dan Peraturan Pemerintah

(PP) sebagaimana tertuang di atas yakni PP Nomor 19 Tahun 2008.

Pada PP Nomor 19 Tahun 2008 pada Bab I Point 5 disebutkan sebagai

berikut: Camat atau sebutan lainnya adalah pemimpin dan koordinator

penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kerja kecamatan yang dalam

pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan kewenangan pemerintahan dari

Bupati/Walikota untuk menanngani sebagian urusan Otonomi Daerah dan

menyelenggarakan tugas umum pemerintahan.

Bunyi dari PP tersebut memposisikan bahwa peranan Camat sangat

strategis yakni sebagai kepanjangan dari kekuasaan Bupati atau Walikota yang

menangani urusan Otonomi Daerah dan urusan lainnya. Tugas ini dalam payung

hukum yang lebih tinggi dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

3
Pasal 126, sebagai berikut: Camat dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh

pelimpahan sebagian wewenang Bupati/Walikota untuk menangani sebagian

Otonomi Daerah.

Sedangkan yang dimaksud urusan lain tersebut sebagaimana tertuang

masih dalam PP pada Bab IV Pasal 15 Point 2, yakni menyangkut urusan 1)

perijinan, 2) rekomendasi, 3) koordinasi, 4) pembinaan, 5) pengawasan, 6)

fasilitasi, 7) penetapan, 8) penyelenggaraan, 9) wewenang lain yang dilimpahkan.

Namun demikian, sebagaimana lebih lanjut diatur dalam PP pada Bab IV Pasal 15

Point 1 menyebutkan bahwa Camat sebelumnya perangkat wilayah dalam

kerangka asas dekonsentrasi, tetapi sekarang azas desentralisasi. Juga disebutkan

bahwa Camat dalam tugasnya dibantu perangkat kecamatan yang

bertanggungjawab kepada Bupati atau Walikota yang secara administratif melalui

Sekretaris Daerah (Sekda). Pada pasal 15 point 2 ini juga dijelaskan bahwa Camat

sebagai kepala wilayah hanya memiliki wilayah kerja namun tidak memiliki

daerah. Dalam arti tidak mengoperasikan kewenangan dan tugasnya pada

kesatuan demografis yang dikenal seperti Kepala Desa atau Bupati/Walikota;

melainkan hanya dalam bentuk kerja yang terprogram, terlebih sifatnya sebagai

pejabat yang menjalankan sebagian kewenangan Bupati itu, maka Camat tidak

bertanggungjawab secara delegatif kepada masyarakat, melainkan secara otoritatif

ia bertanggungjawab kepada Bupati yang memberikan otoritas kekuasaannya.

Rangkaian Pasal-pasal dari PP 19 Tahun 2008 tersebut memposisikan

bahwa Camat, dengan demikian sangat jelas, tidak memiliki daerah, sehingga

Camat hanya memiliki wilayah kerja atau pekerjaan. Dengan demikian, Camat

bukan penguasa Desa atau bukan atasan desa, melainkan hanya memiliki fungsi

4
kerja yang bertugas membina desa terutama dalam kerangka menjalankan fungsi-

fungsi koordinatif dan administratif. Oleh karena Camat memiliki memiliki

wilayah kerja, maka Camat beserta aparatnya tentu memiliki alokasi anggaran

untuk menjalankan efektifitas, produktifitas dan efesiensi tugas-tugasnya. Alokasi

anggaran ini tentu untuk melakukan pembiayaan yang menjadi pekerjaannya

beserta aparatnya.

Mengenai anggaran tersebut Selamet Basuki (2015: 3) menjelaskan bahwa

alokasi anggaran bagi kecamatan yang selama ini bersifat rutin sebagai

pemenuhan kebutuhan dasar organisasi perlu dikembangkan menjadi anggaran

berbasis kinerja yang berorientasi pada pencapaian tugas pokok dan fungsi serta

pelaksanaan yang dilimpahkan. Sebuah kegiatan berbasis kinerja sebagaimana

ditegaskan oleh Bernardin dan Russel (1993: 34) berarti pencapaian hasil yang

diperoleh dari fungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu. Hal ini menggambarkan

bahwa anggaran yang ada di Kecamatan seharusnya terserap habis karena alokasi

anggaran dibuat berdasarkan itiem-item pekerjaan atau tugas-tugas yang ada pada

lingkup kecamatan tersebut. Dengan demikian, organisasi atau birokrasi, seperti

halnya birokrasi yang dipimpin Camat, menurut Handoko (1990:43) menghendaki

bahwa setiap anggaran yang dikeluarkan memiliki dampak terhadap prestasi

sumber daya dari setiap pekerjaan yang dilakukan. Prestasi itulah yang menjadi

tolak-ukur berhasil dan tidaknya penerapan anggaran berbasis kinerja. Dan

prestasi itu juga dengan sendirinya diakui atau tidak diakuinya sebagai produk

dari penerapan anggaran berbasis kinerja.

Anggaran berbasis kinerja berarti bahwa anggaran dimana Camat selaku

penguasa anggaran di tingkat kecamatan akan memiliki makna luas terhadap

5
perbaikan kinerja. Hal ini mengingat bahwa kinerja, sebagaimana dijelaskan oleh

Sedarmayanti (2011: 260), pada sisi lain mengandung makna performance yang

berarti hasil kerja seorang pegawai dari penugasanpenugasan yang diberikan

kepada pegawai tersebut. Dari sinilah maka pemahaman lebih lanjut dapat

dinyatakan bahwa anggaran berbasis kinerja yang dialokasikan untuk kecamatan

dari APBD seharusnya memiliki dampak terhadap kualitas pekerjaan para

pegawai kecamatan. Keharusan ini setelah diseleraskan antara berbagai sumber

dengan peraturan yang sudah diuraikan, jelas memposisikan bahwa anggaran

berbasis kinerja merupakan pilihan anggaran yang dinilai sangat tepat terkait

dengan upaya peningkatan sumber daya pegawai sesuai dengan tuntutan

profesionalisme.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis merasa tertarik untuk

melakukan penelitian yang bersifat deskriptif-analitik terhadap kebijakan Camat

selaku penguasa anggaran di Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung. Kecamatan

ini dipilih, selain secara sosio-kulural memperlihatkan gejala transisionalnya

dalam lingkup antara tradisionalitas dan modernitas, dan antara tuntutan

profesionalisme yang dituntut lebih sebagai akibat terjadinya mobilitas social

masyarakat di Kecamatan Paseh. Penelitian ini dilakukan terhadap kinerja

pegawai di lingkungan kecamatan Paseh.

Ketertarikan penulis ini tertuju pada perubahan-perubahan yang muncul

pada kinerja pegawai Kecamatan Paseh. Hal ini berdampak bukan hanya pada

segi profesionalismenya tetapi juga terhadap layanan publik serta kemauannya

melakukan peningkatan kapasitas sumber daya yang sesuai dengan tuntutan

perkembangan zaman. Dari sini pula, yang menjadi fokus penelitian adalah

6
menganalisis kinerja pegawai kecamatan sebagai dampak dari kebijakan Camat

selaku penguasa anggaran. Dari sini akan dianalisis kualitas kinerja sebagai

dampak dari kebijakan camat selaku penguasa anggaran.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, jelas bahwa posisi

Camat memiliki peran sentral dalam menstimulasi para pegawainya agar memiliki

kinerja yang efektif, efesien dan profesional terkait dengan kebijakannya selaku

penguasa anggaran. Dengan demikian maka dapat dibuat perumusan masalah

penelitian sebagai berikut: bagaimana dampak kebijakan Camat selaku penguasa

anggaran terhadap kinerja pegawainya. Secara lebih rinci perumusan masalah ini

dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana tugas dan fungsi Camat dalam hal anggaran dan selaku

penguasa anggaran?
2. Kebijakan apa saja yang dibuat Camat selaku penguasa anggaran

terhadap implementasi anggaran di Kecamatan?


3. Bagaimana kebijakan Camat terkait penguasa anggaran tersebut dibuat

oleh Camat?
4. Kebijakan anggaran apa saja yang dikeluarkan Camat menyangkut

upaya peningkatan kinerja pegawainya?


5. Bagaimana dampak kebijakan Camat selaku penguasa anggaran

terhadap peningkatan kualitas kinerja pegawainya?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan analisis terhadap kebijakan

camat selaku selaku penguasa anggaran terkait dampak kebijakannya itu terhadap

kinerja bawahannya.

7
Berdasarkan maksud tersebut maka penelitian menyangkut beberapa

tujuan, sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis tugas dan fungsi Camat dalam hal anggaran dan

selaku penguasa anggaran.


2. Untuk menganalisis kebijakan yang dibuat Camat selaku penguasa

anggaran terhadap implementasi anggaran di Kecamatan.


3. Untuk menganalisis kebijakan yang dibuat Camat terkait penguasa

anggaran.
4. Untuk menganalisis kebijakan anggaran yang dikeluarkan Camat

menyangkut upaya peningkatan kinerja pegawainya.


5. Untuk menganalisis dampak kebijakan Camat selaku penguasa

anggaran terhadap peningkatan kualitas kinerja pegawainya.

D. Kajian Teoritik

Setiap pemimpin dari satuan kepemimpinan dalam birokrasi, termasuk

Camat, selain harus mentaati perundang-undangan dan peraturan-peraturan yang

berlaku, juga pada pemimpin tersebut memiliki kebijakan yang mengikat dan

melekat pada bawahannya atau pada para pegawai yang dipimpinnya. Kebijakan

tersebut bagi para bawahannya akan dimaknai sebagai pedoman dasar rencana dan

pelaksanaan suatu pekerjaan yang menjadi tugas dalam ruang lingkup

pekerjaannya yang dengan sendiri harus dikerjaan yang berorientasi pada

pencapaian tujuan dan target.

Kebijakan yang berlaku pada pemimpin birokrasi ini merupakan

kelaziman karena menurut Solihin Abdul Wahab (2002: 113) bahwa memang

sebuah kebijakan dan penerapannya merupakan suatu sine qua non condition pada

lembaga pemerintahan, organisasi maupun swasta. Hanya saja, dalam

8
penerapannya terdapat perbedaan antara kebijakan dengan dengan undang-undang

atau peraturan-peraturan. Perbedaan tersebut menurut Blakermare (1979: 221)

terletak pada bahwa kalau kebijakan hanya merupakan pedoman tindakan yang

akan dan seharusnya dilakukan, sedangkan perundang-undangan atau peraturan

merupakan sebuah hukum yang bisa memaksakan seseorang untuk melakukannya.

Termasuk dalam hal ini, dapat memaksakan tindakan para pegawai di lingkungan

kecamatan.

Bahkan dalam beberapa kasus yang spesifik, kebijakan sama dengan

istilah program atau keingingan yang akan dicapai. Oleh karena itu, menurut

Anderson (1979: 67-68), sebagai suatu program maka kebijakan diarahkan untuk

mencapai tujuan. Kebijakan akan mungkin dapat mencapai tujuan apabila

memiliki perilaku yang konsisten dan berulang; baik oleh yang membuat maupun

yang melaksanakan kebijakan itu sendiri (Edi Suharto, 2008: 19). Konsistensi

kebijakan akan didapat apabila, sebagaimana diraikan oleh Solichin Abdul Wahab

(2008: 40-50), para pelaku pembuat kebijakan dapat mencermati:

1) mampu membedakan antara kebijakan dengan keputusan;

2) mampu membedakan antara kebijakan dengan tindakan administrasi;

3) pada kebijakan harus tercakup perilaku dan harapan-harapan;

4) kebijakan menyangkut ketiadaan tindakan maupun adanya tindakan;

5) kebijakan memiliki tujuan atau sasaran tertentu baik implisit maupun

eksplisit;

6) kebijakan harus muncul dari proses yang berlangsung sepanjang waktu.

Pemahaman terhadap hal-hal tersebut harus disertai dengan kemampuan

membedakan antara kebijakan (policy) dengan kebijaksanaan (wisdom). Pada

9
perbedaan ini, menurut Suandi (2010: 2) meniscyakan bahwa kebijakan

menyangkut aturan-aturan atau hal-hal yang diatur sedangkan kebijaksanaan

merupakan pertimbangan-pertimbangan. Dari perbedaan ini maka seorang

pembuat kebijakan akan dapat mengetahui tahapan-tahapan kebijakan. Tahapan

tersebut adalah:

1) penyususana agenda;

2) form alur kebijakan;

3) adopsi kebijakan (dukungan);

4) implementasi kebijakan dan;

5) evaluasi kebijakan

(Budi Winarno, 2007: 18).

Di samping itu, seorang pembuat kebijakan dapat dipengaruhi oleh

berbagai hal. Pengaruh tersebut dirinci oleh Suharno (2010: 52-53) sebagai

berikut:

1) pengaruh tekanan dari luar;

2) adanya pengaruh kebiasaan lama;

3) adanya pengaruh sifat-sifat;

4) pengaruh dari kelompok luar;

5) pengaruh masa lalu.

Di samping hal itu, menurut Suharno (2010: 31), kerangka kebijakan

memiliki ruang lingkup:

1) tujuan yang akan dicapai;

2) preferensi nilai (pertimbangan);

3) sumber daya yang mendukung kebijakan;

10
4) kemampuan actor yang terlibat;

5) lingkungan yang meliputi lingkungan sosial, ekonomi, kebudayaan dan

politik.

Dari sinilah Handoko (1990: 34) menandaskan bahwa dari kinerja akan

dapat diketahui sebuah prestasi sumberdaya dan dapat dilakukan evaluasi atau

dapat dinilai perkembangannya dari waktu ke waktu yang dipandu oleh tujuan dan

target yang telah ditetapkan sebelumnya.

Pada kerangka itulah maka seorang Camat dapat melakukan atau membuat

kebijakan yang memberikan manfaat bagi peningkatan kinerja pegawai di

lingkungan pegawainya. Terutama, dalam hal Camat mengembangan tugas

sebagaimana diamanatkan dalam PP 19 Tahun 2008 Bab IV Pasal 15 Point I,

yakni:

1) tugas atributif;

2) ketentraman dan ketertiban;

3) penegakan peraturan dan perundang-undangan;

4) Pembina penyelenggaraan pemerintahan desa atau kelurahan;

5) pelaksana tugas pemerintahan yang tidak dilakukan desa atau

kelurahan.

Sedangkan dalam konteks tugas pembinaan wilayah maka Camat

memiliki tugas yakni:

1) mengintegrasikan nilai-nilai sosio-kultural;

2) mendorong terwujudnya stabilitas politik yang dinamis;

3) memelihara ketahanan ekonomi dan budaya;

4) ketentraman dan ketertiban wilayah dan;

11
6) kesejahteraan rakyat.

Pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Bab VIII Pasal 126 Point 3,

Camat memiliki kebijakan-kebijakan yakni:

1) mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan;

2) mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban

umum;

3) mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-

undangan;

4) mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan;

5) mengkoordinasikan kegiatan di kecamatan dan;

6) melaksanakan pelayanan yang belum dilakukan desa.

Kebijakan-kebijakan ini memiliki dampak terhadap anggaran dimana

Camat sebagai penguasa anggaran. PP 19 Tahun 2008 Bab VIII Pasal 29

menyebutkan bahwa rencana anggaran satuan kerja kecamatan berdasarkan

rencana kerja kecamatan.

Anggaran kecamatan dimana posisi Camat sebagai penguasa anggaran

tentu memiliki daya dorong terhadap keharusan muncul kinerja yang lebih baik

pada para pegawai di lingkungan kecamatan. Karena sebagaimana ditegaskan oleh

Anwar Prabu Mangkunegara (2009: 67) kinerja yang baik akan menghasilkan

kerja yang secara kuantitas maupun kualitas yang dicapai yang lebih baik lagi

terutama dalam hal melaksanakan tugas sesuai dengan tanggungjawab yang

diberikan kepadanya. Indikator kinerja yang baik lanjut Anwar Prabu (2009: 75)

harus terlihat pada:

1) peningkatan kualitas;

12
2) peningkatan kuantitas;

3) pelaksanaan tugas secara kosekuen dan konsisten dan;

4) munculnya rasa tanggungjawab yang sangat besar.

Pada kinerja, sebagaimana pernah diteliti oleh Stoner (1987: 211) harus

mengandung fungsi dan persepsi peranan, motivasi dan kecakapan-kecakapan

yang dimiliki oleh pegawai.

Dari sinilah maka sebagai konsekuensi pembangunan birokrasi yang

kompeten, sebagaimana Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 bahwa anggaran

kecamatan berbasis kinerja. Ditambah lagi dengan Kepmendagri No. 13 Tahun

2006 yang menyebutkan bahwa anggaran kecamatan berbasis prestasi kerja.

Dalam Kepmendagri tersebut juga disebutkan bahwa kecamatan sebagai bagian

dari satuan kerja perangkat daerah (SKPD) memiliki kewenangan untuk

menyusun dan mengolah anggarannya sendiri.

E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah memakai jenis penelitian kualitatif-

deskriptif. Jenis penelitian ini mendeskripsikan data-data lebih merupakan kata-

kata daripada angka-angka. Kata-kata yang tertulis berisi kutipan-kutipan yang

sejauh mungkin dapat melukiskan keaslian tentang apa yang diteliti. Secara lebih

khusus dapat dinyatakan bahwa penelitian kualitatif merupakan jenis dan metode

penelitian yang terencana namun desainnya longgar. Fokus dari penelitian dalam

rangka memberikan jawaban terhadap perumusan masalah dalam penelitian.

Pada jenis penelitian kualitatif ini situasi-situasi alami (natural)

sebagaimana adanya, sebagai sumber langsung dan peneliti bertindak sebagai alat

13
peneliti yang utama. Dalam penelitian ini, menurut Redja Mudyahardjo (2004:

147) merupakan penelitian dimana peneliti terjun langsung ke lapangan penelitian

dalam waktu yang cukup lama. Situasi-situasi yang terjadi sebagaimana adanya

dapat dipahami dalam makna yang saling berhubungan secara logis.

2. Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian kualitatif ini mencakup catatan-catatan

hasil dari wawancara, catatan-catatan peneliti selama di lapangan, hasil

pemotretan, dokumen-dokumen, catatan yang bersifat kenangan (memorial) dan

laporan-laporan resmi.

Data yang sudah terkumpul ini, menurut Hibben (1996: 73) tidak

mengubah cerita-cerita yang terdapat dalam berbagai catatan tersebut. Data

tersebut ditulis apa adanya. Dengan demikian, pendekatan pengumpulan data

dalam penelitian kualitatif ini, berpangkal pada asumsi bahwa semua catatan hasil

penelitian di lapangan seluruhnya memiliki makna. Sehingga tidak dapat

mengabaikan hal-hal yang dianggap kecil dan sepele karena hal yang dianggap

sepele itu memiliki pertautan dengan keseluruhan suatu peristiwa yang terjadi.

Pengumpulan data kualitatif sebagaimana ditegaskan oleh Redja

Mudyahardjo (2004: 148) lebih tertuju pada penelitian tentang proses daripada

hasil sehingga penelitiannya berkenaan dengan rangkaian kegiatan. Sehingga

pusat kajian lebih berpusat pada rangkaian-rangkaian kegiatan yang terjadi dalam

kehidupan sehari-hari, cara-cara bekerja dan hidup serta interaksi-interaksi sosial

yang terjadi dalam lingkungan hidup.

Secara lebih rinci, pengumpulan data dalam penelitian kualitatif meliputi:

14
1) lebih terarah untuk mengetahui struktur khusus dari peristiwa-peristiwa

yang terjadi daripada mengetahui sifat-sifat umum peristiwa-peristiwa

tersebut;

2) mengetahui makna perspektif atau makna garis pandangan hidup dari

para pelaku utama dalam peristiwa-peristiwa khusus;

3) mengetahui lokasi titik-titik hubungan yang terjadi secara sewajarnya

yang secara logis dan etis tidak dapat diamati melalui teknik observasi

eksperimental dan;

4) mengenali saling keterkaitan yang bersifat khusus yang tidak dapat

diamati melalui teknik observasi eksperimental.

Beberapa hal yang akan dilakukan dalam dalam pengumpulan data dalam

penelitian yang dilakukan penulis ini, sesuai dengan jenisnya penelitian kualitatif,

akan mengikuti kaidah-kaidah sebagaimana dirumuskan oleh Redja Mudyahardjo

(2004: 150), yakni:

1) situasi penelitian akan bersifat alamiah;

2) peneliti merupakan instrument utama pengumpulan data;

3) pengungkapan data secara proporsional yakni yang terungkap dalam

kenyataan;

4) penentuan sample bersifat purposive;

5) data dianalisis secara induktif;

6) penyusunan teori yang disimpulkan dari bawah (grounded theory);

7) desain penelitian tidak bersifat baku, melainkan akan berubah-ubah

sebagaimana konsekuensi dari data yang mungkin berkembang dan

hidup;

15
8) penulisan data bersifat interpretative-analitik.

Dengan demikian, pengumpulan data yang dilakukan peneliti, tidak

menggunakan instrumen yang baku yang telah dipersiapkan, tetapi lebih tertuju

pada data yang lunak, yaitu data yang kaya dengan gambaran tentang orang,

tempat-tempat kejadian, dan percakapan-percakapan. Sehingga pengolahan data

tertuju pada penyusunan teori deskriptif tentang makna yang disimpulkan

langsung secara induktif.

3. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan secara induktif

sehingga teori yang dihasilkan merupakan the grounded theory, yaitu teori yang

diangkat dari bawah secara induktif. Sehingga analisis datanya bukan untuk

membuktikan kebenaran dan ketidakbenaran dari hipotesis yang ditentukan

sebelumnya, melainkan lebih tertuju kepada penyusunan abtsraksi-abstraksi yang

didasarkan sekelompok data yang telah dikumpulkan.

Analisis tersebut dikemukakan oleh Redja Mudyahardjo (2004: 148)

bahwa teori yang dikembangkan dalam penelitian kualitatif adalah teori yang

disusun dari bawah ke atas dan bukan dari atas ke bawah. Penyusunan teori

penelitian kualitatif langsung dari sejumlah data yang telah dikumpulkan

kemudian dianalisis dengan menggunakan prinsip-prinsip penalaran induktif dan

hasil analisis data berupa abstraksi-abstraksi data. Analisis ini berpedoman pada

perumusan masalah yang umumnya berupa pertanyaan penelitian. Pertanyaan-

pertanyaan penelitian dalam penelitian kualitatif ini tidak bersifat permanen,

melainkan berkembang sehingga proses analisis data juga terus berkembang yang

dimulai dari hal-hal yang bersifat umum ke hal-hal yang khusus dan detail.

16
Analisis data dalam penelitian yang berlokasi di Kantor Kecamatan Paseh

Kabupaten Bandung yang terkait dengan studi atau analisis kebijakan Camat

sebagai penguasa anggaran terhadap kinerja pegawainya ini, diharapkan akan

menghasilkan analisis data sekitar:

1) deskripsi dasar-dasar kebijakan Camat;

2) deskripsi cara-cara kebijakan itu dibuat;

3) deskripsi tentang lingkup Camat sebagai penguasa anggaran;

4) deskripsi kinerja pegawai Kecamatan Paseh dan;

5) deskripsi tentang makna-makna yang dihasilkan dari kinerja tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Imron, 2008. Kebijakan Pendidikan di Indonesia; Proses, Produk dan Masa
Depannya, Bumi Aksara, Jakarta.

Anderson, James E, 1979. Public Policy Making, Holt Rinehart and Winston,
Chicago.

Andi Alvian Malaranggeng dkk., 2001. Otonomi Daerah dalam Perspektif


Teoritis dan Praktis, UMM, Yogyakarta.

Anwar Prabu Mangkunegara, 2009. Evaluasi Kinerja SDM, Refika Aditama,


Bandung.

17
Bernardin dan Russel, 1993. Management and Conflic, Holt Rinehart and
Winston, Chicago.

Budi Winarno, 2007. Urgensi Eksistensi Camat; Sebuah Sorotan, Makalah, UGM,
Yogyakarta.

Edi Suharto, 2008. Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik, PT. Alfabeta,
Jakarta.

--------------- 2008. Analisis Kebijakan Publik, Panduan Praktis Mengkaji Masalah


dan Kebijakan Sosial, PT. Alfabeta, Jakarta.

Handoko, 2003. Manajemen, BPFE, Yogyakarta.

Hibben, John Gner, 1996. Inductive Logic, William Blacwood and Son, London.

Redja Mudyahardjo, 2004. Ilmu Pendidikan dan Penelitian Pendidikan, Rosda,


Bandung.

Selamet Basuki, 2015. Pemerintahan Kecamatan Sebuah Dilema, Makalah,


UGM, Yogyakarta.

Solihin Abdul Wahab, 1990. Pengantar Analisis Kebijakan Negara, Rineka Cipta,
Jakarta.

---------------------------, 2002. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi,


Bumi Aksara, Jakarta.

Soedarmayanti, 2009. Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja, Mandar


Maju, Jakarta.

S.P. Hasibuan, 2007. Organisasi dan Motivasi; Dasar Peningkatan Produktivitas,


Bumi Aksara, Jakarta.

Stoner, 1987. Management, Public Policy Making, Holt Rinehart and Winston,
Chicago.

Suandi, 2010. Organisasi dan Manajemen, Rineka Cipta, Jakarta.

Suharno, 2010. Manajemen Kebijakan Publik, Bumi Aksara, Jakarta.

Zaenal Abidin, 2006. Kebijakan Publik, Suara Bebas, Jakarta.

Kepmendagri No. 29 Tahun 2002.

18
Kepmendagri No. 13 Tahun 2006.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

19

Anda mungkin juga menyukai